Potensi Kerukunan dan Konflik Umat Beragama
di Kota Madiun Jawa Timur
Suhanah
Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Jl. MH Thamrin No 6 Jakarta
Email: suhanahhh@yahoo.com
Abstract
This study used a qualitative approach in
the case of harmony, conflict and religious conflict solutions in the city of Madiun.
The study concludes that: the potential for harmony in the City of Madis on emerged due to the solidarity of public awareness, where people are ready to be different and agree to maintain the unity and integrity. Given that awareness, religious issues are submitted to the respective religious community through each interfaith leader. In addition, the presence of FKUB and Islamic boarding school has been very effective to support the proper development of living in harmony and effective communication (silaturahmi) among interfaith leaders. Law enforcement and government agencies have promoted the creation of inter-faith harmony in the society. The issue that
caused the conflict was recognized by
the authorities and wider public. Strategic measures to overcome the internal and
inter-religious conflicts through mediation
and dialogue with the principle of kinship. Key words: harmony, conflict, FKUB, religious solidarity society.
Abstrak
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif pada kasus kerukunan, konflik dan solusi konflik umat beragama di
kota Madiun. Studi ini menyimpulkan antara lain: potensi kerukunan di Kota Madiun muncul dikarenakan adanya solidaritas kesadaran masyarakat. Dimana Masyarakat siap berbeda dan bersepakat menjaga persatuan dan kesatuan. Dengan adanya kesadaran itu, permasalahan keagamaan diserahkan kepada masing-masing umat beragama melalui tokoh-tokohnya. Di samping itu keberadaan FKUB dan Pondok Pesantren dirasakan sangat efektif untuk mendukung kehidupan harmoni, komunikasi efektif (silaturahmi) tokoh lintas agama terbangun dengan baik. Penegak hukum dan institusi pemerintah turut mendorong terciptanya kerukunan masyarakat lintas agama. Persoalan yang
memicu konflik pun disadari sepenuhnya
oleh aparat dan masyarakat umum. Langkah-langkah strategis untuk mengatasi
konflik intern dan antar umat dilakukan
melalui mediasi dan dialog dengan prinsip kekeluargaan.
Kata kunci: kerukunan, konflik, FKUB, solidaritas umat beragama.
Latar Belakang Masalah
Dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, tiap-tiap pemeluk agama mendapatkan kesempatan untuk menjalankan agama dan menciptakan kehidupan beragama yang sesuai dengan ajaran agamanya
masing-masing. Akan tetapi setiap pemeluk agama juga harus menjaga agar kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilakukan masing-masing umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat tidak boleh mengganggu dan menyinggung perasaan kelompok agama lainnya. Dengan kata lain, pengembangan agama
dan kehidupan keagamaan disatu pihak tidak boleh menjurus kearah tumbuhnya pemikiran dan pemahaman agama yang sempit. Sedangkan dipihak lain, toleransi umat beragama juga tidak boleh mengorbankan keyakinan agama masing-masing penganutnya.
Masyarakat kota Madiun tergolong masyarakat majemuk, bukti kemajemukannya itu terlihat dari beragamnya etnis, budaya, bahasa dan agama. Realitas keberagaman agama, yang pada suatu sisi menonjolkan perbedaan-perbedaan dalam berbagai dimensi yang dapat memunculkan peluang timbulnya
konflik bernuansa agama. Agama-agama
yang dilayani pemerintah di Indonesia adalah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu. Agama dalam hal ini dapat diuraikan menjadi tiga aspek yaitu aspek pemikiran, aspek praktis dan aspek sosiologis. Aspek pemikiran yaitu agama merupakan suatu sistem kepercayaan bagi pemeluknya; aspek praktis yaitu agama merupakan suatu sistem peribadatan yang dilakukan bagi masing-masing umat beragama; aspek sosiologis yaitu agama merupakan sistem yang memiliki hubungan dan interaksi sosial.
