Jurnal Tugas Akhir
ANALISIS RESIKO PERAMBATAN RETAK PADA
BOTTOM PLATE FPSO
DENGAN PENDEKATAN
ELASTIC PLASTIC FRACTURE MECHANICS
Yuangga Yanuar R1, Murdjito2, Rudi Walujo3 1
Mahasiswa Teknik Kelautan, 2,3 Staf Pengajar Teknik Kelautan Abstrak:
Retak yang terjadi pada plat dasar (bottom plate) FPSO dapat mengakibatkan kebocoran jika kedalaman retak telah mencapai tebal plat. Tugas akhir ini bertujuan untuk menganalisa faktor intensitas tegangan yang terjadi sehingga diketahui perilaku perambatan retak pada plat dasar FPSO yang berkaitan dengan resiko kegagalannya. Hasil pemodelan global menggunakan software POSEIDON menunjukkan daerah kritis dengan bending moment terbesar terjadi pada daerah midship. Kemudian dilakukan analisa lokal dengan software ANSYS pada area antara Longitudinal Girder 2 dan 3 serta antara Web Frame 75 dan 76. Dari lokasi kritis tersebut, dianalisa laju perambatan retaknya dengan kedalaman retak awal sebesar 0.5 mm dan divariasikan hingga 10 mm. Analisa kepecahan dilakukan berbasis elastis plastis fracture mechanics menggunakan konsep J-Integral dengan mode retak I (opening crack). Analisa menunjukkan semakin dalam retak awal, maka rentang faktor intensitas tegangan (∆K) semakin meningkat mengikuti pola eksponensial. Untuk retak awal 0.5 mm, diperoleh ∆K 0.5497 MPa√m, sedangkan untuk retak terdalam ∆K mencapai 1.5464 MPa√m. Adapun rentang parameter J (∆J) menunjukkan pola peningkatan mengikuti pola polynomial orde 3 dengan nilai 4.27×10-5 MPa.m pada retak awal terkecil hingga 6.26×10-4
MPa.m pada kedalaman retak awal maksimum. Laju perambatan retak awal terkecil sebesar 1.2483×10-15
m/cycle sedangkan pada retak awal terbesar laju perambatan retak meningkat mengikuti pola polynomial orde 3 hingga mencapai laju 3.6988×10-12
m/cycle. Peluang kegagalan struktur bernilai 0.03 pada kedalaman retak terkecil hingga 0.615 pada retak maksimum. Konsekuensi kegagalan berada di tingkat low hingga medium low. Level resiko kegagalan akibat kepecahan di plat dasar adalah low risk hingga medium risk.
Kata kunci: FPSO, EPFM, J-Integral, POSEIDON, Resiko, Retak 1.1 Pendahuluan
Suatu material umumnya tidak ada yang sempurna. Material cacat retak yang terinstal pada suatu struktur apabila dikenai beban siklis akan mengalami perambatan retak, yang nantinya dapat mengakibatkan kegagalan pada struktur. Hal ini juga berlaku pada FPSO yang mengalami beban siklis berupa beban hidrodinamis. Daerah plat alas merupakan lokasi yang rentan terjadi retakan dan cukup sulit dideteksi serta berpotensi mengakbibatkan kebocoran. Untuk itu perlu analisa khusus mengenai perilaku perambatan retak pada plat alas dengan konsep elastis plastis fracture mechanics guna mengetahui resiko yang mungkin ada.
Perhitungan yang dilakukan pada tugas akhir ini meliputi analisa global struktur untuk mendapatkan pressure pada bottom plate. Kemudian dilakukan analisa lokal dengan input pressure dari analisa global. Output analisa lokal digunakan sebagai variabel random dalam menentukan peluang kegagalan bottom plate. Peluang kegagalan struktur dianalisa menggunakan metode montecarlo. Perhitungan dilakukan dengan membuat
model menggunakan bantuan software POSEIDON untuk mendapatkan pressure dan menggunakan ANSYS 9 untuk melakukan analisa fracture mechanics.
Pada masalah ini, hazard yang telah diidentifikasi adalah terjadinya kebocoran pada plat alas (ABS,2003). Sedangkan penentuan frekuensi kegagalan serta konsekuensinya mengikuti moda kegagalan yakni jika kedalam retak sama dengan tebal plat alas.
2. Dasar Teori 2.1. Struktur FPSO
Floating Production Storage and Offloading (FPSO), merupakan struktur terapung berbentuk dasar kapal dan memiliki system penyimpanan serta bongkar muat bersamaan. Didesain untuk menghadap arah angin untuk meminimalisasi gerakan roll dan heave. Pada kondisi lingkungan yang tidak terlalu berbahaya, ditambat dengan spread mooring untuk menghadapi beban dari segala arah. FPSO memiliki area yang luas untuk pengaturan deck pada bagian lambung atas.
