• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

Peta Jalan Pembaruan Hukum

Sumber Daya Alam

Lingkungan Hidup

Presiden Joko Widodo juga berkomitmen untuk melaksanakan perbaikan tata kelola SDA-LH. Hal ini merupakan salah satu bentuk pelaksanaan Nawa Cita atau 9 (sembilan) agenda perubahan untuk Rakyat Indonesia yang tertera dalam agenda keempat yaitu memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Salah satu bentuk pelaksanaan agendanya adalah membangun politik legislasi yang kuat, pemberantasan korupsi, penegakan HAM, perlindungan lingkungan hidup dan reformasi lembaga penegak hukum.

Menindaklanjuti hal tersebut, Kementerian Hukum dan HAM membentuk sebuah Tim Kajian yang ditugaskan untuk menerjemahkan arahan yang tertuang dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam ke dalam prinsip-prinsip dan indikator yang lebih operasional dan melakukan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan pengelolaan SDA-LH dengan merujuk pada prinsip dan indikator tersebut. Dari hasil evaluasi, Tim Kajian ini juga ditugaskan untuk menyusun rekomendasi bagi arah pembaruan peraturan perundang-undangan terkait agraria dan SDA-LH sehingga membantu implementasinya. Namun, mengingat luasnya bidang tersebut, Tim Kajian membatasi ruang lingkup dengan melakukan evaluasi dan memberikan rekomendasi pada tiga isu, yaitu kehutanan (khususnya pengukuhan kawasan hutan), pertanahan (khususnya pemberian Hak Guna Usaha), dan hak dan kewajiban masyarakat termasuk didalamnya Masyarakat Hukum Adat (MHA) di kedua kegiatan tersebut. Ketiga isu ini dipilih karena menjadi bagian dari akar masalah penting bagi persoalan yang menimbulkan konflik sosial dan buruknya pengelolaan SDA-LH khususnya yang berbasis lahan.

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

(2)
(3)

KATA SAMBUTAN

Kelemahan peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup (SDA-LH) menjadi salah satu akar masalah buruknya tata kelola SDA-LH di Indonesia. Peraturan yang tidak jelas pada tataran implementasi, adanya ketidakharmonisan peraturan antar sektor, termasuk juga adanya peraturan di daerah yang inkonsisten, mengakibatkan praktik-praktik pengelolaan SDA-LH yang merusak fungsi lingkungan dan mengakibatkan konflik tenurial. Ketidakadilan akses dalam pengelolaan SDA-LH juga menjadi persoalan hingga mengakibatkan berbagai konflik antara masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat lokal dengan pelaku usaha dan pemerintah. Kelemahan tersebut sudah saatnya untuk segera diatasi melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan.

Perlunya penyempurnaan peraturan perundang-undangan telah ditegaskan dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (TAP MPR IX/2001). TAP MPR tersebut memandatkan untuk dilakukannya pengkajian ulang terhadap peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan SDA-LH dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor. Namun demikian, hingga saat ini cita-cita TAP MPR tersebut belum tercapai. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, Kementerian Hukum dan HAM bersama dengan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP) dan Badan Pengelola REDD+ (sejak masa Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+) menyusun “Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup.” Peta Jalan ini menghasilkan suatu mekanisme pengkajian ulang peraturan perundang-undangan dengan indikator turunan dari prinsip-prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan SDA-LH yang dituangkan dalam TAP MPR. Mekanisme tersebut telah diaplikasikan ke dalam 3 (tiga) isu yang dianggap prioritas dalam upaya perbaikan tata kelola SDA-LH berbasis lahan, yaitu pengukuhan kawasan hutan, perizinan hak guna usaha, serta hak dan kewajiban masyarakat (termasuk masyarakat hukum adat) dalam kedua hal tersebut. Pengkajian ulang peraturan perundang-undangan di ketiga isu tersebut menghasilkan rekomendasi pembaruan peraturan perundang-undangan yang dapat ditemukan

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA

(4)

Upaya pembaruan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksudkan dalam Peta Jalan ini akan mendukung pelaksanaan cita-cita pemerintahan Jokowi-JK sebagaimana tertuang dalam Nawa Cita. Nawa Cita berkeinginan untuk mencapai tata kelola SDA-LH yang bersih, efektif, demokratis, bermartabat dan terpercaya, penguatan perekonomian domestik, serta berdaya guna dalam peningkatan kualitas diri dan penghidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, tindak lanjut dari Peta Jalan ini merupakan hal yang penting untuk segera dilakukan.

Tindak lanjut dari Peta Jalan ini adalah diperlukannya keterlibatan seluruh Kementerian-Lembaga serta Pemerintah Daerah dalam hal; Pertama, implementasi rekomendasi pembaruan peraturan mengenai pengukuhan kawasan hutan, perizinan hak guna usaha, dan hak-kewajiban masyarakat yang terdapat dalam Peta Jalan ini. Kedua, pengkajian ulang peraturan perundang-undangan di seluruh bidang SDA-LH. Mekanisme yang telah tersusun dalam Peta Jalan ini dapat menjadi pedoman dalam pengkajian ulang tersebut. Ketiga, implementasi rekomendasi hasil pengkajian ulang sebagaimana dimaksud dalam poin kedua. Kerja bersama secara sinergis seluruh Kementerian dan Lembaga terkait sangat penting dalam menyukseskan upaya tersebut. Kementerian Hukum dan HAM berdasarkan tugas dan fungsinya, berkomitmen untuk melakukan koordinasi dan supervisi dalam pelaksanaan pengkajian ulang dan pelaksanaan rekomendasi tersebut.

Saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang menyukseskan penyusunan Peta Jalan ini; meliputi para akademisi dan pakar yang membantu penyusunan Peta Jalan ini, Kementerian-Lembaga yang turut berkontribusi, serta segenap elemen masyarakat yang terlibat. Akhir kata, saya berharap Peta Jalan ini menjadi batu pijak dalam realisasi pembaruan peraturan perundang-undangan di sektor SDA-LH hingga tercapai tata kelola SDA-LH yang berkelanjutan dan menyejahterakan masyarakat Indonesia.

(5)

KATA SAMBUTAN

I

DAFTAR ISI

III

DAFTAR ISTILAH

IV

PENDAHULUAN 1

A. LATAR BELAKANG ...1 B. TUJUAN ...2 C. SISTEMATIKA ...3

METODE ANALISIS DAN EVALUASI

5

A. UNIT ANALISIS ...5 B. CARA MEMBACA TABEL PRINSIP, INDIKATOR, DAN PISAU ANALISIS ...15

HASIL ANALISIS BIDANG KEHUTANAN

17

A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ...17 B. DAFTAR PERMASALAHAN ...18 C. TABEL REKOMENDASI...24

HASIL ANALISIS BIDANG PERTANAHAN

27

A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ...27 B. DAFTAR PERMASALAHAN ...28 C. TABEL REKOMENDASI...34

HASIL ANALISIS BIDANG HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT

TERMASUK MASYARAKAT HUKUM ADAT

37

A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ...37 B. DAFTAR PERMASALAHAN ...39 C. TABEL REKOMENDASI...46

REKOMENDASI 49

A. REKOMENDASI PETA JALAN PEMBARUAN HUKUM SDA-LH...49 B. REKOMENDASI PEDOMAN METODE ANALISIS DAN EVALUASI PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN DALAM KERANGKA PENYELARASAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN11 ...60

DAFTAR PUSTAKA

67

(6)

