53
FORMULASI,
IMPLEMENTASI, DAN
EVALUASI KEBIJAKAN
55
FORMULASI, IMPLEMENTASI,
DAN EVALUASI KEBIJAKAN
Bab III
3.1. FORMULASI KEBIJAKAN
Formulasi kebijakan publik ialah langkah paling awal dalam proses kebijakan publik secara keseluruhan.Oleh karenannya apa yang terjadi pada fase ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibuat pada masa yang akan datang. Menurut Anderson dalam Winarno (2007: 93) formulasi kebijakan menyangkut upaya menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif disepakati untuk masalah-masalah yang dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi. Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik merupakan tahap yang paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai. Disamping itu kegagalan suatu ke-bijakan atau program dalam mencapai tujuan-tujuannya sebagian besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolahan tahap formulasi (Wibawa, 1994: 2).
Tjokroamidjojo dalam Islamy (1991: 24) mengatakan bahwa policy formulation sama dengan pembentukan kebijakan merupakan serangkaian tindakan pemilihan berbagai alternatif yang dilakukan secara terus menerus dan tidak pernah selesai, dalam hal ini didalamnya termasuk pembuatan keputusan. Lebih jauh tentang proses pembuatan kebijakan negara (publik),
56
negara sebagai “The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solutions into political demands, channelling those demands into the political systems, seeking sanctions or legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)”.
Tahap-tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu. Setiap tahap berhubungan dengan tahap berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda) atau tahap ditengah dalam aktivitas yang tidak linear.
1. Tahap-tahap formulasi kebijakan
Formulasi kebijakan sebagai suatu proses menurut Winarno (1989: 53), dapat dipandang dalam 2 (dua) macam kegiatan. Kegiatan pertama adalah memutuskan secara umum apa yang apa yang harus dilakukan atau dengan kata lain perumusan diarahkan untuk memperoleh kesepakatan tentang suatu alternatif kebijakan yang dipilih, suatu keputusan yang menyetujui adalah hasil dari proses seluruhnya. Sedangkan kegiatan selanjutnya diarahkan pada bagaimana keputusan-keputusan kebijakan dibuat, dalam hal ini suatu keputusan kebijakan mencakup tindakan oleh seseorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah atau menolak suatu alternatif kebijakan yang dipilih. Sejalan dengan pendapat Winarno, maka Islamy (1991: 77) membagi proses formulasi kebijakan kedalam tahap perumusan masalah kebijakan, penyusunan agenda pemerintah, perumusan usulan kebijakan, pengesahan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian kebijakan.
1) Perumusan masalah kebijakan
Pada prinsipnya, walaupun suatu peristiwa, keadaan dan situasi tertentu dapat menimbulkan satu atau beberapa problem, tetapi agar hal itu menjadi masalah publik tidak hanya tergantung dari dimensi obyektifnya saja, tetapi juga secara subyektif, baik oleh masyarakat maupun para pembuat kepu-tusan, dipandang sebagai suatu masalah yang patut dipecahkan atau dicarikan jalan keluarnya. Oleh karena itu, suatu problem, untuk bisa berubah menjadi problem umum tidak hanya cukup dihayati oleh banyak orang sebagai sesuatu
57 masalah yang perlu segera diatasi, tetapi masyarakat perlu memiliki political
will untuk memperjuangkannya dan yang lebih penting lagi. Problem tersebut ditanggapi positif oleh pembuat kebijakan dan mereka bersedia memper-juangkan problem umum itu menjadi problem kebijakan, memasukannya kedalam agenda pemerintah dan mengusahakannya menjadi kebijakan publik, maka langkah pertama yang harus dilakukan oleh setiap pembuat kebijakan adalah mengidentifikasikan problem yang akan dipecahkan kemudian mem-buat perumusan yang sejelas-jelasnya terhadap problem tersebut.
