I
PENGARUH KEWIBAWAAN PENGASUH TERHADAP
INTERAKSI SOSIAL SANTRI DI PONDOK PESANTREN EDI
MANCORO DESA GEDANGAN KABUPATEN SEMARANG
TAHUN 2014
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan Islam
Oleh :
RORO RISALATUL MUAKHIROH
NIM :11110 170
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
III
KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
Jl. Tentara Pelajar 02 Telp. (0298) 323706, 323433 Fax 323433 Salatiga 50721 Website: www.stainsalatiga.ac.idE-mail: administrasi@stainsalatiga.ac.id
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, skripsi saudara: Nama : Roro Risalatul Muakhiroh NIM : 111 10 170
Jurusan : TARBIYAH
Program Studi: Pendidikan Agama Islam
Judul : “PENGARUH KEWIBAWAAN PENGASUH TERHADAP INTERAKSI SOSIAL SANTRI DI PONDOK PESANTREN EDI MANCORO DESA GEDANGAN KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2014”
telah kami setujui untuk dimunaqasyahkan.
Salatiga, 20 Februari 2015 Pembimbing
IV SKRIPSI
PENGARUH KEWIBAWAAN PENGASUH TERHADAP INTERAKSI
SOSIAL SANTRI DI PONDOK PESANTREN EDI MANCORO DESA
GEDANGAN KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2014
DISUSUN OLEH
RORO RISALATUL MUAKHIROH
NIM : 111 10 170
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Tarbiyah, Program Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 20 Februari 2015 dan telah dinyatakan memenuhi
syarat guna memperoleh gelar Sarjana S1 Kependidikan Islam. Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji : Dr. Imam Sutomo, M.Ag. : Sekretaris Penguji : Dr. M. Zulfa M, M.Ag. : Penguji I : Drs. SumarnoWidjadipa, M.Pd. : Penguji II : Dr. BudiyonoSaputro, M.Pd. :
Salatiga20 Februari 2015 Ketua STAIN Salatiga
V
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Roro Risalatul Muakhiroh
NIM : 11110 170
Jurusan : Tarbiyah
Program Studi : S1-Pendidikan Agama Islam
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 20Februari 2014
Yang Menyatakan,
Roro Risalatul Muakhiroh
VI
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa
yang dipimpinnya
PERSEMBAHAN
Yang Utama Dari Segalanya...
Sembah sujud serta syukur kepada Allah SWT. Taburan cinta dan
kasih sayang-Mu telah memberikanku kekuatan, membekaliku
dengan ilmu serta memperkenalkanku dengan cinta. atas karunia
serta kemudahan yang Engkau berikan akhirnya skripsi yang
sederhana ini dapat terselesaikan. Sholawat dan salam selalu
terlimpahkan keharibaan Rasullah Muhammad SAW.
Semoga sebuah karya mungil ini menjadi amal shaleh bagiku dan menjadi kebanggaan bagi keluargaku tercinta. Kupersembahkan
karya sederhana ini kepada orang yang sangat kukasihi dan
kusayangi.
Sebagai tanda bakti, hormat, dan rasa terima kasih yang
tiada terhingga kupersembahkan karya kecil ini kepada
BapakkuM. Asrori Achmad dan IbukuRichaniyah sebagai
peneduh jiwaku, yang selalu mencurahkan segala kasih
VII
terlahir ke dunia, sehingga dapat melihatku tumbuh menjadi
perempuan yang membahagiakan. Bapak dan Ibu yang telah
memberikan kasih sayang, segala dukungan, dan cinta kasih
yang tiada terhingga yang tiada mungkin dapat kubalas
hanya dengan selembar kertas yang bertuliskan kata cinta
dan persembahan. Semoga ini menjadi langkah awal untuk
membuatku termotivasi dan selalu menyirami kasih sayang,
selalu mendo’akanku, selalu menasehatiku menjadi lebih baik,.
Bapak KH. Mahfud Ridwan, Lc dan Ibu Hj. Nafisah yang
selalu membimbing serta memberikan nasehatnya ketika
kami belajar untuk hidup mandiri.
Gus M.Hanif, M.Hum dan Ning Rosyidah, Lc yang tak kenal
lelah memberikan petuahnya kepada kami.
Untuk kakakku ziyadatul Barokah dan adikku Qodliyatul
Amri Agutina terima kasih atas dukungan dan motivasi.
Semua santri di Pondok Pesantren Edi Mancoro, yang telah
memberikan warna kehidupan serta telah mengukir cerita di
pondok ini. Dari sinilah penulis belajar mandiri, berorganisasi,
hidup bermasyarakat, dan menjadi seorang pemimpin.
Sahabat kecilku di TBB Edi Mancoro dan TPQ Az Zahra,
yang selalu membuatku tertawa lepas karena kepolosan
VIII
Bapak Dr. H. M. Zulfa, M.Ag. selaku dosen pembimbing
skripsi saya, terima kasih atas bimbingan bapak selama ini.
Untuk guru-guruku, ustadz, serta semua dosen terima kasih
atas bimbingan dan arahan selama ini. Semoga ilmu yang
telah diajarkan menuntunku menjadi manusia yang berharga
di dunia dan bernilai di akhirat.
Teman-teman PAI C angkatan 2010 , kebersamaan kita
ketika masih menjadi mahasiswa baru hingga sekarang telah
terlukis dalam bingkai kebersamaan.
My best man, dalam hari-hari penulis. Seseorang yang telah
menemani selama perjalananku untuk belajar menjadi
seorang wanita sholihah, terimakasih atas dukungan dan
kesabarannya. Because, you still with me…..
Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
skripsi ini yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu,
Akhir kata, semoga skripsi ini membawa kebermanfaatan.
Jika hidup bisa kuceritakan di atas kertas, entah berapa
banyak yang dibutuhkan hanya untuk kuucapkan terima
IX
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan para pengikut setianya.
Skripsi ini dibuat untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga.
Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. Selaku Ketua STAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd, Selaku ketua jurusan tarbiyah.
3. Bapak Rasimin, S.Pd.I. M.Pd. selaku ketua program studi PAI. 4. Bapak Dr. H. M. Zulfa M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi.
5. Bapak ibu dosen serta karyawan STAIN Salatiga
6. Bapak dan ibu, saudara-saudara, serta teman-teman yang selalu mendoakan dan
memberikan dukungan dalam menyelesaikan studi di STAIN Salatiga.
Kepada mereka semua, penulis tidak dapat memberikan balasan apapun. Hanya untaian kata terima kasih yang bisa penulis sampaikan, semoga Allah
SWT senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka serta membalas semua amal baik yang telah diberikan kepada penulis.
Akhirnya dengan tulisan ini semoga bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya.
X ABSTRAK
Muakhiroh, Roro Risalatul. 2014. 11110170. Pengaruh kewibawaan pengasuh terhadap interaksi sosial santri di Pondok Pesantren Edi Mancoro Desa Gedangan Kabupaten Semarang tahun 2014. Skripsi Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dr. H. M. Zulfa M.Ag.
Kata kunci: Kewibawaan Pengasuh, Interaksi Sosial Santri
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang dikenal sejak lama oleh masyarakat. Sebuah pesantren biasanya identik dengan para santri yang selalu mengenakan peci, bersarung dan membawa kitab ketika akan mengaji, kemudian terpandangnya sosok pengasuh baik dari segi keilmuan maupun kewibawaan dalam memimpin pondok pesantren yang dipimpin.
Rumusan masalah dalam penelitian ini : 1) Bagaimana kewibawaan pengasuh di Pondok Pesantren Edi Mancoro Ds. Gedangan Kab. Semarang Tahun 2014, 2) Bagaimana interaksi sosial santri di Pondok Pesantren Edi Mancoro Ds. Gedangan Kab. Semarang Tahun 2014, 3) Adakah pengaruh kewibawaan pengasuh terhadap interaksi sosial santri di Pondok Pesantren Edi Mancoro Ds. Gedangan Kab. Semarang Tahun 2014.
Penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesanren Edi Mancoro penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Pengumpulan data menggunakan instrumen angket tertutup dan rating scale untuk mengumpulkan data X dan Y. Yang menjadi subjek penelitian adalah seluruh santri yaitu 51 santri. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan teknik total sampling. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan teknik analisis statistik chi kuadrat.
