• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membangun Daya Saing, Kemandirian Sains, dan Teknologi Bangsa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Membangun Daya Saing, Kemandirian Sains, dan Teknologi Bangsa"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Kusmayanto Kadiman

Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia

Pendahuluan

Hari Kebangkitan Nasional kembali kita peringati pada tahun ini tepatnya pada tanggal 20 Mei 2008. Berbeda dengan tahun sebelumnya, pada tahun ini kebangkitan nasional genap berusia satu abad. Berbagai capaian yang baik maupun buruk tentu telah diperoleh selama seratus tahun yang lalu. Kini dan ke depan, tantangan yang dihadapi dan sekaligus peluang yang dapat dimanfaatkan dipastikan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Di antara tantangan dan peluang dimaksud yakni bagaimana bangsa ini menapak dengan berhasil menyikapi globalisasi.

Salah satu faktor determinan untuk menang dalam era globalisasi ini, peran pembangunan dan pengembangan sains dan teknologi diyakini mutlak penting. Paradigma ini tidak saja dinyatakan oleh Sachs (1995), Toffler (1990), Reich (1991) dan Quinn (1992) untuk menyebut hanya empat orang saja, namun juga oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Presiden SBY dalam kuliah umum di Universitas Indonesia (6 Agustus 2007) dan Universitas Airlangga (4 September 2007) menegaskan pentingnya sains dan teknologi (Iptek) dan upaya memicu perkembangannya, khususnya melalui riset. Bahkan lebih tegas lagi Presiden SBY menyatakan: Jika kita mampu membuat sendiri segala produk teknologi yang kita butuhkan, mengapa kita harus melakukan impor.

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan beberapa catatan penting tentang upaya yang perlu dilakukan dalam membangun daya saing dan kemandirian sains dan teknologi bangsa. Namun sebelum pokok pembahasan tersebut diberikan, berikut ini dijelaskan terlebih dahulu tentang potret kontribusi sains dan teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi selama ini sebagai latar belakang analisis. Kemudian dilanjutkan dengan posisi daya saing sains dan teknologi pada lingkup global dan penjelasan mengapa daya saing sains dan teknologi nasional rendah. Bagian akhir dari tulisan ini ditutup dengan catatan utama tentang upaya yang perlu dilakukan dalam dalam membangun daya saing dan kemandirian bangsa berbasis sains dan teknologi.

Kontribusi Sains dan Teknologi dalam Pembangunan

Kontribusi sains dan teknologi dalam pembangunan ekonomi setelah satu abad kebangkitan nasional berlalu agaknya masih jauh dari yang diharapkan. Keadaan ini jauh berbeda dengan beberapa negara di Asia, terutama negara yang kurang memiliki sumber daya alam besar seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. Negara-negara ini

(2)

(Bank Indonesia, 2007). Artinya, sumber pertumbuhan ekonomi nasional masih didominasi oleh faktor kapital.

Rendahnya peran sains dan teknologi ini bukan hal baru karena telah terjadi selama tahun 1971-2001. Kontribusi sains dan teknologi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi relatif tinggi hanya pada tahun 1991-1995 yakni sebesar 4 persen. Di luar tahun tersebut, sumber pertumbuhan ekonomi nasional berasal dari sains dan teknologi adalah rendah, bahkan negatif khususnya pada periode 1981-1985. Rendahnya kontribusi sains dan teknologi pada periode ini disebabkan adanya perubahan kebijakan industri substitusi impor kepada kebijakan pengembangan proyek padat modal (lihat Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa pengembangan proyek padat modal pada periode tersebut tidak efisien dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional.

