• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PAJAK KENDARAAN BERMOTOR (Studi Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PAJAK KENDARAAN BERMOTOR (Studi Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PAJAK

KENDARAAN BERMOTOR

(Studi Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk)

(Jurnal Skripsi)

Oleh

ANGGER BINTANG PAMUNGKAS

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PAJAK

KENDARAAN BERMOTOR

(Studi Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk)

Oleh

Angger Bintang Pamungkas, Tri Andrisman, Budi Rizki Husin Email: angger.bintang@gmail.com.

Pajak kendaraan bermotor seharusnya dikelola dengan baik dan memenuhi asas akuntabilitas publik, tetapi pada kenyataannya dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk, justru pajak tersebut dikorupsi sehingga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp.2.493.785,150.00 (dua miliar empat ratus sebilan puluh tiga juta tujuh ratus delapan puluhlima ribu seratus lima puluh rupiah). Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi pajak kendaraan bermotor dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk? (2) Apakah pidana yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana korupsi pajak kendaraan bermotor dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk telah memenuhi rasa keadilan substantif? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Narasumber penelitian terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi pajak kendaraan bermotor pada Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk terdiri dari: pertimbangan yuridis, yaitu terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum. Pertimbangan filosofis dilihat dari fakta-fakta persidangan yang menurut hakim terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Pertimbangan sosiologisnya dilihat dari tujuan pemidanaan itu sendiri serta alasan-alasan yang dapat meringankan maupun memberatkan terdakwa. (2) Pidana yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana Korupsi Pajak Kendaraan Bermotor dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk belum memenuhi keadilan substantif, karena pidana penjara, pidana denda dan pidana uang pengganti yang dijatuhkan hakim belum optimal dibandingkan dengan sesuai dengan ancaman pidananya. Selain itu tindak pidana korupsi Pajak Kendaraan Bermotor ini dilakukan secara berlanjut sejak Tahun 2014 sampai 2015, dengan jumlah BBNKB dan PKB yang dikorupsi mencapai 111 kendaraan baru

(3)

ABSTRACT

ANALYSIS OF BASIS OF JUDGE'S CONSIDERATION IN IMPOSING PUNISHMENT AGAINST PERPETRATORS OF CORRUPTION CRIME IN

MOTOR VEHICLE TAX

(Study of Decision Number: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk)

Motor vehicle taxes should be properly managed and meet the principles of public accountability, but in reality in Decision Number 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk, the tax is corrupted resulting in a state loss of Rp.2.493.785,150.00 (two billion four hundred ninety three million seven hundred eighty five five thousand one hundred fifty rupiah). Problems in this research are: (1) What is the basis of judge's consideration in imposing punishment against perpetrators of corruption crime in motor vehicle tax in Decision Number: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk? (2) Is the criminal sanction imposed on the perpetrators of corruption of motor vehicle tax in Decision Number: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk has fulfilled the sense of substantive justice? This research uses normative juridical approach and empirical juridical approach. The research subjects consist of District Court Judge Tanjung Karang, Attorney at State Attorney Bandar Lampung and Criminal Law Academician Faculty of Law University of Lampung. Data collection was done by literature study and field study, then the data were analyzed qualitatively. The results of the research and discussion show: (1) The basis of judge's consideration in imposing criminal judgment against perpetrators of corruption crime on motor vehicle tax at Decision Number 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk consists of: juridical consideration, legally and convincingly guilty of committing a criminal act of corruption as charged by the Public Prosecutor. Philosophical considerations are seen from the facts of the trial which the defendant judge proved legally and convincingly guilty of committing a criminal act of corruption. The sociological considerations are seen from the purpose of the criminal act itself and the reasons that can be both lighten and burdensome to the accused. (2) The criminal sanction imposed by the judge on the perpetrators of criminal acts of Motor Vehicle Tax Corruption in Decision Number: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk has not fulfilled substantive justice, due to imprisonment, criminal penalty and substitute money sentenced by judge has not been optimal compared with its criminal threat. In addition, the criminal act of corruption of Motor Vehicle Tax is carried out continuously since 2014 to 2015, with the number of BBNKB and PKB being corrupted to reach 111 new vehicles.

