• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Bebas Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Putusan Nomor 51/Pid. Sus.K/2013/Pn.Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Bebas Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Putusan Nomor 51/Pid. Sus.K/2013/Pn.Mdn)"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS ATAS PERTIMBANGAN HAKIM

DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS DALAM

PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

(Putusan Nomor 51/Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

DisusunOleh :

NIM : 090200046 REMINISIR HARITA

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISIS YURIDIS ATAS PERTIMBANGAN HAKIM

DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS DALAM

PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

(Putusan Nomor 51/Pid.Sus/2013/Pn.Mdn)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

DisusunOleh :

NIM : 090200046 REMINISIR HARITA

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP. 195703261986011001 Dr. M, Hamdan SH.,M.H.

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Madiasa Ablisar SH.M.Hum.

NIP. 196104081986011002 NIP.197302202002120001

Dr, Mahmud Mulyadi SH. M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

ABSTRAK

Reminisir Harita*

Dr. Madiasa Ablisar, SH. M. Hum** Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M. Hum***

Putusan didalam sistem peradilan pemeriksaan perkara pidana, hal ini tidak terlepas dari tujuan hukum itu sendiri sebagai alat yang dipakai untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara. Hakim dalam menentukan suatu kebenaran melalui proses peradilan tidak lain adalah putusannya itu sendiri baik itu putusan yang bersifat pemidanaan, putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan. Hakim dapat menjatuhkan putusan tersebut dalam segala jenis perkara pidana termasuk korupsi. Sebab peradilan adalah wilayah multi tafsir, dimana tiap orang yang terlibat bisa untuk membangun realita didalamnya, apakah sebagai pelaku tindak pidana, korban, saksi, penyidik, penuntut maupun hakim yang masing-masing mempunyai peran dan kepentingan dalam proses pengadilan. Pengadilan dalam proses perkara pidana sebagai konstruksi sosial menggambarkan realitas pembentukan proses peradilan oleh aktor-aktor didalamnya.

Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu bagaimana pertimbangan yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan bagaimana analisis kasus tindak pidana korupsi yang diputus bebas dalam prespektif hukum pidana. Metode penelitian yang digunakan merupakan metode penelitian hukum normatif. Sebagai penelitian hukum nnormatif, penelitian mengacu pada analisis norma hukum baik yang tertulis dalam buku maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses peradilan. Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan pada data skunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif teoritis dan analisis normatif-kaulitatif.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

Berkat dan rahmat-Nya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini

berjudul “ANALISIS HUKUM PIDANA ATAS PERTIMBANGAN HAKIM

DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA TINDAK

PIDANA KORUPSI (PUTUSAN NOMOR 51/PID. SUS.K/2013/PN.MDN)”.

Penulisan skripsi ini dibuat dalam rangka untuk memenuhi

persyaratan-persyaratan untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum

Universitas Sumetera Utara Departemen Hukum Pidana.

Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada orang tua saya tercinta buat bimbingan yang diberikan kepada penulis,

doa, perhatian, kasih sayang dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.

Selanjutnya saya ucapkan terima kasih kepada abang-abang dan kakak-kakak saya

beserta keluarga semuanya yang selalu memberikan dukungan dan doanya.

Dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis sampaikan

rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus atas bantuan dan dorongan dari

berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Rasa terima kasih dan

penghargaan ini penulis sampaikan kepada :

1. Prof. Dr, Runtung Sitepu, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

2. Prof.Dr.Budiman Ginting,SH.,M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas

(5)

3. Bapak Syafruddin, SH.,M.H. selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Muhammad Husni, SH.,M.H. selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH. M. Hum, selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana;

6. Ibu Liza Erwina, SH. M.Hum, selaku sekretaris Departemen Hukum

Pidana dan sebagai Dosen Pembimbing Akademik saya;

7. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH. M. Hum, selaku Dosem Pembimbing I

yang memberikan bimbingan dan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini;

8. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M. Hum, selaku Dosen Pembimbing II

yang memberikan bimbingan dan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini;

9. Bapak/Ibu Dosen dan seluruh Staf Pegawai Administrasi di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

10.Untuk kakanda-kakanda stambuk 2006 yang memberikan sumbangsih

pemikiran dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini;

11.Untuk Bung dan Sarinah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)

Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara “GMNI JAYA,

MARHAEN MENANG”;

12.Untuk semua rekan-rekan seperjuangan stambuk 2009 yang menimba ilmu

di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

13.Sahabat-sahabat saya Eka Subrata dan Irwan Tauhid terima kasih atas

(6)

14.Kepada Bang Ubertus Manao SH, dan Hotmaarudur SH, yang menberikan

masukan-masukan dalam penyelesaian skripsi ini;

15.Untuk Mas Catur LPMI dan semua pemuda GBI Sunggal yang peduli dan

turut mendoakan penyelesaian skripsi ini;

16.Kepada semua teman-teman Ahmad Husen, Yunita, Sahat, Marthin, ,

Sastro, Apul, Agus, Daniel, Fahmi, Joel, Martina, Mahmudin, Darwin,

Ruth, Anita, Agry, Vani dan kawan-kawan kos Lorsem 712 B yang tidak

bisa disebutkan semuanya.

Dengan demikian besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat

bermanfaat dan memberikan wawasan bagi kita semua.

Medan 10 Oktober 2013

Penulis

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang ... 1

B. RumusanPermasalahan ... 6

C. Tujuandan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 8

1. Definisi Tindak Pidana ... 8

2. Definisi Tindak Pidana Korupsi ... 14

3. Definisi Keputusan Hakim ... 18

F. Metode Penelitian ... 19

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II DIMENSI PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ... 24

1. Perkembangan Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi ... 24

2. Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi ... 34

B. Dassar-Dasar Penjatuhan Putusan Hakim ... 43

1. Pertimbangan Yuridis ... 44

2. Pertimbangan Non Yuridis ... 58

C. Bentuk Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Korupsi ... 61

1. Putusan Bebas (Vrisjpsraak)... 61

2. Putusan Bebas Dari Segala Tuntutan (Onslag Van Alle Rechtsvervolging) ... 64

(8)

BAB III KASUS DAN ANALISIS KASUS

A. Kasus ... 70

1. Kasus Posisi ... 70

2. Dakwaan ... 73

3. Fakta-Fakta Hukum ... 74

4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ... 90

5. Pembelaan Terdakwa ... 91

6. Putusan Pengadilan Negeri ... 94

B. Analisis Kasus ... 95

C. Analisis Putusan Tehadap Putusan Bebas Pengadilan Negeri (PN. Medan ... 108

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 111

B. Saran ... 112

(9)

ABSTRAK

Reminisir Harita*

Dr. Madiasa Ablisar, SH. M. Hum** Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M. Hum***

Putusan didalam sistem peradilan pemeriksaan perkara pidana, hal ini tidak terlepas dari tujuan hukum itu sendiri sebagai alat yang dipakai untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara. Hakim dalam menentukan suatu kebenaran melalui proses peradilan tidak lain adalah putusannya itu sendiri baik itu putusan yang bersifat pemidanaan, putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan. Hakim dapat menjatuhkan putusan tersebut dalam segala jenis perkara pidana termasuk korupsi. Sebab peradilan adalah wilayah multi tafsir, dimana tiap orang yang terlibat bisa untuk membangun realita didalamnya, apakah sebagai pelaku tindak pidana, korban, saksi, penyidik, penuntut maupun hakim yang masing-masing mempunyai peran dan kepentingan dalam proses pengadilan. Pengadilan dalam proses perkara pidana sebagai konstruksi sosial menggambarkan realitas pembentukan proses peradilan oleh aktor-aktor didalamnya.

Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu bagaimana pertimbangan yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan bagaimana analisis kasus tindak pidana korupsi yang diputus bebas dalam prespektif hukum pidana. Metode penelitian yang digunakan merupakan metode penelitian hukum normatif. Sebagai penelitian hukum nnormatif, penelitian mengacu pada analisis norma hukum baik yang tertulis dalam buku maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses peradilan. Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan pada data skunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif teoritis dan analisis normatif-kaulitatif.

(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau yang boleh

dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja

orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum, melainkan juga perbuatan yang

juga mungkin akan terjadi, dan kepada alat kelengkapan negara agar bertindak

menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu salah satu bentuk

penegakan hukum.1

Hukum pidana materiil ataupun hukum pidana formal/acara hukum pidana

sebagai bagian hukum publik dengan titik tolak mengatur kepentingan umum

(algemen belangen) dan sifatnya apriori telah memaksa, jelaslah sudah

bahwasanya tujuan dari hukum acara pidana itu adalah mencari, menemukan dan

menggali “kebenaran materiil/maeriil waarheid” atau “kebenaran yang

sesungguh-sungguhnya” atau “kebenaran hakiki”. Karena konsekuensi yang

demikian, dalam hukum acara pidana tidaklah dikenal adanya “kebenaran

formal/formeele waarheid” yang semata-mata ditujukan pada

formalitas-formalitas hukum.2

1

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Ke-2 (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 1.

2

Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Prespektif, Teoritis dan Praktik, (Bandung, PT. Alumni, 2008), hlm. 43.

Dikaji dari prespektif pandangan doktrina hakikat fundamental

hukum pidana dapat diklasifikasikan menjadi hukum pidana umum (ius

commune) dan hukum pidana khusus (ius singular, ius special atau bijzonder

(11)

termaktum dalam KUHP sedangangkan ketentuan hukum pidana khusus menurut

Pompe, A. Nolten, Sudarto dan E.Y. Kanter diartikan sebagai ketentuan hukum

pidana yang mengatur mengenai kekhususan subjeknya dan perbuatan yang

khusus (bijzonderlijk).

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana

khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum

pidana umum, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau

dari materi yang diatur, Tindak Pidana Korupsi secara langsung dimaksudkan

menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran dan penyimpangan terhadap

keuangan dan perekonomian negara.3 Korupsi berkaitan dengan kekuasaan karena

kekuasaan itu dapat melakukan penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi,

keluarga atau kroninya.Dapat ditegaskan bahwa korupsi itu selalu bermula dan

berkembang disektor pemerintahan (publik) dan perusahaan milik negara.Dengan

bukti-bukti yang nyata dengan kekuasaan itulah pejabat publik dan perusahaan

milik negara dapat menekan atau memeras para orang-orang yang memerlukan

jasa pelayanan dari pemerintah maupun badan usaha milik negara.4

Vito Tanzi mengemukakan bahwa korupsi adalah perilaku yang tidak

mematuhi prinsip, dilakukan oleh perorangan disektor swasta atau pejabat publik,

3

Ibid. hlm. 153

4

(12)

keputusan yang dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga akan

menimbulkan korupsi,termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme.5

Bertitik tolak dari hal tersebut pemberantasan korupsi bukanlah perkara

yang mudah diatasi, dibutuhkan kerja sama yang konkrit antara penegak hukum

untuk tercapainya keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum di tengah-tengah

masyarakat. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah satu-satunya pengadilan

yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara Tipikor . Dalam

bagian Penjelasan Umum UU No. 46 Tahun 2009 dinyatakan, Pengadilan Tipikor

adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum dan Dalam suatu proses penegakan hukum termasuk masalah korupsi, selain

dibutuhkan perangkat peraturan perundang-undangan, dibutuhkan juga instrumen

penggeraknya, yaitu institusi-institusi penegak hukum dan diimplementasikan

melalui mekanisme kerja dalam sebuah sistem, yaitu sistem peradilan pidana

(criminal justice system). Sebagai suatu sistem, maka mekanisme kerja suatu

sistem pidana meliputi instrument atau sub-sub sistem yaitu: (1) Sub sistem

kepolisian (police) yang melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan; (2) Sub

sistem kejaksaan (prosecution) dengan tugas bidang penuntutan; (3) Sub sistem

pengadilan (court) yang bertugas memeriksa perkara pada persidangan dan

menjatuhkan vonis; (4) Sub sistem lembaga permasyarakatan (correctional

institution).

5

(13)

pengadilan satu-satunya yang memiliki wewenang memeriksa, mengadili dan

memutus perkara Tipikor yang penuntutanya diajukan oleh penuntut umum. 6

Berkaitan tentang masalah putusan didalam sistem peradilan pemeriksaan

perkara pidana, hal ini tidak terlepas dari tujuan hukum itu sendiri sebagai alat

yang dipakai untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara.

Sehingga bilamana suatu hukum atau Undang-undang tidak mempunyai tujuan,

tentunya acara penegakan hukum dan hak-hak asasi manusiapun akan berjalan

dengan suatu ketidak pastian. Oleh sebab itulah di dalam mencapai suatu tujuan

tersebut kuncinya terletak pada aparat hukum itu sendiri.

Hakim Sebagaimana diketahui bahwa dalam setiap pemeriksaan melalui

proses acara pidana, keputusan hakim haruslah selalu didasarkan atas surat

pelimpahan perkara yang memuat seluruh dakwaan atas kesalahan terdakwa dan

fakta-fakta persidangan. Selain itu keputusan hakim juga harus tidak boleh

terlepas dari hasil pembuktian selama pemeriksaan dan hasil sidang pengadilan.

Untuk menentukan bersalah tidaknya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang,

hal ini semata-mata dibawah kekuasaan kehakiman, artinya hanya jajaran

departemen inilah yang diberi wewenang untuk memeriksa dan mengadili setiap

perkara yang datang untuk diadili.

7

Pada hakikatnya putusan bebas (vrijspraak) mengacu pada ketentuan Pasal

191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: Jika pengdilan berpendapat

6

Ibid. hlm. 158.

7

(14)

bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang

didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka tedakwa

diputus bebas.8

Peranan hakim dalam menentukan suatu kebenaran melalui proses

peradilan tidak lain adalah putusannya itu sendiri. Maksudnya ada tidaknya

kebenaran itu ditentukan atau diterapkan lewat putusan. Dan didalam hubungan

tersebut jelaslah apa yang ditegaskan bahwa untuk menemukan kepastian,

kebenaran dan keadilan antara lain akan tampak dalam apa yang diperankan oleh

hakim dalam persidangan, sejak pemeriksaan sampai pada putusan pengadilan

bahkan sampai eksekusinya.

Sejalan dengan tugas hakim seperti dijelaskan diatas yakni kemampuan

untuk menumbuhkan putusan-putusan atau yang dapat diterima masyarakat.

Apalagi terhadap penjatuhan putusan bebas yang memang banyak memerlukan

argumentasi konkrit dan pasti, kiranya pantaslah status hakim sebagaimana

ditentukan Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Pokok-pokok

Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara

yang merdeka untuk menyelenggarakan negara hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum dan keadilan berdasarkan hukum

Indonesia.

9

8

Lihat Undang-Undang Hukum Acara Pidana

9

.Op.Cit.http:www//zulfanlaw.wordpress.com/2008/07/10/dasar-pertimbangan-hakim- dalam-menjatuhkan-putusan-bebas-demi-hukum, Akses 22 Agustus 2013.

