ANALISIS YURIDIS ATAS PERTIMBANGAN HAKIM
DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS DALAM
PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
(Putusan Nomor 51/Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn)SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
DisusunOleh :
NIM : 090200046 REMINISIR HARITA
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISIS YURIDIS ATAS PERTIMBANGAN HAKIM
DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS DALAM
PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
(Putusan Nomor 51/Pid.Sus/2013/Pn.Mdn)SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
DisusunOleh :
NIM : 090200046 REMINISIR HARITA
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh :
Ketua Departemen Hukum Pidana
NIP. 195703261986011001 Dr. M, Hamdan SH.,M.H.
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Madiasa Ablisar SH.M.Hum.
NIP. 196104081986011002 NIP.197302202002120001
Dr, Mahmud Mulyadi SH. M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
Reminisir Harita*
Dr. Madiasa Ablisar, SH. M. Hum** Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M. Hum***
Putusan didalam sistem peradilan pemeriksaan perkara pidana, hal ini tidak terlepas dari tujuan hukum itu sendiri sebagai alat yang dipakai untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara. Hakim dalam menentukan suatu kebenaran melalui proses peradilan tidak lain adalah putusannya itu sendiri baik itu putusan yang bersifat pemidanaan, putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan. Hakim dapat menjatuhkan putusan tersebut dalam segala jenis perkara pidana termasuk korupsi. Sebab peradilan adalah wilayah multi tafsir, dimana tiap orang yang terlibat bisa untuk membangun realita didalamnya, apakah sebagai pelaku tindak pidana, korban, saksi, penyidik, penuntut maupun hakim yang masing-masing mempunyai peran dan kepentingan dalam proses pengadilan. Pengadilan dalam proses perkara pidana sebagai konstruksi sosial menggambarkan realitas pembentukan proses peradilan oleh aktor-aktor didalamnya.
Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu bagaimana pertimbangan yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan bagaimana analisis kasus tindak pidana korupsi yang diputus bebas dalam prespektif hukum pidana. Metode penelitian yang digunakan merupakan metode penelitian hukum normatif. Sebagai penelitian hukum nnormatif, penelitian mengacu pada analisis norma hukum baik yang tertulis dalam buku maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses peradilan. Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan pada data skunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif teoritis dan analisis normatif-kaulitatif.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
Berkat dan rahmat-Nya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini
berjudul “ANALISIS HUKUM PIDANA ATAS PERTIMBANGAN HAKIM
DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA TINDAK
PIDANA KORUPSI (PUTUSAN NOMOR 51/PID. SUS.K/2013/PN.MDN)”.
Penulisan skripsi ini dibuat dalam rangka untuk memenuhi
persyaratan-persyaratan untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sumetera Utara Departemen Hukum Pidana.
Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada orang tua saya tercinta buat bimbingan yang diberikan kepada penulis,
doa, perhatian, kasih sayang dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.
Selanjutnya saya ucapkan terima kasih kepada abang-abang dan kakak-kakak saya
beserta keluarga semuanya yang selalu memberikan dukungan dan doanya.
Dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis sampaikan
rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus atas bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Rasa terima kasih dan
penghargaan ini penulis sampaikan kepada :
1. Prof. Dr, Runtung Sitepu, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
2. Prof.Dr.Budiman Ginting,SH.,M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas
3. Bapak Syafruddin, SH.,M.H. selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
4. Bapak Muhammad Husni, SH.,M.H. selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH. M. Hum, selaku Ketua Departemen Hukum
Pidana;
6. Ibu Liza Erwina, SH. M.Hum, selaku sekretaris Departemen Hukum
Pidana dan sebagai Dosen Pembimbing Akademik saya;
7. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH. M. Hum, selaku Dosem Pembimbing I
yang memberikan bimbingan dan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini;
8. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M. Hum, selaku Dosen Pembimbing II
yang memberikan bimbingan dan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini;
9. Bapak/Ibu Dosen dan seluruh Staf Pegawai Administrasi di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
10.Untuk kakanda-kakanda stambuk 2006 yang memberikan sumbangsih
pemikiran dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini;
11.Untuk Bung dan Sarinah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara “GMNI JAYA,
MARHAEN MENANG”;
12.Untuk semua rekan-rekan seperjuangan stambuk 2009 yang menimba ilmu
di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
13.Sahabat-sahabat saya Eka Subrata dan Irwan Tauhid terima kasih atas
14.Kepada Bang Ubertus Manao SH, dan Hotmaarudur SH, yang menberikan
masukan-masukan dalam penyelesaian skripsi ini;
15.Untuk Mas Catur LPMI dan semua pemuda GBI Sunggal yang peduli dan
turut mendoakan penyelesaian skripsi ini;
16.Kepada semua teman-teman Ahmad Husen, Yunita, Sahat, Marthin, ,
Sastro, Apul, Agus, Daniel, Fahmi, Joel, Martina, Mahmudin, Darwin,
Ruth, Anita, Agry, Vani dan kawan-kawan kos Lorsem 712 B yang tidak
bisa disebutkan semuanya.
Dengan demikian besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat
bermanfaat dan memberikan wawasan bagi kita semua.
Medan 10 Oktober 2013
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang ... 1
B. RumusanPermasalahan ... 6
C. Tujuandan Manfaat Penulisan ... 6
D. Keaslian Penulisan ... 8
E. Tinjauan Pustaka ... 8
1. Definisi Tindak Pidana ... 8
2. Definisi Tindak Pidana Korupsi ... 14
3. Definisi Keputusan Hakim ... 18
F. Metode Penelitian ... 19
G. Sistematika Penulisan ... 22
BAB II DIMENSI PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ... 24
1. Perkembangan Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi ... 24
2. Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi ... 34
B. Dassar-Dasar Penjatuhan Putusan Hakim ... 43
1. Pertimbangan Yuridis ... 44
2. Pertimbangan Non Yuridis ... 58
C. Bentuk Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Korupsi ... 61
1. Putusan Bebas (Vrisjpsraak)... 61
2. Putusan Bebas Dari Segala Tuntutan (Onslag Van Alle Rechtsvervolging) ... 64
BAB III KASUS DAN ANALISIS KASUS
A. Kasus ... 70
1. Kasus Posisi ... 70
2. Dakwaan ... 73
3. Fakta-Fakta Hukum ... 74
4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ... 90
5. Pembelaan Terdakwa ... 91
6. Putusan Pengadilan Negeri ... 94
B. Analisis Kasus ... 95
C. Analisis Putusan Tehadap Putusan Bebas Pengadilan Negeri (PN. Medan ... 108
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 111
B. Saran ... 112
ABSTRAK
Reminisir Harita*
Dr. Madiasa Ablisar, SH. M. Hum** Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M. Hum***
Putusan didalam sistem peradilan pemeriksaan perkara pidana, hal ini tidak terlepas dari tujuan hukum itu sendiri sebagai alat yang dipakai untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara. Hakim dalam menentukan suatu kebenaran melalui proses peradilan tidak lain adalah putusannya itu sendiri baik itu putusan yang bersifat pemidanaan, putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan. Hakim dapat menjatuhkan putusan tersebut dalam segala jenis perkara pidana termasuk korupsi. Sebab peradilan adalah wilayah multi tafsir, dimana tiap orang yang terlibat bisa untuk membangun realita didalamnya, apakah sebagai pelaku tindak pidana, korban, saksi, penyidik, penuntut maupun hakim yang masing-masing mempunyai peran dan kepentingan dalam proses pengadilan. Pengadilan dalam proses perkara pidana sebagai konstruksi sosial menggambarkan realitas pembentukan proses peradilan oleh aktor-aktor didalamnya.
Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu bagaimana pertimbangan yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan bagaimana analisis kasus tindak pidana korupsi yang diputus bebas dalam prespektif hukum pidana. Metode penelitian yang digunakan merupakan metode penelitian hukum normatif. Sebagai penelitian hukum nnormatif, penelitian mengacu pada analisis norma hukum baik yang tertulis dalam buku maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses peradilan. Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan pada data skunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif teoritis dan analisis normatif-kaulitatif.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau yang boleh
dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja
orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum, melainkan juga perbuatan yang
juga mungkin akan terjadi, dan kepada alat kelengkapan negara agar bertindak
menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu salah satu bentuk
penegakan hukum.1
Hukum pidana materiil ataupun hukum pidana formal/acara hukum pidana
sebagai bagian hukum publik dengan titik tolak mengatur kepentingan umum
(algemen belangen) dan sifatnya apriori telah memaksa, jelaslah sudah
bahwasanya tujuan dari hukum acara pidana itu adalah mencari, menemukan dan
menggali “kebenaran materiil/maeriil waarheid” atau “kebenaran yang
sesungguh-sungguhnya” atau “kebenaran hakiki”. Karena konsekuensi yang
demikian, dalam hukum acara pidana tidaklah dikenal adanya “kebenaran
formal/formeele waarheid” yang semata-mata ditujukan pada
formalitas-formalitas hukum.2
1
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Ke-2 (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 1.
2
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Prespektif, Teoritis dan Praktik, (Bandung, PT. Alumni, 2008), hlm. 43.
Dikaji dari prespektif pandangan doktrina hakikat fundamental
hukum pidana dapat diklasifikasikan menjadi hukum pidana umum (ius
commune) dan hukum pidana khusus (ius singular, ius special atau bijzonder
termaktum dalam KUHP sedangangkan ketentuan hukum pidana khusus menurut
Pompe, A. Nolten, Sudarto dan E.Y. Kanter diartikan sebagai ketentuan hukum
pidana yang mengatur mengenai kekhususan subjeknya dan perbuatan yang
khusus (bijzonderlijk).
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana
khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum
pidana umum, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau
dari materi yang diatur, Tindak Pidana Korupsi secara langsung dimaksudkan
menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran dan penyimpangan terhadap
keuangan dan perekonomian negara.3 Korupsi berkaitan dengan kekuasaan karena
kekuasaan itu dapat melakukan penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi,
keluarga atau kroninya.Dapat ditegaskan bahwa korupsi itu selalu bermula dan
berkembang disektor pemerintahan (publik) dan perusahaan milik negara.Dengan
bukti-bukti yang nyata dengan kekuasaan itulah pejabat publik dan perusahaan
milik negara dapat menekan atau memeras para orang-orang yang memerlukan
jasa pelayanan dari pemerintah maupun badan usaha milik negara.4
Vito Tanzi mengemukakan bahwa korupsi adalah perilaku yang tidak
mematuhi prinsip, dilakukan oleh perorangan disektor swasta atau pejabat publik,
3
Ibid. hlm. 153
4
keputusan yang dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga akan
menimbulkan korupsi,termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme.5
Bertitik tolak dari hal tersebut pemberantasan korupsi bukanlah perkara
yang mudah diatasi, dibutuhkan kerja sama yang konkrit antara penegak hukum
untuk tercapainya keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum di tengah-tengah
masyarakat. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah satu-satunya pengadilan
yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara Tipikor . Dalam
bagian Penjelasan Umum UU No. 46 Tahun 2009 dinyatakan, Pengadilan Tipikor
adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum dan Dalam suatu proses penegakan hukum termasuk masalah korupsi, selain
dibutuhkan perangkat peraturan perundang-undangan, dibutuhkan juga instrumen
penggeraknya, yaitu institusi-institusi penegak hukum dan diimplementasikan
melalui mekanisme kerja dalam sebuah sistem, yaitu sistem peradilan pidana
(criminal justice system). Sebagai suatu sistem, maka mekanisme kerja suatu
sistem pidana meliputi instrument atau sub-sub sistem yaitu: (1) Sub sistem
kepolisian (police) yang melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan; (2) Sub
sistem kejaksaan (prosecution) dengan tugas bidang penuntutan; (3) Sub sistem
pengadilan (court) yang bertugas memeriksa perkara pada persidangan dan
menjatuhkan vonis; (4) Sub sistem lembaga permasyarakatan (correctional
institution).
5
pengadilan satu-satunya yang memiliki wewenang memeriksa, mengadili dan
memutus perkara Tipikor yang penuntutanya diajukan oleh penuntut umum. 6
Berkaitan tentang masalah putusan didalam sistem peradilan pemeriksaan
perkara pidana, hal ini tidak terlepas dari tujuan hukum itu sendiri sebagai alat
yang dipakai untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara.
Sehingga bilamana suatu hukum atau Undang-undang tidak mempunyai tujuan,
tentunya acara penegakan hukum dan hak-hak asasi manusiapun akan berjalan
dengan suatu ketidak pastian. Oleh sebab itulah di dalam mencapai suatu tujuan
tersebut kuncinya terletak pada aparat hukum itu sendiri.
Hakim Sebagaimana diketahui bahwa dalam setiap pemeriksaan melalui
proses acara pidana, keputusan hakim haruslah selalu didasarkan atas surat
pelimpahan perkara yang memuat seluruh dakwaan atas kesalahan terdakwa dan
fakta-fakta persidangan. Selain itu keputusan hakim juga harus tidak boleh
terlepas dari hasil pembuktian selama pemeriksaan dan hasil sidang pengadilan.
Untuk menentukan bersalah tidaknya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang,
hal ini semata-mata dibawah kekuasaan kehakiman, artinya hanya jajaran
departemen inilah yang diberi wewenang untuk memeriksa dan mengadili setiap
perkara yang datang untuk diadili.
7
Pada hakikatnya putusan bebas (vrijspraak) mengacu pada ketentuan Pasal
191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: Jika pengdilan berpendapat
6
Ibid. hlm. 158.
7
bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka tedakwa
diputus bebas.8
Peranan hakim dalam menentukan suatu kebenaran melalui proses
peradilan tidak lain adalah putusannya itu sendiri. Maksudnya ada tidaknya
kebenaran itu ditentukan atau diterapkan lewat putusan. Dan didalam hubungan
tersebut jelaslah apa yang ditegaskan bahwa untuk menemukan kepastian,
kebenaran dan keadilan antara lain akan tampak dalam apa yang diperankan oleh
hakim dalam persidangan, sejak pemeriksaan sampai pada putusan pengadilan
bahkan sampai eksekusinya.
Sejalan dengan tugas hakim seperti dijelaskan diatas yakni kemampuan
untuk menumbuhkan putusan-putusan atau yang dapat diterima masyarakat.
