• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

13

1. Tinjauan tentang Pembuktian dan Alat Bukti

Pembuktian merupakan masalah yang sangat penting dan utama, sebagaimana menurut Pasal 6 Ayat (2) KUHAP, bahwa ”Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya” (Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014:229-230).

a. Pengertian Pembuktian

1) Menurut M. Yahya Harahap

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa (M. Yahya Harahap, 2012:273).

2) Menurut J.C.T. Simonangkir, dkk

Pembuktian menurut J.C.T. Simonangkir, dkk seperti dikutip oleh Prof. Dr. Andi Sofyan adalah usaha untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan agar supaya dapat dipakai oleh hakim sebagai bahan untuk memberikan keputusan seperti perkara tersebut (Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014:230). b. Alat-alat Bukti

Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, bahwa yang termasuk alat bukti yang sah adalah:

1) Keterangan saksi

Menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia

(2)

dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

David A. Lagnado and Nigel Harvey membuat suatu pendapat mengenai saksi yaitu:

People construct stories to make sense of the evidence presented in court, and the narratives determine their predeliberation verdicts. Stories typically involve network of causal relations between events; they on the evidence presented in the case, as well as on prior assumptions and common sense knowledge (David A. Lagnando and Nigel Harvey, 2008:1167).

Terjemahan bebas penulis saksi adalah seseorang yang menceritakan suatu kejadian untuk mengungkapkan fakta-fakta di pengadilan, dan jalan cerita tersebut sebagai pertimbangan untuk membuat suatu putusan. Cerita tersebut berhubungan dengan sebab-sebab terjadinya suatu peristiwa, bukti yang berhubungan dengan peristiwa, dugaan awal terhadap suatu peristiwa, dan dapat diterima dengan akal.

Salah satu syarat sahnya seorang saksi adalah keterangan yang diberikan mengenai suatu peristiwa pidana haruslah yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, sehingga bukan merupakan testimonium de auditu. Mengenai testimonium de auditu, S. M. Amin yang dikutip A. Karim Nasution menyatakan “kesaksian de auditu adalah keterangan-keterangan tentang kenyataan-kenyataan hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami bukan oleh saksi sendiri, akan tetapi keterangan-keterangan yang disampaikan oleh orang lain kepadanya mengenai kenyataan-kenyataan dan hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami sendiri oleh orang lain tersebut (A. Karim Nasution, 1976:55). Demikian juga kesimpulan, pendapat, asumsi, perkiraan, hasil pemikiran atau sejenisnya, tidak dapat diterima sebagai keterangan saksi, karena sifatnya bukan pendengaran, penglihatan atau pengalaman saksi.

(3)

Pasal 185 ayat (5) KUHAP menyatakan bahwa baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. Penjelasan Pasal 185 ayat (1) menyebutkan “Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu”. Jadi dengan demikian bahwa keterangan saksi tersebut bukan merupakan alat bukti yang sah.

Pembatasan mengenai keterangan saksi berubah sama sekali ketika Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 65/PUU-VIII/2010 memperluas makna saksi dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dengan diakuinya saksi testimonium de auditu dalam peradilan pidana. Mahkamah konstitusi berpendapat arti penting saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses dan adalah kewajiban penyidik, jaksa penuntut umum, dan hakim untuk memanggil dan memeriksa saksi yang menguntungkan bagi tersangka (Steven Suprantio, 2014:41).

Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 yang memperluas pengertian saksi berbunyi sebagai berikut:

1. Menyatakan Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta pasal 184

(4)

ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”

2. Menyatakan Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”

Saksi menurut sifatnya dibagi atas dua bagian, yaitu: a) Saksi A Charge(saksi yang memberatkan terdakwa)

Saksi ini dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, yang keterangan dan kesaksiannya akan memberatkan terdakwa. b) Saksi A De Charge (saksi yang meringankan/

(5)

Saksi ini dipilih atau diajukan oleh penuntut umum/terdakwa atau penasihat hukum, dengan tujuan keterangan atau kesaksian yang diberikan akan meringankan/menguntungkan terdakwa.

2) Keterangan ahli

Menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP, keterangan ahli adalah “Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna keentingan pemeriksaan.” Berpijak pada Pasal 179 ayat (1) KUHAP dapat dikategorikan dua kelompok ahli, yaitu ahli kedokteran dan ahli-ahli lainnya. Syarat sahnya keterangan ahli yaitu keterangan yang diberikan ahli, memiliki keahlian khusus di bidang tertentu, menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya, dan bidang diberikan di bawah sumpah.

Keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan cara meminta keterangan ahli pada taraf penyidikn oleh aparat penyidik sebagaimana dalam Pasal 133 KUHAP. Menurut pasal ini, keterangan ahli diberikan secara tertulis melalui surat. Atas permintaan ini ahli menerangkan hasil pemeriksaannya dalam bentuk laporan. Cara kedua, seperti yang ditentukan Pasal 179 dan Pasal 186 KUHAP, yaitu keterangan ahli diberikan secara lisan dan langsung di pengadilan. Pada prinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama dengan nilai kekuatan yang melekat pada alat bukti keterangan saksi, yaitu mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas atau vrij bewijskracht. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Namun penilaian hakim ini harus benar-benar bertanggung jawab atas landasan moril

(6)

demi tegaknya hukum serta kepastian hukum (Rusli Muhammad, 2007:194-195).

3) Surat

Definisi alat bukti surat menurut Asser-Anema yang dikutip oleh Andi Hamzah adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran (Andi Hamzah, 2012:276). Surat sebagai alat bukti yang sah harus dibuat atas sumpah jabatan dan dikuatkan dengan sumpah. Dalam Pasal 187 KUHAP disebutkan secara luas bentuk-bentuk surat yang bernilai sebagai alat bukti yaitu:

a) Berita acara atau surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang mengenai suatu kejadian yang didengar/dilihat/dialami sendiri disertai alasan yang jelas mengenai keterangan tersebut.

b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangan atau yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya.

c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat keterangan berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal yang dimintakan secara resmi kepadanya.

d) Surat lain yang berhubungan dengan bukti lain (Rusli Muhammad, 2007:196).

Alat bukti surat dinilai sebagai alat bukti yang sempurna dan memiliki kekuatan mengikat bagi hakim (volledig en beslissende bewijskracht). Namun demikian, kesempurnaan dan kekuatan mengikat tersebut hanyalah secara formal. Keyakinan hakim yang menentukan kekuatan pembuktiannya.

4) Petunjuk

Menurut Pasal 188 ayat (1) KUHAP petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena tindak pidana itu

(7)

sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Petunjuk sebagai alat bukti yang sah pada urutan keempat dari lima alat bukti lain dengan nilai kekuatan pembuktian yang bebas. Alat bukti petunjuk baru diperlukan dalam pembuktian apabila alat bukti yang lain dianggap hakim belum cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Atau dengan kata lain, alat bukti petunjuk baru dianggap mendesak untuk dipergunakan apabila upaya pembuktian dengan alat bukti lain belum mencapai batas minimum pembuktian (Pasal 183 KUHAP). Oleh karena itu, hakim harus lebih dahulu berdaya upaya mencukupi pembuktian dengan alat bukti yang lain sebelum ia berpaling apada alat bukti petunjuk (Rusli Muhammad, 2007:196-197).

Hakim diajak dan diperingati untuk menarik petunjuk dengan arif dan bijaksana serta harus lebih dulu mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan seksama berdasarkan hati nuraninya. Pasal 188 ayat (2) KUHAP membatasi kewenangan hakim dalam cara memperoleh alat bukti petunjuk. Hakim tidak boleh sesuka hati mencari petunjuk dari segala sumber. Sumber yang dapat digunakan mengkonstruksi alat bukti petunjuk, terbatas dari alat-alat bukti yang secara limitatif ditentuakan dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP. Menurut pasal tersebut, petunjuk hanya dapat diperoleh dari:

a) Keterangan saksi b) Surat

c) Keterangan terdakwa

Hanya dari ketiga alat bukti tersebut, bukti petunjuk dapat diolah. Dari ketiga sumber inilah persesuaian perbuatan, kejadian atau keadaan dapat dicari dan diwujudkan (M. Yahya Harahap, 20012:315).

(8)

5) Keterangan terdakwa

Menurut Pasal 189 KUHAP, bahwa yang dimaksud dengan alat bukti berupa keterangan terdakwa adalah:

a) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

b) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh sebuah alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

c) Keterangan terdakwa hanya bisa digunakan terhadap dirinya sendiri.

d) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Berdasarkan Pasal 189 KUHAP di atas, bahwa keterangan terdakwa harus diberikan di depan sidang saja, sedangkan di luar sidang hanya dapat digunakan untuk menemukan bukti di sidang saja.

Apabila terdakwa lebih dari satu orang, maka keterangan dari masing-masing terdakwa untuk dirinya sendiri, artinya keterangan terdakwa satu dengan terdakwa lainnya tidak boleh dijadikan alat bukti bagi terdakwa lainnya.

c. Sistem Pembuktian

Ada empat sistem pembuktian, yaitu : 1) Conviction-in Time

Sistem pembuktian conviction-in time pembuktiannya semata-mata didasarkan pada keyakinan hakim saja. Lebih memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan. Tidak ada alat bukti yang dikenal selain alat bukti berupa

(9)

keyakinan seorang hakim. Artinya, jika dalam pertimbangan putusan hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani, terdakwa yang diajukan kepadanya dapat dijatuhkan putusan. Keyakinan hakim pada teori ini adalah menentukan dan mengabaikan hal-hal lainnya jika sekiranya tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan hakim tersebut (Rusli Muhammad, 2007:187).

