• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Keanekaragaman hayati disebut juga “Biodiversitas”. Keanekaragaman atau keberagaman dari makhluk hidup dapat terjadi karena akibat adanya perbedaan warna, ukuran, bentuk, jumlah, tekstur, penampilan dan sifat-sifat lainnya. Keanekaragaman hayati tidak saja terjadi antar jenis, tetapi dalam satu jenis pun terdapat keanekaragaman. Adanya perbedaan warna, bentuk, dan ukuran dalam satu jenis disebut variasi. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang tingkatan keanekaragaman hayati, diantaranya sebagai berikut:

1. Keanekaragaman Hayati Tingkat Gen

Gen pada setiap individu, walaupun perangkat dasar penyusunnya sama, tetapi susunannya berbeda-beda bergantung pada masing-masing induknya. Susunan perangkat gen inilah yang menentukan ciri atau sifat suatu individu dalam satu spesies. Perkawinan antara dua individu makhluk hidup sejenis merupakan salah satu penyebab keanekaragaman hayati. Keturunan dari hasil perkawinan memiliki susunan perangkat gen yang berasal dari kedua induk. Kombinasi susunan perangkat gen dari dua induk tersebut akan menyebabkan keanekaragaman individu dalam satu spesies berupa varietas-varietas (varitas) yang terjadi secara alami atau secara buatan.

2. Keanekaragaman Hayati Tingkat Jenis

Untuk mengetahui keanekaragaman hayati tingkat jenis pada tumbuhan atau hewan dapat diamati antara lain ciri-ciri fisiknya. Misalnya bentuk dan ukuran tubuh,warna, kebiasaan hidup dan lain-lain. Walaupun hewan-hewan termasuk dalam satu familia, tetapi diantara mereka terdapat perbedaan-perbedaan sifat yang mencolok.

3. Keanekaragaman Hayati Tingkat Ekosistem

Di lingkungan manapun di muka bumi ini, maka akan ditemukan berbagai jenis makhluk hidup. Semua makhluk hidup berinteraksi atau berhubungan erat dengan lingkungan tempat hidupnya. Lingkungan hidup meliputi komponen biotik dan komponen abiotik. Komponen biotik meliputi berbagai jenis makhluk hidup mulai yang bersel satu (uni seluler) sampai makhluk hidup bersel banyak (multi seluler) yang dapat dilihat langsung oleh

(2)

kita. Komponen abiotik meliputi iklim, cahaya, batuan, air, tanah, dan kelembaban. Ini semua disebut faktor fisik. Selain faktor fisik, ada faktor kimia, seperti salinitas (kadar garam), tingkat keasaman dan kandungan mineral. Di dalam ekosistem, seluruh makhluk hidup yang terdapat di dalamnya selalu melakukan hubungan timbal balik, baik antar makhluk hidup maupun makhluk hidup dengan lingkungnnya atau komponen abiotiknya. Hubungan timbal balik ini menimbulkan keserasian hidup di dalam suatu ekosistem. Perbedaan letak geografis antara lain merupakan faktor yang menimbulkan berbagai bentuk ekosistem.

Kelestarian keanekaragaman hayati pada suatu ekosistem akan terganggu bila ada komponen-komponennya yang mengalami gangguan. Gangguan-gangguan terhadap komponen-komponen ekosistem dapat menimbulkan perubahan pada tatanan ekosistemnya. Besar atau kecilnya gangguan terhadap ekosistem dapat merubah wujud ekosistem secara perlahan-lahan atau secara cepat pula. Contoh-contoh gangguan ekosistem , antara lain penebangan pohon di hutan-hutan secara liar dan perburuan hewan secara liar dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Gangguan tersebut secara perlahan-lahan dapat merubah ekosistem sekaligus mempengaruhi keanekaragaman tingkat ekosistem. Bencana tanah longsor atau letusan gunung berapi, bahkan dapat memusnahkan ekosistem. Tentu juga akan memusnahkan keanekaragaman tingkat ekosistem.

Keanekaragaman Hayati Indonesia

Indonesia terletak di daerah tropik sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dibandingkan dengan daerah subtropik (iklim sedang) dan kutub (iklim kutub). Tingginya keanekaragaman hayati di Indonesia ini terlihat dari berbagai macam ekosistem yang ada di Indonesia, seperti: ekosistem pantai, ekosistem hutan bakau, ekosistem padang rumput, ekosistem hutan hujan tropis, ekosistem air tawar, ekosistem air laut, ekosistem savanna, dan lain-lain. Masing-masing ekosistem ini memiliki keaneragaman hayati tersendiri.

(3)

Fauna (hewan) di Indonesi memiliki keankaragaman. Hewan-hewan di Indonesia memiliki tipe Oriental (Kawasan Barat Indonesia) dan Australia (Kawasan Timur Indonesia) serta peralihan. Hewan-hewan di bagian Barat Indonesia (Oriental) yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Kalimantan, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Banyak spesies mamalia yang berukuran besar. Mamalia berkantung jumlahnya sedikit, bahkan hampir tidak ada.

2. Terdapat berbagai macam kera, misalnya: bekantan, tarsius, orang utan. 3. Terdapat hewan endemik, seperti: badak bercula satu, binturong (Aretictis

binturang), monyet (Presbytis thomari), tarsius (Tarsius bancanus), kukang (Nyeticebus coucang).

4. Burung-burung memiliki warna bulu yang kurang menarik, tetapi dapat berkicau.

Jenis-jenis hewan di Indonesia bagian timur, yaitu Irian, Maluku, Sulawesi, Nusa Tenggara, relatif sama dengan Australia. Ciri-ciri hewannya adalah:

1. Mamalia berukuran kecil 2. Banyak hewan berkantung 3. Tidak terdapat species kera

4. Jenis-jenis burung memiliki warna yang beragam

Sedangkan daerah peralihan meliputi daerah di sekitar garis Wallace yang terbentang dari Sulawesi sampai kepulauan Maluku, jenis hewannya antara lain tarsius (Tarsius bancanus), maleo (Macrocephalon maleo), anoa, dan babi rusa (Babyrousa babyrussa).

Pada makalah ini kami akan membahas mengenai salah satu keanekaragaman fauna yang dilindungi di Indonesia yaitu sapi bali dan banteng.