Apalagi terhadap penjatuhan putusan bebas yang memang banyak memerlukan
argumentasi konkrit dan pasti, kiranya pantaslah status hakim sebagaimana
ditentukan Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan negara hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum dan keadilan berdasarkan hukum
Indonesia.
9
8
Lihat Undang-Undang Hukum Acara Pidana
9
.Op.Cit.http:www//zulfanlaw.wordpress.com/2008/07/10/dasar-pertimbangan-hakim- dalam-menjatuhkan-putusan-bebas-demi-hukum, Akses 22 Agustus 2013.
pidana korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.10
Bertitik tolak dari uraian diatas H. Rahudman Harahap, MM. yang
dituduh melakukan tindak pidana korupsi dan tidak terbukti secarah sah dan
meyakinkan sehingga diputus bebas oleh Majelsi Hakim serta tidak ditemukan
kerugian negara yang dilakukan Terdakwa seperti yang dituduhkan jaksa/penuntut
umum dalam surat dakwaannya membuat penulis tertarik untuk menganalisis
secara yuridis apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusan
bebas tersebut.11
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan
batasan permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pertimbangan yuridis hakim dalam menjatuhkan
putusan yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi ?
2. Bagaimanakah analisis kasus tindak pidana korupsi yang diputus
bebas (Putusan No. Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn) dalam prespektif hukum
pidana ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan diatas, maka tujuan
penelitian ini adalah :
10
Lihat Penjelasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
11
1. Untuk mengetahui pertimbangan yuridis hakim dalam menjatuhkan
putusan yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi.
2. Untuk Mengetahui analisis kasus tindak pidana korupsi yang diputus
bebas (Putusan No. Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn) dalam prespektif hukum
pidana.
Adapun manfaat yang diharapkan dan akan diperoleh dari penulisan ini
adalah sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis, kiranya kehadiran skripsi ini mampu memberikan
sumbangan pemikiran dan pengembangan hukum pidana khususnya
mengenai dasar pertimbangan yuridis hakim dalam menjatuhkan
putusan yang berkenaan dengan perkara korupsi. Kiranya skripsi ini
juga mampu memenuhi hasrat keingintahuan para pihak ataupun yang
ingin sedang mendalami pengetahuan tindak pidana korupsi baik itu
mahasiswa, akademisi maupun masyarakat luas.
2. Manfaat praktis, diharapkan mampu memberikan informasi hukum
kepada semua kalangan, terutama penegak hukum tentang analisis
kasus tindak pidana korupsi dalam menjatuhkan putusan bebas, serta
memberi masukan bagi para pengmbil kebijakan dibidang penegakan
hukum terhadap delik korupsi dalam hal pembentukan dan
D. Keaslian Penulisan
Penulis telah melakukan penelusuran daftar penulisan skripsi di
Perpeustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan kearsipan di
Departemen Hukum Pidana, tidak ditemukan kesamaan judul ataupun
permasalahan yang di angkat oleh Penulis yaitu “ANALISIS YURIDIS ATAS
DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN
BEBAS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (PUTUSAN
NOMOR 51/PID.SUS.K/2013/PN.MDN)”.Tulisan ini merupakan karya asli yang
disusun berdasarkan dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan ilmiah.
Skripsi ini merupakan karya asli dari pemikiran murni penulis dan tidak
meniru kepunyaan orang lain. Apabila ada ditemukan kesamaan judul dan
permasalahan skripsi ini dengan skripsi yang sebelumnya di Departemen Hukum
Pidana maka penulis dapat mempertanggungjawabkannya.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Definisi Tindak Pidana
Peristiwa pidana yang juga disebut tindak pidana (delict) ialah suatu
perbuatan atau rangkaian perbutan yang dapat dikenakan hukum pidana. Suatu
peristiwa hukum yang dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi
unsur-unsur pidananya. Dan unsur-unsur itu terdiri dari :
1. Objektif
Yaitu suatu tindakan (atau perbutan yang bertentangan dengan hukum
hukum. Yang dijadikan titik utama dari objektif disini adalah
tindakannya.
2. Subjektif
Yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh
undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku
(seseorang atau beberapa orang)
Dilihat dari unsur-unsur pidana ini, maka kalau ada suatu perbuatan yang
dulakukan oleh seseorang harus memenuhi persyaratan supaya dapat dinyatakan
sebagai peristiwa pidana. Dan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai suatu
peristiwa pidana ialah :
1. Harus ada suatu perbuatan
2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang ditentukan dalam ketentuan
hukum
3. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan
4. Harus berlawanan dengan hukum
5. Harus terdapat ancaman hukumannya12
Terwjudnya suatu tindak pidana tidak selalu dijatuhklan pidana terhadap
pembuatnya Undang-undang telah memberikan dasar-dasar yang meniadakan
pidana. Adanya aturan ini membuktikan bahwa Undang-undang memisahkan
antara tindak pidana dengan sipembuatnya.13
12
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, cetakan ke-2 (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 18-19.
13
Adami Chzawi, Pelajaran Hukum Pidana, cetakan ke-2 (Jakarta: RajaGrafindo Persda, 2002), hlm. 15.
menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi
tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai straafbaarfeit
tersebut.14Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu
pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan
kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa yang terjadi didalam
hukum pidana.15
a. R. Tresna setelah mengemukakan bahwa sungguh tidak mudah memberikan
suatu ketentuan atau definisi yang tepat, mengatakan bahwa : Peristiwa
Pidana ialah sesuatu perbuatan manusia, yang bertentangan dengan
undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan
tindakan penghukuman. Beliau menerangkan bahwa perumusan tersebut jauh
daripada sempurna, karena dalam uraian beliau selanjutnya diutarakan bahwa
sesuatu perbuatan itu baru dapat dipandang sebagai peristiwa pidana, apabila
telah memenuhi persyaratan yang diperlukan.
Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari
peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak
pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas
untuk dapat memisahkan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan
bermasyarakat.
Beberapa perumusan tindak pidana yang telah diperkenalkan oleh
beberapa sarjana/ahli hukum sebagai berikut :
16
14
Evi Hartanti, Op.Cit. hlm. 5
15
Bambang Poernomo, Azas- Azas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Gahlia Indonesia, 1976), hlm. 124
16
b. Wirjono Prodjodikoro merumuskan, bahwa Tindak-pidana berarti suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Dan pelaku itu
dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.17
c. Moeljatno setelah memilih perbuatan-pidana sebagai terjemahan dari
‘‘Strafbaar Feit”,beliau memberi suatu perumusan (pembatasan) sebagai
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa melanggar
larangan tersebut, dan perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau menghambat akan
tercapainya tata pergaulan didalam masyarakat yang dicita-citakan oleh
masyarakat itu. Makna perbuatan pidana, secara mutlak harus unsur formil,
yaitu mencocoki rumusan undang-undang (Tatbestandmaszigkeit) dan unsur
materil, yaitu sifat bertentangannya dengan cita-cita mengenai pergaulan
masyarakat atau dengan pendek, sifat melawan hukum (Rechtswirdigkeit).18
d. Simons telah merumuskan “strabaar feit” sebagai suatu tindakan melanggar
hukum telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum.19
Sungguhpun telah banyak diperkenalkan perumusan dari tindak pidana
diatas, diantara sarjana itu ada yang merasa yakin atas kelengkapan dari
17
Wirjono Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: PT Eresco, ,1969), hlm. 27
18
Moelijatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab dalam Hukum Pidana, (Yogyakarta: Bina Aksara, 1983), hlm. 17
19
perumusannya, ada yang mengakui ketidak-sempurnaannya.Seperti telah
disinggung diatas, istilah Tindak Pidana adalah merupakan singkatan dari
Tindakan atau Penindak. Artinya adanya orang yang melakukan suatu Tindakan,
sedangkan orang yang melakukan itu dinamakan Petindak. Mungkin sesuatu
tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja, tetap dalam banyak hal sesuatu tindakan
tertentu hanya mungkin dilakukan oleh seseorang dari suatu golongan jenis
kelamin saja, atau seseorang dari suatu golongan yang bekerja pada Negara/
pemerintah, atau seseorang dari golongan lainnya yang hidup didalam
masyarakat. Antara penindak dengan suatu tindakan yang terjadi harus ada
hubungan kejiwaan (pshycologis), selain daripada penggunaan salah satu bagian
tubuh, panca indra atau alat lainnya sehingga terwujudnya sesuatu tindakan.
