• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Teori Keagenan telah menjadi perhatian dan terus dikembangkan oleh para

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Teori Keagenan telah menjadi perhatian dan terus dikembangkan oleh para"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1.Teori Penelitian dan Tinjauan Pustaka 1. Teori Keagenan (Agency Theory)

Teori Keagenan telah menjadi perhatian dan terus dikembangkan oleh para peneliti sejak tahun 60 dan 70-an. Hingga pada tahun 1976 penelitian yang dilakukan oleh Jensen and Meckling melahirkan sebuah konsep tentang Teori Keagenan yang kemudian menjadi referensi bagi berbagai pihak seperti akademisi, peneliti, ekonom diberbagai belahan dunia.

Teori Keagenan (Agency Theory) mendasarkan hubungan kontrak antar anggota-anggota dalam perusahaan, dimana prinsipal dan agen sebagai pelaku utama. Konsep Agency relationship diperkenalkan oleh Jensen and Meckling (1976) yaitu sebagai:

“… a contract under which one or more persons (the principal(s)) engage another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating some decision making authority to the agent.”

Dengan demikian pemilik atau pemegang saham sebagai prinsipal, sedangkan manajemen sebagai agen. Prinsipal merupakan pihak yang memberikan mandat kepada agen untuk bertindak atas nama prinsipal, sedangkan agen merupakan pihak yang diberi amanat oleh prinsipal untuk menjalankan perusahaan. Agen berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah diamanahkan oleh prinsipal kepadanya.

(2)

Teori Keagenan diwujudkan dalam kontrak kerja yang mengatur hak dan kewajiban baik prinsipal maupun agen. Kontrak kerja harus bersifat fairness yaitu dapat menyeimbangkan antara prinsipal dan agen, hal ini dapat dilihat dalam wujud pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan pemberian insentif/imbalan yang memuaskan dari prinsipal ke agen.

Baik prinsipal maupun agen, keduanya mempunyai posisi tawar yang berbeda. Kondisi dimana posisi, fungsi, kepentingan dan latar belakang prinsipal dan agen yang berbeda serta saling bertolak belakang namun saling membutuhkan ini, maka sebagai konsekuensinya dalam praktik akan menimbulkan pertentangan dengan saling tarik menarik kepentingan dan pengaruh antara satu sama lain.

Dalam konsep Agency Theory, manajemen sebagai agen semestinya bertindak untuk mewakili kepentingan pemilik atau shareholders, namun demikian tidak tertutup kemungkinan manajemen bertindak untuk kepentingannya sendiri. Manajemen dapat melakukan tindakan-tindakan merugikan kepentingan perusahaan. Perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen inilah disebut dengan Agency Problem yang salah satunya disebabkan oleh adanya Asymmetric Information.

Asymmetric Information (AI) adalah informasi yang tidak seimbang yang disebabkan karena adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal dan agen. Akibat adanya informasi yang tidak seimbang (asimetri) ini, dapat menimbulkan 2 permasalahan (Arifin 2005, 8) yaitu:

a. Moral Hazard, yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja.

(3)

b. Adverse selection, yaitu suatu keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.

Adanya agency problem tersebut di atas, menimbulkan biaya keagenan (agency cost), yang menurut Jensen dan Meckling (1976, 311) terdiri dari:

a. The monitoring expenditures by the principle

yaitu biaya yang timbul dan ditanggung oleh prinsipal untuk memonitor perilaku agen, yaitu untuk mengukur, mengamati, dan mengontrol perilaku agen.

b. The bonding expenditures by the agent

merupakan biaya yang ditangung oleh agen untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agen akan bertindak untuk kepentingan prinsipal.

c. The residual loss

merupakan pengorbanan yang berupa berkurangnya keuntungan prinsipal sebagai akibat dari perbedaan keputusan agen dan keputusan prinsipal.

Dalam uraian tentang Agency Theory di atas disebutkan bahwa adanya perilaku dari manajer/agen untuk bertindak hanya untuk menguntungkan dirinya sendiri dengan mengorbankan kepentingan pihak lain/pemilik, dapat terjadi karena manajer mempunyai informasi yang lengkap mengenai perusahaan, sedangkan informasi tersebut tidak dimiliki oleh pemilik perusahaan (dalam hal ini timbul Asymmetric Information atau AI).

(4)

2. Teori Tata Kelola Perusahaan (Good Corporate Governance)

Tata Kelola Perusahaan atau Good Corporate Governance (GCG) diperkenalkan pertama kali pada tahun 1992. Saat itu Cadbury Committee di Inggris menerbitkan laporan yang berjudul “The Financial Aspects of Corporate Governance” atau lebih dikenal dengan dengan Cadbury Report. Sejak saat itu maka Cadbury Report tersebut menjadi dasar dalam penerapan Tata Kelola Perusahaan/GCG di Inggris bahkan hingga ke berbagai negara.

Tata Kelola Perusahaan didefinisikan oleh Sir Adrian Cadbury (Mallin 2004, 3) sebagai: “the whole system of controls, both financial and otherwise, by which a company is directed and controlled.” Sedangkan the OECD tahun 1999 mendefinisikan sebagai:

“a set of relationships between a company’s board, its shareholders and other stakeholders. It also provides the structure through which the objectives of the company are set, and the means of attaining those objectives, and monitoring performance are determined.”

Daniri (2014, 21) mendefinisikan GCG sebagai suatu pola hubungan (struktur), sistem dan proses yang mengarahkan organ perusahaan (Direksi, Dewan Komisaris dan RUPS) memberikan nilai tambah kepada perusahaan secara berkesinambungan, dengan tetap memperhatikan kepentingan para stakeholder, berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku.

Beberapa institusi di Indonesia memiliki definisi terkait Tata Kelola Perusahaan/GCG, salah satunya Menteri Negara BUMN yang mendefinisikan bahwa “Good Corporate Governance adalah prinsip korporasi yang sehat yang perlu diterapkan dalam pengelolaan perusahaan yang dilaksanakan semata-mata demi

(5)

menjaga kepentingan perusahaan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan perusahaan.” (Surat Keputusan Menteri Negara/Kepala Badan Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN No. 23/M PM/BUMN/2000 tentang Pengembangan Praktik GCG dalam Perusahaan Perseroan (PERSERO)).

Dalam penerapan GCG terdapat 5 (lima) prinsip yang terkandung didalamnya (Daniri 2014, 10) yaitu:

1. Transparency (Keterbukaan Informasi)

Transparansi adalah keterbukaan informasi baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai kegiatan perusahaan.

2. Accountability (Akuntabilitas)

Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan per-usahaan terlaksana secara efektif. 3. Responsibility (Pertanggungjawaban)

Pertanggungjawaban adalah kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku.

4. Independency (Kemandirian)

Kemandirian adalah suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.

(6)

5. Fairness (Kesetaraan atau Kewajaran)

Kesetaraan atau Kewajaran adalah perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.

Pada prinsipnya GCG merupakan suatu aturan main, prosedur dan hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang melakukan kontrol/pengawasan terhadap keputusan tersebut. Menurut Walsh dan Seward (1990, 422) terdapat 2 (dua) mekanisme untuk membantu menyamakan perbedaaan kepentingan antara pemegang saham dan manajer dalam rangka penerapan GCG, yaitu: (1) mekanisme pengendalian internal perusahaan, dan (2) mekanisme pengendalian ekternal berdasarkan pasar.

