• Tidak ada hasil yang ditemukan

Matheus Souisa 1,a, Lilik Hendrajaya 2, Gunawan Handayani 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Matheus Souisa 1,a, Lilik Hendrajaya 2, Gunawan Handayani 2"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823

Karakterisasi Bidang Longsoran dan Penentuan Kondisi Kritis

Berdasarkan Sifat Kelistrikan Bumi di Perbukitan Amahusu, Kota

Ambon Dengan Metode Geolistrik Resistivitas

Matheus Souisa

1,a

, Lilik Hendrajaya

2

, Gunawan Handayani

2

1Program Doktor Fisika ITB, Bandung 2Departemen Fisika, FMIPA ITB, Bandung a e-mail: txsenwitzne@yahoo.co.id

Abstrak – Intensitas sebaran longsoran di Indonesia akhir-akhir ini terus meningkat di daerah perbukitan dan pegunungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik longsoran di lokasi yang berpotensi longsor, dan mengidentifikasi parameter kritis longsoran. Lokasi penelitian adalah lahan perbukitan yang berada pada wilayah berpotensi longsor di perbukitan Tanjung Kayu Besi Amahusu Kota Ambon Provinsi Maluku. Penyelidikan bidang longsoran menggunakan metode geolistrik resistivitas dengan konfigurasi Wenner-Schlumberger dan pengukuran dibagi atas enam lintasan. Hasil penelitian memberikan karakterisasi daerah longsoran tipe slide rotasi. Lokasi longsor merupakan daerah tebing dengan kemiringan 84.2% (40.1º) dan kedalaman 128 m. Citra penampang resistivitas menunjukkan korelasi data geologi dan nilai resistivitas keenam lintasan diperoleh litologi daerah penelitian didominasi oleh nilai resistivitas sedang dengan struktur lapisan berupa lapisan lempung yang bercampur dengan batuan lapuk dan lapisan lempung dengan jenuh air. Kedua lapisan tersebut saling kontak dan membentuk kemiringan terhadap permukaan tanah sehingga menyebabkan adanya potensi kritis gelincir diatasnya.

Kata kunci: Longsoran, bidang gelincir, geolistrik resistivitas, kondisi kritis

Abstract – The intensity distribution of recent landslides in Indonesia continues to increase in the hilly and mountainous regions. This study aims to investigate the characteristics of landslides in the potential area of landslides and to identify mudslides critical parameters. The research is located at the hills of Tanjung Kayu Besi Amahusu, Kota Ambon, Moluccas province. The investigation is conducted using geoelectric resistivity with Wenner-Schlumberger configuration while the measurement is divided into six line. The results of the study provide characterization of the slide-type rotation landslide area. Landslide area is an area of cliffs with a slope of 84.2% (40.1 º) and a depth of 128 m. The sectional image is present that the obtained lithology shown by the correlation of geological data resistivity and resistivity values is dominated by low resistivity values with the structure of a layer of clay, that is mixed with layers of weathered rock and water saturated clay layers. This layer is contact with each other and forms a slope of the ground, causing potentially critical slip surface of the top.

Keywords: Landslides, slip zone, geoelectric resistivity, critical condition I. PENDAHULUAN

Intensitas dan sebaran longsoran di Indonesia akhir-akhir ini terus meningkat di daerah perbukitan dan pegunungan [1]. Pada musim hujan terjadi alterasi tegangan permukaan dalam pori tanah dan menambah berat massa tanah akibat dari air yang meresap ke dalam

tanah dapat memicu ketidakstabilan lereng.

Ketidakstabilan lereng dapat terjadi pada suatu daerah yang memiliki bidang gelincir pada struktur bawah permukaan. Hal inilah yang menyebabkan kerusakan dan gangguan terhadap manusia dan merupakan ancaman bagi populasi manusia [1,2], korban jiwa dan kerugian harta benda yang cukup besar, industri, dan lingkungan [3–5] akibat modifikasi alam oleh kegiatan manusia [6], memberikan kontribusi yang signifikan terhadap evolusi bentuk lahan [7,8] serta tingkat potensi kerugian tergantung dari sifat longsoran itu sendiri [9].