Tabel 1. Kontribusi Tenaga Kerja, Modal dan Total Factor Productivity Sains dan Teknologi terhadap Pertumbuhan Ekonomi , 1971-2001

Tahun

Pertumbuhan GDP

Kontribusi Tenaga kerja

Kontribusi Modal

Kontribusi sains dan teknologi (Total Factor Productivity)

1971-1975

0.0798

0.017

(3)

0.028 0.035 1976-1980 0.0762 0.021 0.029 0.026 1981-1985 0.0522 0.027 0.037

(4)

1986-1990 0.0685 0.028 0.023 0.018 1991-1995 0.0754 0.008 0.027 0.041 1996-2000 0.0071

(5)

0.018 -0.033 0.022 2001 0.0332 0.021 -0.030 0.042 Keseluruhan 0.0583 0.020

(6)

Sumber: UNSFIR, 2002.

Potret lengkap dari kontribusi masing-masing faktor input produksi pertahun (berdasarkan harga konstan, 1996) juga menunjukkan hal yang sama dimana kontribusi sains dan teknologi (proxy TFP) sangat rendah selama tahun 1962 sampai 2000, kecuali untuk tahun 1968 dan tahun 2000 (Tabel 2). Oleh karena itu, tidak mengherankan mengapa pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi (rata-rata 7-8 persen pertahun) selama lebih dari 30 tahun (1967-1997) di bawah rezim orde baru, hanya dalam beberapa bulan setelah krisis ekonomi 1997 menurun secara drastis menjadi minus 13,2 persen pada tahun 1998. Dengan demikian, tidak ada pilihan lain, jika kita ingin membangun perekonomian nasional secara berkesinambungan, maka upaya keras meningkatkan peran sains dan teknologi merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Tabel 2. Pertumbuhan Ekonomi, Kontribusi Modal, Kontribusi Tenaga Kerja dan TFP, 1962-2000

Tahun

DY

DKL

DLP

DTFP

(7)

1965 -1.01 1.47 -2.95 -4.0 1970 8.16 11.44 5.90 -1.8 1975

(8)

5.19 -5.1 1980 9.42 16.54 6.77 -2.3 1985 4.25 4.15 1.28 -1.1

(9)

1990 8.23 6.88 5.24 1.6 1995 5.65 11.53 3.11 -5.4

(10)

-6.18

2.60

3.5

Catatan : DY= pertumbuhan ekonomi; DKL= kontribusi modal; DLP=kontribusi tenaga

kerja; DTFP= kontribusi TFP.

Sumber : Firdausy, 2005.

Posisi Daya Saing Sains dan Teknologi Nasional

Kontribusi sains dan teknologi yang belum menggembirakan dalam pertumbuhan ekonomi tersebut di atas tentu berkaitan dengan rendahnya daya saing sains dan teknologi itu sendiri. Rendahnya daya saing tersebut dapat diperhatikan dari index berikut. Pertama, dengan menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI), misalnya, The United Nations for Development Programs (UNDP) pada tahun 2006

menetapkan bahwa IPM Indonesia (sebagai indeks gabungan dari tingkat harapan hidup, tingkat partisipasi pendidikan dan tingkat pendapatan per kapita riil) berada ada peringkat ke-112 dari 177 negara yang dianalisis. Peringkat ini berada jauh dari Filipina (82), Thailand (74), dan Malaysia (55). Bahkan posisi ini semakin jauh di bawah, jika dibandingkan dengan Brunei Darussalam (peringkat 31) dan Singapura (23). Peringkat daya saing Indonesia tercatat hanya satu tingkat di atas Vietnam yang menempati peringkat ke 113. Index IPM Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja, Myanmar, dan Laos yang menempati peringkat masing-masing 128, 130, dan 133.

Kedua, berdasarkan Growth Competitive Index (GCI) yakni ukuran daya kompetisi negara yang menggunakan parameter lingkungan ekonomi makro, perkembangan lembaga publik, dan inovasi teknologi, World Economic Forum

(11)

(WEF) dalam The Global Competitiveness Report 2006 menempatkan negara kita pada peringkat ke-54 dari 55 negara. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN 6, peringkat tersebut berada pada posisi terendah. Singapura menempati peringkat ke-5, Malaysia peringkat ke-21, Thailand peringkat ke-26, Filipina peringkat ke-52, dan bahkan Vietnam pada peringkat ke-53.