DAFTAR ISTILAH

AMDAL : Analisis Dampak Lingkungan

BPN : Badan Pertanahan Nasional

DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

HAM : Hak Asasi Manusia

HD : Hutan Desa

HK : Hutan Konservasi

HKm : Hutan Kemasyarakatan

HL : Hutan Lindung

HP : Hutan Produksi

HPK : Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi

HPL : Hak Pengelolaan

HPT : Hutan Produksi Terbatas

HTI : Hutan Tanaman Industri

HTR : Hutan Tanaman Rakyat

Illegal Logging : Pembalakan Liar

IGD : Integrasi Informasi Geospasial Dasar

IGT : Informasi Geospasial Tematik

Inpres 2/2013 : Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri

IUPHHK-HA : Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam

IUPHHK-HTR : Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Tanaman Rakyat

Judicial Review : Uji Materiil

K/L : Kementerian dan Lembaga

Keppres 32/1990 : Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung

KLHS : Kajian Lingkungan Hidup Strategis

KPH : Kesatuan Pengelolaan Hutan

Legal Pluralism : Kemajemukan hukum

Legal Uncertainty : Ketidakpastian hukum

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

MK : Mahkamah Konstitusi

MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat

NKB : Nota Kesepahaman Bersama 12 Kementerian/Lembaga

NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia

NSPK : Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria

otda : Otonomi Daerah

PerBer : Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 79 Tahun 2014, PB.3/Menhut-11/2014, 17/PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan

PerDirjen : Peraturan Direktorat Jenderal

PerDirjen 6/2011 : Peraturan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Nomor P.6/VI-KUH/2011 tentang Petunjuk Teknis Penguku-han Kawasan Hutan Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang Tata Ruang

PerMen : Peraturan Menteri

Permenag 5/1999 : Peraturan Menteri Negara/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Permendagri 24/2006 : Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu

Permenhut 44/2011 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2011 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi

Permenhut 25/2014 : P.25/Menhut II/2014 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan

Permenhut 62/2013 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 62/Menhut-II/2013 jo. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan

(7)

Permenhut 51/2013 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 51/Menhut-II/2013 tentang Organisasi Balai Diklat Kehutanan

Permenhut 43/2013 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 43/Menhut–II/2013 tentang Penataan Batas Areal Kerja Izin Pemanfaatan Hutan, Persetujuan Prinsip Penggunaan Kawasan Hutan, Persetujuan Prinsip Pelepasan Kawasan Hutan dan Pen-gelolaan Kawasan Hutan pada Kesatuan PenPen-gelolaan Hutan dan Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus.

Permenhut 7/2011 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P/7/Menhut-II/2011 tentang Pelayanan Informasi Publik

Permendagri 52/2014 : Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Mas-yarakat Hukum Adat

Permenagraria 5/1999 : Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Permenagraria 3/1997 : Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Permenagraria 2/1999 : Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi.

Permenagraria 1/1999 : Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan

PerKaBAN 6/2013 : Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Informasi Publik di Lingkun-gan Badan Pertanahan Nasional.

PerKaBAN 2/2013 : Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah.

PerKaBAN 2/2010 : Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pengaduan Masyarakat

PerKaBAN 1/2010 : Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan.

PerKaBAN 7/2007 : Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksa Tanah.

Permenagraria 5/1999 : Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Permendagri 76/2012 : Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.

Permentan 98/2013 : Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/Permentan/Ot.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

Permenhut 47/2010 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.47/Menhut-II/2010 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan.

Permenhut 67/2006 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.67/Menhut-II/2006 tentang Kriteria dan Standar Inventarisasi Hutan.

PermenLH 16/2012 : Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 16 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan.

PermenLH 9/2011 : Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Kajian Lingkungan Hidup Strategis.

PermenLH 6/2011 : Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pelayanan Informasi Publik.

PermenLH 15/2011 : Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah Lingkungan Hidup.

PermenLH 9/2010 : Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 9/2010 tentang Tata Cara Pengaduan dan Penanganan Pengaduan Akibat Dugaan Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan.

Permenhut 67/2006 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.67/Menhut-II/2006 tentang Kriteria dan Standar Inventarisasi Hutan

Permenhut 52/2011 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.52/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Ke-hutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan

Permenhut 31/2014 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.31/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri pada Hutan Produksi

Permenhut 53/2011 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Ke-hutanan Nomor 49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa

Permenhut 44/2012 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan

Perpres 61/2005 : Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Legislasi Nasional

Perpres 40/2014 : Peraturan Presiden Nomor 40/2014 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 71/2012 tentang Penyeleng-garaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Perpres 27/2014 : Peraturan Presiden Nomor 27/2014 tentang Jaringan Informasi Geospasial Nasional.

PP : Peraturan Pemerintah

PP 24/1997 : Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

PP 12/2010 : Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2010 tentang Penelitian dan Pengembangan, serta pendidikan dan Pelatihan Kehutanan.

(8)

PP 3/2008 : Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan

PP 10/2010 : Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan

PP 15/2010 : Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

PP 68/2010 : Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang

PP 96/2012 : Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelayanan Publik

PP 11/2010 : Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar

PP 24/1997 : Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

PP 40/1996 : Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah

PP 27/1999 : Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup

PP 27/2012 : Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan

PP 47/2012 : Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan (TJSL) Perseroan Terbatas

PP 60/2012 : Peraturan Pemerintah Nomor. 60 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10/2010 Ten-tang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan

PP 6/2007 : Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan

PP 9/2014 : Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Informasi Geospasial

RAN HAM : Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia

REDD+ : Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan dan lahan gambut plus

RIA : Regulatory Impact Assessment

RPP : Rancangan Peraturan Pemerintah

RPPLH Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah

RTRWK : Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten

RTRWP : Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi

TGHK : Tata Guna Hutan Kesepakatan

UUD 1945 : Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

UU 5/1960 : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

UU 41/1999 : Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan perubahan setelah Putusan MK No. 35/ PUU-X/2012, Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 Tahun 2011 dan Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 Tahun 2011

UU 12/2001 : Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

UU 38/2014 : Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Perkebunan

UU 19/2004 : Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Kehutanan

UU 23/2014 : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

UU 26/2007 : Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

UU 14/2008 : Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

UU 24/2013 : Undang-Undang Nomor 24/2013 Undang-Undang Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan

UU 2/2012 : Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah

UU 16/2010 : Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2010 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum)

UU 32/2009 : Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH)

UU 25/2009 : Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik)

UU 14/2008 : Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

UU 26/2007 : Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

UU 40/2007 : Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT)

UU 8/1995 : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

UU 6/2012 : Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Desa

UU 4/2014 : Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Informasi Geospasial

UU 2/2012 : Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

UU 8/2011 : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi

(9)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tahun 2001, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (TAP MPR IX) ditetapkan. Sesuai dengan namanya, TAP MPR IX tersebut memberikan arahan tentang pembaruan agraria dan pengelolaan SDA-LH Indonesia pasca reformasi. Secara khusus, di dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) huruf “a” disebutkan bahwa eksekutif dan legislatif untuk melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dan pengelolaan SDA-LH dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar-sektor demi terwujudnya pzeraturan perundang-undangan yang didasarkan pada kedua belas prinsip yang ada dalam Pasal 4 TAP MPR IX.

Sampai saat ini, TAP MPR IX dimaksud belum dilaksanakan secara sistematis sementara berbagai persoalan masih menyelimuti pengelolaan SDA-LH-Lingkungan Hidup (SDA-LH) kita. Pada tahun 2012 saja, tercatat di Kementerian Lingkungan Hidup-Kehutanan (KLHK) Indonesia setidaknya 300 kasus lingkungan hidup seperti kebakaran hutan, pencemaran lingkungan, pelanggaran hukum, dan pertambangan.1 Kasus lingkungan hidup tersebut berkontribusi terhadap lahan dan

hutan yang cenderung menurun (periode 2003 – 2006: 808.754 hektar (0,78 persen); 2006 – 2009: 747.754 hektar (0,74 persen); dan 2009 – 2011: 401.253 hektar (0,41 persen)).2

Kerusakan lingkungan hanyalah salah satu wajah dari pengelolaan SDA-LH yang carut marut, wajah lain yang juga mendominasi adalah konflik sosial dan korupsi dalam pengelolaan SDA-LH yang pada akhirnya juga berdampak terhadap iklim investasi di Indonesia. Pada tahun 2013 konflik sosial terkait dengan lahan tercatat sebanyak 369 konflik dengan luasan mencapai 1.281.660.09 hektar (Ha) dan melibatkan 139.874 Kepala Keluarga (KK).3 Korupsi terkait dengan

SDA-LH khususnya hutan juga makin marak terjadi seperti kasus alih fungsi hutan lindung yang menjerat mantan Bupati Bogor Rachmat Yasin dan kasus alih fungsi lahan kelapa sawit di Riau yang menjerat Gubernur Riau non aktif Anas Mamun. Dalam The Global Competitiveness Report 2012–2013 disebutkan bahwa korupsi menjadi salah satu faktor utama penghambat bisnis dan investasi di Indonesia setelah inefisiensi birokrasi pemerintahan.