(15)

pidana korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap

menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.10

Bertitik tolak dari uraian diatas H. Rahudman Harahap, MM. yang

dituduh melakukan tindak pidana korupsi dan tidak terbukti secarah sah dan

meyakinkan sehingga diputus bebas oleh Majelsi Hakim serta tidak ditemukan

kerugian negara yang dilakukan Terdakwa seperti yang dituduhkan jaksa/penuntut

umum dalam surat dakwaannya membuat penulis tertarik untuk menganalisis

secara yuridis apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusan

bebas tersebut.11

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan

batasan permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pertimbangan yuridis hakim dalam menjatuhkan

putusan yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi ?

2. Bagaimanakah analisis kasus tindak pidana korupsi yang diputus

bebas (Putusan No. Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn) dalam prespektif hukum

pidana ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan diatas, maka tujuan

penelitian ini adalah :

10

Lihat Penjelasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

11

(16)

1. Untuk mengetahui pertimbangan yuridis hakim dalam menjatuhkan

putusan yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi.

2. Untuk Mengetahui analisis kasus tindak pidana korupsi yang diputus

bebas (Putusan No. Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn) dalam prespektif hukum

pidana.

Adapun manfaat yang diharapkan dan akan diperoleh dari penulisan ini

adalah sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis, kiranya kehadiran skripsi ini mampu memberikan

sumbangan pemikiran dan pengembangan hukum pidana khususnya

mengenai dasar pertimbangan yuridis hakim dalam menjatuhkan

putusan yang berkenaan dengan perkara korupsi. Kiranya skripsi ini

juga mampu memenuhi hasrat keingintahuan para pihak ataupun yang

ingin sedang mendalami pengetahuan tindak pidana korupsi baik itu

mahasiswa, akademisi maupun masyarakat luas.

2. Manfaat praktis, diharapkan mampu memberikan informasi hukum

kepada semua kalangan, terutama penegak hukum tentang analisis

kasus tindak pidana korupsi dalam menjatuhkan putusan bebas, serta

memberi masukan bagi para pengmbil kebijakan dibidang penegakan

hukum terhadap delik korupsi dalam hal pembentukan dan

(17)

D. Keaslian Penulisan

Penulis telah melakukan penelusuran daftar penulisan skripsi di

Perpeustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan kearsipan di

Departemen Hukum Pidana, tidak ditemukan kesamaan judul ataupun

permasalahan yang di angkat oleh Penulis yaitu “ANALISIS YURIDIS ATAS

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN

BEBAS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (PUTUSAN

NOMOR 51/PID.SUS.K/2013/PN.MDN)”.Tulisan ini merupakan karya asli yang

disusun berdasarkan dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan ilmiah.

Skripsi ini merupakan karya asli dari pemikiran murni penulis dan tidak

meniru kepunyaan orang lain. Apabila ada ditemukan kesamaan judul dan

permasalahan skripsi ini dengan skripsi yang sebelumnya di Departemen Hukum

Pidana maka penulis dapat mempertanggungjawabkannya.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Definisi Tindak Pidana

Peristiwa pidana yang juga disebut tindak pidana (delict) ialah suatu

perbuatan atau rangkaian perbutan yang dapat dikenakan hukum pidana. Suatu

peristiwa hukum yang dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi

unsur-unsur pidananya. Dan unsur-unsur itu terdiri dari :

1. Objektif

Yaitu suatu tindakan (atau perbutan yang bertentangan dengan hukum

(18)

hukum. Yang dijadikan titik utama dari objektif disini adalah

tindakannya.

2. Subjektif

Yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh

undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku

(seseorang atau beberapa orang)

Dilihat dari unsur-unsur pidana ini, maka kalau ada suatu perbuatan yang

dulakukan oleh seseorang harus memenuhi persyaratan supaya dapat dinyatakan

sebagai peristiwa pidana. Dan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai suatu

peristiwa pidana ialah :

1. Harus ada suatu perbuatan

2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang ditentukan dalam ketentuan

hukum

3. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan

4. Harus berlawanan dengan hukum

5. Harus terdapat ancaman hukumannya12

Terwjudnya suatu tindak pidana tidak selalu dijatuhklan pidana terhadap

pembuatnya Undang-undang telah memberikan dasar-dasar yang meniadakan

pidana. Adanya aturan ini membuktikan bahwa Undang-undang memisahkan

antara tindak pidana dengan sipembuatnya.13

12

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, cetakan ke-2 (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 18-19.

13

Adami Chzawi, Pelajaran Hukum Pidana, cetakan ke-2 (Jakarta: RajaGrafindo Persda, 2002), hlm. 15.

(19)

menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi

tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai straafbaarfeit

tersebut.14Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu

pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan

kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa yang terjadi didalam

hukum pidana.15

a. R. Tresna setelah mengemukakan bahwa sungguh tidak mudah memberikan

suatu ketentuan atau definisi yang tepat, mengatakan bahwa : Peristiwa

Pidana ialah sesuatu perbuatan manusia, yang bertentangan dengan

undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan

tindakan penghukuman. Beliau menerangkan bahwa perumusan tersebut jauh

daripada sempurna, karena dalam uraian beliau selanjutnya diutarakan bahwa

sesuatu perbuatan itu baru dapat dipandang sebagai peristiwa pidana, apabila

telah memenuhi persyaratan yang diperlukan.

Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari

peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak

pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas

untuk dapat memisahkan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan

bermasyarakat.

Beberapa perumusan tindak pidana yang telah diperkenalkan oleh

beberapa sarjana/ahli hukum sebagai berikut :

16

14

Evi Hartanti, Op.Cit. hlm. 5

15

Bambang Poernomo, Azas- Azas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Gahlia Indonesia, 1976), hlm. 124

16

(20)

b. Wirjono Prodjodikoro merumuskan, bahwa Tindak-pidana berarti suatu

perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Dan pelaku itu

dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.17

c. Moeljatno setelah memilih perbuatan-pidana sebagai terjemahan dari

‘‘Strafbaar Feit”,beliau memberi suatu perumusan (pembatasan) sebagai

perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa melanggar

larangan tersebut, dan perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh

masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau menghambat akan

tercapainya tata pergaulan didalam masyarakat yang dicita-citakan oleh

masyarakat itu. Makna perbuatan pidana, secara mutlak harus unsur formil,

yaitu mencocoki rumusan undang-undang (Tatbestandmaszigkeit) dan unsur

materil, yaitu sifat bertentangannya dengan cita-cita mengenai pergaulan

masyarakat atau dengan pendek, sifat melawan hukum (Rechtswirdigkeit).18

d. Simons telah merumuskan “strabaar feit” sebagai suatu tindakan melanggar

hukum telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh

seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh

undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat

dihukum.19

Sungguhpun telah banyak diperkenalkan perumusan dari tindak pidana

diatas, diantara sarjana itu ada yang merasa yakin atas kelengkapan dari

17

Wirjono Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: PT Eresco, ,1969), hlm. 27

18

Moelijatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab dalam Hukum Pidana, (Yogyakarta: Bina Aksara, 1983), hlm. 17

19

(21)

perumusannya, ada yang mengakui ketidak-sempurnaannya.Seperti telah

disinggung diatas, istilah Tindak Pidana adalah merupakan singkatan dari

Tindakan atau Penindak. Artinya adanya orang yang melakukan suatu Tindakan,

sedangkan orang yang melakukan itu dinamakan Petindak. Mungkin sesuatu

tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja, tetap dalam banyak hal sesuatu tindakan

tertentu hanya mungkin dilakukan oleh seseorang dari suatu golongan jenis

kelamin saja, atau seseorang dari suatu golongan yang bekerja pada Negara/

pemerintah, atau seseorang dari golongan lainnya yang hidup didalam

masyarakat. Antara penindak dengan suatu tindakan yang terjadi harus ada

hubungan kejiwaan (pshycologis), selain daripada penggunaan salah satu bagian

tubuh, panca indra atau alat lainnya sehingga terwujudnya sesuatu tindakan.