XI DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL… ... i
LEMBAR BERLOGO... ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN KELULUSAN... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... ix
ABSTRAK ... x
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR TABEL... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN...xvi
BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Rumusan Masalah ... 4
C.Tujuan Penelitian ... 5
D.Hipotesis Penelitian ... 5
XII
F. Definisi Operasional ... 6
G.Metode Penelitian ... 9
1. Pendekatan dan Rancangan Penelitian ... 9
2. Lokasidan Waktu Penelitian……… 9
3. Populasi dan Sampel………... 10
4. Metode Pengumpulan Data………. 11
5. Analisis Data………... 13
H.Sistematika Penulisan………. 14
BAB II : KAJIAN PUSTAKA A.Kewibawaan Pengasuh ... 16
1. Pengertian Kewibawaan ... 16
2. Perbedaan antara Kewibawaan Orang Tua dan Kewibawaan Guru atau Pendidik-Pendidik Lainnya terhadap Anak-anak Didiknya ... 19
3. Fungsi Kewibawaan dalam Pendidikan ... 22
4. Faktor-Faktor Kewibawaan ... 23
5. Sumber Kewibawaan ... 25
B.Interaksi Sosial Santri ... 26
1. Pengertian Interaksi Sosial ... 26
2. Faktor yang mendasari Berlangsungnya Interaksi Sosial….. 28
3. Interaksi Sosial Santri ... 32
a. Interaksi Sosial Santri dengan Pengasuh………. .. 32
b. Interaksi Sosial Santri dengan Ustadz……….. 35
c. Interaksi Sosial Sesama Santri……….. 36
XIII BAB III : HASIL PENELITIAN
A.Gambaran umum lokasi dan subjek penelitian ... 40
1. Letak Geografis Ponpes Edi Mancoro ... 40
2. Profil Ponpes Edi Mancoro ... 41
3. Visi, Misi, Tujuan, dan Garis Perjuangan Ponpes Edi Mancoro……….. ... 43
4. Sejarah Ponpes Edi Mancoro ... 45
5. Sarana dan Fasilitas Pesantren ... 48
6. Keadaan Ustadz dan Santri ... 49
7. Pelaksanaan Pendidikan di Pesantren ... 53
B.Data tentang Kewibawaan Pengasuh dan Interaksi Sosial Santri 1. Daftar Nama Responden ……… 58
2. Data Hasil Penyebaran Angket Kewibawaan Pengasuh ... 60
3. Data Rating Scale Interaksi Sosial ... 63
BAB IV :ANALISA DATA A.Analisis Pertama ... 67
B.Analisis Kedua ... 73
C.Analisis Ketiga... 78
BAB V :PENUTUP A.Kesimpulan ... 85
B.Saran ... 86
DAFTAR PUSTAKA
XIV
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Daftar Nama Ustadz dan Ustadzah………. 50
Tabel 2 : Daftar Nama Santri……… 51
Tabel 3 : Kurikulum……….. 54
Tabel 4 : Daftar Nama Responden………. 58
Tabel 5 : Daftar Hasil Angket Kewibawaan Pengasuh ……… 60
Tabel 6 : Hasil Jawaban Rating Scale……….. 63
Tabel 7 :Pengelompokkan Kewibawaan Pengasuh………. 68
Tabel 8 :Pengelompokkan Responden Kewibawaan Pengasuh…….. 68
Tabel 9 : Persentase Kewibawaan Pengasuh………. 71
Tabel 10 : Jawaban Responden tentang Kewibawaan Pengasuh……. 71
Tabel 11 : Data Skor Dan Nominasi Interaksi Sosial Santri……….. 74
Tabel 12 : Frekuensi Persentase Interaksi Sosial Santri………. 77
Tabel 13 : Interaksi Sosial Santri……… 78
Tabel 14 : Tabel persiapan………. 79
Tabel 15 : Tabel frekuensi yang diperoleh………. 82
Tabel 16 : Tabel frekuensi yang diharapkan……….. 83
XV
DAFTAR GAMBAR
XVI
DAFTAR LAMPIRAN
1. Daftar Pustaka
2. Riwayat hidup penulis 3. Nota pembimbing skripsi
4. Surat permohonan izin melakukan penelitian 5. Surat keterangan melakukan penelitian 6. Angket
7. Rating Scale 8. Lembar konsultasi
9. Foto kegiatan pondok pesantren
XVII BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Belajar adalah proses panjang yang terjadi sepanjang hayat. Belajar juga merupakan tahapan perubahan tingkah laku individu yang relatif menetap
sebagai hasil pengalaman dan interaksi lingkunaaagan yang melibatkan proses kognitif (Syah, 2003 dalam Sriyanti dkk, 2012:14). Pendidikan atau usaha mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan investasi bagi kemajuan suatu
bangsa. Indonesia telah melakukan berbagai upaya guna mewujudkannya, usaha tersebut dilakukan melalui jalur pendidikan formal, nonformal maupun
informal baik oleh pemerintah, keluarga maupun masyarakat.
Kualitas dari mutu pendidikan sendiri ditentukan oleh banyak variabel, diantaranya adalah kualitas guru, alat bantu, fasilitas, biaya dan sebagainya.
Beberapa variabel itu biasanya tergabung dalam sumber-sumber pendidikan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Sebagai salah satu lembaga pendidikan nonformal, pondok pesantren dengan segala atributnya memiliki kekhasan tersendiri. Baik kurikulumnya,
peraturannya, sarana-prasarana, serta tenaga pendidik dan kependidikannya. Pengasuh pondok pesantren sebagai pegiat pendidikan nonformal tentu memiliki sifat kewibawaan tersendiri yang berbeda dengan pendidik
pendidikan formal. Pengasuh pondok pesantren merupakan sosok yang begitu kompleks dengan segala peran dan tugasnya. kewibawaan seorang pengasuh
XVIII
masyarakat terhadap pondok dan santrinya. Pengasuh atau disebut juga dengan kiai, dapat dikatakan sebagai tokoh non-formal yang ucapan-ucapan dan
seluruh perilakunya akan dicontoh oleh komunitas di sekitarnya (para santri dan masyarakat), dan juga berfungsi sebagai sosok model dan suri teladan yang baik (uswatun hasanah) tidak saja bagi santri-santrinya yang ada di
pondok pesantren, tetapi juga menjadi teladan dan panutan bagi seluruh komunitas masyarakat di sekitar pesantren (Sa’id, 1999:134).
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang dikenal sejak lama oleh masyarakat. Sebuah pesantren biasanya identik dengan para santri yang selalu
mengenakan peci, bersarung dan membawa kitab ketika akan mengaji, kemudian terpandangnya sosok pengasuh baik dari segi keilmuan maupun kewibawaan dalam memimpin pondok pesantren yang dipimpin.
Pondok Pesantren Edi Mancoro adalah salah satu pondok pesantren yang telah berdiri pada tanggal 25 Desember 1989 dan terletak di wilayah
kabupaten Semarang, tepatnya di Desa Gedangan, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. Letaknya yang berdekatan dengan pusat pemerintahan kota madya Salatiga. Desa Gedangan ini termasuk wilayah yang cukup
potensial secara ekonomis. Menjadikan mahasiswa STAIN mendominasi sebagai santri EM, sebutan untuk Pondok Pesantren Edi Mancoro.
Kebanyakan pula dari para santri yang belajar merupakan santri anyar, yaitu yang sebelumnya belum pernah mondok.
Dengan demikian Pesantren berarti lembaga pendidikan tradisional
sehari-XIX
hari. Di Pondok Pesantren, belajar mengajar berlangsung antara santri dan pengasuh. Santri sebagai seorang yang belajar dan pengasuh sebagai seorang
yang mengajar. Berdasarkan tingkat keilmuan yang dimiliki dan kualitas pribadi yang tertanam dalam diri pengasuh, maka pengasuh harus menjadi pemimpin yang berwibawa di lingkungan Pondok Pesantren pada umumnya.
Seorang pemimpin yang berwibawa, seperti pengasuh memiliki pribadi yang luar biasa, sehingga santrinya percaya, hormat, dan patuh. Salah satu
pemimpin yang berwibawa ialah kesadaran pengikutnya untuk mentaati setiap perintahnya. Pengasuh dipandang sebagai pemimpin yang berwibawa
sehingga ketaatan santri merupakan ciri khas sikap santri terhadap pengasuhnya. Ketaatan santri kepada pengasuh adalah mengharapkan berkah dari pengasuh misalnya, santri akan selalu memandang pengasuh atau gurunya
dalam pengajian sebagai seorang yang mutlak harus dihormati dan dimuliakan, malahan dianggap memiliki kekuatan ghaib yang bisa membawa
keberuntungan atau celaka (Nurcholish, 1997:23). Kekuatan ghaib pada diri pengasuh yang bisa membawa keberuntungan biasa disebut berkah yang artinya kemurahan atau kebagusan dari Allah SWT.