Berbagai persoalan tersebut muncul akibat lemahnya tata kelola SDA-LH secara umum termasuk hutan.4 Hutan mendapat perhatian khusus mengingat luas hutan secara administratif mencapai

hampir 60-70% wilayah Indonesia. Berbagai pengelolaan SDA-LH berbasis lahan lain seperti pertambangan dan perkebunan juga cukup terkonsentrasi di dalam dan sekitar kawasan

Mengingat berbagai persoalan tersebut, Pemerintah secara tegas mengagendakan perbaikan tata kelola pengelolaan SDA-LH khususnya di bidang Kehutanan secara menyeluruh. Terdapat dua dokumen kebijakan yang secara tegas memerintahkan hal ini, yaitu Nota Kesepahaman Bersama 1 Olivia Lewi Pramesti, “Potret Lingkungan Indonesia Kian Memprihatinkan”, National Geographic Indonesia, diakses dari

(10)

(NKB) 12 Kementerian/Lembaga tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia. (selanjutnya disebut NKB 12 K/L) dan Inpres No. 6/2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut (selanjutnya disebut Inpres Moratorium). Salah satu poin penting dalam kedua dokumen adalah memerintahkan kembali agar sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan SDA-LH dilakukan secara sistematis mengingat berbagai persoalan tata kelola tidak dapat dilepaskan dari persoalan carut marut di tingkat pengaturannya, sebagaimana telah diidentifikasi dalam TAP MPR IX. Selain kedua dokumen kebijakan tersebut mengingat pengelolaan SDA-LH yang buruk juga berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan lainnya, maka program penyelarasan ini juga menjadi bagian dalam Inpres No. 2/2013 tentang Penanganan Konflik dan Keamanan serta Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM).

Presiden Joko Widodo juga berkomitmen untuk melaksanakan perbaikan tata kelola SDA-LH. Hal ini merupakan salah satu bentuk pelaksanaan Nawa Cita atau 9 (sembilan) agenda perubahan untuk rakyat Indonesia yang tertera dalam agenda keempat yaitu memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Salah satu bentuk pelaksanaan agendanya adalah membangun politik legislasi yang kuat, pemberantasan korupsi, penegakan HAM, perlindungan lingkungan hidup dan reformasi lembaga penegak hukum.

Menindaklanjuti hal tersebut, Kementerian Hukum dan HAM membentuk sebuah Tim Kajian yang ditugaskan untuk menerjemahkan arahan yang tertuang dalam TAP MPR IX ke dalam prinsip-prinsip dan indikator yang lebih operasional dan melakukan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan pengelolaan SDA-LH dengan merujuk pada prinsip dan indikator tersebut. Dari hasil evaluasi, Tim Kajian ini juga ditugaskan untuk menyusun rekomendasi bagi arah pembaruan peraturan perundang-undangan terkait agraria dan SDA-LH sehingga membantu implementasinya. Namun, mengingat luasnya bidang tersebut, Tim Kajian membatasi ruang lingkup dengan melakukan evaluasi dan memberikan rekomendasi pada tiga isu, yaitu kehutanan (khususnya pengukuhan kawasan hutan), pertanahan (khususnya pemberian Hak Guna Usaha (HGU)), dan hak dan kewajiban masyarakat termasuk didalamnya Masyarakat Hukum Adat (MHA) di kedua kegiatan tersebut. Ketiga isu ini dipilih karena menjadi bagian dari akar masalah penting bagi persoalan yang menimbulkan konflik sosial dan buruknya pengelolaan SDA-LH khususnya yang berbasis lahan.

B. Tujuan

Peta Jalan ini pada prinsipnya bertujuan untuk:

1. Memberi pedoman serta menyusun secara sistematis langkah-langkah pengkajian ulang berbagai peraturan perundang-undangan.

2. Menerjemahkan prinsip-prinsip yang terdapat pada TAP MPR IX tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA-LH untuk melakukan pembaruan peraturan perundang-undangan terkait dengan pengukuhan kawasan hutan, pemberian Hak Guna Usaha, serta hak dan kewajiban masyarakat termasuk Masyarakat Hukum Adat (MHA) dalam ketiga kegiatan tersebut.

3. Melakukan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan terkait kehutanan (khususnya pengukuhan kawasan hutan), pertanahan (pemberian Hak Guna Usaha (HGU)) dan hak dan kewajiban masyarakat termasuk MHA di kedua kegiatan tersebut. Dari hasil kajian tersebut, diidentifikasi masalah dan celah hukum yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait ketiga hal tersebut. Berdasarkan hasil evaluasi kemudian disusun rekomendasi arah pembaruan peraturan perundang-undangan yang dapat berupa penyusunan peraturan baru, perubahan atau pencabutan peraturan yang sudah ada.

(11)

C. Sistematika

Laporan kajian ini terdiri dari enam bab yang berisi tentang:

Bab I: Pendahuluan. Bab ini memberikan pengantar kepada pembaca tentang latar belakang

dilaksanakannya penelitian, tujuan penelitian serta sistematika penyajian hasil laporannya.

Bab II: Metode penelitian. Pada bab ini dipaparkan tentang metode yang digunakan dalam

melaksanakan penelitian. Penelitian dilakukan dengan melakukan evaluasi secara normatif terhadap peraturan yang ada pada 3 (tiga) sektor utama yaitu kehutanan, pertanahan dan masyarakat hukum adat.

Bab III, IV dan V merupakan bab yang berisi tentang hasil penelitian. Pada Bab III yang

dipaparkan adalah hasil analisis bidang kehutanan yang fokus pada pengukuhan kawasan hutan, Bab IV tentang hasil analisis bidang pertanahan dengan fokus pemberian HGU dan Bab V tentang hasil analisis terkait hak dan kewajiban masyarakat termasuk MHA dalam kaitannya dengan proses pengukuhan kawasan hutan dan pemberian HGU.

Secara umum hasil analisis berupa identifikasi permasalahan terkait peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya di ketiga bidang tersebut, mulai dari tahap perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan dan penegakan hukum.

Bab VI: Rekomendasi. Pada bab terakhir disampaikan rekomendasi yang terdiri atas 2 (dua)

bagian, yaitu: Pertama, Rekomendasi bagi pengambil kebijakan untuk menyusun, mengubah atau mencabut peraturan perundang-undangan terkait pembaruan agraria dan SDA-LH; Kedua, Pedoman analisis dan evaluasi dalam rangka penyelarasan peraturan peraturan perundang-undangan.

(12)
(13)

METODE ANALISIS

DAN EVALUASI

Kajian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang berbasis pada 2 (dua) sumber data utama, yaitu pendekatan berbasis normatif dengan sumber data yang berasal dari Undang-undang hingga Peraturan di tingkat Kementerian serta merupakan pendekatan berbasis kajian dari para ahli yang telah dilakukan sebelumnya dengan metodologi masing–masing atau dikenal dengan second level data. Titik tolak kajian ini berbasis pada hipotesa bahwa masih lemahnya dan belum selarasnya pengaturan di bidang agraria dan pengelolaan SDA-LH, mulai dari tingkat Undang-Undang hingga peraturan di tingkat Kementerian. Kajian ini mengambil fokus pada tiga bidang yaitu kehutanan khususnya pengukuhan kawasan hutan, pertanahan khususnya pemberian HGU serta hak dan kewajiban masyarakat, khususnya Masyarakat Hukum Adat (MHA).

