• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode dan teknik penelitian Beberapa catatan untuk jurusan karawitan, STSI Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Metode dan teknik penelitian Beberapa catatan untuk jurusan karawitan, STSI Bandung"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Metode dan teknik penelitian

Beberapa catatan untuk jurusan karawitan, STSI Bandung

oleh Wim van Zanten, Universitas Leiden April 2005

Pengantar

Metode dan teknik penelitian merupakan alat-alat untuk menjaga supaya hasil penelitian dapat dipercaya. Jadi, suatu prosedur harus diikuti, supaya peneliti lain bisa melihat dengan baik-baik dalam laporan ilmiah: apa persoalan, bagaimana data dikumpulkan dan dari mana kesimpulan yang ditarik? Suatu prinsip ilmiah ialah, bahwa seorang lain yang akan

mengulang suatu penelitian dengan metode dan teknik yang tepat sama, harus memperoleh hasil yang sama: data yang sama dan kesimpulan juga sama.

Dalam ilmu alam metode penelitian pada garis besar biasanya ditentukan oleh alat yang digunakan untuk mengukur sesuatu. Jarak antara teori dan observasi atau pengamatan tidak telalu jauh: boleh dikatakan bahwa metode dan teknik penelitian hampir sama dengan teori. Tetapi dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu musik hal ini lebih sulit, oleh karena si peneliti menjadi bagian dari system pengukuran. Misalnya, kalau seseorang ditanyakan pendapatnya mengenai suatu hal, jawabannya akan dipengaruhi oleh cara pertanyaan tersebut diucapkan oleh si pewawancara. Oleh karena itu, dalam ilmu-ilmu sosial perlu dipertimbangkan dengan baik-baik metode yang mana akan diambil untuk mengumpulkan data, misalnya, melalui daftar pertanyaan, wawancara yang bebas, atau observasi berpartisipasi (participant’s

observation).

Yang paling penting dari sudut metode dan teknik penelitian ialah bahwa data dan kesimpulan yang ditarik dapat diperiksa lagi oleh peneliti lain menurut prosedur yang

dilaporkan secara jelas. Yaitu, si peneliti harus melapor mengenai keputusan-keputusan yang diambil untuk menjawab pertanyaan ilmiah dan sebagainya. Biasanya si peneliti mengetahui mengenai jalan yang diambil, tetapi kadang-kadang lupa melapor mengenai itu. Sebenarnya sebagian besar dari metode dan teknik penelitian merupakan pemikiran yang logis, common

sense saja; tetapi jangan lupa melapor tentang hal yang begitu ‘biasa’ itu, karena seringkali

(2)

Dalam penelitian dapat dilihat tiga fase, yaitu: 1. penulisan rencana penelitian dan persiapan lain; 2. perkupulan data; 3. analisa dan laporan. Sekarang saya akan menjelaskan sifat ketiga fase tersebut secara singkat. Sebenarnya, bagian fase pertama akan dibicarakan secara lebih panjang-lebar daripada fase kedua dan ketiga.

Persiapan dengan rencana penelitian

Rencana penelitian biasanya perlu untuk mendapat dana dari beberapa instansi, tetapi yang yang paling penting ialah bahwa si peneliti sendiri sadar mengenai apa yang akan diteliti, supaya tidak ada terlalu banyak perobahan-perobahan dalam penelitiannya. Dalam rencana penelitian kita akan menguraikan apa yang akan diteliti, dan menurut prosedur yang mana. Dari rencana penelitian persoalan harus jelas: apa yang akan diteliti, dan – mungking saja ini masih lebih penting – apa yang tidak akan diteliti. Sebaiknya, garis-besar persoalan penelitian sudah ditulis pada halaman pertama sejelas mungkin. Kemudian persoalan dibicarakan lebih mendalam dalam bagian-bagian berikut: latar-belakang teorinya, metode dan teknik, jadwal, dana, metode laporan, dan sebagainya.

Keputusan yang diambil harus dipertanggungjawabkan. Kalau saya ingin meneliti kawih Sunda, biasanya itu merupakan sesuatu yang terlalu luas. Jadi, mungkin saja saya memutuskan untuk meneliti gaya nanyian beberapa pesinden, atau analisa isinya rumpaka yang dipakai, atau interaksi antara pesinden dan penonton. Pilihan itu harus dijelaskan dalam rencana penelitian, dengan penjelasan mengapa itu dipilih.