Hasil penelitian sebelumnya, menunjukkan wilayah kota Ambon merupakan daerah yang rentan terhadap bahaya longsor dengan intensitas bencana longsoran dan banjir dari tahun ke tahun diperkirakan meningkat lebih

dari 60% [10]. Selama tahun 2011 – 2013, bencana tanah longsor dan banjir di wilayah ini telah mengakibatkan korban jiwa, kerusakan rumah, pengungsian dan perubahan tata guna lahan. Longsoran ini terjadi di lima kecamatan Kota Ambon yaitu, Teluk Ambon, Teluk Ambon Baguala, Leitimur Selatan, Sirimau dan Nusaniwe. II. LANDASAN TEORI

A. Dinamika Longsoran

Tanah longsor (longsoran) atau gerakan massa tanah/batuan [11, 12] merupakan proses pergerakan material penyusun lereng meluncur atau jatuh ke arah kaki lereng karena kontrol gravitasi bumi [13]. Longsoran sebagai suatu gerakan massa dari batuan, tanah atau jatuhan ke bawah melalui satu bidang miring [14]. Jenis longsoran berdasarkan material yang dilongsorkannya terbagi menjadi tiga bagian [15], antara lain batuan, material debris dan tanah. Sedangkan kelompok utama gerakan tanah menurut Hutchinson [16] terdiri atas rayapan (creep) dan longsoran (landslide) yang dibagi lagi menjadi sub-kelompok gelinciran (slide), aliran (flows),

(2)

Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823

jatuhan (fall) dan luncuran (slip). Menurut Zaruba and Mencl [17], penyebab longsoran adalah perubahan tingkat kelerengan, pelemahan material lereng karena pelapukan, meningkatnya kandungan air, perubahan pada vegetasi penutup lereng dan kelebihan pembebanan.

Longsoran tipe aliran debris, menurut Varnes [18], mempunyai kekuatan menghancurkan dan kecepatan alir sangat besar. Bila aliran debris bergerak sepanjang bidang miring dengan asumsi alirannya laminar, maka persamaan momentum untuk komponen kecepatan pada bidang miring dalam bentuk Lagrangian [19] menjadi:

) 1 ( 1 sin 1 y g x p Dt Du        

dengan u : komponen kecepatan pada arah-x (m/s), t : waktu (s),  : kerapatan fluida (kg/m3), p : tekanan (N/m2), g : percepatan gravitasi (m/s2), : sudut kemiringan (der.), dan  : tegangan geser (N/m2).

Pada saat kemiringan lereng mengalami gelincir (retak) di titik massa M, maka kecepatan longsoran [19]:

)

(tan

2

)

(

x

g

x

U

(2)

dengan U(x) : kecepatan maksimum longsoran di x (m/s), x : jarak longsoran (m) dan  : koefisien gesek.

B. Metode Geolistrik Resistivitas

Aplikasi metode geolistrik resistivitas telah banyak digunakan untuk survei maupun ekplorasi sumberdaya alam, seperti pencarian sumber panas bumi, distribusi sumber mata air panas, survei air tanah, sebaran mineral dan gerakan tanah atau tanah longsor [20]. Metode geolistrik ini bersifat tidak merusak lingkungan, biaya relatif murah dan mampu mendeteksi perlapisan tanah sampai kedalaman beberapa meter di bawah permukaan tanah [21]. Metode geolistrik resistivitas memiliki beberapa konfigurasi yaitu konfigurasi Schlumberger, konfigurasi Wenner, konfigurasi Square, konfigurasi dipol-dipol dan konfigurasi elektroda pole-dipol. Oleh karena itu metode ini dapat dimanfaatkan untuk survei daerah rawan longsor, khususnya untuk menentukan ketebalan lapisan yang berpotensi longsor serta litologi perlapisan batuan bawah permukaan.