A. Unit Analisis

Kajian ini pada awalnya memposisikan keberadaan TAP MPR No. IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (TAP MPR IX) sebagai unit analisis dalam rangka menurunkan pada prinsip dan indikator yang tertuang secara eksplisit dalam dokumen tersebut. Adapun prinsip awal tersebut terdiri dari 12 (dua belas) hal yang meliputi :

1. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Menghormati dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

3. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum.

4. Menyejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

5. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat.

6. Mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria dan sumber daya alam.

7. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan dukung lingkungan.

8. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat.

9. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.

(14)

12. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumber daya agraria dan sumber daya alam.

Namun dalam perkembangannya, dilakukan penyesuaian terhadap beberapa hal dalam rangka mengakomodasi analisis antara lain: Pertama, aktualisasi terkait penerapannya agar sesuai dengan dinamika aturan yang ada pada saat ini sehingga menjadi lebih memungkinkan untuk diterapkan. Kedua, menyatukan prinsip yang memiliki kesamaan secara substantif di dalamnya tanpa mengurangi makna yang ada dalam TAP MPR IX. Oleh karena itu, analisis yang dilakukan dan hasilnya disajikan dalam laporan ini bertolak dari lima prinsip, yaitu :

1. Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang secara konseptual merujuk pada pembaruan agraria dan pengelolaan SDA-LH yang terkoordinasi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan antar sektor di tiap tingkatan pemerintahan, sehingga dapat dibangun hubungan dan kerjasama yang saling mendukung, dengan menempatkan kepentingan kelestarian dan keberlanjutan fungsi SDA-LH di atas kepentingan sektoral dan kepentingan nasional di atas kepentingan daerah dan individu.

2. Prinsip Keberlanjutan yang secara konseptual merujuk pada kebijakan pengaturan pengelolaan SDA-LH yang harus mampu menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat SDA-LH bagi negara maupun masyarakat serta bagi generasi sekarang dan mendatang. Pengelolaan tersebut harus dilakukan secara terkoordinasi, berdasarkan ekoregion, mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung, pengendalian produksi, menggunakan prinsip kehati-hatian, melindungi keanekaragaman hayati serta mengedepankan kepentingan umum. 3. Prinsip Keadilan yang secara konseptual merujuk pada kebijakan pengaturan pengelolaan

SDA-LH berkelanjutan agar dapat memenuhi kepentingan generasi sekarang maupun yang akan datang, memenuhi rasa keadilan masyarakat termasuk di dalamnya keadilan dalam alokasi dan distribusi pemanfaatan SDA-LH, memberi pengakuan dan jaminan perlindungan hak MHA setempat serta kemajemukan tatanan hukum mengenai penguasaan dan pemanfaatan SDA-LH yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional, serta penyelesaian konflik secara bijaksana.

4. Prinsip Demokrasi yang secara konseptual mengacu pada kebijakan pengaturan pengelolaan SDA-LH yang harus dilakukan secara transparan dengan memberikan akses informasi kepada masyarakat, partisipatif dengan memberikan ruang bagi masyarakat dan pihak yang berkepentingan untuk dapat turut serta dalam pengambilan keputusan/kebijakan, dan berkeadilan dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan keadilan apabila hak-haknya dilanggar sehingga pengelolaan SDA-LH dapat dilakukan secara bertanggung jawab (akuntabel).

5. Prinsip Kepastian Hukum yang secara konseptual mengacu pada pengaturan pengelolaan SDA-LH yang rinci, jelas dan selaras (tidak bertentangan antar sektor dan antar tingkat pemerintahan)

Dalam rangka memberikan pemaknaan yang lebih operasional, maka masing–masing prinsip ini dijabarkan ke dalam indikator serta pisau analisis di dalamnya. Dalam rangka memberikan kesamaan konseptual serta definisi operasional yang digunakan serta memberikan persamaan persepsi, maka dalam tabel di bawah ini diuraikan makna masing–masing prinsip serta indikator yang digunakan.

(15)

TABEL PRINSIP, INDIKATOR, PISAU ANALISIS

I. PRINSIP NKRI

NO. INDIKATOR PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN)

PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU)

PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU I. TAHAP PERENCANAAN

1 Adanya aturan yang jelas, rinci,

dan selaras tentang pembagian kewenangan dan pedoman hubungan tata kerja antar sektor pembangunan dan antar daerah yang konsisten (tidak bertentangan satu sama lain) dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan SDA-LH. Hubungan dan tata kerja dimaksud harus sejalan dengan kebijakan dan kepentingan nasional.

Pembagian kewenangan serta koordinasi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam proses pengukuhan kawasan hutan.

Pembagian kewenangan serta koordinasi antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah serta instansi terkait proses pemberian Hak Guna Usaha (HGU).

Pembagian kewenangan serta koordinasi antar Pemerintah dan Pemerintah daerah dalam melakukan pengakuan batas-batas wilayah MHA secara demokratis.

2. Adanya aturan yang jelas,

rinci, dan selaras tentang kewajiban bagi Pemerintah untuk menyelesaikan batas administrasi wilayah (untuk menghindarkan konflik antar daerah).

-Catatan:

Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan.

Kewajiban bagi Pemerintah untuk menyelesaikan batas administrasi (untuk menghindarkan konflik antar daerah dan masyarakat).

Mandat penyelesaian batas administrasi wilayah segera, dengan mempertimbangkan hak MHA di dalamnya.

Kewajiban pemerintah untuk menggunakan satu peta dasar dan tematik termasuk peta keberadaan MHA yang menggunakan kriteria yang sama dan dapat diakses oleh Pemda serta K/L terkait di tingkat nasional.

II. TAHAP PEMANFAATAN

1 Adanya aturan yang jelas,

rinci, dan selaras tentang pembatasan keikutsertaan asing serta mengedepankan kepemilikan/keikutsertaan nasional dalam pengelolaan SDA-LH.

-Catatan:

Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan.

Penekanan bahwa hanya WNI dan Badan Hukum Indonesia yang dapat memiliki HGU dan HPL serta terikat pada pengutamaan kepentingan nasional.

-Catatan:

Tidak berlaku dalam perlindungan dan pengakuan MHA

2 Adanya aturan yang jelas,

rinci, dan selaras tentang peningkatan kesempatan dan kemampuan daya olah SDA-LH di dalam negeri demi peningkatan kesejahteraan dan kemandirian bangsa.

-Catatan:

Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan.

-Catatan:

Tidak berlaku dalam proses pemberian HGU.

Kewajiban Pemerintah untuk meningkatkan kemampuan MHA dalam memanfaatkan dan mengolah hasil hutan. Kewajiban Pemerintah dan Pemda untuk mengembangkan atau memfasilitasi pengolahan produk hasil hutan/lahan yang dilakukan oleh masyarakat (termasuk MHA).

3 Adanya aturan yang jelas,

rinci, dan selaras tentang pembatasan kepemilikan dan pengelolaan oleh individu dan korporasi atas SDA-LH.

-Catatan:

Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan.

Pembatasan kepemilikan dan pengelolaan oleh individu dan korporasi atas SDA-LH dalam kepemilikan HGU.

-Catatan:

Tidak berlaku dalam perlindungan dan pengakuan MHA

III. TAHAP PENGAWASAN DAN PENEGAKAN HUKUM

1 Adanya aturan yang jelas,

rinci dan selaras tentang pengawasan dan evaluasi terhadap perencanaan dan pemanfaatan yang mengancam keutuhan negara kesatuan

-Catatan:

Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan.

Pengawasan dan evaluasi terhadap perencanaan dan pemanfaatan HGU dan HPL yang tetap dalam kerangka NKRI.

Pengakuan dan kesempatan bagi masyarakat, termasuk masyarakat lokal, MHA, perempuan dan masyarakat marginal lainnya untuk terlibat dalam pengawasan pelaksanaan: (1) Penyusunan

(16)

NO. INDIKATOR (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN)PISAU ANALISIS KEHUTANAN PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU)

PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU

2 Adanya aturan yang jelas, rinci

dan selaras tentang mekanisme pemberian sanksi terhadap pelanggaran peraturan pada tahap perencanaan dan pemanfaatan kepada pejabat yang bertanggung jawab. Catatan: Indikator ini tidak berlaku untuk MHA

Mekanisme pemberian sanksi bila Pemda dan Pemerintah tidak menyelesaikan pengukuhan kawasan hutan berdasarkan mekanisme dan jangka waktu sesuai peraturan perundang-undangan.

