• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERBANKAN DALAM PERKARA NOMOR: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERBANKAN DALAM PERKARA NOMOR: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERBANKAN

DALAM PERKARA NOMOR: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK

Oleh

GEDE ARYA S.S

Setiap pegawai bank yang seharusnya melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam aktivitas perbankan, tetapi pada kenyataannya pegawai bank melakukan tindak pidana dengan modus pembiayaan fiktif, sehingga menimbulkan kerugian bagi lembaga perbankan itu sendiri maupun bagi nasabah atau pihak ketiga lainnya. Permasalahan penelitian ini adalah: Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perbankan dalam Perkara Nomor: 483/Pid.Sus./2013/ PN.TK? Apakah putusan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perbankan dalam Perkara Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK telah memenuhi keadilan subtantif?

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan empiris. Narasumber penelitian terdiri dari JPU pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Akademisi Hukum Pidana Universitas Lampung. Data dikumpulkan melalui studi pustaka dan studi lapangan, yang selanjutnya dianalisis secara yuridis kualitatif.

(2)

1

Gede Arya S.S

Saran dalam penelitian ini adalah: Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana perbankan disarankan untuk mempertimbangkan berbagai aspek yang menyebabkan terjadinya tindak pidana, kepentingan masyarakat terhadap pemberantasan tindak pidana perbankan dan kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan terdakwa. Pidana terhadap pelaku tindak pidana perbankan hendaknya dioptimalkan melalui sistem pemidanaan yang adil. Aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana hendaknya menerapkan profesionalisme sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing, sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan meningkatkan kewibawaaan sistem peradilan pidana.

(3)

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERBANKAN

DALAM PERKARA NOMOR: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK

Oleh

GEDE ARYA S.S

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERBANKAN

DALAM PERKARA NOMOR: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK

(Skripsi)

Oleh

GEDE ARYA S.S

NPM. 1112011153

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 9

E. Sistematika Penulisan ... 16

II TINJAUAN PUSTAKA ... 18

A. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana... 18

B. Tindak Pidana Perbankan ... 20

C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana... 29

D. Keadilan Substantif ... 33

III METODE PENELITIAN... 36

A. Pendekatan Masalah... 36

B. Sumber dan Jenis Data ... 36

C. Prosedur Pengumpulan Data ... 38

D. Prosedur Pengolahan Data ... 38

E. Analisis Data ... 39

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 40

A. Karakteristik Narasumber ... 40

(6)

C. Keadilan Substantif Putusan Hakim yang Menjatuhkan Pidana terhadapPelaku Tindak Pidana Perbankan dalam Perkara Nomor:

483/Pid.Sus./2013/PN.TK... 58

V PENUTUP... 67

A. Simpulan ... 67

B. Saran... 68

(7)
(8)
(9)

MOTO

“Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat Anda gunakan untuk mengubah dunia”

-Nelson

Mandela-“Jika kamu tidak dapat melakukan hal yang hebat, maka lakukan lah hal kecil dengan cara yang hebat”

-Napoleon

Hill-“ Urakan berbedadari kurang ajar. Urakan melanggar aturan termasuk aturan berfikir demi mengikuti hati nurani. Kurang ajar melanggar aturan

hanya demi melanggar”

(10)

Tedjo-PERSEMBAHAN

Segala puji syukur kepada IDA SANG HYANG WIDHI WASA yang telah

memberikan segala nikmat dengan kasih sayang-Nya yang tiada tertandingi

sehingga Skripsi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya

Skripsi ini penulis persembahkan untuk orang-orang yang terkasih yang saya

sayangi dan saya hormati dalam hidup saya

Terima kasih kepada IDA SANG HYANG WIDHI WASA, Tuhan semesta alam

yang telah memberikan kesehatan, keselamatan, serta limpahan berkah, rahmat dan

segala kecerdasan kepada saya

Teruntuk ayah dan ibu tercinta

Wayan Putu Sudiarna

dan

Nyoman Partini

,

anugerah tuhan yang paling tulus yang diberikan kepada saya karena telah

memiliki orang tua yang senantiasa mencintai, menyayangi, dan senantiasa

mendoakan dalam setiap sujudnya kepada Sang Pencipta, memberikan segala

pengorbanan dan kebaikannya, semoga TUHAN senantiasa merahmati dan

memberkahi serta selalu memberi limpahan kesehatan kepada Ayah dan Ibu.

(11)

Teruntuk Kakak dan adik-adikku yang ku sayangi Wayan Nensi Lia Kristiana .

Komang Indra dan Nyoman Karma Yoga

yang selalu memberikan penyegaran dan semangat.

Untuk seluruh ibu dan bapak dosenku di Fakultas Hukum Universitas Lampung ,

terutama untuk dosen Pembimbing Akademik Bapak Deni Achmad, S.H., M.H

dosen Pembimbing I Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H dan dosen Pembimbing II

Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H terima kasih atas segala ilmu, bimbingan,

pelajaran, seluruh kebaikan serta waktu yang diluangkan

demi terselesaikannya Skripsi ini.

Untuk Almamater Universitas Lampung yang telah menjadi jalan untuk tempatku

melangkah menuju masa depan

Dan untuk semua yang menjadi bagian hidupku, yang tak mampu kusebutkan satu

persatu. Kupersembahkan ini untuk kalian semua, terima kasih atas doa dan

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 16 Oktober 1994,

Penulis merupakan buah hati pasangan Bapak Wayan Putu

Sudiarna dan Ibu Nyoman Partini.

Jenjang pendidikan formal yang penulis tempuh

adalah pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) Xaverius Jambi

diselesaikan pada tahun 1999. Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Dharma Agung

Lampung Tengah diselesaikan pada tahun 2005. Sekolah Menengah Pertama (SMP)

di SMP Negeri 1 Seputih Mataram Lampung Tengah diselesaikan pada tahun 2008.

Sekolah Menengah Atas (SMA) YP UNILA Bandar Lampung diselesaikan pada

tahun 2011. Pada tahun 2011, penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Mandiri. Di Fakultas Hukum Universitas

Lampung, penulis mengambil minat Hukum Pidana. Penulis mengikuti Kuliah Kerja

Nyata (KKN) di Kampung Sidodadi Kecamatan Penawartama Kabupaten Tulang

(13)

SANWACANA

Dengan nama Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang Maha pengasih dan Maha

Penyayang. Segala puji bagi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang tak henti-hentinya

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini.

Penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, tidak terlepas pula peran serta dan bantuan

dari berbagai pihak. pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis

ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Sugeng P. Hariyanto selaku Rektor Universitas Lampung

2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H.,M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

3. Ibu Diah Gustiniati Mauliani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung.

4. Bapak Dr Maroni, S.H,.M.H., selaku pembimbing I pada penulisan skripsi ini.

Terima kasih atas masukan dan saran-saran pada seminar terdahulu sampai

menuju ujian akhir.

5. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H, selaku pembimbing II pada penulisan skripsi

ini. Terima kasih atas masukan dan saran-saran pada seminar terdahulu sampai

(14)

6. Ibu Dr. Nikmah Rosidah. S.H., M.H., selaku pembahas I yang telah banyak

memberikan masukan, kritik dan saran yang membangun.

7. Bapak Reynaldy Amrullah. S.H., M.H., selaku penguji yang telah banyak

memberikan masukan, kritik dan saran yang membangun

8. Bapak Deni Achmad. S.H., M.H. selaku pembimbing akademik penulis yang

selalu memberikan masukan arahan saran dan kritik yang penulis tidak dapat

melupakannya

9. Bapak dan Ibu Dosen Hukum Pidana Unila. Terima kasih atas bimbingan dan

ilmu yang telah diberikan selama ini.

10. Mbak Sri, Mbak Yanti dan juga Babe, Kiay Apri, Kiay Basri dan Kiay Zamroni,

terima kasih atas bantuannya selama ini dalam menyelesaikan segala keperluan

administrasi kami.

11. Keluargaku tercinta Ayahku Wayan Putu Sudiarna, Ibuku tercinta Nyoman

Partini yang tak henti-hentinya menyayangiku, memberikan do’a, dukungan,

semangat serta menantikan keberhasilanku. Kakakku Wayan Nensi Lia Kristiana,

Komang Indra yang selalu memberikan semangat adikku Nyoman Karma Yoga

yang serta nenekku tercinta Ketut Berandi yang selalu membuat penulis

tersenyum, terima kasih untuk do’a dan semangat yang selalu terucap untukku.

Untuk Om Mangku,Om sukre, Om Mudiane, Tante Ratna, Tante Darmayanti, Ibu

Sukri yang selalu memberikan doa dan dukungan dalam menyusundan

(15)

12. Untuk sepupu-sepupuku di Fakultas Hukum Ferdian, Lia, Mufty Ardian aka

Abah, Odi, Mamed, Putra, Dery Mangau, Eri, Tyo, Danan Tcuk, Himawan aka

Naw Surya, Fahmi, Darvi, Okem, Hilman dan Udin. Terima kasih atas motivasi

dan kegilaan pernah kita lewati bersama.

13. Sahabat penulis Gendon, Galuh, Samid, Bona, Yordi, Anggew, Aldo, Iqbal,

Agung, Adit, Septa, Bowo, Edi, Tyo Perut, dan semuanya yang tidak bisa penulis

sebutkan satu persatu terima kasih semuanya, keluarga besar yp dan pepaya

14. Untuk keluarga besar Hima Pidana yang sudah seperti keluarga kecil yang

harmonis Aga, Deswandi, Dopdon, Odi, Mute, Tria, Sarah, tifany, Fajar,

Hindiana, Abdoel, Ami, Mamad, Fitri, Andika, Ayi dan keluarga lainnya yang

tidak bisa sebutkan satu persatu, terima kasih atas pelajaran yang kalian ajarkan

terima kasih atas semua pengalaman.

15. Sahabatku yang sudah menjadi teman di kala susah dan sedih Angga, Gendon,

Galuh, Putra Tilek, Samid Kumis, Ateng, Didi Tato, Yoga Sume, Pacul, Tegar,

Ate, Bayu dan David Datuk.

16. Teman-teman seperjuangan di Fakultas Hukum Grace Mangap, Indah Mangap,

Fitri, Eka, Ijul, Hilman Sob, Aga, Adnan, Ajo, Rahmawan Ahong, Riefkho, Jevi,

Sofie, Angga, Galang, Murni, Bery Madun, Zahra, Irvan, dan semuanya yang

tidak bisa penulis sebutkan satu persatu terima kasih semuanya.

17. Teman dan keluarga KKN Pekon Sidodadi: Beni, Angga, Ani, Ayu, Bang Ishan,

Mas Arbie, Wahyu, Preti, Bapk Parjan dan Ibu, terima kasih atas kebersamaan

(16)

18. Semua yang mengisi dan mewarnai hidupku, terima kasih atas kasih sayang,

kebaikan dan dukungannya yang telah memberikan pelajaran buatku, serta semua

pihak yang telah memberi hikmah dan membantu dalam penulisan skripsi ini

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan dalam

penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi

pembaca.

Bandar Lampung, 18 Agustus 2015 Penulis,

(17)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perbankan sebagai lembaga keuangan mempunyai peran yang sangat strategis

dalam kegiatan perekonomian melalui kegiatan usahanya menghimpun dana

masyarakat dan menyalurkan pembiayaan bagi usaha-usaha produktif maupun

konsumtif, sekaligus menjadi penentu arah bagi perumusan kebijakan pemerintah

di bidang moneter dan keuangan dalam mendukung stabilitas pembangunan

nasional, khususnya untuk dapat menjadi tempat penyimpanan dana yang aman,

tempat yang diharapkan dapat melakukan kegiatan perpembiayaanan demi

kelancaran dunia usaha dan perdagangan1

Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan tidak terlepas dari

kebutuhan masyarakat untuk mengajukan pinjaman atau pembiayaan kepada

bank. Pembiayaan merupakan suatu istilah yang sering disamakan dengan hutang

atau pinjaman yang pengembaliannya dilaksanakan secara mengangsur. Hal ini

menunjukkan bahwa upaya seseorang untuk memenuhi kebutuhan dana atau

finansial dapat ditempuh dengan melakukan pinjaman atau pembiayaan kepada

bank. Setiap aktivitas perbankan harus memenuhi asas ketaatan perbankan, yaitu

segala kegiatan perbankan yang diatur secara yuridis dalam Undang-Undang

1

(18)

2

Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, serta termasuk menjalankan

prinsip-prinsip perbankan (prudent banking) dengan cara menggunakan rambu-rambu

hukum berupa safe dan sound. Kegiatan bank secara yuridis dan secara umum

adalah penarikan dana masyarakat, penyaluran dana kepada masyarakat, kegiatan

fee based, dan kegiatan dalam bentuk investasi.