Mekanisme pengendalian internal perusahaan dilakukan dengan membuat seperangkat aturan yang mengatur tentang mekanisme bagi hasil, baik yang berupa keuntungan, imbal hasil maupun risiko-risiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Sementara mekanisme pengendalian eksternal adalah pengendalian perusahaan yang dilakukan oleh pasar.

Mekanisme pengendalian lain yang digunakan secara umum dan luas adalah melalui pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang disusun berdasarkan standar akuntansi yang berlaku diharapkan dapat meminimalkan perbedaan kepentingan antara berbagai pihak yang berkepentingan dalam perusahaan.

Dalam laporan keuangan tersebut terdapat 2 (dua) jenis sifat informasi yang diungkapkan, yaitu mandatory disclosure dan voluntary disclosure (Arifin 2005, 21). Informasi yang bersifat mandatory disclosure adalah informasi yang harus

(7)

diungkapkan dalam laporan keuangan karena memang diwajibkan oleh peraturan atau undang-undang. Sedangkan informasi yang bersifat voluntary disclosure adalah informasi yang secara sukarela diungkapkan di dalam laporan keuangan dengan maksud untuk menambah informasi bagi kepada pemakai laporan keuangan.

Dari uraian tersebut diatas, baik mekanisme pengendalian internal maupun eksternal keduanya memiliki tujuan guna menyelaraskan hubungan antara prinsipal dengan agen dengan meminimalkan konflik yang terjadi akibat adanya informasi yang tidak seimbang (Asymmetry Information).

3. Teori Pengungkapan Risiko (Risk Disclosure)

Pengungkapan (disclosure) merupakan penyebaran informasi yang material kepada masyarakat yang mana isinya berupa evaluasi dari kegiatan usaha sebuah perusahaan dalam hal ini yaitu bank. Menurut Idroes (2011, 234) Pilar 3 Basel II menetapkan persyaratan pengungkapan yang memungkinkan pelaku pasar untuk menilai informasi-informasi utama mengenai cakupan risiko, modal, eksposur risiko, proses pengukuran risiko dan kecukupan modal bank.

Pengungkapan risiko penting karena membantu stakeholder (pemangku kepentingan) dalam mendapatkan informasi yang diperlukan untuk memahami profil risiko dan bagaimana manajemen mengelola risiko. Pengungkapan risiko juga bermanfaat untuk memonitor risiko dan mendeteksi potensi masalah sehingga dapat melakukan tindakan lebih awal agar masalah tersebut tidak terjadi (Linsley dan Shrives 2006, 388).

(8)

Menurut Adamu (2013, 15) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat 4 (empat) manfaat dari pengungkapan risiko perusahaan (Corporate Risk Disclosure) yaitu:

a. Meningkatkan transparansi perusahaan; b. Mendorong manajemen risiko yang efektif;

c. Meminimalisasi permasalahan terkait valuasi saham (over/under); dan d. Membantu para analis untuk memprediksi pendapatan.

Sementara Idroes dan Sugiarto (2006, 167) berpendapat bahwa pengungkapan risiko juga sangat penting bagi manajemen bank, dalam hal ini dewan direksi dan senior manajemen untuk melaporkan setiap aktivitas kepada pihak terkait dengan perusahaan/pemangku kepentingan (stakeholder). Pengungkapan menjadi pertimbangan penting karena menyediakan kepada investor yang ada dan investor potensial mengenai informasi yang relevan tentang keadaan perusahaan yang sedang berjalan serta kinerjanya dimasa yang akan datang. Untuk itu, perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di pasar modal akan menghadapi persyaratan keterbukaan yang lebih kompleks jika dibandingkan dengan perusahaan tertutup.

Ketentuan yang mengatur mengenai pengungkapan bank umum di Indonesia diatur dalam:

a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank, yang sebagian telah dicabut dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/14/PBI/2012 tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank.

b. Surat Edaran Bank Indonesia No. 3/31/DPNP tentang Laporan Tahunan Bank Umum dan Laporan Tahunan Tertentu yang Disampaikan kepada Bank Indonesia,

(9)

yang sebagian telah dicabut Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/35/DPNP perihal Laporan Tahunan Bank Umum dan Laporan Tahunan Tertentu yang Disampaikan kepada Bank Indonesia.

Stanton dan Stanton (2002) melakukan evaluasi terhadap hasil penelitian atas laporan tahunan perusahaan, dimana terdapat 70 penelitian terhadap pengungkapan risiko yang dipublikasikan pada tahun 1990-2000 namun tidak satupun membahas masalah pengungkapan risiko (Linsley dan Shrives 2006, 389).

4. Teori Manajemen Risiko

Pengertian risiko menurut Idroes (2011, 4) adalah ancaman atau kemungkinan suatu tindakan atau kejadian yang menimbulkan dampak yang berlawanan dengan tujuan yang ingin dicapai. Di sisi lain, Risiko juga merupakan peluang dimana risiko adalah sisi yang berlawanan dari peluang untuk mencapai tujuan. Sedangkan menurut Ghozali (2007, 3) risiko dapat didefinisikan sebagai volatilitas outcome yang umumnya berupa nilai dari suatu aktiva atau hutang.

Menurut MacDonald dan Koch (2006, 74) Manajemen Risiko adalah: “…process by which managers identify, assess, monitor, and control risks associated with a financial institution’s activities.” Sementara menurut Idroes (2011, 6) Manajemen risiko dapat didefinisikan sebagai suatu metode logis dan sistematik dalam identifikasi, kuantifikasi, menentukan sikap, menetapkan solusi, serta melakukan monitor dan pelaporan risiko yang berlangsung pada setiap aktivitas atau proses. Tindakkan manajemen risiko diambil perusahaan untuk merespon bermacam-macam risiko.

(10)

Terdapat 4 (empat) risiko utama yang perlu mendapat perhatian menurut Pyle (1997, 3) yaitu: Market risk, Credit Risk, Operational Risk dan Performance Risk. Sedangkan khusus di Indonesia ketentuan mengenai manajemen risiko pada sektor perbankan telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, dimana pada Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa risiko perbankan terdiri dari Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Hukum, Risiko Reputasi, Risiko Strategik dan Risiko Kepatuhan.

5. Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder)

Perkembangan pendekatan stakeholder dalam manajemen strategis berkembang pada pertengahan tahun 80-an. Tepatnya di tahun 1984 dimana R. Edward Freeman menerbitkan buku yang berjudul “Strategic Management - A Stakeholder Approach”. Selanjutnya Freeman dan McVea (2001, 3) melihat bahwa sejak saat itu teori atau konsep dengan pendekatan Stakeholder menjadi bahan penelitian dan diskusi oleh berbagai kalangan.

Teori stakeholder (Pemangku kepentingan) menjelaskan bahwa perusahaan tidak hanya beroperasi untuk pencapaian tujuan dari pemilik saja akan tetapi harus memberikan manfaat bagi para stakeholder-nya. Stakeholder (Pemangku kepentingan) tersebut diantaranya adalah pemegang saham, kreditur, konsumen, pemasok, pemerintah, masyarakat dan pihak lainnya yang ikut serta dalam proses pencapaian tujuan perusahaan.