Mekanisme pemberian sanksi terhadap pemda dalam rangka penyusunan instrumen dasar perencanaan dan pemanfaatan lahan, termasuk upaya menyelesaikan HGU yang tumpang tindih dalam kerangka NKRI.

-Catatan:

Tidak berlaku dalam perlindungan dan pengakuan MHA

II. PRINSIP KEBERLANJUTAN

NO INDIKATOR (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN)PISAU ANALISIS KEHUTANAN PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU)

PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU I. TAHAP PERENCANAAN

1 Adanya aturan yang jelas, rinci,

dan selaras yang menjamin pola perencanaan ruang yang terkoordinasi, berdasarkan ekoregion, mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung, pengendalian produksi, kehati-hatian, perlindungan keanekaragaman hayati, dan mengedepankan kepentingan umum. * Prinsip kehati-hatian: jika ada perkiraan bahwa pemanfaatan ruang atau SDA-LH akan berdampak pada pencemaran atau perusakan lingkungan, walaupun belum dapat dibuktikan secara ilmu pengetahuan, maka pemanfaatan tersebut tidak dapat dilanjutkan.

Proses pengukuhan kawasan hutan berdasarkan perencanaan ruang yang sesuai dengan kajian ilmiah, mengedepankan prinsip kehati-hatian, perlindungan hayati dan kepentingan umum.

-Rencana pemanfaatan yang memberikan prioritas kepada kawasan hutan yang terdegradasi dan seminimal mungkin mengkonversi kawasan hutan yang sesuai daya dukung dan daya tampung.

Pola perencanaan ruang yang terkoordinasi, berdasarkan ekoregion, mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung, pengendalian produksi, kehati-hatian, perlindungan keanekaragaman hayati, dan mengedepankan kepentingan umum, termasuk di wilayah MHA.

Mekanisme yang selektif dan ketat terhadap pengajuan HGU oleh pihak swasta, khususnya pemeriksaan dokumen AMDAL.

-Catatan:

Tidak berlaku dalam perlindungan dan pengakuan MHA

2 Adanya aturan yang jelas,

rinci, dan selaras tentang perencanaan anggaran pengelolaan SDA-LH yang berkelanjutan.

Alokasi anggaran yang memadai dalam pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan.

Alokasi pendanaan yang mencukupi untuk melaksanakan penetapan HGU.

Alokasi anggaran yang memadai untuk peningkatan kapasitas MHA, untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan SDA-LH.

II. TAHAP PEMANFAATAN

1 Adanya aturan yang jelas, rinci,

dan selaras yang menjamin pola pemanfaatan ruang dan SDA-LH (pemberian izin) yang sesuai dengan perencanaan (terkoordinasi, berdasarkan ekoregion, mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung, pengendalian produksi, kehati-hatian, perlindungan keanekaragaman hayati, dan mengedepankan kepentingan umum).

- Catatan:

Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan

Memberikan jaminan pemanfaatan lahan yang memperhatikan kepentingan umum serta mekanisme verifikasi, dan mekanisme justifikasi pengelolaan HGU dengan persetujuan masyarakat.

Kewajiban bagi siapa pun, termasuk MHA untuk memanfaatkan SDA-LH sesuai dengan perencanaan ruang yang sesuai dengan RPPLH, KLHS, dan RTRW, termasuk dalam proses pengukuhan kawasan hutan.

Mekanisme/tata cara penerbitan izin yang konsisten (termasuk pengaturan jangka waktu proses penerbitan izin) dan tidak diberikan melebihi batas waktu yang ditentukan.

Kewajiban bagi masyarakat untuk memanfaatkan SDA-LH melalui cara-cara yang tidak merusak ekosistem.

(17)

NO INDIKATOR (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN)PISAU ANALISIS KEHUTANAN PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU) PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU III. TAHAP PENGAWASAN DAN PENEGAKAN HUKUM

1 Adanya aturan yang jelas,

rinci dan selaras tentang pengawasan dan evaluasi terhadap perencanaan dan pemanfaatan dalam konteks keberlanjutan.

Kewajiban bagi aparat untuk melakukan pengawasan pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan.

Kewajiban bagi aparat untuk

melakukan pengawasan.

-Catatan:

Tidak berlaku dalam perlindungan dan pengakuan MHA

Pengawasan dan evaluasi terhadap perencanaan dan pemanfaatan yang berbasis keberlanjutan (menampung dinamika daya dukung dan daya tampung).

Sanksi bilamana terdapat pelanggaran dalam penyusunan kajian ilmiah dalam proses perencanaan ruang dan sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan perencanaan dalam proses pengukuhan kawasan hutan.

Sanksi bagi aparat yang tidak melakukan kewajiban melakukan pengawasan dalam proses penetapan HGU.

2 Adanya aturan yang jelas, rinci,

dan selaras tentang mekanisme pertanggungjawaban pelaku untuk memulihkan dampak.

-Catatan:

Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan.

Mekanisme

pertanggungjawaban pelaku untuk memulihkan dampak, termasuk di dalam mekanisme tersebut: penggunaan prinsip kehati-hatian, mekanisme strict liability, pembuktian terbalik, dan/atau internalisasi eksternalitas, dsb.

Sanksi atau denda bagi masyarakat, termasuk MHA apabila terbukti melakukan perusakan/ pencemaran.

III. PRINSIP KEADILAN

NO INDIKATOR (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN)PISAU ANALISIS KEHUTANAN PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU)

PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU I. TAHAP PERENCANAAN

1 Adanya aturan yang jelas, rinci,

dan selaras tentang jaminan atas kualitas lingkungan hidup dan SDA untuk generasi yang akan yang datang dalam perencanaan pengelolaan SDA (Keadilan Inter dan Intra Generasi).

*Indikator ini berlaku untuk semua bidang SDA-LH.

Batasan minimal kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagai penyanggah kehidupan generasi akan datang.

Perencanaan yang mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung dalam pemberian HGU.

-Catatan:

Tidak berlaku dalam perlindungan dan pengakuan MHA

2 Adanya aturan yang jelas, rinci,

dan selaras tentang Jaminan pengakuan dan perlindungan hukum atas hak ulayat dalam perencanaan pengelolaan SDA.

Kewajiban Pemerintah dan/ atau Pemda untuk melakukan inventarisasi keberadaan hak ulayat yang wilayahnya akan dikukuhkan menjadi kawasan hutan.

Terjaminnya pengakuan hak ulayat dalam proses perencanaan HGU dan HPL.

Jaminan pengakuan dan perlindungan hukum atas hak ulayat, berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan bersama antara Pemerintah (Daerah) dan masyarakat (pemetaan partisipatif). *PerMenAgraria No. 5/1999, Ps 1: Hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari SDA-LH, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari

(18)

NO INDIKATOR (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN)PISAU ANALISIS KEHUTANAN PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU) PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU II. TAHAP PEMANFAATAN

1 Adanya aturan yang jelas, rinci,

dan selaras tentang jaminan atas kualitas lingkungan hidup dan SDA-LH untuk generasi yang akan yang datang dalam pemanfaatan ruang dan SDA-LH (pemberian izin).

-Catatan:

Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan.

Jaminan atas kualitas SDA-LH untuk generasi yang akan yang datang dalam pemanfaatan ruang dan SDA-LH (pemberian izin) sesuai dengan daya dukung dan daya tampung.

Pengakuan hak dan kesempatan bagi MHA untuk terlibat dalam pengelolaan/ pemanfaatan (hasil) hutan dan lahan.

2 Adanya aturan yang jelas, rinci,

dan selaras tentang pengakuan hak masyarakat termasuk masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, perempuan dan masyarakat marginal

lainnya dalampemberian izin

pengelolaan SDA.

