BAB II
DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN
A. Peranan Hakim dalam Peradilan Pidana
Korupsi telah menjadi extra ordinary crimes yang telah nyata menggerogoti dan membahayakan keuangan dan perekonomian negara.
20kumpulan karangan buku ke-2 Mardjono Reksodiputro berpendapat bahwa jika bangsa ini tidak segera menyadari korupsi sebagai akar masalah, sampai kapanpun akan sulit bagi Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan, Mardjono Reksodiputro berpendapat bahwa kejahatan adalah suatu gejala normal di dalam setiap masyarakat yang bercirikan heterogenitas dan perkembangan sosial dan karena itu tidak mungkin disambungkan habis. Perlu ditambahkan bahwa istilah “pemberantasan kejahatan“
adalah kurang tepat karena mengandung pengertian “pemusnahan” dan mungkin istilah yang lebih tepat adalah “pencegah kejahatan”.
21Pendayagunaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga termasuk sebagai kebijakan kriminal, yang menurut Sudarto, sebagai usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Di dalamnya mencakup kebijakan hukum pidana yang disebut juga sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, yang dalam arti paling luas
20
Emile Durkheim, The Normal and the Pathologi, dalam Marvin E.Wolfgang at.al.(ed), The Sosialogy of Crime and Deliquency, Second Edition, John Wiley & Sons, 1990, dalamMardjono Reksodiputro, Kriminology dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan karangan BukuKedua pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi, (Jakarta:
UniversitasIndonesia, 1997), hal. 2
21
Ibid, hal. 3
merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
22Perkembangan pengaturan tindak pidana korupsi ini juga perlu diperhatikan. Adapun perkembangan pengaturan tindak pidana korupsi ini dari masa ke masa yaitu, Perkembangan Pengaturan tentang tindak pidana Korupsi di indonesia ini adalah sebagai berikut :
a. Peraturan penguasa Militer No:Prt/PM-06/1957 tanggal 9 april 1957 b. Peraturan penguasa Perang Pusat Angkatan darat nomor Prt / 013/
Peperpu/01/1958 tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan Perbuatan Korupsi pidana dan Pemilikan harta benda.
c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (LN 72 Tahun 1960 )
d. Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LN.19 Tahun 1971)
Dalam UU No.31 Tahun 1999 jo.UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Telah dirumuskan 30 bentuk atau jenis tindak pidana korupsi dimana kasus yang sering terjadi adalah pelanggaran terhadap pasal 2 dan pasal 3 dari unsur subyektif yang terdapat dalam kedua pasal tersebut, kita dapat melihat bagaimana sebenarnya konsep pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi.
22
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 113, 158.
Konsep Kebijakan Hukum Pidana dalam tindak pidana korupsi pada dasarnya adalah sama dengan konsep kebijakan Pidana dalam hukum pidana umum dalam pasal 2 dan pasal 3, kita dapat melihat adanya unsur kesalahan yaitu dalam rumusan pasal 2 memang tidak menyebut secara langsung unsur
”kesengajaan“ tetapi sebenarnya dalam pasal tersebut secara tersirat menyebut
“dengan sengaja” tergambar secara jelas dalam rumusan Pasal tersebut yaitu
“....dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ..”, dalam bentuk kesengajaan seperti ini dengan kesengajaan sebagai Maksud.
Efektifitas pengaturan tindak pidana korupsi ini juga tidak terlepas dari pihak hakim pengadilan tindak pidana korupsi itu sendiri. Hakim pengadilan tindak korupsi diharapkan mempelajari secara khusus dan mengikuti perkembangan pengaturan dan kegiatan kejahatan tindak pidana korupsi. Posisi hakim berperan penting dalam menentukan keberhasilan dalam menekan efek jera dan juga pelajaran bagi masyarakat, terutama yang sangat dekat dengan praktik kejahatan korupsi.
1. Kemandirian Hakim Pengadilan
Di dalam suatu negara hukum, kekuasaan kehakiman (yudikatif) merupakan badan yang sangat menentukan terhadap substansi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif termasuk hukum pidana. Karena melalui badan inilah konkritisasi hukum positif dilakukan oleh hakim pada putusan-putusannya di depan pengadilan. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan, bahwa bagaimanapun baiknya segala peraturan hukum pidana yang diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha penanggulangan kejahatan, akan tetapi peraturan- peraturan itu tidak ada artinya apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh hakim yang mempunyai kewenangan untuk memberi isi dan kekuatan kepada norma-norma hukum pidana tersebut.
Disini tampaklah bahwa pengadilan/hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman merupakan tumpuan dari segala lapisan masyarakat pencari keadilan (yustisiabelen) untuk mendapat keadilan serta menyelesaikan persoalan-persoalan
tentang hak dan kewajibannya masing-masing menurut hukum. Oleh karenanya dapatlah dimaklumi akan adanya dan terselenggaranya peradilan yang baik, teratur serta memenuhi rasa keadilan masyarakat. Penyelenggaraan peradilan itu dilakukan oleh kekuasaan kehakiman yang merdeka dan pengadilan/hakim yang bebas, guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Iskandar Kamil memberikan pendapat mengenai tugas hakim itu sebagai berikut:
Tugas hakim adalah sebagai pelaksana Kekuaasaan Kehakiman yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan, yang pada dasarnya adalah mengadili. Kata mengadili merupakan
rumusan yang sederhana, namun di dalamnya terkandung pengertian yang sangat
mendasar, luas dan mulia, yaitu meninjau dan menetapkan sesuatu hal secara adil atau memberikan keadilan. Pemberian keadilan tersebut harus dilakukan secara bebas dan mandiri. Untuk dapat mewujudkan fungsi dan tugas hakim tersebut, penyelenggaraan peradilan harus bersifat teknis profesional dan non politis serta non partisan. Peradilan dilakukan sesuai standar profesi berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, tanpa pertimbangan-pertimbangan politis dan pengaruh kepentingan pihak-pihak.