PEMBAHASAN

(4)

Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia, yang merupakan keturunan asli banteng (Bibos banteng) dan telah mengalami proses domestikasi sebelum 3.500 SM di wilayah Pulau Jawa atau Bali dan Lombok (Wibisono 2009). Selain itu, sapi bali termasuk jenis sapi yang unik dan hingga saat ini masih hidup liar di Taman Nasional Bali Barat, Taman Nasional Baluran dan Taman Nasional Ujung Kulon (Saputra 2008). Sapi Bali dikenal dengan nama Balinese cow atau Bibos javanicus, meskipun sapi Bali bukan satu subgenus dengan bangsa sapi Bos taurus atau Bos indicus. Berdasarkan hubungan silsilah famili Bovidae, kedudukan sapi Bali diklasifikasikan ke dalam subgenus Bibovine tetapi masih termasuk genus bos (Wibisono 2009).

Gambar 1. Sapi Bali (Bos sondaicus) (Wibisono 2009).

1. Morfologi dan Ciri-Ciri Sapi Bali

Menurut Wibisono 2009, sapi Bali asli mempunyai bentuk dan karakteristik yang sama dengan banteng. Morfologi dan ciri-ciri fisik sapi bali adalah sebagai berikut :

a. Warna bulunya pada badannya akan berubah sesuai usia dan jenis kelaminnya, sehingga termasuk hewan dimoprhism-sex. Pada saat masih “pedet”, bulu badannya berwarna sawo matang sampai kemerahan, setelah dewasa Sapi Bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi Bali betina. Warna bulu sapi Bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau hitam setelah sapi itu mencapai dewasa kelamin

(5)

sejak umur 1,5 tahun dan menjadi hitam mulus pada umur 3 tahun. Warna hitam dapat berubah menjadi coklat tua atau merah bata apabila sapi itu dikebiri, yang disebabkan pengaruh hormon testosteron.

b. Kaki di bawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih. Kulit berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam kulit berwarna putih tersebut berbentuk oval (white mirror). Warna bulu putih juga dijumpai pada bibir atas/bawah, ujung ekor dan tepi daun telinga. Kadang-kadang bulu putih terdapat di antara bulu yang coklat (merupakan bintik-bintik putih) yang merupakan kekecualian atau penyimpangan ditemukan sekitar kurang dari 1% . Bulu sapi Bali dapat dikatakan bagus (halus) pendek-pendek dan mengkilap.

c. Ukuran badan berukuran sedang dan bentuk badan memanjang. d. Badan padat dengan dada yang dalam.

e. Tidak berpunuk dan seolah tidak bergelambir

f. Kakinya ramping, agak pendek menyerupai kaki kerbau.

g. Pada punggungnya selalu ditemukan bulu hitam membentuk garis (garis belut) memanjang dari gumba hingga pangkal ekor.

h. Cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya berwarna hitam

i. Tanduk pada sapi jantan tumbuh agak ke bagian luar kepala, sebaliknya untuk jenis sapi betina tumbuh ke bagian dalam.

A B

Gambar 2. A. Sapi Bali Jantan, B. Sapi Bali Betina (Wibinoso, 2009). 2. Kondisi Sapi Bali Sebagai Hewan Asli Indonesia

(6)

Ternak sapi merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui sebagai salah satu aset nasional yang sangat berharga. Di antara berbagai jenis sapi yang ada di dunia, sapi bali (Bibos sondaicus) merupakan jenis sapi yang unggul. Sapi bali di domestikasi pertama kali di Pulau Bali. Hal ini menunjukkan bahwa sapi bali sudah dipelihara oleh nenek moyang masyarakat Bali sejak berabad-abad yang lalu, sehingga ternak ini sudah menjadi ciri khas Daerah Bali. Sapi Bali telah menyebar ke hampir seluruh wilayah Indonesia (Handiwirawan dan Subandriyo 2004), namun yang masih terjamin kemurnian genetiknya adalah yang ada di Bali.

Perkembangan sapi Bali yang sangat cepat dibandingkan dengan breed sapi potong lainnya di Indonesia, breed ini lebih diminati oleh petani kecil. Di daerah Bali peranan sapi Bali dapat dikategorikan peranannya secara makro dan fungsi khusus. Peranannya secara makro adalah sebagai penyedia daging untuk konsumen, sebagai tenaga kerja dalam memproduksi pangan, sebagai komoditi antarpulau, sebagai bahan baku industri dan sebagai pendukung keperluan pariwisata (penyedia daging, hiburan dan pertunjukan). Sapi Bali berperan pada pendapatan asli daerah, karena peranan subsektor peternakan dalam hal ini cukup menonjol, belum termasuk tenaga kerja dan pupuknya yang sangat berarti bagi petani. Sedangkan secara mikro peranannya yaitu sesuai dengan tujuan pemeliharaannya yaitu sumber pendapatan/penghasilan rumah tangga, sumber peningkatan pendapatan, sumber pupuk yang potensial, memberikan lapangan kerja bagi pemeliharanya. Peranan dan fungsi khusus sapi bagi orang Bali adalah sebagai sarana upacara Pitra Yadnya sebagai pengantar roh ke surga.

Dalam aspek reproduksi terjadi penurunan ‘calf crop’ dari tahun ke tahun. Pada tahun 1983, 1986, 1987 di Kabupaten Enrekang terjadi penurunan ‘calf crop’ sebesar 50,20 %, 39,40 % dan 28,10 %, sedangkan di Kabupaten Wajo dari tahun 1984, 1985, 1986 sampai 1987 ‘calf crop’ masing-masing sebesar 61,20 %, 29,40 %, 27,40 % dan 31,70 % . Menurut beberapa ahli standar rata-rata berat lahir anak sapi Bali adalah 15,9 kg atau bevariasi antara 12,6-18 kg dan antara 11,0-12,5 kg. Dari uraian singkat diatas menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan kualitas genetik sapi Bali di Sulawesi Selatan yang dapat disebabkan oleh banyak faktor yaitu adanya pengeluaran bibit sapi dari Sulawesi Selatan dengan tinggi badan sapi 105 cm, (kemudian turun menjadi 102 cm) pada umur

(7)

1,5 - 2,0 tahun dan adanya peraturan pemerintah yang melarang mengeluarkan sapi potong dari Sulawesi Selatan yang beratnya kurang dari 275 kg.

