• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012

KARAKTERISASI PENYAKIT WSSV PADA BERBAGAI JENIS IKAN DAN

CRUSTACEA LAIN DI AREAL PENGEMBANGAN BUDIDAYA UDANG

DI PANTAI TIMUR KABUPATEN BONE, SULAWESI SELATAN

Arifuddin Tompo dan Koko Kurniawan* Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau

Jl. Makmur Dg Sitakka No.129 Maros

*Penulis untuk korespondensi, E-mail: drhkoko_kurnia86@yahoo.co.id Abstrak

Penelitian ini telah dilakukan yang bertujuan untuk mengetahui tingkat prevalensi penyakit WSSV pada berbagai jenis ikan dan crustacean lain yang terdapat di saluran air yang bisa berhubung langsung untuk sumber air pertambakan. Pengambilan sampel dilakukan dengan jala buang selanjutnya diawetkan dalam alkohol 70% untuk dilakukan pemeriksaan PCR di Lab Kesehatan Ikan dan Lingkungan. Organ target dari ikan adalah semua sirip dan sedikit daging sedangkan untuk crustacean berupa kaki renang, kaki jalan, insang dan ekor (Ligtner,1996). Hasil karakterisasi diperoleh jumlah sampel 82 ekor dengan tingkat prevalensi sebesar 37,8%. Prevalensi kejadian WSSV tertinggi diperoleh pada bulan Agustus sedangkan terendah pada bulan Februari-April 2011. Dengan demikian ikan dan crustacean lainnya menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan WSSV. Untuk itu pada usaha budidaya udang windu disarankan untuk tidak melakukan pemasukan air dari saluran pada saat bulan rawan penyakit.

Kata kunci : karakterisasi, penyakit wssv, ikan dan crustacean Pengantar

Tambak udang sebagai salah satu sektor perikanan budidaya sampai saat ini masih menjadi andalan masyarakat untuk menggantungkan hidupnya. Berdasarkan data KKP, produksi udang nasional pada tahun 2011 mencapai 460 ribu ton dan direncanakana akan dinaikkan lagi mencapai 529 ribu ton (antara.com). Golongan udang yang sering dikembangkan adalah golongan penaid. Hal ini karena masih memiliki pasar ekspor yang besar.

Potensi bidang perikanan di Kabupaten Bone memberikan peluang yang sangat besar. Wilayah penangkapan ikan disekitar teluk Bone mencapai 127 km panjang pantai hingga puluhan mil ke tengah laut dengan produksi pada tahun 2001 sebesar 68.384,2 ton, perairan umum sebesar 859,5 ton, rawa/ kolam/ empang dan sungai dengan areal 1.824 Ha dengan produksi 12.407,1 ton. Potensi perikanan tersebut dirinci antara lain: udang: luas areal budidaya 4.089 Ha dengan jumlah produksi 4.318 ton, kepiting bakau: luas areal 2.189 Ha dengan jumlah produksi 2.061 ton, bandeng: dengan luas areal 3.520 Ha dengan produksi 4.964 ton (www.kmb-sulsel.net)

Masalah utama pembudidayaan udang penaid, khususnya penaeus monodon adalah tingkat hidup yang rendah, hal ini disebabkan karena kualitas lingkungan yang kurang baik dan pada stadia larva udang telah membawa penyakit yang disebabkan oleh virus. Dua faktor ini diperberat dengan masuknya carier wssv yang bisa berupa udang udang liar dan kepiting dari lingkungan disekitar tambak ke dalam tambak. Dalam musim yang tidak menentu seperti sekarang ini, kondisi ekstrem lingkungan(atmosfer) bisa menjadi stressor alam yang mampu menurunkan sistem kekebalan tubuh udang. Dengan luas tambak 1 ha petambak harusnya bisa mendapatkan 160 kg udang dengan sintasan 40%, namun akhir-akhir ini petambak hanya memperoleh 40 kg dengan sintasan 10% (Kompas, 2012)