Semakin banyak kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank, semakin banyak pula

kesempatan yang akan timbul yang memungkinkan seseorang atau sekelompok

orang untuk melakukan perbuatan melawan hukum terhadap dunia perbankan.

Semakin luas kesempatan yang muncul, juga akan berbanding lurus dengan

semakin banyaknya jenis dan ruang lingkup tindak pidana perbankan berdasarkan

peraturan umum dalam undang-undang perbankan dan yang diatur khusus dalam

perundang-undangan di luar Undang-Undang Perbankan. Bank harus menjaga

kepercayaan masyarakat dengan cara menggunakan dana nasabahnya secara

bertanggungjawab yang diwujudkan dalam bentuk laporan pertanggungjawaban

yang akan diumumkan langsung kepada publik melalui media massa, maupun

diberikan kepada Bank Indonesia dan/ atau otoritas jasa keuangan.

Tindak pidana perbankan pada dasarnya merupakan perbuatan melawan hukum

yang dilakukan baik dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja yang ada

hubungannya dengan lembaga, perangkat dan produk perbankan, sehingga

menimbulkan keruguian metriil dan atau immateriil bagi perbankan itu sendiri

(19)

3

Secara umum kejahatan di bidang perbankan adalah kejahatan yang digolongkan

dalam peraturan perundang-undangan di bidang hukum admnistrasi yang memuat

sanksi-sanksi pidana. Istilah kejahatan di bidang perbankan adalah untuk

menampung segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan

kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Kejahatan di bidang perbankan

adalah salah satu bentuk dari kejahatan ekonomi yang sering dilakukan dengan

menggunakan bank sebagai sasaran dan sarana kegiatannya dengan modus yang

sangat sulit dipantau atau dibuktikan berdasarkan undang-undang perbankan.

Modus operansi kejahatan di bidang perbankan dilakukan melalui memperoleh

kredit dari bank dengan cara menggunakan dokumen atau jaminan palsu, fiktif,

penyalahgunaan pemakaian kredit, mendapat kredit berulang-ulang dengan

jaminan objek yang sama, memerintahkan, menghilangkan, menghapuskan, tidak

membukukan yang seharusnya dipenuhi. Di samping itu modus operandinya juga

memaksa bank atau pihak yang terafeliasi memberikan keterangan yang wajib

dirahasiakan, tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhinya kepada bank

Indonesia maupun kepada Penyidik Negara, menerima, meminta, mengijinkan,

menyetujui untuk menerima imbalan, uang tambahan, pelayanan komisi, uang

atau barang berharga untuk kepentingan pribadi dalam rangka orang lain

mendapat kredit, uang muka, prioritas kredit atau persetujuan orang lain untuk

melanggar batas maksimum pemberian kredit (BMKP)2

2

(20)

4

Salah satu modus yang dilakukan dalam tindak pidana perbankan adalah

pembiayaan fiktif. Hal ini diatur dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa Anggota Dewan

Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja:

a. Membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;

b. Menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;

c. Mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

Menurut penjelasan Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) butir a dan b, istilah pengawai

bank dalam pasal tersebut mempunyai pengertian yang berbeda. Dalam ketentuan

Pasal 49 ayat (1) dan ketentuan Pasal 49 ayat (2) butir a bahwa yang dimaksud

dengan pegawai bank adalah semua pejabat dan karyawan bank, sedangkan dalam

Pasal 49 ayat (2) butir b yang dimaksud dengan pegawai bank adalah pejabat bank

yang mempunyai wewenang dan tanggungjawab tentang hal-hal yang berkaitan

dengan usaha bank yang bersangkutan.

Salah satu perkara tindak pidana perbankan dengan modus pembiayaan fiktif di

Provinsi Lampung terjadi pada BRI Cabang Telukbetung, yang empat berkas

perkara kredit fiktif PT Natar Perdana Motor (NPM) yang diberikan oleh BRI

(21)

5

sebagai avalis (lembaga pembiayaan) mengajukan kredit kendaraan bermotor

kepada PT BRI KCU Telukbetung sebanyak 16.274 kreditor senilai Rp180 miliar.

Dari jumlah kreditor tersebut, 10.795 kreditor atau senilai Rp81,2 miliar

dinyatakan fiktif karena persyaratan yang digunakan adalah persyaratan kreditor

atau nasabah lama. Sehingga merugikan kreditor fiktif tersebut yang tidak dapat

mengajukan kredit ke bank. Pada 4 Januari 2012 permasalahan tersebut

dilaporkan pada Polda Lampung dengan nomor laporan LP/A-60/I/2012. Perkara

itu sendiri diinformasikan setahun sebelumnya. Dalam laporan itu dijelaskan,

proses kredit yang dilakukan oleh pihak BRI diduga dilakukan untuk menutupi

pengambilan dana di BRI oleh PT NPM sebesar Rp 81,2 miliar dan terkesan dana

tersebut diberikan BRI atas pengajuan dan permohonan kredit para debitur.

Kenyataannya, para debitur yang sekaligus sebagai konsumen di PT NPM, tidak

pernah mengajukan dan menerima fasilitas kredit dari PT BRI KCU Teluk

Betung.3

Terkait dengan tindak pidana perbankan dengan modus pembiayaan fiktif, para

pelaku juga diancam dengan Pasal 266 ayat (1) KUHP, yaitu barang siapa

menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai

sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud

untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah

keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat

menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Pasal 266

ayat (2) KUHP menyatakan bahwa diancam dengan pidana yang sama barang

siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya

3

(22)

6

tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika

pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Setiap pelaku tindak pidana perbankan harus mempertanggungjawabkan

perbuatannya di depan hukum yang berlaku. Pertanggungjawaban pidana pada

dasarnya merupakan ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang

dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan

hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar

tanggungjawab moralnya masing-masing. Selain itu pertanggungjawaban pidana

dapat bermanfaat untuk mencapai situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan

dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pertanggungjawaban pidana

dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak

lain pertanggungjawaban pidana itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain

dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa.