Kegiatan ini merupakan upaya untuk menentukan identitas masalah kebijakan dengan terlebih dahulu mengerti dan memahami sifat dari masalah tersebut, sehingga akan mempermudah dalam menentukan sifat proses peru-musan kebijakan.
2) Penyusunan agenda pemerintah
Oleh karena masalah publik yang telah diidentifikasi begitu banyak jumlahnya, maka para pembuat keputusan akan memilih dan menentukan problem mana yang seharusnya memperoleh prioritas utama untuk diper-hatikan secara serius dan aktif, sehingga biasanya agenda pemerintah ini mempunyai sifat yang khas, lebih kongkrit dan terbatas jumlahnya. Anderson (1966: 57-59) menyebutkan beberapa faktor yang dapat menyebabkan problem-problem umum dapat masuk ke dalam agenda pemerintah, yakni : 1. Apabila terdapat ancaman terhadap keseimbangan antar kelompok (group equlibirium), dimana kelompok-kelompok tersebut meng-adakan reaksi dan menuntut tindakan pemerintah untuk mengambil prakarsa guna mengatasi ketidakseimbangan tersebut.
2. Kepemimpinan politik dapat pula menjadi suatu faktor yang penting dalam penyusunan agenda pemerintah, manakala para pemimpin politik didorong atas pertimbangan keuntungan politik atau keterlibatannya untuk memperhatikan kepentingan umum, sehingga mereka selalu memperhatikan problem publik, menyebarluaskan dan mengusulkan usaha pemecahannya.
3. Timbulnya krisis atau peristiwa yang luar biasa dan mendapatkan perhatian besar dari masyarakat, sehingga memaksa para pembuat keputusan untuk memperhatikan secara seksama terhadap peristiwa atau krisis tersebut, dengan memasukkan ke dalam agenda pemerintah. 4. Adanya gerakan-gerakan protes termasuk tindakan kekerasan,
58
sehingga menarik perhatian para pembuat keputusan untuk me-masukkannya ke dalam agenda pemerintah.
5. Masalah-masalah khusus atau isu-isu politis yang timbul dalam masyarakat, sehingga menarik perhatian media massa dan menjadi-kannya sebagai sorotan. Hal ini dapat menyebabkan masalah atau isyu tersebut semakin menonjol sehingga lebih banyak lagi perhatian masyarakat dan para pembuat kebijakan tertuju pada masalah atau isu tersebut.
3) Perumusan Usulan Kebijakan
Tahap ini merupakan kegiatan menyusun dan mengembangkan serang-kaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah, meliputi :
a. Identifikasi alternatif dilakukan untuk kepentingan pemecahan masalah. Terhadap problem yang hampir sama atau mirip, dapat saja dipakai alternatif kebijakan yang telah pernah dipilih, akan tetapi terhadap problem yang sifatnya baru maka para pembuat kebijakan dituntut untuk secara kreatif menemukan dan mengidentifikasi alternatif kebijakan baru sehingga masing-masing alternatif jelas karakteristiknya, sebab pemberian identifikasi yang benar dan jelas pada setiap alternatif kebijakan akan mempermudah proses perumusan alternatif.
b. Mendefinisikan dan merumuskan alternatif, bertujuan agar masing-masing alternatif yang telah dikumpulkan oleh pembuat kebijakan itu jelas pengertiannya, sebab semakin jelas alternatif itu diberi pengertian, maka akan semakin mudah pembuat kebijakan menilai dan memper-timbangkan aspek positif dan negatif dari masing-masing alternatif tersebut.
c. Menilai alternatif, yakni kegiatan pemberian bobot pada setiap alter-natif, sehingga jelas bahwa setiap alternatif mempunyai nilai bobot kebaikan dan kekurangannya masing-masing, sehingga dengan mengetahui bobot yang dimiliki oleh masing-masing alternatif maka para pembuat keputusan dapat memutuskan alternatif mana yang lebih memungkinkan untuk dilaksanakan/dipakai. Untuk dapat melakukan penilaian terhadap berbagai alternatif dengan baik, maka dibutuhkan kriteria tertentu serta informasi yang relevan.