(4)

I. PENDAHULUAN

Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Terjadinya tindak pidana korupsi akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary

crime). Oleh karena itu diperlukan

penegakan hukum yang komprehensif1

Untuk menjamin penanganan perkara tindak pidana korupsi secara benar, adil, tidak ada kesewenang-wenangan, tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, maka terdapat beberapa asas yang harus selalu tampil dalam setiap proses penanganan perkara, yaitu asas tidak berpihak

(impartiality), asas kejujuran dalam

memeriksa dan memutus (fairness), asas beracara benar (prosedural due process), asas menerapkan hukum secara benar yang menjamin dan melindungi hak-hak substantif pencari keadilan dan kepentingan sosial (lingkungan), asas

1 Halim. Pemberantasan Korupsi. Rajawali Press. Jakarta. 2004. hlm. 47.

jaminan bebas dari segala tekanan dan kekerasan dalam proses peradilan. 2

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) tidak menyebutkan secara tegas pengertian korupsi. Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”

Tindak pidana korupsi di Indonesia dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang pada umumnya memiliki posisi penting dalam pemerintahan, termasuk oleh para Pegawai Negeri Sipil di dalam lingkungan pemerintahan daerah.3

Salah satu perkara tindak pidana korupsi adalah tindak pidana korupsi Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Pemungutan dan pengelolaan pajak secara ideal harus dilaksanakan secara transparan dan memenuhi akuntabilitas publik, tetapi pada kenyataannya terjadi tindak pidana korupsi pada Unit

Tindak Pidana Korupsi. Fakutals Hukum

(5)

Pelayanan Cepat Kantor Samsat Gunung Sugih yang dilakukan oleh pegawai tenaga sukarela bernama Ahmad Abe Ronado Alias Abe Bin Riska Saleh, dengan total kerugian negara sebesar Rp.2.493.785,150.00 (dua miliar empar ratus sebilan puluh tiga juta tujuh ratus delapan puluh lima ribu seratus lima puluh rupiah).

Terdakwa Ahmad Abe Ronado Alias Abe Bin Riska Saleh selaku Pegawai pada UPTD Samsat Gunung Sugih yang diberi tugas sebagai pencetak kutipan II berdasarkan Surat Uraian Tugas yang ditandatangani oleh Kepala Pungutan Pajak (KPP) PKB dan BBN-KB Dispenda Gunung Sugih. Besaran PKB dan BBNKB yang menjadi dasar Untuk Penetapannya untuk Tahun 2012 s/d 2014 adalah berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 17 Tahun 2012 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan PKB dan BBNKB Tahun 2012 Jo. Peraturan GubernurNomor 18 Tahun 2012 tentang pemberlakuan secara mutatis mutandis Permendagri Nomor 29 Tahun 2012 Jo. Permendagri Nomor 29 Tahun 2012 tentang Dasar Pengenaan PKB dan BBN-KB. Terdakwa menetapkan besaran PKB dan BBNKB diluar dari ketentuan tersebut di atas, dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri.

Isu hukum dalam penelitian ini adalah pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa masih belum optimal dibandingkan dengan ancaman pidana penjara maksimal sebagaimana dimaksud dalam Dakwaan Primer, yaitu Pasal 2 Ayat (1) UUPTPK. Ancaman pidana maksimal yang seharusnya diterapkan adalah paling lama 20 (dua puluh) tahun penjara, hakim sebenarnya

dapat menjatuhkan pidana lebih maksimal tetapi hakim hanya menjatuhkan pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan atau mendekati ancaman pidana minimal yaitu 4 tahun penjara.