Hubungan kejiwaan itu adalah sedemikian rupa dimana petindak dapat menilai
tindakannya, dapat menentukan apakah akan dilakukan atau dihindarinya, dapat
pula menginsyafi ketercelaan atas tindakannya itu, atau setidak-tidaknya, oleh
kepatutan dalam masyarakat memandang bahwa tindakan itu adalah tercela.
Bentuk hubungan kejiwaan itu (dalam istilah hukum-pidana) disebut
kesengajaan atau kealpaan, selain daripada itu tiada terdapat dasar-dasar atau
alasan peniadaan bentuk hubungan kejiwaan tersebut.20
Tindakan yang dilakukannya itu harus bersifat melawan hukum. Dan tidak ada
terdapat dasar-dasar atau alasan-alasan yang meniadakan sifat melawan hukum
dari tindakan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa ditinjau dari suatu kehendak
(yang bebas) dari petindak, maka kesalahan itu adalah merupakan “kata hati”
20
(bagian terdalam) dari kehendak itu, sedangan sifat melawan hukum dari tindakan
itu merupakan “pernyatan “ (bagian luar) dari kehendak itu.21
Setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan
hukum, menyerang kepentingan masyarakat atau individu yang dilindungi hukum,
tidak disenangi oleh orang atau masyarakat baik yang langsung atau tidak
langsung terkena dari tindakan tersebut. Pada umumnya untuk menyelesaikan
setiap tindakan yang sudah dipandang merugikan kepentingan umum disamping
kepentingan perseorangan, dikehendaki turun tangannya penguasa. Dan apabila
penguasa tidak turun tangan maka tindakan-tindakan tersebut akan merupakan
sumber kekacauan yang tak akan ada habis-habisnya. Demi menjamin keamanan,
ketertiban, dan kesehjahteraan didalam masyarakat, perlu ditentukan mengenai
tindakan-tindakan apa saja yang dilarang atau diharuskan.22
21
Ibid. hlm. 29.
22
Ibid. hlm. 30.
Apabila seseorang melakukan suatu tindakan sesuai dengan kehendaknya
dan karenanya merugikan kepentingan umum/masyarakat termasuk kepentingan
perorangan, lebih lengkap kiranya apabila harus ternyata tindakan tersebut terjadi
pada suatu tempat, waktu, dan keadaan yang ditentukan. Artinya, dipandang dari
sudut tempat, tindakan itu harus terjadi dari suatu tempat dimana ketentuan pidana
Indonesia berlaku; Dipandang dari sudut waktu, tindakan itu masih dirasakan
sebagai suatu tindakan yang perlu diancam dengan pidana (belum daluarsa); dan
dari sudut keadaan, tindakan itu harus terjadi pada suatu keadaan dimana tindakan
Perlu diperhatikan pula, apabila masalah waktu, tempat, dan keadaan
(WTK) ini dilihat dari sudut Hukum Pidana Formal, maka ia sangat penting.
Karena tanpa kehadirannya dalam surat dakwaan, maka surat dakwaan itu adalah
batal demi hukum. Jadi sama dengan unsur-unsur lainnya yang harus
hadir/terbukti. Dengan demikian dapat dirumuskan pengertian dari tindak-pidana
sebagai : “Suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu”, yang
dilarang (diharuskan ) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat
melawan hukum serta dengan kesalahan oleh seseorang (yang mampu
bertanggungjawab)”.23
2. Definisi Tindak Pidana Korupsi
Secara umum atau awam, korupsi merupakan: (a) suatu tindakan
mengambil, menyelewengkan, menggelapkan uang Negara/rakyat untuk
kepentingan pribadi/kelompok; (b) menerima gaji tanpa kerja (dengan sengaja
meninggalkan tugas).24
H.A. Brazz berpendapat bahwa suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai
korupsi jika mengandung unsur-unsur berikut: (a) kekuasaan yang dialihkan; (b)
kekuasaan yang dialihkan tersebut dipakai berdasarkan wewenang yang melekat
pada kekuasaan itu, atau berdasarkan kemampuan-kemampuan yang formal; (c)
kekuasaan tersebut dipakai untuk merugikan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan
asli (d) kekuasaan tersebut dipakai untuk menguntungkan atau merugikan orang
luar; (e) pemakaian wewenang dan kekuasaan formal secara tersembunyi dengan
23
E.Y Kanter dan S.R. Sianturi.Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), hlm. 21
24
dalih menurut hukum.25 Dalam literatur mengenai korupsi, terdapat definisi yang
memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah:26
Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa latin
Corruptio atau Corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa Corruptio itu berasal dari
pula dari kata asal corrumpare, suatu kata latin yang lebih tua.
“Behaviour which deviates from the formal dutiers of a public role because of
private-regarding (personal, clise family, private clique) pecuniary or
status-gains; or certain types of regarding behavior” yang dapat diterjemahkan sebagai:
“perilaku menyimpang dari kewajiban formal suatu peran publik karena private
regarding (kepribadian, keluarga dekat, persengkokolan pribadi) berkenaan
dengan uang atau status – keuntungan; atau melanggar aturan yang bertentangan
dengan perilaku yang terhormat”.
27
Arti harfiah dari kata tersebut ialah kebusukan, kebejatan, ketidak jujuran,
dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan
yang menghina atau memfitnah seperti yang dibaca dalam The Lexicon Webster
Dictionary:
Dari bahasa latin
itupun turun ke banyak bahasa Eropa seperti: Corruption, corrupt (inggris),
Corruption (perancis), dan Corruptie (korruptie) (Belanda). Sehingga dalam
Bahasa Indonesia dapat diturtunkan sebagai “Korupsi”.
28
25
H. A. Brazz, Beberapa Catatan Mengenai Sosiologi Korupsi, dalam Mochtar Lubis dan James Scott. Ed. Bunga Rampai Korupsi, hlm.7.
26
Roberd Klitgard: Kontroling Coruption, page 23, dikutip dari Max Weber, The Protestant ethnics and Spirit of Capitalism, (1904-s), Printerd University of California Press Baekley and Los Angles, Califoprnia.
27
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi di Tinjau dari Hukum Pidana, (Jakarta: Pusat Study Hukum Pidana Universitas Trisakti, 2002), hlm. 4.