d. Memilih alternatif yang memuaskan. Proses pemilihan alternatif yang memuaskan atau yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan barulah dapat dilakukan setelah pembuat kebijakan berhasil dalam melakukan penilaian terhadap alternatif kebijakan. Suatu alternatif yang
59 telah dipilih secara memuaskan akan menjadi suatu usulan kebijakan
yang telah diantisipasi untuk dapat dilaksanakan dan memberikan dampak positif. Tahap pemilihan alternatif yang memuaskan selalu bersifat obyektif dan subyektif, dalam artian bahwa pembuat kebijakan akan menilai alternatif kebijakan sesuai dengan kemampuan rasio yang dimilikinya, dengan didasarkan pada pertimbangan terhadap kepenti-ngan pihak-pihak yang akan memperoleh pengaruh sebagai konsek-wensi dari pilihannya.
4) Pengesahan Kebijakan
Sebagai suatu proses kolektif, pengesahan kebijakan merupakan proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap prinsip-prinsip yang diakui dan diterima (comforming to recognized principles or accepted standards). Landasan utama untuk melakukan pengesahan adalah variabel-variabel sosial seperti sistem nilai masyarakat, ideologi negara, sistem politik dan sebagainya.
Proses pengesahan suatu kebijakan biasanya diawali dengan kegiatan persuasion dan bargaining (Andersson, 1966: 80). Persuasion diartikan sebagai “Usaha-usaha untuk meyakinkan orang lain tentang sesuatu kebenaran atau nilai kedudukan seseorang, sehingga mereka mau menerima-nya sebagai milik sendiri”. Sedangkan Bergaining diterjemahkan sebagai “Suatu proses dimana dua orang atau lebih yang mempunyai kekuasaan atau otoritas mengatur/menyesuaikan setidak-tidaknya sebagian tujuan-tujuan yang tidak mereka sepakati agar dapat merumuskan serangkaian tindakan yang dapat diterima bersama meskipun itu tidak terlalu ideal bagi mereka”. Yang termasuk ke dalam kategori bargaining adalah perjanjian (negotiation), saling memberi dan menerima (take and give) dan kompromi (compromise). Baik persuasion maupun bargaining, kedua-duanya saling melengkapi sehingga penerapan kedua kegiatan atau proses tersebut akan dapat memper-lancar proses pengesahan kebijakan.
2. Hal-Hal yang mempengaruhi proses formulasi kebijakan
Menurut Nigro and Nigro (Islamy, 1991: 25), faktor-faktor yang ber-pengaruh terhadap proses formulasi kebijakan adalah :
60
a) Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar
Walaupun ada pendekatan formulasi kebijakan dengan nama “rationale comprehensive” yang berarti administrator sebagai pembuat keputusan harus mempertimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih ber-dasarkan penilaian rasional semata, tetapi proses dan formulasi kebijakan itu tidak dapat dipisahkan dari dunia nyata, sehingga adanya tekanan dari luar ikut berpengaruh terhadap proses formulasi kebijakan.
b) Adanya pengaruh kebiasaan lama
Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal, sumber-sumber dan waktu terhadap kegiatan suatu program tertentu cenderung akan selalu diikuti, meskipun keputusan-keputusan tersebut telah dikritik sebagai sesuatu yang salah sehingga perlu dirubah, apalagi jika suatu kebijakan yang telah ada dipandang memuaskan.
c) Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya, seperti dalam proses penerimaan atau pengangkatan pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat keputusan berperan besar sekali.
d) Adanya pengaruh dari kelompok luar
Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan juga sangat berpe-ngaruh, bahkan sering pula pembuatan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan pengalaman dari orang lain yang sebelumnya berada diluar proses formulasi kebijakan.
e) Adanya pengaruh keadaan masa lalu
Pengalaman latihan dan pengalaman pekerjaan yang terdahulu berpe-ngaruh pada pembuatan keputusan atau bahkan orang-orang yang bekerja di kantor pusat sering membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan dilapangan, hal ini disebabkan karena adanya kekhawatiran bahwa delegasi wewenang dan tanggung jawab kepada orang lain akan disalah-gunakan.