Pertanggungjawaban pidana mengakui asas-asas atau keadaan yang meringankan

pertanggungjawaban pidana,mendasarkan pada keadaan obyektif dan

mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak

pidana. Dengan kata lain tujuan pertanggungjawaban pidana adalah untuk

mencapai manfaat untuk melindungi masyarakat dan menuju kesejahteraan

masyarakat. Tujuan pertanggungjawaban pidana bukan merupakan pembalasan

kepada pelaku di mana sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah

agar orang tidak melakukan kejahatan. Ketentuan mengenai pemidanaan ini juga

memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan atau penyesuaian pidana

(23)

7

berkekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan

mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan.

Perkara tindak pidana perbankan dengan modus pembiayaan fiktif di Provinsi

Lampung terjadi pada BRI Cabang Telukbetung, yang empat berkas perkara

kredit fiktif PT Natar Perdana Motor (NPM) yang diberikan oleh BRI Cabang

Telukbetung, sebagaimana terdapat dalam Perkara Nomor: 483/Pid.Sus./2013/

PN.TK. Terdakwa Didit Wijayanto, SE, MM Bin Agus Suroso dijatuhi pidana

penjara selama 3 (tiga tahun) dan denda sebesar Rp.2.000.000.000, 00 (dua miliar

rupiah) subsider dua bulan kurungan.

Berdasarkan data di atas maka terdapat kesenjangan antara ketentuan Pasal 49

ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dengan

pelaksanaan di lapangan yaitu dalam Perkara Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK.

Peneliti bermaksud melakukan penelitian dengan judul: Analisis Pertimbangan

Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana terhadap pelaku tindak pidana perbankan

dalam Perkara Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini

dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap

pelaku tindak pidana perbankan dalam Perkara Nomor: 483/Pid.Sus./2013/

(24)

8

b. Apakah putusan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak

pidana perbankan dalam Perkara Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK telah

memenuhi keadilan Substantif?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah hukum pidana, dengan kajian

mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku

tindak pidana perbankan dalam Perkara Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK dan

keadilan substantif putusan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku

tindak pidana perbankan dalam Perkara Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK.Ruang

lingkup lokasi penelitian adalah pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung

Karang dan waktu penelitian dilaksanakan tahun 2014.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian

ini adalah untuk:

a. Mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap

pelaku tindak pidana perbankan dalam Perkara Nomor: 483/Pid.Sus./2013/

PN.TK;

b. Mengetahui keadilan Substantif dalam putusan hakim dalam menjatuhkan

pidana terhadap pelaku tindak pidana perbankan dalam Perkara Nomor:

(25)

9

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah:

a. Kegunaan secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu

hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim

dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perbankan dalam

Perkara Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK dan putusan hakim dalam

menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perbankan dalam Perkara

Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK telah memenuhi keadilan Substantif.

b. Kegunaan secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran

bagi pihak-pihak yang membutuhkan informasi dan akan melakukan

penelitian mengenai pertanggungjawaban pidana.

D. Kerangka Teori dan Konseptual 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan pengabstraksian hasil pemikiran sebagai kerangka

acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian ilmiah, khususnya

dalam penelitian ilmu hukum.4 Kerangka pemikiran dalam penelitian ini

didasarkan pada berbagai teori sebagai berikut:

a. Teori Dasar Pertimbangan Hakim

Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian

kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses

4

(26)

10

penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian,

putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian, yaitu saling

berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara

keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain atau saling

berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain (Pasal 184 KUHAP).

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan

kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya.

Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju

kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak

ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan

yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum. Sebagai

pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan

dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini

dilakukan oleh hakim melalui putusannya. Fungsi hakim adalah memberikan

putusan terhadap perkara yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu

tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menetukan

bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping

adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim

yang dilandasi dengan integritas moral yang baik.5

Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim

dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:

5

(27)

11

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.6

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan

mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak

tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim

dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus

mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang

sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku,

kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat.

Menurut Mackenzie ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan

oleh hakim dalam penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

a. Teori keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan disini keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan terdakwa.

b. Teori pendekatan seni dan intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim dalam memutuskan suatu perkara dengan pertimbangan yang baik.

c. Teori pendekatan keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara,

6Ibid,

(28)

12

hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

d. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun berkaitan dengan masyarakat.

e. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara, sehingga akan tercipta kepastian hukum .

f. Teori kebijaksanaan

Teori ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, di mana sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak. Aspek ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggungjawab untuk membimbing, membina, mendidik dan melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bagi bangsanya.7

b. Teori Keadilan Substantif

Keadilan substantif terfokus atau berorientasi kepada nilai-nilai fundamental yang

terkandung didalam hukum. Sehingga hal-hal yang menitikberatkan kepada aspek

prosedural akan di ‘nomorduakan’. Secara teoritik, keadilan substantif dibagi ke

dalam empat bentuk keadilan, yakni keadilan distributif, keadilan retributif,

keadilan komutatif, dan keadilan korektif. Keadilan distributif menyangkut

pengaturan dasar segala sesuatu, buruk baik dalam mengatur masyarakat.

Berdasarkan keadilan ini, segala sesuatu dirancang untuk menciptakan hubungan

7

(29)

13

yang adil antara dua pihak/masyarakat. Prinsip pokok dalam keadilan distributif

adalah setiap orang harus mendapat/andil/kesempatan yang sama untuk

memperoleh keadilan.8

Alasan yang muncul keharusan ditegakannya keadilan substantif karena keadilan

berdasarkan hukum tidak selalu terkait kepada ketentuan-ketentuan

formal-prosedural. Hal itulah yang kemudian menjadi acuan dalam diri hakim MK saat

memberikan putusan pada setiap perkara yang masuk ke lembaganya. Sebagai

lembaga yang mengawal konstitusi (the guardian of constitution) dan penafsir

konstitusi, maka konsekwensinya menjamin hak-hak rakyat yang telah ditegaskan

dalam konstitusi. Salah satu hak yang harus dijamin adalah rasa keadilan.

Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil.

Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada

yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip,

yaitu: pertama tidak merugikan seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap

manusia apa yang menjadi haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah

itu dikatakan adil.9

Pada praktiknya, pemaknaan keadilan dalam penanganan sengketa-sengketa

hukum ternyata masih dapat diperdebatkan. Banyak pihak merasakan dan menilai

bahwa lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan prosedur,

formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu

sengketa. Agaknya faktor tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap

8

Mahfud M.D.,Penegakan Keadilan di Pengadilan, http://mahfudmd.com 9

(30)

14

hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi

hukum. Hakim semestinya mampu menjadi seorang interpretator yang mampu

menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh

kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu peraturan

perundang-undangan, karena hakim bukan lagi sekedar pelaksana undang-undang. Artinya,

hakim dituntut untuk memiliki keberanian mengambil keputusan yang berbeda

dengan ketentuan normatif undang-undang, sehingga keadilan substansial selalu

saja sulit diwujudkan melalui putusan hakim pengadilan, karena hakim dan

lembaga pengadilan hanya akan memberikan keadilan formal.

Keadilan substantif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan

hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang

tidak berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat. Ini berarti bahwa apa yang

secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan

substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal

salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil

(hakim dapat menoleransi pelanggaran procedural asalkan tidak melanggar

substansi keadilan). Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim

harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan keadilan

substantif berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi

rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang

(31)

15

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan

dalam melaksanakan penelitian10. Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan

pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Pertimbangan hakim adalah bentuk kebebasan hakim dalam memeriksa dan

mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap

dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada

satu pihak yang dapat menginterpensi hakim dalam menjalankan tugasnya

tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak

hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat

perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban,

keluarganya dan rasa keadilan masyarakat.11

b. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan

melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam

undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib

hukum dan terjaminnya kepentingan umum.12

c. Tindak pidana perbankan adalah setiap jenis perbuatan melanggar hukum

yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank.

Modus operansi kejahatan di bidang perbankan dilakukan melalui

memperoleh pembiayaan dari bank dengan cara menggunakan dokumen atau

jaminan palsu, fiktif, penyalahgunaan pemakaian pembiayaan, mendapat

10

Soerjono Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.103

11

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta. 2010, hlm.101.

12

(32)

16

pembiayaan berulang-ulang dengan jaminan objek yang sama,

memerintahkan, menghilangkan, menghapuskan, tidak membukukan yang

seharusnya dipenuhi.13

d. Keadilan substantif adalah keadilan yang diberikan sesuai dengan

aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan

prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat14

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan disusun untuk memudahkan dan memahami isi Skripsi

secara keseluruhan dengan rincian sebagai berikut:

I Pendahuluan, bab ini berisi Latar Belakang Masalah, Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori,

dan Sistematika Penulisan

II Tinjauan Pustaka, bab ini berisi tentang pengertian dan unsur-unsur tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, tindak pidana perbankan, penanggulangan

tindak pidana dan penegakan hukum pidana.

III Metode Penelitian,Bab ini berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Prosedur Pengumpulan dan

Pengolahan Data serta Analisis Data.

13

Marfei Halim.Mengurai Benang Kusut, Bank Indonesia, Jakarta, 2002.hlm. 34 14

(33)

17

IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, bab ini berisi deskripsi dan analisis terhadap hasil penelitian yaitu dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan

pidana terhadap pelaku tindak pidana perbankan dalam Perkara Nomor:

483/Pid.Sus./2013/PN.TK serta analisis terhadap putusan hakim dalam

menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perbankan dalam Perkara

Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK telah memenuhi keadilan Substantif

V Penutup, berisi kesimpulan atas hasil penelitian yang berupa jawaban atas permasalahan dan saran-saran yang diajukan kepada pihak-pihak yang berkaitan

(34)

18

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang

yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan

dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan.1

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang

memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan

pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya

tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.2

Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar sebagai berikut:

a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain

kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam

Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu

bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II

dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum

pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.

1

Hamzah, Andi. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia.Jakarta. 2001. hlm. 22

2

(35)

19

b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel

Delicten) dan tindak pidana materil(Materiil Delicten). Tindak pidana formil

adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu

adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang

pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan

akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang

itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana.

c. Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana

sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten).

Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara

lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja

menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan

sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat

dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan

matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan

Pasal 360 KUHP.

d. Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif

juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya

diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya

Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana

pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana

murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana

yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya

(36)

20

tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat

dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur

terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal

338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal.3

B. Tindak Pidana Perbankan

Tindak pidana perbankan pada dasarnya merupakan perbuatan melawan hukum

dilakukan, baik dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja yang ada

hubungannya dengan lembaga, perangkat dan produk perbankan, sehingga

menimbulkan keruguian metriil dan atau immateriil bagi perbankan itu sendiri

maupun bagi nasabah atau pihak ketiga lainnya.4

Terdapat perbedaan antara tindak pidana perbankan dengan tindak pidana di

bidang perbankan, perbedaanya terdapat pada perlakuan peraturan terhadap

perbuatan yang telah melanggar hukum yang berkaitan dengan usaha menjalankan

industri perbankan, perlakuan tersebut dapat kita lihat pada:

a. Tindak pidana perbankan terdiri dari perbuatan-perbuatan pelanggaran

terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang

Pokok-Pokok Perbankan. Pelanggaran mana dilarang dan diancam dengan hukuman

oleh UU ini.

b. Tindak pidana di bidang perbankan lainnya yang terdiri atas

perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha

pokok bank, terhadap perbuatan mana dapat diperlakukan peraturan-peraturan

3

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 25-27

4

(37)

21

pidana di luar Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967, seperti:

a. KUHP sebagai peraturan hukum pidana

b. Peraturan-peraturan hukum pidana khusus, seperti undang-undang tentang

tindak pidana korupsi, undang-undang tentang lalu lintas devisa.

c. Peraturan-peraturan lain yang berhubugan dengan kegiatan bank dan yang

memuat ketentuan pidananya.5

Eksistensi, karakteristik, bentuk dan jenis perumusan tindak pidana di bidang

perbankan tidak hanya terbatas pada perumus dan dalam Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1992 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perbankan, melainkan mencakup tindak pidana lainnya yang diatur dan

tersebar di luar UU Perbankan yang ada relevansinya dengan kegiatan perbankan,

seperti dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalulintas Devisa dan Sistem

Nilai Tukar, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kejahatan

perbankan walaupun dikatakan sebagai tindak pidana ekonomi, namun pada

dasarnya kejahatan perbankan sudah termasuk kejahatan di bidang perbankan. Hal

ini dapat digolongkan menjadi tiga kategori yakni:

a. Kejahatan fisik, maksudnya adalah kejahatan perbankan yang melibatkan

fisik dan merupakan kejahatan yang konvensional serta berhubungan dengan

perbankan, contohnya perampokan bank, penipuan dan lain-lain.