(11)

Pengertian stakeholder terus berevolusi dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Bahkan Freeman sebagai “bapak” dari konsep stakeholder memberikan pengertian yang berbeda dari waktu ke waktu (Fontaine et al. 2006: 4). Menurut Damak-Ayadi Pesqueux (2005, 6) Freeman pada tahun 1984 mendefinisikan stakeholder sebagai “any group or individual that can affect or be affected by the realisation of a company’s objectives.” Sementara pada tahun 2004 Freeman mendefinisikan stakeholder sebagai: “those groups who are vital to the survival and success of the corporation”.

Pada perkembangan selanjutnya Donaldson dan Preston (1995, 71) memperkenalkan 3 (tiga) pendekatan terhadap konsep stakeholder ini, yaitu:

a. Descriptive/Empirical

Teori ini menguraikan dan menjelaskan karakteristik dan perilaku khusus perusahaan. Sebagai contoh teori stakeholder digunakan untuk menjelaskan: (1) Sifat/maksud dari perusahaan (2) Cara manajer mengelola (3) Bagaimana pandangan komisaris/direksi terhadap kepentingan para pemegang saham, dan (4) Bagaimana bagaimana perusahaan sesungguhnya dikelola.

b. Instrumental

Teori ini masih terkait dengan data descriptive/empirical yang tersedia, dimana teori ini digunakan untuk mengidentifikasi hubungan atau kurangnya hubungan antara pengelolaan stakeholder dan pencapaian tujuan perusahaan.

(12)

c. Normative

Teori ini digunakan untuk menerangkan fungsi dari perusahaan termasuk mengidentifikasi pedoman moral dan filosofis operasional dan pengelolaan perusahaan.

6. Teori Pengawasan Perbankan (Banking Supervision)

Bank adalah lembaga intermediasi yang memberikan layanan jasa penyimpanan dana dari pihak yang memiliki dana dan menyalurkannya kepada pihak yang membutuhkan dana. Oleh karenanya bisnis perbankan harus dilakukan secara cermat, aman, hati-hati dan sehat. Tidak heran jika bisnis perbankan sangat ketat dan penuh dengan regulasi. Adapun tujuan regulasi dalam bidang keuangan adalah (Group of Thirty, 2008, 21):

a. Keamanan dan Kesehatan institusi keuangan (Safety and soundness of financial institutions)

b. Mitigasi risiko sistemik (Mitigation of systemic risk)

c. Keadilan dan efisiensi pasar (Fairness and efficiency of market)s

d. Perlindungan konsumen dan investor (The protection of customers and investors). Dalam prakteknya bisnis atau kegiatan perbankan memiliki prinsip umum dalam melakukan pengawasan. Standar umum kehati-hatian yang mengatur pengawasan perbankan dan sistem perbankan, secara de facto, mengacu kepada “The Core Principles for Effective Banking Supervision” atau yang lebih dikenal dengan “Core Principles”. Core Principles ini pertama kali diterbitkan oleh Basel Committee

(13)

on Banking Supervision (BCBS) pada tahun 1997 dan terakhir direvisi pada tahun 2012.

Core Principles tersebut menetapkan sejumlah kewenangan pengawasan guna memastikan praktek perbankan yang aman dan sehat. Selain itu Core Principles juga menjadi kerangka kerja standar dalam praktek pengawasan perbankan yang sehat dan dapat diterima secara universal. Dalam Core Principles tahun 2012 terdapat 29 prinsip umum yang disyaratkan guna mewujudkan sistem pengawasan perbankan yang efektif, jumlahnya meningkat dari sebelumnya 25 prinsip umum di tahun 1997. Core Principles terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu, bagian pertama yang fokus pada kewenangan, tanggungjawab dan fungsi pengawas (terdiri dari prinsip 1 sampai 13). Bagian kedua, fokus pada peraturan dan persyaratan terkait kehati-hatian kegiatan perbankan (prinsip 14 sampai 29).

Untuk mewujudkan sistem pengawasan yang efektif para pembuat kebijakan dihadapkan pada permasalahan seputar struktur pengawasan perbankan, yaitu institusi yang berwenang mengawasi perbankan. Hingga saat ini perdebatan dan berbagai macam teori muncul terkait institusi pengawasan tersebut, apakah bank cukup diawasi oleh sebuah lembaga pengawas saja atau multi lembaga pengawas, atau fungsi pengawasan perbankan tersebut diserahkan kepada bank sentral atau lembaga lainnya.

Menurut Group of Thirty (2008, 13) terdapat 4 (empat) tipe pengawasan dalam industri keuangan (utamanya perbankan) yaitu:

(14)

a. Institutional Approach

Tipe ini menentukan regulator (pengawas) yang berwenang untuk mengawasi aktivitas usaha baik dari sisi keamanan/kesehatan maupun perilaku bisnis didasarkan pada status hukum perusahaan (misalnya Bank, broker-dealer atau asuransi) tersebut. Negara yang menerapkan pendekatan ini diantaranya adalah China, Hongkong dan Meksiko.

b. Functional Approach

Tipe ini menentukan regulator (pengawas) yang berwenang untuk mengawasi aktivitas perusahaan didasarkan pada kegiatan transaksi bisnis perusahaan tanpa memperhatikan status hukumnya. Sehingga setiap jenis bisnis dapat diawasi oleh regulator yang berbeda satu dengan yang lainnya. Negara yang menerapkan pendekatan ini diantaranya adalah Brazil, Perancis, Italia dan Spanyol.

c. Integrated Approach

Tipe ini menentukan regulator (pengawas) tunggal yang berwenang untuk mengawasi aktivitas usaha baik dari sisi keamanan/kesehatan maupun perilaku bisnis untuk semua sektor bisnis keuangan. Negara yang menerapkan pendekatan ini diantaranya adalah Kanada, Jerman, Jepang, Qatar, Singapura, Swiss dan Inggris.

(15)

d. Twin Peaks Approach

Tipe ini adalah pendekatan yang didasari pengaturan dengan tujuan agar terdapat pemisahan fungsi regulator menjadi dua yaitu: regulator yang melakukan fungsi pengawasan dalam hal keamanan/kesehatan, dan regulator yang fokus dalam mengatur perilaku bisnis. Negara yang menerapkan pendekatan ini diantaranya adalah Australia dan Belanda.

Agar dapat menjalankan fungsi pengawasan dengan baik maka pengawas perbankan memiliki sejumlah kewenangan. Menurut Barth, Caprio Jr, dan Levine (2002, 212) kewenangan yang besar diberikan kepada pengawas (supervisor) dengan alasan karena:

a. Perbankan sulit untuk dimonitor dan hal itu memakan biaya besar. b. Adanya asimetri informasi antara perbankan dan masyarakat.

c. Banyak negara mengadopsi sistem lembaga penjamin simpanan yang membuat perbankan menjadi lebih berani mengambil risiko, sementara deposan kurang memonitor perbankan.

Sehingga dengan pengawasan yang kuat maka dapat mendorong kinerja perbankan menjadi lebih baik.

Selain memiliki kewenangan yang besar maka pengawas perbankan juga harus independen. Menurut Masciandaro, Nieto dan Prast (2007, 9) ciri utama dari pengawas yang independen adalah:

1. Memiliki kewenangan yang luas dalam menetapkan peraturan dan ketentuan. 2. Bebas dari intervensi politik dan intimidasi dari industri.