Pengasuh atau lebih sering dikenal dengan istilah kyai merupakan sosok yang paling penting (key person) dan menentukan dalam pengembangan dan
manajemen pondok pesantren. Sehingga seorang pengasuh dituntut mampu atau pandai dalam menerapkan strategi kewibawaannya demi kemajuan pesantren atau lembaga pendidikan yang dipimpinnya. Strategi tindakan
pengasuh pesantren hendaknya berkaitan dengan kurikulum pesantren, pendekatan belajar mengajar, struktur dan proses perencanaan, pemecahan
XX
layanan baik secara individual maupun institusional. Kewibawaan pengasuh yang diharapkan bagi dunia pesantren saat ini adalah kewibawaannya mampu
memegang prinsip nilai lokal, cakap berinteraksi terhadap masyarakat, dan interaksi menghadapi nilai-nilai global .
Untuk mengetahui seberapa jauh kewibawaan pengasuh dan bagaimana
interaksi sosial santri, maka penulis mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Kewibawaan Pengasuh Terhadap Interaksi Sosial Santri Di
Pondok Pesantren Edi Mancoro Desa Gedangan Kab. Semarang Tahun
2014”
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah kewibawaan pengasuh di Pondok Pesantren Edi Mancoro Desa Gedangan Kab. Semarang Tahun 2014?
2. Bagaimanakah interaksi sosial santri di Pondok Pesantren Edi Mancoro Desa Gedangan Kab. Semarang Tahun 2014?
3. Adakah pengaruh kewibawaan pengasuh terhadap interaksi sosial santri di Pondok Pesantren Edi Mancoro Desa Gedangan Kab. Semarang Tahun 2014?
C. TUJUAN PENELITIAN
Konsekuensi logis dari permasalahan pokok maka tujuan penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kewibawaan pengasuh di Pondok Pesantren Edi Mancoro Desa Gedangan Kab. Semarang Tahun 2014.
XXI
3. Untuk mengetahui pengaruh kewibawaan pengasuh terhadap interaksi sosial santri di Pondok Pesantren Edi Mancoro Desa Gedangan Kab.
Semarang Tahun 2014. D. HIPOTESIS PENELITIAN
Hipotesis adalah “jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian
yang kebenarannya harus di uji secara empiris” (Suryabrata, 2003:21 ). Dari pengertian hipotesis diatas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah ada
pengaruh kewibawaan pengasuh terhadap interaksi sosial santri di Pondok Pesantren Edi Mancoro Desa Gedangan Kab. Semarang tahun 2014.
E. MANFAAT PENELITIAN
Dalam penelitian ini terdapat dua manfaat yang penulis paparkan, diantaranya adalah :
1. Secara Teoritik
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi masukan dan pertimbangan bagi keberlangsungan pendidikan keagamaan di masyarakat khususnya bagi
pendidikan akhlak serta memperkaya hasanah ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan Islam.
2. Secara Praktik
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat umum mengenai pengaruh kewibawaan pengasuh dengan
XXII
Hasil penelitian ini di harapkan juga dapat memberikan contoh-contoh atau teladan dan pelajaran yang berharga bagi masyarakat dan khususnya para
penuntut ilmu tentang bagaimana tata aturan dan etika dalam menuntut ilmu dengan baik dan benar serta, sikap dalam berinteraksi sosial.
F. DEFINISI OPERASIONAL
Untuk menghindari kemungkinan terjadi penafsiran yang berbeda dengan maksud utama penulis dalam menggunakan kata pada judul penelitian ini perlu
ada penjelasan beberapa istilah pokok maupun kata yang menjadi variabel penelitian.
1. Kewibawaan Pengasuh
a. Kewibawaan berasal dari kata wibawa yang berarti kekuasaan memberi perintah (yang harus ditaati) (Poerwadarminta, 2006:1366). Sedangkan
yang dimaksud dengan kewibawaan adalah suatu pancaran batin yang dapat menimbulkan pada pihak lain sikap untuk mengakui, menerima, dan
menuruti dengan penuh pengertian atas kekuasaan tersebut (Tirtarahardja, 2005:54).
b. Pengasuh
Pengasuh adalah orang yang mengasuh atau di dalam pesantren disebut dengan kiai. Kiai, maksudnya adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada
seorang ahli agama Islam yang memilki atau menjadi pimpinan pondok pesantren serta mengajar dan mendidik para santrinya (Sugeng, 2012:23).
Dengan demikian yang dimaksudkan dengan kewibawaan pengasuh
dalam penelitian ini adalah pembawaan sikap dan tingkah laku pengasuh yang mengandung suatu kepemimpinan serta penuh daya tarik untuk
XXIII
santrinya sehingga pengasuh tersebut mampu membawa santrinya untuk memahami, menghayati serta melaksanakan ajaran agama Islam.
Untuk mengukur kewibawaan pengasuh dalam penelitian ini, maka ditentukan indikator sebagai berikut:
a. Dapat menjadi teladan
b. Memiliki jiwa kepemimpinan
c. Berpenampilan baik (Tafsir, 1994:82)
d. Memiliki kepribadian yang baik dan professional e. Memiliki sikap empati (Tafsir, 1994:82)
2. Interaksi Sosial Santri
Interaksi yaitu saling berhubungan atau melakukan aksi (Sugeng, 2012:23). Kaitannya dengan penelitian ini adalah interaksi santri dengan
pengasuh, interaksi santri dengan ustadz, interaksi santri dengan sesama santri dan interaksi santri dengan masyarakat.
Sosial mempunyai arti segala sesuatu kepentingan umum (Poerwodarminta, 2006: 1141)
Santri adalah orang yang mendalami agama Islam, beribadat dengan
sungguh-sungguh dan orang yang sholih-sholihah (Sugeng, 2012:23). Dalam penelitian ini maksudnya santri di Pondok Pesantren Edi Mancoro Desa
Gedangan Kab. Semarang tahun 2014.
Jadi, interaksi sosial adalah hubungan sosial santri dengan pengasuh, santri dengan ustadz, santri sesama santri, santri dengan lingkungan di Pondok
Pesantren Edi Mancoro Desa Gedangan Kab. Semarang tahun 2014.
Untuk mengukur interaksi sosial santri dalam penelitian ini, maka
XXIV a. Menghargai pendapat orang lain
b. Tolong- menolong dengan sesama di lingkungan pesantren
c. Sopan santun dalam bergaul terhadap orang lain d. Menjaga kerukunan antar sesama
e. Melaksanakan setiap kegiatan sosial di pesantren (Surakhmad, 1980: 200)
G. METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah ajaran mengenai metode-metode yang
digunakan dalam proses penelitian (Kartono, 1990: 20). Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metodologi yang akan penulis jabarkan seperti di
bawah ini:
1. Pendekatan dan Rancangan Penelitian
Pendekatan ini melakukan penelitian kuantitatif yang bersifat
korelasional, untuk mengetahui hubungan tiap variabel penelitian menggunakan analisis statistik prosentase dan teknik analisisnya
menggunakan rumus statistik Chi Kuadrat untuk mengetahui besarnya pengaruh antar variabel.
2. Lokasi dan Waktu Penelitian
a. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Edi
Mancoro Desa Gedangan Kab. Semarang tahun 2014. Alasan lainnya adalah ketertarikan peneliti terhadap kegiatan dan aktifitas santri yang berkaitan tentang kewibawaan pengasuh dan interaksi sosial santri di
XXV
Waktu penelitian dilaksanaan selama 5 bulan mulai bulan April 2014 sampai penelitian selesai.
3. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian sedangkan
sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang akan diteliti (Arikunto, 1998:109). Berdasarkan pendapat diatas, populasi adalah
seluruh santri di Pondok Pesantren Edi Mancoro Desa Gedangan Kab. Semarang tahun 2014, dalam wilayah penelitian yang nantinya akan
menjadi subjek penelitian. Adapun jumlah seluruh santri adalah 51 orang, dengan rincian santri putra 14 orang dan santri putri 37 orang.
b. Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Penulis akan melakukan penelitian di lapangan, dalam menentukan
sampel sesuai dengan pendapat Suharsimi Arikunto, bahwa subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subjeknya
besar dapat diambil 10-15%, atau 20-25%. Berdasakan petunjuk tersebut, dalam penelitian ini penulis mengambil sampel 51 orang.
Karena populasi santri di Pondok Pesantren Edi Mancoro Desa Gedangan Kab. Semarang tahun 2014 berjumlah kurang dari 100, maka populasi diambil semua yang disebut dengan total sampling (Arikunto,
1998: 117).
XXVI
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian ini baik mengenai kewibawaan pengasuh maupun mengenai interaksi sosial santri,
maka penulis menggunakan metode-metode pengumpulan data sebagai berikut:
a. Kuesioner (Angket)
Angket sering juga disebut kuesioner, yaitu suatu daftar yang berisikan suatu rangkaian pertanyaan mengenai suatu hal atau dalam
suatu bidang (Koentjaraningrat, 1994: 173).