Gambar 3. Peran sapi bali dibidang peranian (Handiwirawan 2004). 3. Perkembangan dan Persebaran Sapi Bali Saat Ini di Indonesia

Sapi Bali yang berasal dari Pulau Bali dipandang sebagai pusat perkembangan sekaligus sebagai pusat pembibitan, yang kemudian menyebar dan berkembang hampir ke seluruh pelosok nusantara. Penyebaran sapi Bali di luar Pulau Bali merambah ke Sulawesi Selatan pada tahun 1920 dan 1927 (Herweijer 1950 dan Pane 1991), ke Lombok pada abad ke-19 (Hardjosubroto dan Astuti 1993), ke Pulau Timor pada tahun 1912 dan 1920 (Herweijer 1950). Selanjutnya sapi Bali berkembang sampai ke Malaysia, Philipina dan Australia bagian Utara. Sapi Bali diintroduksi ke Australia antara tahun 1827-1849 (National Research Council 1983).

Sejak munculnya penyakit Jembrana pada tahun 1964 hingga saat ini Bali tidak mengeluarkan sapi pembibitan lagi. Penyebaran yang dilakukan hampir ke seluruh wilayah Indonesia pada akhir-akhir ini berasal dari daerah Lombok, Timor dan Sulawesi Selatan melalui berbagai proyek (Pane 1990). Menurut Guntoro 2002, pada Tahun 1990 jumlah populasi sapi Bali di seluruh Indonesia mencapai sekitar 3 juta ekor yang tersebar di berbagai provinsi, mulai dari Aceh hingga Irian Jaya. Dari populasi tersebut sekitar 82% terdapat di 4 provinsi utama, dengan urutan populasi sebagai berikut Sulawesi selatan sekitar 1.200.000 ekor, NTT 600.000 ekor, dan provinsi Bali 450.000 ekor. Peringkat berikutnya adalah NTB yang memiliki sapi Bali sebanyak 350.000 ekor. Berdasarkan Entwistle et al

(8)

2001, sekitar 2.916.944 ekor terkonsentrasi pada beberapa daerah seperti Bali, NTT, NTB, Sulawesi Selatan, dan Sumatera. Sementara pada tahun 2002 seluruh populasi sapi Bali di Indonesia diperkirakan mencapai hampir 3,5 juta ekor (Guntoro 2002).

Di antara berbagai bangsa sapi yang terdapat di Indonesia sapi Bali merupakan salah satu jenis sapi yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak dan tersebar hampir ke seluruh Indonesia. Penyebaran yang lebih luas terjadi sejak adanya kebijakan menggalakan penyebaran sapi Bali. Dengan adanya kebijakan menggalakan penyebaran sapi Bali melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi peternakan, maka diperlukan bibit sapi Bali yang berkualitas baik dengan jumlah yang banyak untuk memenuhi kebutuhan sapi pembibitan ini. Melalui UU Peternakan No.6 tahun 1968 Pemerintah memutuskan bahwa pulau Bali merupakan sumber bibit sapi Bali murni, sehingga ke pulau ini tidak diperkenankan memasukkan bangsa sapi lain ke pulau ini.

Gambar 4. Peta Persebaran Sapi Bali (Guntoro 2002)

4. Kelebihan dan Kelemahan Sapi BaliKelebihan Sapi Bali

Pedet Sapi Bali termasuk jenis yang disukai oleh para peternak karena dwiguna, disamping bisa sebagai sapi pekerja juga sapi pedaging, serta mempunyai banyak keunggulan seperti :

(9)

Sapi bali memiliki penampilan reproduksi dan produksi yang unggul sebagai jenis sapi tipe pedaging. Secara umum sapi induk betina dapat melahirkan anak satu ekor per periode melahirkan, dengan bobot lahir anak sekitar 16.5 ± 1.54 kg untuk anak jantan, dan 15.12 ± 1.44 kg untuk anak betina, (Pastika & Darmadja 1976). Sedangkan bobot sapihnya (umur 205 hari) sekitar 87.6 ± 7.23 kg untuk yang jantan, dan 77.9 ± 7.53 kg untuk yang betina. Umur pubertas sapi bali jantan adalah 21 bulan dan sapi bali betina, sekitar 15 bulan, namun umur betina yang dianjurkan saat kawin pertama minimal 18 bulan. Lama bunting sekitar 285.59 ± 14.72 hari, dan interval beranak berkisar antara 528 ± 155 hari, (Darmadja 1980). Berat badan pada saat dewasa (umur 3-4 tahun) dapat mencapai 335 ± 75 kg, sedangkan yang betina 247 ± 39 kg.

2. Mudah beradaptasi dengan lingkungannya, 3. Dapat hidup di lahan kritis.

4. Mempunyai daya cerna yang baik terhadap pakan. 5. Persentase karkas yang tinggi.

6. Harga yang stabil dan bahkan setiap tahunnya cenderung meningkat.

7. Khusus sapi bali Nusa Penida, selain bebas empat macam penyakit, yaitu jembrana, penyakit mulut dan kuku, antraks, serta MCF (Malignant Catarrhal Fever). Sapi Nusa Penida juga dapat menghasilkan vaksin penyakit jembrana.

8. Kandungan lemak karkas rendah.

9. Keempukan daging tidak kalah dengan daging impor.

Kelemahan Sapi Bali

Dari berbagai kelebihan tersebut, Sapi Bali juga memiliki kelemahan walaupun hanya sedikit, diantaranya :

1. Pertumbuhan yang lambat

2. Tekstur daging yang alot dan warna yang gelap sehingga kurang baik digunakan sebagai steak, slice-beef, sate dan daging asap

3. Dapat terserang virus Jembrana yang menyebar melalui media “lalat”. Tahun 1964 muncul suatu wabah penyakit baru yang dikenal sebagai penyakit jembrana. Penyakit ini sangat fatal pada sapi Bali, tetapi sapi lain

(10)

lebih tahan. Puluhan ribu sapi Bali di Bali mati dalam tempo singkat ketika wabah pertama timbul. Baru pada tahun 1991, sebuah tim penyidik berhasil mengidentifikasi virus lenti sebagai penyebab penyakit jembrana. Virus ini masih satu famili dengan (virus) HIV, penyebab penyakit AIDS pada manusia.