Agama-agama yang ada pada hakikatnya mengajarkan kepada seluruh umatnya agar bisa hidup rukun dan damai terhadap sesama manusia, walaupun berbeda agama. Hanya saja agama yang ada sering difahami secara sempit sehingga mengakibatkan terjadinya
konflik di masyarakat. Selain itu sikap
fanatisme yang berlebihan di kalangan pemeluk agama masih sangat dominan, sehingga dapat mengakibatkan ketidak harmonisan di antara sesama umat beragama. Ketidakharmonisan hubungan antar umat beragama merupakan salah satu dinamika dalam kehidupan bermasyarakat, hal ini dikarenakan adanya interaksi sosial di antara masing-masing umat beragama yang mempunyai
nilai atau acuan berbeda-beda sesuai dengan latar belakang etnis, budaya dan agama masing-masing.
Usaha mewujudkan suasana kerukunan umat beragama yang harmonis dan dinamis, bukan hanya tugas dan tanggung jawab pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, melainkan tanggung jawab semua lapisan masyarakat.
Permasalahan dalam penelitian ini meliputi: (a) Apa saja potensi yang dapat menimbulkan kerukunan dan
faktor-faktor pemicu konflik di Kota Madiun;
(b) kasus-kasus keagamaan yang pernah terjadi di kota Madiun; (c) model-model
penyelesaian konflik.
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah: (a)Untuk mengetahui potensi-potensi kerukunan
dan faktor-faktor pemicu konflik; (b) Untuk mengetahui konflik keagamaan
yang pernah terjadi di kota Madiun; (c) Untuk mengetahui model-model
penyelesaian konflik.
Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan masukan bagi pimpinan Kementerian Agama dalam
menetapkan kebijakan bagi pemeliharaan
kerukunan umat beragama
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam bentuk studi kasus. Tehnik yang digunakan untuk menggali data ini adalah :1) wawancara dengan para informan yang dipandang berkompeten dalam masalah tersebut. Para informan terdiri dari sejumlah penjabat pemerintah setempat seperti Kepala Kantor Kementerian Agama, Kasi Penamas, ketua FKUB, ketua MUI, ketua BAMAG, ketua NU, ketua Muhammadiyah, tokoh agama dari berbagai agama yang berbeda, dan Kabid
Ketahanan Bangsa, 2) pengamatan; dan studi kepustakaan serta dari buku-buku hasil penelitian.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Madiun Jawa Timur dengan pertimbangan bahwa di Kota Madiun secara sosial keagamaan adanya keragaman agama, budaya dan etnis. Juga muncul berbagai fakta sosial berupa potensi kerukunan
dan pemicu konflik sosial keagamaan
serta munculnya kasus-kasus keagamaan.
Definisi Konsep
Rukun, secara etimologi berasal
dari bahasa Arab yang berarti tiang, dasar, dan sila. (Ridwan Lubis, 2004:21). Perkembangannya dalam bahasa Indonesia, kata rukun sebagai kata sifat yang berarti cocok, selaras, sehati atau tidak berselisih.
Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, disebutkan bahwa Kerukunan Umat Beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. ( PBM, Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006, 2006: 36).
Dengan demikian, kerukunan berarti kondisi sosial yang ditandai oleh adanya keselarasan, kecocokan atau ketidakberselisihan. Selain itu Ridwan Lubis mengatakan bahwa kerukunan merupakan kondisi dan proses tercipta
dan terpeliharanya pola-pola interaksi yang beragam di antara unit-unit (unsur-unsur/sistem) yang otonom. Kerukunan mencerminkan hubungan timbal balik yang ditandai oleh sikap saling menerima, saling mempercayai, saling menghormati dan saling menghargai serta sikap saling memaknai kebersamaan.
