ABSTRAK
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERBANKAN
DALAM PERKARA NOMOR: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK
Oleh
GEDE ARYA S.S
Setiap pegawai bank yang seharusnya melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam aktivitas perbankan, tetapi pada kenyataannya pegawai bank melakukan tindak pidana dengan modus pembiayaan fiktif, sehingga menimbulkan kerugian bagi lembaga perbankan itu sendiri maupun bagi nasabah atau pihak ketiga lainnya. Permasalahan penelitian ini adalah: Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perbankan dalam Perkara Nomor: 483/Pid.Sus./2013/ PN.TK? Apakah putusan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perbankan dalam Perkara Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK telah memenuhi keadilan subtantif?
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan empiris. Narasumber penelitian terdiri dari JPU pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Akademisi Hukum Pidana Universitas Lampung. Data dikumpulkan melalui studi pustaka dan studi lapangan, yang selanjutnya dianalisis secara yuridis kualitatif.
1
Gede Arya S.S
Saran dalam penelitian ini adalah: Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana perbankan disarankan untuk mempertimbangkan berbagai aspek yang menyebabkan terjadinya tindak pidana, kepentingan masyarakat terhadap pemberantasan tindak pidana perbankan dan kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan terdakwa. Pidana terhadap pelaku tindak pidana perbankan hendaknya dioptimalkan melalui sistem pemidanaan yang adil. Aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana hendaknya menerapkan profesionalisme sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing, sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan meningkatkan kewibawaaan sistem peradilan pidana.
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERBANKAN
DALAM PERKARA NOMOR: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK
Oleh
GEDE ARYA S.S
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERBANKAN
DALAM PERKARA NOMOR: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK
(Skripsi)
Oleh
GEDE ARYA S.S
NPM. 1112011153
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
Halaman
I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 9
E. Sistematika Penulisan ... 16
II TINJAUAN PUSTAKA ... 18
A. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana... 18
B. Tindak Pidana Perbankan ... 20
C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana... 29
D. Keadilan Substantif ... 33
III METODE PENELITIAN... 36
A. Pendekatan Masalah... 36
B. Sumber dan Jenis Data ... 36
C. Prosedur Pengumpulan Data ... 38
D. Prosedur Pengolahan Data ... 38
E. Analisis Data ... 39
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 40
A. Karakteristik Narasumber ... 40
C. Keadilan Substantif Putusan Hakim yang Menjatuhkan Pidana terhadapPelaku Tindak Pidana Perbankan dalam Perkara Nomor:
483/Pid.Sus./2013/PN.TK... 58
V PENUTUP... 67
A. Simpulan ... 67
B. Saran... 68
MOTO
“Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat Anda gunakan untuk mengubah dunia”
-Nelson
Mandela-“Jika kamu tidak dapat melakukan hal yang hebat, maka lakukan lah hal kecil dengan cara yang hebat”
-Napoleon
Hill-“ Urakan berbedadari kurang ajar. Urakan melanggar aturan termasuk aturan berfikir demi mengikuti hati nurani. Kurang ajar melanggar aturan
hanya demi melanggar”
Tedjo-PERSEMBAHAN
Segala puji syukur kepada IDA SANG HYANG WIDHI WASA yang telah
memberikan segala nikmat dengan kasih sayang-Nya yang tiada tertandingi
sehingga Skripsi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya
Skripsi ini penulis persembahkan untuk orang-orang yang terkasih yang saya
sayangi dan saya hormati dalam hidup saya
Terima kasih kepada IDA SANG HYANG WIDHI WASA, Tuhan semesta alam
yang telah memberikan kesehatan, keselamatan, serta limpahan berkah, rahmat dan
segala kecerdasan kepada saya
Teruntuk ayah dan ibu tercinta
Wayan Putu Sudiarna
dan
Nyoman Partini
,
anugerah tuhan yang paling tulus yang diberikan kepada saya karena telah
memiliki orang tua yang senantiasa mencintai, menyayangi, dan senantiasa
mendoakan dalam setiap sujudnya kepada Sang Pencipta, memberikan segala
pengorbanan dan kebaikannya, semoga TUHAN senantiasa merahmati dan
memberkahi serta selalu memberi limpahan kesehatan kepada Ayah dan Ibu.
Teruntuk Kakak dan adik-adikku yang ku sayangi Wayan Nensi Lia Kristiana .
Komang Indra dan Nyoman Karma Yoga
yang selalu memberikan penyegaran dan semangat.
Untuk seluruh ibu dan bapak dosenku di Fakultas Hukum Universitas Lampung ,
terutama untuk dosen Pembimbing Akademik Bapak Deni Achmad, S.H., M.H
dosen Pembimbing I Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H dan dosen Pembimbing II
Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H terima kasih atas segala ilmu, bimbingan,
pelajaran, seluruh kebaikan serta waktu yang diluangkan
demi terselesaikannya Skripsi ini.
Untuk Almamater Universitas Lampung yang telah menjadi jalan untuk tempatku
melangkah menuju masa depan
Dan untuk semua yang menjadi bagian hidupku, yang tak mampu kusebutkan satu
persatu. Kupersembahkan ini untuk kalian semua, terima kasih atas doa dan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 16 Oktober 1994,
Penulis merupakan buah hati pasangan Bapak Wayan Putu
Sudiarna dan Ibu Nyoman Partini.
Jenjang pendidikan formal yang penulis tempuh
adalah pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) Xaverius Jambi
diselesaikan pada tahun 1999. Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Dharma Agung
Lampung Tengah diselesaikan pada tahun 2005. Sekolah Menengah Pertama (SMP)
di SMP Negeri 1 Seputih Mataram Lampung Tengah diselesaikan pada tahun 2008.
Sekolah Menengah Atas (SMA) YP UNILA Bandar Lampung diselesaikan pada
tahun 2011. Pada tahun 2011, penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Mandiri. Di Fakultas Hukum Universitas
Lampung, penulis mengambil minat Hukum Pidana. Penulis mengikuti Kuliah Kerja
Nyata (KKN) di Kampung Sidodadi Kecamatan Penawartama Kabupaten Tulang
SANWACANA
Dengan nama Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang Maha pengasih dan Maha
Penyayang. Segala puji bagi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang tak henti-hentinya
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.
Penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, tidak terlepas pula peran serta dan bantuan
dari berbagai pihak. pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Sugeng P. Hariyanto selaku Rektor Universitas Lampung
2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H.,M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
3. Ibu Diah Gustiniati Mauliani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
4. Bapak Dr Maroni, S.H,.M.H., selaku pembimbing I pada penulisan skripsi ini.
Terima kasih atas masukan dan saran-saran pada seminar terdahulu sampai
menuju ujian akhir.
5. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H, selaku pembimbing II pada penulisan skripsi
ini. Terima kasih atas masukan dan saran-saran pada seminar terdahulu sampai
6. Ibu Dr. Nikmah Rosidah. S.H., M.H., selaku pembahas I yang telah banyak
memberikan masukan, kritik dan saran yang membangun.
7. Bapak Reynaldy Amrullah. S.H., M.H., selaku penguji yang telah banyak
memberikan masukan, kritik dan saran yang membangun
8. Bapak Deni Achmad. S.H., M.H. selaku pembimbing akademik penulis yang
selalu memberikan masukan arahan saran dan kritik yang penulis tidak dapat
melupakannya
9. Bapak dan Ibu Dosen Hukum Pidana Unila. Terima kasih atas bimbingan dan
ilmu yang telah diberikan selama ini.
10. Mbak Sri, Mbak Yanti dan juga Babe, Kiay Apri, Kiay Basri dan Kiay Zamroni,
terima kasih atas bantuannya selama ini dalam menyelesaikan segala keperluan
administrasi kami.
11. Keluargaku tercinta Ayahku Wayan Putu Sudiarna, Ibuku tercinta Nyoman
Partini yang tak henti-hentinya menyayangiku, memberikan do’a, dukungan,
semangat serta menantikan keberhasilanku. Kakakku Wayan Nensi Lia Kristiana,
Komang Indra yang selalu memberikan semangat adikku Nyoman Karma Yoga
yang serta nenekku tercinta Ketut Berandi yang selalu membuat penulis
tersenyum, terima kasih untuk do’a dan semangat yang selalu terucap untukku.
Untuk Om Mangku,Om sukre, Om Mudiane, Tante Ratna, Tante Darmayanti, Ibu
Sukri yang selalu memberikan doa dan dukungan dalam menyusundan
12. Untuk sepupu-sepupuku di Fakultas Hukum Ferdian, Lia, Mufty Ardian aka
Abah, Odi, Mamed, Putra, Dery Mangau, Eri, Tyo, Danan Tcuk, Himawan aka
Naw Surya, Fahmi, Darvi, Okem, Hilman dan Udin. Terima kasih atas motivasi
dan kegilaan pernah kita lewati bersama.
13. Sahabat penulis Gendon, Galuh, Samid, Bona, Yordi, Anggew, Aldo, Iqbal,
Agung, Adit, Septa, Bowo, Edi, Tyo Perut, dan semuanya yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu terima kasih semuanya, keluarga besar yp dan pepaya
14. Untuk keluarga besar Hima Pidana yang sudah seperti keluarga kecil yang
harmonis Aga, Deswandi, Dopdon, Odi, Mute, Tria, Sarah, tifany, Fajar,
Hindiana, Abdoel, Ami, Mamad, Fitri, Andika, Ayi dan keluarga lainnya yang
tidak bisa sebutkan satu persatu, terima kasih atas pelajaran yang kalian ajarkan
terima kasih atas semua pengalaman.
15. Sahabatku yang sudah menjadi teman di kala susah dan sedih Angga, Gendon,
Galuh, Putra Tilek, Samid Kumis, Ateng, Didi Tato, Yoga Sume, Pacul, Tegar,
Ate, Bayu dan David Datuk.
16. Teman-teman seperjuangan di Fakultas Hukum Grace Mangap, Indah Mangap,
Fitri, Eka, Ijul, Hilman Sob, Aga, Adnan, Ajo, Rahmawan Ahong, Riefkho, Jevi,
Sofie, Angga, Galang, Murni, Bery Madun, Zahra, Irvan, dan semuanya yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu terima kasih semuanya.
17. Teman dan keluarga KKN Pekon Sidodadi: Beni, Angga, Ani, Ayu, Bang Ishan,
Mas Arbie, Wahyu, Preti, Bapk Parjan dan Ibu, terima kasih atas kebersamaan
18. Semua yang mengisi dan mewarnai hidupku, terima kasih atas kasih sayang,
kebaikan dan dukungannya yang telah memberikan pelajaran buatku, serta semua
pihak yang telah memberi hikmah dan membantu dalam penulisan skripsi ini
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan dalam
penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi
pembaca.
Bandar Lampung, 18 Agustus 2015 Penulis,
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perbankan sebagai lembaga keuangan mempunyai peran yang sangat strategis
dalam kegiatan perekonomian melalui kegiatan usahanya menghimpun dana
masyarakat dan menyalurkan pembiayaan bagi usaha-usaha produktif maupun
konsumtif, sekaligus menjadi penentu arah bagi perumusan kebijakan pemerintah
di bidang moneter dan keuangan dalam mendukung stabilitas pembangunan
nasional, khususnya untuk dapat menjadi tempat penyimpanan dana yang aman,
tempat yang diharapkan dapat melakukan kegiatan perpembiayaanan demi
kelancaran dunia usaha dan perdagangan1
Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan tidak terlepas dari
kebutuhan masyarakat untuk mengajukan pinjaman atau pembiayaan kepada
bank. Pembiayaan merupakan suatu istilah yang sering disamakan dengan hutang
atau pinjaman yang pengembaliannya dilaksanakan secara mengangsur. Hal ini
menunjukkan bahwa upaya seseorang untuk memenuhi kebutuhan dana atau
finansial dapat ditempuh dengan melakukan pinjaman atau pembiayaan kepada
bank. Setiap aktivitas perbankan harus memenuhi asas ketaatan perbankan, yaitu
segala kegiatan perbankan yang diatur secara yuridis dalam Undang-Undang
1
2
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, serta termasuk menjalankan
prinsip-prinsip perbankan (prudent banking) dengan cara menggunakan rambu-rambu
hukum berupa safe dan sound. Kegiatan bank secara yuridis dan secara umum
adalah penarikan dana masyarakat, penyaluran dana kepada masyarakat, kegiatan
fee based, dan kegiatan dalam bentuk investasi.