b. Kejahatan Pelanggaran Administrasi perbankan, maksudnya adalah bank

sebagai lembaga pelayanan publik, maka banyak ketentuan administrasi

5

(38)

22

dibebankan oleh hukum kepadanya, bahkan pelanggaran beberapa ketentuan

administrasi dianggap oleh hukum sebagai tindak pidana, hal ini meliputi

operasi bank tanpa ijin; tidak memenuhi pelaporan kepada Bank Sentral; dan

tidak memenuhi ketentuan Bank Sentral tentang kecukupan modal, batas

maksimum pemberian pembiayaan, persyaratan pengurus dan komisaris,

merger, akuisisi serta konsolidasi bank dan lain-lain.

c. Kejahatan Produk bank, maksudnya adalah kejahatan perbankan yang

dihubungkan dengan produk bank seperti, pemberian pembiayaan yang tidak

benar, misalnya pembiayaan tanpa agunan atau agunan fiktif, pemalsuan

warkat, seperti cek, wesel, danletter of credit, pemalsuan kartu pembiayaan,

transfer uang kepada yang tidak berhak.6

Selain yang telah tersebut di atas terdapat pula kejahatan perbankan yang disebut

sebagai pelanggaran moralitas perbankan, sebagaimana tercantum dalam Kode

Etik Bankir Indonesia, yang berisikan sebagai berikut:

1) Patuh dan taat pada ketentuan perundang-undangan dan peraturan-peraturan

yang berlaku.

2) Melakukan pencatatan yang benar mengenai segala transaksi yang bertalian

dengan kegiatan banknya.

3) Menghindarkan diri dari persaingan yang tidak sehat.

4) Tidak menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi.

5) Menghindarkan diri dari keterlibatan pengambilan keputusan dalam hal

terdapat pertentangan kepentingan.

6) Menjaga rahasia nasabah dan banknya.

6

(39)

23

7) Memperhatikan dampak yang merugikan dari setiap kebijakan yang

ditetapkan bank terhadap keadaan ekonomi, sosial dan lingkungannya.

8) Tidak menerima hadiah/ imbalan yang memperkaya diri pribadi atau keluarga.

9) Tidak melakukan perbuatan tercela yang dapat merugikan citra profesinya.

Pelanggaran kode etik secara yuridis tidak dapat dikategorikan sebagai tindak

pidana (crime), tetapi secara kriminologis dapat diketegorikan dalam pengertian

criminal behavior dalam konsepsi white collar crime. Kejahatan perbankan dilihat

dari berbagai kasus pembobolan bank disebabkan oleh kalangan intern bank dan

bentuk kontrol kejahatannya terdapat dalam dua jenis kejahatan perbankan, yaitu :

1) Error omission berupa pelanggaran terhadap suatu ketentuan berupa sistem

dan prosedur yang seharusnya dipatuhi tetapi tidak dilaksanakan.

2) Error Commision berupa pelanggaran dalam bentuk melaksanakan sesuai

yang seharusnya tidak boleh, karena tidak tertulis dalam sistem dan prosedur,

maka tetap saja dilakukan.

Pelanggaran terhadap error omission selalu ada sanksi administratif, tetapi

pelanggaran terhadaperror commission sanksinya bersifat normatif yang terdapat

dalam code of conduct, dan kebanyakan kejahatan perbankan di Indonesia

terdapat dalam bentukerror commission khususnya dalamdelivery system.

Secara umum kejahatan di bidang perbankan adalah kejahatan yang digolongkan

dalam peraturan perundang-undangan di bidang hukum admnistrasi yang memuat

sanksi-sanksi pidana. Istilah kejahatan di bidang perbankan adalah untuk

menampung segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan

(40)

24

pidana di bidang perbankan menunjukkan bahwa suatu tindak pidana yang

dilakukan dalam menjalankan fungsi dan usahanya sebagai bank dan dapat

dikategorikan sebagai tindak pidanan ekonomi. Kejahatan di bidang perbankan

adalah salah satu bentuk dari kejahatan ekonomi yang sering dilakukan dengan

menggunakan bank sebagai sasaran dan sarana kegiatannya dengan modus yang

sangat sulit dipantau atau dibuktikan berdasarkan undang-undang perbankan.

Modus operansi kejahatan di bidang perbankan dilakukan melalui memperoleh

pembiayaan dari bank dengan cara menggunakan dokumen atau jaminan palsu,

fiktif, penyalahgunaan pemakaian pembiayaan, mendapat pembiayaan

berulang-ulang dengan jaminan objek yang sama, memerintahkan, menghilangkan,

menghapuskan, tidak membukukan yang seharusnya dipenuhi. Di samping itu

modus operandinya juga memaksa bank atau pihak yang terafeliasi memberikan

keterangan yang wajib dirahasiakan, tidak memberikan keterangan yang wajib

dipenuhinya kepada bank Indonesia maupun kepada Penyidik Negara, menerima,

meminta, mengijinkan, menyetujui untuk menerima imbalan, uang tambahan,

pelayanan komisi, uang atau barang berharga untuk kepentingan pribadi dalam

rangka orang lain mendapat pembiayaan, uang muka, prioritas pembiayaan atau

persetujuan orang lain untuk melanggar batas maksimum pemberian pembiayaan7

Modus operandi yang terbaru pada kejahatan di bidang perbankan adalah

penyimpangan penggunaan BLBI, seperti membayar atau melunasi kewajiban

kepada pihak terkait, membayar atau melunasi dana pihak ketiga yang melanggar

7

(41)

25

ketentuan, serta membiayai biaya-biaya lain (pembayaran pajak, pembayaran pada

pihak ketiga yang masih mempunyai kewajiban pada bank).

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, memiliki sifat konvensional dan

memenuhi unsur-unsur pidana, tetapi kejahatan di bidang perbankan berupa

penyalahgunaan BLBI dalam kenyataanya menjadi lemah, karena kesulitan untuk

mendeteksinya. Permasalahannya adalah kejahatan di bidang perbankan berawal

dari terjadinya kolusi dalam kegiatannya.