Ketiga, hal yang sama buruknya juga terjadi jika diukur berdasarkan indeks daya saing bisnis (Business Competitive Index, IBC). Dari sumber yang sama dengan di atas, IBC Indonesia pada tahun 2006 dinyatakan berada pada peringkat ke 58. Dibandingkan negara ASEAN 6, Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Filipina yang berada pada peringkat ke 60, namun lebih buruk dibandingkan dengan negara Vietnam yang berada pada peringkat ke 55. Apalagi jika

dibandingkan dengan Singapura yang berada pada peringkat ke 3, Malaysia pada peringkat ke-16, dan Thailand pada peringkat ke-21. IBC ini mengukur daya saing bisnis berdasarkan parameter sofistikasi strategi dan operasi perusahaan dan kualitas lingkungan bisnis nasional.

Berdasarkan publikasi RISTEK (2004) disebutkan bahwa penyebab rendahnya Growth Competitiveness Index (GCI) tersebut adalah karena semakin lemahnya kemampuan teknologi. Peringkat kemampuan teknologi nasional (diukur dari tingkat inovasi, telematika, dan alih teknologi) menurun dari peringkat ke-65 tahun 2002 menjadi peringkat ke-71 pada tahun 2006. Sedangkan dalam Business Competitive Index (BCI), rendahnya BCI di tahun 2006 disebabkan

memburuknya strategi dan operasi perusahaan nasional. Dalam hal ini peringkat Indonesia menurun dari peringkat ke-52 pada tahun 2004 menjadi peringkat ke-54 pada tahun 2006.

Bukti empirik lain untuk mengetahui rendahnya daya saing sains dan teknologi ini dapat pula dilihat dari ranking daya saing Indonesia di dunia diukur dari kinerja ekonomi, efisiensi pemerintah, efisiensi bisnis dan infrastruktur. Dalam laporan tahunan Daya Saing Dunia (World Competitiveness Yearbook) tahun 2004 yang disusun oleh Institute for International Management Development (IIMD), peringkat Indonesia terus menurun sejak tahun 2000 dengan menggunakan perhitungan keempat faktor di atas.

Dari 60 negara di dunia yang dipakai perbandingan, Indonesia pada tahun 2006 menempati peringkat ke-54, menurun dibandingkan peringkat yang diperolehnya pada tahun 2000 yakni pada peringkat 43. Dibandingkan dengan negara ASEAN 5, seperti Malaysia yang pernah mengimport tenaga pendidik dari Indonesia pada tahun 70-an, peringkat negara ini berada pada ranking ke-16. Sedangkan Singapura, Thailand dan Filipina berada pada ranking 2, 23 dan 51. Singkat kata, dengan menggunakan indikator tersebut di atas, perkembangan daya saing sains dan teknologi nasional selama ini belum menggembirakan.

(12)

Sebagai varian dari pendapat Lall (1998), Kementerian Negara Riset dan Teknologi dalam Jakstranas (Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional) Sains dan Teknologi 2005-2009 mencatat paling tidak delapan masalah yang menyebabkan rendahnya daya saing sains dan teknologi nasional. Masalah-masalah dimaksud yaitu: (1) keterbatasan sumber daya sains dan teknologi, (2) belum berkembangnya budaya sains dan teknologi, (3) belum optimalnya

mekanisme intermediasi sains dan teknologi, (4) lemahnya sinergi kebijakan sains dan teknologi, (5) belum maksimalnya kelembagaan litbang, (6) belum terkaitnya kegiatan riset dengan kebutuhan nyata, (7) rendahnya aktifitas riset di

perguruan tinggi, dan (8) kelemahan aktivitas riset.

