5 5 II.1. Tinjauan Pustaka
II.1. Tinjauan Pustaka 1. Persalinan Normal 1. Persalinan Normal
Persalinan atau partus adalah proses fisiologik dimana uterus Persalinan atau partus adalah proses fisiologik dimana uterus mengeluarkan atau berupaya mengeluarkan janin dan plasenta setelah masa mengeluarkan atau berupaya mengeluarkan janin dan plasenta setelah masa kehamilan 20 minggu atau lebih, dapat hidup diluar kandungan melalui jalan kehamilan 20 minggu atau lebih, dapat hidup diluar kandungan melalui jalan lahir atau jalan lain dengan batuan atau t
lahir atau jalan lain dengan batuan atau tanpa bantuan. Pembagian usia kehamilananpa bantuan. Pembagian usia kehamilan menurut WHO (1992) adalah sebagai berikut:
menurut WHO (1992) adalah sebagai berikut: a.
a. Preterm Preterm : : usia usia kehamilan kehamilan kurang kurang dari dari 37 37 minggu minggu (259 (259 hari)hari) b.
b. Aterm Aterm : : usia usia kehamilan kehamilan 37-42 37-42 minggu minggu (259-293 (259-293 hari)hari) c.
c. Postterm Postterm : usi: usia kehamila kehamilan lebih an lebih dari dari 42 mi42 minggu nggu (294 h(294 hari)ari)
Persalinan biasa atau normal (eutosia) adalah proses kelahiran janin pada Persalinan biasa atau normal (eutosia) adalah proses kelahiran janin pada kehamilan cukup bulan (aterm), pada janin terletak memanjang dan presentasi kehamilan cukup bulan (aterm), pada janin terletak memanjang dan presentasi belakang
belakang kepala, kepala, yang yang disusul disusul dengan dengan pengeluaran pengeluaran plasenta, plasenta, dan dan seluruh seluruh prosesproses kelahiran itu berakhir dalam waktu kurang dari 24 jam, tanpa tindakan/ kelahiran itu berakhir dalam waktu kurang dari 24 jam, tanpa tindakan/ pertolongan b
pertolongan buatan, dan tanpa komplikasi (Suradji, 2005).uatan, dan tanpa komplikasi (Suradji, 2005). Menurut Suradji (2005) Persalinan dibagi dalam 4 kala: Menurut Suradji (2005) Persalinan dibagi dalam 4 kala:
a.
a. Kala Kala I I : : kala kala pembukaan pembukaan serviksserviks b.
b. Kala Kala II II : : kala kala pengeluaran pengeluaran janinjanin c.
c. Kala Kala III III : : kala kala pengeluaran pengeluaran plasentaplasenta d.
d. Kala Kala IV IV : : kala kala ini ini ditetapkan ditetapkan selama 1 selama 1 jam jam sejak sejak plasenta lahir,plasenta lahir, yaitu kala untuk mengamati ibu dan untuk menjalin kasih-sayang yaitu kala untuk mengamati ibu dan untuk menjalin kasih-sayang antara orangtua dan bayinya (menyusui).
2. Persalinan preterm 2. Persalinan preterm
Menurut WHO, persalinan preterm didefinisikan sebagai persalinan yang Menurut WHO, persalinan preterm didefinisikan sebagai persalinan yang terjadi pada umur kehamilan kurang dari 259 hari berdasarkan hari pertama haid terjadi pada umur kehamilan kurang dari 259 hari berdasarkan hari pertama haid terakhir. Masalah utama pada persalinan preterm salah satunya yaitu perawatan terakhir. Masalah utama pada persalinan preterm salah satunya yaitu perawatan bayinya, semakin
bayinya, semakin muda usia muda usia kehamilannya kehamilannya maka akan maka akan semakin semakin besar besar morbidimorbiditastas dan mortalitasnya. Ancaman persalinan preterm sering menimbulkan masalah dan mortalitasnya. Ancaman persalinan preterm sering menimbulkan masalah bagi
bagi ibu ibu hamil, hamil, karena karena ibu ibu hamil hamil dengan dengan umur umur kehamilan kehamilan kurang kurang dari dari 259 259 harihari sering datang mengeluh timbulnya kontraksi yang memberikan ancaman bagi sering datang mengeluh timbulnya kontraksi yang memberikan ancaman bagi persalinan.
persalinan. Pada Pada ancaman ancaman persalinan persalinan preterm preterm terjadi terjadi kontraksi kontraksi uterus uterus yangyang regular diikuti dengan dilatasi serviks yang progresif dan atau penipisan serviks. regular diikuti dengan dilatasi serviks yang progresif dan atau penipisan serviks. Persalinan preterm di berbagai negara dan di Indonesia masih tinggi dengan Persalinan preterm di berbagai negara dan di Indonesia masih tinggi dengan angka kejadian yang bervariasi. Di RSUD dr. Soebandi Jember pada tahun angka kejadian yang bervariasi. Di RSUD dr. Soebandi Jember pada tahun 2003-2005 proporsi bayi preterm sebesar 18% dari seluruh persalinan. Di RSU Dr. 2005 proporsi bayi preterm sebesar 18% dari seluruh persalinan. Di RSU Dr. Saiful
Saiful Anwar MalanAnwar Malang pada tahun g pada tahun 2008 propor2008 proporsi bayi si bayi preterm 23,35 % preterm 23,35 % daridari seluruh persalinan.
seluruh persalinan.