Semakin banyak kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank, semakin banyak pula
kesempatan yang akan timbul yang memungkinkan seseorang atau sekelompok
orang untuk melakukan perbuatan melawan hukum terhadap dunia perbankan.
Semakin luas kesempatan yang muncul, juga akan berbanding lurus dengan
semakin banyaknya jenis dan ruang lingkup tindak pidana perbankan berdasarkan
peraturan umum dalam undang-undang perbankan dan yang diatur khusus dalam
perundang-undangan di luar Undang-Undang Perbankan. Bank harus menjaga
kepercayaan masyarakat dengan cara menggunakan dana nasabahnya secara
bertanggungjawab yang diwujudkan dalam bentuk laporan pertanggungjawaban
yang akan diumumkan langsung kepada publik melalui media massa, maupun
diberikan kepada Bank Indonesia dan/ atau otoritas jasa keuangan.
Tindak pidana perbankan pada dasarnya merupakan perbuatan melawan hukum
yang dilakukan baik dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja yang ada
hubungannya dengan lembaga, perangkat dan produk perbankan, sehingga
menimbulkan keruguian metriil dan atau immateriil bagi perbankan itu sendiri
3
Secara umum kejahatan di bidang perbankan adalah kejahatan yang digolongkan
dalam peraturan perundang-undangan di bidang hukum admnistrasi yang memuat
sanksi-sanksi pidana. Istilah kejahatan di bidang perbankan adalah untuk
menampung segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan
kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Kejahatan di bidang perbankan
adalah salah satu bentuk dari kejahatan ekonomi yang sering dilakukan dengan
menggunakan bank sebagai sasaran dan sarana kegiatannya dengan modus yang
sangat sulit dipantau atau dibuktikan berdasarkan undang-undang perbankan.
Modus operansi kejahatan di bidang perbankan dilakukan melalui memperoleh
kredit dari bank dengan cara menggunakan dokumen atau jaminan palsu, fiktif,
penyalahgunaan pemakaian kredit, mendapat kredit berulang-ulang dengan
jaminan objek yang sama, memerintahkan, menghilangkan, menghapuskan, tidak
membukukan yang seharusnya dipenuhi. Di samping itu modus operandinya juga
memaksa bank atau pihak yang terafeliasi memberikan keterangan yang wajib
dirahasiakan, tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhinya kepada bank
Indonesia maupun kepada Penyidik Negara, menerima, meminta, mengijinkan,
menyetujui untuk menerima imbalan, uang tambahan, pelayanan komisi, uang
atau barang berharga untuk kepentingan pribadi dalam rangka orang lain
mendapat kredit, uang muka, prioritas kredit atau persetujuan orang lain untuk
melanggar batas maksimum pemberian kredit (BMKP)2
2
4
Salah satu modus yang dilakukan dalam tindak pidana perbankan adalah
pembiayaan fiktif. Hal ini diatur dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa Anggota Dewan
Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja:
a. Membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
b. Menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
c. Mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Menurut penjelasan Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) butir a dan b, istilah pengawai
bank dalam pasal tersebut mempunyai pengertian yang berbeda. Dalam ketentuan
Pasal 49 ayat (1) dan ketentuan Pasal 49 ayat (2) butir a bahwa yang dimaksud
dengan pegawai bank adalah semua pejabat dan karyawan bank, sedangkan dalam
Pasal 49 ayat (2) butir b yang dimaksud dengan pegawai bank adalah pejabat bank
yang mempunyai wewenang dan tanggungjawab tentang hal-hal yang berkaitan
dengan usaha bank yang bersangkutan.
Salah satu perkara tindak pidana perbankan dengan modus pembiayaan fiktif di
Provinsi Lampung terjadi pada BRI Cabang Telukbetung, yang empat berkas
perkara kredit fiktif PT Natar Perdana Motor (NPM) yang diberikan oleh BRI
5
sebagai avalis (lembaga pembiayaan) mengajukan kredit kendaraan bermotor
kepada PT BRI KCU Telukbetung sebanyak 16.274 kreditor senilai Rp180 miliar.
Dari jumlah kreditor tersebut, 10.795 kreditor atau senilai Rp81,2 miliar
dinyatakan fiktif karena persyaratan yang digunakan adalah persyaratan kreditor
atau nasabah lama. Sehingga merugikan kreditor fiktif tersebut yang tidak dapat
mengajukan kredit ke bank. Pada 4 Januari 2012 permasalahan tersebut
dilaporkan pada Polda Lampung dengan nomor laporan LP/A-60/I/2012. Perkara
itu sendiri diinformasikan setahun sebelumnya. Dalam laporan itu dijelaskan,
proses kredit yang dilakukan oleh pihak BRI diduga dilakukan untuk menutupi
pengambilan dana di BRI oleh PT NPM sebesar Rp 81,2 miliar dan terkesan dana
tersebut diberikan BRI atas pengajuan dan permohonan kredit para debitur.
Kenyataannya, para debitur yang sekaligus sebagai konsumen di PT NPM, tidak
pernah mengajukan dan menerima fasilitas kredit dari PT BRI KCU Teluk
Betung.3
Terkait dengan tindak pidana perbankan dengan modus pembiayaan fiktif, para
pelaku juga diancam dengan Pasal 266 ayat (1) KUHP, yaitu barang siapa
menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai
sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud
untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah
keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat
menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Pasal 266
ayat (2) KUHP menyatakan bahwa diancam dengan pidana yang sama barang
siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya
3
6
tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika
pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Setiap pelaku tindak pidana perbankan harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya di depan hukum yang berlaku. Pertanggungjawaban pidana pada
dasarnya merupakan ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang
dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan
hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar
tanggungjawab moralnya masing-masing. Selain itu pertanggungjawaban pidana
dapat bermanfaat untuk mencapai situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan
dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pertanggungjawaban pidana
dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak
lain pertanggungjawaban pidana itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain
dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa.