4. Rentan terhadap penyakit ingusan (snot ziekte) atau malignant catarrhal fever (MCF). Di antara ras sapi, sapi Bali paling peka terhadap infeksi virus MCF. Penyakit ini tidak menular dari sapi ke sapi, tetapi virus penyebabnya ditularkan domba (biri-biri) yang bertindak sebagai pembawa virus, tanpa menderita sakit. Gejala sebelum kematian tidak tampak sama sekali.

5. Penyakit lain bernama Bali Ziekte karena banyak ditemukan pada sapi bali. Penyakit disebabkan oleh tanaman yang mampu merusak sel-sel hati (hepatotoksik) dan menimbulkan dermatitis fotosensitisasi. Pada musim kemarau, apabila hijauan makanan ternak langka, sapi Bali akan makan tanaman yang tidak lazim dimakan. Karenanya saat menjelang musim kemarau sebaiknya ternak sapi Bali diawasi dan dipelihara dengan baik terutama menyangkut penyediaan pakan.

6. Selain itu yang biasa menyerang sapi Bali berupa penyakit Sura dan Brucellosis serta penyakit internal lainnya tapi masih dalam stadium yang tidak membahayakan. Kasus penyakit dan berakibat kematian sangat minim, kalaupun ada kematian biasanya disebabkan karena salah penanganan oleh peternak.

5. Metode Peningkatan Kualitas Genetik Sapi Bali

Peningkatan kualitas genetik sapi Bali biasanya dilakukan dengan dua cara, yaitu secara alami (kawin dengan sapi jantan pemacek) dan dengan inseminasi buatan (IB). Dalam hal ini, inseminasi buatan dilakukan menggunakan semen dari jantan sapi Bali unggul. Sedangkan kawin alami dapat dilakukan dengan pengadaan sapi Bali betina yang baik dan sapi Bali pejantan yang unggul (Wello 2010). Tetapi, perkawinan secara alami biasanya tidak dihasilkan anak yang baik, mengingat sapi jantan pemaceknya tidak cukup baik. Untuk

(11)

mendapatkan anak sapi yang baik, perkawinan dengan inseminasi buatan lebih menjanjikan mengingat inseminasi buatan menggunakan sperma dari sapi pejantan unggul (Hidayat 2010). Teknologi inseminasi buatan (IB) ini dipilih karena dari seekor pejantan IB dapat menghasilkan sekitar 20.000 keturunan dibandingkan jika secara alami yang hanya 40 ekor dalam setahunnya. Teknologi ini menuntut suatu jaminan bahwa pejantan yang digunakan harus bermutu unggul dan tidak menurunkan karakter yang jelek. Oleh karena itu setiap calon pejantan IB harus menjalani uji zuriat (progeny test) terlebih dahulu. Inseminasi buatan (IB) adalah proses memasukkan sperma ke dalam saluran reproduksi betina dengan tujuan untuk membuat betina jadi bunting tanpa perlu terjadi perkawinan alami. Konsep dasar dari teknologi ini adalah bahwa seekor pejantan secara alamiah memproduksi puluhan milyar sel kelamin jantan (spermatozoa) per hari, sedangkan untuk membuahi satu sel telur (oosit) pada hewan betina diperlukan hanya satu spermatozoon. Potensi terpendam yang dimiliki seekor pejantan sebagai sumber informasi genetik, apalagi yang unggul dapat dimanfaatkan secara efisien untuk membuahi banyak betina (Hafez 1993).

Ada tiga tahapan yang harus dilakukan secara berurutan untuk meningkatkan kualitas genetik sapi bali (Wello 2010):

Tahap I.

Pada tahap ini dilakukan pembelian dan atau seleksi sapi Bali betina sebanyak 100-300 ekor sebagai populasi dasar. Kriteria yang digunakan pada seleksi ini ialah:

- Sapi betina siap kawin

- umur sapi ± 1,5 tahun (umur rata-rata siap kawin).

- berat badan sapi diatas rata-rata berat pada umur 1,5 tahun. - berasal dari induk yang subur

Disamping kriteria diatas juga diperhatikan anatominya (exterior), kondisi tubuh, kesehatan dan juga sifat keindukan (mothering ability).

(12)

Setelah populasi dasar dipelihara selama 3-4 tahun (penyesuaian lingkungan), dilakukan seleksi tahap II dengan memilih 90% dari populasi dasar. Sapi yang tidak terpilih, digemukkan kemudian dijual sebagai sapi finisher. Sapi betina yang terseleksi dikawinkan dengan pejantan unggul (IB) yang akan menghasilkan F1. Semua semen yang digunakan adalah semen sapi Bali yang direkomendasikan oleh Dirjen Peternakan. Diharapkan dengan IB ini minimal 90% yang bunting dan melahirkan dengan baik sehingga akan diperoleh anak sapi (F1) yang kualitas genetiknya lebih baik dari populasi dasar dan jauh lebih baik dari sapi rakyat. Secara teoritis akan diperoleh 50% betina dan 50% jantan. Anak sapi dipelihara bersama dengan induknya sampai pada umur 6-7 bulan, (standar umur berat sapi umur 200 hari). Mortalitas anak sapi diharapkan maksimal 5%. Untuk memaksimalkan mutu genetik maka semua anak sapi diberikan pakan konsentrat, demikian pula induknya, sebab kemampuan genetik hanya bisa nampak secara maksimal pada fenotipe jika didukung oleh lingkungan yang baik termasuk kualitas pakan.

Tahap III.

Setelah anak sapi betina mencapai umur 365 hari dan jantan 550 hari maka dilakukan seleksi terhadap F1. Banyaknya yang akan diseleksi tergantung kepada kebutuhan, yang dapat dilihat dari 2 aspek yaitu:

1. Keinginan untuk mendapatkan bibit betina yang lebih banyak untuk mempercepat penyebaran bibit F1.

2. Keinginan untuk meningkatkan kualitas bibit betina lebih banyak dalam Mini Ranch, yang berarti F1 yang disebarkan ke petani lebih sedikit, dan lebih banyak F1 sapi betina yang dipertahankan dalam Ranch untuk menghasilkan F2. Tetapi masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Untuk mendapatkan F2 maka kita melakukan perkawinan secara ‘Out Breeding’ untuk menghindari ‘Inbreeding’ dengan sistem ‘Back Cross’, selanjutnya dilakukan lagi seleksi seperti pada F1.

