• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (Studi Putusan Nomor 4/Pid.Sus-Anak/2021/PN Prp)

N/A
N/A
MinhHN

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II TINJAUAN PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (Studi Putusan Nomor 4/Pid.Sus-Anak/2021/PN Prp)"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Pembuktian

a. Pengertian Pembuktian

Pembuktian pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undangundang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. (M Yahya Harahap, 2003: 273). Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting pada acara pidana. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil. Dalam alasan mencari kebenaran materiil itulah maka asas akusatoir (accusatoir) yang memandang terdakwa sebagai pihak sama dengan dalam perkara perdata, ditinggalkan dan diganti dengan asas inkisitoir (inquisitoir) yang memandang terdakwa sebagai objek pemeriksaan bahkan kadangkala dipakai alat penyiksa untuk memperoleh pengakuan terdakwa (Andi Hamzah, 2009: 249).

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi alat bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan pembuktian dan beban pembuktian (Eddy O.S.

Hiariej, 2012: 5).

Sistem pembuktian dalam perkara pidana memiliki empat macam yaitu sebagai berikut :

(2)

1) Sistem pembuktian semata-mata berdasarkan keyakinan hakim (Convention in Time). Teori pembuktian ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan. Tidak ada alat bukti yang dikenal selain alat bukti berupa keyakinan seorang hakim. Artinya, jika dalam pertimbangan putusan hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan keyakinan dalam hati nurani, terdakwa yang diajukan kepadanya dapat dijatuhkan putusan. Keyakinan hakim pada teori ini adalah menentukan dan mengabaikan hal- hal lainnya jika sekiranya tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan hakim tersebut (Rusli Muhammad, 2007: 195).

2) Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (Conviction Raisonne) adalah Sistem pembuktian memberikan batasan keyakinan hakim haruslah berdasarkan alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan memperjelas alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa (Tolib Effendi, 2014:

171)

3) Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang (Positief Wettelijk) Hanya didasarkan kepada undang-undang artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang telah disebutkan oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali, hakim dapat menjatuhkan putusan, sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheorie) (Andi Hamzah, 1987: 229)

4) Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (Negatief wettelijk bewijstheorie) Pembuktian yang selain menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang-undang, juga menggunakan keyakinan hakim.

(3)

Seklipun menggunakan keyakinan hakim, namun keyakinan hakim terbatas pada alat bukti yang ditentukan oleh undang- undang. Dengan menggunakan alat–alat bukti yang tercantum dalam undang-undang dan keyakinan hakim maka teori pembuktian ini sering juga disebut pembuktian berganda (doublen gronslag) (Rusli Muhammad, 2007: 189- 190).

Pembuktian menurut KUHAP terletak pada Pasal 183 yang berbunyi “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Jika mencermati Pasal tersebut bahwa dalam pembuktian di perlukannya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah menurut undang-undang ini dan keyakinan hakim. Kedua syarat tersebut harus terpenuhi agar memungkinkan hakim dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa, jika tidak terpenuhinya kedua syarat tersebut hakim tidak dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa.

Penjelasan di atas menyatakan bahwa sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP adalah sistem pembuktian berdasarkan undang- undang negative (Negatief wettelijk bewijtsheorie) sesuai dengan Pasal 183 KUHAP.

Rusli Muhammad berpendapat bahwa pembuktian yang dianut oleh KUHAP yaitu menurut wettelijk atau undang-undang, karena untuk pembuktian undang-undang yang menentukan tentang jenis dan negatief karena adanya jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang itu belum dapat membuat hakim harus menjatuhkan putusan pidana bagi seorang terdakwa

(4)

apabila jenis-jenis dan banyaknya alat bukti tersebut belum dapat meyakinkan hakim bahwa tindak pidana itu benar- benar telah terjadi dan terdakwa yang melakukan tindak pidana tersebut (Rusli Muhammad, 2007: 185)

b. Prinsip Pembuktian menurut undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

1) Yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan Prinsip ini tertuang dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang biasa disebut sebagai notoire feiten notorious (generally known), maksudnya adalah suatu keadaan, kejadian, atau peritiwa yang sudah merupakan pengetahuan umum itu selalu akan terjadi demikian atau akan berakibat demikian. Secara sederhana, hal yang secara umum diketahui tidak perlu lagi dibuktikan. Hal ikhwal atau peristiwa yang diketahui umum bahwa hal tersebut memang sudah demikian hal yang sebenarnya atau sudah semestinya demikian atau bisa juga berarti berupa perihal kenyataan dan pengalaman yang akan selamanya dan selalu akan mengakibatkan resultan atau kesimpulan yang demikian, yaitu kesimpulan yang didasarkan pengalaman umum ataupun berdasarkan pengalaman hakim sendiri bahwa setiap peristiwa dan keadaan yang seperti itu “senantiasa” menimbulkan akibat yang pasti demikian.

Contoh notoire feiten yaitu Takaran minuman keras tertentu dapat memabukkan, jika terjadi suatu peristiwa di mana seseorang meminum minuman keras dalam takaran tertentu, maka resultannya peminum akan mabuk.

Penerapan notoire feiten harus memperhatikan hal sebagai berikut:

(5)

1. Majelis hakim dapat menarik dan mengambilnya sebagai suatu kenyataan yang dapat dijadikan sebagai fakta tanpa membuktikan lagi;

2. Notoire feiten tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. Tanpa dikuatkan oleh alat bukti yang lain, notoire feiten tidak cukup membuktikan kesalaan yang didakwakan kepada terdakwa karena tidak termasuk alat bukti yang diakui berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP (Yahya Harahap, 2010: 276).

Secara sederhana notoire feiten tidak perlu dibuktikan kembali dan notoire feiten hanya merupakan satu bukti atau alat bukti yang harus tetap didukung dengan bukti/alat bukti lainnya.

2) Menjadi Saksi adalah suatu kewajiban

Kewajiban menjadi saksi diatur dalam Pasal 159 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa “orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku demikian pula dengan ahli. Penjelasan Pasal 159 ayat (2) berdasarkan KUHAP yaitu menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menolak menjadi saksi dalam suatu sidang pengadilan dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku.

3) Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis)

Prinsip ini tertuang dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Keterangan seorang saksi tidak cukup untuk membuktikan bahwa tersangka/terdakwa bersalah telah melakukan suatu tindak pidana.

(6)

Dasar unus testis nullus testis dalam hal hakim menjatuhkan putusan yang didasarkan pada keterangan saksi masih dipertahankan sehingga persyaratan untuk dianggap sebagai keterangan saksi haruslah sedikitnya didasarkan atas keterangan dua orang saksi yang mempunyai persesuaian (Hadari Djenawi Tahir, 1981: 31)

Menurut Andi Hamzah, unus testis nullus testis seringkali disalah artikan. Pemahaman unus testis nullus testis secara literal membuat pembuktian kasus pidana menjadi sulit karena menganggap satu saksi bukanlah alat bukti sebagai keterangan saksi. Padahal jika satu saksi diperkuat oleh alat bukti lainnya, maka dianggap sebagai alat bukti. Hal itu selaras dengan Pasal 185 ayat (3) KUHAP yang berbunyi “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

4) Pengakuan tersangka/terdakwa saja tidak menghapuskan kewajiban penyidik/penuntut umum untuk membuktikan kesalahan tersangka/terdakwa

Prinsip ini merupakan lawan dari prinsip pembuktian terbalik yang terdapat dalam pembuktian pada tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi “keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.

Menurut Syaiful Bakhri bahwa seribu kali pun terdakwa memberi penyataan terhadap pengakuannya sebagai pelaku dan yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, pengakuan ini tidak boleh dinilai dan dianggap sebagai alat bukti yang bernilai sempurna, menentukan, dan mengikat (Syaiful Bakhri, 2009: 70).