2) Conviction-Raisonee

Sistem pembuktian conviction-raisonee keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal (M. Yahya Harahap, 2012:277-278)

3) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif

Teori ini adalah teori pembuktian berdasarkan alat bukti menurut undang-undang secara positif. Pembuktian menurut teori ini dilakukan dengan menggunakan alat-alat bukti yang sebelumnya telah ditentukan oleh undang-undang. Untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan seseorang, hakim harus mendasarkan pada alat-alat bukti yang tersebut di dalam undang-undang. Jika alat-alat bukti tersebut telah terpenuhi, hakim sudah cukup beralasan untuk menjatuhkan putusan tanpa harus timbul keyakinan terlebih dahulu atas kebenaran alat-alat bukti yang ada (Rusli Muhammad, 2007:188).

4) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel)

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Rumusannya berbunyi: salah

(10)

tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang (M. Yahya Harahap, 2012:278-279). Sistem Pembuktian yang Dianut KUHAP

Pasal 183 KUHAP berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal 183 KUHAP ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin dapat menjamin “tegaknya kebenaran sejati” serta “tegaknya keadilan dan kepastian hukum”. Dari penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut pembuat undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang tepat dalam penegakan hukum di Indonesia ialah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, demi tegaknya keadilan, kepastian, dan kebenaran. Karena dalam sistem pmbuktian ini, terpadu kesatuan penggabungan antara sistem conviction-in time dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (M. Yahya Harahap, 2012:280).

d. Asas-asas/Prinsip-prinsip Pembuktian

Ada beberapa asas-asas yang perlu dicermati dalam pembuktian hukum acara pidana, yaitu:

1) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” atau disebut dengan istilah notoire feiten.

Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

a) Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau

(11)

semestinya demikian. Yang dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal dari harga perak. Dan yang dimaksud dengan peristiwa misalnya, pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari kemerdekaan Indonesia.

b) Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003:20). 2) Menjadi saksi adalah kewajiban

Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: “Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku”.

3) Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis)

Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Persyaratan yang dikehendaki oleh Pasal 185 ayat (2) untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh “dua orang saksi” atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian tunggal itu harus “dicukupi’ atau “ditambah” dengan salah satu alat bukti yang lain (M. Yahya Harahap, 2012:288).

4) Pengakuan terdakwa tidak menghapus kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa

Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (4) KUHAP bahwa pengakuan tidak melenyapkan kewajiban pembuktian oleh

(12)

penuntut umum, dan persidangan berkewajiban membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain.

5) Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri

Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”. Ini berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku mengikat bagi diri terdakwa sendiri.

2. Tinjauan tentang Putusan Pengadilan

Putusan hakim memiliki peranan penting dalam penegakan hukum dan keadilan. Karena itu di dalam menjatuhkan putusan, hakim harus sangat berhati-hati dan penuh dengan pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekeliruan yang mengakibatkan timbulnya rasa tidak puas, ketidakadilan, dan dapat menjatuhkan kewibawaan pengadilan. Oleh sebab itu sebelum hakim menjatuhkan putusannya, maka harus dilakukan pertimbangan secara cermat karena pertimbangan hakim tersebut dapat memberikan pengaruh dalam menjatuhkan putusan.

a. Pengertian Putusan Pengadilan

Menurut Ketentuan Umum Pasal 1 angka 11 KUHAP, putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

b. Macam-macam Putusan Hakim 1) Putusan Bebas

Putusan bebas berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrij spraak) atau acquittal. Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP bahwa dari hasil pemeriksaan sidang di pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah

(13)

dan meyakinkan. Putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh majelis hakim yang bersangkutan:

a) Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif;

b) Pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu, tidak diyakini oleh hakim;

c) Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian.

Kesalahan yang didakwakan terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah (M. Yahya Harahap, 2012:347-348).

2) Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum

Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP, yaitu “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.” Pada putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, apa yang didakwakan kepada terdakwa cukup terbukti secara sah baik dinilai dari segi pembuktian menurut undang-undang maupun dari segi batas minimum pembuktian yang diatur Pasal 183 KUHAP. Tegasnya perbuatan yang didakwakan dan yang telah terbukti itu, tidak ada diatur dan tidak termasuk ruang lingkup hukum pidana (M. Yahya Harahap, 2012:352).

3) Putusan Pemidanaan

Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 KUHAP. Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman pidana yang ditentukan dalam pasal tindak pidana

(14)

yang didakwakan kepada terdakwa. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.