(16)

3. Keamanan dan kepastian bagi pengawas dalam bekerja. 4. Memiliki anggaran keuangan yang mandiri.

Namun demikian pengawas yang kuat dan independen saja tidaklah cukup, menurut Krivoy (2000:117) pengawas harus lebih proaktif dan memiliki inisiatif untuk mengatasi segala masalah yang dihadapi. Permasalahan dalam kegiatan perbankan tidak dapat dihindari akan tetapi hadirnya pengawas yang proaktif akan dapat mengurangi dampak dari setiap masalah yang timbul.

Selanjutnya dengan pengawas yang kuat dan proaktif, tidak serta merta membuat bank tidak melakukan pengawasan dan pengendalian internal. Pengawasan dan pengendalian bank justru harus dilaksanakan oleh semua unit atau dikenal dengan risk taking unit. Dimana manajemen puncak dalam hal ini Direksi serta Komisaris harus senantiasa memonitor dan mengkaji pelaksanaan pengawasan dan pengendalian internal tersebut.

Salah satu faktor lain yang penting adalah Sumber Daya Manusia (SDM) hal ini guna menjamin kualitas dan efektifitas pengawasan (Davis dan Obasi, 2009, 6-7). Oleh sebab itu memiliki personalia yang memiliki pengetahuan, pengalaman dan kemampuan dalam hal pengawasan, utamanya pada level Komisaris atau Direksi tentunya akan sangat membantu bank guna mewujudkan pengawasan dan pengendalian internal yang efektif. Menurut Barth, Gan dan Nolle (2004, 15) bank sentral adalah pihak pertama yang mengetahui kondisi dan kinerja dari sebuah bank. Sehingga dengan demikian personalia yang pernah bekerja di lembaga pengawasan seperti bank sentral memiliki pengetahuan, pengalaman dan kemampuan dalam pengawasan perbankan.

(17)

2.2.Penelitian Sebelumnya

Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan risiko perusahaan (Corporate Risk Disclosure) di Indonesia telah dilakukan sebelumnya, khususnya pada industri perbankan. Perbedaan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya terletak pada variabel independen dan periode penelitian. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah ukuran bank, profitabilitas, jumlah kepemilikan saham publik, jumlah anggota dewan komisaris, jumlah rapat dewan komisaris, anggota dewan komisaris yang berlatar belakang pensiunan dari otoritas pengawas perbankan. Sementara periode penelitian ini adalah menganalisa Annual Report pada tahun 2012 dan 2013.

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya memiliki keanekaragaman hasil antara lain:

No. Penelitian Metodologi Hasil Penelitian

1. Gunther Helbok dan Christian Wagner (2006). Judul: “Determinants of Operational Risk Reporting in the Banking Industry”.

Sampel dalam penelitian ini adalah 142 bank dari Amerika Utara, Asia dan Eropa yang memiliki asset lebih dari USD 40 Milyar pada tahun 2000. Variabel Independen: Definisi risiko operasio-nal, proses manajemen risiko dan isu-isu pengaturan.

Variabel Dependen: Pelaporan Risiko Opera-sional.

Alat Analisis: Descriptive Statistic

Institusi keuangan dengan rasio ekuitas/asset dan/atau rasio profitabilitas rendah memandang penting untuk mengungkapkan hasil assesmen dan pengelolaan risiko operasional diban-dingkan institusi keuangan yang memiliki rasio asset dan profitabilitas lebih tinggi.

(18)

2. Philip M. Linsley, dan Philip J. Shrives (2006). Judul: “Risk reporting: A study of risk disclosures in the annual reports of UK companies”

Sampel dalam penelitian ini adalah 79 perusahaan non keuangan di Inggris yang terdaftar FT-SE 100 Index pada 1

January 2000.

Variabel Independen: Ukuran perusahaan,

environmental risk,

gearing ratio, asset

cover, quiscore, book to market value of equity dan beta factor.

Variabel Dependen: Risk Disclosure Alat Analisis: Perhitungan dilakukan dengan Innovest EcoValue‘21TM

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa:

a. Terdapat hubungan signifikan antara jumlah pengungkapan risiko dengan ukuran perusahaan.

b. Selain itu terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah pengungkapan risiko dengan risiko lingkungan (environmental risk) 3. Mohammed Hossain (2008). Judul: “The Extent of Disclosure in Annual Reports of Banking Companies: The Case of India.”

Sampel dalam penelitian ini adalah 38 bank yang terdaftar di Bombay Stock Exchange (BSE) dan the National Stock Exchange (NSE).

Variabel Independen: Usia bank, ukuran bank, profitabilitas,

kompleksitas usaha, asset-in-place, komposisi dewan komisaris dan disiplin pasar.

Variabel Dependen: Disclosure Score. Alat Analisis:

Ordinary Least Square (OLS) regression model.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran bank, profit-abilitas, komposisi dewan komisaris dan disiplin pasar memiliki pengaruh/ hubungan yang signifikan

dengan tingkat

pengungkapan (disclosure).

(19)

4. Laura Van Oorschot (2009). Judul: “Risk Reporting: An Analysis of the German Banking Industry”

Penelitian ini meng-analisa sampel atas 32 laporan tahunan selama periode 2005-2008 dari 8 bank Jerman.

Variabel independen: Usia bank, ukuran bank, profitabilitas,

kompleksitas usaha, asset-in-place, komposisi dewan komisaris dan disiplin pasar. Variabel dependen: Disclosure Score. Alat Analisis: Descriptive Statistic. Disclosure index frameworks. a. Terdapat hubungan yang signifikan dimana bank dengan nilai kuantitas yang tinggi tidak memiliki nilai yang tinggi pada kualitas.

b. Terdapat hubungan yang signifikan antara kuantitas

pengungkapan risiko pada laporan tahunan bank dengan ukuran bank pada tahun 2007-2008.

c. Terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas pengungkapan risiko pada laporan tahunan bank dengan ukuran bank pada tahun 2007-2008.

d. Terdapat peningkatan kuantitas

pengungkapan risiko yang signifikan pada laporan tahunan bank Jerman pada periode 2005-2006 dan 2007-2008.

e. Terdapat peningkatan kualitas pengungkapan risiko yang signifikan pada laporan tahunan bank Jerman pada periode 2005-2006 dan 2007-2008.

5. A. Amran, M.S. Ishak, A.H. Zulkafli dan M. Nejati (2010). Judul:

“Board Structure and Extent of Corporate

Penelitian ini meng-analisa sampel atas laporan tahunan dari 103 perusahaan yang ter-daftar di Bursa Malaysia. Variabel independen: a. Jumlah anggota komisaris memiliki pengaruh signifikan terhadap extent of corporate governance statement.

(20)

Statement”. jumlah anggota komisaris, komposisi dewan komisaris, CEO Duality (CEO & Board),

multiple directorship,

board knowledge dan proses pengambilan keputusan. Variabel Dependen: Extent of Corporate Governance Statement. Alat Analisis:

Pearson Correlation dan

multiple regression

analysis.

menunjukkan pengaruh positif (tidak terlalu signifikan).