23Dari uraian dan pandangan diatas maka penegakan hukum dan keadilan inilah yang menjadi dasar filosofi dari kemandirian hakim ini. Mengingat dasar filosofi untuk menegakkan hukum dan keadilan inilah, maka kepada hakim perlu diberi kebebasan dari pengaruh kekuasaan ekstra judisial dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan kekuaaan kehakiman. Akan tetapi kebebasan itu harus disadari hanya merupakan kebebasan yang diberikan undang-undang atau hukum (legal right) bukan kebebasan yang bersifat alami (natural right). Oleh karena itu
Ketua Mahkamah Agung dalam keynote speech mengatakan, bahwa kebebasan hakim itu hanya terbatas pada:
a. Bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya.
b. Bebas dari paksaan siapapun.
c. Bebas dari direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial.
2423
Iskandar Kamil, Kode Etik Profesi Hakim, dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct) Code Etik Hakim dan Makalah Berkaitan, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 3003, hal. 9.
24
Ketua Mahakamah Agung RI, Hakim Sebagai Pemegang Mandat Yang Sah
Menerapkan, Menafsirkan dan Melaksanakan Tegaknya Hukum, keynote speech pada diskusi
Sebagai landasan filosofi dari kebebasan hakim, keadilan itu sendiri mempunyai makna yang begitu kaya, sehingga selalu menimbulkan perbedaan dan petentangan dalam menafsirkannya. Walaupun demikian kiranya diusahakan suatu pemahaman yang pokok dan mendasar sehingga dapat disepakati oleh banyak pihak bahwa keadilan itu menjadi tujuan yang hendak dicapai dari kemandirian hakim dalam melaksanakan persidangan.
2. Pengertian Putusan Hakim
Perihal putusan hakim atau ”putusan pengadilan” merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian, dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasanya ”putusan hakim” di satu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum (rechtszekerheids) tentang
”statusnya” dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan hakim tersebut. Sedangkan di lain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakiki yang mengadili perkara, putusan hakim adalah ”mahkota” dan ”puncak”
pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.
25Putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung RI 1985 adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk
panel Kebebasan Hakim dalan Negara Indonesia Yang Berdasarkan Atas Hukum, Ditjen Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Depkeh, 1995, hal. 26.
25
Op.Cit, Lilik Mulyadi, 2007:119
tertulis ataupun lisan. Ada pula yang mengartikan putusan sebagai terjemahan dari kata vonis, yaitu hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan.
26Sedangkan dalam Bab I Pasal 1 Angka 11 KUHAP, putusan pengadilan diartikan sebagai pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Leden Marpaung memberikan pengertian putusan hakim adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan.
273. Jenis-Jenis Putusan
Jenis-jenis putusan hakim menurut KUHAP dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. Putusan yang bukan putusan akhir
Dalam praktik, bentuk putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa penetapan atau putusan sela. Putusan jenis ini mengacu pada ketentuan Pasal 148 dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yaitu dalam hal setelah pelimpahan perkara dan apabila terdakwa dan atau penasehat hukumnya mengajukan keberatan atau eksepsi terhadap surat dakwaan jaksa/penuntut umum.
28Putusan yang bukan putusan akhir antara lain sebagai berikut:
1) Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili.
26
Op.Cit, EviHartanti, 2006:52
27
Leden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika
28
Op.Cit, Lilik Mulyadi, 2007:125
Dalam hal menyatakan tidak berwenang mengadili inidapat terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa penuntut umum membacakan surat dakwaan maka terdakwa atau penasihat hukum terdakwa diberi kesempatan untuk mengajukan eksepsi (tangkisan). Eksepsi tersebut antara lain dapat memuat bahwa Pengadilan Negeri tersebut tidak berkompetensi (wewenang) baik secara relatif maupun absolut. Jika majelis hakim berpendapat sama dengan penasihat hukum maka dapat dijatuhkan putusan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili (Pasal 156 ayat (2) KUHAP).
2) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum.
Dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan apabila dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak cermat, kurang jelas, dan tidak lengkap.
3) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima.
Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima pada dasarnya termsuk kekurangcermatan penuntut umum sebab putusan tersebut dijatuhkan karena:
(a) Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik aduan tidak ada.
(b) Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa sudah pernah diadili (nebis in idem), dan
(c) Hak untuk penuntutan telah hilang karena daluwarsa (verjaring).
b. Putusan Akhir
Putusan akhir dalam praktik lazim disebut dengan isyilah putusan atau eind vonnis dan merupakan jenis putusan bersifat materiil. Pada hakekatnya putusan ini dapat terjadi setelah majelis hakim memeriksa terdakwa yang hadir di persidangan sampai dengan pokok perkara selesai diperiksa (Pasal 182 ayat (3) dan (8), Pasal 197, dan Pasal 199 KUHAP).
29Putusan akhir antara lain sebagai berikut:
1) Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dimana hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum dapat terjadi karena:
(a) Materi hukum pidana yang didakwakan terbukti, tapi bukan merupakan tindak pidana
(b) Terdapat hal-hal yang menghapuskan pidana, antara lain:
30(1) Tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP).
(2) Melakukan di bawah pengaruh daya paksa/overmacht (Pasal 48 KUHP).
(3) Adanya pembelaan terdakwa (Pasal 49 KUHP).
(4) Adanya ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP).
29
Ibid, Lilik Mulyadi, 2007:124
30