White spot disease merupakan penyakit pada udang yang paling berbahaya dan menyerang berbagai jenis udang (Inouye et al., 1994; Spann & Lester, 1997; Tokhmafshan et al., 2004). WSSV umumnya terjadi pada crustacean yang di pelihara secara domestik maupun yang liar di alam. Udang hasil tangkapan di laut sering terdeteksi terserang, demikian juga dengan kepiting liar (Hosein et al., 2001). Secara umum, gejala klinis udang yang terserang WSSV sama seperti udang lain yang terserang penyakit, yaitu kelemahan umum dan berenang di pinggir kolam, gejala khusus yang muncul adalah munculnya bintik putih pada karapas dan segmen perut keenam, hepatopankreas membengkak dan berwarna kuning, usus dan perut

(2)

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012

terlihat kosong dan udang terinfeksi berubah menjadi kemerahan. Kematian udang yang terserang mencapai 70-90% (Tokhmafshan et al., 2004; Wang et al., 1995; Lightner,1996).

Pengendalian perluasan penyakit perlu dilakukan secara dini agar kerugian ekonomi dapat diminimalisir. Dari sisi individu udang perlunya peningkatan kualitas benih udang dengan pemberian imunostimulan dan dari sisi lingkungan diperlukan tata pengelolaan lingkungan. tahap awal pengelolaan tata lingkungan dapat dengan pemantauan keberadaan penyakit (virus WSSV) dilingkungan sekitar area tambak yang potensial. Dengan mengetahui keberadaan virus wssv disekitar tambak terutama pada bulan bulan tertentu, bisa dibuat kalender musiman yang membantu petambak untuk mencegah outbreak virus di tambak dan meminimalisir dampak kerugian yang disebabkan penyakit.

Bahan dan Metode

Bahan

Alkohol teknis 70%, kit ekstraksi WSSV IQ 2000 (metode D Tab – C Tab) terdiri dari D tab, C Tab, dan Dissolve Solution, aqua milliqiu, chloroform, buffer TE, Nested PCR system IQ 2000, agarose, TBE 1x,

Alat alat yang dipakai dalam penelitian ini adalah ependorf 1.2 ml, mikropipet 1000µl, 200µl, 20µl, 10µl (ependorf), mikrotip sesuai ukuran mikropipet, waterbath ( memmert ), Sentrifuge (ependorf sentrifuge 5415), PCR konvensional (Aplied Biosystem, PCR system 2700), satu set alat elektroforesis (Biometra), gel doc (Biometra) yang terintegrasi dengan kamera dan komputer.

Metode

Pengambilan sampel dilakukan setiap bulan secara rutin di Kecamatan Mare, Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan. Sampel yang diambil adalah jenis jenis ikan dan crustacean lainnya di saluran air yang kemungkinan bisa masuk ke dalam area pertambakan, ditangkap menggunakan jala atau alat penagkap lainnya. Organ yang diambil untuk sampel crustacean meliputi kaki renang, kaki jalan, insang, ekor (Lightner, 1996). Sedang untuk ikan berupa sirip atau ekor dengan sedikit daging. Selanjutnya sampel tersebut disimpan dalam botol sampel yang sudah diisi pengawet berupa alkohol 70%. Sampel selanjutnya dibawa ke lab BRPBAP maros untuk diperiksa keberadaan virus WSSV. Sampel ikan atau udang diekstraksi untuk memperoleh genom wssv, sampel ditimbang seberat 0,3 gr selanjutnya diperiksa dengan mesin PCR untuk mereplikasi genom wssv. Dan alat elektroforesis digunakan untuk melihat keberadaan gen WSSV yang telah di lipatgandakan dengan mesinPCR. Kit IQ 2000 digunakan untuk proses ekstraksi dan PCR untuk setiap sampel. Tingkat kejadian WSSV di Sulawesi Selatan dihitung berdasarkan nilai prevalensi serangan terhadap jumlah semua sampel (Fernando et al, 1972). Tingkat kejadian WSSV dihitung berdasarkan nilai prevalensi serangan terhadap jumlah semua sampel (Fernando et all, 1972). Penghitungan prevalensi dihitung berdasarkan rumus :