Pilihan fokus penelitian itu juga dipengaruhi oleh penulisan-penulisan ilmiah yang sudah diterbitkan. Jangan kita mulai dari awal: literatur yang paling penting harus dibaca sebelum penelitian dimulai. No excuse, kalau literatur tidak berada dalam perpustakan sendiri (STSI); literatur harus juga dicari di tempat lain atau dari orang lain. Itu masih merupakan kelemahan di Indonesia: yang sudah diterbitkan dalam bahasa asing seringkali tidak dicari dan tidak dibaca.1 Boleh ditambah di sini, bahwa mungkin saja seorang peneliti yang sudah

1 Hari-hari ini pencarian itu secara relatif mudah, dengan Internet dan program seperti Google. Dengan Google

Scholar (http://www.scholar.google.com/) kadang-kadang mendapat referensi kepada tulisan lain. Advanced

search dalam Google biasanya lebih baik daripada search saja. Kalau mengetik nama seseorang ‘Wim van

Zanten’ atau ‘Sean Williams’ mendapat sedikit informasi mengenai tulisannya dalam bidang Cianjuran. Sebenarnya, banyak peneliti sudah mulai website sendiri dan kadang-kadang itu mengandung informasi yang bermakna (site saya: http://website.leidenuniv.nl/~zantenwvan/). Dari Internet pasti juga mendapat banyak informasi yang tidak relevan. Lebih penting lagi: jangan lupa, bahwa tidak setiap publikasi dari seorang penulis bisa dicari dengan metode ini. Hampir setiap penerbitan majalah Ethnomusicology mengandung daftar-dafter

(3)

menulis mengenai suatu kesenian atau daerah akan terus menulis mengenai persoalan itu, jadi tulisan itu harus dicari! Secara terus-terang, bagaimana mau menulis mengenai notasi

karawitan Sunda kalau (sebagian dari) buku saya (van Zanten 1987 atau 1989) dan artikel saya (van Zanten 1995a)2 mengenai persoalan ini belum dibaca? Kalau ingin menulis

mengenai aspek gender dalam Cianjuran maka harus membaca tulisan saya, dan juga tulisan Sean Williams (1998 dan disertasinya 1990, atau edisi pasar 2001 dengan Oxford University Press). Mungkin saja aspek gender dalam film saya mengenai Saluang jo dendang di

Minangkabau juga bermanfaat (van Zanten 2002).

Saya mengerti fasilitas di Bandung terbatas, tetapi persoalan ini juga ada hubungan dengan ‘kebudayaan ilmiah’ (academic culture) di Indonesia. Indonesia kaya sekali dengan macam-macam kesenian, tetapi representasi Indonesia dalam forum ilmiah international tidak cukup: biasanya kesenian Indonesia direpresentasi oleh peneliti luar negeri. Sayang itu! Mungkin saja itu juga disebabkan oleh kelemahan dalam bahasa Inggeris. Mau-tidak mau, hari-hari ini bahasa Inggeris merupankan bahasa ilmiah. Pada tingkat S2, dan pasti pada tingkat S3, literatur yang relevan dalam bahasa Inggeris harus diketahui.

Sebenarnya, boleh saja ada tulisan yang relevan dalam bahasa asing yang lain: Spanyol Jepang, Belanda atau Russia. Sebaiknya itu juga diketahui, sekurang-kurangnya secara garis-besar3 dan mungkin saja dengan tolongan orang yang bisa membaca bahasa asing itu. Kalau, misalnya, ingin meneliti perkembangan sastra Sunda dalam 150 tahun terakhir ini, itu tidak bisa dilakukan dengan baik-baik tanpa mengetahui bahasa Belanda, karena politik bahasa pada waktu penjajahan Belanda mempengaruhi perkembangan sastra Sunda. Kalau ingin meneliti mengenai perkembangan teori etnomusikologi, itu tidak bisa tanpa membaca banyak buku dalam beberapa bahasa: Inggeris, Jerman, Perancis, ... Itu harus

dipertimbangkan. Mungkin saja penelitian harus difokuskan, misalnya kepada perkembangan teori etnomusikologi antara 1880-1930 di Europa, dan dengan demikian, pengetahuan bahasa Jerman bersama bahasa Inggeris mungkin sudah cukup.

tulisan dan CD/kaset audio/ film mengenai terbitan yang paling penting di beberapa daerah (Asia/ Africa/ Europe/ America’s/..). Itu bemanfaat sekali.

2 Semua tulisan, film, dan sebagainya dikasih kepada Perpustakaan STSI atau jurusan karawitan STSI; sekarang

beberapa publikasi saya tidak ada lagi dalam perpustakaan STSI. Saya akan mengirim tulisan ini lagi kepada jurusan karawitan.

3 Dalam perpustakaan yang besar (universitas di negara Barat, dan sebagainya) seringkali berada informasi

mengenai artikel-artikel yang ditulis dalam majalah-majalah (melalui Internet; dan biasanya informasi hanya diberikan kalau langganan). Untuk bidang musik sudah beberapa puluhan tahun berada RILM yang menerbitkan buku dengan abstrak-abstrak artikel dalam majalah musik (khususnya musik Barat – etnomusicologi cuma beberapa majalah).