3.2. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Menurut Grindle dalam Solichin (2005: 45), implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme
61 penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin
lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari kebijakan. Oleh karena itu tidak terlalu salah jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Sebaik apapun sebuah kebijakan tidak akan ada manfaatnya bila tidak dapat diterapkan sesuai dengan rencana. Penerapan adalah suatu proses yang tidak sederhana.
Solichin (2005: 45) mengatakan implementasi kebijakan perlu dilakukan secara arif, bersifat situasional mengacu pada semangat kompetensi dan berwawasan pemberdayaan Untuk mengimplementasikan suatu kebijakan diperlukan lebih banyak yang terlibat baik tenaga kerja maupun kemampuan organisasi. Penerapan kebijakan bersifat interaktif dalam proses perumusan kebijakan. Penerapan sebagai sebuah proses interaksi antara suatu tujuan dan tindakan yang mampu untuk meraihnya. Penerapan merupakan ke-mampuan untuk membentuk hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang menghubungan tindakan dengan tujuan.
Mengimplementasikan sebuah kebijakan bukanlah masalah yang mudah terutama dalam mencapai tujuan bersama, cukup sulit untuk membuat sebuah kebijakan publik yang baik dan adil. Dan lebih sulit lagi untuk melak-sanakannya dalam bantuk dan cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka yang dianggap klien. Masalah lainnya adalah kesulitan dalam memenuhi tuntutan berbagai kelompok yang dapat menyebabkan konflik yang mendorong berkembangnya pemikiran politik sebagai konflik.
Menurut Riant Nugroho (2012: 674), jika kita sudah mempunyai konsep yang baik, 60 % keberhasilan sudah ada ditangan. Namun, yang 60 % itupun akan hangus jika 40 % implementasinya tidak konsisten dengan konsep. Malangnya lagi ada banyak peneliti yang menemukan bahwa dari konsep-konsep perencanaan, rata-rata konsisten implementasi antara 10-20 % saja. Dari sini kita melihat, implementasi kebijakan itu memang krusial. Definisi dan konsep implementasi kebijakan publik ini sangat bervariasi.Menurut Van Meter dan Van Horn yang dalam Fadillah (2001: 81) menyatakan bahwa implementasi kebijakan adalah Pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijakan sampai tercapainya hasil kebijakan.
62
Kemudian merumuskan proses implementasi kebijakan sebagai : “Policy implementation encompasses those actions by public or private individuals (or group) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions” (pernyataan ini memberikan makna bahwa implementasi kebijakan adalah keseluruhan tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu, dan kelompok-kelompok pemerintah dan swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan dan sasaran, yang men-jadi prioritas dalam keputusan kebijakan).
Pada prinsipnya Matriks Matland memiliki “lima tepat” yang perlu di-penuhi dalam hal keefektifan implementasi kebijakan, yaitu :
1. Apakah kebijakannya sendiri sudah tepat Ketepatan kebijakan dinilai dari :
a. Sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Pertanyaannya adalah how excellent is the policy.
b. Apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai dengan karakter masalah yang hendak dipecahkan.
c. Apakah kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan (misi kelembagaan) yang sesuai dengan karakter kebijakan.
2. Tepat pelaksana
Aktor implementasi kebijakan tidaklah hanya pemerintah, ada tiga lem-baga yang bisa menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pe-merintah–masyarakat/swasta, atau implementasi kebijakan yang diswastakan.