Hubungan kejiwaan itu adalah sedemikian rupa dimana petindak dapat menilai

tindakannya, dapat menentukan apakah akan dilakukan atau dihindarinya, dapat

pula menginsyafi ketercelaan atas tindakannya itu, atau setidak-tidaknya, oleh

kepatutan dalam masyarakat memandang bahwa tindakan itu adalah tercela.

Bentuk hubungan kejiwaan itu (dalam istilah hukum-pidana) disebut

kesengajaan atau kealpaan, selain daripada itu tiada terdapat dasar-dasar atau

alasan peniadaan bentuk hubungan kejiwaan tersebut.20

Tindakan yang dilakukannya itu harus bersifat melawan hukum. Dan tidak ada

terdapat dasar-dasar atau alasan-alasan yang meniadakan sifat melawan hukum

dari tindakan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa ditinjau dari suatu kehendak

(yang bebas) dari petindak, maka kesalahan itu adalah merupakan “kata hati”

20

(22)

(bagian terdalam) dari kehendak itu, sedangan sifat melawan hukum dari tindakan

itu merupakan “pernyatan “ (bagian luar) dari kehendak itu.21

Setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan

hukum, menyerang kepentingan masyarakat atau individu yang dilindungi hukum,

tidak disenangi oleh orang atau masyarakat baik yang langsung atau tidak

langsung terkena dari tindakan tersebut. Pada umumnya untuk menyelesaikan

setiap tindakan yang sudah dipandang merugikan kepentingan umum disamping

kepentingan perseorangan, dikehendaki turun tangannya penguasa. Dan apabila

penguasa tidak turun tangan maka tindakan-tindakan tersebut akan merupakan

sumber kekacauan yang tak akan ada habis-habisnya. Demi menjamin keamanan,

ketertiban, dan kesehjahteraan didalam masyarakat, perlu ditentukan mengenai

tindakan-tindakan apa saja yang dilarang atau diharuskan.22

21

Ibid. hlm. 29.

22

Ibid. hlm. 30.

Apabila seseorang melakukan suatu tindakan sesuai dengan kehendaknya

dan karenanya merugikan kepentingan umum/masyarakat termasuk kepentingan

perorangan, lebih lengkap kiranya apabila harus ternyata tindakan tersebut terjadi

pada suatu tempat, waktu, dan keadaan yang ditentukan. Artinya, dipandang dari

sudut tempat, tindakan itu harus terjadi dari suatu tempat dimana ketentuan pidana

Indonesia berlaku; Dipandang dari sudut waktu, tindakan itu masih dirasakan

sebagai suatu tindakan yang perlu diancam dengan pidana (belum daluarsa); dan

dari sudut keadaan, tindakan itu harus terjadi pada suatu keadaan dimana tindakan

(23)

Perlu diperhatikan pula, apabila masalah waktu, tempat, dan keadaan

(WTK) ini dilihat dari sudut Hukum Pidana Formal, maka ia sangat penting.

Karena tanpa kehadirannya dalam surat dakwaan, maka surat dakwaan itu adalah

batal demi hukum. Jadi sama dengan unsur-unsur lainnya yang harus

hadir/terbukti. Dengan demikian dapat dirumuskan pengertian dari tindak-pidana

sebagai : “Suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu”, yang

dilarang (diharuskan ) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat

melawan hukum serta dengan kesalahan oleh seseorang (yang mampu

bertanggungjawab)”.23

2. Definisi Tindak Pidana Korupsi

Secara umum atau awam, korupsi merupakan: (a) suatu tindakan

mengambil, menyelewengkan, menggelapkan uang Negara/rakyat untuk

kepentingan pribadi/kelompok; (b) menerima gaji tanpa kerja (dengan sengaja

meninggalkan tugas).24

H.A. Brazz berpendapat bahwa suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai

korupsi jika mengandung unsur-unsur berikut: (a) kekuasaan yang dialihkan; (b)

kekuasaan yang dialihkan tersebut dipakai berdasarkan wewenang yang melekat

pada kekuasaan itu, atau berdasarkan kemampuan-kemampuan yang formal; (c)

kekuasaan tersebut dipakai untuk merugikan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan

asli (d) kekuasaan tersebut dipakai untuk menguntungkan atau merugikan orang

luar; (e) pemakaian wewenang dan kekuasaan formal secara tersembunyi dengan

23

E.Y Kanter dan S.R. Sianturi.Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), hlm. 21

24

(24)

dalih menurut hukum.25 Dalam literatur mengenai korupsi, terdapat definisi yang

memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah:26

Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa latin

Corruptio atau Corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa Corruptio itu berasal dari

pula dari kata asal corrumpare, suatu kata latin yang lebih tua.

Behaviour which deviates from the formal dutiers of a public role because of

private-regarding (personal, clise family, private clique) pecuniary or

status-gains; or certain types of regarding behavior” yang dapat diterjemahkan sebagai:

“perilaku menyimpang dari kewajiban formal suatu peran publik karena private

regarding (kepribadian, keluarga dekat, persengkokolan pribadi) berkenaan

dengan uang atau status – keuntungan; atau melanggar aturan yang bertentangan

dengan perilaku yang terhormat”.

27

Arti harfiah dari kata tersebut ialah kebusukan, kebejatan, ketidak jujuran,

dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan

yang menghina atau memfitnah seperti yang dibaca dalam The Lexicon Webster

Dictionary:

Dari bahasa latin

itupun turun ke banyak bahasa Eropa seperti: Corruption, corrupt (inggris),

Corruption (perancis), dan Corruptie (korruptie) (Belanda). Sehingga dalam

Bahasa Indonesia dapat diturtunkan sebagai “Korupsi”.

28

25

H. A. Brazz, Beberapa Catatan Mengenai Sosiologi Korupsi, dalam Mochtar Lubis dan James Scott. Ed. Bunga Rampai Korupsi, hlm.7.

26

Roberd Klitgard: Kontroling Coruption, page 23, dikutip dari Max Weber, The Protestant ethnics and Spirit of Capitalism, (1904-s), Printerd University of California Press Baekley and Los Angles, Califoprnia.

27

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi di Tinjau dari Hukum Pidana, (Jakarta: Pusat Study Hukum Pidana Universitas Trisakti, 2002), hlm. 4.

28

(25)

Corruption (l. Corruptio: the Act of corruption; or the state of being corrupt;

putrefactive decomposition, putrid matter moral prevension; depravityperversion

of integrity; corrupt or dishonest proceedings, bribery; perversion from a state of

purity; debasment, as language; a debased from the world. 29

a. Barangsiapa dengan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang

lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan

keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui patut

disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diartikan sebagai tindak pidana

korupsi adalah:

Pertama:

b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain

atau suatu badan menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung

atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara.

c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal 209, 210, 387,

388, 415, 416, 419, 429, 423, 425, dan 435 KUHP.

d. Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti

dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau

29

(26)

wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya itu. Seperti

yang tersebut dalam Pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan

pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.

e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkatnya

setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya.