Konflik berbeda dengan kerukunan, dimana konflik memiliki pengertian yang
beragam tergantung pada paradigma yang dipergunakannya. Secara sosiologi
konflik diartikan sebagai pertikaian,
perseteruan atau pertarungan, yaitu proses pencapaian tujuan yang dilakukan dengan cara melemahkan pihak lawan tanpa memperhatikan nilai atau norma yang berlaku. (Soekanto, 1969 : 60).
Pendapat lain mengatakan bahwa
konflik sosial adalah perjuangan
pencapaian nilai status, kekuasaan atau sumber-sumber langka(scarce resources)
dimana tujuan pihak yang berkonflik
bukan semata untuk memperoleh tujuan/ maksud yang diinginkan, namun juga bertujuan menetralisir, melukai, atau mengeliminasi pesaingnya.
Konflik sosial bisa terjadi antar
individu-individu, antar kelompok (kolektivitas)atau antar individu-individu dengan kelompok etnis, budaya dan ekonomi.Sebagai realitas sosial,
konflik dipandang sebagai unsur penting
dalam interaksi sosial. Terlepas dari
akibatnya, konflik dalam kenyataannya
berkontribusi dalam proses pemeliharaan kelompok atau kolektivitas serta memperkuat terbangunnya hubungan interpersonal.
Weber, salah seorang sosiolog Jerman, dalam terjemahan yang ditulis oleh A. Shill, Edawar dan H.A. Finch (1949 : 26-27), mengungkapkan bahwa
melihat pentingnya konflik sosial
dalam proses kehidupan. Menurutnya
dari kehidupan itu sendiri. Bahkan perdamaian itu sendiri sebenarnya tidak lain dari pada suatu bentuk perubahan
dalam bentuk konflik. (Titik Suwaryati,
2011 : 92).
George Simmel, Lewis Coser, Ralf Dahrendorf dan Max Gluckman, melihat
konflik sebagai bentuk interaksi sosial,
dalam kenyataannya memiliki nilai fositif dan fungsional bagi terbentuknya kelompok yang kuat. Terlepas dari
apapun bentuk konflik yang terjadi, harus dicarikan solusinya, karena konflik
berdampak rusaknya tatanan kehidupan masyarakat itu sendiri. (Reslawati, 2011 : 104).
Sedangkan yang dimaksud dengan
umat beragama, adalah penganut suatu
agama yang berkembang di masyarakat seperti: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Agama itu sendiri pada hakikatnya dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek kepercayaan, aspek peribadatan dan aspek sosiologis. Dari ketiga aspek tersebut, aspek sosiologislah yang memiliki hubungan antar sesama umat beragama. Ronald Robertson mengatakan bahwa agama merupakan suatu sistem kesatuan dari keyakinan dan praktek-praktek yang bersifat relatif terhadap hal-hal yang secret yakni segala sesuatu yang dihindari atau dilarang.
Penelitian tentang potensi
kerukunan dan potensi konflik umat
beragama bukan pertama kali dilakukan, tetapi telah beberapa kali dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, seperti dengan judul Peta Kerukunan
Umat Beragama di Berbagai Komunitas di Indonesia, Potret Kerukunan UmatBeragama
di Jawa Barat dan dalam penelitian
ini penekanannya melihat potensi
kerukunan dan potensi konflik serta
kasus-kasus yang terjadi dan model-model penyelesaiannya.
Kehidupan Keagamaan
Masyarakat Kota Madiun termasuk masyarakat heterogen, baik dari segi budaya, ekonomi, tingkat pendidikan, politik dan agama. Bukti heterogenitasnya terdapat multi agama dan terdapat beragamnya rumah ibadat. Agama-agama yang ada di Kota Madiun meliputi: agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Dari agama-agama yang ada hanya agama-agama Khonghucu
yang jumlah penganutnya tidak terdaftar
secara administratif, padahal rumah ibadatnya ada. Jumlah sarana ibadat yang ada meliputi: masjid 187 buah, gereja Kristen 21 buah, gereja Katolik 2 buah, pura 3 buah, vihara 3 buah dan klenteng 1 buah. (Laporan Tahunan kota Madiun, 2010). Organisasi keagamaan yang ada di Kota Madiun meliputi: Muhamadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persis, Muslimat NU, Fatayat NU, Nasiyatul Aisyyah dan Al-Wasliyah. Dari organisasi yang ada mayoritas adalah NU. Muhamadiyah bergerak di bidang pendidikan dan dakwah. Sedangkan NU bergerak di bidang Pondok Pesantren dan dakwah.