Dalam hal keterbatasan sumber daya sains dan teknologi misalnya, tercatat bahwa rasio tenaga peneliti Indonesia pada tahun 2001 adalah 4,7 peneliti per 10.000 penduduk, jauh lebih kecil dibandingkan dengan Jepang yang sebesar 70,7 peneliti per 10.000 penduduk. Selain itu rasio anggaran litbang sains dan teknologi terhadap PDB sejak tahun 2000 mengalami penurunan dari 0,052 persen menjadi 0,039 persen pada tahun 2002. Rasio anggaran litbang sains dan teknologi terhadap PDB tersebut kini telah meningkat sedikit lebih besar menjadi 0.09 persen pada tahun 2007. Walaupun telah terjadi peningkatan angka rasio anggaran litbang terhadap PDB, namun dibandingkan dengan negara ASEAN, rasio tersebut masih jauh lebih kecil. Malaysia, misalnya, memiliki rasio litbang sains dan teknologi terhadap PDB sebesar 0,5 persen. Sedangkan Singapura memiliki rasio yang jauh lebih tinggi sebesar 1,9 per sen. Sementara itu rekomendasi UNESCO, rasio anggaran litbang sains dan teknologi yang memadai adalah sebesar 2 persen PDB.

Budaya terhadap sains dan teknologi juga belum memiliki bukti telah berkembang secara memadai. Hal ini tercermin dari pola pikir masyarakat yang belum bisa dianggap mempunyai penalaran obyektif, rasional, maju, unggul, dan mandiri. Pola pikir masyarakat masih belum suka berkreasi, mencipta, suka membuat maupun belajar. Selain itu, secara umum dapat terlihat mekanisme intermediasi sains dan teknologi yang menjembatani interaksi antara kapasitas penyedia sains dan teknologi dengan kebutuhan pengguna juga belum optimal. Hal ini bisa dibuktikan dengan belum tertatanya

infrastruktur sains dan teknologi, seperti institusi yang mengolah dan menterjemahkan hasil pengembangan sains dan teknologi menjadi preskripsi teknologi yang siap pakai untuk difungsikan dalam sistem produksi.

Permasalahan lain yakni lemahnya sinergi kebijakan sains dan teknologi antar lembaga nasional. Keadaan ini menyebabkan kegiatan sains dan teknologi belum sanggup memberikan hasil yang signifikan. Kebijakan bidang pendidikan, industri, dan sains dan teknologi belum terintegrasi sehingga mengakibatkan kapasitas yang tidak termanfaatkan pada sisi penyedia, tidak berjalannya sistem transaksi, dan belum tumbuhnya permintaan dari sisi pengguna yaitu industri. Di samping itu kebijakan fiskal dan non-fiskal (moneter) juga dirasakan belum kondusif bagi pengembangan kemampuan sains dan teknologi.

Selanjutnya, rendahnya daya saing sains dan teknologi nasional juga disebabkan belum maksimalnya kelembagaan litbang. Lembaga penelitian dan pengembangan Iptek masih sering diartikan dengan institusi yang sulit berkembang atau bahkan dianggap sebagai tempat untuk memperpanjang usia kerja para pegawai negeri. Selain itu, kegiatan penelitian yang dilakukan nyaris tidak didorong oleh kebutuhan penelitian yang jelas dan eksplisit. Ini menyebabkan lembaga-lembaga litbang tidak memiliki kewibawaan sebagai sebuah instansi yang memberi pijakan "scientific" bagi kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Akibatnya, terjadilah inefisiensi yang luar biasa akibat duplikasi penelitian atau plagiarisme. Dampak lainnya adalah merapuhnya budaya penelitian sebagai pondasi kelembagaan riset dan teknologi, seperti yang terjadi pada sektor pendidikan. Ini berarti pendidikan di Indonesia dapat dikatakan telah gagal menanamkan

(13)

karakter budaya bangsa yang memiliki rasa ingin tahu, budaya belajar dan apresiasi yang tinggi pada pencapaian ilmiah (Zuhal, 2007).