Menurut Pasal 193 ayat (1) KUHAP, apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Berdasarkan Pasal 10 KUHP, pidana terdiri atas:

a) Pidana pokok (1) Pidana mati (2) Pidana kurungan (3) Pidana penjara (4) Denda b) Pidana tambahan

(1) Pencabutan hak-hak tertentu (2) Perampasan barang-barang tertentu (3) Pengumuman putusan pengadilan 4) Penetapan Tidak Berwenang Mengadili

Penetapatan tidak berwenang mengadili diatur dalam Pasal 84 KUHAP. Ketua Pengadilan Negeri berpendapat perkara tersebut tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan Negeri karena:

a) Tindak pidana yang terjadi tidak dilakukan dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan;

b) Sekalipun terdakwa beretempat tinggal, berdiam terakhir, diketemukan atau ditahan berada di wilayah Pengadilan Negeri tersebut, tapi tindak pidananya dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri yang lain, sedang saksi-saksi yang dipanggil pun lebih dekat dengan Pengadilan Negeri tempat dimana tindak pidana dilakukan;

c) Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, maka tiap

(15)

pengadilan negeri itu masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu;

d) Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, diadili oleh masing-masing pengadilan negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.

5) Putusan yang Menyatakan Tidak Dapat Diterima

Putusan yang menyatakan dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima dikarenakan :

a) Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik aduan, tidak ada;

b) Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa sudah pernah diadili (nebis in idem); dan

c) Hak untuk penuntutan telah hilang karena daluwarsa (verjaring).

6) Putusan yang Menyatakan Batal Demi Hukum

Ada beberapa alasan pokok yang dapat dijadikan dasar untuk menyatakan dakwaan batal demi hukum, yaitu:

a) Apabila dakwaan tidak merumuskan semua unsur dalih yang didakwakan;

b) Atau tidak merinci secara jelas peran dan perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam dakwaan;

c) Dakwaan kabur atau obscuur libel, karena tidak dijelaskan cara bagaimana kejahatan dilakukan (M. Yahya Harahap, 2012:359).

c. Dasar Pengambilan Putusan

Pertimbangan hakim dalam berbagai putusannya dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu pertimbangan yang bersifat yuridis dan pertimbangan yang bersifat non yuridis (Rusli Muhammad, 2007:2012).

(16)

1) Pertimbangan yang bersifat yuridis, yaitu pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan (Rusli Muhammad, 2007:216). Pertimbangan yang bersifat yuridis itu terdiri dari : a) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasar itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan. Dakwaan selain berisikan identitas terdakwa, juga memuat uraian tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Dakwaan yang dijadikan pertimbangan hakim adalah dakwaan yang telah dibacakan di depan sidang pengadilan.

b) Keterangan Terdakwa

Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan terdakwa sekaligus juga merupakan jawaban atas pertanyaan hakim, jaksa penuntut umum ataupun dari penasihat hukum. c) Keterangan saksi

Keterangan saksi dapat dikategorikan sebagai alat bukti sepanjang keterangan itu mengenai sesuatu peristiwa pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri, dan harus disampaikan di dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi menjadi pertimbangan pertama dan selalu dipertimbangkan oleh hakim dalam putusannya.

d) Barang-barang bukti

Pengertian barang bukti di sini adalah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan diajukan oleh penuntut umum di depan sidang pengadilan.

(17)

e) Pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana

Pasal peraturan hukum pidana dalam prakteknya selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Dalam hal ini, penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam pasal peraturan hukum pidana.

2) Pertimbangan non yuridis, yaitu pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan pada subjektifitas hakim terhadap terdakwa, yang terdiri keadaan-keadaan sebagai berikut (Rusli Muhammad, 2007:216) :

a) Latar belakang perbuatan terdakwa

Latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan yang menyebutkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pada diri terdakwa dalam melakukan tindak pidana.

b) Akibat perbuatan terdakwa

Perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa sudah pasti membawa korban ataupun kerugian pada pihak lain. Bahkan akibat dari perbuatan terdakwa dari kejahatan yang dilakukan tersebut dapat pula berpengaruh buruk kepada masyarakat luas, paling tidak keamanan dan ketentraman mereka senantiasa terancam.

c) Kondisi diri terdakwa

Kondisi terdakwa adalah keadaan fisik maupun psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk pula status sosial yang melekat pada terdakwa. Keadaan fisik yang dimaksudkan adalah usia dan tingkat kedewasaan. Sementara keadaan psikis adalah berkaitan dengan perasaan yang dapat berupa tekanan dari orang lain, pikiran sedang kacau, keadaan marah dan lain-lain.