3. Etiologi dan Faktor Resiko 3. Etiologi dan Faktor Resiko
a.
a. EtiologiEtiologi 1)
1) KPDKPD
Menurut Wiknjosastro (2008) ketuban pecah dini ditandai dengan Menurut Wiknjosastro (2008) ketuban pecah dini ditandai dengan keluarnya cairan berupa air-air dari vagina setelah kehamilan berusia 22 keluarnya cairan berupa air-air dari vagina setelah kehamilan berusia 22 minggu dan dapat dinyatakan pecah dini jika terjadi sebelum proses minggu dan dapat dinyatakan pecah dini jika terjadi sebelum proses persalinan
persalinan berlangsung. berlangsung. Dari Dari sudut sudut medis medis secara secara garis garis besar besar 50%50% persalinan preterm terjadi spontan, 30% akibat ketuban pecah dini (KPD), persalinan preterm terjadi spontan, 30% akibat ketuban pecah dini (KPD), dan sisanya 20% dilahirkan atas indikasi ibu/ janin. Pecahnya kulit dan sisanya 20% dilahirkan atas indikasi ibu/ janin. Pecahnya kulit ketuban secara spontan sebelum kehamilan cukup bulan banyak ketuban secara spontan sebelum kehamilan cukup bulan banyak dihubungkan dengan amnionitis yang menyebabkan terjadinya lokus dihubungkan dengan amnionitis yang menyebabkan terjadinya lokus minoris pada kulit ketuban. Amnionitis ini diduga sebagai dampak minoris pada kulit ketuban. Amnionitis ini diduga sebagai dampak asendens infeksi saluran kemih. Ketuban pecah dini dapat disebabkan asendens infeksi saluran kemih. Ketuban pecah dini dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti; serviks inkompeten, peningkatan tekanan oleh berbagai hal seperti; serviks inkompeten, peningkatan tekanan intrauterin misalnya overdistensi uterus pd keadaan hidramnion, trauma, intrauterin misalnya overdistensi uterus pd keadaan hidramnion, trauma,
kelainan letak misalnya letak lintang sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah (Kamisah: 2009).
2) Infeksi
Infeksi intrauterin meliputi korioamnionitis, infeksi intraamnion, amnionitis, merupakan infeksi akut pada cairan ketuban, janin dan selaput korion yang disebabkan oleh bakteri. Ada sekitar 25 % infeksi intrauterin disebabkan oleh ketuban pecah dini. Makin lama jarak antara ketuban pecah dengan persalinan, makin tinggi pula resiko morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. Hal ini ditambah lagi dengan perubahan suasana vagina selama kehamilan yang menyebabkan turunnya pertahanan alamiah terhadap infeksi. Pada umumnya infeksi intrauterin merupakan infeksi yang menjalar keatas setelah ketuban pecah. Bakteri yang potensial patogen (aerob, anaerob) masuk kedalam air ketuban, diantaranya adalah (1) streptococcus golongan B, (2) Escherichia coli, (3) streptococcus anaerob, dan (4) spesies bacteroides. Korioamnionitis dapat terjadi jauh sebelum persalinan memasuki fase aktif atau malahan sebelum trimester ketiga. Antara infeksi dan persalinan preterm terdapat interaksi: korioamnionitis-pembebasan prostaglandin-partus prematurus- pembukaan serviks uteri-korioamnionitis. Setelah terjadi invasi mikroorganisme ke dalam cairan ketuban, janin akan terinfeksi karena janin menelan atau teraspirasi air ketuban, ditandai dengan terjadinya takikardi yaitu denyut jantung bayi > 160 kali permenit ( Cunningham et al, 2005).
3) Kelainan Uterus
Berdasarkan naskah dari American College of Obstetrician and Gynecologist (2001) inkompetensia serviks adalah peristiwa klinis berulang yang ditandai dengan dilatasi serviks yang berulang, persalinan spontan pada trimester II yang tidak didahului dengan KPD, perdarahan atau infeksi. Uterus yang tidak normal mengganggu resiko terjadinya abortus spontan dan persalinan preterm. Pada serviks inkompeten dimana
serviks tidak dapat menahan kehamilan terjadi dilatasi serviks yang mengakibatkan kulit ketuban menonjol keluar pada trimester 2 dan awal trimester 3 dan kemudian pecah, yang biasanya diikuti oleh persalinan. Terdapat penelitian yang menyatakan bahwa risiko terjadinya persalinan preterm akan makin meningkat bila serviks < 30 mm, hal ini dikaitkan dengan makin mudahnya terjadi infeksi amnion bila serviks makin pendek (Jenny, 2008).
4) Vaginosis Bakterialis
Vaginosis bakterialis adalah sebuah kondisi ketika flora normal vagina predominan-laktobasilus yang menghasilkan hidrogen peroksida digantikan oleh bakteri anaerob Gardnerella vaginalis, spesies Mobiluncus, dan Mycoplasma hominis. Vaginosis bakterialis telah lama dikaitkan dengan kelahiran preterm spontan, ketuban pecah preterm, infeksi korion dan amnion, serta infeksi cairan amnion ( Cunningham et al, 2005).