Masalah lain yang tidak kalah pentingnya sebagai penyebab rendahnya daya saing sains dan teknologi yakni belum terkaitnya kegiatan riset dengan kebutuhan nyata. Kelembagaan litbang yang belum dapat berfungsi secara maksimal disebabkan manajemen yang lemah. Seorang peneliti yang hebat, belum tentu memiliki ketrampilan dan sikap

manajerial yang dibutuhkan untuk memimpin sebuah lembaga litbang. Selain itu, perkembangan manajemen penelitian dan pengembangan sains dan teknologi di Indonesia jauh tertinggal. Dari ratusan peneliti tangguh di tanah air, hanya sebagian kecil yang memiliki kemampuan memimpin lembaga litbang sebagai sebuah entitas manajemen. Selain itu, kursus-kursus manajemen (proyek) penelitian dan pengembangan amat jarang dilakukan dan kalaupun ada, ditawarkan oleh pihak asing dengan biaya kursus yang mahal.

Dinamika aktifitas riset di Perguruan Tinggi yang rendah juga merupakan faktor lain yang menyebabkan rendahnya daya saing sains dan teknologi nasional. Dalam kasus pengembangan Iptek di Indonesia, perguruan tinggi diharapkan

menjadi sebuah pusat keunggulan (centre of excellence) namun ternyata juga belum berhasil mengarusutamakan penelitian dan pengembangan dalam Tri Dharma Perguruan Tingginya. Hal ini mengakibatkan: (1) terjadinya arus surut kontribusi (brain-drain) tenaga peneliti ke kegiatan-kegiatan non-penelitian; (2) pengusangan bahan-bahan belajar, (3) penurunan relevansi pendidikan dan layanan masyarakat, (4) tidak berkembangnya pendidikan pascasarjana, terutama tingkat Doktor (S-3), kekayaan intelektual PT, dan kreatifitas dan kewirausahaan staf pengajar di Perguruan Tinggi.

Masalah dan kendala di atas secara langsung telah menghambat perkembangan sains dan teknologi di Indonesia. Oleh karena itu, masalah-masalah di atas perlu mendapat perhatian serius dan penanganan yang tepat dari berbagai pihak terkait. Tanpa perhatian semua pihak dalam mengatasi masalah di atas, maka mustahil daya saing sains dan teknologi nasional dapat melewati negara-negara ASEAN.

Strategi dan Implementasi Litbang Sains dan Teknologi 2005-2009

Untuk menyikapi dan mengatasi kondisi dan permasalahan tersebut di atas, Kementerian Negara Riset dan Teknologi dan 7 LPND (Lembaga Pemerintah Non Departemen) telah menyusun strategi penelititian dan pengembangan sains dan teknologi tahun 2005-2009. Dalam kebijakan strategis nsdionsl (Jakstranas) sains dan teknologi 2005-2009 dinyatakan bahwa Visi Sains dan Teknologi Indonesia 2025, yakni sains dan teknologi sebagai kekuatan utama peningkatan kesejahteraan yang berkelanjutan dan peradaban bangsa. Sedangkan misinya yakni: (1) menempatkan sains dan teknologi sebagai landasan kebijakan pembangunan nasional yang berkelanjutan; (2) memberikan landasan etika pada pengembangan dan penerapan sains dan teknologi; (3) mewujudkan sistem inovasi nasional yang tangguh guna

meningkatkan daya saing bangsa di era global; (4) meningkatkan difusi sains dan teknologi melalui pemantapan jaringan pelaku dan kelembagaan sains dan teknologi termasuk pengembangan mekanisme dan kelembagaan intermediasi sains

(14)

