• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PROYEK PELEBARAN JALAN (Studi Perkara Nomor 15Pid.Sus.TPK2015PN.Tjk.) (Jurnal Skripsi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PROYEK PELEBARAN JALAN (Studi Perkara Nomor 15Pid.Sus.TPK2015PN.Tjk.) (Jurnal Skripsi)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PROYEK

PELEBARAN JALAN

(Studi Perkara Nomor 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk.)

(Jurnal Skripsi)

Oleh

ADEN KURNIAWAN PRAYITNO

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PROYEK

PELEBARAN JALAN

(Studi Perkara Nomor 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk.)

Oleh

Aden Kurniawan Prayitno, Tri Andrisman, Damanhuri WN Email: adenkprayitno @yahoo.com.

Pelaku tindak pidana korupsi secara ideal seharusnya dipidana secara maksimal sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK), tetapi dalam Putusan Nomor: 15/Pid.Sus.TPK/2015/ PN.Tjk., Majelis Hakim justru membebaskan terdakwa dari dakwaan primer (Pasal 2 UUPTPK dengan ancaman pidana penjara minimal 4 tahun) dan mendasarkan putusannya pada Pasal 3 UUPTPK (dengan ancaman pidana penjara minimal 1 tahun). Permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi proyek pelebaran jalan dalam Perkara Nomor 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk. 2) Apakah pidana yang dijatuhkan hakim dalam Perkara Nomor: 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk telah memenuhi keadilan substantif. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Narasumber penelitian terdiri dari Hakim, Jaksa dan Akademisi. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan: 1) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi proyek pelebaran jalan dalam Perkara Nomor 15/Pid.Sus.TPK/2015/ PN.Tjk. secara yuridis adalah terpenuhi

unsur-unsur dakwaan Jaksa Penuntut Umum yaitu Pasal 3 jo. Pasal 18 (1) huruf b

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pertimbangan secara non yuridis terdiri dari hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Hal-hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah. Hal-hal yang meringankan adalah terdakwa mengakui perbuatannya dan belum pernah dihukum. 2) Pidana yang dijatuhkan hakim dalam Perkara Nomor: 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk belum memenuhi rasa keadilan, karena tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa seharusnya dipidana secara maksimal, dan pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam terjadinya atau mempermudah terlaksananya tindak pidana korupsi.

(3)

ABSTRACT

ANALYSIS OF BASIS JUDGE CONSIDERATION IN IMPOSING CRIMINAL PUNISHMENT ON THE PERPETRATORS OF CORRUPTION CRIME

ON ROAD WIDENING PROJECT

(Case Study Number 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk.)

By

Aden Kurniawan Prayitno, Tri Andrisman, Damanhuri WN Email: adenkprayitno @yahoo.com.

The perpetrators of corruption should ideally be punished maximally as regulated in Article 2 of the Corruption Eradication Act, but in Decision Number: 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk., The Panel of Justices frees the defendant of the primary indictment (Article 2 Corruption Eradication Act with minimum imprisonment of 4 years) and based its decision on Article 3 of Corruption Eradication Act (with minimum imprisonment of 1 year). The problems in this research are: 1) What is the basis of judge's consideration in imposing criminal punishment on the perpetrators of corruption crime on road widening project in Case Number 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk. 2) Is the criminal judge in Case Number: 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk has fulfilled substantive justice. This research uses normative juridical approach and empirical juridical approach. The research sources consist of judges, prosecutors and academics. Data collection was done by literature study and field study, then the data were analyzed qualitatively. Based on the result of the research and discussion, it can be concluded: 1) The basis of judge's consideration in imposing criminal punishment on the perpetrators of corruption of road widening project in Case Number 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk. juridically is fulfilled elements of the indictment of the Public Prosecutor namely Article 3 jo. Article 18 (1) sub- paragraph b of the Anti-Corruption Eradication Act jo.Pasal 55 paragraph (1) to-1 of the Criminal Code. Non juridical considerations consist of aggravating and lightening things. The aggravating thing is that the defendant's actions are against the government's anti- corruption program. The things that lighten up are the defendant acknowledging his actions and have never been punished. 2) The criminal sanction imposed by the judge in Case Number: 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk has not fulfilled the sense of justice, because corruption crimes as extraordinary crimes should be maximally convicted, and the parties involved either directly or indirectly in the occurrence or facilitate the implementation of corruption crime.