(7)

Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Bahwa diperlukan pemeriksaan dan pembuktian lebih lanjut.

Pengakuan bersalah dari terdakwa sama sekali tidak menghilangkan kewajiban penuntut umum dan persidangan untuk menambah dan menyempurnakan pengakuan itu dengan alat bukti yang lain. (M. Yahya Harahap, 2010: 275). Pengakuan terdakwa bukan merupakan alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan, Penuntut Umum tetap mempunyai kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti lainnya.

Jadi untuk menentukan apakah terdakwa bersalah atau tidak harus kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan hakim memperoleh keyakinan bawa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah (M. Yahya Harahap, 2005 :280).

Dengan demikian, Tidak lah cukup apabila hanya didasarkan pada pengakuan atau keterangan terdakwa saja dapat mendukung pembuktian negatif dan meyakinkan hakim untuk memutus suatu perkara.

5) Keterangan tersangka/terdakwa hanya mengikat bagi dirinya sendiri

Menurut Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi

“Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan untuk dirinya sendiri” artinya apa yang diterangka tersangka/terdakwa hanya boleh diterima sebagai keterangan dirinya sendiri.

Menurut M. Yahya Harahap tentang asas ini yaitu bahwa apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri artinya jika dalam suatu perkara terdapat beberapa terdakwa, maka masing-masing

(8)

keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Sebagai contoh, terhadap keterangan A tidak dapat dipergunakan sebagai keterangan B, begitupun sebaliknya (M. Yahya Harahap, 2006: 321).

6) Tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian Menurut asas ini dalam tahap penyidikan yang membuktikan kesalahan tersangka adalah penyidik sedangkan pada pengadilan yang membuktikan kesalahan terdakwa adalah penuntut umum.

Hal itu selaras dengan Pasal 66 KUHAP yang berbunyi

“tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.

Ada beberapa kasus tindak pidana yang terdakwanya dibebani pembuktian pada dirinya seperti pada tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 12 B, Pasal 37 B, Pasal 38 B Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 dan tindak pidana pencucian uang pada Pasal 77 dan Pasal 78 undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tindak pidana tersebut menganut prinsip pembuktian terbalik dan beban pembuktian terbalik terbatas, artinya beban pembuktian bukan lagi di penuntut umum melainkan dibebankan kepada terdakwa bahwa harta benda yang ia peroleh bukan berasal dari tindak pidana.

Dengan demikian terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian kecuali pada kasus tertentu yang pembuktiannya bersifat terbalik.

2. Tinjauan tentang Alat Bukti 1) Pengertian Alat Bukti

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang

(9)

telah dilakukan oleh terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003:

11).

Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara

“limitatif” alat bukti yang sah menurut undang – undang. Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa ketua sidang, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Yang dinilai sebagai alat bukti, dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian”

hanya terbatas kepada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti di luar jenis alat bukti yang disebut pada Pasal 184 ayat (1), tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat (M. Yahya Harahap, 2005: 285).

2) Jenis Alat Bukti

Alat bukti merupakan bagian terpenting dalam mencari atau menemukan suatu kebenaran materiil. Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, jenis alat bukti yang sah dan dapat digunakan sebagai alat bukti adalah:

a) Keterangan saksi;

b) Keterangan ahli;

c) Surat;

d) Petunjuk;

e) Keterangan terdakwa

Berikut adalah uraian mengenai alat bukti di atas:

a) Keterangan Saksi

Pasal 1 butir 27 KUHAP berbunyi :

"Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri

(10)

dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu".

Pasal 185 ayat (1) KUHAP berbunyi :

"Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan".

Keterangan saksi supaya dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah harus memenuhi 2 (dua) syarat yaitu:

1) Syarat formil : bahwa keterangan saksi hanya dapat dianggap sah apabila diberikan di bawah sumpah.

Keterangan saksi yang tidak dibawah sumpah hanya boleh dipergunakan sebagai penambah penyaksian yang sah.