Pada penelitian ini digunakan metode geolistrik resistivitas dengan konfigurasi Wenner-Schlumberger (W-S). Jarak antara kedua elektroda arus sama dengan jarak antara kedua elektroda potensial sebesar a. Sedangkan elektroda arus dan elektroda potensial bagian dalam (A dan M atau N dan B) berjarak na, dengan n = 1,2,3,4,.... (gambar 1). Sehingga faktor geometri untuk konfigurasi elektroda W-S [21] adalah

 

n a n

K 1

(3)

Secara umum nilai resistivitas semu [23,24] dapat ditulis sebagai: ) 4 ( IV K a   

dengan ρa : resistivitas semu (Ωm), ∆V : beda potensial (volt), I : kuat arus (A), dan K : faktor geometri yang nilainya tergantung dari konfigurasi elektroda yang digunakan [22].

Gambar 1. Posisi titik ukur pada konfigurasi W-S III. METODE PENELITIAN

Tempat penelitian berada di Perbukitan Tanjung Kayu Besi Desa Amahusu Kecamatan Nusaniwe Kota Ambon. Secara geografis wilayah tersebut terletak pada koordinat: 03043.990’ s/d 03043.926’ LS, dan 128008.388’ s/d 128008.328’ BT (gambar 2). Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 29 September - 2 Oktober 2014.

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

Akuisisi data lapangan dilakukan setelah lintasan dan titik pengamatan ditentukan di daerah penelitian untuk pengambilan data lapangan. Pengambilan data resistivitas lapangan dilakukan dengan menggunakan konfigurasi

Wenner-Schlumberger menggunakan peralatan

NANIURA NRD-300 Resistivitymeter. Hasil pengukuran

yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan software

Res2Dinv untuk menghasilkan penampang 2D model bawah permukaan. Untuk mengetahui sebaran nilai resistivitas sebenarnya pada area survei dilakukan proses stacked section, yang merupakan penggabungan peta penampang tegak dari seluruh lintasan sehingga dapat memberikan gambaran model 3D.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian di perbukitan Amahusu Kecamatan Nusaniwe Kota Ambon, ditemukan 6 (enam) kejadian longsoran dengan karakteristik longsor yang ditemui, yaitu tipe slide rotasi. Penyelidikan difokuskan pada perbukitan Tanjung Kayu Besi karena dikategorikan menjadi lokasi rawan longsor. Longsoran slide rotasi terjadi pada kemiringan yang tinggi dengan lereng yang curam, dan terjadi pada penggunaan lahan hutan, dengan

(3)

Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823

kemiringan sekitar 250 m dengan beda tinggi 128 m. Pada geometri ini diperkirakan kecepatan longsor bisa mencapai 86.8 km/jam (gambar 3) dengan koefisien gesekan 0.61.

Gambar 3. Kecepatan fungsi dari posisi longsor

Hubungan antara panjang dan kemiringan lereng berkaitan dengan keseimbangan energi. Dinamika longsoran berlangsung jika terdapat gaya–gaya yang berlangsung di dalamnya yang dapat menyebabkan alterasi energi. Energi yang mempengaruhi kekuatan bumi didasari pada gaya endogen dan gaya eksogen. Gaya gravitasi menarik sejumlah massa batuan akibat yang terletak di atas lereng turun ke bawah sampai terbentuk lereng yang relatif stabil dengan kecepatan yang tinggi. Proses terjadinya longsoran berawal dari aktivitas masyarakat yang membuka lahan untuk kegiatan perkebunan tanpa melihat kondisi dan keadaan topografi daerah sekitar. Pada saat musim penghujan, sebagian besar tanah-tanah yang diolah ini tidak mampu menahan beban yang terdapat diatasnya sehingga air yang berasal dari hujan merembes kedalam tanah hingga beberapa meter dan pada keadaan jenuh sejumlah massa tanah yang berada di lapisan paling bawah tidak mampu lagi menahan massa diatasnya maka terjadilah longsor dengan kecepatan yang besar (gambar 3). Alterasi kecepatan longsoran sangat tergantung pada ketinggian lereng dan posisi pengendapan material longsor.