-Catatan:

Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan.

Pengakuan hak masyarakat termasuk masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, perempuan dan masyarakat marginal lainnya dalam pemberian HGU dan HPL.

Kewajiban terhadap perusahaan untuk menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan hidup bagi MHA.

Mekanisme/tata cara yang memastikan adanya tanggung jawab sosial dan lingkungan hidup perusahaan.

III. TAHAP PENGAWASAN DAN PENEGAKAN HUKUM

1 Adanya aturan yang jelas, rinci,

dan selaras tentang pengakuan terhadap hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan hukum negara, termasuk mekanisme absorbsi hukum adat oleh hukum negara dalam pengelolaan SDA-LH.

Jaminan pengakuan terhadap penggunaan hukum adat dalam pengelolaan hutan dan lingkungan hidup serta hak atas tanah sepanjang tidak bertentangan dengan hukum negara dan kepentingan nasional.

Jaminan pengakuan terhadap penggunaan hukum adat dalam pengelolaan hutan dan lingkungan hidup serta hak atas tanah sepanjang tidak bertentangan dengan hukum negara dan kepentingan nasional.

Jaminan pengakuan terhadap penggunaan hukum adat dalam pengelolaan hutan dan lingkungan hidup serta hak atas tanah sepanjang tidak bertentangan dengan hukum negara dan kepentingan nasional.

2 Adanya mekanisme

penyelesaian sengketa dalam pengelolaan SDA-LH yang independen dan imparsial.

Mekanisme penyelesaian sengketa yang imparsial, independen, biaya terjangkau, serta jangka waktu yang jelas, memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam memfasilitasi/ memediasi penyelesaian konflik dalam proses pengukuhan kawasan hutan.

Mekanisme penyelesaian sengketa yang imparsial, independen, biaya terjangkau, serta jangka waktu yang jelas, memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam memfasilitasi/ memediasi penyelesaian konflik dalam proses pemberian HGU.

Mekanisme penyelesaian sengketa yang imparsial, independen, biaya terjangkau, serta jangka waktu yang jelas, memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam memfasilitasi/ memediasi penyelesaian konflik dalam proses pengukuhan kawasan hutan dan pemberian HGU.

Kewajiban pemerintah atau pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitas aparat dalam menangani penyelesaian sengketa dalam proses pengukuhan kawasan hutan.

Mekanisme penyelesaian sengketa yang imparsial, independen, biaya terjangkau, serta jangka waktu yang jelas, memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam memfasilitasi/ memediasi penyelesaian konflik dalam proses pemberian HGU.

Kewajiban pemeritah atau pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitas aparat dalam menangani penyelesaian sengketa dalam proses pengukuhan kawasan hutan dan pemberian HGU.

Kewajiban pemerintah untuk memberikan bantuan hukum bagi masyarakat (termasuk MHA).

Kewajiban pemerintah untuk memberikan bantuan hukum bagi masyarakat (termasuk MHA).

Kewajiban pemerintah untuk memberikan bantuan hukum bagi masyarakat (termasuk MHA).

(19)

NO INDIKATOR (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN)PISAU ANALISIS KEHUTANAN PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU) PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU

3 Adanya aturan yang jelas, rinci,

dan selaras tentang jaminan relokasi dan/atau kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak pemanfaatan ruang dan SDA.

Mekanisme/tata cara dan kewajiban pemerintah untuk memberikan jaminan relokasi dan/ atau kompensasi bagi masyarakat yang memiliki hak dan terkena dampak dari pengukuhan kawasan hutan.

Mekanisme/tata cara dan kewajiban pemerintah untuk memberikan jaminan relokasi dan/atau kompensasi bagi masyarakat yang memiliki hak dan terkena dampak dari pemberian HGU.

Mekanisme/tata cara dan kewajiban pemerintah untuk memberikan jaminan relokasi dan/atau kompensasi bagi masyarakat yang memiliki hak dan terkena dampak dari proses pengukuhan kawasan hutan dan pemberian HGU.

Sanksi bagi aparat yang lalai dan/atau dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban dalam memberikan jaminan relokasi ataupun kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak dari pengukuhan kawasan hutan.

Sanksi bagi pihak yang lalai dan/atau dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban dalam memberikan jaminan relokasi ataupun kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak dari pemberian HGU.

Sanksi bagi aparat yang lalai dan/atau dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban dalam memberikan jaminan relokasi ataupun kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak proses pengukuhan kawasan hutan dan pemberian HGU. Sanksi bagi aparat yang lalai

dan/atau dengan sengaja tidak melaksanakan pengawasan terhadap pemberian jaminan relokasi ataupun kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak dari pemberian HGU

IV. PRINSIP DEMOKRASI

NO INDIKATOR (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN)PISAU ANALISIS KEHUTANAN PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU)

PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU

I. TAHAP PERENCANAAN

1 Adanya aturan yang jelas,

rinci, dan selaras tentang akses informasi publik dalam perencanaan pengelolaan SDA-LH.

Mekanisme/tata cara dan kewajiban pemerintah agar masyarakat dapat memperoleh akses informasi dalam proses pengukuhan kawasan hutan.

Mekanisme/tata cara dan kewajiban pemerintah agar masyarakat dapat memperoleh akses informasi atas setiap rencana pemberian HGU secara khusus dan RPPLH, KLHS, RTRW secara umum.

Mekanisme/tata cara dan kewajiban pemerintah agar masyarakat (termasuk MHA) dapat memperoleh akses informasi dalam proses penyusunan dokumen

perencanaan, antara lain: RPPLH, KLHS, RTRW, dan pengukuhan kawasan hutan

2 Adanya aturan yang jelas,

rinci, dan selaras tentang partisipasi masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat, masyarakat local, perempuan dan masyarakat marginal lainnya dalam perencanaan pengelolaan SDA.

Mekanisme/tata cara yang memudahkan masyarakat untuk melakukan partisipasi publik dalam proses penyusunan RPPLH, KLHS, RTRW, dan pengukuhan kawasan hutan (termasuk ruang untuk memberikan masukan dan respon dengan berbagai cara dan waktu yang cukup).

Mekanisme/tata cara yang memudahkan masyarakat untuk melakukan partisipasi publik dalam proses perencanaan areal HGU dan HPL.

Mekanisme/tata cara yang memudahkan masyarakat untuk melakukan partisipasi publik dalam proses penyusunan RPPLH, KLHS, RTRW, dan pengukuhan kawasan hutan (termasuk ruang untuk memberikan masukan dan respon dengan berbagai cara dan waktu yang cukup). Mekanisme/tata cara yang

memudahkan masyarakat untuk melakukan partisipasi publik dalam proses penyusunan RPPLH, KLHS, RTRW (termasuk ruang untuk memberikan masukan dan respon dengan berbagai cara dan waktunya cukup).

Kewajiban bagi pemerintah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses penyusunan RPPLH, KLHS, RTRW dan pengukuhan kawasan hutan.

Kewajiban bagi pemerintah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses penyusunan RPPLH, KLHS, RTRW.

Kewajiban bagi pemerintah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses penyusunan RPPLH, KLHS, RTRW dan pengukuhan kawasan hutan.

(20)

NO INDIKATOR (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN)PISAU ANALISIS KEHUTANAN PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU) PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU

3 Adanya aturan yang jelas,

rinci, dan selaras tentang akses terhadap keadilan apabila akses terhadap informasi publik dan akses partisipasi tidak terpenuhi dan apabila timbul kerugian akibat dilaksanakannya perencanaan.

Mekanisme keberatan/tata cara dan kewajiban pemerintah untuk menyediakan pengaduan yang memudahkan masyarakat untuk memberikan pengaduan bisa dilakukan melalui berbagai forum seperti telepon, fax, internet, atau datang langsung).

Mekanisme keberatan/tata cara dan kewajiban pemerintah untuk menyediakan mekanisme yang memudahkan masyarakat untuk menyampaikan pengaduan (dapat dilakukan melalui berbagai forum seperti telepon, fax, internet, atau datang langsung).