Kedua:

Barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk tindak

pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c , d, e.

Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang

bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pasal 1 ayat (3)

menyatakan bahwa:

“Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi”.

Sedangkan menurut Undang No. 31 tahun 1999 jo

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal

2 ayat (1) pengertian korupsi adalah:

“setipa orang yang melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atar

orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara, dipidana penjara paling singakt 4 (emapat) tahun dan

paling lama 20 (dua puluh) tahun”. 30

30

(27)

3. Definisi Putusan Hakim

Dalam menangani suatu perkara, Hakim diberikan kebebasan oleh

undang-undang dan pihak lain tidak diperbolehkan campur tangan atau

mempengaruhi Hakim. Disamping itu hakim harus diwajibkan jujur dan tidak

memihak agar putusannya benar-benar memberikan keadilan.31

Perihal ‘Putusan Hakim’ atau “putusan pengadilan” merupakan aspek

penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Oleh karena

dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasanya “putusan hakim” disatu pihak

berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum (rechtszekerheid) tentang

“statusnya” dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap

putusan tersebut dalam arti berupa menerima putusan ataupun melakukan upaya

hukum verzet, banding atau kasasi, melakukan grasi dan sebagainya. Sedangkan

dilain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan

Hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak” pencerminan nilai-nilai

keadilan; kebenaran hakiki; hak asasi manusia; penguasaan hukum atau fakta

secara mapan, mempuni dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas dan

moralitas dari hakim yang bersangkutan.32

Putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang dikeluarkan

oleh Kejaksaan Agung RI 1985 adalah hasil atau kesimpulan dari suatu yang telah

31

Gatot Supramono, Surat Dakwaan dan Putusan Hakim Yang Batal Demi Hukum, (Jakarta: Djambatan 1991), hlm. 51.

32

(28)

dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk

tertulis ataupun lisan.33

Menurut Lilik Mulyadi34

F. Metode Penelitian

dalam bukunya putusan hakim dalam hukum

acara Indonesia mengatakan bahwa “putusan hakim adalah putusan yang

diucapkan oleh hakim karena jabatanya dalam persidangan perkara pidana yang

terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara

pidana pada umunya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari

segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dibuat dengan tujuan

penyelesaian perkaranya.

1. Jenis Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian

bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan

konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi

terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.35

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini

merupakan metode penelitian hukum normatif.36

33

Evi Hartanti, hlm. 52.

34

Lilik Mulyadi, Op.Cit. hlm.131.

35

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 1.

36

Ibid., hlm. 13-14

Adapun tipe penelitian yang

(29)

untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk

mengatasi masalah-masalah tertentu.37

Menurut Sumardi Suryabrata, secara harfiah, penelitian deskriptif adalah

penelitian yang bermaksud untuk membuat Percandaan (deskripsi) mengenai

suatu situasi suatu kejadian-kejadian. Dalam arti penelitian deskriptif itu adalah

akumulasi data dasar dalam cara deskriptif semata –mata, tidak perlu mencari atau

menerangkan saling hubungan, mentes hipotesis membuat ramalan atau

mendapatkan makna dan implikasi, walaupun penelitian bertujuan untuk

menemukan hal-hal tersebut dapat mencakup juga metode-metode deskriptif.38

Sebagai suatu penelitian hukum normatif, penelitian ini mengacu pada

analisis norma hukum, dalam arti law as it is written in the books (hukum dalam

Peraturan Perundang-Undangan).39

2. Jenis Data

Dengan demikian objek yang dianalisis adalah

norma hukum, yaitu mengkaji Peraturan Perundang-Undangan mengenai tindak

pidana korupsi dan Peraturan Perundang-Undangan mengenai kebijakan hukum

pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang menggunakan data

sekunder40

37

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 2006), hlm. 10.

38

Soejono dan H. Abdurrahman, Merode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), hlm. 22-23.

39

Ronald Dworkin, Legal Research (Daedalus: Spring, 1973), hlm. 250

40

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Op. cit, hal. 13-14.

yang terdiri bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tersier.Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Undang-Undang

(30)

Korupsi beserta Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bahan hukum sekunder

yang digunakan adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, karya dari ahli hukum di bidang

pemberantasan korupsi. Penelitian ini juga menggunakan bahan hukum tersier,

yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan

hukum primer dan sekunder, contohnya kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif

dan sebagainya.41

Di samping sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum,

peneliti juga menggunakan bahan-bahan non hukum yang mempunyai relevansi

dengan topik penelitian, misalnya berupa buku, hasil penelitian, dan jurnal-jurnal

mengenai penegakan hukum dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi.

Penggunaan bahan-bahan non hukum ini dimaksudkan untuk memperkaya dan

memperluas wawasan peneliti.42

3. Teknik pengumpulan data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ialah melalui

study dokumen atau study pustaka.43

41

Soerjono Soekanto, Op. cit, hlm. 52.

42

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 143, 163, dan 164.

43

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2006), hlm. 66. Study dokumen atau bahan pustaka

dilakukan di beberapa tempat antara lain Perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Universitas Sumatera Utara maupun

(31)

4. Analisis Data

Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka

biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya44

a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang

relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. . Metode

analisis data yang dilakukan penulis adalah analisa kualitatif, yaitu dengan:

b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut

di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.

c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan

kesimpulan dari permasalahan.

d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan

kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan

dan tulisan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang dipakai dalam

melakukan penulisan skripsi. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam

melakukan penulisan skripsi ini. Hal ini juga bertujuan untuk mempermudah

dalam menyusun serta mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi

dari skripsi ini. Keseluruhan skripsi ini meliputi 4 (empat) bab yang secara garis

besar isi dari bab perbab diuraikan sebagai berikut :

44

(32)

BAB I Bab ini merupakan pendahuluan yang memberikan ilustrasi guna

memberikan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh secara

sistematis terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, metode

penelitian, manfaat dan tujuan peneletian, keaslian penulisan dan

menguraikan tentang definisi tindak pidana, tindak pidana korupsi

dan definsis putusan hakim.

BAB II Bab ini akan membahas tentang dasar yuridis pertimbangan hakim

dalam menjatukahkan putusan dalam perkara tindak pidana

korupsi, korupsi menurut prespektif hukum dan putusan hakim

yang berkenaan dengan tindak pidana korupsi.

BAB III Bab ini akan membahas tentang kasus posisi dalam perkara tindak

pidana korupsi dalam Putusan No. 51/Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn

dalam prespektif hukum pidana.

BAB IV Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab kesimpulan dan

saran yang berisi kesimpulan dan saran mengenai permasalahan

(33)

BAB II

DIMENSI PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PERTIMBANGANYA

A. Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 1. Perkembangan Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi

Kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruption.Selanjutnya disebutkan

bahwa corruption itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin

yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti

corruption dan corrupt (Inggris), corruption (Perancis) dan crruptie (Belanda).

Kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke

bahasa Indonesia, yaitu korupsi. Secara harafiah, menurut Sudarto, kata korupsi

menunjuk pada perbuatan yang rusak, busuk tidak jujur yang dikaitkan dengan

keuangan. Adapun Henry Camplle Black mendefenisikan korupsi sebagai

perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan

yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan

jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya

sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak

lain.45

Menurut Shed Husein Alatas, ciri-ciri korupsi antara lain sebagai

berikut:46

a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.