Sebagai struktur berbentuk dasar kapal, efek deformasi pada struktur juga berlangsung pada FPSO. Efek deformasi tersebut adalah hogging dan sagging. Pada kondisi Hogging, struktur akan mengalami tension pada deck dan compression pada keel. Sedangkan pada kondisi sagging, tension akan terjadi pada keel dan compression pada deck.
Gambar 2.1. Kondisi Hogging (Barrass, 1999)
Gambar 2.2. Kondisi Sagging (Barrass, 1999)
2.2. Konsep Pembebanan.
Analisa fracture mechanics merupakan bentuk analisa lokal sebuah struktur. Pembebanan yang bekerja pada analisa ini adalah pembebanan lokal yang diperoleh dari hasil analisa global suatu struktur secara keseluruhan. Pada tugas akhir ini,pembebanan global untuk beban lingkungan yang ditinjau adalah beban gelombang pada kondisi Hogging & Sagging
2.2.1 Beban Gelombang
Berdasarkan aturan Germanischer Lloyd, untuk perhitungan beban struktur akibat gelombang dapat menggunakan persamaan berikut:
• Vertical Wave Bending Moment:
Vertical bending moment merupakan penyebab beban akibat gelombang yang paling dominan terhadap struktur terapung. Berdasarkan GL Rules, 2005, perhitungan beban gelombang vertikal menggunakan persamaan berikut:
(2.1) dengan: L panjang kapal, m B lebar kapal, m c0 koefisien gelombang
c1 kondisi hogging atau sagging
c1H 0,19 Cb kondisi hogging
c1S -0,11 (Cb +0,7) kondisi sagging
Cb block coefficient
cL koefisien panjang
cM faktor distribusi, gambar 2.3.
Gambar 2.3. Distribution factor for cM and
influence factor cv (GL Rules, 2005) • Vertical Wave Shear Force
Vertical shear force merupakan penyebab utama tegangan geser pada struktur kapal. Berdasarkan GL Rules, 2005, perhitungan beban dapat digunakan persamaan sebagai berikut:
(2.2) dengan: L panjang kapal, m B lebar kapal, m c0 koefisien gelombang cL koefisien panjang Cb block coefficient
CQ faktor distribusi, gambar 2.4.
Gambar 2.4. Faktor distribusi CQ (GL Rules, 2005)
2.3.Konsep Mekanika Kepecahan
Mekanisme kepecahan diawali oleh adanya retak (crack) pada permukaan. Mekanisme ini merupakan kondisi lokal stress dan strain disekeliling retak yang dipengaruhi oleh parameter global seperti pembebanan, material properties, dan geometri. Pembebanan berulang (siklis) akan menyebabkan crack berkembang dan memicu terjadinya kegagalan pada bagian struktur yang nantinya berakibat pada kegagalan strukur secara keseluruhan.
Teori kepecahan dikembangkan menjadi dua metode. Linier Elastic Fracture Mechanics (LEFM) and Elastic Plastic Fracture Mechanics (EPFM). Konsep LEFM didasarkan pada distribusi tegangan disekitar crack tip. Konsep ini telah digunakan jika diasumsikan area plastis di sekitar crack tip lebih kecil dibanding panjang retak. EPFM dipakai ketika area plastis di sekitar crack tip lebih besar. Dapat disimpulkan bahwa terori kepecahan didasarkan pada kondisi material ketika menerima beban. Sehingga dari kondisi tersebut akan menimbulkan suatu daerah yang mengalami perubahan baik secara permanen atau tidak, yaitu daerah plastic dan daerah elastic.
2.3.1 Retak Awal
Cacat (defect) pada struktur dapat bertindak sebagai awal keretakan. Cacat pada struktur berdasarkan asal terbentuknya dapat dikategorikan menjadi dua kelompok (Aulia,2005):
1. Cacat yang terbentuk selama masa fabrikasi 2. Cacat yang terbentuk selama service struktur 2.3.2 Perambatan retak (crack growth)
Perambatan retak disebabkan oleh mekanisme-mekanisme sebagai berikut (Broek,1989):
a) Fatigue akibat beban siklis
b) Stress corrosion akibat menahan beban yng ada c) Mulur (creep)
d) Hydrogen pada material memicu keretakan e) Liquid metal yang menyebabkan keretakan Perambatan retak dipengaruhi oleh parameter stress
intensity factor (K). Parameter ini menunjukkan adanya perambatan retak akibat medan tegangan dan regangan di sekitar ujung retak. Nilai K tidak tergantung pada jenis material dan koordinat terjadinya crack, melainkan tergantung pada external load ( gaya dari luar), external
geometry, dan bentuk retak (crack geometry). Nilai ini merupakan nilai yang mewakili karakteristik pada retak (stress singularities) (Almar Naess,1987)
2.3.3 Faktor Intensitas Tegangan
Faktor intensitas tegangan merupakan parameter yang mengandung pengertian prinsip keseimbangan energi dan distribusi disekitar ujung retak. Jika faktor intensitas tegangan (K) mencapai faktor intensitas tegangan ambang (K treshold), maka retak mulai menjalar, dan kegagalan struktur terjadi jika harga (K) telah mencapai harga kritis material (Kic) yang disebut fracture
thougness. Dimana dalam banyak literatur fracture thougness diasumsikan sebagai konstanta dari material
sebagai representatif ketahanan material terhadap laju pertambahan retak.