2) Syarat material : bahwa keterangan satu orang saksi saja tidak dapat dianggap sah sebagai alat pembuktian (Unus Testis Nulus Testis). Akan tetapi keterangan seorang saksi, adalah cukup untuk alat pembuktian salah satu unsur kejahatan yang dituduhkan.

b) Keterangan Ahli

Pasal 1 butir 28 KUHAP menyatakan: "Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang tentang suatu perkara pidana, guna kepentingan pemeriksaan". Pasal 186 KUHAP menyatakan :

"Keterangan ahli adalah yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan".

(11)

Keterangan ahli itu dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat mengingat sumpah diwaktu menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan penyidik di sidang acara diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.

Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang untuk mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. hal ini tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) huruf h KUHAP. Adapun ahli yang dimaksud dalam Pasal ini, misalnya ahli kedokteran kehakiman, ahli balistik, ahli kimia, ahli fisika, ahli farmasi, ahli toxin dan lain-lain.

Bantuan yang dapat diberikan oleh para ahli tersebut adalah untuk menjelaskan tentang bukti-bukti yang ada. setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan demi keadilan.

c) Surat

Alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP, sebagai berikut : surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar dilihat atau yang

(12)

dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.

2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.

3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasakan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.

4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

d) Petunjuk

Pengertian alat bukti petunjuk seperti tercantum dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP, yaitu :

“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.

Pasal 188 ayat (2) menyebutkan : petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (1) hanya dapat diperoleh dari :

a) Keterangan saksi;

b) Surat;

c) Keterangan terdakwa.

Dalam Pasal 188 ayat (3) disebutkan:

“Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu

(13)

petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya".

e) Keterangan Terdakwa

Pasal 189 ayat (1) mengatakan :

"Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri".

Keterangan terdakwa harus diberikan di depan siding pengadilan, sedangkan keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang hanya dapat dipergunakan untuk menemukan bukti di sidang saja. Dalam hal terdakwa lebih dari satu orang, maka keterangan dari masing-masing terdakwa hanya berlaku untuk dirinya sendiri.

Dengan kata lain keterangan terdakwa yang satu tidak boleh dijadikan alat bukti bagi terdakwa lainnya.

Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan suatu tindak pidana, kalau tidak didukung oleh alat bukti lainnya.

3. Tinjauan tentang Penuntut Umum

1) Pengertian Jaksa dan Penuntut Umum

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberi uraian pengertian jaksa dan penuntut umum pada Pasal 1 butir 6a dan b serta Pasal 13. Di dalam KUHAP, dapat ditemukan perincian tugas penuntutan yang dilakukan oleh para jaksa. KUHAP membedakan pengertian jaksa dalam pengertian

(14)

umum dan penuntut umum dalam pengertian jaksa yang sementara menuntut suatu perkara (Andi Hamzah, 2002: 71).

Pada hal ini Pasal 1 butir 6 ditegaskan pengertian jaksa dan penuntut umum sebagai berikut:

1) Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

2) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Berkaitan dengan perumusan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian “jaksa” adalah menyangkut jabatan, sedangkan “penuntut umum” menyangkut fungsi (Andi Hamzah, 2002: 72). Jaksa adalah pejabat fungsional yang diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung.

Berdasarkan Undang-Undang No.16 Tahun 2004 telah diatur berkaitan dengan jaksa. Misalnya, syarat-syarat dapat diangkat menjadi jaksa, kewajiban mengucapkan sumpah, larangan perangkapan jabatan/pekerjaan, pemberhentian dengan hormat dan tidak dengan hormat, dan sebagainya. Dengan demikian, jaksa adalah jabatan. Jadi, jaksa yang melaksanakan tugas penuntutan atau penyidangan perkara berdasar surat perintah yang sah itu disebut penuntut umum. Apabila tugas penuntutan selesai dilaksanakan, maka yang bersangkutan jabatannya adalah jaksa. Untuk menjadi penuntut umum yang bersangkutan harus berstatus jaksa (Waluyo, 2000: 56 – 57).