(4)

I. Pendahuluan

Tindak pidana korupsi merupakan

perbuatan melawan hukum yang

berdampak pada kerugian keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain

merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara, juga menghambat

pertumbuhan dan kelangsungan

pembangunan nasional.

Penanggulangan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana khusus memiliki

sistem pengadilan tersendiri yang

disebut dengan Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi. Pengadilan ini dibentuk agar majelis hakim yang menangani perkara korupsi lebih intensif dan fokus

dalam memformulasikan dan

menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi secara maksimal. Keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi didasarkan pada spirit semangat reformasi hukum dalam penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pengadilan Tipikor sebagai bagian dari adalah lembaga negara yang

dalam melaksanakan tugas dan

wewenang di bidang penegakan hukum

pidana khusus korupsi bersifat

independen dari pengaruh atau intervensi

kekuasaan manapun.1

Setiap pelaku yang terbukti melakukan

1

Syed Husein Alatas, Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, LP3ES. Jakarta. 2008. hlm. 32.

tindak pidana korupsi harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya

di depan hukum, sesuai dengan

ketentuan undang-undang. Setiap warga negara wajib menjunjung hukum, namun demikian dalam kenyataan sehari-hari adanya warga negara yang lalai/sengaja

tidak melaksanakan kewajibannya

sehingga merugikan masyarakat,

dikatakan bahwa warga negara tersebut melanggar hukum karena kewajibannya tersebut telah ditentukan berdasarkan hukum. Seseorang yang melanggar hukum harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum.

Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu

kejahatan luar biasa (extra ordinary

crime), oleh karena itu diperlukan

penegakan hukum yang komprehensif.2

Secara ideal setiap pelaku tindak pidana korupsi harus dipidana secara maksimal

sebagaimana diatur dalam Pasal 2

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang

2

(5)

lain atau suatu korporasi,

menyalahgunakan kewenangan,

kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pada kenyataannya dalam Putusan

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 15/Pid.Sus.TPK/2015/ PN.Tjk., pelaku tindak pidana korupsi yaitu

Organda Najaya Als Enal yang

melakukan korupsi pembangunan jalan Kabupaten dalam kota pada pekerjaan

pelebaran dua jalur jalan Jendral

Sudirman Kecamatan Kotabumi

Kabupaten Lampung Utara yang

dilaksanakan pada Tahun Anggaran 2012, dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sejumlah Rp 50.000.000,- (Lima puluh Juta Rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.

Issu hukum dalam penelitian ini adalah Majelis Hakim justru membebaskan terdakwa dari dakwaan primer (Pasal 2

UUPTPK dengan ancaman pidana

penjara minimal 4 tahun) dan

mendasarkan putusannya pada Pasal 3 UUPTPK (dengan ancaman pidana penjara minimal 1 tahun). Majelis hakim seharusnya seharusnya menerapkan

pidana yang dijatuhkan hanya 1 tahun penjara.

Selain itu putusan ini tidak sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung

Nomor 1 Tahun 2000 tentang

Pemidanaan Agar Setimpal dengan Berat dan Sifat Kejahatannya. Surat Edaran

tersebut menyatakan bahwa

kecenderungan meningkatnya kualitas dan kuantitas tindak pidana terutama di

bidang ekonomi memerlukan

penanganan serta kebijakan pemidanaan secara khusus. Oleh karena itu terhadap

tindak pidana korupsi, Mahkamah

Agung mengharapkan supaya pengadilan menjatuhkan pidana yang sungguh- sungguh setimpal beratnya dan sifat tindak pidana tersebut jangan sampai menjatuhkan pidana yang menyinggung

rasa keadilan di dalam masyarakat.3

Besarnya kerugian negara akibat tindak pidana korupsi dalam perkara di atas mencapai Rp.520.477.974.20 (lima ratus dua puluh juta empat ratus tujuh puluh tujuh ribu Sembilan ratus tujuh puluh empat rupiah koma dua puluh sen), sehingga pidana penjara 1 tahun yang dijatuhkan hakim kurang relevan dengan besarnya kerugian negara. Penjatuhan pidana yang tidak maksimal tidak memberikan efek jera kepada pelaku dan kurang efektif sebagai pembelajaran bagi pihak-pihak lain untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi

Putusan pemidanaan yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana idealnya memperhatikan segala aspek di dalamnya, yaitu mulai dari perlunya

kehati-hatian serta dihindari

ketidakcermatan, baik bersifat formal

Pasal 2 UUPTPK, tetapi pada

kenyataannya pasal yang diterapkan adalah Pasal 3 UUPTPK, sehingga

3

(6)

maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik dalam membuatnya. Hakim yang cermat dan hati-hati dalam merumuskan putusannya tersebut akan menghasilkan putusan yang benar-benar

berlandaskan pada keadilan dan

memenuhi aspek kepastian hukum. 4

Pidana maksimal terhadap pelaku tindak pidana korupsi secara ideal dapat

dijatuhkan oleh hakim, mengingat

korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang penanganan perkaranya harus dilakukan secara luar biasa pula, dan pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam

terjadinya atau mempermudah

terlaksananya tindak pidana tersebut. Terdakwa seharusnya dipidana sesuai dengan berat atau ringannya kesalahan yang dilakukan sebagai wujud upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Permasalahan penelitian ini adalah:

a. Apakah yang menjadi dasar

pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan pidana terhadap pelaku

tindak pidana korupsi proyek

pelebaran jalan dalam Perkara

Nomor

15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk.?

b. Apakah pidana yang dijatuhkan

hakim dalam Perkara Nomor:

15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk telah

memenuhi keadilan substantif?

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

4

Lilik Mulyadi. Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung 2007, hlm. 152

II.Pembahasan

A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Proyek Pelebaran Jalan dalam

Perkara Nomor

15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk

Tindak pidana korupsi dana proyek pelebaran Jalan Jenderal Sudirman Kotabumi Lampung Utara dalam Perkara Nomor 15/Pid.Sus.TPK/2015/ PN.Tjk bermula dari pelaksanaan proyek yang dilaksanakan dengan sistem tender, tetapi pada kenyataannya tender tersebut hanya sebagai formalitas saja dan PT

Way Sabuk ditetapkan sebagai

Pemenang Lelang, melalui Berita Acara Hasil Pelelangan yang oleh Panitia Pengadaan diterbitkan Surat Penetapan Penyedia Barang / Jasa (SPJB) Nomor :

005/PAN-PU/15-LU/VII/2012 tanggal

09 Juli 2012 kegiatan pembangunan jalan Kabupaten dalam kota pada pekerjaan pelebaran dua jalur jalan Jendral Sudirman Kecamatan Kotabumi

Kabupaten Lampung Utara Tahun

Anggaran 2012 di mana pemenangnya adalah PT. Way Sabuk dengan nilai penawaran Rp. 6.497.728.0000.

Kecurangan dalam pelaksanaan tender menyebabkan terjadinya hambatan pasar bagi peserta potensial yang tidak

memperoleh kesempatan untuk

mengikuti dan memenangkan tender. Hal ini tentu saja dapat merugikan konsumen dan pemberi kerja karena konsumen atau pemberi kerja harus membayar harga

yang lebih mahal daripada yang

(7)

diperoleh (baik dari sisi mutu, jumlah, waktu, maupun nilai) seringkali lebih rendah dari yang akan diperoleh apabila tender dilakukan secara jujur. Selain itu, nilai proyek (untuk tender pengadaan

jasa) menjadi lebih tinggi akibat mark-up

yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersekongkol. Apabila hal tersebut dilakukan dalam proyek pemerintah yang pembiayaannya melalui APBD, maka akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi daerah.

Hakim Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi pada Pengadilan Negeri

Tanjung Karang dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi pembangunan jalan Kabupaten dalam kota pada pekerjaan pelebaran dua jalur jalan Jendral Sudirman Kecamatan Kotabumi Kabupaten Lampung Utara Tahun Anggaran 2012 didasarkan pada tuntutan Jaksa Penuntut Umum sebagai berikut:

1. Menyatakan Terdakwa Organda

Najaya Alias Enal tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dan diancam

pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) jo.

Pasal 18 (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55

Ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dalam Dakwaan Primair.

2. Membebaskan Terdakwa oleh karena

itu dari dakwaan Primair melanggar

Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 (1)

huruf b UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1)

ke-1 KUHP.