2.3.4. J-Integral
J-Integral merupakan kontur di keliling wilayah ujung retak. Konsep utamanya adalah kesetimbangan energy antara energy regangan yang tersimpan (e) dan usaha yang bekerja oleh gaya eksternal (w) menjelaskan energy yang tersedia untuk pertumbuhan retak.
Pengukuran medan tegangan dan regangan rata-rata yang terjadi di sekitar ujung retak pada perilaku elastis-plastis, disimbolkan dengan J. Hubungan J dengan KI
dapat dilihat pada persamaan :
Dengan E’ = E untuk plane stress dan E’ = E / ( 1 – v2 ) untuk plain strain. E adalah modulus Young dan v adalah
poisson ratio
2.3.5. Konsep Elliptical Surface Crack
Tegangan lokal yang sering digunakan dalam analisa ini (mode I) adalah searah sumbu lokal y(σy). Nilai
tegangan mencapai maksimum saat Ѳ = 0. Untuk
embedded elliptical crack, nilai f(g) telah ditentukan sehingga persamaannya : 4 / 1 2 2 2 2 0 cos sin . + = β β θ π σ c a a
K
I (2.3) KI adalah nilai stress intensity factor untuk titik titikyang berada pada keliling retak, yang lokasinya didefinisikan dengan sudut β dan ө0 adalah integral
elliptis θ θ θ π d c a c 2 / 1 2 / 0 2 2 2 2 0
∫
1 sin − − = (2.4) Nilai stress intensity factor untuk embedded ellipticalcrack mencapai maksimum saat β = π/2, sehingga persamaan 2.3 menjadi :
Q a KI =
σ
π
(2.5)
Q adalah elliptis integral pada persamaan 2.5, merupakan parameter bentuk yang nilainya tergantung pada nilai a dan c terhadap σ/σys.
Gambar 2.4 Grafik pengaruh a/2c dan σ/σys pada
parameter Q (Barsom,1987) 2.3.6. Crack Propagation
Paris Law memberikan persamaan perambatan retak (Anderson, 1994):
∆
(2.6)
Dimana C dan m merupakan koefisien Paris dan eksponensial. C dan m ditentukan dengan eksperimen yang merupakan konstanta material. Pada tugas akhir ini nilai C=6.9.10-3 dan m=3 (Mardiko, 2008)
Parameter yang paling penting adalah stress range dan mean stress. Stress range adalah selisih rata-rata tegangan maksimum dan minimun dan mean stress merupakan tegangan rata-rata. Pengaruh mean stress pada perambatan retak fatigue direpresentasikan dengan parameter ratio beban (R) yaitu sama dengan Pmin/Pmaks.
Adanya mean stress menyebabkan perlunya menambahkan faktor koreksi terhadap Persamaan 2.6. Sehingga menjadi (Barsom, 1987)
(2.7) 2.4. Konsep Analisis Resiko
Analisa resiko adalah metode yang sistematis untuk menentukan apakah suatu kegiatan mempunyai resiko yang dapat diterima atau tidak. Langkah awal dari analisa resiko adalah mengidentifikasi dari hazard dan efek dari hazard tersebut. Langkah berikutnya adalah menentukan besarnya frequency atau probability dari kejadian, dalam analisa ini digunakan metode Montecarlo. Langkah ketiga adalah menentukan besarnya consequency dari kejadian, karena risk adalah kombinasi dari consequency (CoF) dan probability
(PoF). Kemudian dilakukan evaluasi resiko.