Terkait dengan modus pembiayaan terhadap nasabah fiktif, telah terjadi tindak

pidana pemalsuan, sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP:

(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Pasal 266 KUHP:

(1) Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;

(42)

26

3. Prinsip Kehati-Hatian dalam Aktivitas Perbankan

Setiap aktivitas perbankan harus memenuhi asas ketaatan perbankan, yaitu segala

kegiatan perbankan yang diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 tentang Perbankan, serta termasuk menjalankan prinsip-prinsip

perbankan (prudent banking) dengan cara menggunakan rambu-rambu hukum

berupa safe dan sound. Kegiatan bank secara yuridis dan secara umum adalah

penarikan dana masyarakat, penyaluran dana kepada masyarakat, kegiatan fee

based, dan kegiatan dalam bentuk investasi. Prinsip kehati-hatian dalam aktivitas

perbankan, khususnya yang berhubungan dengan penyaluran kredit kepada

nasabah diimplementasikan dengan prinsip Know Your Customer (KYC) adalah

prinsip pengenalan pelanggan, dimana lembaga keuangan harus mengenal

pelanggan, seperti identitas, sumber penghasilan, alamat tempat tinggal, tempat

usaha maupun kantor pelanggan.8

Tujuan penerapan prinsip KYC adalah sebagai berikut:

a. Memungkinkan perusahaan pembiayaan mengenal dan memahami para

pelanggan

b. Untuk memungkinan Lembaga keuangan memiliki identifikasi positif atas

para pelanggannya.

c. Menyediakan sistem pengawasan internal pada kegiatan yang sedang

berlangsung.

8

(43)

27

d. Informasi yang terkumpul dari pelanggan adalah untuk keperluan penutupan

asuransi dan akan tetap dijaga kerahasiaannya.9

Pencucian uang terdiri dari serangkaian transaksi keuangan yang kompleks yang

berasal dari dana yang dikembangkan secara ilegal. Transaksi ini bertujuan untuk

menyamarkan asal dari dana tersebut dengan cara menyusupkan bagian-bagian

dari dana pada sektor ekonomi dan keuangan di dalam maupun melintasi

batas-batas Negara. Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah (know your customer

principles) merupakan hal yang relatif baru untuk industri jasa keuangan di

Indonesia. Prinsip Mengenal Nasabah membantu melindungi reputasi dan

integritas sistem perbankan dengan mencegah perbankan digunakan sebagai alat

kejahatan keuangan. Penerapan prinsip mengenal nasabah (Know Your Customer

Principle) ini didasari pertimbangan bahwa prinsip ini penting dalam rangka

prudential banking untuk melindungi bank dari berbagai risiko dalam

berhubungan dengan nasabah.

Untuk melindungi kepentingan perbankan dan dalam hal penegakan prudential

system,maka bank harus melakukan berbagai upaya antara lain:

a. Bank harus mengetahui identitas nasabah yang akan atau sedang

menggunakan jasa perbankan(know your customer principles);

b. Manajemen bank harus menjamin bahwa transaksi yang dilakukan telah sesuai

dengan kode etik dan peraturan atau ketentuan yang berkaitan dengan

transaksi tersebut (prudential system) UU No 10 Tahun 1998 tentang

Perbankan;

9

(44)

28

c. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan ketentuan rahasia bank, bank harus

bekerjasama dengan aparat penegak hukum sesuai ketentuan yang berlaku

(bank secrecy).10

Pada tanggal 18 Juni 2001 Bank Indonesia mengeluarkan peraturan mengenai

pentingnya diterapkan oleh bank-bank tentang penerapan mengenali nasabah.

Peraturan mengenai penerapan prinsip tersebut tertuang dalam Peraturan Bank

Indonesia No 3/10/PBI/2001 Lembaran Negara 2001 No 78, Tambahan Lembaran

Negara No 4107. Peraturan Bank Indonesia, selanjutnya disebut PBI ini mengatur

tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah(Know Your Customer Principles).

Peraturan ini kemudian dirubah dengan Peraturan Bank Indonesia No

3/23/PBI/2001 tertanggal 13 Desember 2001 (Lembaran Negara 2001 No 151,

Tambahan Lembaran Negara No 4160). Kewajiban untuk menerapkan prinsip

mengenal nasabah tidak hanya terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia saja,

tetapi juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang

Tindak Pidana Pencucian Uang yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2003, selanjutnya disebut dengan UUTPPU. Pasal 17 UUTPPU

menjelaskan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dengan penyedia jasa

keuangan harus menyerahkan identitas diri secara lengkap, disamping itu

penyedia jasa keuangan juga harus memastikan orang yang melakukan hubungan

usaha bertindak untuk diri sendiri atau orang lain. Jika bertindak untuk orang lain,

maka penyedia jasa keuangan harus meminta informasi mengenai identitas pihak

lain tersebut.

10

(45)

29

Prinsip Mengenal Nasabah diartikan sebagai prinsip yang diterapkan bank untuk

mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan identitas nasabah yang

dilanjutkan kemudian dengan memantau kegiatan transaksi nasabah dan bilamana

terdapat kegiatan transaksi yang mencurigakan supaya dilaporkan. Kewajiban

pokok dari lembaga bank dalam Prinsip Mengenal Nasabah terdiri dari 4 (empat)

hal, yakni a) Menetapkan kebijakan penerimaan nasabah; b) Menetapkan

kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi nasabah; c) Menetapkan

kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi nasabah; d)

Menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko.

C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Secara yuridis, seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa

tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah

melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a).

Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan

Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu

dibuktikan (Pasal 184).11

Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan

diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian dapat

dikonklusikan lebih jauh bahwasannya putusan hakim di satu pihak berguna bagi

terdakwa guna memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus

11

(46)

30

dapat mempersiapakan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti

dapat berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding, atau

kasasi, melakukan grasi dan sebagainya.

Selanjutnya menurut Lilik Mulyadi 12, apabila ditelaah melalui visi hakim yag

mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan

nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, HAM, penguasaan hukum atau fakta secara

mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas

dari hakim yang bersangkutan. Teori dasar pertimbangan hakim masih menurut

menurut Lilik Mulyadi, yaitu putusan hakim yang baik, mumpuni, dan sempurna

hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan empat kriteria dasar pertanyaan

(the 4 way test), yakni:

1) Benarkah putusanku ini?

2) Jujurkah aku dalam mengambil putusan?