28
Corruption (l. Corruptio: the Act of corruption; or the state of being corrupt;
putrefactive decomposition, putrid matter moral prevension; depravityperversion
of integrity; corrupt or dishonest proceedings, bribery; perversion from a state of
purity; debasment, as language; a debased from the world. 29
a. Barangsiapa dengan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui patut
disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diartikan sebagai tindak pidana
korupsi adalah:
Pertama:
b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu badan menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung
atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal 209, 210, 387,
388, 415, 416, 419, 429, 423, 425, dan 435 KUHP.
d. Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti
dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau
29
wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya itu. Seperti
yang tersebut dalam Pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan
pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.
e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkatnya
setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya.
Kedua:
Barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk tindak
pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c , d, e.
Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang
bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pasal 1 ayat (3)
menyatakan bahwa:
“Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi”.
Sedangkan menurut Undang No. 31 tahun 1999 jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal
2 ayat (1) pengertian korupsi adalah:
“setipa orang yang melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atar
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana penjara paling singakt 4 (emapat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun”. 30
30
3. Definisi Putusan Hakim
Dalam menangani suatu perkara, Hakim diberikan kebebasan oleh
undang-undang dan pihak lain tidak diperbolehkan campur tangan atau
mempengaruhi Hakim. Disamping itu hakim harus diwajibkan jujur dan tidak
memihak agar putusannya benar-benar memberikan keadilan.31
Perihal ‘Putusan Hakim’ atau “putusan pengadilan” merupakan aspek
penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Oleh karena
dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasanya “putusan hakim” disatu pihak
berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum (rechtszekerheid) tentang
“statusnya” dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap
putusan tersebut dalam arti berupa menerima putusan ataupun melakukan upaya
hukum verzet, banding atau kasasi, melakukan grasi dan sebagainya. Sedangkan
dilain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan
Hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak” pencerminan nilai-nilai
keadilan; kebenaran hakiki; hak asasi manusia; penguasaan hukum atau fakta
secara mapan, mempuni dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas dan
moralitas dari hakim yang bersangkutan.32
Putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang dikeluarkan
oleh Kejaksaan Agung RI 1985 adalah hasil atau kesimpulan dari suatu yang telah
31
Gatot Supramono, Surat Dakwaan dan Putusan Hakim Yang Batal Demi Hukum, (Jakarta: Djambatan 1991), hlm. 51.
32
dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk
tertulis ataupun lisan.33
Menurut Lilik Mulyadi34
F. Metode Penelitian
dalam bukunya putusan hakim dalam hukum
acara Indonesia mengatakan bahwa “putusan hakim adalah putusan yang
diucapkan oleh hakim karena jabatanya dalam persidangan perkara pidana yang
terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara
pidana pada umunya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari
segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dibuat dengan tujuan
penyelesaian perkaranya.
1. Jenis Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan
konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi
terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.35
Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini
merupakan metode penelitian hukum normatif.36
33
Evi Hartanti, hlm. 52.
34
Lilik Mulyadi, Op.Cit. hlm.131.
35
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 1.
36
Ibid., hlm. 13-14
Adapun tipe penelitian yang
untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk
mengatasi masalah-masalah tertentu.37
Menurut Sumardi Suryabrata, secara harfiah, penelitian deskriptif adalah
penelitian yang bermaksud untuk membuat Percandaan (deskripsi) mengenai
suatu situasi suatu kejadian-kejadian. Dalam arti penelitian deskriptif itu adalah
akumulasi data dasar dalam cara deskriptif semata –mata, tidak perlu mencari atau
menerangkan saling hubungan, mentes hipotesis membuat ramalan atau
mendapatkan makna dan implikasi, walaupun penelitian bertujuan untuk
menemukan hal-hal tersebut dapat mencakup juga metode-metode deskriptif.38
Sebagai suatu penelitian hukum normatif, penelitian ini mengacu pada
analisis norma hukum, dalam arti law as it is written in the books (hukum dalam
Peraturan Perundang-Undangan).39
2. Jenis Data
Dengan demikian objek yang dianalisis adalah
norma hukum, yaitu mengkaji Peraturan Perundang-Undangan mengenai tindak
pidana korupsi dan Peraturan Perundang-Undangan mengenai kebijakan hukum
pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang menggunakan data
sekunder40
37
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 2006), hlm. 10.
38
Soejono dan H. Abdurrahman, Merode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), hlm. 22-23.
39
Ronald Dworkin, Legal Research (Daedalus: Spring, 1973), hlm. 250
40
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Op. cit, hal. 13-14.
yang terdiri bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier.Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Undang-Undang
Korupsi beserta Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bahan hukum sekunder
yang digunakan adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, karya dari ahli hukum di bidang
pemberantasan korupsi. Penelitian ini juga menggunakan bahan hukum tersier,
yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder, contohnya kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif
dan sebagainya.41
Di samping sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum,
peneliti juga menggunakan bahan-bahan non hukum yang mempunyai relevansi
dengan topik penelitian, misalnya berupa buku, hasil penelitian, dan jurnal-jurnal
mengenai penegakan hukum dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi.
Penggunaan bahan-bahan non hukum ini dimaksudkan untuk memperkaya dan
memperluas wawasan peneliti.42
3. Teknik pengumpulan data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ialah melalui
study dokumen atau study pustaka.43
41
Soerjono Soekanto, Op. cit, hlm. 52.
42
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 143, 163, dan 164.
43
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2006), hlm. 66. Study dokumen atau bahan pustaka
dilakukan di beberapa tempat antara lain Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Universitas Sumatera Utara maupun
4. Analisis Data
Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka
biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya44
a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang
relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. . Metode
analisis data yang dilakukan penulis adalah analisa kualitatif, yaitu dengan:
b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut
di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.
c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan
kesimpulan dari permasalahan.
d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan
kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan
dan tulisan.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang dipakai dalam
melakukan penulisan skripsi. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam
melakukan penulisan skripsi ini. Hal ini juga bertujuan untuk mempermudah
dalam menyusun serta mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi
dari skripsi ini. Keseluruhan skripsi ini meliputi 4 (empat) bab yang secara garis
besar isi dari bab perbab diuraikan sebagai berikut :
44
BAB I Bab ini merupakan pendahuluan yang memberikan ilustrasi guna
memberikan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh secara
sistematis terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, metode
penelitian, manfaat dan tujuan peneletian, keaslian penulisan dan
menguraikan tentang definisi tindak pidana, tindak pidana korupsi
dan definsis putusan hakim.
BAB II Bab ini akan membahas tentang dasar yuridis pertimbangan hakim
dalam menjatukahkan putusan dalam perkara tindak pidana
korupsi, korupsi menurut prespektif hukum dan putusan hakim
yang berkenaan dengan tindak pidana korupsi.
BAB III Bab ini akan membahas tentang kasus posisi dalam perkara tindak
pidana korupsi dalam Putusan No. 51/Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn
dalam prespektif hukum pidana.
BAB IV Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab kesimpulan dan
saran yang berisi kesimpulan dan saran mengenai permasalahan
BAB II
DIMENSI PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PERTIMBANGANYA
A. Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 1. Perkembangan Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruption.Selanjutnya disebutkan
bahwa corruption itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin
yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti
corruption dan corrupt (Inggris), corruption (Perancis) dan crruptie (Belanda).
Kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke
bahasa Indonesia, yaitu korupsi. Secara harafiah, menurut Sudarto, kata korupsi
menunjuk pada perbuatan yang rusak, busuk tidak jujur yang dikaitkan dengan
keuangan. Adapun Henry Camplle Black mendefenisikan korupsi sebagai
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan
yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan
jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya
sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak
lain.45
Menurut Shed Husein Alatas, ciri-ciri korupsi antara lain sebagai
berikut:46
a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
45
Azis Syamsuddin, Op. Cit. hlm. 137
46
b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu
telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa
dan mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk
menyembunyikan perbuatannya.
c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik
Kewajiban dan keuntungan yang dimaksud tidak selalu berupa uang.
d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha
untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik
pembenaran hukum.
e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan
mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan
oleh badan publik atau umum (masyarakat).
g. Setiap tindakan korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
Berbagai upaya telah dilakukan dalam usaha memberantas tindak pidana
korupsi, baik yang bersifat preventif maupun represif. Bahkan peraturan
perundang-undangan korupsi sendiri telah mengalami beberapa kali perubahan,
antara lain:47
a. Masa Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957 tangga 9 April 1957
Perkembangan masyarakat dalam usaha mengisi kemerdekaan, telah
memperlihatkan gejala-gejala kearah penyelewengan yang merupakan perbuatan
47
yang merugikan kekayaan dan perekonomian negara.Gejala seperti ini pada
awalnya jelas kelihatan pada masa perjuangan fisik untuk mempertahankan
republik yang baru diproklamasikan.48
Kemudian ternyata bahwa peraturan penguasa militer ini dirasakan belum
cukup efektif, sehingga perlu dilengkapi dengan peraturan ini tentang pemilikan Pada masa itu istilah korupsi menjadi
sangat terkenal dalam masyarakat, dan terasa sangat mencemaskan. Sementara itu,
ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum KUHP tidak dapat berbuat banyak
untuk memberantas gejala baru yang oleh masyarakat dinamakan korupsi itu
dengan mengandalkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHP saja
untuk menanggulangi masalah korupsi, ternyata dirasakan tidak efektif. Akibatnya
banyak pelaku penyelewengan keuangan dan perekonomian negara yang tidak
dapat diajukan ke pengadilan karena perbuatannya tidak memenuhi rumusan yang
ada di dalam KUHP.
Bertolak dari kenyataan tersebut di atas, diperlukan adanya keleluasaan
bagi penguasa untuk bertindak terhadap para pelaku korupsi.Atas dasar itu pada
tanggal 9 April 1957, Kepala Staf Angkatan Darat, selaku penguasa militer pada
waktu itu, mengeluarkan Peraturan No.Prt/PM-06/1957.Pada bahagian konsideran
Peraturan Penguasa Militer itu tergambar adanya kebutuhan mendesak untuk
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang mengalami
kemacetan.Peraturan penguasa militer ini dapat dianggap sebagai cikal bakal
peraturan perundang-undangan pidana khusus tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi di Indonesia.
48
harta benda.Keinginan ini lebih lanjut dituangkan dalam Peraturan Penguasa
Militer No.Prt/PM-08/1957 tanggal 22 Mei 1957.Peraturan ini dimaksudkan untuk
memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi kepentingan negara dalam
usahanya memberantas korupsi. Dengan peraturan ini penguasa militer berwenang
mengadakan penilikan terhadap harta benda setiap orang atau badan dalam
daerahnya, yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan sangat
mencurigakan.
Jika dalam harta benda tersebut ditemukan adanya harta benda yang
mencurigakan, yang asal mulanya diperoleh dari perbuatan hukum, maka
penguasa militer memandang perlu untuk melakukan penyitaan. Akan tetapi
tindakan penyitaan tersebut tidak dapat dilakukan tanpa memiliki dasar hukum
untuk itu. Oleh karena itu, disamping peraturan penguasa militer yang telah ada,
maka sebagai dasar bagi penguasa militer untuk menyita dan merampas harta
benda yang asal mulanya diperoleh secara mendadak dan sangat mencurigakan
itu, penguasa militer pada tanggal 1 Juli 1957 mengeluarkan Peraturan Penguasa
Militer No. Prt/PM 011/1957.49
b. Masa Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat No. Prt/013/Perpu/013/ 1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda
Berlakunya Undang No. 74 tahun 1957 Tentang Keadaan Bahaya pada
tanggal 17 April 1958, maka ketiga peraturan penguasa militer tadi diganti dengan
Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat No. Prt./Peperpu/013/1958 tentang
49
Pengusutan, Penuntutan Dan Pemerikasaan Perbuatan Korupsi Pidana dan
Penilikan Harta Benda.
Sudarto,50
c. Masa Perpu No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi
berpendapat bahwa peraturan tentang korupsi yang baru itu
dilihat dari sudut sistematikanya lebih baik daripada ketiga peraturan yang ada
sebelumnya, dan isinya merugikan perpaduan dari peraturan-peraturan
terdahulu.Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat ini membedakan
antara perbuatan korupsi Pidana dengan perbuatan korupsi lainnya.
Patut pula di kemukakan disini, bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat
No.Prt/Peperpu/013/1958 hanya berlaku di daerah-daerah yang dikuasai Angkatan
Darat saja.Sementara di daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut dibuat
pula Perturan Penguasa Militer Angkatan Laut No. Prt/zl/17 tanggal 17 April
1958, yang perumusannya sama dengan peraturan penguasa perang yang
disebutkan pertama.
Kedua peraturan penguasa perang tersebut di atas dibuat dalam keadaan
yang luar biasa.Keadaan ini tercermin dari maksud diadakannya peraturan
tersebut, yakni agar dalam tempo yang singkat dapat dibongkar
perbuatan-perbuatan korupsi yang pada saat itu sangat merajalela akibat dari suasana
seakan-akan pemerintah sudah tidak mempunyai kewibawaan lagi.
Tindak pidana Korupsi yang dirumuskan dalam Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi Tahun 1960 ini tidak jauh berbeda dengan rumusan yang termuat
dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat tadi. Undang-Undang No. 24 Prp Tahun
50
1960 dapat dikatakan telah menyerap ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam
Peraturan Penguasa Perang Pusat. Hanya saja terdapat sedikit perubahan
redaksional pada unsur “karena melakukan perbuatan melawan hukum” diganti
dengan unsur “melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran”, dan penggantian
kata “perbuatan” dengan istilah “tindakan” pada rumusan korupsi kategori
pertama. Di samping itu, undang-undang ini menarik lagi beberapa Pasal KUHP
dari apa yang telah ditarik oleh peraturan penguasa perang tadi, sehingga
semuanya meliputu Pasal-Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425
dan 435 KUHP.