2) Tugas dan Wewenang Penuntut Umum

Melalui keberjalanannya dalam persidangan Penuntut Umum berdasar pada asas penuntutan yang telah dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu asa legalitas dan asas oportunitas, apabila dilihat

(15)

dari asas legalitas (Legaliteits en het opportuniteits beginsel) (Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana. (BPHN, 2006), hlm. 59).

yaitu Penuntut Umum diwajibkan melakukan penuntutan terhadap setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana dimana tindakan tersebut disengaja maupun tidak, asas ini adalah suatu perwujudan dari asas Equality before the law.

Lalu selanjutnya yaitu asas opportunitas yaitu Jaksa selaku Penuntut Umum tidak diwajibkan melakukan penuntutan terhadap seseorang meskipun seseorang telah melakukan tindak pidana yang dapat diproses secara hukum, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah demi kepentingan umum, asas legalitas dapat dikesampingkan atau biasa disebut dengan Deponering, pun pada praktiknya ada oportunitas tidak dapat sembarangan digunakan oleh jaksa, dikarenakan yang memiliki hak untuk melaksanakan asas ini hanyalah jaksa agung sebagaimana diatur di dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

Pada KUHAP dicantumkan mengenai wewenang penuntut umum (Kuffal, 2003:218 – 219), yaitu :

1. Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili (Pasal 137 jo Pasal 84 ayat (1) KUHAP)

2. Penuntut umum mempunyai wewenang yang tersebut dalam Pasal14 KUHAP, yaitu :

1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu, dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik, 2) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada

penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat

(16)

dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik,

3) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan/atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik,

4) Membuat surat dakwaan (letter of accusation), 5) Melimpahkan perkara ke pengadilan.

6) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan,

7) Melakukan penuntutan (to carry out accusation), 8) Menutup perkara demi kepentingan hukum,

9) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang- undang ini,

10) Melaksanakan penetapan hakim.

Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam Pasal 30 tugas dan wewenang Jaksa adalah:

a. Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

1. Melakukan penuntutan.

2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat.

4. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.

(17)

5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

b. Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara dan pemerintah.

c. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:

1. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.

2. Pengamanan kebijakan penegakan hukum.

3. Pengawasan peredaran barang cetakan.

4. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.

5. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.

6. Penelitian dan pengembangan hukum serta stasistik kriminal.

4. Tinjauan tentang Pertimbangan Hakim

Salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan Hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga dalam pertimbangannya keputusan Hakim dapat memiliki manfaat bagi segala pihak pun tetap pada keberjalanannya dalam melaksanakan ketetapan undang-undang.

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada siapa saja (Terdakwa) yang melakukan tindak pidana, jika orang tersebut tidak mempunyai kesalahan. Ketetapan Hakim diatur di dalam Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terutama pada Pasal 50 yaitu:

(18)

“(1) Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”

Sehingga dalam persidangan Hakim berperan sebagai yang memutuskan perkara dalam hal ini Hakim memiliki ketetapan yang secara konstentual dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu:

a. Keputusan mengenai peristiwanya, apakah Terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

b. Keputusan mengenai hukumnya, apakah perbuatan yang dilakukan Terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah Terdakwa bersalah dan dapat dipidana.

c. Keputusan mengenai pidananya, apabila Terdakwa memang dapat dipidana. Hakim dalam keberjalanannya pada saat memutuskan perkara harus sesuai dengan undang- undang, dalam artian Hakim pada saat penjatuhan hukuman tidak boleh menjatuhkan lebih rendah hukuman daripada yang telah diatur di undang-undang dan Hakim juga tidak boleh menjatuhkan lebih tinggi hukuman daripada yang telah diatur di dalam undang- undang.

Menurut Mackenzie Hakim menggunakan beberapa teori dalam memutuskan perkara yaitu:

a. Teori Keseimbangan;

b. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi;

c. Teori Pendekatan Keilmuan;

d. Teori Pendekatan Pengalaman;

e. Teori Ratio Decidendi;

f. Teori Kebijaksanaan.

Hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis, kebenaran filosofis, dan sosiologis. Kebenaran

(19)

yuridis artinya landasan hukum yang dipakai apakah telah memenuhi ketentuan hukum yang berlaku. Kebenaran filosofis artinya Hakim harus mempertimbangkan sisi keadilan apakah Hakim telah berbuat dan bertindak yang seadil-adilnya dalam memutuskan suatu perkara.

Pertimbangan sosiologis artinya Hakim juga harus mempertimbangkan apakah putusannya akan berakibat buruk dan berdampak di masyarakat.

Berdasarkan Pasal 183 KUHAP Hakim pada saat memutuskan perkara setidaknya berpatokan pada 2 (dua) alat bukti dengan disesuaikan dengan keyakinan Hakim. Ada 2 (dua) kategori untuk memberikan telaah pada pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan. Kategori pertama akan dilihat dari segi pertimbangan yang bersifat yuridis dan kedua adalah pertimbangan yang bersifat non- yuridis, selanjutnya akan dijelaskan sebagai berikut (Rusli Muhammad, 2007: 212-221):

a. Pertimbangan Hakim yang bersifat yuridis diantaranya:

i. Dakwaan Penuntut Umum;

ii. Tuntutan pidana;

iii. Keterangan saksi;

iv. Keterangan Terdakwa;

v. Barang bukti;

vi. Pasal-pasal yang terkait.

b. Pertimbangan Hakim yang bersifat non-yuridis yang berupa:

i. Latar belakang Terdakwa;

ii. Akibat perbuatan Terdakwa;

iii. Kondisi diri Terdakwa;

iv. Agama Terdakwa.

Putusan yang dilaksanakan oleh Hakim harus tuntas dan tidak menimbulkan perkara baru, sehingga tugas Hakim tidak berhenti pada putusan saja tapi juga dalam pelaksanaannya, berdasarkan Undang- Undang Kekuasaan KeHakiman Pasal 5 ayat (1), bahwa Hakim dan

(20)

Hakim konstitusi wajib mengadili, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

5. Tinjauan tentang Putusan

Putusan Pengadilan menurut Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam siding pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Semua putusan pengadilan hanya sah dan memiliki kekuatan hukum jika diucapkan di sidang terbuka untuk umum.

Putusan Hakim yang memiliki unsur keadilan serta kemanfaatan menjadi suatu hal yang sangat penting tetapi pada realitanya Hakim di sisi lain juga merupakan manusia biasa yang pada dasarnya memiliki kemungkinan mengalami Human Error yang berupa kelalaian, kekhilafan, maupun kesalahan. Putusan Hakim dapat diklarifikasikan menjadi 2 (dua) jenis putusan yaitu putusan akhir dan putusan yang bukan putusan akhir, mengenai penjelasan sebagai berikut:

a. Putusan Akhir

Berdasarkan praktiknya putusan akhir lazim disebut dengan istilah putusan atau eind vonnis dan merupakan jenis putusan bersifat materiil. Bersifat menyelesaikan suatu perkara yang sedang berlangsung pada satu tingkat peradilan tertentu, yakni pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung. Dalam hal ini putusan akhir menjadi putusan yang akan memiliki kekuatan hukum tetap, karena daripada putusan yang telah ditetapkan Hakim, Terdakwa maupun penasehat hukum Terdakwa tidak mengajukan keberatan maka putusan yang ditetapkan Hakim disebut dengan putusan akhir.

b. Putusan yang Bukan Akhir

(21)

Pada praktik peradilan bentuk dari putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa penetapan atau putusan sela sering pula disebut dengan istilah Bahasa Belanda tussen-vonnis.

Putusan jenis ini mengacu pada ketentuan Pasal 148, Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yakin dalam hal setelah pelimpahan perkara dan apabila Terdakwa dan/atau penasehat hukumnya mengajukan keberatan/eksepsi terhadap surat dakwaan jaksa/Penuntut Umum.