Dari risk awal yang teridentifikasi akan dibandingkan dengan acceptance criteria yang diinginkan, Jika risk sudah di bawah tolerable criteria maka kegiatan dapat dilakukan namun jika masih di atas acceptance criteria maka perlu dilakukan pencegahan/pengurangan resiko sehingga resiko akhir dari kegiatan dapat diterima. 3.PEMODELAN STRUKTUR
3.1 Pemodelan dengan POSEIDON
Poseidon merupakan software yang didesain menghitung bagian-bagian kapal untuk menunjang preliminary design dan proses konstruksi LAMBUNG. Untuk memulai pemodelan menggunakan software Poseidon dibutuhkan principal dimensions dari struktur kapal. Berikutnya dilakukan pemodelan hull structure dan detailnya secara global, termasuk stiffeners dan holes. Setelah itu dilakukan pembebanan secara global, beban yang diberikan diantaranya adalah beban compartments, beban statis struktur untuk kondisi still water, serta beban gelombang untuk kondisi hogging dan sagging. Dari hasil running, didapatkan still water bending moment, vertical wave bending moment secara local untuk masing-masing bagian penampang melintang kapal yang ditinjau.
Data struktur:
Tabel 3.1. Data utama tanker
Description Symbol Unit Quantity
Vessel Size Kdwt 30
Displacement Ton 38144
Length Overall LOA m 180
Length Between Perpendicular LPP m 173
Breadth B m 30.5
Depth D m 15.6
Draft Design T m 9
Max Speed in calm water Vo kn 14
Block Coefficient CB 0.8
Data Lingkungan:
Data lingkungan yang digunakan pada pemodelan terbatas. Akibat software yang digunakan trial, software memiliki default pada satu spectra gelombang, yakni North Atlantic.
3.1. 1. Hasil Pemodelan POSEIDON
Output POSEIDON berupa Shear force dan Bending
momentyang dapat dilihat pada Gambar 3.2. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pada daerah midship,
bending moment maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa daerah kritis pada struktur kapal adalah daerah
midship.
Gambar 3.1. Grafik Shear force dan Bending moment
Output tegangan yang dihasilkan POSEIDON merupakan tegangan pada setiap member pada struktur secara longitudinal. Tegangan yang terjadi pada bottom plate ialah input beban untuk pemodelan ANSYS. Secara longitudinal, bottom plate struktur terdiri atas tujuh plat alas horizontal dan simetrinya dan tiga longitudinal girder yang simetri. Setiap plat dan longitudinal girder memiliki tegangan tertentu. Area yang dimodelkan pada ANSYS adalah area antara Longitudinal Girder 2 dan 3 serta antara Web Frame 75 dan 76
Gambar 3.2. Lokasi pemodelan retak analisa lokal
Tegangan terbesar terjadi akibat vertical wave bending moment (MWV) pada kondisi sagging. Tegangan inilah yang diinputkan sebagai beban maksimum pada
pemodelan menggunakan ANSYS. Sedangkan beban minimum diambil dari tegangan akibat vertical still water bending moment (MSW).
Nilai tegangan pada plat C frame 75 yakni, MWV = 73.5 MPa & MSW = 43.4 MPa
3.2 Pemodelan dengan ANSYS 3.2.1. Pemodelan Bottom plate
Bottom plate dimodelkan sepanjang jarak antar Longitudinal Girder serta selebar jarak antar Web Frame. Selain itu stiffner juga dimodelkan.
Data ketebalan plat dapat dilihat pada Tabel 3.2
Tabel 3. 2. Tebal Plat
Plat Alas 12 mm
Plat Longitudinal Girder
12 mm
Plat Web Frame 14 mm
Material yang digunakan adalah ASTM A36. Sifat-sifat material berdasarkan Manual of Steel Construction
a. Tegangan Luluh (σy) = 250 MPa b. Modulus Young (E) = 2.005x1010 kg/m2 c. Shear Modulus (G) = 74.376 kg/m2 d. Poisson’s Ratio = 0.32
e. Mass Density = 7865.7 kg/m3
Retak awal di daerah kritis dengan momen terbesar yakni tengah plat alas antara Longitudinal Girder dan Frame. Retak awal dimodelkan melintang searah sumbu y kapal karena retak akan dibebani oleh beban sagging dimana terjadi tension pada keel sesuai mode I retakan yang ditinjau..
Kedalaman retak divariasikan 1mm, 1.5mm, 2.04mm, 2.5mm, 3.5mm, 5mm, 6.5mm, 8mm, dan 10mm.
3.2.2. Meshing Bottom plate
Elemen yang digunakan untuk meshing model retak 3 dimensi menggunakan elemen Solid 95. Elemen Solid 95 dapat digunakan pada bentuk yang tidak teratur tanpa mengurangi keakuratannya. Ukuran meshing yang dipakai adalah 0.4.
3.2.3. Hasil Pemodelan ANSYS
Hasil pemodelan menunjukkan bahwa tegangan pada daerah retakan lebih besar dan terjadi tegangan terbesar pada ujung retakan (crack tip), seperti terlihat pada Gambar 3.3a dan 3.3b.