Pemodelan citra penampang resistivitas dilakukan dengan pengukuran titik resistivitas pada enam lintasan dengan spasi 4 m dan panjang lintasan 100 m dengan arah lintasan utara–selatan. Pada lintasan ini merupakan bidang miring dengan ketinggian 10.5 – 139.0 mdpl. Parameter-parameter yang diperoleh berupa nilai resistivitas semu. Nilai ini dikorelasi untuk memperoleh gambaran kondisi fisik batuan di bawah permukaan melalui interpretasi hasil inversi dengan menggunakan peta anomali penampang.

Stacked section true resistivity (gambar 4 dan 5) didominasi oleh nilai resistivitas yang rendah hingga sedang dengan kenampakan sebaran resistivitas AMH-01 berbeda dengan lintasan AMH-02 dan AMH-03 dimungkinkan terjadi pada kedalaman lebih dari 5 m. Sedangkan pada kedalaman yang sama, kenampakan sebaran resistivitas AMH-04 menyerupai dengan AMH-02 dan AMH-03. Hal ini terdapat kemungkinan kemenerusan zona gelincir longsoran disekitar titik 8 – 58 pada lintasan AMH-02 dan titik 25 – 55 pada lintasan AMH-03 menerus hingga di sekitar titik 25 pada AMH-01. Dimungkinkan

juga adanya zona gelincir longsoran di bawah kedalaman 5 m pada titik 25 – 52 di lintasan AMH-04, -05 dan -06.

Gambar 4. Stacked section true resistivity lintasan 1, 2 dan 3 Bidang gelincir di lintasan yang diukur diperoleh dari kontras resistivitas antar dua batuan yang saling berdekatan. Bila resistivitas lapisan atasnya jauh lebih rendah dari resistivitas lapisan bawah maka sangat memungkinkan terjadi longsoran hal ini dikarenakan lapisan ini mempunyai beban yang lebih berat, dan air yang masuk tidak dapat menembus lapisan lempung sehingga air tersebut akan terkumpul pada permukaan lapisan bawah yang menyebabkan kohesi dan gesekan menjadi kecil dan lapisan tersebut menjadi licin sehingga gampang terkikis dan mengalir. Hal ini memberikan gaya dorong pada lereng melampaui gaya penahan sehingga berpengaruh pada penurunan kekuatan geser dan meningkatnya tekanan pori, dan bahkan didukung oleh bidang yang cukup terjal dengan topografinya miring menuju muka laut dan curah hujan yang sangat tinggi sehingga air lebih mudah menghilang pada posisi ini.

Gambar 5. Stacked section true resistivity Lintasan 4, 5 dan 6 Secara umum, bagian timur daerah penelitian memiliki nilai resistivitas yang sedang, hal ini karena bagian ini tersusun atas batuan lempung berpasir. Berdasarkan citra penampang 2D, secara terlihat adanya kemenerusan nilai resistivitas sedang pada masing-masing lintasan dengan arah relatif timur–barat. Anomali resistivitas sebaran longsoran pada arah vertikal cukup dangkal hanya mencapai kedalaman 15 m. Alterasi anomali ini memungkinkan potensi sebaran longsoran tetap pada lokasi semula apabila terjadi gangguan-gangguan pada

(4)

Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823

lereng tersebut dan berpeluang bergeser ke arah timur laut dengan prediksi kecepatan longsor berkurang dari sebelumnya. Sedangkan pada arah horizontal sebaran longsoran mengikuti arah kemiringan potensi longsor searah dengan bidang gelincir yaitu mengarah ke barat. V. KESIMPULAN

Karakterisasi daerah longsoran di daerah penelitian merupakan tipe slide rotasi, yang teridentifikasi dari retakan tanah akibat penetrasi air hujan dan alterasi lahan. Lokasi longsor merupakan daerah tebing dengan

kemiringan 84.2% (40.10) dan kedalaman 128 m

diperkirakan kecepatan longsoran mencapai 86.8 km/jam. Dari penampang resistivitas diidentifikasi bahwa daerah gelincir dicirikan dengan resistivitas sekitar 5 ohm.m dan berada pada kedalaman lebih 5 m dibawah permukaan.