6. Dirk Horing dan Helmut Grundl (2011) Judul: “Investigating Risk Disclosure Practices in the European Insurance Industry”

Sampel dalam penelitian ini adalah 152 data observasi dari 31 perusahaan asuransi yang dipilih dari Dow Jones Stoxx 600 Insurance Index for Europe.

Variabel Independen: Ukuran Perusahaan, Level Risiko Perusaha-an, Profitabilitas, Penye-baran Kepemilikan,

Cross-listing, Home

Country, Aktivitas per-bankan dan Tipe peru-sahaan asuransi. Variabel Dependen: Disclosure Score (Pengungkapan Risiko) Alat Analisis: Menggunakan Multiple Regression. a. Terdapat hubungan yang positif antara pengungkapan risiko dengan ukuran perusahaan asuransi. b. Terdapat hubungan

yang siginifikan positif antara pengungkapan risiko perusahaan dengan pengungkapan risiko.

c. Terdapat hubungan yang negatif antara tingkat pengungkapan risiko dengan profitabi-litas.

d. Terdapat hubungan yang positif antara

cross-listing dan

penyebaran

kepemilikan dengan tingkat pengungkapan risiko.

(21)

(2011). Judul:

“Pengungkapan Risiko Finansial dan

Tata Kelola

Perusahaan: Studi

Empiris Perbankan

Indonesia.”

terdaftar di BEI selama periode 2007-2009. Variabel independen:

Jumlah anggota

Komisaris, Jumlah Rapat Dewan Komisaris, Komposisi Komisaris Independen, Komposisi Komite Audit dan Jumlah Rapat Komite Audit.

Variabel dependen: Pengungkapan Risiko Finansial Perbankan. Alat Analisis:

Statistik deskriptif dan pengujian hipotesis. Pengujian dengan SPSS.

Rapat Dewan

Komisaris berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan

finansial.

b. Komposisi Komisaris Independen, Komposisi Komite Audit dan Jumlah Rapat Komite

Audit tidak

berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan finansial.

8. Djoko Suhardjanto, Aryane Dewi, Erna Rahmawati dan Firazonia M (2012). Judul: Peran Corporate Governance Dalam Praktik Risk Disclosure Pada Perbankan Indonesia.

Sampel penelitian ini adalah perbankan yang terdaftar selama tahun 2007 hingga 2009 dan tidak mengalami delisting. Dimana dipe-roleh 84 populasi, dengan jumlah sampel sebanyak 60 annual report perbankan yang memenuhi kriteria. Variabel Independen: Jumlah anggota Komisa-ris, Proporsi Komisaris Independen, Proporsi Komisaris Wanita, Latar Belakang Pendidikan, Komisaris Utama, Latar Belakang Etnik Komisa-ris Utama, Jumlah Rapat Dewan Komisaris, Jum-lah Rapat Komite Audit

a. Jumlah anggota komisaris (board size), jumlah rapat dewan komisaris dan leverage mempengaruhi tingkat risk disclosure.

b. Komisaris independen, latar belakang pen-didikan komisaris utama, latar belakang etnis komisaris utama, komposisi komisaris independen, komposisi

komite audit

independen, jumlah rapat komite audit dan profitabilitas tidak berpengaruh terhadap risk disclosure.

(22)

Variabel Dependen: Risk disclosure.

Selain itu Variabel Kontrol adalah Leverage dan Profitabilitas.

Alat Analisis:

Statistik deskriptif dan pengujian hipotesis. Pengujian dengan SPSS. 9. Ehsan Al-Moataz dan

Khaled Hussainey (2012). Judul: “Determinant of Corporate Governance Disclosure in Saudi Companies.”

Sampel dalam penelitian ini adalah 97 laporan tahunan dari 52 perusahaan di Arab Saudi pada tahun 2006-2007. Variabel Independen: Komisaris independen, ukuran komite audit, profitabilitas, likuiditas,

gearing dan ukuran

perusahaan. Variabel dependen: Corporate Governance Disclosure. Alat Analisis: Multiple regression model. Komisaris independen, ukuran komite audit, profitabilitas, likuiditas,

dan gearing memiliki

pengaruh yang signifikan dalam corporate governance disclosure di Arab Saudi.

10. Hany Elzahar dan Khaled Hussainey (2012). Judul: “Determinants of Narrative Risk Disclosures in UK Interim Reports”.

Sampel dalam penelitian ini adalah interim reports dari 72 perusahaan non finansial yang terdaftar di FTSE 100 UK yang terbit pada tanggal 1 Juni 2009 hingga 31 Mei 2010.

Variabel Independen: Penelitian ini adalah Tipe aktivitas Industri, ukuran perusahaan,

a. Ukuran perusahaan dan tipe industri memiliki hubungan dengan tingkat CRD.

b. Variabel lain seperti profitabilitas, likuiditas,

gearing dan cross

listing tidak memiliki hubungan signifikan dengan tingkat CRD dalam interim reports. c. Variabel lain seperti

(23)

owner-Likuiditas, Cross listing, institutional ownership,

role duality, jumlah

anggota komisaris, kom-posisi komisaris dan ukuran komite audit. Variabel Dependen: Risk Disclosure Score. Alat Analisis:

Ordinary Least Square (OLS) regression model. Analisis Deskriptif.

jumlah anggota komisaris, komposisi komisaris dan ukuran komite audit tidak berpengaruh terhadap tingkat CRD dalam interim reports.

11. Htay, Sheila Nu Nu., Said, Ridzwana Mohd., dan Salman, Syed Ahmed (2013). Judul: “Impact of Corporate Governance on Disclosure Quality: empirical Evidence

from Listed Banks in Malaysia”.

Penelitian ini meng-analisa sampel atas data 12 bank yang terdaftar di bursa Malaysia sejak tahun 1996 hingga 2005 sehingga total data yang dianalisa adalah 120. Variabel Independen: Struktur kepemimpinan dewan komisaris, pro-porsi dari komisaris independen, jumlah anggota komisaris, pro-porsi kepemilikan dewan komisaris dan proporsi dari block ownership. Variabel Dependen:

Information Disclosure

Score.

Alat Analisis:

Panel data analysis

(Generalized least

square method).

Kualitas pengungkapan akan lebih baik dan dapat ditingkatkan jika terdapat pemisahan struktur kepemimpinan dewan komisaris, jumlah komisaris independen yg lebih tinggi, jumlah anggota komisaris yang lebih besar, proporsi kepemilikan dewan komisaris yang rendah dan proporsi dari block ownership yang rendah.

12. Omar Juhmani (2013).

Penelitian ini meng-analisa sampel atas 41 perusahaan yang

ter-Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran perusahaan dan

(24)

Judul:

“Ownership Struc-ture and Corporate

Voluntary Dis-closure: Evidence from Bahrain”. Variabel independen: Blockholder ownership, managerial ownership, kepemilikan pemerintah, ukuran perusahaan,

leverage dan

profit-abilitas. Variabel dependen: Voluntary Disclosure Scores. Alat Analisis: Multiple regression. pengaruh signifikan terhadap pengungkapan informasi sukarela. 13. Yaseen Al-Janadi, Rashidah Abdul Rahman dan Normah Haj Omar (2013). Judul: “Corporate Governance Mechanism and Voluntary Disclosure in Saudi Arabia”.

Penelitian ini meng-analisa sampel atas 87 perusahaan yang ter-daftar di Bursa Saudi. Variabel Independen: Proporsi non eksekutif pada dewan komisaris, proporsi keluarga pada dewan komisaris, jumlah anggota komisaris, ang-gota komite audit independen, pemisahan CEO dan komisaris (CEO Duality), kualitas audit dan kepemilikan pemerintah. Variabel Dependen: Voluntary Disclosure. Alat Analisis: Multivariate regression analysis.

a. Proporsi non eksekutif pada dewan komisaris, jumlah anggota komisaris, kualitas audit dan CEO duality memiliki pengaruh signifikan terhadap Voluntary Disclosure. b. Variabel lain tidak

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Voluntary Disclosure.

14. Abed Al-Nasser Abdallah dan Mostafa Kamal Hassan (2014). Judul:

Sampel dalam penelitian ini adalah annual reports tahun 2008 dari 424 perusahaan publik pada GCC.

Terdapat hubungan positif antara CRD dengan Ukuran perusahaan, Leverage, dan lama meng-gunakan IFRS.

(25)

Corporate Risk Disclosure in the Gulf Cooperative Council (GCC) Countries”.

Variabel Independen:

Corporate Risk

Dis-closure (CRD). Variabel Dependen: 7 kategori risk disclosure meliputi: Ukuran,

Leverage, Risk Basic,

Jumlah Tahun perusaha-an menerapkan atau mengikuti sepenuhnya International Financial Reporting (IFRS). Se-dangkan dummy variable adalah untuk perusahaan di sektor keuangan/non-keuangan dan ber-dasarkan syariah/non-syariah.

Alat Analisis:

Univariate and multi-variate analyses. 15. Bader Al-Shammari (2014). Judul: “An Investigation of the Impact of Corporate Governance Mechanisms on Level of Corporate Risk Disclosure: Evidence from Kuwait”.

Sampel dalam penelitian ini adalah 109 per-usahaan non keuangan yang terdaftar dalam Bursa Kuwait.

Variabel Independen: Board size, non-executive directors, percentage of

family members on

board, role duality dan Komite Audit.

Variabel Dependen: Risk Disclosure perusa-haan.

Alat Analisis:

Ordinary Least Square (OLS) regression model.

Board size berpengaruh positif terhadap CRD. Sementara role duality tidak memiliki pengaruh positif terhadap CRD.

(26)

16. Bader Al-Shammari (2014). Judul: “Kuwait Corporate Characteristics and Level of Risk Disclosure: A Content Analysis Approach”.

Penelitian ini meng-analisa sampel atas 109

Annual Report dari

perusahaan nonke-uangan yang terdaftar di bursa.

Variabel Independen: Ukuran perusahaan, leverage, profitabilitas, likuiditas, kompleksitas, tipe auditor dan tipe industri.

Variabel Dependen:

Corporate Risk

Disclo-sure. Alat Analisis: Multivariate regression analysis. a. Ukuran perusahaan, likuiditas, kompleksitas dan tipe auditor memi-liki hubungan positif dengan CRD.

b. Variabel lain seperti

leverage dan

profitabilitas tidak memiliki hubungan signifikan dengan tingkat CRD.

17. Mazurina Mohd Ali dan Dennis Taylor (2014). Judul: “Corporate Risk Disclosure in Malaysia: The Influence of Predispositions of Chief Executive

Officers and Chairs of Audit Committee”.

Penelitian ini meng-analisa sampel atas 200 perusahaan terkemuka di Malaysia.

Variabel Independen: Usia, functional track, pendidikan, tenure dan etnisitas.

Variabel Dependen:

Corporate Risk

Dis-closure. Alat Analisis:

Multiple regression

analysis.

a. Tenure dan etnisitas dari Direksi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengambilan kebijakan terkait CRD.

b. Latar belakang komite audit tidak memiliki pengaruh terhadap pengambil kebijakan terkait CRD. 18. Mohamed Akhtaruddin, Monirul Alam Hossain, Mahmud Hossain dan Lee Yao (2014)

Penelitian ini meng-analisa sampel atas 105 perusahaan yang terdaf-tar di Bursa Malaysia pada tahun 2002.

a. Terdapat hubungan positif antara jumlah anggota komisaris dan proporsi Independent Non-executives

(27)

Judul: “Corporate Governance and Voluntary Disclosure in Corporate Annual Reports of Malaysian Listed Firms”. Variabel Independen: Jumlah anggota komisa-ris, Independent

Non-executives Directors,

struktur kepemilikan, kontrol keluarga dan komite audit.

Variabel Dependen: Tata Kelola Perusahaan dan Pengungkapan suka-rela.

Alat Analisis:

Ordinary Least Square (OLS) regression model.

pengungkapan sukarela.

b. Variabel lain tidak memiliki pengaruh terhadap pengung-kapan sukarela.

Perbedaan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya adalah: 1. Penelitian ini menarik untuk dilakukan karena masih sedikit penelitian tentang

tingkat pengungkapan risiko (Corporate Risk Disclosure) terutama yang dilakukan pada industri perbankan, khususnya di Indonesia.

2. Pada penelitian ini terdapat penambahan variabel yaitu anggota dewan komisaris yang berlatar belakang pensiunan dari otoritas pengawas perbankan dan mengganti variabel Leverage. Alasan penggantian variabel Leverage tersebut disebabkan karena walaupun Leverage berpengaruh positif terhadap pengungkapan risiko perusahaan akan tetapi definisi operasional terhadap variabel Leverage kurang tepat jika digunakan pada industri perbankan. Sebagaimana diketahui dalam neraca bank disisi Liabilities sebagian besar merupakan dana pihak ketiga yang merupakan kewajiban/hutang bank.

(28)

2.3.Rerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini variabel dependen dan variabel independen yang digunakan adalah:

Variabel Independen Variabel Dependen

Sumber: Data Diolah

1. Variabel Dependen : Corporate Risk Disclosure

Corporate Risk disclosure dalam penelitian ini diperoleh dari skor total pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan dibagi jumlah item pengungkapan yang diwajibkan. Hal ini sesuai dengan penelitian Oorschoot (2009). Skor 1 diberikan untuk item risiko yang diungkapkan oleh perusahaan dan skor 0 bagi item yang tidak diungkapkan oleh perusahaan.

Risiko yang wajib diungkapkan tersebut mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/14/PBI/2012 tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/35/DPNP perihal Laporan Tahunan

Ukuran Bank

Corporate Risk Disclosure Profitabilitas

Jumlah Kepemilikan Saham Publik

Jumlah Anggota Dewan Komisaris

Jumlah Rapat Dewan Komisaris Komisaris yang berlatar belakang pensiunan dari otoritas pengawas perbankan

(29)

Bank Umum dan Laporan Tahunan Tertentu yang Disampaikan kepada Bank Indonesia. Dimana dalam 2 (dua) ketentuan tersebut risiko yang wajib diungkapkan oleh Bank meliputi: (1) Risiko kredit, (2) Risiko pasar yang dibagi menjadi risiko suku bunga dan risiko nilai tukar, (3) Risiko likuiditas, (4) Risiko operasional, (5) Risiko hukum, (6) Risiko reputasi, (7) Risiko strategi, dan (8) Risiko kepatuhan.

2. Variabel Independen

Variabel Independen pada penelitian ini adalah ukuran bank, profitabilitas, jumlah kepemilikan saham publik, jumlah anggota dewan komisaris, jumlah rapat dewan komisaris dan komisaris yang berlatar belakang pensiunan dari otoritas pengawas perbankan. Pemilihan variabel independen ini memperhatikan faktor kinerja perusahaan yang ditunjukkan dengan Total Aset (ukuran perusahaan) dan Profitabilitas, serta memperhatikan Tata Kelola Perusahaan yang direpresentasikan dengan jumlah anggota dewan komisaris, jumlah rapat dewan komisaris, kepemilikan saham oleh publik. Selain itu terdapat 1 (satu) variabel independen lain yaitu komisaris yang berlatar belakang pensiunan dari otoritas pengawas perbankan, sebagai variabel baru yang diuji.

Selanjutnya masing-masing Variabel Independen tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

a. Ukuran Bank (CSIZE)

Besar ukuran perusahaan (bank) dapat dinyatakan dalam total aktiva, penjualan dan kapitalisasi pasar. Perusahaan besar memiliki banyak pemegang kepentingan, oleh karena itu semakin besar perusahaan maka semakin besar

(30)

pengungkapan informasi untuk memenuhi kebutuhan para pemegang kepentingan (Amran et al. 2009, 45).

Ukuran perusahaan memiliki pengaruh terhadap pengungkapan risiko. Perusahaan besar akan mengungkapkan risiko lebih banyak dibandingkan dengan perusahaan kecil. Perusahaan yang berukuran lebih besar cenderung memiliki public demand akan informasi yang lebih tinggi dibanding dengan perusahaan yang berukuran kecil. Hal ini sejalan dengan penelitian Hossain (2008), Elzahar dan Hussainey (2012), Juhmani (2013), Abdallah dan Hassan (2014) dan Al-Shammari (2014) yang menemukan hubungan positif antara ukuran perusahaan dengan pengungkapan risiko.

Dalam penelitian ini karena sektor industri yang akan diteliti adalah perbankan di Indonesia maka dalam menentukan ukuran bank sampel diukur atau direpresentasikan dengan total aktiva.

b. Profitabilitas (PROFIT)

Profitabilitas adalah salah satu penilaian kinerja manajemen dalam mencapai tujuan perusahaan yaitu peningkatan laba, sedangkan tingkat profitabilitas adalah suatu cara untuk menggambarkan posisi laba perusahaan. Laba berperan penting dalam menarik minat investor (Gitman 2012, 79). Profitabilitas suatu perusahaan dapat diukur melalui beberapa cara. Terdapat tiga rasio yang digunakan dalam rasio profitabilitas, yaitu rasio Profit Margin, Return on Asset (ROA) dan Return on Equity (ROE).

(31)

Pada penelitian ini rasio profitabilitas menggunakan Return on Total Assets (ROA) atau sering juga disebut dengan Return on Investment (ROI). Rasio ini mengukur efektivitas manajemen dalam menghasilkan keuntungan dengan menggunakan asset yang dimiliki. Semakin tinggi ROA maka semakin akan semakin baik (Gitman 2012, 81). Rasio ini membandingkan antara pendapatan bersih setelah pajak dengan total aktiva.

ROA = Pendapatan Bersih Setelah Pajak Total Aktiva

Pada sektor industri perbankan khususnya di Indonesia aspek profitabilitas termasuk komponen yang diperhitungkan dalam menilai tingkat kesehatan bank umum. Dalam sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum salah satu parameter/indikator penilaian faktor rentabilitas adalah kinerja bank dalam menghasilkan laba yaitu dengan menghitung ROA bank baik rata-rata maupun disetahunkan.

Sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum di Indonesia diatur dalam: 1) Peraturan Bank Indonesia No. 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat

Kesehatan Bank Umum yang mencabut Peraturan Bank Indonesia No. 6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum 2) Surat Edaran Bank Indonesia No.13/24/DPNP tentang Penilaian Tingkat

Kesehatan Bank Umum yang mencabut Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/23/DPNP perihal Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.

(32)

Peringkat kesehatan bank umum merupakan total (komposit) dari faktor penilaian berupa Profil risiko (risk profile), Good Corporate Governance (GCG), Rentabilitas (earnings) dan Permodalan (capital). Dimana ROA menjadi salah satu komponen penilaian dalam faktor penilaian rentabilitas (earning).

Dalam PBI No. 6/10/PBI/2004 yang pelaksanaannya diatur dalam SEBI No. 6/23/DPNP penilaian atas rasio ROA diuraikan sebagaimana Tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1

Rasio ROA dan Peringkat Kesehatan

Rasio Peringkat ROA > 1,5% 1 1,25% < ROA ≤ 1,5% 2 0,5% < ROA ≤ 1,25% 3 0 < ROA ≤ 0,5% 4 ROA ≤ 0% 5

Sumber: SEBI No. 6/23/DPNP

Sedangkan dalam PBI No. 13/1/PBI/2011 yang pelaksanaannya diatur dalam SEBI No. 6/10/PBI/2004 penilaian atas rasio ROA diatur secara umum bahwa:

1) Peringkat 1: Rentabilitas sangat memadai, laba melebihi target dan mendukung pertumbuhan permodalan Bank.

2) Peringkat 2: Rentabilitas memadai, laba melebihi target dan mendukung pertumbuhan permodalan Bank.

3) Peringkat 3: Rentabilitas cukup memadai, laba memenuhi target, namun terdapat tekanan terhadap kinerja laba yang dapat menyebabkan penurunan laba namun cukup dapat mendukung pertumbuhan permodalan Bank.

(33)

4) Peringkat 4: Rentabilitas kurang memadai, laba tidak memenuhi target dan diperkirakan akan tetap seperti kondisi tersebut di masa datang sehingga kurang dapat mendukung pertumbuhan permodalan Bank dan kelangsungan usaha Bank.

5) Peringkat 5: Rentabilitas tidak memadai, laba tidak memenuhi target dan tidak dapat diandalkan serta memerlukan peningkatan kinerja laba segera untuk memastikan kelangsungan usaha bank.

Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hossain (2008) dan Al-Moataz dan Hussainey (2012) menunjukkan bahwa profitabilitas memiliki pengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan risiko perusahaan.

c. Jumlah Kepemilikan Saham Publik (ISSUE)

Jumlah kepemilikan saham oleh publik ditentukan oleh persentase kepemilikan saham yang dimiliki oleh pihak publik. Pengertian publik disini adalah pihak individu yang berada di luar manajemen dan tidak memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan. Kepemilikan saham oleh publik umumnya dapat bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. Semakin besar proporsi kepemilikan saham publik, semakin banyak pihak yang membutuhkan informasi tentang perusahaan, sehingga banyak pula informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan.

Struktur kepemilikkan dibagi ke dalam dua bagian yaitu kepemilikan eksternal (external block ownership) dan blok kepemilikan internal (insider block ownership) atau kepemilikan manajerial (managerial block ownership).

(34)

Pada negara yang perlindungan terhadap investornya lemah, pemusatan kepemilikan menjadi pengganti dari perlindungan untuk investor. Hal ini dikarenakan, jika saham lebih banyak dipegang oleh kepemilikkan eksternal maka pihak perusahaan dituntut untuk memberikan laporan yang transparan sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap investor.