Metode angket dalam penelitian ini digunakan untuk
mendapatkan data tentang kewibawaan pengasuh. b. Metode Dokumentasi
Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang artinya
barang-barang tertulis (Arikunto, 1993 :149). Metode ini digunakan untuk mendapatkan data-data tentang keadaan pesantren dan santri dalam
penelitian ini.
c. Metode Observasi
Merupakan metode dengan jalan pengamatan dan pencatatan
secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki (Hadi, 1982: 136).
Pada metode observasi ini penulis menggunakan metode observasi tidak langsung dengan menggunakan rating scale. Rating scale adalah pencatatan gejala-gejala menurut tingkatannya (Hadi,
1992: 152). Rating scale penulis gunakan untuk mengetahui interaksi sosial santri di Pondok Pesantren Edi Mancoro tahun 2014. Dalam
XXVII
dipercaya untuk menilai santri-santri tersebut. Dari hasil ini peneliti bisa mengetahui sikap santri dalam berinteraksi sosial.
d. Instrumen Penelitian
Instrumen adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data (Arikunto, 1998: 135). Instrumen yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah lembar angket yang digunakan untuk mengetahui pengaruh kewibawaan pengasuh di Pondok
Pesantren Edi Mancoro Desa Gedangan Kab. Semarang tahun 2014. Angket dirancang dalam 15 item pertanyaan ditujukan kepada santri
yang setiap pertanyaan terdiri dari 3 pilihan, yaitu a, b, dan c dengan bobot penilaian a nilai 3, b nilai 2 dan c nilai 1. Angket yang telah dijawab oleh santri kemudian akan dilakukan pengkategorian
kewibawaan pengasuh.
Sedangkan untuk menjaring data interaksi sosial instrumen yang
digunakan yaitu berupa rating scale. Daftar rating scale tersebut terdiri dari 5 item pertanyaan, setiap item pertanyaan terdiri dari 3 pilihan yaitu a, b, dan c dengan bobot penilaian a nilai 3, b nilai 2, dan c nilai
1. Daftar rating scale yang telah dijawab oleh responden yang di percaya di Pondok Pesantren Edi Mancoro kemudian akan dilakukan
pengkategorian interaksi sosial santri. 5. Analisis Data
Dalam mengolah data, penulis menggunakan analisa data kuantitatif,
XXVIII
Dalam menganalisa data pokok penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis persentase dengan rumus:
x 100%
Keterangan:
: Persentase
: Frekuensi
: Banyaknya subjek seluruhnya
Setelah data tersebut diperoleh, kemudian diolah kembali dengan menggunakan analisa statistik Chi Kuadrat dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
FO = frekuensi yang diperoleh
Fh = frekuensi yang diharapkan (Hadi, 2004: 255)
H. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyusun sistematikanya sebagai berikut:
Bab I, pendahuluan yang membahas tentang latarbelakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesis penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.
Bab II, penulis menjabarkan kajian pustaka tentang pengertian kewibawaan, perbedaan antara kewibawaan orang tua dan kewibawaan guru
XXIX
kewibawaan dalam pendidikan, faktor-faktor kewibawaan pada pendidikan, sumber kewibawaan, pengertian interaksi sosial, faktor-faktor yang mendasari
berlangsungnya interaksi sosial, interaksi sosial santri dengan pengasuh, interaksi sosial santri dengan ustadz, interaksi sosial sesama santri, dan interaksi sosial santri dengan lingkungannya.
Bab III, hasil penelitian yang membahas tentang gambaran umum pengaruh kewibawaan pengasuh terhadap interaksi sosial santri, serta
penyajian data gambaran umumnya.
Bab IV, analisis data tentang pengaruh kewibawaan pengasuh terhadap
interaksi sosial santri. Selanjutnya adalah pengujian hipotesis sekaligus pembahasan.
Bab V, penutup berisi tentang kesimpulan dan saran-saran
XXX BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. KEWIBAWAAN PENGASUH
1. Pengertian Kewibawaan
Kewibawaan berasal dari kata wibawa, sedangkan wibawa sendiri berasal dari kata belanda dari arti kata “gezag” asal kata “zeggen” yang artinya “berkata”. Barang siapa yang perkataannya mempunyai kekuatan
mengikat terhadap orang lain berarti mempunyai “kewibawaan” atau gezag
(Russen, 1982: 64).
Kewibawaan atau gezag adalah suatu daya mempengaruhi yang terdapat pada seseorang, sehingga orang lain yang berhadapan dengan dia secara sadar dan suka rela menjadi tunduk dan patuh kepadanya. Jadi barang
siapa yang memiliki kewibawaan, akan dipatuhi secara sadar, dengan tidak terpaksa, dan penuh kesadaran untuk menuruti semua yang dikehendaki oleh
pemilik kewibawaan itu. Jadi, wibawa adalah suatu gejala yang terdapat dalam hubungan antara manusia di mana semua pihak terlibat pada perbuatan-perbuatan bersama dan di mana pada suatu pihak tampak ada
XXXI
dan harus menghormatinya untuk selanjutnya tunduk pada apa yang dikehendakinya.
Sedangkan di dalam bukunya, Tirtarahardja (2000: 54) menyatakan bahwa kewibawaan merupakan sesuatu pancaran batin yang dapat menimbulkan pada pihak lain sikap untuk mengakui, menerima, dan
menuruti dengan penuh pengertian atas kekuasaan.
Menurut Sikun, (1987: 131) menyatakan bahwa sorang guru tidak akan
berwibawa, bila ia sendiri tidak melaksanakan perbuatan yang ia nasihatkan atau ajarkan kepada murid-murid.
Gezag atau kewibawaan itu ada pada orang dewasa, terutama pada orang tua. Dapat kita katakan bahwa kewibawaan yang ada pada orang tua (ayah dan ibu) itu adalah asli. Orang tua dengan langsung mendapat tugas
dari tuhan untuk mendidik anak-anaknya. Orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik anak-anaknya, suatu hak yang tidak dapat dicabut karena
terikat dengan kewajiban. Hak dan kewajiban yang ada pada orang tua itu keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan (Purwanto, 1995: 49).
Wibawa dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk mempengaruhi dan
menguasai orang lain. Wibawa bisa muncul dari dua hal yaitu kharisma dan perfoma. Kharisma adalah keistimewaan yang bersifat pribadi yang
berbentuk daya pikat dan pesona yang dimiliki seseorang untuk membuat orang lain tertarik dan terpengaruh. Sedangkan perfoma yaitu kebiasaan yang lahir dari standar dan plan kerja yang dimiliki guru dan biasanya terwujud
XXXII
Menurut M. J. Langeveld dalam bukunya Tirtarahardja (2000: 55) menyatakan bahwa ada tiga sendi kewibawaan yang harus dibina, yaitu:
a. Kepercayaan
Pendidik harus percaya bahwa dirinya bisa mendidik dan juga harus percaya bahwa peserta didik dapat dididik.
b. Kasih sayang
Kasih sayang mengandung dua makna yakni penyerahan diri kepada
yang disayangi dan pengendalian terhadap yang disayangi. Dengan adanya sifat penyerahan diri maka pada pendidik timbul kesediaan untuk
berkorban yang dalam bentuk konkretnya berupa pengabdian dalam kerja. Pengendalian terhadap yang disayangi dimaksudkan agar peserta didik tidak berbuat sesuatu yang merugikan dirinya.
c. Kemampuan
Kemampuan mendidik dapat dikembangkan melalui beberapa cara,
antara lain pengkajian terhadap ilmu pengetahuan kependidikan. Mengambil manfaat dari pengalaman kerja dan lain-lain.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pentranformasian
(pengoperan) kewibawaan:
1) Untuk dapat mengikuti kewibawaan maka peserta didik harus
mengerti tentang kewibawaan. Hal ini dapat diperoleh dengan perantaraan pergaulan dengan pendidik.
2) Pendidik harus menyadari bahwa ia hanyalah sekadar penghantar
kewibawaan (gezag dragger) dan dirinya bukan kewibawaan itu sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa tujuan pendidikan ialah
XXXIII
menuruti pendidiknya. Oleh karena itu, pendidik secara berangsur-angsur harus melepaskan diri dari ikatannya dengan peserta didik.
Dikatakan mendidik ialah membimbing unuk melepaskan.
Menurut Sikun, (1987: 131) menyatakan bahwa sorang guru tidak akan berwibawa, bila ia sendiri tidak melaksanakan perbuatan yang ia nasihatkan
atau ajarkan kepada murid-murid.
2. Perbedaan antara Kewibawaan Orang Tua dan Kewibawaan Guru atau
Pendidik-Pendidik Lainnya terhadap Anak-anak Didiknya
a. Orang tua (ayah dan ibu) adalah pendidik yang terutama dan yang sudah
semestinya. Merekalah pendidik asli, yang menerima tugas dari kodrat, dari Tuhan untuk mendidik anak-anaknya. Oleh karena itu, sudah semestinya mereka mempunyai kewibawaan terhadap anak-anaknya
(Purwanto, 1995: 49).