3. Tepat target
a. Apakah target yang diintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada tumpang tindih dengan intervensi yang lain, atau tidak bertentangan dengan intervensi kebijakan yang lain.
a. Apakah targetnya dalam kondisi siap di intervensi atau tidak. Kesiapan tidak hanya dalam arti secara alami, namun juga apakah kondisi target ada dalam kondisi mendukung atau menolak.
b. Apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memper-barui implementasi kebijakan sebelumnya. Terlalu banyak kebijakan yang tampaknya baru namun pada prinsipnya mengulang kebijakan yang lama dengan hasil yang sama tidak efektifnya dengan kebijakan sebelumnya.
63 4. Tepat lingkungan
Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu : a. Lingkungan kebijakan
Interaksi antara lembaga perumus kebijakan dengan pelaksana kebija-kan dengan lembaga yang terkait. Donald J. Calista menyebutnya sebagai variable endogen, yaitu authoritative arrangement yang ber-kenaan dengan kekuatan sumber otoritas dari kebijakan, network composition yang berkenaan dengan komposisi jejaring dari berbagai organisasi yang terlibat kebijakan, baik dari pemerintah maupun mas-yarakat, implementation setting yang berkenaan dengan posisi tawar menawar antara otoritas yang mengeluarkan kebijakan dan jejaring yang berkenaan dengan implementasi kebijakan.
b. Lingkungan eksternal
Lingkungan ini oleh Calista disebut sebagai variabel eksogen, yang terdiri dari public opinion, yaitu persepsi public akan kebijakan dan implementasi kebijakan. Interpretive institutions yang berkenaan dengan interpretasi lembaga-lembaga strategis dalam mayarakat, seperti media massa, kelompok penekan, dan kelompok kepentingan, dalam menginter-pretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan, dan individuals, yakni individu-individu tertentu yang mampu memainkan peran penting dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan.
5. Tepat proses
Secara umum implementasi kebijakan publik terdiri atas tiga proses, yaitu: a. Policy acceptance
Publik memahami kebijakan sebagai sebuah “aturan main” yang diperlu-kan untuk masa depan, di sisi lain pemerintah memahami kebijadiperlu-kan sebagai tugas yang harus dilaksanakan.
b. Policy adoption
Publik menerima kebijakan sebagai sebuah “aturan main” yang di-perlukan untuk masa depan, di sisi lain pemerintah menerima kebijakan sebagai tugas yang harus dilaksanakan.
c. Strategic readiness
Publik siap melaksanakan atau menjadi bagian dari kebijakan, di sisi lain birokrat on the street (atau birokrat pelaksana) siap menjadi pelaksana kebijakan.
64
Lima “tepat” tersebut masih perlu didukung oleh tiga jenis dukungan, yaitu:
1. Dukungan politik
2. Dukungan strategik, dan 3. Dukungan teknis.
Joko Widodo (2010: 88) memberikan kesimpulan pengertian bahwa implementasi merupakan suatu proses yang melibatkan sejumlah sumber yang termasuk manusia, dana, dan kemampuan organisasional yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta (individu atau kelompok). Proses tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat kebijakan. Sebuah implementasi kebijakan yang melibatkan banyak organisasi dan tingkatan birokrasi dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Menurut Wahab (2005: 63) implementasi kebijakan dapat dilihat dari sudut pandang: (1) pembuat kebijakan, (2) pejabat-pejabat pelaksana di lapangan, dan (3) sasaran kebijakan (target group). Perhatian utama pembuat kebijakan menurut Wahab (2005: 63) memfokuskan diri pada se-jauh mana kebijakan tersebut telah tercapai dan apa alasan yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan kebijakan tersebut.
Dari sudut pandangimplementor, menurut Wahab (2005: 64) imple-mentasi akan terfokus pada tindakan pejabat dan instansi di lapangan untuk mencapai keberhasilan program. Sementara dari sudut pandang target groups, menurut Wahab (2005: 64) implementasi akan lebih dipusatkan pada apakah implementasi kebijakan tersebut benar-benar mengubah pola hidupnya dan berdampak positif panjang bagi peningkatan mutu hidup termasuk pendapatan mereka.
Pada dasarnya indikator kinerja untuk menilai derajat pencapaian standar dan sasaran kebijakan dapat dijelaskan bahwa kegiatan itu me-langkah dari tingkat kebijakan yang masih berupa dokumen peraturan menuju penentuan standar spesifik dan kongkrit dalam menilai kinerja program. Dengan standar dan sasaran dapat diketahui seberapa besar keberhasilan program yang telah dicapai. Ripley dan Franklin (1986: 89) dalam bukunya yang berjudul Birokrasi dan Implementasi Kebijakan (Policy Implementa-tion and Bureaucracy) menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan atau program dapat ditujukan dari tiga faktor, yaitu:
65 1. Perspektif kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi dari
kepatuhan strect level bureau crats terhadap atasan mereka.
2. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan.
3. Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan. Secara sederhana ketiga faktor diatas merupakan suatu kepastian dalam menilai keberhasilan suatu implementasi kebijakan sehingga kurang hilangnya salah satu faktor mempengaruhi sekali terhadap kinerja kebijakan tersebut. Kemudian sebaliknya Jam Marse dalam Solichin (2002: 19) mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang dapat menimbulkan kegagalan dalam imple-mentasi kebijakan yaitu:
1. Isu kebijakan
Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih ketidaktetapan atau ketidak tegasan intern maupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, me-nunjukan adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pem-bantu.
2. Informasi
Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat baik kepada objek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan yang akan dilaksanakannya dan hasil-hasil dari kebijakan itu.
3. Dukungan
Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada pelaksa-naannya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut.
Ketiga faktor yang dapat menimbulkan kegagalan dalam proses imple-mentasi kebijakan sebelumnya harus sudah difikirkan dalam merumuskan kebijakan, sebab tidak tertutup kemungkinan kegagalan didalam penerapan kebijakan sebagian besar terletak pada awal perumusan kebijakan oleh pe-merintah sendiri yang tidak dapat bekerja maksimal dan bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Perlu disadari bahwa dalam melaksanakan implementasi suatu kebija-kan tidak selalu berjalan mulus. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Untuk menggambarkan secara
66
jelas variabel atau faktor-faktor yang berpengaruh penting terhadap imple-mentasi kebijakan publik serta guna penyederhanaan pemahaman, maka akan digunakan model-model implementasi kebijakan. Terdapat banyak model implementasi menurut para ahli, diantaranya model implementasi kebijakan publik menurut George Edward III dalam Widodo (2010:96) terdapat 4 faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan imple-mentasi kebijakan antara lain, yaitu faktor: (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi.
a. Komunikasi
Menurut Edward III dalam Widodo (2010: 97), komunikasi diartikan sebagai proses penyampaian informasi komunikator kepada komunikan. Informasi mengenai kebijakan publik menurut Edward III dalam Widodo (2010: 97) perlu disampaikan kepada pelaku kebijakan agar para pelaku kebijakan dapat mengetahui apa yang harus mereka persiapkan dan lakukan untuk menjalankan kebijakan tersebut sehingga tujuan dan sasaran kebijakan dapat dicapai sesuai dengan yang diharapakan. Menurut Edward III dalam Widodo (2010: 97), komunikasi kebijakan memiliki beberapa dimensi, antara lain dimensi transmisi (trasmission), kejelasan (clarity) dan konsistensi (con-sistency).
1) Dimensi transmisi menghendaki agar kebijakan publik disampaikan tidak hanya disampaikan kepada pelaksana (implementors) kebijakan tetapi juga disampaikan kepada kelompok sasaran kebijakan dan pihak lain yang berkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung.
2) Dimensi kejelasan (clarity) menghendaki agar kebijakan yang ditrans-misikan kepada pelaksana, target grup dan pihak lain yang berke-pentingan secara jelas sehingga diantara mereka mengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan, sasaran, serta substansi dari kebijakan publik tersebut sehingga masing-masing akan mengetahui apa yang harus dipersiapkan serta dilaksanakan untuk mensukseskan kebijakan tersebut secara efektif dan efisien.
3) Dimensi konsistensi (consistency) diperlukan agar kebijakan yang diambil tidak simpang siur sehingga membingungkan pelaksana ke-bijakan, target grup dan pihak-pihak yang berkepentingan.
67 b. Sumberdaya
Edward III dalam Widodo (2010: 98) mengemukakan bahwa faktor sumberdaya mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan. Menurut Edward III dalam Widodo (2010: 98) bahwasumberdaya tersebut meliputi sumberdaya manusia, sumberdaya anggaran, dan sumberdaya peralatan dan sumberdaya kewenangan
1) Sumberdaya Manusia
Sumberdaya manusia merupakan salah satu variabel yang mempenga-ruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Edward III dalam Widodo (2010:98) menyatakan bahwa “probably the mostessential resources in implementing policy is staff”. Edward IIIdalam Widodo (2010:98) menambahkan “no matter how clear andconsistent implementation order are and no matter accurately theyare transmitted, if per-sonnel responsible for carrying out policieslack the resources to do an effective job, implementing will noteffective”.
2) Sumberdaya Anggaran
Edward III dalam Widodo (2010:100) menyatakan dalam kesimpulan studinya “budgetary limitation, and citizen oppositionlimit the acquisition of adequate facilities. This is turn limit thequality of service that implementor can be provide to public”.Menurut Edward III, terbatasnya anggaran yang tersediamenyebabkan kualitas pelayanan yang seharusnya diberikankepada masyarakat juga terbatas.Edward III dalam Widodo (2010: 100) menyatakan bahwa “newtowns studies suggest that the limited supply of federal incentiveswas a major contributor to the failure of the program”. MenurutEdward III, terbatasnya insentif yang diberikan kepada implementor merupakan penyebab utama gagalnya pelaksanaan program. Edward III dalam Widodo (2010: 101) menyimpulkan bahwa terbatasnya sumber daya anggaran akan mempengaruhi ke-berhasilan pelaksanaan kebijakan. Disamping program tidak bias dilaksanakan dengan optimal, keterbatasan anggaran menyebabkan disposisi para pelaku kebijakan rendah.
3) Sumberdaya Peralatan
Edward III dalam Widodo (2010: 102) menyatakan bahwa sumberdaya peralatan merupakan sarana yang digunakan untuk operasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputi gedung, tanah, dan sarana
68
yang semuanya akan memudahkandalam memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan. Edward III dalam Widodo (2010: 102) menyatakan: Physical facilities may also be critical resources im-plementation. An implementor may have sufficient staff, may understand what he supposed to do, may have authority toexercise his task, but without the necessary building, equipment, supplies and even green space implementation will not succeed.
4) Sumberdaya Kewenangan
Sumberdaya lain yang cukup penting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan adalah kewenangan. Menurut Edward III dalam Widodo (2010: 103) menyatakan bahwa: Kewenangan (authority) yang cukup untuk membuat keputusan sendiri yang dimiliki oleh suatu lembaga akan mempengaruhi lembaga itu dalam melak-sanakan suatu kebijakan. Kewenangan ini menjadi penting ketika mereka dihadapkan suatu masalahdan mengharuskan untuk segera diselesaikan dengan suatu keputusan. Oleh karena itu, pelaku utama kebijakan harus diberi wewenang yang cukup untuk membuat kepu-tusan sendiri untuk melaksanakan kebijakan yang menjadi kewena-ngannya.
c. Disposisi
Pengertian disposisi menurut Edward III dalam Widodo (2010: 104) dikatakan sebagai kemauan, keinginan dan kecenderungan paraperlaku kebijakan untuk melaksanakan kebijakan tadi secara sungguh-sungguh sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan dapat diwujudkan. Edward III dalam Widodo (2010: 104-105) mengatakan jika implementasi kebijakan ingin berhasil secara efektif dan efisien, para pelaksana (implementors) tidak hanya mengetahui apayang harus dilakukan dan mempunyai kemampuan untuk melakukan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kamauan untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Faktor-faktor yang men-jadi perhatian Edward III dalam Agustinus (2006: 159-160) mengenai dis-posisi dalam implementasi kebijakan terdiri dari:
1) Pengangkatan birokrasi. Disposisi atau sikap pelaksana akan me-nimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personel yang ada tidak melaksanakan kebijakan yang
69 diinginkan oleh pejabat-pejabat yang lebih atas. Karena itu,
peng-angkatan dan pemilihan personel pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga masyarakat.
2) Insentif merupakan salah-satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah sikap para pelaksana kebijakan dengan memanipulasi insentif. Pada dasarnya orang bergerak berdasarkan kepentingan dirinya sen-diri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mem-pengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi atau orga-nisasi.
d. Struktur Birokrasi
Ripley dan Franklin dalam Winarno (2005: 149-160) mengidentifikasi enam karakteristik birokrasi sebagai hasil pengamatan terhadap birokrasi di Amerika Serikat, yaitu:
1) Birokrasi diciptakan sebagai instrumen dalam menangani keperluan-keperluan publik (public affair).
2) Birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam implementasi ke-bijakan publik yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dalam setiap hierarkinya.
3) Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda.
4) Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang kompleks dan luas. 5) Birokrasi mempunyai naluri bertahan hidup yang tinggi dengan begitu
jarang ditemukan birokrasi yang mati.
6) Birokrasi bukan kekuatan yang netral dan tidak dalam kendali penuh dari pihak luar.
Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatu kebijakan cukup dan para pelaksana (implementors) mengetahui apadan bagaimana cara melakukannya, serta mempunyai keinginan untuk melakukannya, namun Edward III dalam Widodo (2010: 106) menyatakan bahwa implementasi kebijakan bisa jadi masih belum efektif karena ketidakefisienan struktur
70
birokrasi. Struktur birokasi ini menurut Edward III dalam Widodo (2010: 106) mencakup aspek-aspek seperti struktur birokrasi, pembagian kewe-nangan, hubungan antara unit-unit organisasi dan sebagainya.
Menurut Edward III dalam Winarno (2005: 150) terdapat dua karak-teristik utama dari birokrasi, yakni Standard Operational Procedure (SOP) dan fragmentasi. Menurut Winarno (2005: 150), Standard operational procedure (SOP) merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam orga-nisasi kerja yang kompleks dan luas. Edward III dalam Widodo (2010: 107) menyatakan bahwa demikian pula dengan jelas tidaknya standar operasi, baik menyangkut mekanisme, system dan prosedur pelaksanaan kebijakan, pembagian tugas pokok, fungsi dan kewenangan, dan tanggung jawab diantara pelaku, dan tidak harmonisnya hubungan diantara organisasi pelaksana satu dengan yang lainnya ikut pula menentukan keberhasilan implementasi kebjakan.
Namun berdasakan hasil penelitian Edward III dalam Winarno (2005: 152) menjelaskan bahwa SOP sangat mungkin dapat menjadi kendala bagi implementasi kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan. Dengan begitu, semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dalam suatu organisasi, semakin besar pula probabilitas SOP menghambat implementasi.
Edward III dalam Winarno (2005: 155) menjelaskan bahwa fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakankepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi. Edward III dalam Widodo (2010: 106), mengatakan bahwa struktur birokrasi yang terfrag-mentasi (terpecah-pecah atau tersebar) dapat meningkatkan gagalnya komu-nikasi, karena kesempatan untuk instruksinya terdistorsi sangat besar. Se-makin terdistorsi dalam pelaksanaan kebijakan, seSe-makin membutuhkan koordinasi yang intensif.
Dari pendapat Edward III itu terungkap bahwa agar implementasi kebijakan menjadi efektif, maka para pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan suatu keputusan dan harus benar-benar memahami apa yang harus dilakukan. Untuk itu, arahan terhadap implementasi kebijakan harus
71 ditransmisikan secara tepat, jelas, akurat dan konsisten. