• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang memberi pengaruh pada budaya asli. Ketertarikan komersial semua bangsa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang memberi pengaruh pada budaya asli. Ketertarikan komersial semua bangsa"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

A.Latar Belakang Masalah

Jauh sebelum kedatangan bangsa Belanda di kepulauan Indonesia, di Pulau Jawa telah ada pendatang yang berasal dari India, Cina, Arab, dan Portugis yang memberi pengaruh pada budaya asli. Ketertarikan komersial semua bangsa Eropa terhadap kepulauan Indonesia pada abad ke-16 dan ke-17 difokuskan pada rempah-rempah yang merupakan produk jarak jauh paling menguntungkan. Portugis yang didorong oleh motif komersial dan religius berharap bisa mendominasi Asia. Namun, Portugis tidak membentuk kekuatan organisasi dan angkatan laut yang memadai sehingga mereka tersaingi oleh bangsa Eropa lainnya yg lebih maju, terutama Inggris dan Belanda.1 Ketika orang-orang Eropa yang paling awal tiba di Indonesia, mereka tidak menemukan kawasan ini dalam keadaan kosong tanpa penghuni. Sebagian besar orang Eropa mendarat di kota-kota pantai yang sudah cukup maju dan sudah ada kekuasaan formal di kawasan tersebut, yaitu para penguasa tradisional.2

Kota kolonial pertama di Indonesia adalah Batavia. Kota ini dibangun oleh orang-orang Belanda pada 1619.3 Tahun 1596 kapal Belanda yang pertama

merapat di Pantai Jayakarta. Tujuan mereka awalnya berdagang. Mereka kemudian mendirikan gudang dari kayu di tepi timur mulut Sungai Ciliwung

1 Susan Blackburn, Jakarta Sejarah 400 Tahun, (Jakarta: Masup Jakarta,

2011), hlm. 9.

2 Purnawan Basundoro, Pengantar Sejarah Kota, (Yogyakarta: Ombak ,

2012), hlm. 85.

3 Peter J.M. Nas, Kota-kota Indonesia: Bunga Rampai, (Yogyakarta:

(2)

setelah membayar izin sebesar 1.200 real kepada Pangeran Jayawikarta. Gudang dari kayu tersebut dapat dikatakan merupakan cikal-bakal kota kolonial di Pulau Jawa. Orang-orang Belanda rupanya tidak puas dengan hanya mendirikan gudang berbahan kayu, dan rupanya mereka juga sudah memiliki keinginan untuk bercokol di Pulau Jawa.4 Mereka kemudian segera membangun kota tersebut sebagai koloni pertama mereka di kawasan Indonesia.

Salah satu ciri kota yang dibangun oleh kolonial pada awal abad ke-17 adalah gaya bangunan Eropa yang mendominasi kawasan kota. Di Jakarta mereka membangun benteng yang dinamakan Benteng Batavia, yang menandakan pada waktu itu kota tersebut merupakan kota di dalam benteng. Tembok tebal mengelilingi kota tersebut, dan dibeberapa titik dibangun bastion (bangunan untuk mengintai musuh). Di kota – kota kolonial, benteng menjadi penanda awal lahirnya kota-kota kolonial. Sejak pertengahan abad ke-19 benteng tidak lagi berfungsi untuk mempertahankan diri karena kekuasaan Belanda di Indonesia sudah semakin kuat, bahkan hunian mereka sudah tidak lagi di dalam benteng tetapi menyebar di berbagai titik kota tanpa takut lagi terhadap masyarakat bumiputera.5

Dengan tersebarnya hunian orang-orang Belanda terutama para aparat pemerintahan Belanda ke berbagai pelosok Nusantara, terbukalah daerah-daerah pedalaman. Pada saat itulah berkembang percampuran gaya hidup Belanda dan Jawa yang disebut gaya hidup Indis. Suburnya budaya Indis, pada awalnya didukung oleh kebiasaan hidup membujang para pejabat Belanda. Saat itu, ada larangan membawa isteri dan mendatangkan perempuan Belanda ke Hindia

4 Purnawan Basundoro, op.cit, hlm. 86-87. 5 Ibid, hlm. 90.

(3)

Belanda. Hal tersebut mendorong lelaki Belanda menikahi penduduk setempat. Maka, terjadilah percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran, serta menumbuhkan budaya dan gaya hidup Belanda-Pribumi, atau gaya Indis. Pada 1870, Terusan Suez dibuka. Terusan tersebut memperpendek jarak antara negeri Belanda dengan Indonesia, sehingga kehadiran perempuan dari negeri Belanda makin banyak ke Indonesia. Kehadiran perempuan Eropa ke Indonesia pun memperluas percampuran budaya.6

Gaya Indis sebagai suatu hasil perkembangan budaya campuran Belanda dan Pribumi Jawa, menunjukkan adanya proses historis.7 Pada masa awal kehadirannya di Nusantara, peradaban Belanda mendominasi kebudayaan Indonesia. Kemudian lambat laun terjadi pembauran. Tetapi sebelum terjadi percampuran budaya ini, peradaban Indonesia sudah tinggi. Masyarakat suku Jawa tidak lenyap. Peran kepribadian bangsa Jawa (local genius) ikut menentukan dalam memberi warna kebudayaan Indis. Dalam proses akulturasi dua kebudayaan tersebut, peran penguasa kolonial Hindia Belanda sangat menentukan. Hasil perpaduan menunjukkan bahwa ciri-ciri Barat (Eropa) tampak lebih menonjol dan dominan. Keadaan alam tropis Pulau Jawa menentukan dalam mewujudkan hasil karya budaya. Hal itu tampak dari bentuk arsitektur rumah tinggal, cara berpakaian, gaya hidup, kesenian, dan sebagainya.8

Pada abad ke-19 para tuan tanah kaya juga membutuhkan hiburan, sebagai contoh seorang Kapitien der Papangers bernama Augustijn Michiels yang berdarah Eropa-Asia. Perihal kehidupannya dapat mewakili gaya hidup Indis yang

6 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai

Revolusi, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), hlm. 3.

7 Ibid, hlm. 14. 8 Ibid, hlm. 19.

(4)

ditunjukkan dalam hidup sehari-hari di lingkungan rumah tangganya. Budaknya (laki-laki atau perempuan) ada yang bertugas khusus menghibur dengan menjadi pemain musik. Dari kelompok mereka ini terbentuk apa yang disebut oleh F. De Haan sebagai slaven concerten atau slavenorkest (pemain musik). Memiliki slavenorkest menunjukkan suatu gaya hidup mewah dengan derajat tertentu di kalangan para landheer di zaman itu. Selain itu di Keraton Sultan Hamengku Buwono di Yogyakarta terdapat juga abdi dalem yang bertugas memainkan musik Barat. Dari Testamen Rahasia Augustijn Michiels, sebagai seorang pemilik landuis Citeureup, tercatat pada 1831 bahwa dari budak-budaknya yang berjumlah 130 orang, terdapat 30 orang budak sebagai pemain musik yang pandai dan serba bisa. Di samping itu, ada empat orang penari ronggeng, dua pemain gambang, dan dua penari topeng. Bahkan orang Cina juga melatih budak mereka untuk menjadi artis dalam rombongan sandiwara Cina yang berkembang pesat di masa itu. Biasanya budak-budak yang pandai bermain sandiwara, menari, dan menyanyi dihargai tinggi.9

Pauline De Milone mencatat bahwa gaya Indis di Batavia memiliki ”ciri-ciri gaya seni setempat ditambah unsur-unsur seni Cina”. Orang Eurasia mepopulerkan dua bentuk kebudayaan yang hanya digemari di Batavia, yaitu keroncong, jenis musik yang berasal dari Mardijker; dan komedie stamboel, yaitu teater yang mementaskan drama asal Eropa Timur Tengah, Indonesia, Cina, dan lain-lain dalam bahasa Melayu. Beberapa bentuk kesenian, seperti orkes gambang kromong dan cokek sama-sama digemari orang Indonesia dan Cina di batavia.10

9 Ibid, hlm. 47.

(5)

Jika musik Indis dengan unsur musik brass band dari Eropa terlihat kuat dalam tanjidor yang sekarang cenderung semakin memudar, maka unsur nada musik Cina jelas terdengar dalam gambang kromong. Paduan selaras dari kedua unsur luar ini terwakili dengan baik dalam musik keroncong. Bentuk paduan irama musik dengan gerak tari dalam teater melahirkan ciri Indis, yang dikenal dengan komedie stamboel. Sementara itu, dalam bentuk musik orkes keroncong, muncul lagu stambulan. Kemunculan komedi stambul yang pertama di Surabaya pada awal abad ke-20.11 Stambul merupakan tontonan yang digemari rakyat sejak

1900, yakni tontonan panggung, yang semula dikenal dengan nama Opera Stambul dan tontonan film buatan luar.

Pada mulanya, tontonan panggung yang terus digemari masyarakat kelas bawah sejak abad ke-19 adalah berupa tiruan opera yang dijejali banyak sisipan adegan hiburan. Ceritanya mengenai kehidupan raja-raja dengan pakaian gemerlapan, sebagian dialognya diucapkan dengan dinyanyikan, sebagaimana lazimnya opera. Jumlah babaknya dibikin banyak sekali yang diselingi dengan adegan nyanyian, lawak, dan tari-yang juga serba gemerlapan. Walhasil, penonton rakyat jelata yang hidupnya susah dan oleh struktur tidak mungkin merubah nasibnya, bisa menghayalkan kehidupan yang indah selama dua-tiga jam.12

Dalam perjalanannya komedi stambul banyak melakukan pembaruan dalam cara penyajian dan repertoarnya dalam periode 1920-an merupakan awal lahirnya toneel yang merupakan perubahan dari stambul. Pembaruan-pembaruan tersebut lebih banyak dimunculkan oleh kelompok rombongan Miss Riboet Orion

11 Djoko Soekiman, op.cit., hlm. 48.

12 Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900–1950, (Jakarta: Komunitas

(6)

milik Tio Tek Djin pada tahun 1925 dan Dardanella milik A.Piedro yang lahir setahun setelah berdirinya Orion. Dardanella yang didirikan langsung mencuat namanya di Batavia. Dengan pembaruan yang dilakukan oleh Miss Riboet Orion dan Dardanella, maka opera Stambul telah beralih ke era “toneel”, istilah Belanda untuk kata sandiwara. Cerita yang disajikan adalah cerita kehidupan modern, dialognya tidak ada lagi yang dibawakan dengan nyanyian dan jumlah babak dikurangi.13

Stamboel atau toneel merupakan awal mula seni pertunjukan modern dan merupakan kesenian lengkap yang dalam pentasnya tergabung jenis kesenian musik, seni peran, tari, komedi, dan pantun. Walaupun, sejak 1900 tontonan film mulai bisa disaksikan oleh masyarakat di kota – kota besar di Hindia Belanda. Pada mulanya, tontonan panggung yang terus digemari masyarakat kelas bawah sejak akhir abad-19 adalah tiruan opera yang dijejali banyak sisipan adegan hiburan. Pada awal abad-19 kurangnya tingkat intelektual masyarakat pada saat karena minimnya sekolah-sekolah bagi masyarakat pribumi. Menjadi sebuah gambaran masyarakat yang akan menjadi penonton film yang dibuat di negeri ini sejak 1926.

Para pembuat film berusaha membuat film yang bisa digemari oleh tingkat intelektual penonton itu. Namun demikian, sebelum menyaksikan film buatan dalam negeri, selera mereka dipengaruhi oleh dua macam tontonan yang sangat digemari rakyat sejak 1900, maka dari itu muncullah seni panggung stambul yang kemudian menjadi toneel. Dengan cerita yang lebih menghibur karena disisipkan dengan komedi dan hiburan lain membuat toneel mendapat tempat tersendiri bagi

(7)

masyarakat pada saat itu, tidak hanya itu, isi cerita toneel yang biasa menceritakan kehidupan raja-raja dengan pakaian gemerlapan membuat penonton rakyat jelata yang hidupnya susah, bisa menghayalkan kehidupan yang indah. Pada tahun 1925 berkat Miss Riboet Orion dan Dardanella lah era toneel bermula yang banyak merubah cerita dan reprtoarnya yang sebelumnya bernama komedi stambul. Kemudian, pentingnya mengangkat tema yang berjudul Toneel di Batavia tahun 1925-1943 menjadi sebuah tulisan adalah masih banyaknya hal-hal yang dapat diketahui dan bahkan belum banyak penelitian yang lebih mendalam mengenai Seni pertunjukan toneel, terutama mengenai kehidupan sosial masyarakat Batavia hingga tahun 1943 di mana banyak kesenian pengaruh dari Eropa yang dibawa kolonial ke Indonesia mulai menghilang seiring datangnya Jepang ke Indonesia terutama di Batavia yang merupakan pusat pemerintahan kolonial saat itu. Seni pertunjukan pada saat itu pula dijadikan alat propaganda Jepang di Nusantara.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah perkembangan seni pertunjukan toneel pada tahun 1925-1943?

2. Bagaimanakah perubahan seni pertunjukan toneel di Batavia 1925-1943?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perkembangan seni pertunjukan toneel pada tahun 1925-1943

2. Untuk mengetahui perubahan seni pertunjukan toneel di Batavia tahun 1925-1943

(8)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini secara akademis diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan dan memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu sejarah, khususnya studi seni pertunjukan, perkembangan seni pertunjukan toneel di Batavia pada masa kolonial. Kajian ini semoga dapat dijadikan bahan referensi bagi akademisi khususnya mahasiswa sejarah dalam melihat perkembangan seni pertunjukan di Batavia. Berangkat dari penelitian ini dapat dijadikan dan dapat menambah kajian seni pertunjukan ini menjadi lebih berkembang nantinya.

E. Tinjauan Pustaka

Peneliti memakai beberapa literatur yang relevan dalam penulisan studi sejarah ini. Tentu saja literatur tersebut dijadikan media untuk mengkaji sekaligus menelusuri dan mengungkap sumber data yang lebih komprehensif. Literatur yang dijadikan acuan adalah sebagai berikut:

Djoko Soekiman dalam disertasinya yang kemudian dibukukan dengan judul Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Pendukungnya di Jawa (Awal Abad XVII - Medio Abad XX). Mengulas mengenai awal mula tumbuhnya kebudayaan indis khususnya di Pulau Jawa sampai surutnya kebudayaan indis ketika Jepang mulai menguasai Indonesia. Kebudayaan Indis memang lahir akibat kebiasaan hidup membujang para prajurit dan pejabat Belanda di Hindia Belanda. Ketiadaan wanita Eropa mendorong mereka mengambil perempuan Pribumi sebagai pasangan. Alhasil bukan saja anak tetapi juga gaya hidup dan budaya campuran yang meliputi aspek kehidupan dan budaya dalam arti luas. Berhubungan dengan Kesenian terutama seni pertunjukan, buku ini sangat menunjang dalam

(9)

penelusuran gaya hidup, kesenian, dan ragam budaya yang berkembang. Namun buku ini tidak banyak bercerita tentang pengaruh seni pertunjukan di Batavia terhadap gaya hidup masyarakat Batavia.

Jacob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Satra Drama Indonesia. Buku ini memaparkan mengenai perkembangan teater dan sastra drama dari teater tradisional hingga teater modern di Indonesia. Dalam buku ini sudah dijelaskan bagaimana toneel sebagai salah satu teater modern di Indonesia berkembang mulai dari masa Miss Riboet Orion hingga The Malay Opera Dardanella. Namun, buku ini tidak serta merta mampu dijadikan sebuah bahan penelitian terhadap masyarakat pecinta teater, buku ini lebih cenderung membahas mengenai perubahan serta hal-hal yang menyangkut kehidupan teater pada umumnya.

R.M Soedarsono, Seni Pertunjukan Dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi. Buku ini membahas tentang perkembangan seni pertunjukan yang diwarnai oleh berbagai faktor non seni. Selain itu juga membahas bagaimana perubahan Sosial, Ekonomi, dan Politik terhadap perkembangan seni pertunjukan di Dunia. Buku ini mengajak pula untuk memahami perkembangan seni pertunjukan di Eropa dan Amerika secara singkat. Namun, buku ini cenderung membahas seni pertunjukan secara umum saja.

W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi, Studi Perubahan Sosial. Buku ini memaparkan mengenai perkembangan masyarakat Indonesia dari masa ke masa. Segala perubahan sosial masyarakat yang terjadi membawa dampak dalam tingkah laku dan gaya hidup masyarakat. Teori perubahan masyarakat dalam buku ini mampu digunakan untuk menganalisi aspek kesenian

(10)

masyarakat yang membawa pengaruh terhadap gaya hidup di Batavia. Namun dalam buku ini belum bercerita tentang bagaimana seni pertunjukan terutama toneel yang merupakan seni pertunjukan yang digemari mempengaruhi perubahan sosial masyarakat Indonesia pada masa transisi.

Karya Misbach Yusa Biran yang berjudul Sejarah Film 1900-1950. Dalam buku ini membahas tentang bagaimana perkembangan seni pertunjukan yang tidak hanya membahas sejarah perfilman yang ada di Nusantara terutama di Batavia, Buku ini juga memaparkan seni pertunjukan toneel yang merupakan kesenian yang lengkap dan merupakan seni pertunjukan panggung yang paling popular pada masanya sebelum munculnya film di nusantara. Dalam buku ini juga dibahas bagaimana peran penting seni pertunjukan toneel yang sangat digemari masyarakat sebelum munculnya film. Namun dalam buku ini kurang banyak bercerita sejarah seni pertunjukan sebelum munculnya film di Nusantara.

Skripsi Agung Wibowo, Gaya Hidup Masyarakat Eropa di Batavia Pada Masa Depresi Ekonomi (1930-1939). Skripsi ini banyak membahas tentang gaya hidup masyarakat eropa terutama di Batavia pada masa depresi ekonomi yang melanda dunia. Dapat dilihat dalam buku ini walaupun terjadi depresi ekonomi masyarakat Eropa terutama di Batavia tidak menunjukkan kemelaratan dalam kehidupan sehari–harinya. Jadi tulisan ini sangat penting untuk melihat bagaimana pengaruh depresi ekonomi dalam gaya hidup orang Eropa dan juga pengaruh terhadap hiburan di Batavia terutama terhadap seni pertunjukan toneel yang pada tahun 1930-an merupakan era keemasan seni pertunjukan toneel. Dalam tulisan ini juga belum terlihat bagaimana masyarakat pribumi dan selain orang Eropa dalam

(11)

menghadapi depresi ekonomi yang melanda dunia dan bagaimana nasib industri hiburan di Batavia.

F. Metode Penelitian

Dalam memahami peristiwa-peristiwa di masa lampau sebagai fakta sejarah memerlukan adanya tahapan atau proses sehingga dibutuhkan metode serta pendekatan agar terbentuk sebuah bangunan sejarah yang utuh. Penelitian sejarah dalam studi ini memakai pandangan sejarah kritis yang didasarkan pada metode historis yang didalamnya mencakup kegiatan pengumpulan sumber, menguji, menganalisis secara kritis dari rekaman dan peningalan masa lampau, kemudian diadakan rekontruksi dari data yang diperoleh sehingga menghasilkan penulisan sejarah (historiografi).14

1. Heuristik

Heuristik adalah proses mencari untuk menemukan sumber-sumber. Adapun penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data atau sumber dengan studi dokumen dan studi pustaka.

a. Studi Dokumen

Dalam melaksanakan pengumpulan data untuk penulisan penelitian ini menggunakan studi dokumen. Baik itu berupa surat-surat resmi dan surat-surat negara. Studi dokumen bertujuan untuk memperoleh dokumen yang benar-benar berkaitan dengan penelitian. Studi dokumen ini untuk memperoleh data primer berupa arsip, foto-foto dan surat kabar sejaman mengenai kondisi umum Batavia

14 Louis Gottshalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: Universitas Indonesia

(12)

awal abad-20 hingga tahun 1943, Aktifitas yang berkaitan dengan kesenian toneel di Batavia dan arsip-arsip yang berkaitan lainnya. Surat kabar sejaman meliputi Bataviasch Nieuwsblad 13 November 1926 No. 340, Bataviasch Nieuwsblad 20 November 1930 No. 268, de Telegraaf 19 Februari 1918 No. 345, dan lainnya. b. Studi Pustaka

Untuk menunjang penelitian ini juga menggunakan studi pustaka dalam mengumpulkan data. Studi pustaka ini sangat berguna dalam mendukung, melengkapi data-data penelitian dan juga sebagai referensi, artikel, laporan penelitian dan karya ilmiah lainnya yang sesuai dengan tema dan permasalahan yang akan dibahas. Studi pustaka ini sendiri diperoleh dari Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Arsip Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan DKI Jakarta, Perpustakaan Jurusan Ilmu Sejarah UNS, dan Perpustakaan Pusat UNS.

2. Kritik Sumber

Kritik sejarah adalah menilai atau mengkritik sumber, baik itu kritik ekstern bertujuan untuk mencari keaslian sumber, sedangkan kritik intern bertujuan untuk mencari keaslian isi sumber atau data. Setelah pengumpulan sumber tadi telah terlaksana, kemudian saling, mencocokkan kesamaan serta keaslian arsip maupun sumber sejarah yang telah didapatkan. Mulai dari surat kabar yang sejaman kita mencocokkan, memilah data, dan melakukan pengurutan sesuai dengan tahun terbit surat kabar tersebut sehingga mampu membentuk suatu rentetan kronologi kejadian dari tahun-tahun yang ada. Seperti yang sudah penulis temukan Bataviasch Nieuwsblad 13 November 1926 No. 340 yang merupakan koran sejaman dengan periodesasi tulisan Toneel di Batavia 1925-1943.

(13)

Interpretasi yaitu penafsiran terhadap data yag dimunculkan dari data-data yang sudah terseleksi. Tujuan dari interpretasi adalah menyatukan sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber atau data sejarah. Bersama teori disusunlah fakta tersebut ke dalam interpretasi yang menyeluruh. Ini sama halnya dengan melakukan analisis data yang diperoleh. Data yang telah diperoleh kemudian mencoba mengaitkannya dengan fenomena sosial-ekonomi yang terjadi pada sesuai periode tema dengan menggunakan beberapa teori yang serupa.

4. Historiografi

Historiografi yaitu menyajikan hasil penelitian berupa penyusunan fakta-fakta dalam suatu sintesa kisah yang bulat sehingga harus disusun menurut teknik penulisan sejarah.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran terperinci, skripsi ini disusun berdasarkan kerangka sebagai berikut:

BAB I merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II Gambaran Umum Batavia Awal Abad-20, berisi mengenai Kota Batavia Awal Abad-20, Gaya hidup orang Eropa di Batavia awal abad-20, dan Perkembangan Sarana Hiburan di Batavia awal abad-20

BAB III berisi kesenian toneel tahun 1925-1943, terdiri atas dua sub bab mengenai sekilas sejarah awal mula toneel dan Perkembangan toneel 1925-1943 di Batavia.

(14)

BAB IV tetang Peranan seni pertunjukan toneel di Batavia, terdiri atas dua sub bab mengenai Transformasi dari Seni Pertunjukan panggung ke layar lebar dan Seni pertunjukan sebagai media propaganda Jepang.

BAB V adalah kesimpulan yang merupakan hasil temuan penelitian dan merupakan jawaban dari permasalahan yang ada.

Referensi

Dokumen terkait

Selama pelaksanaan penelitian dengan menggunakan model PMR pada pokok bahasan mengenal bangun datar sederhana dari siklus pertama ke siklus berikutnya menunjukkan

Input data, yaitu: data Sumber PLN, Trafo, Saluran, dan beban yang diperoleh dari sistem yang terkait dengan catu daya Kawasan GI PUSPIPTEK dalam hal ini menggunakan catu

Menurut Krech (dalam Maryana,2006) peningkatan derajat.. harga diri dapat membawa seseorang kepada inisiatif sosial, sedangkan penurunan derajat harga diri dapat

Untuk penelitian kedua dengan judul “Penerapan Agile Unified Process dalam Pembangunan Sistem Informasi Akuntansi Pendapatan Jasa” dimana penelitian ini mampu menjelaskan

• Urutan prioritas penyediaan SDA (selain untuk kebutuhan pokok dan untuk irigasi pertanian rakyat) ditetapkan pada setiap WS oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai

A1, A4, A5, B1, B2, B3 6 6 Mengidentifikasi peran bahasa dalam pembangunan bangsa Peran bahasa dalam pembangunan bangsa Ceramah dan Diskusi Ketepatan resume,

Pengendalian derivatif (D) menggunakan tingkat perubahan sinyal error sebagai elemen prediksi pada aksi pengendalian. Komponen derivatif tidak dapat digunakan sebagai