Adapun kewibawaan orang tua memiliki dua sifat, antara lain:
1) Kewibawaan pendidikan
Ini berarti bahwa kewibawaan itu orang tua bertujuan memelihara keselamatan anak-anaknya agar mereka dapat hidup terus
dan selanjutnya berkembang jasmani dan rohaninya menjadi manusia dewasa. Perbawa pendidikan itu berakhir jika anak itu sudah menjadi
dewasa. Adapun nasihat-nasihat yang diminta atau diterimanya dari orang tua meskipun orang yang meminta atau menerima nasihat itu sudah dewasa, itu baik juga dan banyak juga yang dituruti. Tetapi, hal
itu hendaknya timbul dari hati yang tulus ikhlas, tidak karena suatu keharusan.
XXXIV
Orang tua merupakan kepala dari suatu keluarga. Tiap-tiap keluarga merupakan “masyarakat kecil”, yang sudah tentu dalam
masyarakat itu harus ada peraturan-peraturan yang harus dipatuhi dan dijalankan. Tiap-tiap anggota keluarga harus patuh kepada peraturan-peraturan yang berlaku dalam keluarga itu. Dengan demikian, orang
tua sebagai kepala keluarga dan dalam hubungan kekeluargaannya mempunyai perbawa terhadap anggota-anggota keluarga.
Kewibawaan keluarga itu bertujuan untuk pemeliharaan dan keselamatan keluarga itu.
b. Kewibawaan guru atau pendidik lainnya. Guru atau pendidik-pendidik lain (yang bukan orang tua) menerima jabatannya sebagai pendidik bukan dari kodrat (dari Tuhan), melainkan dari pemerintah. Ia
ditunjuk, ditetapkan, dan diberi kekuasaan sebagai pendidik oleh negara atau masyarakat. Maka dari itu, kewibawaan yang ada padanya pun
berlainan dengan kewibawaan orang tua.
Guru yang baik tidak hanya dalam arti menyampaikan pengetahuan saja kepada murid, melainkan senantiasa membentuk pribadi anak
(Gordon, 1984: 83).
Sedangkan dalam bukunya, Purwanto (1995: 50) menyatakan bahwa
kewibawaan guru atau pendidik lainnya, yang karena jabatan memiliki dua sifat, antara lain:
1) Kewibawaan pendidikan
Sama halnya kewibawaan pendidikan yang ada pada orang tua, guru atau pendidik karena jabatan atau berkenaan dengan
XXXV
tua untuk mendidik anak-anak. Selain itu, guru atau pendidik karena jabatan menerima kewibawaannya sebagian lagi dari pemerintah yang
mengangkat mereka. Kewibawaan pendidikan yang ada pada guru terbatas oleh banyaknya anak-anak yang diserahkan kepadanya, dan setiap tahun berganti murid.
2) Kewibawaan memerintah
Selain memiliki kewibawaan pendidikan, guru atau pendidik
karena jabatan juga mempunyai kewibawaan memerintah. Mereka telah diberi kekuasaan (gezag) oleh pemerintah atau instansi yang
mengangkat mereka. Kekuasaan tersebut meliputi pimpinan kelas; di sanalah anak-anak telah diserahkan kepadanya. Bagi kepala sekolah kewibawaan ini lebih luas, meliputi pimpinan sekolahnya.
3. Fungsi Kewibawaan dalam Pendidikan
Di dalam bukunya, Purwanto (1995: 51). menyatakan bahwa
satu-satunya pengaruh yang dapat dinamakan pendidikan adalah pengaruh yang menuju ke kedewasaan si anak: untuk menolong si anak menjadi orang yang kelak dapat atau sanggup memenuhi tugas hidupnya dengan berdiri sendiri.
Tidak setiap macam tunduk atau menurut terhadap orang lain (seperti menurut kepada perintah-perintah anak-anak lain) dapat dikatakan “tunduk terhadap wibawa pendidikan”. Dalam hal ini Langeveld menjelaskan:
a. Sikap menurut atau mengikut (volgen), yaitu mengakui kekuasaan orang lain yang lebih besar karena paksaan, takut, jadi bukan tunduk atau
XXXVI
b. Sikap tunduk atau penuh (gehoorzamen), yaitu dengan sadar mengikuti kewibawaan, artinya mengakui hak orang lain untuk memerintah dirinya
dan dirinya merasa terikat untuk memenuhi perintah itu.
Jadi, fungsi wibawa pendidikan yaitu membawa si anak ke arah pertumbuhannya yang kemudian dengan sendirinya mengakui wibawa orang
lain dan mau menjalankannya juga.
Bentuk yang paling sederhana dalam hubungan kewibawaan barulah
timbul bila si anak dapat mengerti bahasa untuk menerima petunjuk-petunjuk tentang apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan oleh
pendidik. Oleh karena itu, pentinglah bagi si orang tua untuk mengucapkan maksudnya dengan tegas dan terang, dengan kata-kata yang sesuai dengan pengertian si anak, apa sebenarnya yang dikehendaki dan diharapkan dari si
ana itu. Jika si orang tua tidak mempergunakan bahasa yang demikian, karena malu atau tidak berani memerintah, hal yang demikian akan
mengakibatkan si anak tidak akan belajar patuh atau tunduk dalam arti kata sebenarnya, dan kelak tidak dapat mengakui wibawa diatas dirinya.
4. Faktor-faktor kewibawaan pada pendidikan, antara lain:
a. Dalam menggunakan kewibawaannya itu hendaklah didasarkan atas perkembangan anak itu sendiri sebagai pribadi. Pendidik hendaklah
mengabdi kepada pertumbuhan anak yang belum selesai perkembangannya. Dengan kebijaksanaan pendidik, hendaklah ana dibawa kearah kesanggupan memakai tenaganya dan pembawaannya yang
XXXVII
mengamati serta memperhatikan dan menyesuaikannya pada perkembangan dan kepribadian masing-masing anak.
b. Pendidik hendaklah memberi kesempatan kepada anak untuk bertindak atas inisiatif sendiri. Kesempatan atau keleluasaan itu hendaknya makin lama makin diperluas, sesuai dengan perkembangan dan bertambahnya
umur anak. Anak harus diberi kesempatan cukup untuk melatih diri bersikap patuh, karena si anak dapat bersikap tidak patuh. Jadi, dengan
wibawa itu hendaklah pendidik berangsur-angsur mengundurkan diri sehingga akhirnya tidak diperlukan lagi. Mendidik anak berarti mendidik
untuk dapat berdiri sendiri.
c. Pendidik hendaknya menjalankan kewajibannya itu atas dasar cinta kepada si anak. Ini berarti bermaksud hendak berbuat sesuatu untuk
kepentingan si anak. Jadi, bukannya memerintah atau melarang untuk kepentingannya sendiri. Cinta itu perlu bagi pekerjaan mendidik. Sebab,
dari cinta atau kasih sayang itulah timbul kesanggupan selalu bersedia berkorban untuk sang anak, selalu memperlihatkan kebahagiaan anak yang sejati.
Oleh karena itu perbawa dalam pendidikan hendaklah jangan hanya didasarkan atas larangan-larangan atau perintah-perintah yang diberikan pada
waktu itu saja, tetapi hendaknya pendidik bersedia memberi waktu si anak, sesuai dengan perkembangan umurnya, untuk dapat memilih apakah perbuatan-perbuatannya melanggar atau tidak terhadap kehendak atau
keinginan pendidik. Wibawa pendidik hendaklah berangsur-angsur berkurang dan akhirnya selesai bila telah tercapai tingkat kedewasaan; yang
XXXVIII
melaksanakan apa yang telah dipercayakan kepada dirinya, dan pula mengakui kewibawaan orang lain yang lebih tinggi.