Gambar 3.3.a. Hasil Pemodelan crack pada ANSYS
Gambar 3.3.b Distribusi tegangan pada crack tip
3.2.4. Analisa Stress Intensity Factor
Output tegangan tegak lurus arah perambatan retak ANSYS digunakan sebagai input perhitungan KI analitis
menggunakan konsep eliptical crack. Kemudian hasilnya dibandingkan dengan SIF output ANSYS, Perhitungan SIF terdapat pada Tabel 3.3.
kedalaman SIF (∆ K)
retak ∆ K analitis ∆ K ANSYS Error
(m) (MPa√m) (MPa√m) (%) 0.0005 0.5497 0.5669 3.0337 0.001 0.6575 0.6407 2.6115 0.0015 0.7328 0.7351 0.3192 0.00204 0.8335 0.8651 3.6575 0.0025 0.9056 0.9284 2.4577 0.0035 1.1299 1.1304 0.0442 0.005 1.3395 1.3044 2.6903 0.0065 1.4188 1.4261 0.5133 0.008 1.5078 1.4753 2.2013 0.01 1.5464 1.5025 2.9226
Dapat dilihat pada Tabel 3.3, bahwa selisih ∆KI tidak
melebihi 5%, maka ∆KI yang didapatkan dari persamaan
elliptical crack bisa digunakan analisis selanjutnya. Perbedaan nilai KI antara kedua penyelesaian di atas
dikarenakan sensitivitas ukuran meshing element yang dibatasi kapasitas memory computer.
Gambar 3. 4. Grafik ∆KI Terhadap Retak Awal
Gambar 3.4 menunjukkan variasi stress intensity factor ∆KI terhadap retak awal yang bervariasi. Dapat dilihat
pada grafik, bahwa ∆KI bertambah besar seiring dengan
bertambahnya retak awal mengikuti trend
1 MX .003898 36.865 73.726 110.587 147.448 184.309 221.17 258.031 294.893 331.754 JUL 5 2010 06:23:03 NODAL SOLUTION STEP=1 SUB =1 TIME=1 SEQV (AVG) DMX =.039837 SMN =.003898 SMX =331.754 1 MX .003898 36.865 73.726 110.587 147.448 184.309 221.17 258.031 294.893 331.754 JUL 7 2010 05:46:59 NODAL SOLUTION STEP=1 SUB =1 TIME=1 SEQV (AVG) DMX =.039837 SMN =.003898 SMX =331.754 y = 0.000e2.638x R² = 0.956 0 0.002 0.004 0.006 0.008 0.01 0.012 0.0000 0.5000 1.0000 1.5000 2.0000 R e ta k A w a l (m )
eksponensial. ∆KI adalah parameter yang
mempengaruhi laju perambatan retak.
3.2.5. Analisa Perambatan Retak 3.2.6. Perhitungan Parameter J-Integral
Untuk menghitung laju perambatan retak pada material bersifat nonlinier, perlu dilakukan suatu konversi nilai faktor intensitas tegangan menjadi harga J. J diperoleh melalui proses pemodelan melalui ANSYS. Adapun harga J analitis diperoleh dengan konsep pengukuran medan tegangan dan regangan rata-rata yang terjadi di sekitar ujung retak. Hasil perhitungan akan ditampilkan pada table 3.4.
Tabel 3. 4. Perhitungan J-Integral analitis
kedalaman J-Integral
retak ∆J analitis ∆J ANSYS Error (m) (Mpa.m) (Mpa.m) (%) 0.0005 4.27E-05 4.20E-05 1.6183 0.001 8.46E-05 8.55E-05 0.9776 0.0015 1.04E-04 1.05E-04 0.7630 0.00204 1.57E-04 1.59E-04 0.9249 0.0025 1.74E-04 1.72E-04 1.0340 0.0035 2.54E-04 2.52E-04 0.8215 0.005 3.26E-04 3.26E-04 0.0103 0.0065 4.24E-04 4.04E-04 4.9906 0.008 4.62E-04 4.79E-04 3.5322 0.01 6.26E-04 6.03E-04 3.8046 Berdasarkan rasio harga J pada tabel 3.4, bahwa selisih ∆J tidak melebihi 5%, maka ∆J yang didapatkan dari perhitungan analitis bisa digunakan untuk analisa selanjutnya. Perbedaan nilai ∆J antara kedua hasil di atas dimungkinkan karena hasil perhitungan analitis memperhitungkan harga J dari pengukuran medan tegangan dan regangan rata-rata yang terjadi di sekitar ujung retak, sedangkan hasil output ANSYS lebih bergantung node-node yang dijadikan lintasan J Integral.
Gambar 3. 5. Grafik ∆KI Terhadap Retak Awal
Gambar 3.5 menunjukkan variasi selisih harga ∆J terhadap retak awal yang bervariasi. Dapat dilihat pada grafik, bahwa ∆J bertambah besar seiring dengan bertambahnya retak awal mengikuti pola polynomial orde 3.