Dapat ditinjau sebagai berikut:

a. Putusan yang menentukan tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili suatu perkara (verklaring van onbevoegheid)

b. Putusan batal demi hukum (nietig van rechtswege/null and vold). Hal ini diatur oleh ketentuan Pasal 156 ayat (1), Pasal 143 ayat (2) huruf b, dan Pasal 143 ayat (3) KUHAP.

c. Putusan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard) sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Jenis- jenis putusan disebut dengan putusan pengadilan (bukan putusan Hakim) sebagaimana yang terdapat dalam KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981), yang terdiri dari:

a) Putusan pemidanaan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 193 KUHAP yang berbunyi:

“(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.”

Pada hal ini menganut sistem daad-dader strafrecht atau model keseimbangan kepentinga, karena memperhatikan kepentingan, karena memperhatikan kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana yaitu kepentingan negara, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana, dan juga kepentingan

(22)

korban kejahatan dalam hal pemidanaan, yang tetap memperhatikan pada perbuatan dan kesalahan pelaku.

b) Putusan bebas (vrijspraak), sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:

“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka Terdakwa diputus bebas.”

Menurut Lilik Mulyadi putusan bebas dapat ditinjau dari segi hukum pembuktian. Apabila dalam pembuktian, Penuntut Umum tidak dapat membuktikan dengan 2 (dua) alat bukti yang sah dan disertai keyakinan Hakim, sesuai dengan asas minimum pembuktian maka putusan tersebut menjadi putusan bebas (vrispraak), terdapat 2 (dua) jenis putusan bebas yaitu murni dan tidak murni, hal ini diatur di dalam Putusan Mahkamah Agung No. 275/K/Pid/1983. c. Putusan lepas dari segala tuntutan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka Terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.”

Apabila tuntutan hukum atas perbuatan yang dilakukan Terdakwa dalam surat dakwaan Penuntut Umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, akan tetapi Terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana, karena perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana maka putusan tersebut menjadi

(23)

putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) (Lilik Mulyadi, 2007: 152-153).

Baiknya segala putusan yang ditetapkan Hakim memiliki unsur keadilan dan kemanfaatan bagi segala pihak yang berperkara maupun piahk yang bersinggungan dan tergabung dalam keberjalanan perkara di peradilan.

6. Tinjauan tentang Tindak Pidana Mempertontonkan Ketelanjangan di muka Umum

a. Pengertian Eksibisionisme

Eksibisionisme adalah salah satu penyakit golongan paraphilia, paraphilia atau fantasi seksual merupakan salah satu bentuk sexual disorder atau sexual deviation (Morgan, Clifford Thomas,1986:28)

Pada praktiknya ternyata tidak semua perbuatan pornografi dalam masyarakat terutama yang jelas-jelas terjadi di muka umum, dapat diberantas atau ditanggulangi dengan Undang-undang Pornografi ini. Kemunculan Undang-undang ini memang dari awal menimbulkan dilema serta pro kontra dalam masyarakat terutama terhadap kegiatan yang akan digolongkan sebagai pornoaksi.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 dijelaskan bahwa yang dapat dikategorikan pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Dari makna pornografi tersebut beberapa ketentuan mengenai pelarangan pornografi diatur dalam Pasal 4 sampai Pasal 13. Pada penelitian ini peneliti menemukan

(24)

permasalahan baru terutama pada ketentuan Pasal 10 Undang- undang Pornografi :

“Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya”.