5) Komplikasi medis dan obstetris
Beberapa komplikasi langsung dari kehamilan yaitu preeklampsia/eklamsia, ketuban pecah dini, perdarahan antepartum dan lain-lain. Keadaan tersebut dapat mengganggu kesehatan ibu dan pertumbuhan janin dalam kandungan sehingga meningkatkan resiko kelahiran bayi prematur. Preeklamsia/eklampsia pada ibu hamil mempunyai pengaruh langsung terhadap kualitas janin karena terjadi penurunan darah ke plasenta yang mengakibatkan janin kekurangan nutrisi sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin. Sedangkan, perdarahan antepartum yaitu keadaan perdarahan yang keluar dari vagina ibu hamil pada usia kehamilan lebih dari 28 minggu, dapat diakibatkan oleh dua hal yaitu plasenta previa (plasenta menutupi sebagian atau seluruh mulut rahim) dan solusio plasenta (plasenta terlepas dari tempat melekatnya) yang diakibatkan oleh suatu sebab seperti trauma/ kecelakaan dan tekanan darah tinggi, dapat mengancam nyawa ibu maupun janin sehingga
meningkatkan indikasi untuk mengakhiri persalinan yang berdampak terjadinya persalinan preterm (Intan, 2010; Cunningham et al, 2005).
Sekitar 28% kelahiran preterm diindikasikan disebabkan oleh preeklampsia (43%), gawat janin (27%), pertumbuhan janin terhambat (10%), ablasio plasenta (7%), dan kematian janin (7%). Sekitar 72% disebabkan oleh persalinan preterm spontan dengan atau tanpa pecah ketuban. Sedangkan kehamilan ganda atau hidroamnion juga merupakan kausa dari kelahiran preterm akibat dari distensi uterus yang berlebihan. Usia kehamilan makin pendek pada kehamilan ganda, 25% bayi kembar 2, 50% bayi triplet, dan 75% bayi kuadriplet lahir 4 minggu sebelum kehamilan cukup bulan ( Cunningham et a l, 2005).
6) Penyakit sistemik kronis pada ibu: diabetes mellitus, penyakit jantung, hipertensi, penyakit ginjal dan paru kronis (Jenny, 2008).
b. Faktor Resiko 1) Umur ibu
Usia reproduksi yang optimal bagi seorang ibu adalah 20-35 tahun. Pada umur kurang dari 20 tahun, organ-organ reproduksi belum berfungsi dengan sempurna, rahim dan panggul ibu belum tumbuh mencapai ukuran dewasa sehingga bila terjadi kehamilan dan persalinan akan lebih mudah mengalami komplikasi dan pada usia lebih dari 35 tahun organ kandungan sudah tua sehingga jalan lahir telah kaku dan mudah terjadi komplikasi (Jenny, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Intan Simamora di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan pada tahun 2004-2008 didapatkan bahwa presentase tertinggi usia ibu-ibu yang melahirkan bayi prematur sebesar 81% pada usia 20-35 tahun.
2) Paritas
Paritas menunjukkan jumlah anak yang pernah dilahirkan oleh seorang wanita. Paritas merupakan faktor penting dalam menentukan nasib ibu dan janin baik selama kehamilan maupun selama persalinan.
Pada ibu dengan primipara yaitu wanita yang melahirkan bayi hidup untuk pertama kalinya, maka kemungkinan terjadinya kelainan dan komplikasi cukup besar baik pada kekuatan his (power), jalan lahir (passage) dan kondisi janin (passager). Menurut sebuah penelitian Dewi Ana Sari dan Wewengkang Margaretha di Rumah Sakit WS Makassar tahun 2004-2005, persentase tertinggi karakteristik ibu dengan persalinan preterm adalah dengan paritas 0 atau primipara yaitu sebanyak 44,93%. 3) Keadaan sosial ekonomi
Sosial ekonomi masyarakat sering dinyatakan dengan pendapatan keluarga, mencerminkan kemampuan masyarakat dari segi ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk kebutuhan dan kesehatan dan pemenuhan zat gizi. Selain itu juga sosial ekonomi seseorang mempengaruhi kemampuan ibu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai misalnya, kemampuan untuk melakukan kunjungan prenatal untuk memeriksakan keadaan janin, mengetahui ada atau tidaknya komplikasi kehamilan. Wanita pada tingkat sosial ekonomi (pekerjaan dan pendidikan) lebih rendah mempunyai kemungkinan 50% lebih tinggi mengalami persalinan kurang bulan dibandingkan dengan tingkat sosial ekonomi lebih tinggi. Frekuensi persalinan kurang bulan hampir 2 kali lipat pada buruh kasar dibandingkan dengan yang terpelajar (Jenny, 2008).
4) Riwayat persalinan preterm sebelumnya
Riwayat persalinan preterm dan abortus merupakan faktor yang sangat erat dengan persalinan preterm berikutnya. Risiko persalinan preterm berulang bagi mereka yang persalinan pertamanya preterm meningkat tiga kali lipat dibanding dengan wanita yang bayi pertamanya mencapai aterm dengan persentase kemungkinan persalinan preterm berulang pada ibu hamil yang pernah mengalami 1 kali persalinan preterm sebesar 37%, sedangkan pada ibu yang pernah mengalami
persalinan preterm 2 kali atau lebih mempunyai resiko 70% untuk mengalami persalinan preterm ( Cunningham et al, 2005).