Metode Ekstraksi WSSV

(3)

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012

Metode PCR

Sampel untuk PCR : jumlah sampel semua ditambah 3. Tambahan 2 untuk control (+) dan (-), tambahan

1 untuk koreksi pemipetan. Buat larutan IQ 2000 First PCR

Profil reaksi first PCR :

940C 30 detik; 620C 30 detik; 720C 30 detik; ulangi 5 cycle 940C 15 detik; 620C 15 detik; 720C 20 detik ulangi 15 cycle Tambahkan 720C 30 detik; 200 Cdiakhir final cycle

Buat larutan IQ 2000 Nested PCR Timbang sampel 0,3 gr, masukkan dlm ependorf dan gerus Tambah 600µl D-TAB Inkubasi 75˚C slm 5’ Tambah chloroform 700µl Sentrifuse 12000rpm 5’ Ambil supernatan Tambah 100µl CTAB dan 900µl ddH2O Inkubasi 75˚C slm Sentrifuse 12000rpm 10’ Buang supernatant dan tambah 150µl dissolve solution Inkubasi 75˚C slm 5’ Sentrifuse 12000rpm 5’

Ambil cairan bening 150µl dan masukkan dalam ependorf yang telah terisi alkohol 95% dingin 300µl

Sentrifuse 12000rpm 5’

Buang supernatan

dan cuci dg alcohol 70% 200µl Sentrifuse 12000rpm 5’ Kering anginkan Tambahkan 200µl TE buffer untuk melarutkan genom

Campur 7,5µl dan 0,5µl berdasarkan jumlah sampel total di dalam ependorf

Bagi di setiap ependorf kecil 8µl dan tambahkan 2µl sampel

Running di alat

Campur 14µl dan 1µl IQ Zyme sesuai jumlah sampel dalam ependorf

Bagi ke dalam setiap ependorf kecil hasil running PCR pertama sebesar 15µl

(4)

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012

Profil reaksi nested PCR :

94oC 20 detik; 62oC 20 detik; 72oC 30 detik ulangi 25 cycle Tambahkan 72oC 20 detik; 20oC 30 detik di akhir final cycle Elektroforesis

Hasil PCR di loading dengan agarose.

Interpretasi hasil PCR adalah: Sampel positif akan menunjukkan garis band pada 296 bp dan atau 550 bp, Sampel negative hanya akan menunjukkan band pada 848 bp.

Hasil dan Pembahasan

Hasil pemantauan dilakukan antara bulan Februari hingga Desember 2011 di Kabupaten Bone, khususnya kecamatan Mare didapatkan 10 jenis sampel ikan,5 jenis udang dan 4 jenis kepiting dan satu jenis telescopium, jumlah total sampel adalah 82 ekor dengan sampel positif sebanyak 27 ekor. Dari hasil analisa sampel didapatkan bahwa semua jenis udang dan kepiting menunjukkan hasil positif wssv, sebagian besar jenis ikan juga menunjukkan hal yang sama. Dari hasil ini sangat dimungkinkan bahwa selain faktor buruknya kualitas air lingkungan, berbagai jenis ikan dan kepiting di saluran pertambakan dapat berperan sebagai carier WSSV. (Tabel 1)

Tabel 1. Tingkat prevalensi secara umum selama penelitian pada Kab Pangkep.

Asal sampel (Kabupaten) Sampel positif Total sampel Prevelensi (%)

Bone 27 82 37,8

Data diatas menunjukkan tingkat prevalensi wssv di kabupaten Bone sebesar 37,8%. Tingkat prevalensi didapat dengan membandingkan sampel WSSV positif dengan jumlah sampel keseluruhan. Dari hasil pemeriksaan PCR didapatkan hasil positif sering ditunjukkan kelompok crustacean. Cai et al. dalam Sahul Hameed et al. (2001) menyatakan bahwa WSSV menunjukkan tingkat patogenitas yang tinggi bukan hanya pada udang penaid, tapi juga menyerang kepiting, copepod dan arthropoda lainnya. 43 spesies arthropoda telah dilaporkan dapat terserang dan menimbulkan gejala klinis atau hanya sebagai carrier. Demikian juga dengan jenis kepiting air tawar, WSSV WSSV menimbulkan gejala klinis (Sahul Hameed et al., 2001).

hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa kepiting hasil positif WSSV lebih banyak disbanding udang ataupun ikan. Dari tiga spesies kepiting yang tertangkap (kepiting bakau, kepiting ungu dan rajungan) ketiganya menunjukkan hasil positif wssv dalam bulan yang sama dan beberapa bulan yang berbeda. Kepiting bakau (Scylla serrata) paling sering menunjukkan hasil positif. Sedangkan kelompok udang, dari kelima spesies (udang putih, udang galah, udang kadoro, lobster dan udang windu) semua menunjukkan hasil positif wssv dengan tingkat keparahan bervariasi saat di elektroforesis. Yang paling sering menunjukkan hasil positif adalah udang putih (Penaeus margulensis) dan udan kadoro (Penaeus monoceros). Dari 10 jenis spesies ikan (ikan belana, ikan baronang, ikan mujair, ikan kakap, ikan titang, ikan bandeng, ikan belosak, ikan beseng, ikan cucut dan ikan sidat) 7 spesies diantaranya menunjukkan hasil positif.

Gejala klinis crustacean yang terinfeksi WSSV sangat bervariasi. Kelompok udang terinfeksi WSSV tidak semua menunjukkan gejala menciri berupa bintik putih dikarapas. Demikian juga dengan gerakan umum udang, gerakan udang masih bervariasi antara normal dengan sedikit kelemahan. Saat di nekropsi usus udang banyak yang terlihat kosong, hal ini mungkin karena sedikitnya sumber makanan di saluran tersebut atau karena mulai menurunnya nafsu makan udang tersebut. Gejala klinis dari kepiting dan ikan yang terinfeksi tidak begitu mencolok. Kepiting masih terlihat lincah gerakannya dan tidak ada tanda perubahan gross patologi pada.

Timbang agarose 2% dari volume tray

Tambah aquades dan didihkan

Tunggu sebentar dan tambah dengan pewarna biured

Tuang di tray dan tunggu keras

(5)

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012

Serangan WSSV pada udang penaid telah lama dilaporkan dan menimbulkan dampak fatal. WSSV menginfeksi sel-sel penghasil mesodermal dan ektodermal seperti epitel subkutikula, organ limfoid, hemosit, jaringan hematopoietik, epidermis kutikula perut dan jaringan penghubung (Lightner, 1996). Indikasi terinfeksinya jaringan ditunjukkan oleh adanya titik nekrosis yang tersebar (Wongteerasupaye at al., 1995). Udang putih, udang kadoro dan udang windu termasuk golongan udang penaid. Udang galah (macrobranchium rosenbergii) dilaporkan resistan terhadap WSSV (Sahul Hameed et al., 2000) Resistant artinya tahan terhadap serangan penyakit dan tidak menunjukkan gejala klinis namun mempunyai kemungkinan menyebarkan virus WSSV. WSSV dilaporkan meyerang pada kelompok kepiting, kepiting bakau (Scylla serrata) dan Rajungan (Portunus pelagicus) dilaporkan terserang virus WSSV (Sahul Hameed et al., 2001) namun serangan WSSV di ikan belum pernah ada yang melaporkannya.

Dari hasil pemantauan yang dilakukan selama 11 bulan di Kab. Bone diperoleh tingkat prevalensi bulanan (Tabel 2) sebagai berikut :

Tabel 2. Tingkat prevalensi WSSV untuk setiap bulan selama penelitian. Asal

sampel

Prevalensi WSSV setiap bulan di kabupaten Bone selama penelitian (%)