Dengan cara seperti diatas kita dapat melanjutkan untuk mendapatkan F3 dan seterusnya agar kelak kita dapat memperoleh bibit-bibit betina elit dan pejantan unggul. Khusus untuk mendapatkan pejantan unggul sebagai donor sperma maka seleksi perlu dilanjutkan dengan ‘Progeny test’. Seleksi Tahap I, II,

(13)

III dan seterusnya dilakukan setiap tahun sehingga peningkatan genetik sapi petani dapat meningkat terus dan dalam waktu yang sama kita juga berusaha memperoleh bibit yang lebih baik dalam pusat-pusat pembibitan di setiap kabupaten.

Manfaat penerapan bioteknologi IB pada ternak (Hafez 1993) adalah sebagai berikut :

a) Menghemat biaya pemeliharaan ternak jantan; b) Dapat mengatur jarak kelahiran ternak dengan baik;

c) Mencegah terjadinya kawin sedarah pada sapi betina (inbreeding); d) Dengan peralatan dan teknologi yang baik spermatozoa dapat simpan

dalam jangka waktu yang lama;

e) Semen beku masih dapat dipakai untuk beberapa tahun kemudian walaupun pejantantelah mati;

f) Menghindari kecelakaan yang sering terjadi pada saat perkawinan karena fisik pejantan terlalu besar;

g) Menghindari ternak dari penularan penyakit terutama penyakit yang ditularkan dengan hubungan kelamin.

Peningkatan kualitas genetik sapi Bali juga dapat dilakukan dengan perkawinan alami walaupun hasil yang di dapat tidak sebanyak dan secepat jika menggunakan IB. Perkawinan silang dengan bangsa sapi Bos Taurus dan Bos indicus juga mampu manghasilkan sapi hasil persilangan yang memiliki produktivitas cukup baik. Peningkatan kualitas sapi Bali dapat dilakukan dengan menghindari adanya inbreeding pada perkawinanalamisapi Bali ataupun pada IB.

(14)

A B

Gambar 5, A. Proses Inseminasi Buatan dan B. Proses kawin alami pada sapi bali (Hafez 1993). 6. Kendala Dalam Peningkatan Kualitas Sapi Bali

Penurunan kualitas genetik pada sapi Bali saat ini menjadi perhatian khusus untuk dapat meningkatkan kembali produksinya kerena sapi Bali dianggap sebagai sapi asli Indonesia yang mampu bertahan dan tumbuh dengan baik di Indonesia. Salah satu usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas genetik sapi Bali adalah dengan menyilangkan sapi Bali dengan banteng. Banteng merupakan nenek moyang sapi Bali sehingga upanya penyilangan ini diharapkan dapat meningkatkan kembali kualitas genetik sapi Bali. Namun terdapat beberapa kendala dalam sistem ini salah satunya karena jumlah banteng asli Indonesia (Bos javanicus) yang memiliki daya tahan dan adaptasi yang baik di wilayah tropis seperti Indonesia semakin berkurang jumlahnya.

Adanya penurunan populasi dan kelangkaan Banteng lebih disebabkan oleh perburuan liar dan berkurangnya habitat akibat pembukaan lahan untuk pemukiman dan pertanian. Penurunan populasi juga disebabkan oleh persaingan dengan binatang lainnya dan pemangsaan yang berlebih oleh Ajag (Cuon alpinus).

(15)

Kendala lainnya adalah tingkat kematian pedet pra sapih yang mencapai 15 sampai 20 % serta peningkatan kualitas genetik sapi memerlukan jangka waktu yang lama dan biaya yang cukup besar. Menurut Ternakonline (2010), meskipun kemampuan reproduksi sapi Bali merupakan yang terbaik diantara sapi-sapi lokal. Hal ini disebabkan sapi Bali bisa beranak setiap tahun.

Secara umum, ada beberapa cara yang dapat ditempuh dan dikombinasikan satu dengan yang lain untuk mempercepat peningkatan kualitas genetik dan sekaligus meningkatkan populasi ternak sapi Bali yaitu (Arismunandar 2009):

1. Melakukan pengebirian terhadap semua sapi jantan atau anak sapi jantan yang bukan pejantan atau yang tidak akan digunakan sebagai pejantan.

2. Mendatangkan pejantan unggul untuk dijadikan pejantan atau sebagai donor sperma.

3. Membangun pusat pembibitan pada tingkat kabupaten yang potensil dan pada tingkat propinsi.

4. Solusi lainnya, dengan menggalakkan Inseminasi Buatan dengan menggunakan sperma dari pejantan sapi Bali unggul yang ada ataukah mendatangkan sperma dari pusat IB seperti di Lembang. Selain itu, dengan menggalakkan Transfer Embrio yang dikombinasikan dengan IB.

Namun mewujudkan kelima poin di atas tidaklah mudah, adanya kebijakan pemerintah mengenai pengeluaran plasma nutfah atau bibit unggul dari luar daerah diatur sedikit ketat. Upaya perbaikan mutu genetik sapi Bali yang saat ini telah dilakukan melalui seleksi dan uji keturunan berhasil mendapatkan sapi dengan nilai pendugaan yang lebih baik. Pejantan elit yang dihasilkan diharapkan dapat memperbaiki sapi Bali secara keseluruhan melalui program IB. Peningkatan produktivitas ternak dapat dilakukan melalui perbaikan mutu pakan dan program pemuliaan melalui seleksi dan persilangan. Perbaikan mutu pakan dan manajemen dapat meningkatkan produktivitas, tapi tidak meningkatkan mutu genetik. Perbaikan produktivitas tersebut sering kali bersifat sementara dan tidak diwariskan pada turunannya. Perkawinan silang dapat meningkatkan produktivitas dan mutu genetik, namun membutuhkan biaya besar dan harus dilakukan secara bijak dan terarah, karena dapat mengancam kemurniaan ternak asli, (Rusfidra 2006).

(16)

B. Banteng (Bos javanicus)

Banteng Liar atau biasa disebut dengan Banteng saja merupakan hewan mamalia yang berkerabat dengan sapi. Banteng Jawa (Bos javanicus) merupakan satu dari 5 (lima) spesies Banteng yang ada di dunia (satu spesies telah punah) (Alamendah 2010). Banteng (Bos javanicus) terdiri atas tiga subspesies (sub-jenis) yakni Bos javanicus javanicus (terdapat di Jawa, Madura, dan Bali, Indonesia), Bos javanicus lowi (terdapat di Kalimantan) dan Bos javanicus birmanicus (terdapat di Indocina). Banteng merupakan satwa yang dilindungi di Indonesia. Populasinya semakin mengalami penurunan. Oleh IUCN Redlist, Banteng dikategorikan dalam status konservasi “Endangered” atau “Terancam Kepunahan”.