Kota Madiun terdiri dari tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Mangunharjo, Kecamatan Taman dan Kecamatan Kartoharjo. Dari ketiga kecamatan yang ada, jumlah penduduknya dilihat berdasarkan agama adalah umat Islam sebanyak 180.336 jiwa, umat Kristen sebanyak 11.717 jiwa, umat Katolik sebanyak 9.455 jiwa, umat Hindu sebanyak 266 jiwa dan umat Buddha sebanyak 1.038 jiwa. Dilihat dari jumlah penduduk yang ada, mayoritas beragama Islam.
Aktivitas keagamaan dari berbagai agama yang ada, dapat dilakukan secara efektif, seperti umat Islam aktif melakukan shalat dan pengajian-pengajian (majelis taklim) yang tempatnya di masjid-masjid, mushalla-mushalla dan di rumah-rumah. Umat Kristen dan umat Katolik melakukan kebaktian di gereja-gereja
yang ada. Bagi umat Hindu melakukan persembahyangan baik di rumah dan di Pura pada hari-hari tertentu. Begitu pula bagi umat Budha melakukan persembahyangan di rumah dan di vihara pada hari-hari tertentu. Sedangkan bagi umat Khonghucu juga melakukan persembahyangan di rumah maupun di klenteng.
Masing-masing umat beragama yang ada saling mengakui dan saling menghargai keberagaman agama, dan tidak saling mencela ataupun mencaci cara ibadat yang dilakukan agama lainnya. Namun demikian masalah kerukunan umat beragama seringkali terganggu oleh beberapa hal yaitu penyiaran agama, perkawinan antar agama, perayaan hari besar keagamaan, kegiatan kelompok sempalan baik dari kalangan Islam maupun non Islam dan masalah rumah ibadat.
Potensi Kerukunan
Dalam rangka menciptakan kerukunan antarumat beragama di kota Madiun, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Kota Madiun telah melaksanakan fungsi dan tugasnya, yaitu melaksanakan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat, menampung aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat serta menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi
sebagai bahan kebijakan Walikota Madiun
dan melakukan sosialisasi peraturan
perundang-undangan dan kebijakan
di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat serta memberi rekomendasi tertulis terhadap permohonan pendirian rumah ibadat.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa orang tokoh agama menyatakan bahwa Kerukunan Umat Beragama di kota Madiun cukup
kondusif. Hal tersebut dikarenakan :
Pertama, adanya kesadaran masyarakat
yang cukup tinggi dalam memahami perbedaan, bahwa setiap agama memiliki ajaran yang berbeda-beda. Kedua,
solidaritas masyarakat yang cukup tinggi, sebagai contoh: sebagian umat Islam dalam merayakan Idul Qurban, membagi-bagikan daging qurban kepada seluruh warga tanpa melihat identitas agama.
Ketiga, masing-masing umat beragama tidak saling mencampuri urusan agama orang lain. Keempat, peran FKUB yang efektif. Kelima, silaturahmi para tokoh lintas agama dengan mengunjungi tempat-tempat ibadat. Keenam, peran dari lembaga-lembaga pemerintah, seperti Kementerian Agama, Polsek, Polres, dan juga Kesbangpollinmas serta Majelis-majelis Agama yang cukup sigap dalam menangani peristiwa-peristiwa yang terjadi. Ketujuh, peran masyarakat dalam melakukan bakti sosial antar umat beragama seperti membersihkan selokan jalan, menjual sembako murah bagi rakyat miskin. Kedelapan, saling ketergantungan antar warga dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.(Wawancara dengan Ketua NU, 24 November 2010).