3.2. 7.Laju Perambatan Retak
Perambatan retak merupakan jumlah siklus dengan retakan awal tertentu sampai dengan ukuran tertentu berikutnya atau hingga terjadi kepecahan. Perambatan retak dipengaruhi oleh besarnya ∆J. Semakin besar ∆J, semakin cepat perambatan yang terjadi.
Kurva perambatan retak terhadap kedalaman retak dapat dilihat pada Gambar 3.6. Kedalaman retak awal adalah 0.0005 meter. Kurva yang terbentuk adalah non linier mengikuti pola polinomial orde 3 sesuai dengan metode
elastic plastic fracture mechanics. Kurva menunjukkan perambatan retak cenderung meningkat.
Gambar 3.6. Perambatan Retak Terhadap Kedalaman Retak y = -2E+07x3+ 27024x2+ 8.616x + 0.000 R² = 0.998 0 0.002 0.004 0.006 0.008 0.01 0.012 0.0000 0.0002 0.0004 0.0006 0.0008 R e ta k A wa l (m ) ∆ J (Mpa.m)
y = 4E-06x3- 1E-08x2+ 8E-11x - 7E-14
R² = 0.999 -5.00E-13 0.00E+00 5.00E-13 1.00E-12 1.50E-12 2.00E-12 2.50E-12 3.00E-12 3.50E-12 4.00E-12 0 0.002 0.004 0.006 0.008 0.01 0.012 P e ra m b a ta n r e ta k , d a /d N (m /c y cl e ) Retak Awal (m)
Perambatan retak juga dipengaruhi oleh retak awal (crack initiation). Semakin dalam retak awal, maka perambatan retak akan semakin besar. Karena perambatan retak dipengaruhi oleh ∆J dan ∆J dipengaruhi oleh retak awal. Bisa diartikan bahwa ketika nilai perambatan retak semakin besar, maka siklus tegangan (N) yang diperlukan untuk mencapai retak kritis akan semakin kecil. Variasi jumlah siklus tegangan dan retak awal dapat dilihat diTabel 3.5 dan Gambar 3.7.
Tabel 3. 5. Jumlah Siklus Tegangan
a0 af da/dN N m m m/cycle cycle 0.0005 0.012 1.2483E-15 9.2126E+12 0.001 0.012 1.0524E-14 1.0453E+12 0.0015 0.012 1.9393E-14 5.4142E+11 0.00204 0.012 6.7561E-14 1.4742E+11 0.0025 0.012 8.5929E-14 1.1056E+11 0.0035 0.012 2.7079E-13 3.1390E+10 0.005 0.012 5.8584E-13 1.1949E+10 0.0065 0.012 1.1116E-12 4.9479E+09 0.008 0.012 1.8539E-12 2.1576E+09 0.01 0.012 3.6988E-12 5.4071E+08
Gambar 3. 7. Jumlah Siklus Tegangan Terhadap Retak Awal
3.2.8. Analisa Resiko Struktur 3.2.8.1. Identifikasi Hazard.
Berdasarkan moda kegagalan yang telah ditentukan sebelumnya, serta mengacu pada Standard ABS 2003 – Risk Evaluations For The Classification of Marine
Related Facilities dan jurnal Lee dkk (2006). maka dapat diketahui hazard yang memungkinkan terjadi adalah retak yang berakibat kebocoran pada plat alas struktur. 3.2.8.2. Perkiraan Frekuensi
Untuk mengetahui frekuensi resiko diperoleh melalui metode menggunakan simulasi Monte Carlo dibantu dengan software minitab untuk menentukan distribusi dari Stress, menentukan parameter-parameter dari distribusi yang digunakan serta mengenerate random variable. Keandalan struktur dihitung berdasarkan design umur operasi 25 tahun. Distribusi stress yang diperoleh dari software minitab menunjukkan hasil distribusi Weibull. Dari hasil iterasi 10000 diperoleh keandalan masing kedalaman retak awal dengan memasukkan random variabel ke dalam persamaan moda kegagalan.
Tabel 3.6. Keandalan Struktur Terhadap Retak
a (m) Keandalan (β) PoF 0.0005 0.967 0.030 0.001 0.909 0.091 0.0015 0.768 0.232 0.00204 0.753 0.247 0.0025 0.582 0.416 0.0035 0.511 0.489 0.005 0.479 0.521 0.0065 0.428 0.572 0.008 0.391 0.609 0.01 0.385 0.615 3.2.8.3 Analisis Konsekuensi
Pada bangunan laut, konsekuensi pada analisis resiko mempertimbangkan tiga kategori, yaitu personnel, lingkungan dan asset (Lee, dkk, 2006). Level konsekuensi terbagi menjadi empat level yaitu minor,
significant, critical dan catatstrophic. Maka konsekuensi dapat diidentifikasi pada Tabel 3.7.