45

Azis Syamsuddin, Op. Cit. hlm. 137

46

(34)

b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu

telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa

dan mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk

menyembunyikan perbuatannya.

c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik

Kewajiban dan keuntungan yang dimaksud tidak selalu berupa uang.

d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha

untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik

pembenaran hukum.

e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan

mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan

oleh badan publik atau umum (masyarakat).

g. Setiap tindakan korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

Berbagai upaya telah dilakukan dalam usaha memberantas tindak pidana

korupsi, baik yang bersifat preventif maupun represif. Bahkan peraturan

perundang-undangan korupsi sendiri telah mengalami beberapa kali perubahan,

antara lain:47

a. Masa Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957 tangga 9 April 1957

Perkembangan masyarakat dalam usaha mengisi kemerdekaan, telah

memperlihatkan gejala-gejala kearah penyelewengan yang merupakan perbuatan

47

(35)

yang merugikan kekayaan dan perekonomian negara.Gejala seperti ini pada

awalnya jelas kelihatan pada masa perjuangan fisik untuk mempertahankan

republik yang baru diproklamasikan.48

Kemudian ternyata bahwa peraturan penguasa militer ini dirasakan belum

cukup efektif, sehingga perlu dilengkapi dengan peraturan ini tentang pemilikan Pada masa itu istilah korupsi menjadi

sangat terkenal dalam masyarakat, dan terasa sangat mencemaskan. Sementara itu,

ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum KUHP tidak dapat berbuat banyak

untuk memberantas gejala baru yang oleh masyarakat dinamakan korupsi itu

dengan mengandalkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHP saja

untuk menanggulangi masalah korupsi, ternyata dirasakan tidak efektif. Akibatnya

banyak pelaku penyelewengan keuangan dan perekonomian negara yang tidak

dapat diajukan ke pengadilan karena perbuatannya tidak memenuhi rumusan yang

ada di dalam KUHP.

Bertolak dari kenyataan tersebut di atas, diperlukan adanya keleluasaan

bagi penguasa untuk bertindak terhadap para pelaku korupsi.Atas dasar itu pada

tanggal 9 April 1957, Kepala Staf Angkatan Darat, selaku penguasa militer pada

waktu itu, mengeluarkan Peraturan No.Prt/PM-06/1957.Pada bahagian konsideran

Peraturan Penguasa Militer itu tergambar adanya kebutuhan mendesak untuk

melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang mengalami

kemacetan.Peraturan penguasa militer ini dapat dianggap sebagai cikal bakal

peraturan perundang-undangan pidana khusus tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi di Indonesia.

48

(36)

harta benda.Keinginan ini lebih lanjut dituangkan dalam Peraturan Penguasa

Militer No.Prt/PM-08/1957 tanggal 22 Mei 1957.Peraturan ini dimaksudkan untuk

memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi kepentingan negara dalam

usahanya memberantas korupsi. Dengan peraturan ini penguasa militer berwenang

mengadakan penilikan terhadap harta benda setiap orang atau badan dalam

daerahnya, yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan sangat

mencurigakan.

Jika dalam harta benda tersebut ditemukan adanya harta benda yang

mencurigakan, yang asal mulanya diperoleh dari perbuatan hukum, maka

penguasa militer memandang perlu untuk melakukan penyitaan. Akan tetapi

tindakan penyitaan tersebut tidak dapat dilakukan tanpa memiliki dasar hukum

untuk itu. Oleh karena itu, disamping peraturan penguasa militer yang telah ada,

maka sebagai dasar bagi penguasa militer untuk menyita dan merampas harta

benda yang asal mulanya diperoleh secara mendadak dan sangat mencurigakan

itu, penguasa militer pada tanggal 1 Juli 1957 mengeluarkan Peraturan Penguasa

Militer No. Prt/PM 011/1957.49

b. Masa Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat No. Prt/013/Perpu/013/ 1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda

Berlakunya Undang No. 74 tahun 1957 Tentang Keadaan Bahaya pada

tanggal 17 April 1958, maka ketiga peraturan penguasa militer tadi diganti dengan

Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat No. Prt./Peperpu/013/1958 tentang

49

(37)

Pengusutan, Penuntutan Dan Pemerikasaan Perbuatan Korupsi Pidana dan

Penilikan Harta Benda.

Sudarto,50

c. Masa Perpu No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

berpendapat bahwa peraturan tentang korupsi yang baru itu

dilihat dari sudut sistematikanya lebih baik daripada ketiga peraturan yang ada

sebelumnya, dan isinya merugikan perpaduan dari peraturan-peraturan

terdahulu.Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat ini membedakan

antara perbuatan korupsi Pidana dengan perbuatan korupsi lainnya.

Patut pula di kemukakan disini, bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat

No.Prt/Peperpu/013/1958 hanya berlaku di daerah-daerah yang dikuasai Angkatan

Darat saja.Sementara di daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut dibuat

pula Perturan Penguasa Militer Angkatan Laut No. Prt/zl/17 tanggal 17 April

1958, yang perumusannya sama dengan peraturan penguasa perang yang

disebutkan pertama.

Kedua peraturan penguasa perang tersebut di atas dibuat dalam keadaan

yang luar biasa.Keadaan ini tercermin dari maksud diadakannya peraturan

tersebut, yakni agar dalam tempo yang singkat dapat dibongkar

perbuatan-perbuatan korupsi yang pada saat itu sangat merajalela akibat dari suasana

seakan-akan pemerintah sudah tidak mempunyai kewibawaan lagi.

Tindak pidana Korupsi yang dirumuskan dalam Undang-Undang Tindak

Pidana Korupsi Tahun 1960 ini tidak jauh berbeda dengan rumusan yang termuat

dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat tadi. Undang-Undang No. 24 Prp Tahun

50

(38)

1960 dapat dikatakan telah menyerap ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam

Peraturan Penguasa Perang Pusat. Hanya saja terdapat sedikit perubahan

redaksional pada unsur “karena melakukan perbuatan melawan hukum” diganti

dengan unsur “melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran”, dan penggantian

kata “perbuatan” dengan istilah “tindakan” pada rumusan korupsi kategori

pertama. Di samping itu, undang-undang ini menarik lagi beberapa Pasal KUHP

dari apa yang telah ditarik oleh peraturan penguasa perang tadi, sehingga

semuanya meliputu Pasal-Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425

dan 435 KUHP.

Sampai dengan berlakunya Undang-Undang Korupsi tahun 1960 ini saja

sebenarnya sudah tergambar betapa hukum pidana Indonesia telah mengalami

perkembangan sedemikian rupa.Fakta ini dapat dilihat sebagai manifestasi

dinamika hukum pidana itu sendiri dalam menanggapi perkembangan perilaku

manusia yang dinamika korupsi, namun pada sisi lain, justru dengan adanya

penggantian peraturan seperti itu dapat menunjukkan betapa tidak berdayanya

ketentuan pengaturan seperti itu dapat menunjukkan betapa tidak berdayanya

ketentuan hukum pidana yang ada dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Bambang Poernomo51

51

Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Di Luar Kodifikasi Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), hlm. 65.

dalam hubungan itu mengatakan bahwa

pembaharuan yang diadakan dalam substansi Undang-Undang No. 24 Prp Tahun

1960 telah memberikan petunjuk tentang betapa rumitnya pemberantasan

kejahatan korupsi yang mempunyai pola perilaku terselubung, dan mempunyai

(39)

beberapa kali diadakan pergantian peraturan perundang-undangan tentang tindak

pidana korupsi, namun selama kurun waktu antara tahun 1960-1970

perkembangan dan peningkatan potensi tindak pidana korupsi dirasakan terus

berlangsung dengan hebat.Artinya, selama kurun waktu tersebut sistem peradilan

pidana tidak dapat berbuat banyak untuk mengahdapi pada koruptor ke

pengadilan.