Pada beberapa ketentuan Pasal dan perundang-undangan di Indonesia, Indonesia memiliki beberapa peraturan perundang- undangan yang dapat menjerat pelaku eksibisionisme yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Bab XIV mengatur tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Eksibisionisme dianggap sebagai perbuatan cabul dan melanggar kesusilaan sesuai dengan ketentuan dalam KUHP Pasal 281, secara lex specialis pada Pasal 10 dan Pasal 36 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Sebagaimana diketahui bahwa seseorang yang melakukan perbuatan pidana hanya akan dijatuhi hukuman pidana apabila ada kesalahan secara mutlak bagi adanya pertanggungjawaban pidana (Lamintang, 2014).

b. Jenis-Jenis dari Eksibisionisme

1. Mooning yaitu menunjukan pantat dengan cara menurunkan celana dan pakaian dalam;

2. Flashing yaitu menunjukan bagian payudara baik wanita maupun pria dengan mengangkat baju ataupun pakaian dalamnya;

3. Reflectoporn yaitu mengambil foto orang yang sedang telanjang dari bayangan jatuh di atas suatu benda yang memiliki daya reflektif seperti stainless dan kaca selanjutnya akan di upload diinternet supaya bisa dilihat oleh banyak orang. Umumnya orang yang mengidap eksibisionisme mempunyai beberapa perilaku seperti :

(25)

a) Mempunyai keinginan untuk memamerkan alat kelaminya kepada lawan jenisnya berulang kali tanpa adanya niatan untuk melakukan hal-hal yang lebih dari itu.

b) Eksibisionisme terbatas kepada laki-laki hetero sexsual yang memamerkan alat kelaminya ditempat umum kepada wanita remaja ataupun dewasa, jika yang melihat merasakan ketakutan atau terkejut hal tersebut membuat gairah seksual pengidap eksibisionisme meningkat.

c) Bagi sebagian penderita, eksibisionisme merupakan satu- satunya penyalur seksualnya, namun sebagian penderita lainya eksibisionisme ini dilanjutkan bersamaan dengan kehidupan seksual yang aktif didalam suatu hubungan.

d) Penderita eksibisionisme biasanya tidak dapat mengendalikan dorongan keinginan mereka

B. Kerangka Pemikiran

.

Kesesuaian dengan Pasal 184 ayat (1)

KUHAP Tindak Pidana

Mempertontonkan Ketelanjangan di Muka

Umum

Persidangan di Pengadilan Negeri

Pembuktian Penuntut

Umum

(26)

Gambar 1.1 Skematik Kerangka Pemikiran

Keterangan :

Berdasarkan gambar skematik diatas, yang merupakan kerangka pemikiran Penulis dalam menganalisis, menjelaskan, jawaban atas permasalahan hukum yang dikaji berupa Pembuktian Penuntut Umum dan Pertimbangan Hakim Memutus Tindak Pidana Mempertontonkan Ketelanjangan di Muka Umum berdasaran Putusan Pengadilan No 264/Pid.B/2021/PN.Sgt.

Dapat dilihat dari skema diatas, Penulis mengkaji kasus posisi yang bermula dari terjadinya tindak pidana Mempertontonkan Ketelanjangan di Muka Umum. Lalu digelar persidangan, dalam persidangan Penuntut umum mempunyai beban pembuktian untuk membuktikan tindak pidana Mempertontonkan Ketelanjangan di Muka Umum. Penulis akan mengkaji kesesuaian alat bukti yang diajukan oleh penuntut umum dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan mengkaji alat bukti tindak pidana tersebut. Terdakwa yang dengan sengaja melakukan tindak pidana berupa memprtontonkan ketelanjangan di muka umum kepada seorang wanita, kemudian terdakwa tersebut di dakwa dengan Pasal nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi.

Pertimbangan Hakim

Kesesuaian dengan Pasal 183 KUHAP jo Pasal 36 UU Nomer 44 Tahun 2008

Tentang Pornografi

Putusan

(27)

Hal tersebut menarik Penulis untuk mengkaji pembuktian penuntut umum mengenai kesesuaian Pasal 184 ayat 1 KUHAP dan kesesuaian dengan Pasal 183 KUHAP jo Pasal 36 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Referensi

Dokumen terkait

“Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perjudian Togel Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Bangli Nomor 23/Pid.B/2020/Pnbli.” Jurnal Interpretasi Hukum, Vol.2, No.1, 2021..