3) Adilkah bagi pihak-pihak putusan?

4) Bermanfaatkah putusanku ini?

Putusan bebas adalah jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan

di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan terdakwa yang didakwakan epadanya

jika terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191

ayat (1) KUHAP).

Praktiknya walaupun telah bertitiktolak dari sifat/sikap seseorang Hakim yang

baik, kerangka landasan berfikir/bertindak dan melalui empat buah titik

pertanyaan tersebut di atas, maka hakim ternyata seorang manusia biasa yang

12

(47)

31

tidak luput dari kelalaian, kekeliruan/kekhilafan (rechterlijk dwaling), rasa

rutinitas, kekurang hati-hatian, dan kesalahan. Dalam praktik peradilan, ada saja

aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap tidak diperhatikan hakim dalam

membuat keputusan.

Putusan hakim merupakan puncak dari perkara pidana, sehingga hakim harus

mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek yuridis, sehingga

putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan

yuridis. Pada hakikatnya dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut

diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi

hukum (van rechtswege nietig atau null and void) karena kurang pertimbangan

hukum (onvoldoende gemotiverd). Praktik peradilan pidana pada putusan hakim

sebelum pertimbangan-pertimbangan yuridis dibuktikan, maka hakim terlebih

dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan

konklusi kumulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang

bukti yang diajukan dan diperiksa di persidangan.

Hakim menurut Barda Nawawi Arief,13 dalam mengambil keputusan pada sidang

pengadilan, mempertimbangkan beberapa aspek non yuridis sebagai berikut:

a. Kesalahan pelaku tindak pidana

Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang.

Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku

tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana harus

ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya

13

(48)

32

kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang harus

memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.

b. Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana

Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyai

motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum

c. Cara melakukan tindak pidana

Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih

dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terdapat unsur niat

di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.

d. Sikap batin pelaku tindak pidana

Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa

penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku

juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan

melakukan perdamaian secara kekeluargaan.

e. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat

mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman bagi pelaku,

misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal

dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan

sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).

f. Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana

Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan tidak

berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya. Maka hal yang di atas

(49)

33

bagi pelaku. Karena hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau

bertanggung jawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus

terang dan berkata jujur. Karena akan mempermudah jalannya persidangan.

g. Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku

Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku

tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi

perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku,

memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga

menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.

h. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku

Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakan pelaku adalah

suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi hukuman,

agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak

melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal

tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya

kebenaran dan keadilan juga kepastian hukum.

D. Keadilan Substantif

Keadilan secara umum diartikan sebagai perlakuan yang adil, tidak berat sebelah,

tidak memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat

adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu: pertama tidak merugikan seseorang

dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika

kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil.14

14

(50)

34

Pada praktiknya, pemaknaan keadilan dalam penanganan sengketa-sengketa

hukum ternyata masih dapat diperdebatkan. Banyak pihak merasakan dan menilai

bahwa lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan prosedur,

formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu

sengketa. Faktor tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum

yang kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum.

Hakim semestinya mampu menjadi seorang interpretator yang mampu

menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh

kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu peraturan

perundang-undangan, karena hakim bukan lagi sekedar pelaksana undang-undang. Artinya,

hakim dituntut untuk memiliki keberanian mengambil keputusan yang berbeda

dengan ketentuan normatif undang-undang, sehingga keadilan substansial selalu

saja sulit diwujudkan melalui putusan hakim pengadilan, karena hakim dan

lembaga pengadilan hanya akan memberikan keadilan formal.15

Keadilan substantif terfokus atau berorientasi kepada nilai-nilai fundamental yang

terkandung didalam hukum. Sehingga hal-hal yang menitikberatkan kepada aspek

prosedural akan di ‘nomorduakan’. Secara teoritik, kedalilan substantif dibagi ke

dalam empat bentuk keadilan, yakni kedailan distributif, keadilan retributif,

kedilan komutatif, dan keadilan korektif. Kedilan distributif menyangkut

pengaturan dasar segala sesuatu, buruk baik dalam mengatur masyarakat.

Berdsarkan keadilan ini, segala sesuatu dirancang untuk menciptakan hubungan

yang adil antara dua pihak/masyarakat. Prinsip pokok dalam keadilan distributif

15Ibid,

(51)

35

adalah setiap orang harus mendapat/andil/kesempatan yang sama untuk

memperoleh keadilan.16

Alasan yang muncul keharusan ditegakannya keadilan substantif karena keadilan

berdasarkan hukum tidak selalu terkait kepada ketentuan-ketentuan

formal-prosedural. Hal itulah yang kemudian menjadi acuan dalam diri hakim MK saat

memberikan putusan pada setiap perkara yang masuk ke lembaganya. Sebagai

lembaga yang mengawal konstitusi dan penafsir konstitusi, maka konsekwensinya

ialah menjamin hak-hak rakyat yang telah ditegaskan dalam konstitusi. Salah satu

hak yang harus dijamin adalah rasa keadilan.

16

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, perlu dilakukan studi komparatif sekaligus korelasional untuk mengetahui sejauhmana pengaruh model pembelajaran (PBM, Inkuiri,

Untuk mendapatkan persentase susut pemotongan yang kecil dalam usaha produksi daging unggas, umur pemotongan ternak, mempunyai pengaruh yang besar.. Umur pelnotongan

BULU ATAU RAMBUT ??.. VARIATION

Seseorang yang mempunyai kemampuan interpersonal memadai akan menjadi pelaku tari yang baik. Ini disebabkan seperti Edi Sedyawati katakan bahwa rasa indah yang dihayati kemudian

terhadap hasil heading kaki sejajar dan 4) untuk mengetahu hasil yang signifikan, antara kelentukan togok, kekuatan otot leher dan kekuatan otot perut terhadap hasil heading

- Jawaban dibuktikan dengan dokumen rapat kelulusan seperti undangan, daftar hadir, notula rapat) yang dihadiri oleh guru kelas, guru mata pelajaran,

a. Besarnya gaji yang dibayar kepada setiap pegawai harus disesuaikan dengan prestasi kerja, jenis pekerjaan, risiko pekerjaan, tingkat pendidikan, jabatan pekerja,

PROGRAM/KEGIATAN : Koordinasi Kerjasama Pengembangan Peningkatan Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan Seni Budaya Region Kalimantan. TANGGAL PELAKSANAAN :