Kebijakan untuk melakukan pembaharuan terhadap undang-undang

mengenai tindak pidana korupsi erat pula kaitannya dengan perkembangan rasa

keadilan masyarakat tentang tindak pidana korupsi, yang oleh pembentuk

undang-undang dianggap tidak mampu ditampung oleh Undang-Undang No. 24 Prp.

Tahun 1960.Artinya, berhubung dengan perkembangan masyarakat, pemeritah

memandang perlu mengadakan pembaharuan hukum pidana untuk mengganti

Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960.

Agar upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan secara

efektif dan efisien, perlu diadakan perluasan rumusan tindak pidana korupsi.

Kemudian untuk mempermudah pembuktian dan mempercepat proses

penyelesaian perkara tindak pidana korupsi perlu dilakukan pembaharuan

terhadap ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang terdapat dalam

undang-undang korupsi.

d. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran dalam undang-undang yang

(40)

hukum itu terkesan bahwa pembentuk undang-undang berusaha mengatasi

kelemahan dan kesulitan pembuktian seperti ditunjukkan dalam penerapan

undang-undang sebelumnya. Unsur melawan hukum dalam Pasal 1 ayat (1) huruf

a UU-PTPK 1971 tersebut memuat pengertian yang luas sebagai pengganti unsur

melakuikan kejahatan atau pelanggaran.52

Kelemahan lain yang terdapat dalam UU-PTPK 1971 adalah mengenai

sanksi pidana yang hanya menetapkan batas maksimum umum (duapuluh tahun) Unsur melawan hukum pada

undang-undang tindak pidana korupsi tahun 1971 mengandung pengertian formil dan

materil.

Konsideran Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 menegaskan latar

belakang pemikiran pembuat undang untuk memposisikan

undang-undang tersebut sebagai instrumen hukum pidana dalam penanggulangan masalah

korupsi.Pembuat undang-undang memberikan penegasan bahwa perbuatan

korupsi sangat merugikan keuangan/perekonomian negara dan menghambat

pembangunan nasional, sementara undang-undang yang ada kurang mencukupi

sebagai sarana untuk memberantas tindak pidana korupsi.

Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dalam perkembangannya dirasakan

memiliki beberapa kelemahan, sehingga perlu diganti.Disamping tidak adanya

ketegasan mengenai sifat rumusan tindak pidana korupsi sebagai delik formil,

tidak adanya ketentuan yang diterapkan terhadap korporasi sebagai subyek tindak

pidana korupsi (corpotate criminal liability) tercatat sebagai salah satu kelemahan

yang dimiliki oleh undang-unang No.Tahun 1971.

52

(41)

dan minimum umum (satu hari), sehingga Jaksa Penuntut Umum dan Hakim

dapat bergerak secara leluasa dalam batas minimum umum dan maksimum umum

itu. Kewenangan direksi dalam menentukan sanksi pidana ini dapat menyinggung

rasa keadilan masyarakat, karena ternyata dalam praktek kasus korupsi yang

hanya dijatuhi pidana dibawah ini satu tahun, padahal tindak pidana korupsi itu

sendiri memiliki dampak yang luas terhadap kesejahteraan masyarakat.

Setelah Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi dikeluarkan.Namun, dalam perjalanannya, korupsi semakin

bertambah parah dan berkembang luas. Pelopor Orde Baru yang semula berteriak

paling lantang untuk memberantas korupsi pada akhirnya justru menjadi sumber

tumbuh suburnya korupsi dengan berbagai kebijakan penyelenggaraan

pemerintahan yang penuh dengan unsur korupsi, kolusi dan nepotisme, dan hal ini

menunjukkan bahwa keberadaan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tersebut

belum dapat memuaskan banyak pihak sehingga perlu diganti dengan

undang-undang baru. Undang-undang-undang baru yang dimaksud yaitu Undang-Undang No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

e. Masa Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi

Perjalanannya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 pun ternyata

menimbulkan permasalahan karena tidak ada Pasal yang mengatur tentang

peraturan peralihan, sehingga menimbulkan pro dan kontra mengenai keberadaan

undang-undang tersebut. Akibat dari tidak adanya Pasal tentang peraturan

(42)

berlaku tidak bisa dijerat dengan Pasal korupsi karena undang-undang

sebelumnya yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sudah dinyatakan tidak

berlaku lagi.53Hal ini menimbulkan sangkaan bahwa Undang-Undang No. 31

Tahun 1999 merupakan konspirasi dari penguasa untuk melindungi pelaku

korupsi di masa lalu. Karena kelemahan itu, maka Undang-Undang No. 31 Tahun

1999 perlu untuk diubah hingga pada akhirnya keluar Undang-Undang No. 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.54

Beragam pengertian dan tipe-tipe tindak pidana korupsi yang berkembang

di Indonesia dimaksudkan disini semata-mata ditujukan kepada eksistensi UU

PTPK sebagai hukum positif (ius constitutum/ius operatum) dalam pemberantasan

tindak pidana korupsi di Indonesia. Secara yuridis-formal pengertian tindak

pidana korupsi terdapat dalam Bab II tentang tindak pidana korupsi, ketentuan

pasal 2 sampai dengan pasal 20, Bab III tentang tindak pidana lain yang berkaitan

dengan tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan pasal 21 sampai dengan 24

UU PTPK.55

2. Subjek Hukum Tindak Pidana korupsi

Subjek hukum dalam tindak pidana korupsi Indonesia pada dasarnya

adalah orang pribadi sama seperti yang tercantum dalam hukum pidana umum.

Hal ini tidak mengkin ditiadakan, namun ditetapkan pula suatu badan yang

53

Nyoman Serikat Putra Jaya, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2005), hlm. 75.

54

Nyoman Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), (Semarang: Program Magister Ilmu Hukum, 2008), hal. 50.

55

(43)

menjadi subjek hukum tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimuat dalam

Pasal 20 jo Pasal 1 dan Pasal 3 Undang No. 31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.56

1. Subjek Hukum Orang

Subjek hukum tindak pidana tidak terlepas dari system pembebasan

tanggung jawab system yang dianut, yang dalam hukum pidana (sumber pokok

KUH Pidana) adalah pribadi orang.Hanya orang yang menjadi subjek hukum

pidana, sedangkan badan atau korporasi tidak.Pertanggung jawaban bersifat

pribadi, artinya orang yang dibebani tanggung jawab pidana dan dipidana

hanyalah orang atau pribadi si pembuatnya.Pertangung jawaban pribadi tidak

dapat dibebankan kepada orang yang tidak berbuat atau subjek hukum yang lain

(vicarious liability).Hukum pidana kita menganut asas concordantie dari hukum

pidana Belanda menganut sistem pertanggung jawaban pribadi.Sangat jelas dari

setiap rumusan tindak pidana dalam KUH Pidana dimulai dengan kata “barang

siapa” (Hij Die), dalam hukum pidana khusus adalahnya menggunakan perkataan

“setiap orang” yang maksudnya adalah orang pribadi misalnya Pasal 5

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.