Mekanisme keberatan/tata cara dan kewajiban pemerintah untuk menyediakan mekanisme yang memudahkan masyarakat untuk menyampaikan pengaduan (dapat dilakukan melalui berbagai forum seperti telepon, fax, internet, atau datang langsung).

Sanksi bagi pihak yang menghambat masyarakat untuk mengakses informasi publik.

Sanksi bagi pihak yang menghambat masyarakat untuk mengakses informasi publik.

Sanksi bagi pihak yang menghambat masyarakat untuk mengakses informasi publik.

II. TAHAP PEMANFAATAN

1 Adanya aturan yang jelas,

rinci, dan selaras tentang akses informasi publik dalam dalam proses penerbitan izin.

-Catatan:

Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan.

Mekanisme/tata cara yang memudahkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian HGU.

Mekanisme/tata cara dan kewajiban pemerintah agar masyarakat (MHA) dapat memperoleh akses informasi atas setiap rencana penerbitan izin pemanfaatan hutan dan pemberian HGU.

Kewajiban untuk membangun sebuah database perizinan yang dapat diakses oleh Pemda serta K/L terkait di tingkat pusat (masuk ke bagian pemberian HGU.

Kewajiban untuk membangun sebuah database perizinan yang dapat diakses oleh Pemda serta K/L terkait di tingkat pusat dan daerah.

2 Adanya aturan yang jelas, rinci,

dan selaras tentang partisipasi substantif masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, perempuan dan masyarakat marginal, pelaku usaha kecil dan menengah, dalam proses penerbitan izin (pemanfaatan SDA-LH).

-Catatan:

Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan.

Mekanisme/tata cara yang memudahkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian HGU (termasuk petugas yang bertugas untuk mengelola partisipasi).

Mekanisme/tata cara yang memudahkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses penerbitan izin pemanfaatan hutan dan pemberian HGU (termasuk petugas yang bertugas untuk mengelola partisipasi).

Kewajiban pemerintah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk dapat turut berpartisipasi aktif dalam proses pemberian HGU .

Kewajiban pemerintah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk dapat turut berpartisipasi aktif dalam proses penerbitan izin terkait kehutanan dan pemberian HGU .

(21)

NO INDIKATOR (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN)PISAU ANALISIS KEHUTANAN PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU) PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU

3 Adanya aturan yang jelas,

rinci, dan selaras tentang akses terhadap keadilan apabila akses terhadap informasi publik dan akses partisipasi tidak terpenuhi.

-Catatan:

Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan.

Sanksi bagi pihak yang menghambat akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian HGU.

Sanksi bagi pihak yang menghambat akses masyarakat untuk memperoleh informasi dan berpartisipasi dalam proses penerbitan izin pemanfaatan hutan dan pemberian HGU. Kewajiban bagi pemerintah

untuk menyediakan mekanisme yang sederhana dan mudah diakses oleh masyarakat untuk menyampaikan keberatan/ pengaduan apabila keinginan masyarakat untuk berpartisipasi tidak dipenuhi.

Kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan mekanisme yang sederhana dan mudah diakses oleh masyarakat untuk menyampaikan keberatan/ pengaduan terkait pemberian izin dan HGU (termasuk apabila haknya untuk memperoleh informasi dan berpartisipasi tidak dipenuhi).

III. TAHAP PENGAWASAN DAN PENEGAKAN HUKUM

1 Adanya aturan yang jelas,

rinci, dan selaras tentang akses informasi dalam proses pengawasan dan penegakan hukum di sektor SDA-LH.

Mekanisme/ tata cara dan kewajiban pemerintah agar masyarakat (MHA) dapat memperoleh akses informasi tentang pengawasan terkait pengukuhan kawasan hutan.

Mekanisme/ tata cara dan kewajiban pemerintah agar masyarakat (MHA) dapat memperoleh akses informasi tentang pengawasan dan penegakan hukum terkait pelaksanaan RPPLH, KLHS, RTRW, dan pemberian HGU.

Mekanisme/ tata cara dan kewajiban pemerintah agar masyarakat (MHA) dapat memperoleh akses informasi tentang pengawasan dan penegakan hukum terkait pelaksanaan RPPLH, KLHS, RTRW, pengukuhan kawasan hutan, dan pemberian HGU. Pengaturan yang jelas dan

terukur tentang pembatasan informasi mengenai pengawasan dan penegakan hukum yang dapat diakses publik dengan berdasar pada kepentingan publik.

Pengaturan yang jelas dan terukur tentang Pembatasan akses informasi dalam proses pengawasan dan penegakan hukum di sektor SDA yang dapat diakses publik atas dasar kepentingan umum.

Pengaturan yang jelas dan terukur tentang pembatasan informasi mengenai pengawasan dan penegakan hukum yang dapat diakses publik dengan berdasar pada kepentingan publik .

(22)

NO INDIKATOR (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN)PISAU ANALISIS KEHUTANAN PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU) PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU

2 Adanya aturan yang jelas, rinci,

dan selaras tentang akses publik untuk berpartisipasi dalam pengawasan dan penegakan hukum di sektor SDA-LH.

Pengakuan dan kesempatan bagi masyarakat, termasuk masyarakat lokal, MHA, perempuan dan masyarakat marginal lainnya untuk terlibat dalam pengawasan pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan.

Pengakuan dan kesempatan bagi masyarakat, termasuk masyarakat lokal, MHA, perempuan dan masyarakat marginal lainnya untuk terlibat dalam pengawasan pelaksanaan pemberian HGU.

Pengakuan dan kesempatan bagi masyarakat, termasuk masyarakat lokal, MHA, perempuan dan masyarakat marginal lainnya untuk terlibat dalam pengawasan pelaksanaan: (1) RPPLH, KLHS, dan RTRW, termasuk dalam proses pengukuhan kawasan hutan dan pemberian izin dan HGU dan (2) Pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Pemda. Kewajiban pemerintah untuk

meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengawasan pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan.

Kewajiban pemerintah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengawasan pelaksanaan pemberian HGU.

Kewajiban pemerintah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengawasan dan penegakan hukum.

3 Adanya aturan yang jelas,

rinci, dan selaras tentang akses terhadap keadilan dalam proses pengawasan dan penegakan hukum di sektor SDA-LH.

Sanksi bagi pihak yang menghambat masyarakat dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum.

Sanksi bagi pihak yang menghambat masyarakat dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum.

Sanksi bagi pihak yang menghambat masyarakat dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum. Kewajiban bagi pemerintah

untuk menyediakan mekanisme pengaduan.

Kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan mekanisme pengaduan.

Kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan mekanisme pengaduan.

V. PRINSIP KEPASTIAN HUKUM

NO INDIKATOR PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN) PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU)

PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN

HUTAN DAN PEMBERIAN HGU I. TAHAP PERENCANAAN

1 Adanya aturan yang

jelas, rinci, dan selaras mengenai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan terkait pembaruan agraria dan pengelolaan SDA yang berisi mengenai asas, norma, dan kaidah penyelenggaraan SDA berdasarkan prinsip NKRI, keberlanjutan, keadilan, demokrasi, dan kepastian hukum.

*berlaku untuk semua bidang SDA-LH.

Tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan terkait pembaruan agraria dan pengelolaan SDA yang berisi mengenai asas, norma, dan kaidah penyelenggaraan SDA berdasarkan prinsip NKRI, keberlanjutan, keadilan, demokrasi, dan kepastian hukum.

Tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan terkait pembaruan agraria dan pengelolaan SDA yang berisi mengenai asas, norma, dan kaidah penyelenggaraan SDA berdasarkan prinsip NKRI, keberlanjutan, keadilan, demokrasi, dan kepastian hukum.

Tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan terkait pembaruan agraria dan pengelolaan SDA yang berisi mengenai asas, norma, dan kaidah penyelenggaraan SDA berdasarkan prinsip NKRI, keberlanjutan, keadilan, demokrasi, dan kepastian hukum.