5. Sumber kewibawaan
a. Sa’ti (kesaktian)
Sa’ti artinya “kekuatan dan daya yang luar biasa atau kekuasaan
untuk dapat melahirkan sesuatu yang luar biasa, juga kekuasaan untuk membuat sesuatu yang ganjil”.
b. Keturunan
Keturunan merupakan dasar kewibawaan tradisional. Seseorang yang berasal dari keluarga yang pernah memimpin dengan baik dianggap memiiki sesuatu “lambang” sebagai dasar kepemimpinannya.
c. Ilmu
Yang dimaksud di sini ialah ilmu yang sifat dan isinya merupakan
suatu kekuatan yang bermanfaat langsung dan dapat menunjang pelaksanaan nilai-nilai agama dan adat. Pola ini dipengaruhi oleh kualitas pengetahuan ulama. Ilmu pengetahuan agama belum tentu menjadi
sumber kewibawaan jika tidak disertai dengan kesucian. Demikian pula ilmu pengetahuan hasil pendidikan modern yang tidak disertai dengan
martabat dan pembawaan diri yang disukai masyarakat serta tidak dapat menunjang pelaksanaan nilai-nilai agama dan adat tidak akan membawa serta kewibawaan bagi pemiliknya.
d. Sifat-sifat kepribadian 1) Adil dan jujur
XXXIX 3) Dermawan
4) Ramah tamah (Jacuba, 1980: 17)
B. INTERAKSI SOSIAL SANTRI
1. Pengertian Interaksi Sosial
Di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah SWT menciptakan
manusia dengan keberagamaan serta suku-suku dalam rangka saling kenal mengenal satu sama lainnya. Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak
akan terlepas dari sebuah keadaan yang bernama interaksi. Interaksi sosial, yaitu “Interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua individu atau lebih,
dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya.”
Interaksi sosial didahului oleh suatu kontak sosial, halmana kemudian
memungkinkan interaksi tadi karena adanya komunikasi. Faktor penentu dalam interaksi sosial, antara lain:
a. Penggunaan lambang b. Pemberian arti
c. Nilai-nilai individu dan kelompok
d. Tujuan penggunaan lambang (Susanto, 1977: 42)
Dengan demikian, interaksi sangat ditentukan oleh nilai dan arti yang
diberikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi, khususnya nilai dan arti yang diberikan kepada lambang-lambang yang dipergunakan.
Melalui hubungan antar-manusia di dalam kelompok atau masyarakat,
maka:
XL
2) Interaksi sosial mencerminkan dan menjelaskan bagaimana situasi dari setiap pihak yang terlibat dalam interaksi
3) Interaksi sosial menjelaskan bagaimana peranan dan bagian yang diperankan oleh setiap anggota dalam kelompoknya (Susanto, 1977: 44).
Berdasarkan derajat pengertian antar anggota kelompok, maka terbentuklah
dengan sendirinya struktur sosial kelompok yang akhirnya akan menentukan lebih lanjut bagaimana corak kelangsungan hidup dari kelompok itu pula.
Interaksi adalah akibat dari proses komunikasi, yaitu: proses pengaruh-mempengaruhi dalam masyarakat, dengan akibat terjadinya
perubahan-perubahan dalam masyarakat ataupun proses sosial. Hasil penelitian, John Thibaut dan Harold Kelley menyatakan bahwa interaksi dapat berlangsung karena orang mengharapkan keuntungan ataupun “reward” daripada
komunikasinya. Interaksi juga akan berlangsung selama pihak-pihak yang bersangkutan menginginkan atau merasa ada keuntungan yang bisa
didapatnya dari kelangsungan komunikasi dengan pihak lain.
Sedangkan di dalam bukunya, Susanto (1977: 44) hasil penelitian Bales dan Strodtbeck menyatakan bahwa sistem interaksi tidak tergantung
dari ras, tetapi dari pola masyarakat dan yang menang dominan dalam interaksi adalah bukan pria ataupun wanita tetapi orang yang paling giat
dalam mengadakan komunikasi.
2. Faktor-faktor yang mendasari Berlangsungnya Interaksi Sosial
Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi berlangsungnya
XLI
Faktor ini dikemukakan oleh Gabriel Tarde yang beranggapan bahwa seluruh individu itu sebenarnya berdasarkan pada faktor imitasi
saja (Walgito, 1978: 66).
“Menurut Tarde, masyarakat itu tiada lain dari pengelompokan manusia dimana individu-individu yang satu mengimitasi dari yang lain dan sebaliknya; bahkan masyarakat baru menjadi masyarakat itu baru menjadi masyarakat sebenarnya apabila manusia mulai mengimitasi kegiatan manusia lainnya. Kata Tarde: Ia Sociate e’est I’mitation” (Walgito, 1978: 67)
Pendapat Tarde dalam hal ini bukan satu-satunya faktor yang mendasari interaksi sosial. Imitasi tidak dapat berlangsung dengan baik
apabila tidak ada faktor yang lain ikut berperan, sehingga seseorang tersebut dapat melakukan imitasi. Dengan demikian untuk mengimitasi
sesuatu perlu adanya sikap menerima dan sikap mengagumi.
Di lain sisi juga bahwa faktor imitasi mempunyai peranan dalam interaksi sosial, misal dalam perkembangan bahasa yang berlaku adalah
faktor imitasi karena apa yang diucapkan oleh anak adalah dari mengimitasi dari keadaan sekelilingnya.
b. Faktor Sugesti
Yang dimaksud dengan sugesti ialah pengaruh psikis, baik yang
datang dengan sendiri maupun dari orang lain, yang pada umumnya di terima tanpa adanya kritik dari individu yang bersangkutan.
Kemudian dalam psikologi, sugesti dibedakan karena adanya:
1) Auto-sugesti, yaitu sugesti terhadap diri yang datang dari dirinya sendiri.
XLII
Dalam kehidupan sehari-hari auto-sugesti maupun hetero-sugesti memegang peranan sangat penting, tetapi peranan hetero-sugesti akan
lebih menonjol daripada auto-sugesti.
Makna sugesti dan imitasi dalam kaitannya dengan interaksi sosial tidak jauh berbeda, pada imitasi individu yang satu mengikuti atau
meniru dari salah satu individu tersebut, kemudian sugesti individu memberikan anjuran atau sikap dari diri individu tersebut kemudian
diterima oleh individu lainnya.
Dalam ilmu jiwa sosial sugesti dirumuskan sebagai suatu proses
dimana individu menerima suatu cara penglihatan, atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu. Sugesti akan mudah diterima bila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a) Sugesti karena hambatan berfikir
Telah dijelaskan bahwa sugesti ialah menerima sesuatu tanpa adanya kritik terlebih dahulu, jadi sugesti akan lebih sangat mudah diterima ketika individu tersebut dalam keadaan daya berpikirnya
lemah. Karena seseorang yang daya pikirnya tajam maka akan sulit untuk menerima sugesti orang lain.
b) Sugesti karena keadaan pikiran terpecah belah (dissosiasi)
Individu ketika pikirannya dalam keadaan terpecah belah (dissosiasi), maka seseorang yang memberikan sugesti lebih mudah
XLIII
kebingungan, orang akan mencari pegangan untuk mengakhiri rasa kebingungannya tersebut.
c) Sugesti karena mayoritas
Karena seseorang memberikan sugesti kepada orang lain dan sugesti tersebut telah mendapatkan dukungan dari orang yang
banyak maka orang yang minoritas akan menerima atau mengikutinya.
d) Sugesti minoritas
Dalam hal ini minoritas diartikan sebagai orang yang
benar-benar paham dalam bidangnya, jadi ketika ia memberikan ajakan atau dorongan dalam hal ini orang lain mempunyai kecenderungan akan mudah menerima sugesti.
c. Faktor Identifikasi
Identifikasi dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi
identik (sama) dengan orang lain, baik secara lahiriyah maupun secara batiniyah. Sehubungan identifikasi ini Freud menjelaskan bagaimana anak mempelajari norma-norma sosial dari orangtuanya.
Dapat ditempuh dengan cara sebagai berikut :
1) Anak mempelajari dan menerima norma-norma sosial itu karena
orangtua dengan sengaja mendidiknya.
2) Kesadaran akan norma-norma sosial juga dapat diperoleh anak dengan jalan identifikasi, yaitu anak mengidentifikasi diri pada
orangtua. Baik ibu atau ayah.
Dari dua cara untuk mempelajari norma-norma tersebut, peran
XLIV
mendidik anak-anaknya. Karena anak akan mengidentifikasi semua tingkah laku orangtuanya, baik itu norma-norma, sikap-sikapnya ataupun
segi-segi yang lain. Sebagai anak ia selalu mencari tempat identifikasi yang menurutnya lebih ideal bagi yang bersangkutan.
d. Faktor Simpati
Simpati adalah perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang lain. Jadi dengan didasari simpati dengan orang lain maka
keberlangsungan interaksi sosial akan lebih mudah diterima. Oleh karena simpati merupakan perasaan, maka simpati timbul tidak dasar logis
rasional, melainkan atas dasar perasaan dan emosi. Karena perasaan tertarik kepada orang lain yang timbulnya secara tiba-tiba tanpa disadari dan seakan-akan berlangsung dengan sendirinya, karena apa sebabnya ia
dapat tertarik kepada orang lain tidak dapat memberikan penjelasan yang rasional (Walgito, 1978: 73).