Tabel 1. Hubungan Antara Riwayat Persalinan Preterm dengan Kejadian Persalinan Preterm Berikutnya
Birth outcome Second birth ≤ 34 weeks
(%)
First birth ≥35 weeks 5
First birth ≤ 34 weeks 16
First and second birth ≤ 34 weeks 41
Tabel 1 Reccurent Spontaneous Preterm Births According to Prior Outcome in 15.863 Women Delivering Their First and Subsequent Pregnancies at Parkaland Hospital. Adapted from Bloom and associates 2001
Meskipun pasien hamil dengan riwayat persalian preterm jelas memiliki resiko tinggi mengalami persalinan preterm ulangan, peristiwa ini hanya 10% dari keseluruhan persalinan preterm. Dengan kata lain 90% kejadian persalinan preterm tak dapat diramalkan berdasarkan riwayat persalinan preterm (Jenny, 2008).
5) Faktor gaya hidup
Perilaku seperti merokok, gizi buruk dan penambahan berat badan yang kurang baik selama kehamilan serta penggunaan obat seperti kokain atau alkohol telah dilaporkan memainkan peranan penting pada kejadian dan hasil akhir bayi dengan berat lahir rendah. Resiko kelahiran preterm meningkat, yaitu rata-rata dua kali lipat dari wanita bukan perokok, sedangkan resiko keguguran pada usia kehamilan antara minggu ke 28 sampai 1 minggu sebelum persalinan empat kali lebih tinggi dari yang bukan perokok ( Cunningham et al, 2005).
Dapat pula digunakan sistem skoring terhadap faktor resiko ibu hamil sebagai berikut:
a. Skor pelvik menurut Bishop Tabel 2. Skor pelvik menurut bishop
Nilai 0 1 2 3 Dilatasi Serviks 0 1-2 cm 3-4 cm >4 cm Penipisan serviks 0-30% 40-50% 60-70% >70% Station -3 -2 -1 0 Konsistensi serviks
Kenyal Medium Lunak
Posisi serviks Posterior Medial Anterior
Skor pelvik yang dinilai disini adalah skor pelvik modifikasi Bishop yang meliputi penilaian dilatasi serviks, penipisan serviks, station,
konsistensi serviks dan posisi serviks. Skor Bishop merupakan parameter yang baik untuk memprediksi terjadinya persalinan preterm. Semakin besar nilai skor Bishop menunjukkan ancaman persalinan preterm yang
terjadi makin progresif sehingga makin sulit untuk dihambat. Pada beberapa penelitian didapatkan angka ke jadian persalinan preterm berkisar
76% pada skor Bishop (Jenny, 2008).
b. Skor tokolitik menurut Baumgarten
Tabel 3. Skor tokolitik menurut Baumgarten
Nilai 1 2 3 4
Kontraksi Tidak teratur Teratur - -Ketuban Utuh Pecah diatas /tidak
jelas
- Pecah
dibawah Perdarahan Spotting Banyak
Dilatasi Serviks
Skor tokolisis menurut Baumgarten merupakan parameter yang baik untuk memprediksi persalinan preterm dengan atau tanpa gejala ketuban pecah dini. Skor tokolisis ini mengevaluasi kemungkinan terjadinya persalinan preterm dengan mengkombinasikan 4 faktor klinis yaitu adanya kontraksi uterus, utuh/tidak utuhnya kulit ketuban, keluarnya lendir darah dan dilatasi serviks. Pada beberapa penelitian didapatkan angka kejadian persalinan preterm sebesar 10% pada skor tokolisis
Baumgarten ≤ 3. Bila skor tokolisis Baumgarten ≥ 4 maka angka kejadian
persalinan prematur meningkat sebesar 85% (Jenny, 2008).
4. Patogenesis dan Patofisiologi
Drife dan Magowan menyatakan bahwa 35% persalinan preterm terjadi tanpa diketahui penyebab yang jelas, 30% akibat persalinan elektif, 10% terjadi pada kehamilan ganda, dan sebagian lain sebagai akibat kondisi ibu atau janinnya.
a. Patogenesis Infeksi
Menurut Cunningham et al (2005) proses patogenesis persalinan diawali dengan Invasi bakteri yang akan mengawali aktivasi fosfolipase A2 yang memecah asam arakidonat dari selaput amnion janin, sehingga asam arakidonat bebas meningkat untuk sintesis prostaglandin. Endotoksin didalam air ketuban kemudian merangsang sel desidua untuk menghasilkan sitokin dan prostaglandin yang dapat menginisiasi proses persalinan. Proses persalinan preterm yang dikaitkan dengan infeksi diperkirakan diawali dengan pengeluaran produk sebagai hasil dari aktivasi monosit. Berbagai sitokin, termasuk interleukin-1, tumor necrosing factor (TNF-α), dan
interleukin-6 adalah produk sekretorik yang dikaitkan dengan persalinan preterm. Sementara itu, platelet activating factor (PAF) yang ditemukan dalam air ketuban terlibat secara sinergik pada aktivasi sitokin tadi. PAF juga diduga dihasilkan dari paru dan ginjal janin. Dengan demikian janin memainkan peran yang sinergik dalam mengawali proses persalinan preterm
yang disebabkan oleh infeksi. Bakteri sendiri mungkin menyebabkan kerusakan membran lewat pengaruh langsung dari protease.
b. Vaginosis Bakterial
Vaginosis bakterial adalah bukan keadaan infeksi namun adalah suatu keadaan dimana flora vagina normal (laktobasilus penghasil hidrogen peroksida) diganti dengan kuman-kuman anaerobik meliputi Gardnerella vaginalis, spesies Mobiluncus dan Mycoplasma hominis ( Cunningham et al 2005; Wiknjosastro 2008).