(4)

Pilihan fokus penelitian itu akan mempengaruhi metode dan teknik penelitian. Kalau, misalnya, dipilih analisa rumpaka yang dipakai oleh juru kawih, itu berarti bahwa buku-buku dengan rumpaka harus dicari dalam perpustakaan maupun buku tulis dengan juru-juru kawih. Kalau ingin meneliti interaksi antara juru kawih dengan penonton, maka itu berarti harus mengobservasi banyak pertunjukan.

Fokus juga ditentukan oleh waktu dan dana yang tersedia. Kalau ingin meneliti pengaruh ensemble perunggu di Thailand kepada gamelan Indonesia, itu akan berarti anda harus jalan ke Thailand dan hidup di sana untuk mengumpulkan data di lapangan dan perpustakaan. Itu juga berarti bahasa Thai harus dipelajari. Apakah dana dan waktu berada untuk itu? Penelitian yang paling menarik ialah penelitian yang mengandung pertanyaan yang baik dan yang bisa diselenggarakan secara effisien. Jangan lupa: penelitian baru selesai setelah laporan ditulis. Penelitian yang terlalu luas tidak akan diselesaikan.

Rencana penelitian tidak usah terlalu panjang; menurut saya, untuk penelitian S3 cukuplah 12-15 halaman. Akan tetapi, itu juga tergantung syarat-syarat instansi yang akan memberi dana. Di Belanda sekarang seringkali ada 2 babakan untuk orang yang mencari dana untuk penelitiannya. Dalam babakan pertama setiap calon harus menyerahkan cuma dua halaman dengan rencana penelitiannya. Dari calon ini (misalnya 60-80 orang) dipilih 20 orang yang diberikan kesempatan dalam babakan kedua, di mana diminta rencana penelitian yang lebih luas, yaitu kira-kira 10-20 halaman. Dari 20 orang tersebut, 6-10 mendapat dana dan yang lain ditolak. Institut ilmiah, seperti NWO (=Nederlands Wetenschappelijk

Onderzoeksinstituut) sudah minta rencana penelitian diisi dalam formulir dengan beberapa pertanyaan yang standar mengenai penelitian yang direncanakan.

Rencana penelitian dapat diberikan macam-macam struktur. Dengan contoh kerangka rencana penelitian di bawah ini saya juga memberi bobotnya dalam jumlah halaman yang kiranya perlu uktuk bagian yang bersangkutan. Jadi, misalnya, kerangka dan bobot bagian-bagian bisa sebagai berikut:

1. Judul, yang merupakan deskripsi yang singkat mengenai persoalan. Perlu dipikirkan dengan baik-baik! Jangan lupa nama si peneliti dan institut, tanggal/tahun, dan sebagainya.

2. Pengantar: dalam ½ - 2 halaman disajikan fokus penelitian. Fokus ini boleh – tetapi tidak usah – diberikan dalam satu atau dua hipotesa, yaitu, pernyataan mengenai hubungan

(5)

antara dua atau lebih variabel. Misalnya, ‘dalam 20 tahun terakhir ini status sosial pemain waditra dalam Cianjuran telah naik, kalau dibandingkan dengan status sosial juru mamaos’.

Pengantar rencana penelitian ini penting sekali: kalau si pembaca tidak langsung akan merasa bahwa penelitian ini menarik maka dia mungkin saja tidak akan terus dengan

pembacaannya. Kalau si pembaca harus memutuskan apakah untuk penelitian ini diberi subsidi atau tidak, payah si penulis rencana penelitian! Lihat juga metode penilaian yang dilaksanakan sekarang di Belanda (di atas: rencana penelitian dalam 2 halaman!).

3. Kerangka teori (5 halaman). Bagian ini mencerminkan penelitian yang telah dilakukan oleh orang lain, yaitu merupakan garis-besar intinya literatur yang sudah ada dan

yang relevan untuk penelitian sendiri. Jangan bagian ini diisi dengan pembahasan literatur

yang betul dalam bidang yang bersangkutan, tetapi yang sudah diketahui secara umum, atau yang tidak betul-betul relevan untuk penelitian yang sekarang direncanakan. Persoalan

teoretis harus digunakan untuk memgambarkan hal-hal teoretis yang terikat dengan penelitian sendiri: harus to the point. Kalau, mislanya, direncanakan penelitian mengenai interaksi antara pesinden dan penonton dalam Jaipongan, baiklah, kita juga menggunakan data mengenai interaksi ini yang sudah diketahui dari penelitian dalam wayang. Akan tetapi, yang ditulis dalam buku yang bersangkutan mengenai struktur musik gamelan wayang, atau pembuatan golek tidak ada relevansinya untuk penelitian sekarang.