3. Menyatakan Terdakwa Organda

Najaya Alias Enal terbukti secara sah

dan menyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dengan Sulistyawan, ST selaku Konsultan Pengawas (CV. Basic Konsultan), Hi. Rachmat Hartono

Alias Rahmat Hartono Bin

Burhanudin (DPO) selaku Direktur Utama PT. Way Sabuk (rekanan) dan selaku komisaris sekaligus pelaksana

pekerjaan PT. Way Sabuk,

sebagaimana diatur dan diancam

pidana dalam Pasal 3 jo. Pasal 18 (1)

huruf b UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi jo.Pasal 55 Ayat (1)

ke-1 KUHP sebagaimana dalam Dakwaan Subsidair.

4. Menjatuhkan pidana terhadap

Terdakwa Organda Najaya Alias Enal dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan penjara dikurangi selama terdakwa

berada dalam tahanan, dengan

perintah terdakwa tetap ditahan.

5. Membebankan kepada Terdakwa

Organda Najaya Alias Enal untuk

membayar denda masing-masing

sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), subsidair 6 (enam) bulan kurungan.

6. Menyatakan Uang sebesar Rp.

(8)

Umum dirampas untuk disetorkan ke

rekening Kas Negara guna

mengganti kerugian Negara

Putusan hakim dalam Putusan

Pengadilan Nomor:

15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk, yang

menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Organda Najaya Als Enal sesuai dengan salah teori keseimbangan, di mana terdapat keseimbangan antara syarat- syarat yang ditentukan undang-undang

dan kepentingan pihak-pihak yang

tersangkut atau berkaitan dengan

perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan

masyarakat dan kepentingan terdakwa. 5

Hakim dalam hal ini menekankan adanya keseimbangan antara perbuatan terdakwa yang melakukan tindak pidana

korupsi, dengan ketentuan hukum

khususnya Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 jo.Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan amar putusan sebagai berikut:

1) Menyatakan Terdakwa Organda

Najaya Als Enal terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana Korupsi, secara

bersama-sama”.

2) Menjatuhkan pidana kepada

Terdakwa,oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sejumlah Rp 50.000.000,- (Lima puluh Juta Rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut

5

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika,.2010, hlm.105-106.

tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.

3) Menetapkan masa penahanan yang

telah dijalani Terdakwa dikurangkan

seluruhnya dari pidana yang

dijatuhkan;

4) Menetapkan Terdakwa Tetap

ditahan.

5) Memerintahkan Jaksa Penuntut

Umum untuk menyetorkan uang

titipan pengembalian kerugian

keuangan negara yang telah

dititipkan kepada Jaksa Penuntut Umum sebesar Rp.520.477.974.20 (lima ratus dua puluh juta empat ratus tujuhpuluh tujuh ribu Sembilan ratus tujuh puluh empat rupiah koma dua puluh sen) ke Kas Negara

Hakim dalam hal ini sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman mempunyai kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya, khususnya dalam Putusan

Pengadilan Nomor:

15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk. Fungsi

utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut undang- undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik.

Kehakiman sebagai suatu badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh

hakim melalui putusan-putusannya.

(9)

perundang-undangan yang diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha

menjamin keselamatan masyarakat

menuju kesejahteraan rakyat, peraturan- peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum.

Sistem peradilan pidana mempunyai dimensi fungsional ganda. Di satu pihak berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan pada tingkatan tertentu, di lain pihak sistem peradilan pidana juga berfungsi untuk pencegahan. Effektivitas sistem peradilan pidana tergantung

sepenuhnya pada kemampuan

infrastruktur pendukung sarana dan prasarananya, kemampuan profesional aparat penegak hukumnya serta budaya hukum masyarakatnya.

Hukum yang berkualitas pada dasarnya

merupakan praktik hukum yang

mengandung nilai-nilai keadilan bagi seluruh masyarakat dan sesuai dengan kehendak atau aspirasi masyarakat, sebab itu hukum yang baik akan menjamin kepastian hak dan kewajiban secara seimbang kepada tiap-tiap orang. Tujuan hukum, disamping menjaga kepastian hukum juga menjaga sendi- sendi keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal utama bagi kepastian hukum yakni, adanya peraturan itu sendiri. tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya, adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum. Dengan adanya nilai yang berbeda-beda