Kyai Dimyati juga mengatakan bahwa perkembangan agama di kota Madiun cukup baik, hal tersebut dilakukan melalui metode tawazun dan tasammuh (berlapang, toleran dan
berimbang). Sebagai contoh di lingkungan
kami ada seorang warga yang memiliki anjing yang berkeliaran di sekitar masjid. Tetapi kami kami tidak langsung menghajar anjing tersebut, melainkan melalui prosedur dengan melapor ke RT, RW dan ke Pak Lurah, tentang bagaimana keberadaan anjing itu, karena kita masih mempunyai rasa toleransi yang cukup tinggi.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas walaupun keadaannya demikian, peran pemerintah, tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat dalam memelihara
kerukunan umat beragama cukup efektif, terutama dalam menangani masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.
Faktor-Faktor Pemicu Konflik
Menurut ketua FKUB Kota Madiun situasi dan kondisi masyarakatnya cukup kondusif, namun demikian bukan
berarti tidak ada pemicu konflik, hal ini
disebabkan banyaknya bermunculan sekte-sekte baik dari kalangan Islam maupun non-Islam. Dalam Kristen misalnya, terdapat sekte-sekte Saksi Yehova yang dipandang oleh mainstream Kristen tidak sesuai dengan ajaran agama gereja. Saksi-saksi Yehova memiliki penafsiran berbeda terhadap kitab suci.
Dalam internal umat Islam, di Madiun juga muncul gerakan-gerakan keagamaan seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir (HTI), Fron Pembela Islam (FPI) dan Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA). Kelompok yang rawan memunculkan persoalan menurut Ketua MUI Kabupaten Madiun H Sutoyo adalah MTA yang seringkali mengeluarkan pernyataan kontroversi seperti amalan tahlilan dan dzikir adalah bid’ah. (Wawancara dengan ketua MUI kota Madiun, H. Sutoyo, 24 November 2010).
Persoalan lain diantaranya adanya perkawinan antar agama, muslim menikah dengan non-muslim. Perkawinan antar agama berdampak konversi agama mengakibatkan kontroversi. (Wawancaran dengan Hj. Najahah).
Kasus-Kasus Keagamaan yang Pernah Terjadi di Kota Madiun:
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang tokoh agama dan tokoh masyarakat mengatakan bahwa di kota Madiun pernah terjadi
kasus-kasus keagamaan. Contoh kasus-kasus yakni
rumah tempat tinggal dijadikan tempat
kebaktian umat Kristen, pernah terjadi di Jalan Anggrek Kelurahan Oro-Oro Ombo Kecamatan Kartoharjo. Kasus lain yaitu aksi penolakan pembangunan Gereja di pemukiman Muslim, di Kecamatan Kartoharjo Kelurahan Rejomulyo RT.16/ RW 5. (Kantor Kementerian Agama Kota Madiun, 2006). Juga adanya keresahan warga Muslim disebabkan oleh anjing piaraan yang berkeliaran di sekitar masjid seperti yang terjadi di Kecamatan Kartoharjo. (Wawancara dengan Ketua NU, H. Dimyati, 25 November 2010).
Semua peristiwa tersebut dapat diatasi dengan baik oleh aparat, masyarakat dan pihak-pihak terkait sehingga peristiwa tersebut tidak sampai mencuat kepermukaan,
Model-Model Penyelesaian Konflik
Berdasarkan keterangan Ketua FKUB dan ketua MUI, bahwa semua peristiwa-peristiwa yang terjadi di Kota Madiun dapat ditangani dengan baik oleh aparat pemerintah dan masyarakat.