Dalam bagian ini juga harus dijelaskan apa yang belum diketahui, dan apa yang akan diteliti sekarang. Perlu juga dijelaskan kenapa titik-berat penelitian diletakkan pada suatu hal. Untuk itu bisa diberikan alasan yang berdasarkan relevansi sekarang (misalnya, musik Islami sekarang populer di Indonesia), tetapi juga yang relevan secara lebih teoretis (misalnya, perbedaan interaksi antara pesinden dan penonton di Sunda dan Jawa).

Saya merasa, relevansi suatu persoalan lebih baik tidak dibesarkan terlalu banyak; kualitas ilmiah jauh lebih penting, artinya, penelitian harus dilakukan dengan baik-baik. Jelas, setiap peneliti harus betanggung-jawab terhadap uang dan kesempatan yang diberikan oleh instansi-instansi untuk penelitiannya. Akan tetapi, apakah suatu penelitian betul-betul akan bermanfaat untuk masyarakat, itu merupakan suatu pertanyaan yang sulit sekali. Dari sejarah kita tahu bahwa seringkali hasil suatu penelitian pertama-tama tidak begitu diperhatikan, tetapi setelah 30 atau 40 tahun baru dilihat relevansinya.

Dalam skripsi-skripsi STSI seringkali tidak terlalu jelas apa relevansinya. Pola yang saya seringkali melihat ialah: saya akan meneliti permainan si A pada waditra X. Kemudian banyak transkripsi musik, dan sebagainya. Itu bisa diperbaiki, kalau analisa si A dibandingkan

(6)

dengan analisa permainan si B dan si C pada waditra X. Perspektif bandingan membantu untuk melihat relevansi secara ilmiah. Ilmu pengetahuan merupakan generalisasi dari beberapa observasi, jadi deskripsi satu kasus biasanya tidak terlalu bermanfaat.

4. Metode dan teknik penelitian (5 halaman). Dalam teori telah digambarkan garis

besar penelitian. Sekarang persoalan harus difokuskan lebih lagi, supaya dapat dikumpulkan data yang relevan untuk persoalan. Sebenarnya proses ini merupakan operasionalisasi. Yang menjadi persoalan ialah, bahwa kita harus mencari jalan untuk mengumpulkan data supaya pertanyaan-pertanyaan teori bisa terjawab.

Banyak pertanyaan teori tidak bisa dijawab secara empiris; kalau begitu, pertanyaan itu tidak relevan secara ilmu empirik, seperti ilmu-ilmu sosial atau ilmu karawitan. Pertanyaan apakah hal-hal transendental (transcendental) – seperti Allah – berada atau tidak, tidak bisa dijawab secara empiris. Sama saja dengan hipotesa ‘warna suatu elektron ialah kuning’. Kita tidak bisa melihat suatu elektron, jadi bagaimana mengukur warnanya? Hipotesa itu tidak bisa dibuktikan secara empirik. Masih lebih penting ialah kalau data empirik tidak ada untuk membuktikan atau menolakan hipotesa. Misalnya: ‘pada zaman Dalem Pancaniti tempo untuk mamaos lagu lebih cepat daripada tempo hari ini’. Dari mana mendapat informasi mengenai tempo pada waktu Dalem Panciniti? Jelas, mungkin saja, ada tulisan, atau petunjuk lain mengenai tempo itu, dan kalau demikian metode pengumpulan data perlu dijelaskan. Dalam hal ini, apakah suatu pertanyaan ilmiah baik atau tidak, kita bisa berbeda pendapat. Saya sendiri biasanya tidak terlalu tertarik kepada pertanyaan seperti ‘apakah musik berada lebih dulu daripada bahasa?’ Akan tetapi pada waktu Kurt Sachs dan Jaap Kunst grand theories, yang menghadapi pertanyaan seperti itu, laku.

Dalam teori kita berbicara mengenai struktur musik, mengenai penjiwaan lagu, dan lain sebagainya. Struktur musik dapat diukur, misalnya, dengan transkripsi banyak lagu yang direkam; kemudian transkripsi-transkripsi itu dibandingkan: ada bagian A, B, C, yang

biasanya diatur menurut AABB AACC; ada motif X, Y, Z, dan sebagainya. Jadi, kalau dengan teliti dijelaskan apa yang termasuk ‘struktur musik’, itu sudah beres.