3. Interaksi Sosial Santri
a. Interaksi Sosial Santri dengan Kiai atau Pengasuh
Interaksi sosial santri dengan kiai atau pengasuh merupakan sebuah
keharusan. Santri sebagai pihak yang mencari ilmu, sedangkan kiai atau pengasuh sebagai pihak yang memberi dan mengajarkan ilmu. Sebagai
orang yang mencari ilmu, santri harus mematuhi berbagai norma, aturan, tata nilai yang ada di pesantren; baik norma-norma yang tertulis maupun tidak tertulis sehingga diharapkan terjadi interaksi sosial yang baik dan
harmonis.
Hubungan harmonis yang terjalin dalam interaksi sosial santri
XLV
atau pengasuh merupakan orang tua kedua setelah orangtua yang melahirkan, sehingga pola interaksi yang terjalin diantara keduanya
merupakan pola interaksi yang mendidik; mendidik bagaimana seorang santri harus berperilaku yang baik kepada kiai atau pengasuh, menghormati dan men-ta’dzim-kannya.
Ada berbagai bentuk atau pola interaksi yang terjalin diantara santri dengan kiai atau pengasuh. Diantara pola interaksi yang terjalin antara
santri dengan kiai atau pengasuh adalah sebagai berikut: 1) Interaksi personal (individual)
Pola hubungan secara khusus antara santri dengan kiai atau pengasuh dapat berbentuk pemanggilan-pemanggilan dan atas keinginan (kepentingan) santri sendiri. Dalam interaksi ini, santri yang
dipanggil kiai atau pengasuh untuk menghadap adakalanya karena santri dibutuhkan kiai atau pengasuh, santri memiliki masalah, dan
adakalanya juga karena santri ingin mendapatkan restu dari kiai atau pengasuh.
2) Kolektif (kelompok)
Pola hubungan yang terjadi antara santri dengan kiai atau pengasuh tidak hanya terjalin atas hubungan santri dengan kiai atau
pengasuhnya sebagaiman di pesantren salaf; hubungan mereka sudah lebih mengarah pada hubungan yang bersifat rasional-ilmiah artinya ketika ada ketidak-sesuaian dengan pendapat atau pandangan, para
santri berani mengajukan berbagai argumentasi yang logis.
Dalam prakteknya, ketika seorang santri atau siapapun yang
XLVI
menemui di rumahnya, tanpa ada sistem asisten atau perantara. Kalaupun ada perantara, lebih dikarenakan untuk bertanya atau
mengetahui bahwa kiai atau pengasuh ada di tempat atau tidak. Artinya ketika seseorang ingin bertemu dengan kiai atau pengasuh dan pada saat bertamu ada anak kiai atau isterinya, maka mereka bertanya
apakah kiai ada atau tidak, bisa bertemu dengan kiai atau tidak. Jadi mereka yang ingin bertemu dengan kiai atau pengasuh bisa langsung,
tanpa ada perantara. Secara umum, hubungan interaksi sosial diantara santri dengan kiai atau pengasuh berada pada batasan-batasan yang
wajar dan batas-batas demokratis-etis.
Berdasarkan berbagai interaksi sosial yang terjadi antara santri dengan kiai, tampak bahwa dalam kenyataannya kiai memiliki perhatian
yang cukup besar terhadap mereka. Perhatian itu tidak hanya terbatas pada aspek psikis (perasaan, pemecahan atas permasalahan yang dihadapi) saja,
tetapi juga aspek fisik material. Artinya kiai juga memberikan bantuan kepada santri khususnya, yang mempunyai masalah dalam hal ekonomi dirinya atau keluarganya. Bahkan perhatian kiai juga cukup besar pada
proses pembelajaran atau pendidikan, baik pendidikan yang diselenggarakan di pesantren maupun di lembaga lain.
Motivasi yang diberikan kiai kepada santri tidak hanya dalam bentuk bagaimana cara pengaturan waktu belajar, kemampuan apa yang dimiliki setelah santri lulus, tetapi juga dalam bentuk tukar pengalaman,
kiai menceritakan pengalaman-pengalamannya kepada para santri, dan pemberian motivasi-motivasi ini secara lebih khusus dilakukan saat
XLVII b. Interaksi Sosial Santri dengan Ustadz
Interaksi sosial antara santri dengan ustadz merupakan suatu
keniscayaan yang harus terjadi, karena keduanya selalu dan lebih sering bertemu. Selain itu juga karena mereka berada di suatu lembaga yang sama; santri sebagai orang yang belajar, dan ustadz sebagai orang yang
memberikan atau menyampaikan ilmu pengetahuan. Secara langsung maupun tidak langsung hubungan diantara keduanya terjalin atas berbagai
hak dan kewajiban yang ada, terjalin akrab, dan bahkan khusus bagi ustadz yang masih muda, hubungan diantara mereka hampir seperti teman
sendiri.
Interaksi sosial yang terjalin antara santri dengan ustadz ini tidak bisa dipisahkan dengan beberapa hal yang melingkupinya, misalnya
adanya kepentingan dari santri, atau santri diminta atau dipanggil oleh ustadz, terkait dengan proses pembelajaran, dan lain sebagainya. Pada
prosesnya, interaksi itu juga tidak dipisahkan dengan masalah yang dibicarakan antara santri dengan ustadz. Misalnya masalah pembelajaran, masalah pekerjaan keluarga, bahkan masalah pribadi.
Dalam proses interaksi ini, ustadz tidak meninggalkan keberadaan salah satu fungsinya sebagai motivator. Para ustadz selalu memberi
motivasi kepada para santri, khususnya terkait dengan proses belajar. Bentuk motivasi yang diberikan ustadz kepada santri ini bermacam-macam; ada yang dengan cara memberikan saran, nasehat, ada juga yang
dengan memberikan tantangan-tantangan untuk diselesaikan oleh para santri maupun dengan berbagai cara lainnya, misalnya dengan bercanda
XLVIII
hanya berkaitan dengan proses belajar, tetapi juga terkait dengan masa depan, kemampuan apa yang harus dimiliki santri.
c. Interaksi Sosial Sesama Santri
Interaksi sosial antar sesama santri ini merupakan suatu keniscayaan, karena sesama santri selalu dan sering bertemu, baik waktu
belajar di kelas, di masjid maupun di kamar. Selain itu juga karena mereka berada di suatu lembaga yang sama; santri yang satu sebagai orang yang
belajar, dan santri lainnya juga demikian. Secara langsung maupun tidak langsung hubungan diantara keduanya terjalin atas kesamaan kedudukan
yaitu sama-sama sebagai santri.
Di samping itu, proses interaksi sosial diantara para santri juga terlihat dalam bentuk atau sikap solidaritas. Solidaritas mereka ini
tercermin dalam beberapa sikap, seperti tolong menolong dan saling membantu antar sesama santri. Sikap solidaritas yang ditunjukkan oleh
para santri ada yang bersifat individual dan ada yang bersifat kolektif. Sikap inilah yang pada kenyataannya menambah keharmonisan hubungan yang terjalin diantara mereka.
d. Interaksi Sosial Santri dengan Lingkungan
Sebagaimana interaksi sosial lainnya, keharmonisan hubungan
antara santri dengan lingkungan merupakan suatu keharusan. Santri sebagai individu maupun kelompok yang hidup dan menuntut ilmu di pesantren, tidak bisa memisahkan diri dari lingkungan masyarakat sekitar.
Hal ini dikarenakan keberadaan pesantren tidak bisa dipisahkan dari lingkungan masyarakat dimana pesantren itu berada. Lebih dari itu,
XLIX
ustadz, maupun sesama santri akan banyak berpengaruh terhadap interaksi sosial santri terhadap lingkungan. Oleh karena itu, santri mau tidak mau
harus berinteraksi dengan lingkungan dan menjaga hubungan baik dengan lingkungan tersebut.
Solidaritas sosial yang dilakukan santri dalam berinteraksi dengan
lingkungan tidak hanya dilakukan secara kolektif, tetapi juga secara individual. Bahkan dalam pelaksanaan sistem kontroling santri, juga akan
melibatkan lingkungan. Artinya ketika ada santri yang melakukan pelanggaran, maka sebagai hukumannya adalah melkukan kerja sosial di
lingkungan masyarakat sekitar.
Untuk meningkatkan interaksi antara santri dengan masyarakat dibutuhkan adanya perhatian, sikap saling memperhatikan. Sikap saling
memperhatikan ini tidak hanya sekadar bahwa santri memperhatikan perilaku masyarakat, atau sebaliknya masyarakat memperhatikan perilaku
santri di dalam dan di luar pesantren, tetapi sikap saling memperhatikan ini diharapkan berlanjut dan berimplikasi pada adanya sebuah penilaian. Sebuah penilaian dan penilaian yang diharapkan dapat menambah serta
meningkatkan keharmonisan hubungan antara santri dengan masyarakat. Jadi, dengan demikian dapat dinyatakan bahwa interaksi sosial
antara santri dengan masyarakat berlangsung akrab dan harmonis. Keakraban dan keharmonisan itu tampak dalam berbagai kegiatan, kesempatan dan proses interaksi lainnya (Maunah, 2009: 123-147).