Menurut Cunningham et al (2005) data dari penelitian hewan, in vitro dan manusia seluruhnya memberikan gambaran yang konsisten bagaimana infeksi bakteri menyebabkan persalinan prematur spontan. Invasi bakteri rongga koriodesidua, yang bekerja melepaskan endotoksin dan eksotoksin, mengaktivasi desidua dan membran janin untuk menghasilkan sejumlah sitokin, termasuk tumor necrosing factor (TNF-α), interleukin-1, interleukin-1ß, interleukin-6, interleukin-8, dan granulocyte colony-stimulating factor . Selanjutnya, sitokin, endotoksin, dan eksotoksin merangsang sintesis prostaglandin dan pelepasan dan juga mengawali neutrophil chemotaxis,
infiltrasi, dan aktivasi, yang memuncak dalam sistesis dan pelepasan metalloprotease dan zat bioaktif lainnya. Prostaglandin merangsang kontraksi uterus sedangkan metalloprotease menyerang membran korioamnion yang menyebabkan pecah ketuban. Metalloprotease juga meremodeling kolagen dalam serviks dan melembutkannya.
Jalur yang lain mungkin memiliki peranan yang sama baik. Sebagai contoh, prostaglandin dehydrogenase dalam jaringan korionik menginaktivasi prostaglandin yang dihasilkan dalam amnion yang mencegahnya mencapai miometrium dan menyebabkan kontraksi. Infeksi korionik menurunkan aktivitas dehidrogenase ini yang memungkinkan peningkatan kuantitas prostaglandin untuk mencapai miometrium. Jalur lain dimana infeksi
menyebabkan persalinan prematur melibatkan janin itu sendiri. Pada janin dengan infeksi, peningkatan hipotalamus fetus dan produksi corticotropin-releasing hormone (CRH) menyebabkan meningkatnya sekresi kortikotropin
janin, yang kembali meningkatkan produksi kortisol adrenal fetus. Meningkatnya sekresi kortisol menyebabkan meningkatnya produksi prostaglandin. Juga, ketika fetus itu sendiri terinfeksi, produksi sitokin fetus meningkat dan waktu untuk persalinan jelas berkurang. Namun, kontribusi relatif kompartemen maternal dan fetal terhadap respon peradangan keseluruhan tidak diketahui.
Dibawah ini merupakan tabel perbandingan angka kejadian persalinan preterm dengan kejadian bakterial vaginosis yang diobati dan tidak diobati hasil penelitian di Brazil, menunjukkan hasil yang signifikan (Rodrigo, 2005).
Bagan 1. Patogenesis dan Patofisiologi Terjadinya Persalinan Preterm
Adopted from: Lockwood CJ, Kuczynski E. Risk stratification and pathological mechanisms in preterm delivery. Paediatr Perinat Epidemiol. 2001;15 Suppl 2:78-89.
5.Gejala Klinis
Selain kontraksi uterus yang nyeri atau tidak terasa nyeri, gejala-gejala seperti tekanan pada panggul, kram seperti saat menstruasi, duh vagina cair atau berdarah, dan nyeri punggung bawah secara empiris berkaitan dengan kelahiran preterm yang membakat (Cunningham et al, 2005).
Bagan 2. Tanda dan Gejala serta Diagnosis Persalinan Preterm
Adopted from: Herman L. Hedriana, M.D., Sutter Medical Center Sacramento
6. Diagnosis a. Anamnesa
Untuk menentukan apakah seorang ibu hamil terancam persalinan preterm atau tidak, dapat ditegakkan melalui beberapa kriteria meliputi:
a) Usia kehamilan antara 20-37 minggu lengkap atau antara 140-259 hari. b) Kontraksi uterus (His) teratur, pastikan dengan pemeriksaan inspekulo
menyesatkan karena ada kontraksi “ Braxton Hicks” yaitu kontraksi
yang digambarkan sebagai tidak teratur, tidak ritmik, dan tidak begitu sakit atau tidak sakit sama sekali, dapat menimbulkan keraguan yang amat besar dalam penegakan diagnosis persalinan preterm (Cunningham et al, 2005). Sedangkan menurut Cunningham et al (2005), untuk kriteria persalinan preterm digambarkan kontraksi uterus sebagai kontraksi yang teratur dengan jarak 7-8 menit atau kurang dan adanya pengeluaran lendir kemerahan atau cairan pervaginam dan diikuti salah satu berikut ini:
- Pada pemeriksaan dalam:
Pendataran 50-80 % atau lebih, Pembukaan 2 cm atau lebih.
- Mengukur panjang serviks dengan vaginal probe USG:
Panjang serviks kurang dari 2 cm pasti akan terjadi persalinan prematur,
Tujuan utama adalah bagaimana mengetahui dan mencegah terjadinya persalinan preterm.
c) Selaput ketuban sering kali telah pecah.
d) Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi, rasa tekanan intrapelvik dan nyeri bagian belakang.