Kasus rumah tinggal yang dijadikan tempat
ibadat
Cara penyelesaiannya dengan melakukan pertemuan bertempat di rumah Ketua RW 3 Kelurahan Oro-Oro Ombo Kecamatan Kartoharjo, dengan mengundang Camat Kartoharjo; Lurah Oro-Oro Ombo; Perwakilan Kementerian Agama Kota Madiun; Perwakilan MUI kota Madiun; Perwakilan Polsek Kartoharjo; Perwakilan Koramil, Polresta dan FKUB kota Madiun; Ketua RT dan Perwakilan Islam di wilayah RW 3; Perwakilan Kristen ; Perwakilan Warga RT 12 RW 3. (Wawancara dengan Dr. Hadi Suprapto, 27 November 2010)
Penolakan Pembangunan Gereja di
Pemukiman Muslim
Cara penyelesaiannya adalah warga muslim setempat membuat surat pernyataan yang disertai tanda tangan menolak rencana pembangunan Gereja Pantekosta bagi umat Kristen, kasus ini terjadi pada tahun 2006 di Kecamatan Kartoharjo, Kelurahan Rejomulyo RT.16 RW 5. (Wawancara dengan ketua MUI kota Madiun, 27 November 2010)
Keresahan umat Muslim karena binatang
anjing
Kasus yang terjadi, anjing-anjing piaraan warga non-muslim dibiarkan berkeliaran di sekitar masjid. Kasus ini membuat umat Islam ribut. Cara penanganannya, warga yang bertempat tinggal disekitar masjid melapor kepada RT, RW, Lurah dan Ketua FKUB. Setelah Lurah dan Ketua FKUB menerima laporan itu, kemudian memanggil sipemilik anjing itu dan memberikan keterangan-keterangan dan pada akhirnya masalah tersebut dapat diselesaikan pada tingkat kelurahan. (Wawancara dengan Ketua NU kota Madiun Kyai Dimyati, 26 November 2010).
Dinamika Sosial Keagamaan
Masyarakat Kota Madiun dikenal sebagai masyarakat yang cukup solider dan toleran. Namun toleransi yang dimaksudkan disini adalah toleransi dalam hal kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan dan bukan dalam kegiatan keagamaan. Masalah-masalah yang berkaitan dengan agama bagi mereka tidak bisa dikompromikan. Kegiatan-kegiatan yang bisa dikerjasamakan antar umat beragama, meliputi: kerja bakti, ronda malam, peringatan hari-hari besar nasional, membantu warga yang mendapatkan kesusahan karena kebakaran atau terkena bencana banjir.
Kerukunan antar umat beragama di Kota Madiun cukup baik, hal ini dikarenakan kesadaran masyarakat yang dapat memahami bahwa setiap agama memiliki perbedaan-perbedaan , oleh karena itu dalam perbedaan tersebut, mereka saling menghargai, saling menghormati dan tidak saling mencela apalagi mengganggu.
Di kota Madiun walaupun hubungan antarumat beragamanya cukup kondusif, bukan berarti tidak
terjadi konflik, karena dimanapun kita berada konflik pasti ada tergantung
bagaimana kita bisa menyikapinya. Kasus yang pernah mencuat seperti disebutkan di atas seperti tempat tinggal,
yang dijadikan tempat ibadat dapat
diselesaikan secara kekeluargaan. Solusi yang ditempuh oleh aparat pemerintah bersama tokoh-tokoh agama merujuk pada peraturan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 bahwa rumah
tinggal tidak boleh dijadikan sebagai
rumah ibadat. Dengan mentaati ketentuan itu, semua pihak dapat menerima dengan kesadaran hati.