tersebut, maka penilaian mengenai

keabsahan hukum atau suatu perbuatan

hukum, dapat berlain-lainan tergantung nilai mana yang dipergunakan. Tetapi umumnya nilai kepastian hukum yang

lebih utama karena terkandung

pengertian supremasi hukum, khususnya

dalam konteks penegakan hukum

terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

B. Pidana yang Dijatuhkan Hakim

menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Organda Najaya Als Enal sebagai Komisaris PT Way Sabuk yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dana proyek

pelebaran Jalan Jenderal Sudirman

Kotabumi Lampung Utara dengan

pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sejumlah Rp 50.000.000,- (Lima puluh Juta Rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. Selain itu, terdakwa juga

dipidana untuk membayar uang

pengganti sebesar Rp.520.477.974.20 (lima ratus dua puluh juta empat ratus tujuhpuluh tujuh ribu Sembilan ratus tujuh puluh empat rupiah koma dua puluh sen).

(10)

ekonomi memerlukan penanganan serta kebijakan pemidanaan secara khusus. Oleh karena itu terhadap tindak pidana

korupsi, Mahkamah Agung

mengharapkan supaya pengadilan

menjatuhkan pidana yang sungguh- sungguh setimpal beratnya dan sifat tindak pidana tersebut jangan sampai menjatuhkan pidana yang menyinggung rasa keadilan di dalam masyarakat.

Pandangan negatif masyarakat terhadap hakim dapat dihindari dengan memutus perkara secara adil dan teliti, sehingga

tidak menimbulkan kesenjangan

terhadap suatu putusan. Dari dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh dan berkembang adanya sikap/sifat kepuasan moral jika keputusan yang dibuatnya dapat menjadi tolak ukur untuk kasus yang sama, sebagai bahan referensi bagi kalangan teoritis dan praktisi hukum serta kepuasan nurani jika sampai dikuatkan dan tidak dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung jika perkara tersebut sampai ke tingkat banding atau kasasi. Hakim

dalam membuat putusan harus

memperhatikan segala aspek di

dalamnya, yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian serta dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun materiil sampai dengan

adanya kecakapan teknik dalam

membuatnya.

Ketentuan mengenai perumusan pidana

maksimum dan minimum dikenal

dengan pola pemidanaan baru, yaitu minimum khusus dengan tujuan untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk tindak pidana yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, lebih mengefektifkan

pengaruh prevensi umum, khususnya bagi tindak pidana yang dipandang

membahayakan dan meresahkan

masyarakat.

Ketentuan mengenai pidana penjara menganut asas maksimum khusus dan minimum khusus. Pada prinsipnya, pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau

meresahkan masyarakat dan untuk

tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya. Ketentuan mengenai pidana minimum (khusus) dan maksimum menegaskan bahwa terhadap kejahatan-kejahatan yang meresahkan

masyarakat diberlakukan ancaman

secara khusus.

Uraian di atas sesuai dengan tujuan pidana yaitu prevensi atau pencegahan, sanksi pidana merupakan sanksi yang paling istimewa, karena kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh kaidah-kaidah hukum pidana adalah nyawa, badan (kebebasan), kehormatan dan harta benda manusia, disamping

kepentingan-kepentingan negara.

Walaupun tujuan pemidanaan bukan merupakan suatu hal yang baru, tetapi

dampak dari pemidanaan yang

berkenaan dengan kelanjutan kehidupan

terpidana, khususnya dampak

stigmatisasi terhadap terpidana dan keluarganya, menumbuhkan aliran-aliran dalam hukum pidana yang lebih baru yang mengkreasi jenis-jenis pidana lain yang dianggap lebih menghormati harkat dan martabat manusia, di samping ingin mencapai tujuan pemidanaan itu sendiri.

(11)

hakim, karena menyangkut kepentingan- kepentingan tersebut, yang berbeda dengan sanksi perdata atau administasi yang hanya berkenaan dengan sifat-sifat kebendaan. Pembebanan pidana harus diusahakan agar sesuai dan seimbang dengan nilai-nilai kesadaran hokum serta peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hukum yang berkualitas pada dasarnya

merupakan praktik hukum yang

mengandung nilai-nilai keadilan bagi seluruh masyarakat dan sesuai dengan kehendak atau aspirasi masyarakat, sebab itu hukum yang baik akan menjamin kepastian hak dan kewajiban secara seimbang kepada tiap-tiap orang. Tujuan hukum, disamping menjaga kepastian hukum juga menjaga sendi- sendi keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal utama bagi kepastian hukum yakni, adanya peraturan itu sendiri. tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan

bagi masyarakatnya, adalah diluar

pengutamaan nilai kepastian hukum. Dengan adanya nilai yang berbeda-beda

tersebut, maka penilaian mengenai

keabsahan hukum atau suatu perbuatan hukum, dapat berlain-lainan tergantung nilai mana yang dipergunakan. Tetapi umumnya nilai kepastian hukum yang lebih berjaya, karena disitu diam-diam terkandung pengertian supremasi hukum.