(18)

d) Agama terdakwa

Keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup bila sekedar meletakkan kata “Ketuhanan” pada kepala putusan, melainkan harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan, baik tindakan para hakim sendiri maupun dan terutama terhadap tindakan para pembuat kejahatan (Rusli Muhammad, 2007:212-220).

e) Keadaan sosial ekonomi terdakwa d. Hal-hal yang dimuat dalam Putusan

Putusan pemidanaan akan dapat terhindar dari ancaman batal demi hukum sebagaimana yang diancam Pasal 197 ayat (2) KUHAP, apabila putusan tersebut memuat semua hal yang diatur Pasal 197 ayat (1) KUHAP (M. Yahya Harahap, 2012:360).

a. Berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, berkaitan dengan falsafah yang dianut bangsa Indonesia, penegakan hukum yang dicita-citakan bangsa Indonesia keadilan berdasarkan ketuhanan. Ridha Tuhan selalu diharapkan dalam setiap tindakan penegakan hukum.

b. Identitas Terdakwa

Memuat nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa. Identitas terdakwa perlu diuraikan guna menjamin kepastian hukum bahwa orang yang dijatuhi pidana adalah terdakwa yang sedang diadili.

c. Dakwaan

Putusan harus memuat keseluruhan isi surat dakwaan yang dibuat penuntut umum.

(19)

Fakta dan keadaan yang “memberatkan” atau “meringankan” harus jelas diuraikan sesuai dengan apa yang ditemukan dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Hal ini digunakan sebagai dasar untuk menentukan berat ringannya hukuman pidana yang akan ditimpakan kepada terdakwa. Selain itu pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang dijadikan dasar penentuan kesalahan terdakwa.

e. Tuntutan Pidana Penuntut Umum

Biasanya kesimpulan tuntutan pidana penuntut umum ditempatkan antara uraian identitas terdakwa dengan surat dakwaan.

f. Peraturan Undang-Undang yang Menjadi Dasar Pemidanaan Menurut ketentuan ini, putusan pemidanaan memuat pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau pasal peraturan perundang-undangan yang mejadi dasar hukum putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.

g. Hari dan Tanggal Diadakannya Musyawarah Majelis

Putusan Pengadilan Negeri harus memuat tanggal hari musyawarah majelis hakim dan tanggal hari pengucapan pengumuman putusan.

h. Pernyataan Kesalahan Terdakwa

Pernyataan kesalahan terdakwa, berupa penegasan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasi dan pemidanaan atau hukuman yang dijatuhkan. Biasanya pernyataan ini dicantumkan dalam amar putusan.

i. Pembebanan Biaya Perkara dan Penentuan Barang Bukti

Ketentuan ini mengatur tentang kepada siapa biaya perkara itu dibebankan dan jumlah biaya perkara itu sendiri. j. Penjelasan tentang Surat Palsu

(20)

Ketentuan ini menjelaskan jika dalam persidangan menemukan kepalsuan surat autentik yang ada hubungannya dengan perkara yang bersangkutan, kepalsuan itu dijelaskan dalam putusan.

k. Perintah Penahanan, Tetap dalam Tahanan atau Pembebasan l. Hari dan Tanggal Putusan, Nama Penuntut Umum, Hakim yang

Memutus, dan Panitera 3. Tinjauan tentang Upaya HukumKasasi

Pengertian Upaya Hukum menurut Pasal 1 angka 12 KUHAP adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur-dalam undang-undang ini.

Istilah kasasi sebenarnya berasal dari kata casser artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan peradilan. Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya, artinya kekuasaan kehakiman ditafsirkan secara luas dan sempit. Penafsiran secara sempit yaitu, jika hakim memutus sesuatu perkara padahal hakim tidak berwenang menurut kekuasaan kehakiman dalam arti luas misalnya jika hakim pengadilan tinggi memutus padahal hakim pertama telah membebaskan (Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, 2014:278).

a. Pengertian Kasasi

Kasasi merupakan salah satu hak yang termasuk dalam kategori upaya hukum biasa. Sebagai suatu hak, maka pengajuan kasasi menimbulkan kewajiban bagi pihak lain, yaitu pengadilan. Pengajuan kasasi wajib diterima oleh pihak pengadilan, jadi tidak ada alasan untuk menolaknya. Diterima atau tidaknya permohonan kasasi, sepenuhnya merupakan kompetensi dari Mahkamah Agung untuk memutuskannya (Janpatar Simamora, 2014:7). Kasasi adalah hak yang diberikan kepada terdakwa maupun kepada penuntut umum.

(21)

Tergantung pada mereka untuk mempergunakan hak tersebut. Seandainya mereka dapat menerima putusan yang dijatuhkan, dapat mengesampingkan hak itu, tetapi apabila keberatan atas putusan yang diambil, dapat mempergunakan hak untuk mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung (M. Yahya Harahap, 2012:537). Berdasarkan pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung berwenang mengadili terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain.