Pertanggung jawaban pidana sangat sesuai dengan kodrat manusia, sebab hanya

manusia yang berpikir dan berakal serta berperasaan.Dari kemampuan pikir dan

akal serta perasaan seseorang menetapkan kehendak untuk berbuat yang kemudian

diwujudkan.Apabila perbuatan itu berupa perbuatan bersifat tercela atau

56

(44)

bertentangan dengan hukum, maka orang itulah yang dipersalahkan dan

bertanggung jawab atas perbuatannya.57Azas “tiada pidana tanpa kesalahannya”

pada umumnya diakui sebagai prinsip umum diberbagai negara.Namun tidak

banyak undang-undang hukum materil di berbagai negara yang merumuskan

secara tegas azas ini dalam undang-undangnya.Biasanya perumusan azas ini

terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana, khususnya yang

berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.58

Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat

pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa

seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan

yang didakwakan atas dirinya.

Dalam peraturan

perundang-undangan Indonesia, azas ini dapat ditemukan pada :

Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman :

59

Dalam hukum pidana korupsi ini yang bersumber pada Undang-Undang

Nomonr 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, subjek hukum orang ini ditetukan melalui

2 (dua) cara, yaitu :60

57

Ibid. hlm. 343.

58

Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994), hlm. 88.

59

Lihat Pasal 6 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman

60

(45)

1. Cara yang pertama disebut subjek hukum orang pada umunya, aritnya

tidak ditentukan kualitas pribadinya. Kata permulaan dalam kalimat

rumusan tindak pidana yang menggambarkan atau menyebutkan subjek

hukum tindak pidana orang pada umunya, yaitu in cassu tindak pidana

korupsi disebutkan dengan perkataan “setiap orang” misalanya Pasal 2, 3,

21 dan 22 tetapi juga subjek hukum pidana yang diletakka ditengah

rumusan misalnya Pasal 5 dan 6.

2. Sedangkan cara kedua menyebutkan kualitas pribadi dari subjek hukum

orang tersebut, yaitu in cassu ada banyak kualitas pembuatnya antara lain :

1. Pegawai negeri; penyelenggara negara (misalanya Pasal 8, 9, 10, 11,

12 huruf a, b, e, f, g, h, i);

2. Pemborong ahli bangunan (Pasal 7 ayat (1) huruf a);

3. Hakim (Pasal 12 huruf c);

4. Advocat (Pasal 12 huruf d);

5. Saksi (Pasal 24); bahkan

6. Tersangka bisa juga menjadi subjek hukum (Pasal 20 jo Pasal 28).

Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberangtasan Tindak Pidana

Korupsi, pegawai negeri adalah :

a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang

kepegawaian;

b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang

(46)

c. Orang yang menrima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;

d. Uang yang menerima gaji atau suatu korporasi yang menerima bantuan

dari keuangan negara atau daerah; atau

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang

menggunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.61

Pasal 1 ayat (1) Undang Nomor 8 Tahun 1974 jo

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian ditentukan

bahwa yang dimaksud dengan pegawai negeri adalah setiap warga Negara

Republi Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh

pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau

diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat(1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8

tahun 1974 jo Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian, bahwa pegawai negaeri tersebut terdiri atas :

1. Pegawai negeri sipil pusat dan pegawai negeri sipil daerah,

2. Angggota Tentara Nasional Indonesia, dan

3. Anggota Kepolisian Republik Indonesia.62

Dalam Pasal 92 KUH Pidana memberikan makna lebih luas tentang

pegawai negeri yaitu :63

61

Lihat Undang-Undang Pemberantasa Tindak Pidana Korupsi.

62

(47)

Ayat (1) yang termasuk sebutan amtenar (pegaawai), yaitu sekalian orang

dipilih menurut pilihan yang sudah diadakan menurut undang-undang umum,

demikian pula sekalian yang bukan karena pemilihan menjadi angggota Dewan

Pembuat Undang-Undang Pemerintahan atau perwakilan rakyat yang dibentuk

oleh atau atas nama pemerintah, seterusnya sekalian dari anggota Dewan-Dewan

daerah setempat dan sekalian kepala bangsa Indonesia dan asing, yang melakukan

kekuasaan yang sah.

Ayat (2) yang masuk sebutan amtenar (hakim), termasuk pula ahli

memutus perselisihan; yang termasuk sebutan hakim, yaitu mereka yang

menjalankan kekuasaan hukum administratief, demikian juga ketua dan anggota

dewan agama

Ayat (3) semua orang yang termasuk dalam angkatan bersenjata disebut

amtenar (Pegawai).

2. Subjek Hukum Korporasi

Korporasi yang dapat menjadi subjek hukum diterangkan dalam Pasal 1

yang menyatakan bahwa “korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.

Berdasarkan pengertian korporasi yang dapat menjadi subjek hukum tindak

pidana ini, maka jelaslah pengertian hukum pidana dalam tindak pidana korupsi

jauh lebih luas dari pada pengertian rechts persoon yang umumnya diartikan

sebagai badan hukum, atau suatu korporasi yang oleh suatu peraturan

63

(48)

undangan ditetapkan sebagai badan hukum yang didirikan dengan cara memenuhi

syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum. Sedangkan korporasi yang bukan

badan hukum adalah setiap kumpulan orang yang terorgannisasi dengan baik dan

teratur, biasanya ada perangkat aturan yang mengatur intern kumpulan tersebut

dengan ditentukannya jabatan-jabatan tertentu yang menggerakkan roda

organisasi dengan sedikit dan banyaknya kekayaan atau dana untuk membiayai

kumpulan tersebut.64

Perkembangan konsep korporasi sebagai subjek perbuatan pidana

merupakan akibat perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dalam

menjalankan aktivitas usaha.Pada masyarakat yang masih sederhana, kegiatan

usaha cukup dijalankan secara perorangan. Namun, dalam perkembangan

masyarakat yang tidak lagi sederhana, timbul kebutuhan untuk mengadakan kerja

sama dengan pihak lain dalam menjalankan kegiatan usaha. Beberapa hal yang

menjadi faktor pertimbangan untuk mengadakan kerja sama antara lain,

terhimpunnya modal yang lebih banyak, tergabungnya ketrampilan dalam suatu

usaha jauh lebih baik dibandingkan dengan yang dijalankan seorang diri, dan

mungkin pula atas pertimbangan dapat membagi risiko kerugian.65

Penyimpangan perilaku korporasi yang bersifat merugikan dan

membahayakan masyarakat dalam berbagai bentuk yang berskala luas.Dalam

lingkup pembicaraan mengenal perkembangan konsep korporasi sebagai subjek

perbuatan pidana, Rudhy Prasetya mengatakan bahwa timbulnya konsep badan

64

http//www/eprints.undip.ac.id/17989/1/Johny_Krisna.pdf diakses pada tanggal 23 September 2013.

65

Rudy Prasetya, “Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi”, Makalah

Referensi

Dokumen terkait

[r]

terhadap hasil heading kaki sejajar dan 4) untuk mengetahu hasil yang signifikan, antara kelentukan togok, kekuatan otot leher dan kekuatan otot perut terhadap hasil heading

Five of them ( single letters can replace words, single digits can replace words, a single letter or digit can replace a syllable, combinations, and abbreviations ) were the

Penguasaan konsep siswa di kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran berbasis praktikum dengan pendekatan inkuiri dan di kelas kontrol dengan menggunakan

Judul Tesis Analisis Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Lampung Propinsi Lampung.. Aminudin 98426

a. Besarnya gaji yang dibayar kepada setiap pegawai harus disesuaikan dengan prestasi kerja, jenis pekerjaan, risiko pekerjaan, tingkat pendidikan, jabatan pekerja,

Dilihat dari PDB tanpa Migas juga tidak terpaut jauh dari PDB dengan migas, itu berarti sektor tersebut memberikan PDB yang

This course will cover the basic concepts of semiotics including the nature of signs, models of signs, the signification process, typology of signs, value