Peranan hakim dalam menegakkan hukum, tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan hubungan antara hukum

dengan hakim, untuk menciptakan

keadilan dan ketertiban dalam dan bagi

masyarakat. Hakim menjadi faktor

penting dalam menentukan, bahwa

pengadilan di Indonesia bukanlah suatu

permainan untuk mencari menang,

melainkan untuk mencari kebenaran dan keadilan. Demi menjamin tegaknya

kebenaran, keadilan dan kepastian

hukum bagi seseorang, dalam

pemeriksaan atas terdakwa, hakim

senantiasa berpedoman pada sistem pembuktian yang digariskan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang

kecuali apabila dengan sekurang-

kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan

bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya.

Menilai kebenaran keterangan para saksi maupun terdakwa, hakim harus dengan

sungguh-sungguh memperhatikan:

persesuaian antara keterangan saksi satu

dengan yang lain, persesuaian

keterangan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain, alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu, cara hidup dan kesusilaan saksi, serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat

mempengaruhi dapat tidaknya

keterangan itu dipercaya.

Sesuai dengan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa putusan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana minimal tidak sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pemidanaan Agar Setimpal dengan Berat dan Sifat Kejahatannya.

Surat Edaran tersebut menyatakan

(12)

Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa

terhadap tindak pidana korupsi,

Mahkamah Agung mengharapkan

supaya pengadilan menjatuhkan pidana

yang sungguh-sungguh setimpal

beratnya dan sifat tindak pidana tersebut jangan sampai menjatuhkan pidana yang menyinggung rasa keadilan di dalam masyarakat.

Setiap pelaku yang terbukti melakukan

tindak pidana korupsi harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum dan mendapatkan

pidana maksimal sesuai dengan

ketentuan undang-undang. Seseorang

yang melanggar hukum harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum. Pandangan negatif masyarakat terhadap hakim dapat

dihindari dengan memutus perkara

secara adil dan teliti, sehingga tidak

menimbulkan kesenjangan terhadap

suatu putusan. Dari dalam diri hakim

hendaknya lahir, tumbuh dan

berkembang adanya sikap/sifat kepuasan moral jika keputusan yang dibuatnya dapat menjadi tolak ukur untuk kasus yang sama, sebagai bahan referensi bagi kalangan teoritis dan praktisi hukum serta kepuasan nurani jika sampai dikuatkan dan tidak dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung jika perkara tersebut sampai ke tingkat banding atau kasasi.

Hakim dalam membuat putusan harus

memperhatikan segala aspek di

dalamnya, yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian serta dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik bersifat

hati-hati dalam merumuskan putusannya tersebut akan menghasilkan putusan yang benar-benar berlandaskan pada keadilan dan memenuhi aspek kepastian hukum.

Menurut pendapat penulis putusan

pidana minimal dalam perkara tersebut belum memenuhi rasa keadilan. Hal ini sesuai dengan teori keadilan secara umum, yaitu sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil. Sementara adil

adalah tidak berat sebelah, tidak

memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu tidak merugikan seseorang dan perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil6

Hakim dalam hal ini belum memenuhi keadilan substantif dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi, keadilan substantif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, dengan

tanpa melihat kesalahan-kesalahan

prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat. Ini berarti

bahwa apa yang secara formal-

prosedural benar bisa saja disalahkan

secara materiil dan substansinya

melanggar keadilan. Demikian

sebaliknya, apa yang secara formal salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil (hakim dapat menoleransi pelanggaran procedural asalkan tidak melanggar substansi keadilan.

formal maupun materiil sampai dengan

adanya kecakapan teknik dalam

membuatnya. Hakim yang cermat dan

6

(13)