II. TAHAP PEMANFAATAN

1 Adanya aturan yang

jelas, rinci, dan selaras prosedur/mekanisme pemberian izin agar tidak terjadi konflik perizinan di tingkat pusat dan daerah.

Kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah serta instansi terkait pemanfaatan SDA-LH untuk menggunakan satu acuan peta dengan skala operasional, sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Memastikan kegiatan pemberian HGU dilakukan di atas tanah

yang clean and clear (tidak

terdapat klaim dari pihak yang memiliki alas hak yang sah baik berdasarkan bukti tertulis maupun tidak tertulis).

Kewajiban untuk menyelesaikan izin-izin yang tumpang tindih dengan wilayah MHA.

Kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah serta instansi terkait pemanfaatan SDA-LH untuk menggunakan satu acuan peta dengan skala operasional, sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah serta instansi terkait pemanfaatan SDA-LH untuk menggunakan satu acuan peta dengan skala operasional, sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(23)

NO INDIKATOR PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN) PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU) PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU TAHAP PENGAWASAN DAN PENEGAKAN HUKUM

1 Adanya aturan yang jelas,

rinci, dan selaras tentang pengawasan dan evaluasi pelaksanaan pembuatan peraturan perundang-undangan dan prosedur/ mekanisme pemberian izin.

Catatan: Indikator ini tidak digunakan dalam menganalisis MHA.

Terdapat pengawasan dan evaluasi atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan/ mekanisme pemberian izin yang tidak impelementatif, terjadi ketidaksesuaian norma.

Terdapat pengawasan dan evaluasi atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan/ mekanisme pemberian izin yang tidak impelementatif, terjadi ketidaksesuaian norma.

Terdapat pengawasan dan evaluasi atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan/ mekanisme pemberian izin yang tidak impelementatif, terjadi ketidaksesuaian norma.

2 Adanya kewenangan

lapis kedua dalam pengawasan dan penegakan hukum.

Kewenangan lapis kedua dalam pengawasan dan penegakan hukum pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan.

Kewenangan lapis kedua dalam pengawasan dan penegakan hukum dalam pemberian HGU.

Kewenangan lapis kedua dalam pengawasan dan penegakan hukum, terutama yang berkaitan dengan pemenuhan hak dan kewajiban MHA.

B. Cara Membaca Tabel Prinsip, Indikator,

dan Pisau Analisis

Prinsip-prinsip yang menjadi tolak ukur analisis sebagaimana disebutkan digunakan dalam rangka melakukan evaluasi terhadap masing–masing bidang. Keberadaan dari masing–masing prinsip sebagai tolak ukur analisis tidak dapat dibaca atau dimaknai secara parsial melainkan tersusun sebagai suatu kesatuan (integral). Dalam konteks ini kehadiran urutan dari prinsip-prinsip di atas juga mencerminkan skala prioritas dalam arti jika terjadi pertentangan maka prinsip atau unit analisis yang disebutkan terlebih dahulu wajib diutamakan. (Contoh : Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia bertentangan dengan Prinsip Kepastian Hukum maka Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib diutamakan)

Penggunaan unit analisis dalam kajian ini difokuskan kepada tiga lingkup utama yang masih termasuk pada isu kehutanan, pertanahan dan masyarakat. Agar mendapatkan hasil yang optimal maka isu kehutanan akan difokuskan pada lingkup pengukuhan kawasan hutan, isu pertanahan akan difokuskan pada pemberian HGU dan pengakuan serta perlindungan hak dan kewajiban masyarakat, khususnya MHA dalam pengukuhan kawasan hutan dan pemberian HGU.

Selain fokus pada tematik tertentu, dalam rangka memberikan gambaran yang menyeluruh kajian ini juga melakukan evaluasi berbasis tahapan pengelolaan SDA-LH yang meliputi tahapan perencanaan, pemanfaatan serta pengawasan dan penegakan hukum. Adapun ruang lingkup masing-masing tahap tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tahap perencanaan merujuk pada kegiatan perencanaan ruang dan SDA-LH yang meliputi penataan batas wilayah administrasi, Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan pengukuhan kawasan hutan.

(24)

2. Tahap pemanfaatan merujuk pada kegiatan pemanfaatan SDA-LH yang pada umum ditandai dengan pemberian izin dan penguasaan hak atas tanah, yang dalam kajian ini dibatasi pada hak guna usaha.

3. Tahap pengawasan dan penegakan hukum merujuk pada kegiatan: (i) pengawasan terhadap kesesuaian antara perencanaan dengan pelaksanaan di lapangan serta kepatuhan pemberi dan penerima izin terhadap peraturan yang berlaku; dan (ii) keberadaan mekanisme penegakan hukum antara lain forum penyelesaian sengketa, pemberian sanksi, dan bantuan hukum apabila terjadi pelanggaran terhadap perencanaan dan pemanfaatan SDA-LH. Pembagian tahapan ini diharapkan dapat dengan mudah memberikan pedoman serta gambaran nyata untuk melakukan identifikasi kelemahan dan ketidakselarasan peraturan yang berlaku yang terkait dengan masing-masing tahap.

(25)

HASIL ANALISIS BIDANG

KEHUTANAN

A. Peraturan Perundang-Undangan

Analisis bidang kehutanan fokus pada pengukuhan kawasan hutan. dilakukan dengan menggunakan indikator yang telah disebutkan pada BAB II sebagai dasar evaluasi berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengukuhan kawasan hutan.

Berikut daftar peraturan terkait dengan pengukuhan kawasan hutan yang menjadi objek analisis:

Bidang Kehutanan:

1. UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dengan perubahan setelah Putusan MK No. 35/ PUU-X/2012, Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 Tahun 2011 dan Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 Tahun 2011

2. PP No. 12/2010 tentang Penelitian dan Pengembangan, serta Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan.

3. PP No. 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan

4. PP No. 3/2008 tentang Perubahan atas PP No. 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan

5. Peraturan Bersama Mendagri, Menhut, MenPU, dan Kepala BPN No. 79 Tahun 2014, PB.3/Menhut-11/2014, 17/PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan

6. Permenhut No. P.31/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri pada Hutan Produksi

7. Permenhut No. P.25/Menhut II/2014 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan

8. Permenhut No. 62/Menhut-II/2013 jo. Permenhut No. P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan

9. Permenhut No. P. 51/Menhut-II/2013 tentang Organisasi Balai Diklat Kehutanan

10. Permenhut No. P. 43/Menhut–II/2013 tentang Penataan Batas Areal Kerja Izin Pemanfaatan Hutan, Persetuuan Prinsip Penggunaan Kawasan Hutan, Persetujuan Prinsip Pelepasan Kawasan Hutan dan Pengelolaan Kawasan Hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan dan Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus.

11. Permenhut No. P/7/Menhut-II/2011 tentang Pelayanan Informasi Publik

Referensi

Dokumen terkait

Usaha tani yang menjadi penekanan pada penelitian ini adalah subsistem agribisnis hilir dimana pengolahan produk hasil pertanian untuk pengembangan pangan

An abstract query element from which service specifications can subclass a concrete query element that implements a query operation that allows a client to specify a list of

Pedagang kaki lima adalah seseorang yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan jasa yang menempati tempat-tempat prasarana kota dan fasilitas umum baik yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa program linier dapat digunakan untuk mendapatkan penduga koefisien regresi yang meminimumkan maksimum sisaan mutlak, pada data

Media foto sebagai salah satu media pembelajaran visual dapat digunakan sebagai media pembelajaran untuk peningkatan penguasaan kosakata bahasa Sunda anak Taman

Mendiskripsikan model pembelajaran perolehan konsep yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII-B MTs Al- ma’arif Tulungagung pada pelajaran matematika materi

peramalan suatu data baik dilakukan untuk jangka waktu yang singkat sedangkan peramalan untuk jangka waktu yang panjang kurang baik untuk dilakukan sebab bila kita meramalkan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kombinasi natrium karboksimetilselulosa dan serbuk gom arab sebagai bahan pensuspensi