Pertanggungjawaban pidana mengakui asas-asas atau keadaan yang meringankan
pertanggungjawaban pidana,mendasarkan pada keadaan obyektif dan
mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak
pidana. Dengan kata lain tujuan pertanggungjawaban pidana adalah untuk
mencapai manfaat untuk melindungi masyarakat dan menuju kesejahteraan
masyarakat. Tujuan pertanggungjawaban pidana bukan merupakan pembalasan
kepada pelaku di mana sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah
agar orang tidak melakukan kejahatan. Ketentuan mengenai pemidanaan ini juga
memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan atau penyesuaian pidana
7
berkekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan
mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan.
Perkara tindak pidana perbankan dengan modus pembiayaan fiktif di Provinsi
Lampung terjadi pada BRI Cabang Telukbetung, yang empat berkas perkara
kredit fiktif PT Natar Perdana Motor (NPM) yang diberikan oleh BRI Cabang
Telukbetung, sebagaimana terdapat dalam Perkara Nomor: 483/Pid.Sus./2013/
PN.TK. Terdakwa Didit Wijayanto, SE, MM Bin Agus Suroso dijatuhi pidana
penjara selama 3 (tiga tahun) dan denda sebesar Rp.2.000.000.000, 00 (dua miliar
rupiah) subsider dua bulan kurungan.
Berdasarkan data di atas maka terdapat kesenjangan antara ketentuan Pasal 49
ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dengan
pelaksanaan di lapangan yaitu dalam Perkara Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK.
Peneliti bermaksud melakukan penelitian dengan judul: Analisis Pertimbangan
Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana terhadap pelaku tindak pidana perbankan
dalam Perkara Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap
pelaku tindak pidana perbankan dalam Perkara Nomor: 483/Pid.Sus./2013/
8
b. Apakah putusan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak
pidana perbankan dalam Perkara Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK telah
memenuhi keadilan Substantif?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah hukum pidana, dengan kajian
mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku
tindak pidana perbankan dalam Perkara Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK dan
keadilan substantif putusan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku
tindak pidana perbankan dalam Perkara Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK.Ruang
lingkup lokasi penelitian adalah pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung
Karang dan waktu penelitian dilaksanakan tahun 2014.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian
ini adalah untuk:
a. Mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap
pelaku tindak pidana perbankan dalam Perkara Nomor: 483/Pid.Sus./2013/
PN.TK;
b. Mengetahui keadilan Substantif dalam putusan hakim dalam menjatuhkan
pidana terhadap pelaku tindak pidana perbankan dalam Perkara Nomor:
9
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah:
a. Kegunaan secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu
hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perbankan dalam
Perkara Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK dan putusan hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perbankan dalam Perkara
Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK telah memenuhi keadilan Substantif.
b. Kegunaan secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran
bagi pihak-pihak yang membutuhkan informasi dan akan melakukan
penelitian mengenai pertanggungjawaban pidana.
D. Kerangka Teori dan Konseptual 1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan pengabstraksian hasil pemikiran sebagai kerangka
acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian ilmiah, khususnya
dalam penelitian ilmu hukum.4 Kerangka pemikiran dalam penelitian ini
didasarkan pada berbagai teori sebagai berikut:
a. Teori Dasar Pertimbangan Hakim
Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian
kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses
4
10
penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian,
putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian, yaitu saling
berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara
keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain atau saling
berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain (Pasal 184 KUHAP).
Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan
kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya.
Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan
dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju
kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak
ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan
yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum. Sebagai
pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan
dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini
dilakukan oleh hakim melalui putusannya. Fungsi hakim adalah memberikan
putusan terhadap perkara yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu
tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menetukan
bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping
adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim
yang dilandasi dengan integritas moral yang baik.5
Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim
dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:
5
11
a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;
b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;
c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.6
Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan
mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak
tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim
dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus
mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang
sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku,
kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat.
Menurut Mackenzie ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan
oleh hakim dalam penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:
a. Teori keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan disini keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan terdakwa.
b. Teori pendekatan seni dan intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim dalam memutuskan suatu perkara dengan pertimbangan yang baik.
c. Teori pendekatan keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara,
6Ibid,
12
hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.
d. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun berkaitan dengan masyarakat.
e. Teori Ratio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara, sehingga akan tercipta kepastian hukum .
f. Teori kebijaksanaan
Teori ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, di mana sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak. Aspek ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggungjawab untuk membimbing, membina, mendidik dan melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bagi bangsanya.7
b. Teori Keadilan Substantif
Keadilan substantif terfokus atau berorientasi kepada nilai-nilai fundamental yang
terkandung didalam hukum. Sehingga hal-hal yang menitikberatkan kepada aspek
prosedural akan di ‘nomorduakan’. Secara teoritik, keadilan substantif dibagi ke
dalam empat bentuk keadilan, yakni keadilan distributif, keadilan retributif,
keadilan komutatif, dan keadilan korektif. Keadilan distributif menyangkut
pengaturan dasar segala sesuatu, buruk baik dalam mengatur masyarakat.
Berdasarkan keadilan ini, segala sesuatu dirancang untuk menciptakan hubungan
7
13
yang adil antara dua pihak/masyarakat. Prinsip pokok dalam keadilan distributif
adalah setiap orang harus mendapat/andil/kesempatan yang sama untuk
memperoleh keadilan.8
Alasan yang muncul keharusan ditegakannya keadilan substantif karena keadilan
berdasarkan hukum tidak selalu terkait kepada ketentuan-ketentuan
formal-prosedural. Hal itulah yang kemudian menjadi acuan dalam diri hakim MK saat
memberikan putusan pada setiap perkara yang masuk ke lembaganya. Sebagai
lembaga yang mengawal konstitusi (the guardian of constitution) dan penafsir
konstitusi, maka konsekwensinya menjamin hak-hak rakyat yang telah ditegaskan
dalam konstitusi. Salah satu hak yang harus dijamin adalah rasa keadilan.
Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil.
Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada
yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip,
yaitu: pertama tidak merugikan seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap
manusia apa yang menjadi haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah
itu dikatakan adil.9
Pada praktiknya, pemaknaan keadilan dalam penanganan sengketa-sengketa
hukum ternyata masih dapat diperdebatkan. Banyak pihak merasakan dan menilai
bahwa lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan prosedur,
formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu
sengketa. Agaknya faktor tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap
8
Mahfud M.D.,Penegakan Keadilan di Pengadilan, http://mahfudmd.com 9
14
hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi
hukum. Hakim semestinya mampu menjadi seorang interpretator yang mampu
menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh
kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu peraturan
perundang-undangan, karena hakim bukan lagi sekedar pelaksana undang-undang. Artinya,
hakim dituntut untuk memiliki keberanian mengambil keputusan yang berbeda
dengan ketentuan normatif undang-undang, sehingga keadilan substansial selalu
saja sulit diwujudkan melalui putusan hakim pengadilan, karena hakim dan
lembaga pengadilan hanya akan memberikan keadilan formal.
Keadilan substantif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan
hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang
tidak berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat. Ini berarti bahwa apa yang
secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan
substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal
salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil
(hakim dapat menoleransi pelanggaran procedural asalkan tidak melanggar
substansi keadilan). Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim
harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan keadilan
substantif berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi
rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang
15
2. Konseptual
Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan
dalam melaksanakan penelitian10. Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan
pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Pertimbangan hakim adalah bentuk kebebasan hakim dalam memeriksa dan
mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap
dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada
satu pihak yang dapat menginterpensi hakim dalam menjalankan tugasnya
tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak
hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat
perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban,
keluarganya dan rasa keadilan masyarakat.11
b. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan
melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam
undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib
hukum dan terjaminnya kepentingan umum.12
c. Tindak pidana perbankan adalah setiap jenis perbuatan melanggar hukum
yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank.
Modus operansi kejahatan di bidang perbankan dilakukan melalui
memperoleh pembiayaan dari bank dengan cara menggunakan dokumen atau
jaminan palsu, fiktif, penyalahgunaan pemakaian pembiayaan, mendapat
10
Soerjono Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.103
11
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta. 2010, hlm.101.
12
16
pembiayaan berulang-ulang dengan jaminan objek yang sama,
memerintahkan, menghilangkan, menghapuskan, tidak membukukan yang
seharusnya dipenuhi.13
d. Keadilan substantif adalah keadilan yang diberikan sesuai dengan
aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan
prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat14
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan disusun untuk memudahkan dan memahami isi Skripsi
secara keseluruhan dengan rincian sebagai berikut:
I Pendahuluan, bab ini berisi Latar Belakang Masalah, Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori,
dan Sistematika Penulisan
II Tinjauan Pustaka, bab ini berisi tentang pengertian dan unsur-unsur tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, tindak pidana perbankan, penanggulangan
tindak pidana dan penegakan hukum pidana.
III Metode Penelitian,Bab ini berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Prosedur Pengumpulan dan
Pengolahan Data serta Analisis Data.
13
Marfei Halim.Mengurai Benang Kusut, Bank Indonesia, Jakarta, 2002.hlm. 34 14
17
IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, bab ini berisi deskripsi dan analisis terhadap hasil penelitian yaitu dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
pidana terhadap pelaku tindak pidana perbankan dalam Perkara Nomor:
483/Pid.Sus./2013/PN.TK serta analisis terhadap putusan hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perbankan dalam Perkara
Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK telah memenuhi keadilan Substantif
V Penutup, berisi kesimpulan atas hasil penelitian yang berupa jawaban atas permasalahan dan saran-saran yang diajukan kepada pihak-pihak yang berkaitan
18
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,
melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang
yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan
dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan.1
Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya
tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.2
Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar sebagai berikut:
a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain
kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam
Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu
bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II
dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum
pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.
1
Hamzah, Andi. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia.Jakarta. 2001. hlm. 22
2
19
b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel
Delicten) dan tindak pidana materil(Materiil Delicten). Tindak pidana formil
adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu
adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang
pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan
akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang
itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana.
c. Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana
sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten).
Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara
lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja
menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan
sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat
dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan
matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan
Pasal 360 KUHP.
d. Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif
juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya
diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya
Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana
pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana
murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana
yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya
20
tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat
dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur
terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal
338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal.3
B. Tindak Pidana Perbankan
Tindak pidana perbankan pada dasarnya merupakan perbuatan melawan hukum
dilakukan, baik dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja yang ada
hubungannya dengan lembaga, perangkat dan produk perbankan, sehingga
menimbulkan keruguian metriil dan atau immateriil bagi perbankan itu sendiri
maupun bagi nasabah atau pihak ketiga lainnya.4
Terdapat perbedaan antara tindak pidana perbankan dengan tindak pidana di
bidang perbankan, perbedaanya terdapat pada perlakuan peraturan terhadap
perbuatan yang telah melanggar hukum yang berkaitan dengan usaha menjalankan
industri perbankan, perlakuan tersebut dapat kita lihat pada:
a. Tindak pidana perbankan terdiri dari perbuatan-perbuatan pelanggaran
terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang
Pokok-Pokok Perbankan. Pelanggaran mana dilarang dan diancam dengan hukuman
oleh UU ini.
b. Tindak pidana di bidang perbankan lainnya yang terdiri atas
perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha
pokok bank, terhadap perbuatan mana dapat diperlakukan peraturan-peraturan
3
Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 25-27
4
21
pidana di luar Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967, seperti:
a. KUHP sebagai peraturan hukum pidana
b. Peraturan-peraturan hukum pidana khusus, seperti undang-undang tentang
tindak pidana korupsi, undang-undang tentang lalu lintas devisa.