American Academy of Pediatrics dan American Collefe of Obstetricians and Gynecologist(1997) mengusulkan kriteria berikut:
a) Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau delapan kali dalam 60 menit ditambah perubahan progresif pada serviks.
b) Dilatasi serviks lebih dari 1 cm.
b. Pemeriksaan penunjang
Menurut Jefferson (2004) adapun pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan antara lain:
a) Laboratorium
- Pemeriksaan kultur urine
- Pemeriksaan gas dan PH darah janin - Pemeriksaan darah tepi ibu:
1) Jumlah leukosit
2) C-reactive protein. CRP terdapat pada serum penderita yang menderita infeksi akut dan dideteksi berdasarkan kemampuannya untuk mempresipitasi fraksi polisakarida somatik nonspesifik kuman pneumococcus yang disebut fraksi C. CRP dibentuk di hepatosit sebagai reaksi terhadap 1, IL-6, TNF.
b) Amniocentesis
- Hitung leukosit
- Pewarnaan Gram bakteri (+) pasti amnionitis - Kultur
- Kadar IL-1, IL-6
- Kadar glukosa cairan amnion c) Fetal Fibronectin
Fetal fibronectin adalah glikoprotein yang dihasilkan dalam 20 bentuk molekul dari berbagai jenis sel antara lain hepatosit, fibroblas, sel endothel serta amnion janin. Kadar yang tinggi dalam darah maternal serta dalam cairan amnion diperkirakan berperan dalam adhesi interseluler selama implantasi dan dalam mempertahankan adhesi plasenta pada desidua. Deteksi fibronectin dalam cairan
sevikovaginal sebelum adanya ketuban pecah adalah “marker” adanya
partus pretermus iminen. Pemeriksan fetal fibronektin dilakukan dengan metode enzyme linked immunosorbent assay dan nilai diatas 50 ng/ml dianggap sebagai hasil positif. Pemeriksaan fibronectin bahkan pada kehamilan 8-22 minggu merupakan prediktor kuat untuk
terjadinya persalinan preterm. Pemeriksaan fibronectin pada kasus partus pretermus iminen dapat menurunkan lama waktu tinggal di
Rumah Sakit (Cunningham et al, 2005). d) USG
a. Pemeriksaan USG untuk mengukur panjang serviks
Pemeriksaan TVS dapat dilakukan untuk mengukur panjang serviks. Panjang serviks pada kehamilan 24 minggu = 3.5 cm. Owen dkk (2001) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara panjang serviks pada kehamilan 16-24 minggu dengan kejadian persalinan preterm pada kehamilan < 35 minggu. Selanjutnya Owen dkk (2003) menyebutkan bahwa nilai panjang serviks untuk meramalkan terjadinya persalinan preterm sebelum kehamilan 35 minggu hanya sesuai untuk kehamilan dengan resiko tinggi persalinan preterm. Pemeriksaan ultrasonografi secara rutin pada kasus kehamilan resiko rendah tidak perlu dikerjakan.
b. Oligohidroamnion: Goulk dkk. (1985) mendapati hubungan antara oligohidiroamnion dengan korioamnionitis klinis antepartum. Vintzileos dkk. (1986) mendapati hubungan antara oligohidroamnion dengan koloni bakteri pada amnion.
c. Penipisan serviks: Iams dkk. (1994) mendapati bila ketebalan serviks < 3cm (USG), dapat dipastikan akan terjadi persalinan preterm. Sonografi serviks trans perinal lebih disukai karena dapat menghindari manipulasi intravagina terutama pada kasus-kasus KPD dan plasenta previa.
d. Kardiotokografi: kesejahteraan janin, frekuensi dan kekuatan kontraksi.
7. Diagnosis Differensial
a) Kontraksi pada kehamilan preterm
8. Penatalaksanaan
Wanita yang kehamilannya diidentifikasi berisiko mengalami kelahiran preterm, dan juga mereka yang menunjukkan tanda dan gejala ancaman persalinan preterm diberikan berbagai intervensi yang ditujukan guna memperbaiki hasil akhir bayinya. Bila tidak ada indikasi ibu atau bayi yang mengharuskan persalinan secara sengaja, maka sebagian besar intervensi diharapkan mencegah kelahiran preterm atau meningkatkan kemampuan bayi untuk mengatasi lingkungan ekstrauteri. Menurut Wiknjosastro, 2008) pada ibu-ibu yang berisiko mengalami persalinan preterm sebaiknya perlu dilakukan penilaian tentang:
a. Umur kehamilan, karena lebih bisa dipercaya untuk penentuan prognosis daripada berat janin.
b. Demam atau tidak
c. Kondisi janin (jumlahnya, letak/presentasi, taksiran berat janin, hidup/gawat janin/mati, kelainan kongenital, dan sebagainya) dengan USG.
d. Letak plasenta perlu diketahui untuk antisipasi seksio sesarea.
e. Fasilitas dan petugas yang mampu menangani calon bayi terutama adanya seorang neonatologis, bila perlu dirujuk.
Adapun berbagai obat-obat yang digunakan dalam tatalaksana persalinan preterm antara lain:
a. Tokolitik
Agen tokolitik yang sering digunakan dan bermanfaat dalam memperlama kehamilan meliputi; β agonis, ritodrine, kalsium kanal bloker contohnya, nifedipine, antagonis oksitosin (atosiban), obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID), contoh indometasin atau inhibitor kerja otot uterus (progesteron). Pada keadaan dimana terjadi dilatasi serviks < 4cm, sebaiknya persalinan dimulai setelah 24-48 jam memberikan waktu untuk pemberian
Adapun kontraindikasi tokolitik (Lawrence, Stephen & Maxime, 2002; Diana-Fairley 2009): 1) Absolut - Penyakit tiroid - Penyakit jantung - Hipertensi berat (>160/110 mmHg) - Penyakit sel sabit
- Korioamnionitis - Kematian intrauterin 2) Relatif
- Persalinan berlanjut, bila dilatasi serviks > 4 cm - Perdarahan Antepartum
- Diabetes Mellitus Maternal 3) Efek samping
Takikardi: pengobatan harus dihentikan jika HR ibu melebihi 120/min
Hiperglikemia: β agonist bersifat diabetogenic seperti steroid. Karena
steroid selalu diberikan pada waktu yang bersamaan dengan tokolitik, Glukosa darah ibu harus diperiksa setiap 2 jam dan pemberian insulin dimulai jika gula darah ibu melebihi 9 mmol/l.