Pidana denda yang dijatuhkan terhadap terdakwa juga masih belum optimal dibandingkan dengan ancaman pidana denda maksimal sebagaimana dimaksud dalam Dakwaan Primer, Pasal 2 Ayat (1) UUPTPK, yaitu paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah. Hakim menjatuhkan pidana denda minimal (sama dengan ancaman minimal) yaitu Rp. 200.000.000, (dua ratus juta rupiah). Selain itu pidana uang pengganti yang dijatuhkan terhadap terdakwa juga masih belum sebanding dengan besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi oleh terdakwa, yaitu sebesar Rp.2.493.785,150.00 (dua miliar empat ratus sebilan puluh tiga juta tujuh ratus delapan puluhlima ribu seratus lima puluh rupiah), tetapi pidana uang penggantinya hanya sebesar Rp. 200.000.000, (dua ratus juta rupiah).

Permasalahan penelitian ini adalah: a. Apakah dasar pertimbangan hakim

dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi pajak kendaraan bermotor dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk?

(6)

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

II.PEMBAHASAN

A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Pajak Kendaraan Bermotor dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk

1. Pertimbangan Yuridis

Hakim dalam memberikan keputusan harus memiliki pertimbangan secara yuridis, yaitu perbuatan tersebut terbukti di dalam fakta persidangan memenuhi ketentuan pelanggaran yang dinyatakan di dalam suatu undang-undang. Dalam kaitannya dengan pidana korupsi, putusan hakim harus mencantumkan perbuatan terdakwa yang memenuhi rumusan pasal tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pelaku tindak pidana Korupsi Pajak Kendaraan Bermotor dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/PN.Tjk bernama Ahmad Abe Ronado Alias Abe Bin Riska Saleh selaku Pegawai pada UPTD Samsat Gunung Sugih yang diberi tugas sebagai pencetak kutipan II berdasarkan Surat Uraian Tugas yang ditandatangani oleh Kepala Pungutan Pajak (KPP) PKB dan BBN-KB Dispenda Gunung Sugih. Besaran PKB

dan BBNKB yang menjadi dasar Untuk Penetapannya untuk Tahun 2012 s/d 2014 adalah berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 17 Tahun 2012 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan PKB dan BBNKB Tahun 2012 Jo. Peraturan GubernurNomor 18 Tahun 2012 tentang pemberlakuan secara mutatis mutandis Permendagri Nomor 29 Tahun 2012 Jo. Permendagri Nomor 29 Tahun 2012 tentang Dasar Pengenaan PKB dan BBN-KB, sehingga terdakwa tidak boleh menetapkan besaran PKB dan BBNKB diluar dari ketentuan tersebut diatas.

Secara yuridis hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tindak pidana tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti yang dimaksud adalah: (a) Keterangan Saksi; (b) Keterangan Ahli; (c) Surat; (d) Petunjuk; (e) Keterangan Terdakwa, atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan sebagaimana diatur Pasal 184 KUHAP.

(7)

(3), maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana.

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini adalah sebagai berikut: 1. Menyatakan Terdakwa Ahmad Abe

Ronado Alias Abe Bin Riska Saleh telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagaimana dalam dakwaan Primair.

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ahmad Abe Ronado Alias Abe Bin Riska Saleh berupa pidana penjara selama 6 (enam) Tahun dan 6 (enam) bulan, dengan perintah terdakwa ditahan dan Denda sebesar Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) subsider 3 (tiga) bulan kurungan.

3. Menghukum terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. Rp.400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah), yang diperhitungkan dengan barang bukti uang tunai pada Penuntut Umum sebesar Rp. Rp.400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) yang dititipkan pada Bank BRI Cabang Bandar Jaya, untuk menutupi uang pengganti tersebut dengan ketentuan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan ini berkekuatan hukum tetap, uang tersebut disetorkan ke kas negara.

Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/PN.Tjk dengan amar putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan Terdakwa, Ahmad Abe Ronado Alias Abe Bin Riska Saleh telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

Tindak Pidana “Korupsi”;

2. Menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa selama : 4 (empat) Tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sejumlah Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;

3. Menghukum terdakwa dengan pidana tambahan berupa uang pengganti sejumlah Rp.Rp.400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah), yang diperhitungkan dengan barang bukti uang tunai pada Penuntut Umum sejumlah Rp. Rp.400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) yang dititipkan pada Bank BRI Cabang Bandar Jaya, untuk menutupi uang pengganti tersebut dengan ketentuan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan ini berkekuatan hukum tetap, uang tersebut disetorkan ke kas Negara

(8)

penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana, sehingga dapat dinyatakan bahwa putusan hakim di satu pihak berguna bagi terdakwa guna memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti dapat berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum banding atau kasasi, melakukan grasi dan sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas maka pembahasan pertimbangan hukum hakim yang bersifat yuridis dapat dibagi menjadi sebagai berikut sesuai dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Menimbang bahwa Jaksa PU telah mengajukan terdakwa ke persidangan dengan dakwaan yang berbentuk subsidaritas (bersusun berlapis).

Dakwaan Primair Penuntut Umum adalah Pasal 2 Ayat (1) Jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Dakwaan primair dalam amar putusan ini adalah terdakwa dikenakan pelanggaran dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 2 Ayat (1)

menyebutkan: “Setiap orang yang secara

melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara paling sedikit empat tahun penjara paling lama dua puluh tahun penjara dan denda paling sedikit Rp 200.000.000.- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyakRp.1.000.000.0000.- ( satu milyar rupiah)”.

2. Pertimbangan Filosofis

Pertimbangan filosiofis merupakan aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan. Penerapan aspek filosofis ini terlihat pada putusan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Bahwa berdasarkan fakta-fakta persidangan, hakim berpendapat terdakwa telah memenuhi dakwaan Jaksa Penuntut Umum, sehingga penjatuhan pidana merupakan implementasi pembuktian pembenaran dalam dalam peristiwa tersebut.

Dasar pertimbangan hukum hakim yang bersifat filosofis merupakan pandangan hakim bahwa korupsi merupakan tindak pidana yang merugikan keuangan negara, sehingga diperlukan suatu mekanisme hukum yang mengedepankan upaya pengembalian kerugian negara, melalui pidana uang pengganti dalam tindak pidana korupsi.

(9)

bendanya yang yang berasal dari hasil korupsi. Sehubungan dengan itu Pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud Ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Upaya pengembalian kerugian keuangan negara oleh Kejaksaan dalam tindak pidana korupsi melalui uang pengganti merupakan salah satu upaya penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Pengembalian tersebut tidaklah mudah karena tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa, yang pelakukanya berasal dari kalangan intelektual dan mempunyai kedudukan penting. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diatur tiga upaya yang perlu dilakukan dalam penyelesaian tunggakan uang pengganti yaitu: Penyitaan dan pelelangan harta benda milik terpidana dan ahli warisnya setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap, melalui putusan subsider pidana penjara, melalui gugatan perdata dan administrasi keuangan. Upaya untuk mencegah terjadinya tunggakan uang pengganti melalui pendataan dan penyitaan harta benda milik terpidana, bagaimana pelunasan uang pengganti melalui hukuman badan (penjara) serta bagaimana penyelesaian tunggakan uang

pengganti melalui upaya perdata dan administrasi keuangan.

Upaya untuk melunasi uang pengganti, jaksa dapat menyita dan melelang harta benda terpidana setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila ketentuan ini dilaksanakan, jaksa akan menemui kesulitan dalam menemukan harta benda milik terpidana atau ahli warisnya. Dan kemungkinan timbulnya tunggakan uang pengganti sangat besar.

Oleh karena pendataan dan penyitaan harta benda milik tersangka harusnya sudah dilakukan sejak penyidikan. Untuk itu memerlukan optimalisasikan tugas dan fungsi Kejaksaan di bidang penyidikan dan intelijen yustisial. Optimalisasi tugas dan fungsi Kejaksaan di bidang intelijen dalam menemukan harta kekayaan negara yang dikorupsi tidak terhenti pada proses penyidikan tetapi terus berlanjut pada penuntutan, eksekusi dan upaya perdata.

3. Pertimbangan Sosiologis

Pertimbangan sosiologis oleh hakim adalah mengedepankan prinsip pembinaan terhadap pelaku kejahatan sehingga memberikan kesempatan bagi pelaku kejahatan untuk melakukan perubahan atau penyesuaian pidana. Pelaku yang dijatuhi pidana telah berkekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan.