c. Peraturan-peraturan lain yang berhubugan dengan kegiatan bank dan yang
memuat ketentuan pidananya.5
Eksistensi, karakteristik, bentuk dan jenis perumusan tindak pidana di bidang
perbankan tidak hanya terbatas pada perumus dan dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan, melainkan mencakup tindak pidana lainnya yang diatur dan
tersebar di luar UU Perbankan yang ada relevansinya dengan kegiatan perbankan,
seperti dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalulintas Devisa dan Sistem
Nilai Tukar, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kejahatan
perbankan walaupun dikatakan sebagai tindak pidana ekonomi, namun pada
dasarnya kejahatan perbankan sudah termasuk kejahatan di bidang perbankan. Hal
ini dapat digolongkan menjadi tiga kategori yakni:
a. Kejahatan fisik, maksudnya adalah kejahatan perbankan yang melibatkan
fisik dan merupakan kejahatan yang konvensional serta berhubungan dengan
perbankan, contohnya perampokan bank, penipuan dan lain-lain.
b. Kejahatan Pelanggaran Administrasi perbankan, maksudnya adalah bank
sebagai lembaga pelayanan publik, maka banyak ketentuan administrasi
5
22
dibebankan oleh hukum kepadanya, bahkan pelanggaran beberapa ketentuan
administrasi dianggap oleh hukum sebagai tindak pidana, hal ini meliputi
operasi bank tanpa ijin; tidak memenuhi pelaporan kepada Bank Sentral; dan
tidak memenuhi ketentuan Bank Sentral tentang kecukupan modal, batas
maksimum pemberian pembiayaan, persyaratan pengurus dan komisaris,
merger, akuisisi serta konsolidasi bank dan lain-lain.
c. Kejahatan Produk bank, maksudnya adalah kejahatan perbankan yang
dihubungkan dengan produk bank seperti, pemberian pembiayaan yang tidak
benar, misalnya pembiayaan tanpa agunan atau agunan fiktif, pemalsuan
warkat, seperti cek, wesel, danletter of credit, pemalsuan kartu pembiayaan,
transfer uang kepada yang tidak berhak.6
Selain yang telah tersebut di atas terdapat pula kejahatan perbankan yang disebut
sebagai pelanggaran moralitas perbankan, sebagaimana tercantum dalam Kode
Etik Bankir Indonesia, yang berisikan sebagai berikut:
1) Patuh dan taat pada ketentuan perundang-undangan dan peraturan-peraturan
yang berlaku.
2) Melakukan pencatatan yang benar mengenai segala transaksi yang bertalian
dengan kegiatan banknya.
3) Menghindarkan diri dari persaingan yang tidak sehat.
4) Tidak menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi.
5) Menghindarkan diri dari keterlibatan pengambilan keputusan dalam hal
terdapat pertentangan kepentingan.
6) Menjaga rahasia nasabah dan banknya.
6
23
7) Memperhatikan dampak yang merugikan dari setiap kebijakan yang
ditetapkan bank terhadap keadaan ekonomi, sosial dan lingkungannya.
8) Tidak menerima hadiah/ imbalan yang memperkaya diri pribadi atau keluarga.
9) Tidak melakukan perbuatan tercela yang dapat merugikan citra profesinya.
Pelanggaran kode etik secara yuridis tidak dapat dikategorikan sebagai tindak
pidana (crime), tetapi secara kriminologis dapat diketegorikan dalam pengertian
criminal behavior dalam konsepsi white collar crime. Kejahatan perbankan dilihat
dari berbagai kasus pembobolan bank disebabkan oleh kalangan intern bank dan
bentuk kontrol kejahatannya terdapat dalam dua jenis kejahatan perbankan, yaitu :
1) Error omission berupa pelanggaran terhadap suatu ketentuan berupa sistem
dan prosedur yang seharusnya dipatuhi tetapi tidak dilaksanakan.
2) Error Commision berupa pelanggaran dalam bentuk melaksanakan sesuai
yang seharusnya tidak boleh, karena tidak tertulis dalam sistem dan prosedur,
maka tetap saja dilakukan.
Pelanggaran terhadap error omission selalu ada sanksi administratif, tetapi
pelanggaran terhadaperror commission sanksinya bersifat normatif yang terdapat
dalam code of conduct, dan kebanyakan kejahatan perbankan di Indonesia
terdapat dalam bentukerror commission khususnya dalamdelivery system.
Secara umum kejahatan di bidang perbankan adalah kejahatan yang digolongkan
dalam peraturan perundang-undangan di bidang hukum admnistrasi yang memuat
sanksi-sanksi pidana. Istilah kejahatan di bidang perbankan adalah untuk
menampung segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan
24
pidana di bidang perbankan menunjukkan bahwa suatu tindak pidana yang
dilakukan dalam menjalankan fungsi dan usahanya sebagai bank dan dapat
dikategorikan sebagai tindak pidanan ekonomi. Kejahatan di bidang perbankan
adalah salah satu bentuk dari kejahatan ekonomi yang sering dilakukan dengan
menggunakan bank sebagai sasaran dan sarana kegiatannya dengan modus yang
sangat sulit dipantau atau dibuktikan berdasarkan undang-undang perbankan.
Modus operansi kejahatan di bidang perbankan dilakukan melalui memperoleh
pembiayaan dari bank dengan cara menggunakan dokumen atau jaminan palsu,
fiktif, penyalahgunaan pemakaian pembiayaan, mendapat pembiayaan
berulang-ulang dengan jaminan objek yang sama, memerintahkan, menghilangkan,
menghapuskan, tidak membukukan yang seharusnya dipenuhi. Di samping itu
modus operandinya juga memaksa bank atau pihak yang terafeliasi memberikan
keterangan yang wajib dirahasiakan, tidak memberikan keterangan yang wajib
dipenuhinya kepada bank Indonesia maupun kepada Penyidik Negara, menerima,
meminta, mengijinkan, menyetujui untuk menerima imbalan, uang tambahan,
pelayanan komisi, uang atau barang berharga untuk kepentingan pribadi dalam
rangka orang lain mendapat pembiayaan, uang muka, prioritas pembiayaan atau
persetujuan orang lain untuk melanggar batas maksimum pemberian pembiayaan7
Modus operandi yang terbaru pada kejahatan di bidang perbankan adalah
penyimpangan penggunaan BLBI, seperti membayar atau melunasi kewajiban
kepada pihak terkait, membayar atau melunasi dana pihak ketiga yang melanggar
7
25
ketentuan, serta membiayai biaya-biaya lain (pembayaran pajak, pembayaran pada
pihak ketiga yang masih mempunyai kewajiban pada bank).