Tabel 3. 7. Konsekuensi
Location Personnel Environment Asset Total
(P) (E) (A) (T)
Plat Alas Minor Significant Critical Significant
y = 628.8x-3.11 R² = 0.988 0.00E+00 2.00E+12 4.00E+12 6.00E+12 8.00E+12 1.00E+13 1.20E+13 1.40E+13 0 0.005 0.01 0.015 Ju m la h s ik lu s (c y cl e ) Retak awal (m)
Parameter konsekuensi di atas dihubungkan dengan laju perambatan retak dan ketebalan plat minimum yang diijinkan oleh code Germanischer Lloyd sebesar t min= 6.5 + 0.02L (mm),sehingga konsekuensi menjadi dua yakni kategori minor (low) untuk retak dengan kedalaman awal hingga ketebalan plat minimum 2.04mm. Kategori significant (medium low) untuk kedalaman retak melebihi ketebalan plat minimum 3.2.8.4 Matriks Resiko
Dari analisis peluang kegagalan dan konsekuensi dibuat matriks resiko dengan ketentuan sebagai berikut:
Tabel 3.8. Kriteria Resiko Kegagalan
PoF Peringkat
0.6000 – 1.000 High 0.3000 – 0.5999 Medium High 0.1000 – 0.2999 Medium Low 0.0000 – 0.0999 Low
Tabel 3.9. Tabulasi Kriteria Resiko
ID
Crack
depth Component Criteria
A 0.0005
PoF 0.030 Low
P1C1
Consequence Low Low
B 0.001
PoF 0.091 Low
P1C1
Consequence Low Low
C 0.0015
PoF 0.232 Medium Low
P2C1
Consequence Low Low
D 0.00204
PoF 0.247 Medium Low
P2C1
Consequence Low Low
E 0.025
PoF 0.416 Medium High
P3C2
Consequence Significant Medium Low
F 0.0035
PoF 0.489 Medium High
P3C2
Consequence Significant Medium Low
G 0.005
PoF 0.521 Medium High
P3C2
Consequence Significant Medium Low
H 0.0065
PoF 0.572 Medium High
P3C2
Consequence Significant Medium Low
I 0.008
PoF 0.609 High
P4C2
Consequence Significant Medium Low
J 0.001
PoF 0.615 High
P4C2
Consequence Significant Medium Low
Berdasarkan table di atas dapat diketahui bahwa resiko semakin meningkat pada setiap kedalaman retak. Pada kedalaman retak 0.5 hingga 2.04 mm memiliki level resiko low. Level resiko meningkat pada level medium pada kedalaman retak 2.5 mm hingga 10 mm. Matrik resikonya ditampilkan pada Gambar 3.8.
Gambar 3.8. Matriks Resiko
Resiko harus diusahakan sekecil mungkin atau dalam zona aman (hijau). Retak awal hingga kedalaman 2.04 mm berada pada zona aman, sehingga resiko retak tersebut masih bisa diterima. Pada retak dengan level resiko medium medium (retak dengan kedalaman 2,5 mm hingga 6,5 mm), hingga medium high (retak dengan kedalaman 8 mm hingga 10 mm), diupayakan agar level resikonya turun.
Mitigasi yang dimungkinkan adalah adalah menurunkan peluang kegagalan system yang berada pada zona medium ke atas, dengan cara melakukan inspeksi berkala sesuai aturan yang berlaku, dalam hal ini jika ditemui plat yang mengalami cacat maupun telah terdegradasi di bawah limit aman sesuai rules / standard, maka harus segera diberi perlakuan khusus, baik berupa penanganan sementara maupun perbaikan.
4.KESIMPULAN DAN SARAN 4.1Kesimpulan
Berdasarkan hasil perhitungan dan analisa yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Harga rentang stress intensity factor (∆K) meningkat bertahap membentuk kurva non linier mengikuti pola eksponensial. Pada
kedalaman retak awal 0.0005 m ∆K bernilai 0.05497 MPa√m, sedangkan pada retak awal terdalam yakni 0.01 m harga ∆K mencapai 1.5464 MPa√m. Adapun harga parameter ∆J juga menunjukkan pola peningkatan dengan nilai 4.27×10-5
MPa.m pada retak awal terkecil hingga 6.26×10-4 MPa.m pada kedalaman retak awal maksimum mengikuti pola polynomial orde 3.
2. Retak awal yang divariasikan dalam analisa ini menunjukkan bahwa semakin dalam retak awal semakin cepat laju perambatan retak. Pada retak awal terkecil yaitu 0.0005 meter memiliki laju perambatan retak 1.2483×10-15
m/cycle sedangkan pada retak terbesar yakni 0.01 m laju perambatan retak meningkat drastis mengikuti pola polynomial orde 3 hingga mencapai laju 3.6988×10-12
m/cycle.