Edema Pulmoner: hal ini disebabkan oleh cairan yang berlebihan dan takikardi. Dapat dihindari dengan pemberian tokolitik melalui syringe pump untuk menurunkan volume koloid yang diberikan.
Tokolitik baru, atosiban, baru diperkenalkan. Atosiban merupakan antagonis oksitosin. Golongan lain seperti; NSAID (indometasin) dan gliseril trinitrat (GTN). NSAID dapat menyebabkan oligihidroamnion dan penutupan patent duktus arteriosus pada fetus bila digunakan lebih dari 48 jam.
Table 4. Tokolitik yang Sering Digunakan
TOKOLITIK MEKANISME KERJA EFEK SAMPING
Magnesium sulfat
Berkompetisi dengan kalsium di membran plasma dan retikulum sarkoplasmik sel otot
Kelemahan, hipokalsemia
Beta-mimetics (cth, terbutalin)
Deplesi konsentrasi kalsium intraselular Cardiovaskular (takikardia, palpitasi) metabolik (hipokalemia, hiperglikemia) Calcium kanal bloker (cth, nifedipine)
Blokade kanal kalsium di membran plasma sel otot
Hipotensi Nonsteroidal anti-inflamatory drugs (cth, indomethacine) Menghambat sintesis prostaglandin Konstriksi duktus arteriosus, oligohidramnion
Current Medical Diagnosis and Treatment, 2002
b. Kortikosteroid
Menurut Wiknjosastro (2008) kortikosteroid diberikan untuk percepatan pematangan paru.
1) Betamethasone 12 mg IM tiap 24 jam selama 48 jam 2) Dexamethasone 6 mg IM tiap 12 jam selama 48 jam
Efek optimal terjadi 24 jam setelah pemberian terakhir mencapai puncak dalam waktu 48 jam dan bertahan sampai 7 hari.
c. Antibiotika
Terapi antibiotika pada kasus persalinan preterm diperkirakan oleh sebagian besar ahli tidak memberikan manfaat dalam menghambat persalinan preterm. Pemberian antibiotika bermanfaat untuk mencegah infeksi pada kasus ketuban pecah dini. Terapi pilihan utama adalah penisilin dan
ampisilin. Kombinasi Ampisilin (2 g IV q 6 h selama 48 jam) diikuti dengan amoksisilin (500 mg peroral 3 kali sehari selama 5 hari) atau Eritromisin (250 mg IV tiap 6 jam selama 48 jam) dilanjutkan dengan dengan eritromisin (333 mg oral 3 kali sehari selama 5 hari). Klindamisin dapat diberikan pada pasien yang alergi terhadap penisilin (Lawrence, Stephen & Maxime, 2002).
Menurut Wiknjosastro (2008) Ada dua prinsip penatalaksanaan persalinan preterm yaitu menghentikan kontraksi uterus/melakukan penundaan persalinan atau persalinan berjalan terus dan siapkan penanganan selanjutnya.
a. Penundaan persalinan
Obat-obat tokolitik hanya dapat menunda persalinan sementara, sembari dilakukan pemberikan kotikosteroid yang ditujukan untuk menginduksi maturitas paru pada usia kehamilan kurang dari 34 minggu. Intervensi ini bertujuan untuk menunda kelahiran sampai bayi cukup matang.
Penundaan persalinan dilakukan bila: - Umur kehamilan < 35 minggu.
- Pembukaan serviks kurang dari 3 cm
- Tidak ada amnionitis, preeklampsia atau perdarahan yang aktif. - Tidak ada gawat janin.
Ibu dirawat inap dan dilakukan evaluasi terhadap his dan pembukaan. Kemudian untuk mempercepat kematangan paru janin diberikan kortikosteroid dengan 2 dosis betamethason 12 mg IM selang 12 jam (atau berikan 4 dosis deksamethason 5 mg IM selang 6 jam). Steroid tidak boleh
b. Persalinan Berlanjut
Bila tokolisis tidak berhasil, lakukan persalinan dengan upaya optimal. Jangan menyetop kontraksi uterus bila:
- Umur kehamilan lebih dari 35 minggu. - Serviks membuka lebih dari 3 cm - Perdarahan aktif
- Janin mati dan adanya kelainan kongenital yang kemungkinan hidup kecil
- Adanya korioamnionitis - Preeklamsia
- Gawat janin.
9. Penyulit
Adapun berbagai penyulit yang sering terjadi selama persalinan preterm menurut Jefferson (2005) antara lain:
a) Sindrom gawat nafas (RDS) b) Perdarahan intrakranial
c) Trauma persalinan dan sepsis. d) Paten duktus arteriosus
e) Gangguan neurologis
10. Komplikasi
Pada ibu, setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih sering terjadi mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi (Jefferson, 2005). Bayi-bayi preterm memiliki risiko infeksi neonatal lebih tinggi; Morales (1987) menyatakan bahwa bayi yang lahir dari ibu yang menderita amnionitis memiliki risiko mortalitas 4 kali lebih besar, dan risiko distres pernafasan, sepsis neonatal, necrotizing enterocolitis dan perdarahan intra ventrikuler 3 kali lebih besar.