Sampai dengan berlakunya Undang-Undang Korupsi tahun 1960 ini saja
sebenarnya sudah tergambar betapa hukum pidana Indonesia telah mengalami
perkembangan sedemikian rupa.Fakta ini dapat dilihat sebagai manifestasi
dinamika hukum pidana itu sendiri dalam menanggapi perkembangan perilaku
manusia yang dinamika korupsi, namun pada sisi lain, justru dengan adanya
penggantian peraturan seperti itu dapat menunjukkan betapa tidak berdayanya
ketentuan pengaturan seperti itu dapat menunjukkan betapa tidak berdayanya
ketentuan hukum pidana yang ada dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Bambang Poernomo51
51
Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Di Luar Kodifikasi Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), hlm. 65.
dalam hubungan itu mengatakan bahwa
pembaharuan yang diadakan dalam substansi Undang-Undang No. 24 Prp Tahun
1960 telah memberikan petunjuk tentang betapa rumitnya pemberantasan
kejahatan korupsi yang mempunyai pola perilaku terselubung, dan mempunyai
beberapa kali diadakan pergantian peraturan perundang-undangan tentang tindak
pidana korupsi, namun selama kurun waktu antara tahun 1960-1970
perkembangan dan peningkatan potensi tindak pidana korupsi dirasakan terus
berlangsung dengan hebat.Artinya, selama kurun waktu tersebut sistem peradilan
pidana tidak dapat berbuat banyak untuk mengahdapi pada koruptor ke
pengadilan.
Kebijakan untuk melakukan pembaharuan terhadap undang-undang
mengenai tindak pidana korupsi erat pula kaitannya dengan perkembangan rasa
keadilan masyarakat tentang tindak pidana korupsi, yang oleh pembentuk
undang-undang dianggap tidak mampu ditampung oleh Undang-Undang No. 24 Prp.
Tahun 1960.Artinya, berhubung dengan perkembangan masyarakat, pemeritah
memandang perlu mengadakan pembaharuan hukum pidana untuk mengganti
Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960.
Agar upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan secara
efektif dan efisien, perlu diadakan perluasan rumusan tindak pidana korupsi.
Kemudian untuk mempermudah pembuktian dan mempercepat proses
penyelesaian perkara tindak pidana korupsi perlu dilakukan pembaharuan
terhadap ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang terdapat dalam
undang-undang korupsi.
d. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran dalam undang-undang yang
hukum itu terkesan bahwa pembentuk undang-undang berusaha mengatasi
kelemahan dan kesulitan pembuktian seperti ditunjukkan dalam penerapan
undang-undang sebelumnya. Unsur melawan hukum dalam Pasal 1 ayat (1) huruf
a UU-PTPK 1971 tersebut memuat pengertian yang luas sebagai pengganti unsur
melakuikan kejahatan atau pelanggaran.52
Kelemahan lain yang terdapat dalam UU-PTPK 1971 adalah mengenai
sanksi pidana yang hanya menetapkan batas maksimum umum (duapuluh tahun) Unsur melawan hukum pada
undang-undang tindak pidana korupsi tahun 1971 mengandung pengertian formil dan
materil.
Konsideran Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 menegaskan latar
belakang pemikiran pembuat undang untuk memposisikan
undang-undang tersebut sebagai instrumen hukum pidana dalam penanggulangan masalah
korupsi.Pembuat undang-undang memberikan penegasan bahwa perbuatan
korupsi sangat merugikan keuangan/perekonomian negara dan menghambat
pembangunan nasional, sementara undang-undang yang ada kurang mencukupi
sebagai sarana untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dalam perkembangannya dirasakan
memiliki beberapa kelemahan, sehingga perlu diganti.Disamping tidak adanya
ketegasan mengenai sifat rumusan tindak pidana korupsi sebagai delik formil,
tidak adanya ketentuan yang diterapkan terhadap korporasi sebagai subyek tindak
pidana korupsi (corpotate criminal liability) tercatat sebagai salah satu kelemahan
yang dimiliki oleh undang-unang No.Tahun 1971.
52
dan minimum umum (satu hari), sehingga Jaksa Penuntut Umum dan Hakim
dapat bergerak secara leluasa dalam batas minimum umum dan maksimum umum
itu. Kewenangan direksi dalam menentukan sanksi pidana ini dapat menyinggung
rasa keadilan masyarakat, karena ternyata dalam praktek kasus korupsi yang
hanya dijatuhi pidana dibawah ini satu tahun, padahal tindak pidana korupsi itu
sendiri memiliki dampak yang luas terhadap kesejahteraan masyarakat.
Setelah Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dikeluarkan.Namun, dalam perjalanannya, korupsi semakin
bertambah parah dan berkembang luas. Pelopor Orde Baru yang semula berteriak
paling lantang untuk memberantas korupsi pada akhirnya justru menjadi sumber
tumbuh suburnya korupsi dengan berbagai kebijakan penyelenggaraan
pemerintahan yang penuh dengan unsur korupsi, kolusi dan nepotisme, dan hal ini
menunjukkan bahwa keberadaan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tersebut
belum dapat memuaskan banyak pihak sehingga perlu diganti dengan
undang-undang baru. Undang-undang-undang baru yang dimaksud yaitu Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
e. Masa Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi
Perjalanannya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 pun ternyata
menimbulkan permasalahan karena tidak ada Pasal yang mengatur tentang
peraturan peralihan, sehingga menimbulkan pro dan kontra mengenai keberadaan
undang-undang tersebut. Akibat dari tidak adanya Pasal tentang peraturan
berlaku tidak bisa dijerat dengan Pasal korupsi karena undang-undang
sebelumnya yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sudah dinyatakan tidak
berlaku lagi.53Hal ini menimbulkan sangkaan bahwa Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 merupakan konspirasi dari penguasa untuk melindungi pelaku
korupsi di masa lalu. Karena kelemahan itu, maka Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 perlu untuk diubah hingga pada akhirnya keluar Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.54
Beragam pengertian dan tipe-tipe tindak pidana korupsi yang berkembang
di Indonesia dimaksudkan disini semata-mata ditujukan kepada eksistensi UU
PTPK sebagai hukum positif (ius constitutum/ius operatum) dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi di Indonesia. Secara yuridis-formal pengertian tindak
pidana korupsi terdapat dalam Bab II tentang tindak pidana korupsi, ketentuan
pasal 2 sampai dengan pasal 20, Bab III tentang tindak pidana lain yang berkaitan
dengan tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan pasal 21 sampai dengan 24
UU PTPK.55
2. Subjek Hukum Tindak Pidana korupsi
Subjek hukum dalam tindak pidana korupsi Indonesia pada dasarnya
adalah orang pribadi sama seperti yang tercantum dalam hukum pidana umum.
Hal ini tidak mengkin ditiadakan, namun ditetapkan pula suatu badan yang
53
Nyoman Serikat Putra Jaya, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2005), hlm. 75.
54
Nyoman Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), (Semarang: Program Magister Ilmu Hukum, 2008), hal. 50.