Penjiwaan lagu tidak dapat diukur secara langsung. Secara tidak langsung kita bisa mencoba untuk mengerti apa itu ‘jiwa lagu’ di Cianjuran melalui wawancara dengan banyak seniman dan penggemar. Dari perkataan mereka mungkin saja ada pola bahwa nada ageung lebih menentukan ‘jiwa lagu’ daripada nada alit. Kalau berada sistematik dalam persoalan ini – artinya banyak responden setuju dalam soal ini – maka bisa dicoba untuk mengukur itu secara empirik. Misalnya, suatu lagu dinyanyikan, dan kemudian dikerjakan dengan teknik

(7)

komputer, supaya kita mendapat 3 versi: rendah, menengah dan tinggi. Sekarang banyak orang diminta versi mana yang paling ‘dijiwai’ dan versi mana yang paling ‘kurang dijiwai’. Kalau secara sistematis responden memilih versi yang rendah (ageung) maka ini membantu hipotesa bahwa nada ageung lebih menentukan ‘jiwa lagu’ daripada nada alit. Sepintas lalu hasil ini menarik, cuma harus dipertimbangkan bahwa mungkin masih ada banyak faktor lain yang menetukan ‘jiwa lagu’, jadi persoalan tidak betul-betul diselesaikan. Jadi, mungkin saja, kita tidak akan mencoba untuk mengukur ‘jiwa lagu’.

Dalam bagian metode dan teknik juga perlu memberi definisi yang akan digunakan untuk konsep yang paling penting.4 Misalnya, kalau kita ingin tahu mengenai ‘struktur musik’, apa yang dimaksudkan secara terperinci? Dari teori kita tahu bahwa dalam banyak macam musik di dunia nada terakhir dalam frase merupakan nada yang penting dalam sistem klasifikasi struktur-struktur frase dan lagu. Tetapi, kalau dalam Cianjuran suatu frase diakhiri dengan suatu ‘buntut’, apakah nada ‘buntut’ itu diambil sebagai nada terakhir, atau nada pokok, yaitu nada sebelum nada ‘buntut’? Hal-hal seperti itu perlu dibicarakan, dengan menggunakan teori yang sudah berada. Pertanyaan seperti ‘Apa itu ornamen (sénggol)?’ dan ‘Apa itu arkuh lagu?’ tidak baru; sudah dipersoalkan dalam literatur.

Konsep yang telah dioperasionalisasikan perlu diukur dalam fase pengumpulan data. Dalam rencana penelitian harus dijelaskan juga cara yang mana yang akan diambil untuk pengumpulan data. Dengan kata lain: (1) data mana akan dikumpulkan (2) di mana dan (3) dengan metode yang mana. Jelas, biasanya pengumpulan literatur baru (atau literatur yang belum dibaca, tetapi referensinya diperoleh dari literatur yang lain) juga termasuk penelitian. Literatur itu perlu dikumpulkan di perpustakaan atau secara lain (lihat juga di atas ini).

Kalau data juga dikumpulkan dengan mewawancarai orang maka harus dijelaskan apakah itu akan dilakukan secara wawancara terbuka (cuma berberapa topic diskusi ditentukan; itu merupakan cara yang paling sulit, karena sulit untuk menjaga proses pengukuran); atau dengan daftar pertanyaan dengan klasifikasi jawaban yang tertutup (itu menjaga ‘obyektivitas’ pengukuran, tetapi bisanya hasilnya titak terlalu mendalam). Dan siapa akan diwawancarai? Kalau kita ingin suatu generalisasi yang dapat dipercaya, maka biasanya diperlukan sampel random (random sample) dari kelompok yang diteliti. Seringkali itu agak sulit kalau penelitian dilakukan oleh satu orang. Tetapi selalu harus diperhatikan apakah data yang dikumpulkan boleh dianggap ‘representatif’ untuk populasi yang diteliti, yaitu, mencerminkan situasi dalam populasi dengan betul-betul.

4 Definisi-definisi konsep juga dibicarakan dalam bagian teori. Dalam bagian metode dan teknik dibicarakan

(8)

Untuk penelitian dalam bidang karawitan informasi audiovisual penting sekali. Jadi, perlu dijelaskan apakah musik akan direkam, dibuat film atau membuat foto. Sebenarnya, rekaman tidak usah dilakukan sendiri, kadang-kadang sudah ada rekaman tersedia yang bisa digunakan. Akan tetapi dalam hal ini kita harus hati-hati: rekaman orang lain biasanya dilakukan dengan maksud yang berlainan dengan rencana penelitian kita. Jadi, mungkin saja ada bias dalam bahan yang dikumpulkan oleh orang lain. Itu perlu dibicarakan.