Permintaan para stakeholder akan pengungkapan yang lebih luas, menuntut perusahaan untuk mengungkapkan informasi khususnya informasi mengenai risiko secara transparan dan lengkap. Menurut teori stakeholder, dengan mengungkapkan informasi risiko secara lebih mendalam dan luas menunjukkan bahwa perusahaan berusaha untuk memuaskan kebutuhan akan informasi yang dibutuhkan oleh para stakeholder.

d. Jumlah Anggota Dewan Komisaris (BSIZE)

Jumlah anggota dewan komisaris direpresentasikan dengan jumlah keseluruhan anggota dewan komisaris yang dimiliki perusahaan baik yang berasal dari dalam maupun luar perusahaan (independen). Dalam sistem perbankan Indonesia pengaturan mengenai jumlah anggota dewan komisaris diatur dalam PBI No. 8/4/PBI/2006 Tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum juncto PBI No. 8/14/PBI/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 Tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum. Pada Pasal 4 dengan tegas diatur bahwa Jumlah anggota dewan komisaris paling kurang 3 orang dan paling banyak sama dengan jumlah anggota direksi. Sementara pada

(35)

Pasal 5 ditegaskan pula bahwa dewan komisaris terdiri dari komisaris dan Komisaris Independen yang paling kurang 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah anggota dewan komisaris adalah komisaris independen.

Sesuai dengan penelitian Suhardjanto et al. (2012), Suhardjanto dan Dewi (2011), Amran et al. (2010), Al-Janadi (2013), Al-Shammari (2014) dan Akhtaruddin et al. (2014) menunjukkan bahwa jumlah anggota komisaris memiliki pengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan risiko perusahaan.

e. Jumlah Rapat Dewan Komisaris (RPTDEKOM)

Dalam mengukur jumlah rapat dewan komisaris, maka khusus pada industri perbankan di Indonesia mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/14/PBI/2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 Tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum. Dalam ketentuan tersebut pada Pasal 15 ditegaskan bahwa rapat dewan komisaris wajib diselenggarakan secara berkala paling kurang 4 kali dalam setahun. Dimana rapat dewan komisaris wajib dihadiri oleh seluruh anggota dewan komisaris secara fisik paling kurang 2 kali dalam setahun.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suhardjanto et al. (2012) serta Suhardjanto dan Dewi (2011) menunjukkan bahwa frekuensi rapat dewan komisaris memiliki pengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan risiko perusahaan.

(36)

f. Adanya Komisaris yang berlatar belakang pensiunan dari otoritas pengawas perbankan (BIDEKOM)

Dewan Komisaris memegang peranan yang sangat penting dalam perusahaan, terutama dalam pelaksanaan Good Corporate Governance. Dewan Komisaris merupakan inti dari Corporate Governance yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas.

Dewan Komisaris merupakan suatu mekanisme pengawasan dan mekanisme untuk memberikan petunjuk dan arahan pada manajemen perusahaan. Mengingat manajemen bertanggungjawab untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing perusahaan sedangkan Dewan Komisaris bertanggungjawab untuk mengawasi manajemen, maka Dewan Komisaris merupakan pusat ketahanan dan kesuksesan perusahaan. (Gregory, 2001, 12-13). Dalam Undang Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pada Pasal 1 butir 6 ditegaskan bahwa Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.

Adanya anggota dewan komisaris yang berlatar belakang pensiunan dari otoritas pengawas perbankan merupakan salah satu indikator baru yang digunakan dalam penelitian ini. Indikator ini perlu kiranya diteliti untuk melihat apakah anggota dewan komisaris yang berlatar belakang pensiunan dari otoritas pengawas perbankan tersebut memiliki pengaruh positif terhadap tingkat risk disclosure (pengungkapan risiko) suatu Bank. Oleh sebab itu akan dilihat pada

(37)

setiap sampel apakah terdapat anggota dewan komisaris yang berlatar belakang pensiunan dari otoritas pengawas perbankan.

2.4.Hipotesis

Penelitian terdahulu menunjukkan hasil yang beragam mengenai hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan risiko (risk disclosure). Keragaman faktor-faktor yang mempengaruhi itu membuat berbagai penelitian terdahulu tersebut memiliki hasil yang berbeda, hal tersebut karena dipengaruhi oleh sektor industri dan negara tempat penelitian yang juga berbeda.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka penelitian ini mengukur pengaruh ukuran bank, profitabilitas, jumlah kepemilikan saham publik, jumlah anggota dewan komisaris, jumlah rapat dewan komisaris dan komisaris yang berlatar belakang pensiunan dari otoritas pengawas perbankan. Adapun Hipotesis yang dikembangkan adalah:

H1: Ukuran Bank memiliki pengaruh signifikan dan positif terhadap tingkat risk disclosure (pengungkapan risiko) pada industri Perbankan Indonesia.

H2: Profitabilitas perusahaan berpengaruh signifikan dan positif terhadap tingkat risk disclosure (pengungkapan risiko) pada industri Perbankan Indonesia.

H3: Kepemilikan saham publik memiliki pengaruh signifikan dan positif terhadap tingkat risk disclosure (pengungkapan risiko) pada industri Perbankan Indonesia. H4: Jumlah anggota dewan komisaris memiliki pengaruh signifikan dan positif

(38)

H5: Jumlah rapat dewan komisaris memiliki pengaruh signifikan dan positif terhadap tingkat risk disclosure (pengungkapan risiko).

H6: Komisaris yang berlatar belakang pensiunan dari otoritas pengawas perbankan memiliki pengaruh terhadap tingkat risk disclosure (pengungkapan risiko).

H7: Ukuran perusahaan, profitabilitas, kepemilikan saham publik, jumlah anggota komisaris, jumlah rapat dewan komisaris dan komisaris yang berlatar belakang pensiunan dari otoritas pengawas perbankan, berpengaruh secara simultan terhadap tingkat pengungkapan risiko perusahaan (Corporate Risk Disclosure) pada industri Perbankan Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan kerangka penelitian yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian ini adalah Penerapan model pembelajaran CLIS ( Children Learning In Science

[r]

ketuntasan, keaktifan siswa masih kurang, sulitnya mempelajari materi Stoikiometri, penggunaan metode dan media pembelajaran yang masih kurang maka peneliti tertarik

Tes adalah alat atau prosedur yang di gunakan untuk mengetahui atau mengukur sautu dalam suasana dengan cara dan aturan-aturan yang sudah di tentukan

 Dari hasil menyimak, peserta didik membuat laporan sederhana tentang penggolongan hewan berdasarkan jenis makanannya  Peserta didik membuat teks nonfiksi yang

Program pemberdayaan yang dilakukan dalam memberdayakan difabel ternyata mempunyai dampak yang positif, terbukti dapat memperkuat potensi yang dimiliki oleh difabel

Rancangan RAPBN Tahun 2009 diarahkan untuk membiayai 24 kegiatan utama, antara lain: (1) pembiayaan usaha pertanian bagi petani/kelompok tani/Gapoktan dalam rangka mengurangi

Walaupun asumsi yang digunakan dalam mengestimasi nilai pakai aset yang tercermin dalam Laporan Keuangan Konsolidasian dianggap telah sesuai dan wajar, namun