3. Peluang kegagalan struktur bernilai 0.03 pada kedalaman retak awal terkecil hingga mencapai 0.615 pada kedalam retak awal maksimum, termasuk pada level resiko low hingga high, meningkat sesuai pertambahan kedalaman retak. Konsekuensi kegagalan diidentifikasi pada struktur pada bottom plate dengan resiko kegagalan adalah terjadinya kebocoran pada plat alas dan didapatkan hasil konsekuensi kegagalan berada pada tingkat resiko low hingga medium low. Sehingga level resiko kegagalan akibat kepecahan pada bottom plate adalah low risk hingga medium risk.
4.2Saran
Saran untuk penelitian lebih lanjut adalah sebagai berikut:
1. Analisis perambatan retak bottom plate hanya dilakukan pada mode I (opening crack). Untuk itu perlu dilakukan analisa perambatan retak pada mode II maupun mode III, karena retak pada struktur bisa diakibatkan oleh kombinasi ketiga mode pembebanan pada struktur. 2. Analisa perambatan retak dapat dikembangkan
dengan retak asimetris, karena retak dapat terjadi di berbagai lokasi.
3. Analisis lokal perambatan retak dilakukan pada bagian kritis lain pada struktur, misalkan side shell, dan deck.
4. Software yang digunakan merupakan software trial version yang hanya bisa memakai fitur GL rules, sedangkan analisa lebih komperhensif membutuhkan fitur lengkap CSR-OT yang memang di khususkan untuk pemodelan oil tanker yang bisa diperoleh pada POSEIDON full version
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, L. 2009. Analisis Resiko Kelelahan pada Pelat Alas FPSO Dengan Metode Mekanika Kepecahan. Tugas akhir: Jurusan Teknik Kelautan. Almar-Naess, A.Ed,1985 FATIGUE HANDBOOK: Offshore Steel Structure. Trondheim, Norway:Tapir Publisher.
American Bureau of Shipping. 2003. Fatigue Assessment Of Offshore Structure. Houston, USA.
American Bureau of Shipping. 2000. Guidance Notes On: Risk Assessment Aplication For The Marine And Offshore Oil And Gas Industries. Houston, USA.
American Bureau of Shipping. 2003. Risk Evaluations For The Classification of Marine Related Facilities. Houston, USA.
Andersen, M.R. 1998. Fatigue Crack Initiation and Growth in Ship Structure. Thesis Department of Naval Architecht and Offshore Engineering. Denmark: Technical University of Denmark. Anderson, T.L. 1994. Fracture Mechanics: Fundamental
and Application. Boston: CRC Press.
Aulia, S, 2005. Analisa Umur Kelelahan Turbular Joint Tipe T dengan Retak Eliptis pada Chord Menggunakan Metode Elastic Plastic Fracture Mechanics. Tugas akhir: Jurusan Teknik Kelautan. Ayyub, B.M. dan De Souza, G.F.M. 2000. Reliability-Based Methodology for Life Prediction of Ship Structures. Maryland: University of Maryland. Bai, Y. 2003. Marine Structural Design. Oxford: Elsiever. Barsom, J.M. dan Rolfe, S.T. 1987. Fracture and Fatigue
Control in Structures, Application of Fracture Mechanics. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Barrass. 1999. Ship Stability for Mastera and Mates.
Oxford: Elsiever
Broek, D. 1989. Elementary Engineering Fracture Mechanics. USA: Kluwer Academic Publisher.
Germanischer Lloyd. 2005. Rules and Guidelines 2005, part 6 – Offshore Installation. Hamburg, Germany.
Mardiko, FS. 2008. Analisis Pengaruh Surface Crack Pada Pelat Mild Steel dengan Metode Elemen Hingga. Tugas akhir: Jurusan Teknik Perkapalan. Rolfe, S.T. 1975. "Fracture Mechanics, Fracture Criteria
and Fracture Control for Welded Steel Ship Hulls". Prosiding Ship Structure Symposium Oktober.
Rosyid, D.M. 2007. Pengantar Rekayasa Keandalan. Surabaya: Airlangga University Press.
Terpstra, T. et all. 2001. FPSO Design and Conversion: A Designer's Approach,OTC13210.Texas
Wang, F. 2009. Approximate Method to Determine the Model Parameters in a New Crack Growth Rate Model. Marine Structure Journal, Vol 22 :744-757
Zhao, J. 2009. Three Parameter Approach for Elastic-Plastic Stress Field of an Embedded Elliptical Crack. Engineering Fracture Mechanic Journal, Vol 76 :2429-2444