Pasal 244 KUHAP disebutkan bahwa “terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.”Kemudian pelaksanaannya bahwa ternyata ketentuan ini kerap menimbulkan perdebatan terkait dengan boleh tidaknya jaksa penuntut umum (JPU) mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap putusan atau vonis bebas (vrijspraak).

Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 114/PUU-X/2012 yang diucapkan pada sidang pleno Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 28 Maret 2013, menyatakan bahwa frasa “kecuali terhadap putusan bebas” sebagaimana tercantum dalam Pasal 244 KUHAP adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, maka sejak saat pembacaan putusan dimaksud, jaksa penuntut umum berwenang mengajukan kasasi atas putusan bebas yang dijatuhkan pada pengadilan tingkat pertama (Janpantar Simamora, 2014:2).

b. Alasan pengajuan Kasasi

Alasan pengajuan kasasi dalam KUHAP yang dipakai Mahkamah Agung, sebagaimana diatur dalam Pasal 253 ayat (1)

(22)

KUHAP, yaitu Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249 guna menentukan:

1) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;

Maka Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara tersebut.

2) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;

Maka Mahkamah Agung menetapkan disertai penunjuk agar pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya lagi mengenai bagian yang dibatalkan, atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain. 3) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

Maka Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain mengadili perkara tersebut.

c. Syarat Formal dan Materiil

1) Syarat Formal Permohonan Kasasi

Langkah pertama yang harus diteliti Mahkamah Agung dalam pemeriksaan tingkat kasasi berhubungan dengan syarat formal. Apabila syarat-syarat formal permintaan kasasi telah sah dan terpenuhi, baru dapat diperiksa materi perkara. Syarat formal pengajuan kasasi diatur di dalam Pasal 244, Pasal 245 ayat (1), dan Pasal 248 ayat (1) KUHAP, yaitu:

a) Permohonan kasasi diajukan oleh orang yang berhak yaitu terdakwa atau kuasanya yang ditunjuk khusus untuk itu atau penuntut umum. Syarat formal ini diatur pada Pasal 244 KUHAP;

b) Permohonan kasasi disampaikan kepada panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara itu pada tingkat pertama, dalam waktu 14 hari terhitung sejak putusan pengadilan yang

(23)

dikasasi diberitahukan secara sah kepada terdakwa. Syarat formal ini diatur pada Pasal 245 ayat (1) KUHAP;

c) Pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat alasan kasasi dalam waktu 14 hari terhitung sejak permohonan kasasi diajukan seperti yang diatur dalam Pasal 248 ayat (1) KUHAP (M. Yahya Harahap, 2012:583-584). 2) Syarat Materiil Permohonan Kasasi

Syarat materiil permohonan kasasi diatur dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP yang memuat tentang:

a) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya.

b) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang.

c) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas kewenangannya.

4. Tinjauan tentang Tindak Pidana Penganiayaan a. Pengertian Penganiayaan

Secara sederhana penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dengan sengaja mengakibatkan rasa sakit tubuh orang lain atau kesehatan orang lain, yang menimbulan luka, luka berat maupun meninggalnya seseorang (korban) disebut penganiayaan. Artinya setiap tindakan yang memenuhi unsur penganiayaan tersebut dapat disebut kejahatan atau tindak pidana yang tentu dapat dijerat dengan KUHP (Wiryono Prodjodikoro, 1986:66).

Undang-undang tidak memberikan perumusan apa yang dinamakan “penganiayaan” itu. Menurut jurisprudensi pengadilan maka yang dinamakan “penganiayaan” yaitu:

1) Sengaja

2) Menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan) 3) Menyebabkan sakit, atau

(24)

Sedangkan pengertian penganiayaan dalam KUHP adalah tindak pidana terhadap tubuh. Tujuan dari dibentuknya pengaturan tentang kejahatan terhadap tubuh manusia adalah untuk melindungi kepentingan hukum atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian. Penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak, rasa sakit atau luka. Masuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah “sengaja merusak kesehatan orang”. “Perasaan tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah kuyup. “Rasa sakit” misalnya menyubit, memukul. “Luka” misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau. “Merusak kesehatan” misalnya orang sedang tidur dan berkeringat dibuka jendela kamarnya sehingga orang itu pasti masuk angin.

b. Jenis Tindak Pidana Penganiayaan Dalam KUHP 1) Tindak Pidana Penganiayaan Biasa