11. Prematuritas dan Dismaturitas
Menurut Nelson (2000) bayi berat badan lahir rendah (BBLR) dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
a. Prematuritas murni, yaitu masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi itu atau biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan (NKB-SMK). Bayi-bayi prematur ini merupakan bayi yang lahir secara preterm. Menurut kurva pertumbuhan janin (lihat gambar 3) terdapat 3 golongan prematur yaitu:
a) BKB SMK (sesuai dengan masa kehamilan) b) BKB KMK (kecil untuk masa kehamilan)
c) BKB BMK (besar untuk masa kehamilan)
b. Dismaturitas/Imaturitas, yaitu bayi yang baru lahir dengan berat badan lahirnya kurang dibandingkan dengan berat badan seharusnya untuk masa gestasi bayi itu. Hal ini biasanya menandakan bahwa bayi tersebut mengalami retardasi pertumbuhan intrauterin dan merupakan bayi yang kecil untuk masa kehamilannya (KMK). Dismaturitas dapat terjadi pada preterm, term, post-term (postmatur). Penyebab dari dismaturitas adalah
keadaan yang mengganggu pertukaran zat antara ibu dan janin.
Untuk menaksir umur atau lamanya masa gestasi baya pada saat bayi dilahirkan untuk mengukur indeks maturasi neonatus salah satunya adalah dengan skor Dubowitz dan Ballard. Ada dua hal yang dinilai meliputi kriteria neurologis dan maturitas fisik.
1. Kriteria Neurologis
Cara menilai aktivitas neuromuskular:
a. Posture: dinilai bila bayi terlentang dan tenang.
b. Square window: tangan bayi difleksikan diantara ibu jari dan telunjuk pemeriksa lalu diukur sudut antara hypothenar emirence dengan forearm.
c. Arm recoil : lakukan fleksi lengan bawah selama 5 detik, kemudian lengan tersebut diekstensikan dan dilepas. Nilai derajat kembalinya ke posisi fleksi.
d. Popliteal angle: bayi tidur terlentang, paha dipegang sedemikian rupa sehingga terdapat posisi lutut-datar (knee-chest position). Setelah itu dilakukan ekstensi tungkai bawah, dan ukur sudat dibawah lutut tersebut.
e. Scarf sign: posisi terlentang, peganglah salah satu lengan bayi dan usahakan tangan tersebut mencapai leher posterior dari bahu sisi lainnya. Angkat dan geserlah siku diatas dadanya dan lihat sampai dimana siku tersebut dapat digeser. Makin muda bayi makin mudah menggeser sikunya melewati garis tengah ke sisi lain.
f. Heel to hear: posisi terlentang, gerakkan kaki bayi ke telinga dari sisi yang sama. Perhatikan jarak yang tidak mencapai telinga dan ekstensi lutut.
Tabel 5. Skor Dubowits dan Ballard
Adapted from Sweet AY: Classification of the low-birth-weight infant. InCare of the High-Risk Neonate, ed. 3, edited by MH Klaus and AA Fanaroff. Philadelphia, WB Saunders Company, 1986
Setelah didapatkan jumlah skor dari pemeriksaan neuromuskuler dan maturasi fisik, maka kedua skor itu dijumlahkan. Hasil penjumlahan tersebut dicocokkan dengan tabel kematangan, sehingga didapatkan usia kehamilan dalam minggu. Selain menggunakan Skor Dubowitz dan Ballard, dapat juga digunakan berat badan lahir (BBL). Dan berat badan lahir yang didapatkan disesuaikan dengan tabel berat lahir terhadap usia gestasi yang dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: kecil untuk masa kehamilan (KMK), sesuai dengan masa kehamilan, dan besar untuk masa kehamilan.
Total Score Gestational Age, Weeks 10 20 -5 22 0 24 5 26 10 28 15 30 20 32 25 34 30 36 35 38 40 40 45 42 50 44
II.2. Kerangka Teori
Primipara
Usia ibu < 20 th dan > 35 th Sos.Ek << Riw.preterm sebelumnya Infeksi KPD Preklampsia Inkompetensia serviks Asam Arakidonat >> Fosfolipase A2 Prostaglandin >> Kontraksi Uterus Persalinan Preterm Tidak mampu menahan uterus Risiko persalinan preterm meningkat Induksi persalinan akibat gawat janin
HAP Komplikasi
Obstetri Gemeli
II.3. Kerangka Konsep
II.4. HIPOTESIS
Adapun hipotesis-hipotesis dari penelitian ini antara lain:
1. H1: Ada hubungan antara usia terhadap kejadian persalinan preterm 2. H2: Ada hubungan antara riwayat kelahiran preterm sebelumnya
terhadap kejadian persalinan preterm
3. H3: Ada hubungan antara paritas terhadap kejadian persalinan preterm 4. H4: Ada hubungan antara riwayat komplikasi langsung obstetris dalam
kehamilan terhadap kejadian persalinan preterm. Usia Ibu Riwayat Preterm Sebelumnya Paritas Komplikasi Kehamilan PERSALINAN PRETERM Usia Gestasi BBL Bayi PBL Bayi