Untuk mendukung visi dan misi tersebut, maka telah disusun pula sistem nilai pembangunan sains dan teknologi yakni akuntabel, excellent, inovatif, dan visioner. Sedangkan strategi yang ditetapkan, yakni: (1) mengintegrasikan sains dan teknologi pada perencanaan pembangunan nasional di semua tingkatan; (2) mengintroduksi sistem inovasi nasional pada sistem produksi dan ekonomi nasional; (3) mendorong terwujudnya iklim yang kondusif bagi berkembangnya kreativitas dan pengetahuan lokal; (4) meningkatkan kesadaran akan pentingnya kualitas SDM, kelengkapan sarana dan prasarana serta kelembagaan sains dan teknologi bagi peningkatan daya saing; dan (5) membangun kesadaran tentang perlunya keterkaitan dan komunikasi di kalangan lembaga sains dan teknologi, pelaku usaha dan masyarakat.

Selain visi dan misi tersebut, Kementerian Negara Riset dan Teknologi juga telah menetapkan riset menuju kemandirian yang terdiri dari empat pilar utama, yaitu: (1) periset berkewajiban untuk merancang metodologi risetnya sehingga hasil risetnya secara segera atau kelak (terukur waktunya); (2) menyusun suatu tatanan institusi di mana riset teoritik (pada umumnya riset dasar) yang "cost center" harus didukung secara pendanaan oleh riset terapan (yang diartikan sebagai teori menjawab masalah) yang "surplus center" karena dapat memperoleh kompensasi dari yang mempunyai masalah, dan harus didukung juga oleh riset industrial (terapan yang secara berlanjut menghasilkan pendapatan) yang "profit center"; (3) komoditas sains dan teknologi yang terdiri atas khasanah Iptek yang dipasarkan, jasa konsultasi dan produk teknologi yang dapat berupa produk intelektual dan produk industri; (4) menyusun dan melaksanakan program

pembinaan dan pengembangan SDM yang paham tentang tugas riset dan memajukan riset sains dan teknologi untuk mampu bekerja memenuhi persyaratan ketiga pilar di atas.

Selanjutnya untuk mempertegas kegiatan penelitian dan pengembangan sains dan teknologi yang dilakukan, maka disusun 6 (enam) Fokus Prioritas Kegiatan Sains dan Teknologi 2005-2009 yakni pembangunan ketahanan pangan, penciptaan dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan, pengembangan teknologi dan manajemen transportasi, pengembangan teknologi informasi dan komunikasi, pengembangan teknologi pertahanan dan keamanan dan pengembangan teknologi kesehatan dan obat.

Dalam hal pembangunan ketahanan pangan, basis produksi dinyatakan perlu diperkuat secara nasional. Untuk itu proses industriliasasi harus mendorong peningkatan nilai tambah kegiatan sektor primer, terutama pertanian dalam arti luas. Sedangkan untuk mencapai ketahanan pangan, maka ketersediaan pangan harus ditingkatkan. Selain itu, perlu menjaga stabilitas penyediaan bahan pangan, serta meningkatkan akses rumah tangga untuk memperoleh pangan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu ditingkatkan produksi pangan multi komoditas dari dalam negeri berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitifnya, efektifitas dan efisiensi distribusi pangan, akses masyarakat terhadap bahan pangan, kemampuan penyediaan pangan (jumlah, mutu, dan ragamnya), kemampuan penyediaan cadangan pangan, serta pengetahuan masyarakat tentang pangan dan gizi.

Sedangkan pembangunan energi diarahkan pada penyediaan dan pemanfaatan sumber daya energi, peningkatan prasarana dan sarana produksi, peningkatan fungsi kelembagaan, peningkatan mutu SDM dan penguasaan teknologi. Demikian pula dengan pengembangan teknologi dan manajemen transportasi diarahkan antara lain dengan

menciptakan jaringan pelayanan secara inter dan antar moda angkutan melalui pembangunan prasarana dan sarana transportasi; diikuti dengan pemanfaatan e-commerce dalam konteks less paper document sehingga kemudahan, kelancaran dan kepastian pelayanan dapat dicapai. Detail dari arah masing fokus ini dapat dilihat pada Jakstranas sains dan teknologi (Iptek) 2005-2009.