Penolakan terhadap pendirian rumah ibadat (Gereja Pantekosta) yang terjadi di Kecamatan Kartoharjo. Kasus ini membuat resah masyarakat Muslim sekitar, karena di wilayah ini mayoritas dihuni oleh masyarakat Muslim. Hal tersebut dapat dibuktikan dari jumlah warga yang ada di RT 16 Rw 5 yang jumlah warganya ada 86 KK atau 200 jiwa, yang terdiri dari: umat Islam sebanyak 81 KK atau 181 jiwa, Katolik 2 KK atau 7 jiwa, Kristen 2 KK atau 8 jiwa, umat Budha 1 KK atau 3 jiwa. Selain itu, rencana pembangunan gereja tersebut dan tidak didasarkan atas keperluan nyata dan sungguh-sungguh. Sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tanggal 21 Maret 2006.
Kasus-kasus yang pernah terjadi pada umumnya dapat diselesaikan dengan cara, melakukan dialog antar umat beragama, dengan menghadirkan unsur pemerintah, FKUB, Majelis-majelis Agama dan pihak-pihak terlibat. Semua unsur-unsur tersebut saling bekerjasama dalam menangani peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Penutup
Studi ini menyimpulkan dalam beberapa poin berikut: a) Potensi-potensi yang dapat menimbulkan kerukunan antar umat beragama di Kota Madiun adalah adanya kesadaran dari masing-masing umat beragama terhadap keberagaman agama yang memiliki ajaran yang berbeda-beda dan sikap toleransi yang cukup tinggi, seperti contoh dalam perayaan hari raya qurban, daging kurban di bagi-bagikan kepada seluruh warga tanpa melihat
identitas agamanya; b) Pemicu konflik
yang terjadi di Kota Madiun, antara lain adanya sekte-sekte dari agama Kristen, dan timbulnya gerakan keagamaan dalam Islam yang memiliki perbedaan
pemahaman dan pengamalan; c) Kasus-kasus keagamaan yang pernah terjadi di Kota Madiun antara lain berupa protes atau penolakan terhadap rumah tempat
tinggal dijadikan tempat ibadat bagi umat
Kristen yang terdapat di Kelurahan Oro-Oro Ombo Kecamatan Kartoharjo dan adanya penolakan Pembangunan Gereja Pantekosta di Kelurahan Rejomulyo RT 16 /RW 5 Kecamatan Kartoharjo, keberadaan binatang piaraan (anjing) yang berkeliaran di sekitar masjid; d) Model penyelesaian kasus-kasus keagamaan yang terjadi di Kota Madiun melalui jalan musyawarah dengan azas kekeluargaan dan jalan dialog dengan melilbatkan tokoh lintas agama, tokoh tokoh masyarakat, FKUB, unsur pemerintah dan pihak-pihak yang terlibat.
Peneliti merekomendasikan beberapa hal, diantaranya: a) Sebaiknya sosialisasi tentang PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 perlu ditingkatkan hingga tingkat kecamatan dan kelurahan, agar masyarakat dapat memelihara kerukunan dengan baik; b) Tokoh agama dari masing-masing agama, perlu meningkatkan pembinaan keagamaan kepada umatnya, sehingga mereka dapat memahami ajaran agamanya dengan baik.
Daftar Pustaka
Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat, Kerjasama Antarumat Beragama di Berbagai Daerah di Indonesia, 2008.
Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009, Potret Kerukunan Umat Beragama di Provinsi Jawa Barat.
Kementerian Agama Badan Litbang Dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009, Efektifitas Sosialisasi PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.
Lubis, H.M.Ridwan, dkk. (eds), 2004, Buku Penuntun Kerukunan Hidup Umat Beragama, diterbitkan kerjasama antara LPKUB Medan dan Ciptapustaka Media Bandung. Laporan kegiatan FKUB Kota Madiun, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), 2010. Ronald Robertson, Agama Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta, 1992.
Saefuddin, A. Fedyani, 1986, Konflik dan Integrasi, Perbedaan Faham dalam Agama Islam,
Penerbit Rajawali, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 2003, Sosiologi: Suatu Pengantar, UI Press, Jakarta.
Sekretariat Badan Litbang Dan Diklat Kementerian Agama RI, Peraturan Bersama Menteri