Struktur lapisan batuan merupakan lapisan lempung yang bercampur dengan batuan lapuk dan lapisan lempung jenuh air. Kedua lapisan tersebut saling kontak dan membentuk kemiringan terhadap permukaan tanah sehingga menyebabkan adanya potensi gelincir diatasnya. Hal ini dikarenakan lapisan tersebut akan gampang terkikis dan mengalir, apalagi didukung oleh bidang yang cukup terjal dan curah hujan yang cukup tinggi.

Diperlukan mitigasi bahaya longsor dengan penanaman pohon atau broncong sehingga dapat mencegah terjadinya longsor susulan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada Laboratorium Fisika FMIPA Unpatti dan Dinas ESDM Provinsi Maluku atas bantuannya dalam pengambilan data.

PUSTAKA

[1] R. Bell, H. Petschko, M. Röhrs, and A. Dix, Assessment of Landslide Age, Landslide Persistence and Human Impact

Using Airborne Laser Scanning Digital Terrain Models.

Geografiska Annaler: Series A, Physical Geography. Swedish Society for Anthropology and Geography, 2012. [2] R.L. Schuster, Socioeconomic Significance of Landslides.

In: Turner, A.K. and Schuster, R.L. (eds), Landslides –

Investigation and Mitigation. National Research Council,

Washington, DC. 1996, pp.12–35.

[3] K. Sassa, International Programme On Landslides. Springer-Verlag, Berlin Heidelberg, 2013.

[4] D. J. Varnes, and IAEG, Commission on Landslides and otherMass- Movements: Landslide hazard zonation: a

review of principlesand practice. UNESCO Press, Paris,

1984, 63.

[5] T. Glade, M. Anderson dan M. J. Crozier., 2005. Landslide

Hazard and Risk. John Wiley & Sons Ltd, The Atrium,

Southern Gate, Chichester, West Sussex PO19 8SQ, England.

[6] P.V. Gorsevski, P. Jankowski, and P.E. Gessler, 2006. An heuristic approach for mapping landslide hazard by

integrating fuzzy logic with analytic hierarchy process.

Journal of Control and Cybernetics Vol 35 No.1.

[7] M.J. Crozier M.J, Landslide Geomorphology: An Argument For Recognition, With Examples From New

Zealand. Geomorphology, vol.120, 2010, pp. 3-15.

[8] O.Korup, A.L. Densmore, and F.Schlunegger, The Role Of

Landslides In Mountain Range Evolution.

Geomorphology, vol.120, 2010, pp. 77–90.

[9] V.T. Matziaris, M.T. Ferentinou, O.T.Angelopoulou, S.I. Karanasiou and M. Sakellariou, Landslide Hazard

Analysis -A Case Study In Kerasia Village (Prefecture of

Karditsa). Bulletin of the Geological Society of Greece vol. XXXX, 2007, pp. 1711 – 1722.

[10] M. Souisa, L. Hendrajaya dan G. Handayani, Investigasi Awal Mekanisme Tanah Longsor di Pulau Ambon, Provinsi Maluku, Prosiding Seminar Basic Sains VI, FMIPA Ambon, Agustus 2014, pp.23-32.

[11] D.M. Cruden, A Simple Definition of Landslide. Bulletin of The International Association of Engineering Geology 1991, p.43.

[12] R.Fell, O. Hungr, S. Leroueil and W. Riemer., Keynote Lecture – Geotechnical Engineering Of The Stability Of

Natural Slopes, And Cuts And Fills In Soil. GeoEng

Conference, Sidney, Australia, 2000.

[13] M.J. Crozier and T. Glade, Landslide Hazard And Risk:

Issues, Concepts, And Approach. In: Glade, T., Anderson,

M.G. and Crozier, M.J. (eds), Landslide Hazard andRisk. Wiley, Chichester, 2005, pp.1–38.

[14] J. Cepeda, H. Smebye, B. Vangelsten, F.Nadim, and

D.Muslim., 2011. Landslide Risk In Indonesia.

Global Assessment Report.

[15] M.A.Sroor., 2010. Geology and Geophysics in Oil Exploration.

[16] J.N. Hutchinson., 1988. Morphological And

Geotechnical Parameters of Landslides: in Realtion to Geology and Hydrogeology. Symposium Landslide, vol.1: 3 – 15.