Penganiayaan biasa dapat juga disebut dengan penganiayaan pokok atau bentuk standar terhadap ketentuan Pasal 351 yaitu pada hakikatnya penganiayaan berat dan bukan penganiayaan ringan. Mengamati Pasal 351 KUHP maka ada 4 (empat) jenis penganiayaan biasa, yakni:

a) Penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan luka berat maupun kematian dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah (ayat 1)

b) Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun (ayat 2) c) Penganiayaan yang mengakibatkan kematian dan dihukum

dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 tahun (ayat 3) d) Penganiayaan berupa sengaja merusak kesehatan (ayat 4)

(25)

a) Adanya kesengajaan; b) Adanya perbuatan;

c) Adanya akibat perbuatan (yang dituju), rasa sakit pada tubuh dan/atau luka pada tubuh;

d) Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya. 2) Tindak Pidana Penganiayaan Ringan

Penganiayaan ringan diatur dalam Pasal 352 KUHP. Menurut pasal ini, penganiayaan ringan ini ada dan diancam dengan maksimum hukuman penjara 3 (tiga) bulan atau denda tiga ratus rupiah apabila tidak termasuk dalam rumusan Pasal 353 dan Pasal 356, dan tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan. Hukuman ini bisa ditambah dengan sepertiga bagi orang yang melakukan penganiayaan ringan ini terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada di bawah perintah. Penganiayaan tersebut dalam Pasal 352 ayat (1) KUHP yaitu suatu penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau menjadikan terhalang untuk melakukukan jabatan atau pekerjaan sehari-hari.

3) Tindak Pidana Penganiayaan Berencana

Menurut Pasal 353 KUHP ada 3 macam penganiayaan berencana, yaitu:

a) Penganiayaan berencana yang tidak mengakibatkan luka berat atau kematian dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun.

b) Penganiayaan berencana yang mengakibatkan luka berat dan dihukum dengan hukuman selama-lamanya 7 (tujuh) tahun. c) Penganiayaan berencana yang mengakibatkan kematian dan

dihukum dengan hukuman selama-lamanya 9 (sembilan) tahun.

(26)

4) Tindak Pidana Penganiayaan Berat

Penganiayaan berat diatur dalam Pasal 354 KUHP. Unsur-unsur dari tindak pidana penganiayaan berat, yaitu:

a) Kesalahan (kesengajaan);

b) Perbuatannya (melukai secara berat); c) Obyeknya (tubuh orang lain);

d) Akibatnya (luka berat).

5) Tindak Pidana Penganiayaan Berat Berencana

Penganiayaan berat berencana diatur dalam Pasal 355 KUHP. Tindak pidana ini merupakan gabungan dari penganiayaan berat (Pasal 353 ayat (1) KUHP) dan penganiayaan berencana (Pasal 353 ayat (2) KUHP). Kedua penganiayaan ini harus terjadi secara serentak/bersamaan. Sehingga harus terpenuhi unsur penganiayaan berat dan unsur penganiayaan berencana. 5. Tinjauan tentang Penyertaan

a. Pengertian Penyertaan dan Turut Serta Melakukan

Masalah deelneming atau keturutsertaan oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Akan tetapi apa yang disebut dader itu telah disebutkan oleh pembentuk undang-undang di dalam Pasal 55 KUHP, sehingga lebih tepatlah kiranya apabila pembicaraan mengenai ketentuan-ketentuan pidana di dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP itu disebut sebagai suatu pembicaraan mengenai masalah pelaku (dader) dan keturutssertaan (deelneming) daripada disebut semata-mata sebagai pembicaraan mengenai keturutsertaan saja, yakni seperti yang biasanya dilakukan oleh para penulis Belanda (P.A.F. Lamintang, 2013:583).

Penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP yang berarti bahwa ada dua orang atau lebih melakukan suatu tindak pidana atau dengan perkataan ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk melakukan tindak pidana. Secara luas dapat disebutkan bahwa seseorang turut serta ambil bagian dalam hubungannya dengan orang

(27)

lain, untuk mewujudkan suatu tindak pidana, mungkin jauh sebelum terjadinya, dekat sebelum terjadinya, pada saat terjadinya, atau setelah terjadinya suatu tindak pidana (Erdianto Effendi, 2011:174-175).

Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing dari mereka berbeda satu dengan yang lain, demikian juga tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya, dimana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lainnya, yang semuanya mengarah pada satu ialah terwujudnya tindak pidana (Adami Chazawi, 2002:78-73).

b. Sistem Pertanggungjawaban pada Penyertaan

Dalam doktrin hukum pidana, dikenal 2 sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana, ialah:

1) Pertama, yang mengatakan bahwa setiap orang yang terlibat bersama-sama ke dalam suatu tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan secara sama dengan orang yang sendirian (dader) melakukan tindak pidana, tanpa dibedakan baik atas perbuatan yang dilakukannya maupun apa yang ada dalam sikap batinnya.