Gambar 6. Banteng (Bos Javanicus) (Alamendah 2010).

Selain Banteng Jawa (Bos javanicus) sedikitnya terdapat 4 spesies banteng lainnya diseluruh dunia. Satu spesies telah dinyatakan punah. Kelima spesies Banteng tersebut adalah:

Bos javanicus (Banteng)

Bos gaurus (Indian Bison) yang biasa diadu dengan matador di Spanyol

Bos mutus (Wild Yark)

Bos souveli (Grey Ox)

Bos primigenius (Auroch) yang telah punah (Alamendah 2010).

1. Morfologi dan Ciri-Ciri Banteng

Banteng merupakan hewan yang besar, tegap dan kuat dengan memiliki bahu depan yang lebih tinggi daripada bagian belakang. Pada bagian kepala

(17)

terdapat sepasang tanduk. Pada bagian tengah dada terdapat gelambir (dewlap) memanjang dari pangkal kaki depan hingga leher, tetapi tidak mencapai daerah kerongkongan. Banteng (Bos javanicus) mempunyai tinggi sekitar 160 cm dengan panjang antara 190-225 cm. Meskipun beberapa banteng mampu memiliki berat hingga 1 ton tetapi rata-rata banteng jantan memiliki berat berkisar antara 600-800 kg, sedangkan Banteng betina memiliki berat dan ukuran yang lebih kecil. Banteng memiliki sepasang tanduk dikepalanya yang panjangnya berkisar antara 60-75 cm. Kulit kaki bagian bawah, punuk, dan daerah sekitar mata dan moncong Banteng (Bos javanicus) berwarna putih. Pada Banteng berkelamin jantan memiliki kulit berwarna biru kehitam-hitaman atau coklat gelap dengan punuk di bagian pundak dan tanduk yang melenkung ke atas, sedangkan pada Banteng betina memiliki kulit berwarna coklat kemerahan tanpa punuk dan tanduk yang mengarah ke dalam.

A B Gambar 7. A. Banteng jantan, B. Banteng betina (Huffman 2005).

Banteng mampu hidup hingga berumur 20 tahun dengan masa kedewasaan ketika berusia 2-3 tahun. Banteng betina mempunyai lama kehamilan hingga 285 hari dan umumnya hanya melahirkan satu anak saja dalam satu masa kehamilan. Bayi Banteng akan disapih ketika berusia 6-9 bulan. Banteng hidup secara berkelompok dengan jumlah kawanan antara 2-40 individu dengan satu Banteng jantan. Banteng-banteng jantan muda hidup sendirian atau dalam kelompok-kelompok kecil bujang.

Banteng merupakan binatang herbivora yang memakan rumput, dedaunan, dan buah-buahan. Diperkirakan Banteng sangat menyukai jenis rerumputan dari

(18)

spesies Ischaemum muticum, Axonopus compressus, Paspalum conjugatum, dan Cynodon dactylon. Banteng umumnya aktif baik pada siang ataupun malam hari. Namun pada wilayah-wilayah yang dekat dengan pemukiman manusia Banteng cenderung untuk beradaptasi sebagai binatang nokturnal yang aktif pada malam hari (Saari 2002).

2. Kondisi Banteng Saat Ini di Indonesia

Saat ini populasi banteng yang terdapat di Indonesia hanya terdapat di area-area yang terisolasi di Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa. Selain itu, karena populasinya yang dapat dikatakan sangat rendah, maka jarang sekali ditemukan di hutan-hutan yang bukan merupakan kawasan taman nasional. Penurunan akan populasi banteng semakin lama semakin menurun. Menurut Jason 2008, di benua Asia sendiri populasi banteng telah menurun sebesar 80% selama 20 tahun terakhir. Hal ini telah dialami pada beberapa kawasan taman nasional. Pada Taman Nasional di daerah Garut, karena terjadi kerusakan hutan seluas 68 ha, populasi banteng liar Jawa (Bos javanicus javanicus) yang biasa hidup di kawasan pesisir selatan Jawa Barat sudah tidak ditemukan lagi.

Populasi banteng terus-menerus turun di Taman Nasional Alas Purwo dari tahun 1999 sampai tahun 2003 dari populasi yang tadinya berjumlah 110 ekor hingga menurun drastis hingga 17 ekor. Namun, karena terus dilakukan upaya rehabilitasi terhadap banteng, maka populasi naik hingga 62 ekor walaupun jumlah tersebut dirasa belum maksimal (Zulka 2009).

3. Perkembangan dan Persebaran Banteng Saat Ini di Indonesia

Populasi banteng Di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) diperkirakan terdapat 300-700 ekor Banteng (tahun 2003), 200 ekor di Taman Nasional Meru Betiri (2000), 200 ekor di Taman Nasional Baluran (2002), 80 ekor di Taman Nasional Alas Purwo (2002). Populasi-populasi yang lebih kecil juga terdapat di beberapa tempat seperti di Cagar Alam Cikepuh-Cibanteng, Pangandaran, Malang, dan Kediri.

(19)

Gambar 8. Peta Persebaran Banteng (Guntoro 2002). 4. Tingkat Kelangkaan Banteng Sebagai Nenek Moyang Sapi Bali

Karena populasi banteng yang terus mengalami penurunan sejak tahun 1996, banteng dinyatakan dalam status konservasi “Endangered” (EN; Terancam Punah) oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature). Namun, sampai saat ini hewan ini belum terdaftar dalam CITES (Convention on International Trade In Endangered Species of Wild Fauna and Flora) meskipun sejak 1996 telah diusulkan untuk didaftar dalam CITES Apendiks I. Berdasarakan

(20)

lampiran peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 7 tahun 1999 tanggal 27 januari 1999, banteng masuk dalam daftar jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi.

Salah satu penurunan populasi dan kelangkaan Banteng lebih disebabkan karena ulah manusia dan adanya hewan pemangsa di alam bebas yang mengancam keselamatan hidup banteng. Hal-hal tersebut juga dapat menyebabkan keluarnya populasi banteng yang tadinya berdiam di kawasan taman nasional, keluar dari kawasan tersebut.