[17] Q. Zaruba and V. Mencl, Landslides and Their Control. Second completely revised edition, Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam, 1982. [18] D.J. Varnes, Slope Movements Types and Processes. In

Landslide: analysis and Control. Nation Academy of

Sciences, Washington, DC, 1978.

[19] F. V. de Blasio, Introduction to the Physics of Landslides. Springer Science+Business Media, New York, B.V. 2011, pp. 118-119.

[20] D.H. Griffiths, and R.D. Barker., 1993. Two Dimensional Resistivity Imaging and Modelling in Areas of Complex

Geology. Journal of Applied Geophysics, V.29. p.211-226.

[21] M.S.Sapulete, Sismanto, and M. Souisa, 2012. Mapping of Lateritic Nickel Deposit Using Resistivity Method at Gunung Tinggi Talaga Piru, Western Seram Regency,

Mollucas Province. Proceeding Earth Science International

Seminar, Yogyakarta 29th November 2012. p.132-138. [22] R. Kirsch., 2006. Groundwater Geophysics: A tool for

hydrogeology. Springer Berlin Heidelberg, New York.

[23] M.B. Dobrin, and C.H. Savit., 1988, Introduction To

Geophysical Prospecting, fourth edition, McGraw-Hill

Book Company, New York.

[24] J. Milsom., 2003. Field Geophysics, Third edition, John Willey & Sons, Ltd., England.

TANYA JAWAB

Eddy Hermawan, LAPAN

 Mohon dibandingkan dengan kejadian longsor di

kawasan lain, seperti longsor di Banjarnegara, Jateng November/Desember 2014!

 Mekanisme terjadinya longsor seperti apa? apakah

(5)

Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823

Matheus Souisa, ITB

 Karakteristik keunikan batuan gunung api Ambon

beda dengan daerah lain. Batuan pelapukan (tuf) menjadi lapuk apalagi ditambah dengan curah hujan dan kelerengan yang curam dan sempit maka terjadinya longsor dengan kekuatan besar.

 Pengaruh longsor selain karena faktor gravitasi, curah

hujan tetapi juga gempa bumi, alterasi perubahan lahan, curah hujan tinggi, tanah/batuan menjadi basah dan berat menyebabkan kohesifitas rendah dan gaya gesek juga kecil. Bila didukung dengan kemiringan yang tinggi maka memudahkan inisiasi terjadinya longsor.

Gambar

Gambar 1.  Posisi titik ukur pada konfigurasi  W-S III. METODE PENELITIAN
Gambar 4.  Stacked section true resistivity lintasan 1, 2 dan 3  Bidang gelincir di lintasan yang diukur diperoleh dari  kontras  resistivitas  antar  dua  batuan  yang  saling  berdekatan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penampang resistivitas yang telah dikorelasikan dengan data bor dan geologi setempat, maka diperoleh jenis batuan dan nilai resistivitasnya sebagai berikut :

Soeharto dalam demokrasi ‘Pancasila’ dengan membatasi sekaligus memisahkan parlemen dengan kekuasaan eksekutif. Dalam arti iini, parlemen posisinya tidak ditiadakan

Tindak tutur deklaratif ( 宣言型) yaitu suatu pernyataan yang dapat mengubah kondisi atau kenyataan yang berbeda dengan keadaan sebelumnya.. Wujud dari tindak tutur

244 PT.SUMBER GRAHA SEJAHTERA CABANG PURBALINGGA (BAJONG) 245 PT.YIMEI GROUP INTERNATIONAL. 246 CV AGRAPRANA FURNITURE

Menimbang : bahwa untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Bintan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten

SufijayaSemarang bisa dijadikan dasar pengambilan keputusan manajemen dalam proses penerimaan karyawan untuk jabatan Keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran kepemimpinan kepala sekolah dalam mengembangkan budaya religius di SMP N 2 Batang Peranap Kabupaten Indragiri

Pada clustering Index terdapat satu entri indeks untuk setiap nilai yang berbeda dari setiap field, titik entri indeks ke blok data pertama yang berisi catatan dari nilai