III.Penutup

A. Simpulan

1. Dasar pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi proyek pelebaran jalan dalam Perkara Nomor

15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk. secara yuridis adalah terpenuhi unsur-unsur dakwaan Jaksa Penuntut Umum

yaitu Pasal 3 jo. Pasal 18 (1) huruf b

Undang-Undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi jo.Pasal 55

Ayat (1) ke-1 KUHP. Pertimbangan secara non yuridis terdiri dari hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Hal-hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah. Hal-

hal yang meringankan adalah

terdakwa mengakui perbuatannya dan belum pernah dihukum. Sesuai dengan pertimbangan tersebut terdakwa dipidana dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sejumlah Rp 50.000.000,- (Lima puluh Juta Rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. Selain itu, terdakwa juga dipidana untuk membayar uang pengganti

sebesar Rp.520.477.974.20 (lima

ratus dua puluh juta empat ratus tujuhpuluh tujuh ribu Sembilan ratus tujuh puluh empat rupiah koma dua puluh sen).

2. Pidana yang dijatuhkan hakim dalam

Perkara Nomor:

15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk belum memenuhi rasa keadilan, karena

tindak pidana korupsi sebagai

kejahatan luar biasa seharusnya

dipidana secara maksimal, dan

pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam terjadinya atau mempermudah terlaksananya tindak pidana tersebut, seharusnya dipidana sesuai dengan berat atau ringannya kesalahan yang

dilakukan, sehingga tidak

bertentangan dengan rasa keadilan

masyarakat yang mengharapkan

pemberantasan tindak pidana

korupsi.

B.Saran

1. Disarankan kepada Majelis Hakim

Tipikor untuk menjatuhkan hukuman maksimal kepada pelaku tindak

pidana korupsi, dalam rangka

memberikan efek jera kepada pelaku dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain agar tidak melakukan tindak pidana korupsi.

2. Disarankan kepada Hakim dalam

menjatuhkan pidana kepada pelaku

tindak pidana korupsi untuk

mempertimbangkan berbagai aspek yang menyebabkan terjadinya tindak

pidana, kepentingan masyarakat

terhadap pemberantasan tindak

pidana korupsi dan besarnya kerugian

negara yang diakibatkan oleh

perbuatan terdakwa. Hal ini penting

dilaksanakan agar pidana yang

dijatuhkan kepada terdakwa benar-

benar berdasar pada upaya

(14)

Daftar Pustaka

Alatas, Syed Husein. 2008. Sosiologi

Korupsi, Sebuah Penjelajahan

dengan Data Kontemporer,

LP3ES. Jakarta.

Halim, 2004. Pemberantasan Korupsi,

Rajawali Press, Jakarta.

Mulyadi, Lilik. 2007. Hukum Acara

Pidana, Citra Aditya Bakti,

Bandung.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum

oleh Hakim dalam Persfektif

Hukum Progresif, Sinar Grafika.

Jakarta.

Soepardi, Eddy Mulyadi. 2009.

Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur

Tindak Pidana Korupsi, Ghalia

Indonesia, Jakarta

Sudarto, 1986. Kapita Selekta Hukum

Referensi

Dokumen terkait

telah menurunkan kitab kepada nabi atau rasul yang berisi wahyu untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia.. yang diturunkan kepada para

belajai engajar dan basil belajar. Belajar merupakan kegiatan atau suatu usaba. Belaja lianggap berbasil apabila tujuan yang dimaksud telah dicapai

[r]

Pada saat pemerintahan Kolonial Belanda, Kawasan Pulo Brayan Bengkel Medan merupakan pusat balai yasa serta stasiun bagi kereta api penumpang, akan tetapi seiring

Jadi, sumber naskah dan dokumen ANI mencatat data yang sama sepeninggal Raden Adipati Surianata, pada tahun 1829 kedudukan Bupati Karawang ditempati oleh adiknya yang bemama

Terhadap jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)

Pengaruh Senam Aerobik Dan Yoga Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Pada Pasien. Diabetes Mellitus Tipe II Di Poliklinik Khusus Penyakit Dalam RSUP

Tempat bongkar muat barang di DAOP III Cirebon, DAOP IV Semarang, DAOP V Purwokerto, DAOP VI Yogyakarta, DAOP VIII Surabaya dan DIVRE I Medan sebagai lahan