Tiuria et al 2008, menyatakan beberapa kendala yang menyulitkan pertambahan populasi satwa liar tersebut adalah sebagai berikut:

1. Perambahan dan gangguan habitat oleh penduduk

2. Kompetisi anatra satwa badak dan banteng dalam hal penggunaan ruang

3. Kulaitas genetik yang makin menurun akibat in breeding

4. Rasio jantan betina yang tidak seimbang

5. Penyakit hewan yang dapat menyebabkan kematian maupun penurunan kemampuan reproduksi.

Walaupun begitu, upaya rehabilitasi dari penambahan populasi terus dilakukan, salah satunya adalah dengan melakukan upaya domestikasi terhadap banteng. Upaya ini telah banyak dilakukan di banyak lokasi, sebagian besar upaya ini dilakukan di Pulau Bali, dimana telah dilakukan perkawinan antara banteng dengan sapi daerah lokal, yang keturunannya lebih dikenal dengan sapi bali. Sampai saat ini telah dihasilkan populasi banteng domestikasi sebanyak kurang lebih 1,5 juta di pulau tersebut (Huffman 2005).

5. Kesamaan Genetik Banteng Dengan Sapi Bali

Kesamaan genetik antara banteng dan sapi bali dapat dilihat dari:

a) Jenis kromosom yang identik sama antara sapi bali dengan banteng. b) Kesamaan dalam bentuk tulang kepala.

(21)

A B

Gambar 9. A. Bentuk tulang kepala Banteng dan B. bentuk tulang kepala Sapi bali. c) Banteng betina dan sapi bali betina memiliki kesamaan kulit coklat kemerahan, tanduk pendek yang mengarah ke dalam dan tidak berpunuk.

d) Banteng jantan dan sapi bali jantan memiliki kesamaan pada warna bulu yang lebih gelap dibanding dengan betina, warna berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau hitam setelah mencapai dewasa kelamin sejak umur 1,5 tahun dan menjadi hitam mulus pada umur 3 tahun, serta tanduk panjang berkembang ke arah keluar kepala.

e) Memiliki bagian putih pada kaki yang biasa disebut kaos kaki (banteng di seluruh bagian kaki; sapi bali di bawah persendian carpal dan tarsal).

f) Memiliki cermin putih (white mirror) di bagian pantat.

A B

C D

Gambar 10, Persamaan antara A. Banteng betina dan B. Sapi Bali betina. C. Banteng jantan dan D. Sapi Bali jantan.

(22)

6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sulitnya Persilangan Antara Banteng Dengan Sapi Bali.

Banteng mempunyai sifat menyukai daerah yang luas dan tidak ada gangguan alami, daerah yang banyak terdapat garam, daerah moonson forest, savanna dan blang, suka hidup berkelompok, dan suka melakukan perjalanan jauh sambil makan, serta kurang tahan terhadap terik matahari sehingga banteng sering berlindung di bawah pohon rindang dekat padang rumput atau savanna.

Selain itu, banteng juga sulit dihandle sehingga sulit pula untuk dilakukan peningkatan genetik misalnya melalui inseminasi buatan (IB) dan masa kebuntingannya cukup lama yaitu 285 hari serta umumnya hanya melahirkan satu anak saja dalam satu masa kehamilan (Alamnedah 2010).

Kawin alam sebagai alternatif lain untuk meningkatkan populasi agak sulit diwujudkan mengingat padang penggembalaan yang berfungsi sebagai sumber makanan, tempat makan, tempat istirahat, tempat perkawinan, tempat melahirkan dan membesarkan anak lebih banyak tertutup oleh Bambu Jajang (Giganthochloa apus), Plumping (Panicium repens L.), Telekan (Lantana camara L.) sehingga banteng tidak dapat melakukan kawin alam. Faktor yang menyebabkan berkurangnya populasi banteng selain karena faktor utama habitatnya rusak. Juga karena faktor alam. Banteng tersebut sering kali ditemukan mati terperosok ke jurang. Hal ini dikarenakan oleh banteng mempunyai daya jelajah yang sangat jauh, karena tidak mengenal medan, banteng itu seringkali terjebak dan terperosok jurang hingga mati.

7. Usaha Persilangan Banteng dan Sapi Bali di Indonesia.

Pada bulan Maret 2010 Taman Nasional Ujung Kulon bekerjasama dengan

Disnakeswan kabupaten Pandeglang akan mengembangkan ternak hasil perkawinan bateng dengan sapi bali. Hasil dari kegiatan ini belum dilapokan. Namun kegiatan yang dilakukan merupakan solusi yang tepat untuk meningkakan kualitas sapi bali. Selain di Taman Nasional Ujung Kulon, perkawinn secara buatan (IB) antara banteng dan sapi bali juga dilakukan di Taman Safari II (TSI II) Prigen Pasuruan, bahkan oleh kementrian pertanian, kehutanan dan LIPI, TSI

(23)

II ditunjuk sebagai tempat rekayasa genetika untuk persilangan sapi bali dengan banteng.

KESIMPULAN

Secara genetik, banteng merupakan nenek moyang sapi bali. Hal ini terlihat dari adanya kemiripan genetik antara banteng dan sapi bali. Saat ini banteng terasuk dalam kategori satwa yang dilndungi menurut PP no 7 tahun 1999 dan menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature) temasuk ke dalam endarged animal. Persilangan antara sapi bali dengan banteng dapat dilakukan. Hal ini terlihat dari upaya yang telah dilakukan oleh Taman Nasional Ujung Kulon dan di Taman Safari Indonesia II untuk melakukan perkawinan banteng dan sapi bali melalui IB. Namun, sejauh ini perkawinan antara banteng dan sapi bali belum dilaksanakan secara maksimal di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan kurangnya data tentang hasil perkawinan tersebut.

SARAN

Untuk mengatasi terjadinya kelangkaan dalam peningkatkan kualitas mutu genetik , sebaiknya dilakukan:

Menjaga populasi sapi Bali dan banteng dengan tujuan untuk mencegah agar tidak terjadi kepunahan.

Mengoptimalkan sumberdaya alam hayati secara lestari.

Menjadikan bibit sapi bali dan banteng sebagai plasma nutfah yang harus dilindungi kualitas genetiknya.

Mengoptimalkan kegiatan pengawinan sapi Bali dan banteng agar kualitas genetik sapi bali meningkat.