(10)

hakim melalui putusanya. Hakim yang membuat putusan tersebut harus mempertimbangkan dari segi manfaat serta nilai keadilan bagi terdakwa dan negara. Cara hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap perkara pidana yang diajukan kepadanya adalah dengan melakukan sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, di samping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik

Dasar hukum hakim dalam penjatuhan pidana terhadap para pelaku harus memenuhi nilai keadilan baik bagi pelaku itu sendiri maupun bagi negara dan meiliki manfaat serta efek jera bagi para pelaku pidana agar dikedepan harinya tidak mengulangi perbuatan pidana. Putusan hakim tersebut masih dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian namun tidak boleh lebih berat dari putusan semula dan harus dengan persetujuan pelaku pidana. Perubahan atau penyesuaian dapat berupa pencabutan atau penghentian sisa pidana atau tindakan dan penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya. Tujuan pemidanaan adalah berorientasi untuk pembinaan terpidana, yakni dengan menyatakan bahwa terpidana yang memenuhi syarat-syarat dimungkinkan dilakukan perubahan atau penyesuaian ats pidananya, yang disesuaikan dengan kemajuan positif yang diperoleh selama terpidana dalam pembinaan.

Penerapan pidana terhadap pelaku pidana korupsi Pajak Kendaraan Bermotor didasarkan pada kesalahan

terdakwa pelaku tindak pidana korupsi merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang. Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana korupsi harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa dengan ukuran norma penghati-hati atau penduga-duga, seraya memperhitungkan di dalamnya segala keadaan dan juga keadaan pribadi pelaku tindak pidana korupsi. Jadi segala keadaan yang objektif dan yang menyangkut pelaku sendiri harus diteliti dengan seksama. Untuk menentukan niat dari pelaku tindak pidana korupsi dapat digunakan ukuran apakah ia ada kewajiban untuk berbuat lain.

(11)

B. Pidana yang Dijatuhkan Hakim terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Pajak Kendaraan Bermotor dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk dalam Perspektif Keadilan Substantif

Keadilan adalah kehendak yang ajek, tetap untuk diberikan kepada siapa pun sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dan tuntutan zaman. Korelasi antara filsafat, hukum dan keadilan sangat erat, karena terjadi tali temali antara kearifan, norma dan keseimbangan hak dan kewajiban. Hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat dan negara, materi hukum digali, dibuat dari nilai-nilai yang terkandung dalam bumipertiwi yang berupa kesadaran dan cita hukum

(rechtidee), cita moral, kemerdekaan

individu dan bangsa, perikemanusiaan, perdamaian, cita politik dan tujuan negara. Hakim sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman mempunyai kewenangan melalui putusannya yang didasarkan pada keyakinan, integritas moral yang baik serta mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Hal ini sesuai dengan fungsi hukum sebagai instrumen untuk melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa.

Hakim berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Perlindungan hukum juga dapat menimbulkan pertanyaan yang kemudian meragukan keberadaan hukum. Hukum harus memberikan perlindungan

terhadap semua pihak sesuai dengan status hukumnya karena setiap orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. Aparat penegak hukum wajib menegakkan hukum dan dengan berfungsinya aturan hukum, maka secara tidak langsung pula hukum akan memberikan perlindungan pada tiap hubungan hukum atau segala aspek dalam kehidupan masyarakat yang diatur oleh hukum.

(12)

peranannya sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan.

Pandangan negatif masyarakat terhadap hakim dapat dihindari dengan memutus perkara secara adil dan teliti, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan terhadap suatu putusan. Dari dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh dan berkembang adanya sikap/sifat kepuasan moral jika keputusan yang dibuatnya dapat menjadi tolak ukur untuk kasus yang sama, sebagai bahan referensi bagi kalangan teoritis dan praktisi hukum serta kepuasan nurani jika sampai dikuatkan dan tidak dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung jika perkara tersebut sampai ke tingkat banding atau kasasi.