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Kab Bone 0 0 0 18,1 14,2 33,3 100 12,5 33,3 62,5 12,5 Dari data diatas terlihat rendahnya prevalensi kejadian diawal tahun. Prevalensi WSSV Mulai naik pada bulan mei dan puncaknya pada bulan Agustus. Prevalensi WSSV langsung turun dan naik lagi pada bulan November. Naiknya prevalensi WSSV pada bulan juli-Agustus dimungkinkan karena kondisi pancaroba ke musim penghujan. Kondisi panas yang ekstrem di siang hari dan dingin pada malam hari sering terjadi. Hal ini bisa menjadi stressor alami yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh organisme di saluran pertambakan. Turunnya sistem pertahanan memudahkan organisme tersebut terserang penyakit. Sesuai dengan hasil penelitian Peng et al. (1998) menyebutkan infeksi WSSV sangat patogenik pada udang yang diberikan stressor, hal ini karena mekanisme pertahanan udang tidak dapat mencegah dan menahan perbanyakan virus WSSV saat kondisi stres. Sehingga menurut hasil prevalensi kejadian WSSV pada setiap bulan, bulan rawan terjadi pada bulan Juli-Agustus dan pada bulan November

Rupanya kondisi lingkungan yang kurang bagus telah ada di daerah tersebut sejak lama. Kondisi ini berimbas langsung terhadap budidaya udang dan dapat menurunkan hasil budidaya. Kearifan masyarakat lokal telah menerapkan sistem penanda tersendiri. Petambak mempunyai kalender khusus dalam menebar bibit udang, sehingga diharapkan dapat mengurangi dampak dari buruknya kondisi lingkungan. Hasil pemantauan yang dlakukan sesuai dengan kalender khusus dari masyarakat tersebut

Kesimpulan dan Saran

kesimpulan

Berdasarkan hasil pemantauan virus WSSV pada areal pengembangan udang di Kabupaten Bone dapat disimpulan sebagai berikut:

1. Jumlah koleksi sampel yang diperoleh pada yaitu 82 ekor

2. Prevalensi rata rata kejadian WSSV di areal pengembangan tambak Kabupaten Bone (37,8%)

3. Prevalensi tertinggi kejadian WSSV di kabupaten Bone terdapat pada bulan Agustus (100%) 4. Ikan dan crustace lainnya menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan WSSV.

Saran

Disarankan kepada petambak untuk tidak memasukkan air dari saluran ke dalam tambak pada saat bulan rawan. Dari hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi acuan atau sebuah kalender musim yang dapat membantu petambak memulai budidaya udang

Daftar Pustaka

Fernando, C.H., J.I Furtado, A.V. Gussy, G. Hanek & S.A. Kakonge. 1972. Methods for the study of fresh water fish parasite. University of Waterloo. Biology series 5.

(6)

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012

Hosein, M.S., A. Chakraboty, B. Joseph, S.K. Otta, & C. Karunasagar. 2001. Detection of new host for WSSV of shrimp using nested PCR. Aquaculture, 198, 1-11.

Inouye, K., S. Miwa, N. Oseko, H. Nakano, T. Kimura, K. Momoyama & M. Hiraoka. 1994. Mass mortality of cultured Kurama shrimp Penaeus japonicus in Japan in 1993: Electron microscopic evidence of the caustive virus. Fish Pathol. 29: 146158.(In Persian).

Lightner, D.V., T.A. Bell, R.M. Redman, L.L. Mohley, J.M. Atividad, A. Rukyani & Poernomo. 1992. A review of some major diseases of economic significance in Penaeid prawns/shrimps of the Americas and Indopacific. p:57-80. In Shariff, M., R.P.Subasinghe, and J.R. Arthur (Eds), Diseases in Asian Aquaculture I. Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila, Philippines.

Natividad, J.M. & D.V. Lightner. 1992. Susceptibility of the different larval and postlarvalstages of black tiger prawn, Penaeus monodon Fabricius to monodon Baculovirus (MBV). In M. Shariff., R.P. Subasinghe and J.R. Arthur (eds.) Diseases in AsianAquaculture I. Manila, Philippines: Asian Fisheries Society, pp. 111125.

Peng, S.E., C.F. Lo, K.F. Liu, & G.H. Kou. 1998. The transition from pre-patent to patent infection of White Spot Syndrome Virus (WSSV) in Penaeus monodon triggered by period excition. Fish phatology, 33 (4): 10, 395-400.