55
menjadi subjek hukum tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimuat dalam
Pasal 20 jo Pasal 1 dan Pasal 3 Undang No. 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.56
1. Subjek Hukum Orang
Subjek hukum tindak pidana tidak terlepas dari system pembebasan
tanggung jawab system yang dianut, yang dalam hukum pidana (sumber pokok
KUH Pidana) adalah pribadi orang.Hanya orang yang menjadi subjek hukum
pidana, sedangkan badan atau korporasi tidak.Pertanggung jawaban bersifat
pribadi, artinya orang yang dibebani tanggung jawab pidana dan dipidana
hanyalah orang atau pribadi si pembuatnya.Pertangung jawaban pribadi tidak
dapat dibebankan kepada orang yang tidak berbuat atau subjek hukum yang lain
(vicarious liability).Hukum pidana kita menganut asas concordantie dari hukum
pidana Belanda menganut sistem pertanggung jawaban pribadi.Sangat jelas dari
setiap rumusan tindak pidana dalam KUH Pidana dimulai dengan kata “barang
siapa” (Hij Die), dalam hukum pidana khusus adalahnya menggunakan perkataan
“setiap orang” yang maksudnya adalah orang pribadi misalnya Pasal 5
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Pertanggung jawaban pidana sangat sesuai dengan kodrat manusia, sebab hanya
manusia yang berpikir dan berakal serta berperasaan.Dari kemampuan pikir dan
akal serta perasaan seseorang menetapkan kehendak untuk berbuat yang kemudian
diwujudkan.Apabila perbuatan itu berupa perbuatan bersifat tercela atau
56
bertentangan dengan hukum, maka orang itulah yang dipersalahkan dan
bertanggung jawab atas perbuatannya.57Azas “tiada pidana tanpa kesalahannya”
pada umumnya diakui sebagai prinsip umum diberbagai negara.Namun tidak
banyak undang-undang hukum materil di berbagai negara yang merumuskan
secara tegas azas ini dalam undang-undangnya.Biasanya perumusan azas ini
terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana, khususnya yang
berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.58
Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat
pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa
seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan
yang didakwakan atas dirinya.
Dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia, azas ini dapat ditemukan pada :
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman :
59
Dalam hukum pidana korupsi ini yang bersumber pada Undang-Undang
Nomonr 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, subjek hukum orang ini ditetukan melalui
2 (dua) cara, yaitu :60
57
Ibid. hlm. 343.
58
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994), hlm. 88.
59
Lihat Pasal 6 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
60
1. Cara yang pertama disebut subjek hukum orang pada umunya, aritnya
tidak ditentukan kualitas pribadinya. Kata permulaan dalam kalimat
rumusan tindak pidana yang menggambarkan atau menyebutkan subjek
hukum tindak pidana orang pada umunya, yaitu in cassu tindak pidana
korupsi disebutkan dengan perkataan “setiap orang” misalanya Pasal 2, 3,
21 dan 22 tetapi juga subjek hukum pidana yang diletakka ditengah
rumusan misalnya Pasal 5 dan 6.
2. Sedangkan cara kedua menyebutkan kualitas pribadi dari subjek hukum
orang tersebut, yaitu in cassu ada banyak kualitas pembuatnya antara lain :
1. Pegawai negeri; penyelenggara negara (misalanya Pasal 8, 9, 10, 11,
12 huruf a, b, e, f, g, h, i);
2. Pemborong ahli bangunan (Pasal 7 ayat (1) huruf a);
3. Hakim (Pasal 12 huruf c);
4. Advocat (Pasal 12 huruf d);
5. Saksi (Pasal 24); bahkan
6. Tersangka bisa juga menjadi subjek hukum (Pasal 20 jo Pasal 28).
Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberangtasan Tindak Pidana
Korupsi, pegawai negeri adalah :
a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
kepegawaian;
b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
c. Orang yang menrima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d. Uang yang menerima gaji atau suatu korporasi yang menerima bantuan
dari keuangan negara atau daerah; atau
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang
menggunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.61
Pasal 1 ayat (1) Undang Nomor 8 Tahun 1974 jo
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian ditentukan
bahwa yang dimaksud dengan pegawai negeri adalah setiap warga Negara
Republi Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh
pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau
diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat(1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8
tahun 1974 jo Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian, bahwa pegawai negaeri tersebut terdiri atas :
1. Pegawai negeri sipil pusat dan pegawai negeri sipil daerah,
2. Angggota Tentara Nasional Indonesia, dan
3. Anggota Kepolisian Republik Indonesia.62
Dalam Pasal 92 KUH Pidana memberikan makna lebih luas tentang
pegawai negeri yaitu :63
61
Lihat Undang-Undang Pemberantasa Tindak Pidana Korupsi.
62
Ayat (1) yang termasuk sebutan amtenar (pegaawai), yaitu sekalian orang
dipilih menurut pilihan yang sudah diadakan menurut undang-undang umum,
demikian pula sekalian yang bukan karena pemilihan menjadi angggota Dewan
Pembuat Undang-Undang Pemerintahan atau perwakilan rakyat yang dibentuk
oleh atau atas nama pemerintah, seterusnya sekalian dari anggota Dewan-Dewan
daerah setempat dan sekalian kepala bangsa Indonesia dan asing, yang melakukan
kekuasaan yang sah.
Ayat (2) yang masuk sebutan amtenar (hakim), termasuk pula ahli
memutus perselisihan; yang termasuk sebutan hakim, yaitu mereka yang
menjalankan kekuasaan hukum administratief, demikian juga ketua dan anggota
dewan agama
Ayat (3) semua orang yang termasuk dalam angkatan bersenjata disebut
amtenar (Pegawai).
2. Subjek Hukum Korporasi
Korporasi yang dapat menjadi subjek hukum diterangkan dalam Pasal 1
yang menyatakan bahwa “korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan
yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.
Berdasarkan pengertian korporasi yang dapat menjadi subjek hukum tindak
pidana ini, maka jelaslah pengertian hukum pidana dalam tindak pidana korupsi
jauh lebih luas dari pada pengertian rechts persoon yang umumnya diartikan
sebagai badan hukum, atau suatu korporasi yang oleh suatu peraturan
63
undangan ditetapkan sebagai badan hukum yang didirikan dengan cara memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum. Sedangkan korporasi yang bukan
badan hukum adalah setiap kumpulan orang yang terorgannisasi dengan baik dan
teratur, biasanya ada perangkat aturan yang mengatur intern kumpulan tersebut
dengan ditentukannya jabatan-jabatan tertentu yang menggerakkan roda
organisasi dengan sedikit dan banyaknya kekayaan atau dana untuk membiayai
kumpulan tersebut.64
Perkembangan konsep korporasi sebagai subjek perbuatan pidana
merupakan akibat perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dalam
menjalankan aktivitas usaha.Pada masyarakat yang masih sederhana, kegiatan
usaha cukup dijalankan secara perorangan. Namun, dalam perkembangan
masyarakat yang tidak lagi sederhana, timbul kebutuhan untuk mengadakan kerja
sama dengan pihak lain dalam menjalankan kegiatan usaha. Beberapa hal yang
menjadi faktor pertimbangan untuk mengadakan kerja sama antara lain,
terhimpunnya modal yang lebih banyak, tergabungnya ketrampilan dalam suatu
usaha jauh lebih baik dibandingkan dengan yang dijalankan seorang diri, dan
mungkin pula atas pertimbangan dapat membagi risiko kerugian.65
Penyimpangan perilaku korporasi yang bersifat merugikan dan
membahayakan masyarakat dalam berbagai bentuk yang berskala luas.Dalam
lingkup pembicaraan mengenal perkembangan konsep korporasi sebagai subjek
perbuatan pidana, Rudhy Prasetya mengatakan bahwa timbulnya konsep badan
64
http//www/eprints.undip.ac.id/17989/1/Johny_Krisna.pdf diakses pada tanggal 23 September 2013.
65
Rudy Prasetya, “Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi”, Makalah