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, memiliki sifat konvensional dan
memenuhi unsur-unsur pidana, tetapi kejahatan di bidang perbankan berupa
penyalahgunaan BLBI dalam kenyataanya menjadi lemah, karena kesulitan untuk
mendeteksinya. Permasalahannya adalah kejahatan di bidang perbankan berawal
dari terjadinya kolusi dalam kegiatannya.
Terkait dengan modus pembiayaan terhadap nasabah fiktif, telah terjadi tindak
pidana pemalsuan, sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP:
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pasal 266 KUHP:
(1) Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;
26
3. Prinsip Kehati-Hatian dalam Aktivitas Perbankan
Setiap aktivitas perbankan harus memenuhi asas ketaatan perbankan, yaitu segala
kegiatan perbankan yang diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan, serta termasuk menjalankan prinsip-prinsip
perbankan (prudent banking) dengan cara menggunakan rambu-rambu hukum
berupa safe dan sound. Kegiatan bank secara yuridis dan secara umum adalah
penarikan dana masyarakat, penyaluran dana kepada masyarakat, kegiatan fee
based, dan kegiatan dalam bentuk investasi. Prinsip kehati-hatian dalam aktivitas
perbankan, khususnya yang berhubungan dengan penyaluran kredit kepada
nasabah diimplementasikan dengan prinsip Know Your Customer (KYC) adalah
prinsip pengenalan pelanggan, dimana lembaga keuangan harus mengenal
pelanggan, seperti identitas, sumber penghasilan, alamat tempat tinggal, tempat
usaha maupun kantor pelanggan.8
Tujuan penerapan prinsip KYC adalah sebagai berikut:
a. Memungkinkan perusahaan pembiayaan mengenal dan memahami para
pelanggan
b. Untuk memungkinan Lembaga keuangan memiliki identifikasi positif atas
para pelanggannya.
c. Menyediakan sistem pengawasan internal pada kegiatan yang sedang
berlangsung.
8
27
d. Informasi yang terkumpul dari pelanggan adalah untuk keperluan penutupan
asuransi dan akan tetap dijaga kerahasiaannya.9
Pencucian uang terdiri dari serangkaian transaksi keuangan yang kompleks yang
berasal dari dana yang dikembangkan secara ilegal. Transaksi ini bertujuan untuk
menyamarkan asal dari dana tersebut dengan cara menyusupkan bagian-bagian
dari dana pada sektor ekonomi dan keuangan di dalam maupun melintasi
batas-batas Negara. Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah (know your customer
principles) merupakan hal yang relatif baru untuk industri jasa keuangan di
Indonesia. Prinsip Mengenal Nasabah membantu melindungi reputasi dan
integritas sistem perbankan dengan mencegah perbankan digunakan sebagai alat
kejahatan keuangan. Penerapan prinsip mengenal nasabah (Know Your Customer
Principle) ini didasari pertimbangan bahwa prinsip ini penting dalam rangka
prudential banking untuk melindungi bank dari berbagai risiko dalam
berhubungan dengan nasabah.
Untuk melindungi kepentingan perbankan dan dalam hal penegakan prudential
system,maka bank harus melakukan berbagai upaya antara lain:
a. Bank harus mengetahui identitas nasabah yang akan atau sedang
menggunakan jasa perbankan(know your customer principles);
b. Manajemen bank harus menjamin bahwa transaksi yang dilakukan telah sesuai
dengan kode etik dan peraturan atau ketentuan yang berkaitan dengan
transaksi tersebut (prudential system) UU No 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan;
9
28
c. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan ketentuan rahasia bank, bank harus
bekerjasama dengan aparat penegak hukum sesuai ketentuan yang berlaku
(bank secrecy).10
Pada tanggal 18 Juni 2001 Bank Indonesia mengeluarkan peraturan mengenai
pentingnya diterapkan oleh bank-bank tentang penerapan mengenali nasabah.
Peraturan mengenai penerapan prinsip tersebut tertuang dalam Peraturan Bank
Indonesia No 3/10/PBI/2001 Lembaran Negara 2001 No 78, Tambahan Lembaran
Negara No 4107. Peraturan Bank Indonesia, selanjutnya disebut PBI ini mengatur
tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah(Know Your Customer Principles).
Peraturan ini kemudian dirubah dengan Peraturan Bank Indonesia No
3/23/PBI/2001 tertanggal 13 Desember 2001 (Lembaran Negara 2001 No 151,
Tambahan Lembaran Negara No 4160). Kewajiban untuk menerapkan prinsip
mengenal nasabah tidak hanya terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia saja,
tetapi juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2003, selanjutnya disebut dengan UUTPPU. Pasal 17 UUTPPU
menjelaskan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dengan penyedia jasa
keuangan harus menyerahkan identitas diri secara lengkap, disamping itu
penyedia jasa keuangan juga harus memastikan orang yang melakukan hubungan
usaha bertindak untuk diri sendiri atau orang lain. Jika bertindak untuk orang lain,
maka penyedia jasa keuangan harus meminta informasi mengenai identitas pihak
lain tersebut.
10
29
Prinsip Mengenal Nasabah diartikan sebagai prinsip yang diterapkan bank untuk
mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan identitas nasabah yang
dilanjutkan kemudian dengan memantau kegiatan transaksi nasabah dan bilamana
terdapat kegiatan transaksi yang mencurigakan supaya dilaporkan. Kewajiban
pokok dari lembaga bank dalam Prinsip Mengenal Nasabah terdiri dari 4 (empat)
hal, yakni a) Menetapkan kebijakan penerimaan nasabah; b) Menetapkan
kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi nasabah; c) Menetapkan
kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi nasabah; d)
Menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko.