C. Pengaruh Kewibawaan Pengasuh terhadap Interaksi Sosial Santri
Kewibawaan adalah suatu daya mempengaruhi yang menimbulkan pada
L
pengertian atas kekuasaan. Sedangkan pengasuh merupakan orang yang mengasuh pondok pesantren yang menjadi pimpinan dan teladan serta mendidik
santrinya. Jadi, kewibawaan seorang pengasuh berpengaruh sekali terhadap santrinya terutama dalam hal berinteraksi sosial. Karena santri dalam kehidupan sehari-hari ternyata masih ada yang sikap dan tingkah lakunya
kurang sopan terhadap orang lain.
Dengan demikian kewibawaan pengasuh merupakan pembawaan sikap
dan tingkah laku pengasuh yang mengandung suatu kepemimpinan serta penuh daya tarik untuk menguasai, mempengaruhi dan memberikan teladan yang baik
LI BAB III
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi dan Subjek Penelitian
1. Letak Geografis Pondok pesantren Edi Mancoro
Pondok Pesantren Edi Mancoro, terletak di wilayah Kabupaten Semarang, tepatnya di Dusun Bandungan Desa Gedangan Kecamatan Tuntang
Kabupaten Semarang. Walaupun dari luar daerah, pesantren ini lebih akrab dengan Salatiga, karena memang secara geografis lebih dekat dengan pusat
pemerintahan kota madya Salatiga.
Gedangan ini termasuk wilayah yang cukup potensial secara ekonomis karena penghasilan warganya disamping bersumber dari pertanian padi, juga
bersumber dari pertanian kering, cukup terkenal sebagai penghasil buah-buahan misalnya salak, duku, rambutan dan lain-lain.
Pesantren ini berada di wilayah pinggiran kota Salatiga yaitu berada di sebelah baratnya sekitar 4 kilometer. Keadaannya memang tidak terlalu ramai tetapi dekat dengan kota Salatiga. Sehingga merupakan tempat strategis untuk
pendidikan termasuk pendidikan keagamaan pesantren. Jarak yang tidak jauh dari pusat kota Salatiga yang merupakan sentral pendidikan formal, maka
banyak santri yang berminat untuk mendalami ilmu agama di pesantren ini, sebab kebanyakan santri yang menetap adalah para pelajar di pendidikan formal, baik dari kalangan mahasiswa ataupun pelajar bahkan banyak juga
LII
yang demikian sudah barang tentu mempengaruhi proses belajar di pesantren ini, lebih jelasnya bisa dilihat dalam pendidikan dan pengajaran pesantren.
2. Profil Pondok Pesantren Edi Mancoro
Pondok Pesantren Edi Mancoro merupakan sebuah institusi pendidikan keagamaan, yang juga berusaha membekali santri-santrinya dengan
keterampilan-keterampilan. Sehingga Pondok Pesantren Edi Mancoro terdapat beberapa UPT (Unit Pelaksana Teknis) guna peningkatan sumber daya
santrinya. Adapun secara statistik profil Edi Mancoro adalah sebagai berikut : a. Nama : Pondok Pesantren Edi Mancoro
b. Alamat : Dsn.Bandungan 02/01 Ds.Gedangan, Kec. Tuntang, Kab.Semarang Jawa Tengah 50773
c. Telepon : (0298) 313329/08139239383
d. Email : ppedimancoro@gmail.com
e. Blog : www.ppedimancoro.wordpress.com
f. Pimpinan : KH. Mahfudz Ridwan, Lc g. Ketua Yayasan : Muhammad Hanif SS, M.hum h. Pengasuh Santri Tahfidz : Rosyidah Lc
i. Tahun berdiri : 1989 M/1410 H j. Status Tanah : Wakaf
k. Surat kepemilikan tanah : Wakaf Pondok Pesantren Edi Mancoro l. Luas tanah : 2448 m
m.Status Bangunan : Milik Pondok Pesantren
1) Luas Bangunan : 1365 m 2) Lapangan Olah Raga : 550 m
LIII 4) Dipakai lainnya : 535 m
Lembaga-lembaga Pondok Pesantren Edi Mancoro
a) Organisasi Santri Pondok Pesantren Edi Mancoro b) Koperasi Pondok Pesantren Edi Mancoro
c) Kulliyyatud Dirosah al-Islamiyyah wal Ijtima’iyyah (KDII)
d) Madrasah Tahfidz
e) Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) Al Qiro
SUSUNAN PENGURUS ORGANISASI SANTRI
PONDOK PESANTREN EDI MANCORO
BADAN PEMBINA
Pengasuh : KH.Mahfudz Ridwan,Lc Penasehat : Muhammad Hanif SS, M.hum
BADAN PENGURUS HARIAN
Ketua Umum : Taufiq Ashari
Sekretaris : Nurul Innayah Bendahara : Iis Sholihah Rayon Putra : Akrom Musabbihin
Rayon Putri : Stri Ana Farhana BIRO-BIRO
Biro Pendidikan : Umi Arifah Biro Litbang : Alfiatur Rahmah
Biro PU : Nuruz Zakiyah & M.Sulkhan
UNIT PENGELOLA TEKNIK (UPT)
1. TBB : Chusnul Wardati
LIV 3. Komputer : Tyas Kristiana 4. Pers : Ajeng Virga
5. Bahasa : Indah Safitri
3. Visi, misi, tujuan, dan garis perjuangan Pondok Pesantren Edi Mancoro
a. Visi, dan Misi
Adapun visi menyiapkan santri sebagai pendamping umat yang sesungguhnya. Dan misi Pondok Pesantren Edi Mancoro ini adalah dengan
membentuk santri yang mempunyai wawasan keagamaan mendalam, berwawasan kebangsaan, dan kemasyarakatan dalam konteks
ke-Indonesiaan yang plural. Serta membentuk santri yang peduli dan berkemampuan melakukan pendampingan masyarakat secara luas. Dengan sifat terbuka, non-profit, independen, serta mandiri dalam menentukan
kebijakan dan garis perjuangan sampai saat ini pesantren Edi Mancoro tetap kukuh berdiri mengayomi masyarakat.
b. Tujuan
Tujuan Pondok Pesantren Edi Mancoro adalah untuk membina santri memiliki keilmuan baik keagamaan maupun keilmuan kebangsaan dan
kemasyarakatan. KH. Mahfudz Ridwan, Lc saat acara Hari Lahir Pondok Pesantren Edi Mancoro ke-20 memberikan pengarahan kepada santri agar
santri dapat hidup mandiri dalam segala hal dalam arti secara keorganisasian di berikan secara penuh kepada santri, santri dituntut untuk sadar dalam segala kebutuhan dan kewajiban yang seharusnya di lakukan. Para santri diberitahu bahwa “orang yang pintar adalah orang yang tahu dan
mengerti dengan bahasa isyarat” hal ini menjadi hal yang sangat di
LV
untuk mandiri dalam segala hal, baik itu dalam kehidupannya, pengelolaannya dan sebagainya itu diserahkan oleh santri secara
menyeluruh.
Hal ini dipeluk sepenuhnya oleh para santri dalam hidupnya sendiri dan juga dalam hidupnya sebagai anggota masyarakat pondok pesantren.
Mereka harus sanggup menyelenggarakan sendiri kegiatan-kegiatannya dengan meminta pendapat dari pengasuh. Contohnya dengan Organisasi
Santri Pondok Pesantren Edi Mancoro (PPEM), santri menyelenggarakan sendiri aktivitas seperti kebersihan lingkungan, pengembangan minat dan
bakat santri. Selain itu Pondok Pesantren Edi Mancoro bertujuan membina manusia yang beriman, berilmu dan bertaqwa kepada Allah Swt. Pesantren ini juga membentuk santri sebagai pendamping masyarakat.
c. Garis Perjuangan
Dan untuk melihat sejauh mana kiprah Pesantren Edi Mancoro baik
tingkat lokal maupun nasional, kita dapat melihat dari sejumlah program yang telah disusun dan menjadi misi bersama antara kyai dan para santrinya.
Secara umum untuk meningkatkan pemahaman terhadap keislaman, Pondok Pesantren Edi Mancoro berusaha melakukan program secara
intensif dan berkesinambungan seperti diskusi-diskusi ilmiah, dialog lintas agama, seminar, diklat, kursus-kursus dan lain sebagainya. Sedangkan untuk kontak jaringan, Pesantren Edi Mancoro telah banyak melakukan
kerja sama baik antara pesantren, Perguruan Tinggi, maupun dengan institusi pemerintah atau institusi kemasyarakatan lainnya, seperti depnaker,