Sahul Hameed, A.S., K. Yoganandhan, S. Sathish, M. Rasheed, V. Murugan & Kunthala Jayaraman. 2001. White spot syndrome virus WSSV in two species of freshwater crabs Paratelphusa hydrodomous and P. pulvinata. Aquaculture 201. 179–186.

Sahul Hameed, A.S., M. Xavier Charles & M. Anilkumar. 2000. Tolerance of Macrobrachium rosenbergii to white spot syndrome virus. Aquaculture 183, 207–213.

Spann, L.M. & R.J.G. Lester.1996. Baculovirus of Metapenaeus bennettae from the Moreton Bay region of Australia. Dis. Aquat. Org. 27: 5358.

Tokhmafshan, M., S. Akbari, B. Tamjidi F. Laloi & M. Soltan. 2004. Occurrence of White Spot Syndrome Disease in Farmed Penaeus indicu in Iran.Applied Fisheries & Aquaculture Vol IV (1) 2004, 4247.

Wang, C.H., C.H. Lo, J.H. Leu, C.M. Chou, P.Y. Yeh, H.Y. Chou, M.C. Tung, C.F. Chang, M.S. Su & G.H. Kou. 1995. Purification and genomic analysis of baculovirus associated with white spot syndrome (WSBV) of Penaeus monodon. Dis. Aquat. Org 23:239242.

Tanya Jawab Penanya : - Pertanyaan :

1. Sistem penanggulangan White Spot Syndrome Virus di tambak udang bagaiman/ karena udang dan air dapat menularkan virus.

2. Cara apa yang digunakan untuk pengendalian WSSV secara tradisional? 3. Apa sirip ikan juga positif WSV demikian juga moluska?

4. Sampai berapa lama virus dapat bertahan di dalam air? Jawaban :

1. Secara klaster mangement, dengan memisahkan tambak udang dengan tambak non udang sehingga diharapkan dapat meminimalisir penularan virus.

(7)

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012

2. Secara klaster, 4-5 petak tambak di pisahkan dengan tambka udang lain dengan petak tambak yang diiisi ikan (finfish)

3. Ikan & Moluska secara mekanik saja tertempel virus tetapi bukan sebagai pembawa. 4. Perlu penelitian lanjutan.

Gambar

Tabel 1. Tingkat prevalensi secara umum selama penelitian pada Kab Pangkep.

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu Fakultas yang menerapkannya adalah Fakultas Ekonomi Dan ilmu sosial Dengan adanya sis- tem SIASY di Fakultas Ekonomi Dan Ilmu SosiaL untuk pengurusan surat keteran- gan

- Klien mengatakan sudah tahu makanan apa saja yang tidak boleh untuk penderita asam urat. - Klien mengatakan bila ada

Pendahuluan : Gagal jantung kongestif (CHF) dan sindrom metabolik (MetS) merupakan masalah kardiovaskular utama di berbagai negara maju maupun berkembang. Sampai sekarang,

Ekplorasi dimulai dengan mencari tahu atau mempelajari kemampuan apa saja yang tersedia pada feature PC-Dmiss yang bisa dipergunakan untuk efisiensi waktu proses pembuatan

Di Kecamatan Kedungkandang ditemukan jenis talas ± talasan yang berasal dari genus Colocasia yaitu: Talas Bentul putih, Talas Bentul dan Talas Bentul hitam yang dapat

Tampilan Potongan Memanjang Embung Setail KG2 Dari tampilan visual pada Gambar 28 , hasil komputasi dari simulasi banjir rancangan kala ulang dalam 1, 2, 5, 10, 20, dan 25

Perihal waktu untuk pertunjukan teater tanggapan, tentu juga bergantung dengan jadual inti acara hajatan, bisa di depan acara, di sela-sela acara, atau bisa di akhir

Profit Rate untuk kegiatan usahatani nanas madu adalah 200%, sedangkan tingkat inflasi Kalimantan Tengah pada 1 periode musim tanam yaitu musim tanam yang dimulai dari bulan Juni