Kalau kita sendiri mengumpulkan data audiovisual, juga harus dipertimbangkan apa yang dilakukan dengan rekaman itu: apakah hanya digunakan untuk analisa, dokumentasi, ataukah kita ingin menerbit suatu audio CD, atau VCD dengan bahan audiovisual ini? Kalau bahan cuma dikumpulkan untuk dokumentasi dan analisa teknis, maka biasanya itu tidak cocok untuk membuat suatu CD atau film.

Data juga bisa dikumpulkan dengan observasi bersama participasi (participant’s

observation). Dalam bidang musik itu seringkali berarti: sendiri belajar main musik yang

diteliti. Dengan metode itu kita bisa berkomunikasi secara non-verbal, tanpa bahasa. Kita mencoba untuk ngabeo apa yang dimainkan oleh gurunya dan kita bisa dikoreksi secara non-verbal: guru akan mengulang lagi cara yang betul. Jangan lupa bahwa kebanyakan pemain musik tidak bisa berbicara secara analitis mengenai musiknya. Mereka cuma main musik, tidak bisa, atau tidak ingin, berbicara mengenai musik secara teknis.

Sebenarnya observasi dengan participasi juga bisa dilakukan kalau kita, misalnya ingin meneliti tentang organisasi festival pop. Mungkin saja kita mencoba untuk ikut dalam organisasi beberapa festival dan belajar dari observasi-observasi pada waktu berpartisipasi.

Observasi berpartisipasi tidak bisa selalu dilakukan. Misalnya, kalau musik itu digunakan dalam suatu ritual maka partisipasi sulit untuk orang luar.5 Jelas, rekaman dan laporan mengenai ritual mengandung aspek-aspek etis yang perlu diperhatikan. Persoalan aspek etis luas. Secara umum dapat dikatakan bahwa kita harus menjaga supaya penelitian kita tidak mempunyai aspek negatif terhadap responden-responden. Sebaliknya, jangan dikasih harapan terlalu besar terhadap perbaikan situasi responden. Dengan rekaman musik kita juga harus memperhatikan intellectual property rights.

Dalam bagian metode dan teknik penelitian ini juga harus diberi informasi mengenai metode yang nanti dipakai untuk analisa data. Transkripsi musik bisa dilakukan melalui

5 Lihat laporan rekaman permainan angklung Baduy pada ritual ngarérémokeun Dewi Asri di Kadujangkung

pada bulan Oktober 1992 dalam van Zanten 1995. Enip Sukanda dan saya tidak diperbolehkan hadir pada tempat, karena juga ada Baduy Dalem yang hadir. Kita mendapat permisi untuk tinggal di rumah yang dekat dengan tempat ritual itu. Rekaman audio dapat dilakukan dari rumah ini dan kami bisa melihat kegiatan pada tempat itu melalui lobang sebesar kira-kira 8x8 cm dalam dinding.

(9)

telinga kita sendiri, atau dengan program komputer. Cara pengukuran sesuatu, atau

pengumpulan data harus terikat dengan metode yang dipakai dalam fase analisa. Misalnya, kalau kita ingin menganalisa sénggol dalam mamaos Cianjuran dengan komputer, sebaiknya juru mamaos direkam tanpa iringan waditra, supaya analisa dengan komputer lebih mudah.

Juga bentuk publikasi perlu dipertimbangkan sebelum penelitian dimulai: artikel, disertasi, CD, film, dan sebagainya. Lihat juga di bawah ini.

5. Jadwal, dana (1-2 halaman). Jadwal penelitian perlu untuk merencanakan

penelitian dengan baik-baik. Itu juga perlu untuk memberi bobot kepada bagian-bagian penelitian. Misalnya, kalau analisa nanti khususnya diselenggarakan secara teknis-musikal, maka mungkin saja periode untuk mengumpulkan data di lapangan diambil secara relatif singkat dan banyak waktu disediakan untuk analisa. Penulisan laporan juga perlu

direncanakan dengan biak-baik: biasanya proses penulisan panjang!

Pemikiran mengenai uang penting untuk menentukan apa yang bisa dan apa yang tidak bisa dilakukan. Alat rekaman suara dan gambar, komputer, pembuatan CD-ROM, dll. perlu dimasukkan anggaran. Kalau kita ingin melakukan penelitian di perpustakaan di Amerika, itu mahal sekali: ongkos perjalanan dan ongkos sehari-hari. Apakah tidak ada metode lain untuk mendapat informasi yang perlu? Jangan lupa bahwa rencana penelitian perlu justru untuk memelih jalan yang efektif: dengan fasilitas, uang dan waktu yang terbatas, bagaimana bisa mendapat jawaban yang paling baik kepada pertanyaan-pertanyaan ilmiah?

6. Daftar referensi (1-2 halaman). Jangan semua yang pernah dibaca dimasukkan di

sini, cuma referensi yang digunakan dalam rencana penelitian. Referensi harus teliti sekali!

Pengumpulan data

Kebanyakan ini sudah dibicarakan dalam bagian ‘Rencana penelitian’. Di sini di tambah sedikit. Sebaiknya dikumpulkan beberapa macam data: buku, kaset, wawancara dengan orang, informasi dari instansi pemerinta, dan sebagainya. Ini dengan maksud bahwa kita perlu

membagi resiko: kadang-kadang suatu jalan tidak berhasil, jadi dipilih jalan yang lain. Kualitas informasi perlu dijaga dengan baik-baik. Kalau kualitas data kurang baik maka analisa juga tidak akan memberi hasil yang baik. Data harus diperiksa kembali, khususnya kalau dikumpulkan melalui wawancara. Kalau kita membuat rekaman audio atau video, maka

(10)

langsung informasi mengenai tempat, waktu, pemain, isinya (nama lagu, kata-kata lagu, kapan diselenggarakan), dan lain-lain harus dicatat. Itu bisa dilakukan dalam buku tulis dengan potlod atau balpen atau dalam file komputer, tetapi juga pada kaset-kaset supaya nanti tidak ada keliruan kalau mencari data tersebut. Jangan lupa bahwa ingatan kita terbatas! Menjaga supaya cacatan-catatan ini tidak hilang. Misalnya, setelah satu buku tulis (40 halaman) penuh, maka kita bisa membuat fotokopinya. Kaset yang penuh harus dibuka (di belakang) supaya tidak akan direkam lagi. Hal administratif yang dilakukan dengan baik ini akan bermanfaat pada fase analisa.

Bisanya pada waktu pengumpulan data itu sudah menjadi jelas bahwa kita tidak bisa ikut rencana penelitian secara penuh; adaptasi diperlukan atas pengalaman di lapangan. Kalau begitu, cobalah supaya adaptasi dilakukan sedemikian rupa bahwa intinya penelitian tidak akan dirobah. Sebaiknya, kita juga kadang-kadang memikirkan hasil perkumpulan data: apa yang masih perlu menurut rencana penelitian? Mungkin saja dalam rencana penelitian kita sudah masukkan periode kedua (yang biasanya lebih singkat) untuk mengumpulkan data. Sebaiknya itu direncanakan setelah (sebagian) data dari periode pertama telah dianalisa.

Analisa dan laporan

Setelah fase perkumpulan data selesai kita mulai menganalisa data. Biasanya kita mulai dengan membuat inventarisasi data: kaset-kaset, rekaman sendiri, wawancara dan sebagainya yang belum dilakukan pada fase pengumpulan data. Dalam fase ini kita harus lagi

memikirkan macam-macam laporan yang direncanakan (CD, film, buku). Untuk disertasi, sebaiknya kita sudah mulai lagi dengan kerangka, yaitu, daftar isi kira-kira apa dan bobotnya kira-kira berapa besar (dalam halaman)?

Kalau suatu penelitian rumit, maka kadang-kadang kita bingung mengenai metode yang dipakai untuk analisa, dan di mana analisa harus dimulai. Kalau saya sementara tidak melihat jalan ke luar, saya seringkali mendengar lagi rekaman, membaca lagi catatan-catatan, dan sebagainya. Mulai saja, dengan apa saja, tetapi jangan berhenti, karena berfrustrasi. Berhenti sementara bisa, atau pindah ke bagian yang lain dalam penelitian. Kalau data yang tadi dianggap sulit akan diperiksa lagi, mungkin saja kita melihat cara untuk analisanya.

Kalau rencana penelitian baik, garis besar metode analisa sudah diketahui. Akan tetapi, untuk penelitian yang agak lama (seperti S3) kadang-kadang ada perkembangan yang baru, seperti program komputer yang baru. Mungkin saja, data yang dikumpulkan juga

(11)

mengandung macam data yang tidak disebut dalam rencana penelitian. Jelas, dari pengalaman di lapangan, kita juga melihat kemungkinan baru untuk pekerjaan ilmiah kita.

Dalam fase analisa ini kita hampir pasti melihat bahwa membaca literatur yang baru perlu, karena pemunculan aspek-aspek yang belum diramalkan dalam rencana penelitian. Itu baik, tetapi jangan bacalah terlalu banyak: pemikiran sendiri mengenai data sendiri

merupakan tugas yang paling penting. Juga, pada waktu kita membaca 100 artikel, maka sudah ada 1000 artikel baru yang diterbitkan. Jadi, yang dibaca harus ada ikatan yang jelas mengenai persoalan dan data kita.