(15)

Selanjutnya dalam melaksanakan keenam fokus pengembangan sains dan teknologi disusun program berikut: (1) program penelitian dan pengembangan sains dan teknologi; (2) program difusi dan pemanfaatan sains dan teknologi; (3) program penguatan kelembagaan sains dan teknologi; (4) program peningkatan kapasitas sains dan teknologi sistem produksi (lihat diagram 1).

Diagram 1. Garis-Garis Besar Program Sains dan Teknologi 2005-2009

Â

Untuk mengimplementasikan fokus litbang sains dan teknologi tersebut di atas telah disusun Agenda Riset Nasional (ARN) 2006-2009. ARN ini merupakan dokumen yang disusun untuk memberikan prioritas kegiatan, tonggak capaian dan indikator capaian pembangunan nasional Iptek untuk kurun waktu 2006-2009, yang diletakkan dalam suatu proyeksi capaian jangka panjang (yakni sasaran pada tahun 2025). Selanjutnya, dalam ARN tersebut dinyatakan bahwa

keberhasilan pembangunan Iptek di ke enam bidang fokus tersebut membutuhkan sains dasar dan ilmu sosial dan kemanusiaan yang dikembangkan untuk: (i) memperkuat basis keilmuan keenam bidang fokus; (ii) memperkuat dimensi sosial dan kemanusiaan dari ke enam bidang fokus; dan (iii) mempererat keterkaitan lintas disiplin dan lintas bidang di antara keenam bidang fokus tersebut.

Memperhatikan visi, misi dan strategi serta fokus dan program pengembangan sains dan teknologi di atas, maka keberhasilan dalam implementasinya hanya dapat dicapai bila disertai dukungan dari berbagai sistem penopangnya yang mencakup sistem perencanaan, sistem pembiayaan, serta sistem difusi dan adopsi Iptek. Hasil capaian ini akan

(16)

Penutup

Dari uraian di atas, jelas bahwa upaya untuk membangun daya saing dan kemandirian sains dan teknologi bangsa memerlukan peran aktif semua pihak, baik pemerintah, dunia usaha, akademisi, maupun masyarakat secara umum. Selain peran aktif dimaksud, beberapa masalah dan kendala berikut ini juga mutlak untuk dipecahkan.

Pertama, perlu dihilangkan berbagai problem struktural yang menjadi penghambat upaya untuk mengembangkan sains dan teknologi. Perbaikan struktural dimaksud tidak terbatas pada penyediaan sistem insentif yang berkaitan dengan kebijakan makro ekonomi, melainkan juga pada kebijakan mikro baik yang berkaitan dengan industri, investasi dan perdagangan. Untuk yang disebut terakhir ini, perhatian pada penghilangan berbagai bentuk inefisiensi dan peraturan (atau yang lebih dikenal dengan high cost economy) yang menghambat perkembangan sains dan teknologi domestik harus dihilangkan.

Kedua, meningkatkan terus menerus kualitas SDM yang tidak hanya menyangkut skills dan pendidikan saja, melainkan juga menyangkut penanaman mentalitas bangsa mandiri, kewirausahaan dan etos kerja penuh inovasi dan

profesionalisme kepada masyarakat. Dalam kaitan ini termasuk diantaranya melalui pelatihan-pelatihan kerja dengan sentuhan teknologi yang mumpuni, murah, dan terjangkau merupakan langkah penting dalam mendorong terciptanya daya saing dan kemandirian sains dan teknologi nasional.

Ketiga, pentingnya pembangunan dan pengembangan industri pendukung sains dan teknologi yang tidak hanya sebatas pembangunan dan pengembangan lembaga R and D dan Perguruan Tinggi (baik pemerintah dan swasta) saja,

melainkan juga pentingnya koordinasi antara lembaga-lembaga tersebut. Dengan kata lain, pembangunan sains dan teknologi untuk peningkatan daya saing dan kemandirian bangsa harus dilakukan atas kerjasama dan koordinasi ABG (Academics, Business and Government).