2) Kedua, yang mengatakan bahwa masing-masing orang yang bersama-sama terlibat ke dalam suatu tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan berbeda-beda, yang berat ringannya sesuai dengan bentuk dan luasnya wujud perbuatan masing-masing orang dalam mewujudkan tindak pidana.

Sistem yang pertama berasal dari hukum Romawi. Menurut sistem ini tidak memperhatikan luas sempitnya perbuatan serta peranan dan andilnya terhadap terwujudnya tindak pidana yang terjadi, semua orang yang terlibat dibebani tanggung jawab pidana yang sama seperti orang yang melakukannya sendiri.

(28)

Sistem yang kedua, berasal dari hukum pidana Italia. Dalam sistem ini berat ringannya beban tanggung jawab digantungkan pada luas sempitnya dari wujud obyektif perbuatan yang dilakukan para peserta serta peran dan andilnya perbuatan masing-masing terhadap timbulnya tindak pidana.

Hukum pidana Belanda (WvS nya) juga KUHP kita untuk golongan penyertaan yang dimasukkan dalam kelompok pertama (mededader), dalam Pasal 55 (pleger, doen pleger, medepleger, dan uitlokker) dibebani tanggung jawab yang sama antara mereka, yakni masing-masing dibebani tanggung jawab yang sama dengan orang yang sendirian melakukan tindak pidana (dader). Jadi untuk orang-orang yang masuk ke dalam kelompok ini (mededader) menganut sistem pertanggungjawaban pidana yang pertama.

Menurut KUHP bagi yang terlibat sebagai pembuat pembantu, baik pembantuan pada saat pelaksanaan kejahatan maupun pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan (Pasal 56) beban tanggung jawabnya dibedakan dengan orang-orang yang masuk kelompok pertama (mededader) pada Pasal 55, yakni beban tanggung jawab pelaku pembantu ini lebih ringan daripada tanggung jawab pelaku kelompok mededader tersebut, dimana menurut Pasal 57 ayat (1) ditetapkan bahwa “dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga”. Jadi hukum pidana Indonesia menganut sistem campuran kedua sistem pembebanan pertanggungjawaban (Adami Chazawi, 2002:78-80).

(29)

B. Kerangka Pemikiran

Keterangan :

Kerangka pemikiran tersebut penulis buat untuk menjelaskan alur berpikir penulis dalam menyusun Penelitian Hukum ini. Berdasarkan bagan kerangka pemikiran di atas, dapat dijabarkan bahwa tindak pidana penganiayaan diatur dalam Pasal 351 KUHP. Menurut Penuntut Umum, Hakim salah dalam menilai keterangan saksi dalam persidangan. Terdakwa I tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penganiayaan yang didakwakan oleh Penuntut Umum sehingga

Putusan Bebas Putusan Pengadilan Negeri Bulukumba

Nomor 84/Pid.B/2013/PN.BLK

Penuntut Umum

Alasan Kasasi Pasal 253 KUHAP

Pertimbangan Hakim

Pidana Dikabulkan Putusan Mahkamah Agung

Nomor 493 K/PID/2014 Tindak Pidana Penganiayaan Secara

Bersama-sama Pasal 351 KUHP

(30)

terdakwa dijatuhi putusan bebas di Pengadilan Negeri Bulukumba dengan putusan Nomor: 84/PID.B/2013/PN.BLK tanggal 12 November 2013. Penuntut Umum merasa putusan hakim Pengadilan Negeri Bulukumba tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya. Hal ini dijadikan dasar oleh Penuntut Umum untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Alasan kasasi dikabulkan oleh Mahkamah Agung dan Terdakwa I dijatuhi hukuman pidana.

Referensi

Dokumen terkait

Agus Ahyar, M.Sc Ketua CPMU Pamsimas Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR 2 Riche Noviasari, ST, M.Eng Sc Waka CPMU Pamsimas Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR 3 Ir..

Objektif yang telah digariskan dalam kajian yang dilakukan ini adalah untuk mengenalpasti jenis kemahiran insaniah yang terhasil melalui amalan penggunaan sumber bahan bantu

Beliau mengingatkan bahwa “tidaklah cukup bila hanya mengandalkan ilmu yang tinggi, wawasan yang luas tapi tidak bertolak dari ayat tersebut tentu dikhawatirkan pendidik

[r]

Mohammed Arkoun mengakui bahwa sunnah merupakan salah satu sumber otoritas dalam Islam setelah al-Qur’an, dan memaklumi bahwa sunnah (hadis) telah menjadi bidang keilmuan

Berdasarkan data hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perpaduan metode Inquiry dan Reciprocal Teaching dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan sikap

Suatu organisasi dianggap dapat sukses membangun TI dalam suatu kerangka sistem informasi yang lengkap bila telah memenuhi ukuran informasi (efektifitas, efisiensi,