C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana
Secara yuridis, seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa
tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a).
Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan
Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu
dibuktikan (Pasal 184).11
Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan
diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian dapat
dikonklusikan lebih jauh bahwasannya putusan hakim di satu pihak berguna bagi
terdakwa guna memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus
11
30
dapat mempersiapakan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti
dapat berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding, atau
kasasi, melakukan grasi dan sebagainya.
Selanjutnya menurut Lilik Mulyadi 12, apabila ditelaah melalui visi hakim yag
mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan
nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, HAM, penguasaan hukum atau fakta secara
mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas
dari hakim yang bersangkutan. Teori dasar pertimbangan hakim masih menurut
menurut Lilik Mulyadi, yaitu putusan hakim yang baik, mumpuni, dan sempurna
hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan empat kriteria dasar pertanyaan
(the 4 way test), yakni:
1) Benarkah putusanku ini?
2) Jujurkah aku dalam mengambil putusan?
3) Adilkah bagi pihak-pihak putusan?
4) Bermanfaatkah putusanku ini?
Putusan bebas adalah jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan
di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan terdakwa yang didakwakan epadanya
jika terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191
ayat (1) KUHAP).
Praktiknya walaupun telah bertitiktolak dari sifat/sikap seseorang Hakim yang
baik, kerangka landasan berfikir/bertindak dan melalui empat buah titik
pertanyaan tersebut di atas, maka hakim ternyata seorang manusia biasa yang
12
31
tidak luput dari kelalaian, kekeliruan/kekhilafan (rechterlijk dwaling), rasa
rutinitas, kekurang hati-hatian, dan kesalahan. Dalam praktik peradilan, ada saja
aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap tidak diperhatikan hakim dalam
membuat keputusan.
Putusan hakim merupakan puncak dari perkara pidana, sehingga hakim harus
mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek yuridis, sehingga
putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan
yuridis. Pada hakikatnya dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut
diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi
hukum (van rechtswege nietig atau null and void) karena kurang pertimbangan
hukum (onvoldoende gemotiverd). Praktik peradilan pidana pada putusan hakim
sebelum pertimbangan-pertimbangan yuridis dibuktikan, maka hakim terlebih
dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan
konklusi kumulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang
bukti yang diajukan dan diperiksa di persidangan.
Hakim menurut Barda Nawawi Arief,13 dalam mengambil keputusan pada sidang
pengadilan, mempertimbangkan beberapa aspek non yuridis sebagai berikut:
a. Kesalahan pelaku tindak pidana
Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang.
Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku
tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana harus
ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya
13
32
kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang harus
memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.
b. Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana
Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyai
motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum
c. Cara melakukan tindak pidana
Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih
dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terdapat unsur niat
di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.
d. Sikap batin pelaku tindak pidana
Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa
penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku
juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan
melakukan perdamaian secara kekeluargaan.
e. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi
Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat
mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman bagi pelaku,
misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal
dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan
sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).
f. Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana
Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan tidak
berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya. Maka hal yang di atas
33
bagi pelaku. Karena hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau
bertanggung jawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus
terang dan berkata jujur. Karena akan mempermudah jalannya persidangan.
g. Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku
Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku
tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi
perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku,
memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga
menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.
h. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku
Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakan pelaku adalah
suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi hukuman,
agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak
melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal
tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya
kebenaran dan keadilan juga kepastian hukum.
D. Keadilan Substantif
Keadilan secara umum diartikan sebagai perlakuan yang adil, tidak berat sebelah,
tidak memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat
adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu: pertama tidak merugikan seseorang
dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika
kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil.14
14
34
Pada praktiknya, pemaknaan keadilan dalam penanganan sengketa-sengketa
hukum ternyata masih dapat diperdebatkan. Banyak pihak merasakan dan menilai
bahwa lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan prosedur,
formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu
sengketa. Faktor tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum
yang kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum.
Hakim semestinya mampu menjadi seorang interpretator yang mampu
menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh
kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu peraturan
perundang-undangan, karena hakim bukan lagi sekedar pelaksana undang-undang. Artinya,
hakim dituntut untuk memiliki keberanian mengambil keputusan yang berbeda
dengan ketentuan normatif undang-undang, sehingga keadilan substansial selalu
saja sulit diwujudkan melalui putusan hakim pengadilan, karena hakim dan
lembaga pengadilan hanya akan memberikan keadilan formal.15
Keadilan substantif terfokus atau berorientasi kepada nilai-nilai fundamental yang
terkandung didalam hukum. Sehingga hal-hal yang menitikberatkan kepada aspek
prosedural akan di ‘nomorduakan’. Secara teoritik, kedalilan substantif dibagi ke
dalam empat bentuk keadilan, yakni kedailan distributif, keadilan retributif,
kedilan komutatif, dan keadilan korektif. Kedilan distributif menyangkut
pengaturan dasar segala sesuatu, buruk baik dalam mengatur masyarakat.
Berdsarkan keadilan ini, segala sesuatu dirancang untuk menciptakan hubungan
yang adil antara dua pihak/masyarakat. Prinsip pokok dalam keadilan distributif
15Ibid,
35
adalah setiap orang harus mendapat/andil/kesempatan yang sama untuk
memperoleh keadilan.16
Alasan yang muncul keharusan ditegakannya keadilan substantif karena keadilan
berdasarkan hukum tidak selalu terkait kepada ketentuan-ketentuan
formal-prosedural. Hal itulah yang kemudian menjadi acuan dalam diri hakim MK saat
memberikan putusan pada setiap perkara yang masuk ke lembaganya. Sebagai
lembaga yang mengawal konstitusi dan penafsir konstitusi, maka konsekwensinya
ialah menjamin hak-hak rakyat yang telah ditegaskan dalam konstitusi. Salah satu
hak yang harus dijamin adalah rasa keadilan.
16