(24)

Arismunandar. 2009. Potensi dan Keragaman Sumber Daya Genetik Sapi Bali. [terhubung berkala] http://ciqquittaris.blog.com/ [24 Mei 2010]

Guntoro S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Yogyakarta: Kanisius.

Hafez ESE. 1993. Artificial insemination. In: HAFEZ, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animals. 6th Ed. Lea & Febiger, Philadelphia. pp. 424-439.

Hardjosubroto W. dan J.M. ASTUTI. 1993. Buku Pintar Peternakan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Herweizer CH. 1950. Enkele aantekenigen btreffende de geschiedenis van de runderveeteelt op het Eiland Timor. Hemera Zoa 56: 689.

Hidayat. 2010. Beternak Sapi Bali.

http://uripsantoso.wordpress.com/2010/01/17/beternak-sapi-bali-3/. [24 Mei 2010]

Huffman B. 2005. Adult male banteng :

Bos javanicus.

http://www.ultimateungulate.com/Images/Bos_javanicus/B_javanicus3.ht ml. [22 Mei 2010].

Meijer WCP. 1962. Das Balirind. A. Ziemsen Verslag, Wittenberg Lutherstandt. Namikawa T, O Takenaka and K Takahashi. 1983. Hemoglobin Bali (bovine):

βA18(Bl)Lys → his: One of the “missing links” between βA and βB of domestic cattle exists in the Bali cattle (Bovinae, Bos banteng). Biochemical Genetics.

[National Research Council]. 1983. Little-Known Asian Animals with a Promising Economic Future. Washington, D.C.: National Academic Press.

NOZAWA, K. 1979. Phylogenetic studies on the native domestic animals in East and Southeast Asia. Proceeding Workshop Animal Genetic Resources in Asia and Oceania. Tsukuba, 3-7 September 1979. Tsukuba: Society for the Advancement of Breeding Researches in Asia and Oceania (SABRAO). Hlm 23-43.

.

Pane I. 1991. Produktivitas dan breeding sapi Bali. Pros. Seminar Nasional Sapi Bali. 2-3 September 1991. Fakultas Peternakan Universitas Hasanudin. Ujung Pandang.

Payne WJA, and Rollinson, D.H.L. 1973. Bali Cattle. World Anim. Rev. 7, 13–21. [Pengendali Ekosistem Hutan]. 2009. Laporan Kegiatan Pengamatan

Terkonsentrasi Banteng (Bos javanicus) di Tempat Minum/ Kubangan STPNW 1 Bengkol. Situbondo: Balai Taman Nasional Baluran.

(25)

Purwanti M dan Harry. 2006. Upaya Pemuliaan dan Pelestarian Sapi Bali di Provinsi Bali. Jurnal Penyuluhan Pertanian Vol. 1 No. 1, Mei 2006. Rusfidra A, 2006. Dasar Fisiologis Pewarisan Sifat. Bahan ajar Dasar Pemulian

Ternak, Fakultas Peternakan UNAND Padang.

Saari J. 2002. Bos javanicus : Banteng.

http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Bos_ja vanicus.html. [22Mei 2010].

Saputra E D. 22 Juli 2008. Sapi Bali sebagai plasma nutfah dan peranannya bagi petani. [terhubung berkala]. http://balivetman.wordpress.com. [19 Mei 2010]

[Ternakonline]. 2010. Bangsa-Bangsa Sapi Potong. [terhubung berkala].

http://ternakonline.wordpress.com/2009/08/15/bangsa-bangsa-sapi-potong/ [23 Mei 2010]

Timmins, R.J., Duckworth, J.W., Hedges, S., Steinmetz, R. & Pattanavibool, A. 2008. Bos javanicus. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.1. www.iucnredlist.org. [22 Mei 2010].

Tiuria R, Jimmy P, Ripta M, Bambang P, Adhi R. 2008. Kecacingan trematoda pada badak jawa dan banteng jawa di taman Nasional Ujung Kulon. Jurnal veteriner juni 2008 vol. 9 no 2: 94-98.

Wello B dan Ismartoyo. 2010. Strategi Peningkatan Populasi dan Mutu Genetik Sapi Bali di Sulawesi Selatan. [terhubung berkala] http;//disnaksulsel.info/index.php?option=com_docman&task=doc..[24 Mei 2010].

Wibisono A. 30 Juni 2009. Silsilah sapi Bali. [terhubung berkala]. http://duniasapi.com. [19 Mei 2010].

Zulka A. 2009. Populasi Banteng Jawa di Alas Purwo Bertambah. http://www.koran-jakarta.com/berita-detail-terkini.php?id=2586. [22 Mei 2010].

Gambar

Gambar 3. Peran sapi bali dibidang peranian (Handiwirawan 2004).
Gambar 6. Banteng (Bos Javanicus) (Alamendah 2010).
Gambar 8. Peta Persebaran Banteng (Guntoro 2002).

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi pseudomonad fluoresen dengan formula serbuk paling efektif dalam menghambat penyakit layu pada cabai ditunjukkan dengan penundaan kemunculan gejala dan menurunkan indeks

Tugas Akhir disusun untuk memenuhi persyaratan kelulusan Program studi Diploma III di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Walisongo Semarang, sebagai penulis

Hal ini kemungkinan disebabkan oleh turunnya kepercayaan nasabah terhadap sistem perbankan syariah, turunnya kepercayaan nasabah terhadap bank syariah bersangkutan,

Peranan praktikan adalah sebagai Design Specialist yang bertanggung jawab untuk merancang infografis untuk keperluan publikasi dan operasional LAPOR!, seperti

Transmisi harga merupakan sebuah proses dimana perubahan harga pada suatu pasar akan diteruskan dan direspon oleh pasar lain, baik secara vertikal (antara tingkatan dalam satu

Pembelajaran yang dilakukan secara daring membutuhkan berbagai piranti yang dapat menunjang tercapainya tujuan pembelajaran, namun peserta didik kelas V SDN 1

Theodore Goodman, et al (2018) menjelaskan bahwa pentingnya memberikan informasi data akuntansi tentang arus kas yang diharapkan suatu perusahaan di masa

Dari definisi ḥalaqah yang penulis telah jelaskan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa itu sesuai dengan teori Sukardi yang menjelaskan bahwa bimbingan kelompok adalah layanan yang