Ketentuan mengenai perumusan pidana maksimum dan minimum dikenal dengan pola pemidanaan baru, yaitu minimum khusus dengan tujuan untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk tindak pidana yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya bagi tindak pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat. Ketentuan mengenai pidana penjara menganut asas maksimum khusus dan minimum khusus. Pada prinsipnya, pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya.

Ketentuan pidana minimum (khusus) dan maksimum menegaskan bahwa

terhadap kejahatan-kejahatan yang meresahkan masyarakat diberlakukan ancaman secara khusus. Hal ini sesuai dengan tujuan pidana yaitu prevensi atau pencegahan, sanksi pidana merupakan sanksi yang paling istimewa, karena kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh kaidah-kaidah hukum pidana adalah nyawa, badan (kebebasan), kehormatan dan harta benda manusia, di samping kepentingan-kepentingan negara. Walaupun tujuan pemidanaan bukan merupakan suatu hal yang baru, tetapi dampak dari pemidanaan yang berkenaan dengan kelanjutan kehidupan terpidana, khususnya dampak stigmatisasi terhadap terpidana dan keluarganya, menumbuhkan aliran-aliran dalam hukum pidana yang lebih baru yang mengkreasi jenis-jenis pidana lain yang dianggap lebih menghormati harkat dan martabat manusia, di samping ingin mencapai tujuan pemidanaan itu sendiri.

Pnjatuhan sanksi pidana harus merupakan hal yang paling penting dipertimbangkan hakim, karena menyangkut kepentingan tersebut, yang berbeda dengan sanksi perdata atau administasi yang berkenaan dengan sifat-sifat kebendaan. Pembebanan pidana harus diusahakan agar sesuai dan seimbang dengan nilai-nilai kesadaran hukum, nilai-nilai mana bergerak menurut perkembangan ruang, waktu dan keadaan yang mewajibkan pengenaan suatu nestapa yang istimewa sifatnya, sebagai suatu reaksi terhadap aksi dalam penjatuhan pidana.

(13)

kehendak atau aspirasi masyarakat, sebab itu hukum yang baik akan menjamin kepastian hak dan kewajiban secara seimbang kepada tiap-tiap orang. Tujuan hukum, di samping menjaga kepastian hukum juga menjaga sendi-sendi keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal utama bagi kepastian hukum yakni, adanya peraturan itu sendiri. tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya, adalah diluar pengutamaan nilai kepastian hukum. Dengan adanya nilai yang berbeda-beda tersebut, maka penilaian mengenai keabsahan hukum atau suatu perbuatan hukum, dapat berlain-lainan tergantung nilai mana yang dipergunakan.

Berdasarkan uraian di atas maka menurut penulis pidana yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana Korupsi Pajak Kendaraan Bermotor dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk belum memenuhi keadilan substantif, karena pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa masih belum optimal dibandingkan dengan sesuai dengan ancaman pidana penjara maksimal sebagaimana dimaksud dalam Dakwaan Primer, yaitu Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK). Ancaman pidana maksimal yang seharusnya diterapkan adalah paling lama 20 (dua puluh) tahun penjara, hakim sebenarnya dapat menjatuhkan pidana lebih maksimal tetapi hakim hanya menjatuhkan pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan atau

mendekati ancaman pidana minimal yaitu 4 tahun penjara.

Pidana denda yang dijatuhkan terhadap terdakwa juga masih belum optimal dibandingkan dengan ancaman pidana denda maksimal sebagaimana dimaksud dalam Dakwaan Primer, Pasal 2 Ayat (1) UUPTPK, yaitu paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah. Hakim menjatuhkan pidana denda minimal (sama dengan ancaman minimal) yaitu Rp. 200.000.000, (dua ratus juta rupiah). Selain itu pidana uang pengganti yang dijatuhkan terhadap terdakwa juga masih belum sebanding dengan besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi oleh terdakwa, yaitu sebesar Rp.2.493.785,150.00 (dua miliar empat ratus sebilan puluh tiga juta tujuh ratus delapan puluhlima ribu seratus lima puluh rupiah), tetapi pidana uang penggantinya hanya sebesar Rp. 200.000.000, (dua ratus juta rupiah).