Analisa dan laporan sebaiknya jalan bersama. Kalau analisa sebagian dari data selesai, sebaiknya itu dilapor dalam tulisan suatu bab dalam buku, yang didiskusi dengan

pembimbing. Ceramah untuk kongres (dalam negri/ luar negri), atau artikel, juga baik untuk mendapat kritik dari teman-teman. Kadang-kadang artikel yang sudah diterbitkan dalam majalah internasional, bisa dikerjakan sedikit supaya menjadi bab dalam disertasi. Itu tergantung universitas dan pembimbing.

Lagi, saya menegaskan bahwa dalam bidang kita, karawitan/ musik, laporan dalam bentuk CD, CD-ROM, film dan sebagainya perlu dipikirkan dengan baik-baik. Internet juga merupakan medium yang baik untuk publikasi yang menggabungkan tulisan – yang biasanya lebih analitis – dengan suara dan gambar.

Referensi

[Maaf kebanyakan referensi cuma kepada tulisan sendiri, karena sekarang tidak ada banyak waktu dan di sini saya tidak mpunyai informasi yang luas mengenai persoalan ini.]

- Williams, Sean (1990), The Urbanization of Tembang Sunda, an Aristocratic Musical Genre of West Java,

Indonesia. PhD diss., University of Washington

- (1998), ‘Constructing gender in Sundanese music’, Yearbook for Traditional Music 30:74-84. - (2001), The ancestral ship.... ? [dasarnya: PhD dissertation 1990.] Oxford University Press.

- Zanten, Wim van (1987), Tembang Sunda; An ethnomusicological study of the Cianjuran music in West Java, xv + 305 pp. With musical examples, photo’s, tables, register; ISBN 90-6624-076-8. Leiden. [PhD dissertation University of Leiden].

- (1989), Sundanese music in the Cianjuran style; Anthropological and musicological aspects of

Tembang Sunda. [with Demonstration tape: cassette tape 90 min. with documentation, ISBN 90 6765 456 6.]

Dordrecht/ Providence-USA: Foris. [KITLV Verhandelingen 140, xiii + 246 pp., ISBN 90 6765 455 8. Revised version of PhD dissertation 1987.]

- (1994), Statistika untuk ilmu-ilmu sosial. Edisi kedua. [Edisi pertama, 1980; edisi pertama, cetakan

kedua, 1982.] 498 + xxii pp., tabel, register, daftar istilah statistika Inggeris-Indonesia. Jakarta: Gramedia. - (1995a) ‘Notation of music; Theory and practice in West Java’, in van Zanten, Wim and Marjolijn van Roon, Oideion; The performing arts world-wide 2, pp.209-33. Leiden: Research School CNWS.

- (1995b), ‘Aspects of Baduy music in its sociocultural context, with special reference to singing and angklung’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 151:516-44.

- (2002) Play the saluang flute, use your fifth finger; Lyrical songs from Payakumbuh, West Sumatra. Educational film [DVD/ video] + documentation book 32 pp. [ISBN 90-74917-26-7; NUR 064-055.] Leiden: Institute of Cultural and Social Studies, Leiden University / International Institute for Asian Studies.

Referensi

Dokumen terkait

Terakhir, besar harapan dan rekomendasi terhadap penelitian selanjutnya adalah dapat merancang suatu sistem yang berisi materi bahan ajar untuk semua mata pelajaran sehingga

KEEFEKTIFAN PENGGUNAAN MEDIA PETA KONSEP POHON JARINGAN PADA PEMBELAJARAN MENULIS CERPEN DI KELAS X SMA NEGERI 1 MOJOTENGAH KABUPATEN WONOSOBO Oleh Ismi Septiana NIM 07201244043

Waktu tetap meliputi waktu mengikat dan melepas material yang tergantung pada jenis material yang diangkat, untuk setiap pekerjaan memiliki waktu tetap yang

Dan yang sudah sertifikasi berjumlah 20 orang guru, sehingga kualitas dan hasil pembelajaran di MTs Negeri Tanjung Raja memiliki kemampuan dan kompetensi yang baik dalam

Maka saya/keluarga saya bersedia berperan serta dalam penelitian tersebut di atas sebagai subyek penelitian dan bersedia dilakukan pemeriksaan Laju Endap Darah dengan metode

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh kondisi operasi pembuatan sol-gel yaitu konsentrasi silika dalam sol terhadap diameter pori lapisan sol gel silika

Klasifikasi sewa yang digunakan dalam pernyataan ini didasarkan atas sejauh mana risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset sewaan berada pada

Masing-masing pantai memiliki masalah aksebilitas yang berbeda, untuk pantai Baron, Kukup dan Drini relatif lebih baik sarana transpostasnya dibanding dengan pantai Sepanjang