Keempat, upaya pembentukan mekanisme fiskal dan pendanaan khusus, seperti melalui pemberian kredit untuk pembelian peralatan modern, bantuan teknis kepada perusahaan atau lembaga R and D (Research and Development) dalam peningkatan perangkat teknologi yang dimiliki, dan insentif fiskal untuk mendorong perusahaan melakukan R and D. Beban pendanaan kegiatan R and D yang selama ini didominasi oleh pemerintah, seyogyanya harus dikurangi dan "ditanggung renteng" oleh pihak swasta dan BUMN pula. Untuk mencapai tujuan tersebut, kegiatan-kegiatan penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian dan perguruan Tinggi pemerintah harus dikoordinasikan dengan kebutuhan dan kemampuan perusahaan, BUMN, dan pasar. Dengan kata lain, kemitraan antara pihak industri dengan pemerintah atau yang dikenal dengan public private partnership merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Kelima, penetapan kebijakan sains dan teknologi yang merangsang dan melindungi usaha-usaha mikro, kecil dan menengah serta koperasi (UMKM-K) khususnya, perlu diperhatikan. Ini dimaksudkan untuk merangsang UMKM-K untuk menggunakan sains dan teknologi domestik dalam kegiatan usahanya. Demikian pula, berbagai pungutan yang timbul

(17)

dalam pengembangan sains dan teknologi domestik sebagai akibat adanya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi harus dihilangkan. Rantai gurita birokrasi yang panjang dalam pengembangan investasi sains dan teknologi bagi UMKM-K patut pula dihapuskan, karena berakibat buruk pada daya saing dan kemandirian pembangunan sains dan teknologi nasional di satu pihak dan bertentangan dengan momentum globalisasi di lain pihak.

Tentunya masih banyak upaya yang harus dilakukan dalam membangun daya saing dan kemandirian bangsa berbasis sains dan teknologi. Namun apapun yang dilakukan, gagasan upaya maupun langkah-langkah yang diuraikan di atas mutlak diperlukan agar masyarakat secara keseluruhan dapat membangun daya saing dan kemandirian bangsa berbasis sains dan teknologi bagi kesejahteraan hidupnya. Jika tidak, sangat sulit rasanya bangsa ini keluar dari ketergantungan penggunaan sains dan teknologi asing yang berimplikasi kepada kemelaratan perekonomian nasional yang permanen.[]

Referensi

Dokumen terkait

Dari Gambar 6.5 dapat diketahui bahwa kontrol kecepatan propeller mampu mencapai kecepatan yang diharapkan sesuai dengan set point yaitu nilai kecepatan propeller pada

Colletotrichum capsicimerupakan jamur patogen pada tanaman cabai besar (Capsicum annum) yang menimbulkan gejala penyakit antraknosa.Pengendalian penyakit menggunakan

Untuk memperoleh peningkatan daya ledak otot tungkai dapat digunakan pelatihan plyometric depth jump 10 repetisi 3 set bagi para pelatih bolabasket untuk

Namun, hasil uji korelasi spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara tingkat kecukupan konsumsi vitamin A siswa dengan jumlah kehadiran

penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayanti (2014) di wilayah kerja Puskesmas Padongka Kabupaten Barru menunjukkan bahwa terdapat

Dari permasalahan diatas, segenap dosen dan dibantu tenaga mahasiswa program studi ilmu politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana memberikan sumbangsih

Soft handoff sebagai salah satu alternatif handoff baru yang mendukung mobilitas user pada teknologi UMTS ini adalah salah satu aspek yang dapat

Berdasarkan penegasan diatas dapat diambil pengertian bahwa yang dimaksud dengan judul “Pengaruh Pemanfaatan Teknologi Internet Terhadap Prestasi Belajar Pendidikan Agama