(14)

Uraian di atas sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pemidanaan Agar Setimpal dengan Berat dan Sifat Kejahatannya. Surat Edaran tersebut menyatakan bahwa kecenderungan meningkatnya kualitas dan kuantitas tindak pidana terutama di bidang ekonomi memerlukan penanganan serta kebijakan pemidanaan secara khusus. Mahkamah Agung mengharapkan supaya pengadilan menjatuhkan pidana yang sungguh-sungguh setimpal beratnya dan sifat tindak pidana tersebut jangan sampai menjatuhkan pidana yang menyinggung rasa keadilan di dalam masyarakat.

III. PENUTUP

A. Simpulan

1. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi pajak kendaraan bermotor pada Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk terdiri dari: pertimbangan yuridis, yaitu terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum. Pertimbangan filosofis dilihat dari fakta-fakta persidangan yang menurut hakim terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Pertimbangan sosiologisnya dilihat dari tujuan pemidanaan itu sendiri serta alasan-alasan yang dapat meringankan maupun memberatkan terdakwa.

2. Pidana yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana Korupsi Pajak Kendaraan Bermotor dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk belum memenuhi keadilan substantif, karena pidana penjara, pidana denda dan pidana uang pengganti yang dijatuhkan hakim belum optimal dibandingkan dengan sesuai dengan ancaman pidananya. Selain itu tindak pidana korupsi Pajak Kendaraan Bermotor ini dilakukan secara berlanjut sejak Tahun 2014 sampai 2015, dengan jumlah BBNKB dan PKB yang dikorupsi mencapai 111 kendaraan baru.

B. Saran

1. Majelis hakim yang menangani tindak pidana korupsi di masa yang akan datang hendaknya lebih cermat dan tepat dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana korupsi mengingat tindak pidana ini merupakan kejahatan luar biasa, sehingga pidana yang dijatuhkan hendaknya pidana yang luar biasa pula.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Syed Husein. 1983. Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan

dengan Data Kontemporer,

LP3ES, Jakarta

Ali, Mahrus. 2011. Hukum Pidana

Korupsi di Indonesia, UII Press,

Yogyakarta

Atmadja, Arifin P. Soeria. 2007.

Keuangan Publik dalam

Perspektif Hukum Teori,

Praktik dan Kritik, Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem

Peradilan Pidana, Binacipta,

Bandung

Halim. 2004. Pemberantasan Korupsi. Rajawali Press. Jakarta.

Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara

Pidana. Ghalia Indonesia.

Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Seseorang yang mempunyai kemampuan interpersonal memadai akan menjadi pelaku tari yang baik. Ini disebabkan seperti Edi Sedyawati katakan bahwa rasa indah yang dihayati kemudian

Berdasarkan hasil perhitungan skor rata-rata pengetahuan tentang penanganan cedera olahraga yaitu sebesar 56% maka dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan

- Jawaban dibuktikan dengan dokumen rapat kelulusan seperti undangan, daftar hadir, notula rapat) yang dihadiri oleh guru kelas, guru mata pelajaran,

Saran, para guru dapat menggunakan software CNC Bubut KELLER Q plus sebagai media pembelajaran program diklat mesin bubut CNC karena siswa lebih mudah dalam memahami materi

Siti Rahayu Hassan, Mohammad Syuhaimi Ab-Rahman, Aswir Premadi and Kasmiran Jumari. The Development of Heart Rate Variability Analysis Software for Detection of Individual

Bagian A merupakan modus latihan dengan komponen F0 adalah layer input yang berfungsi melakukan normalisasi sampel training sehingga diperoleh gelombang pulsa yang sama panjang,

Whereas duty ethics would urge such an agent to follow moral principles when she is in doubt as to what to do in a given situation, virtue ethics suggests that agents are guided

‘I have matter here that will vindicate John the moment it is seen by the right people, and make Ned Kelley a wanted man.’.. Jane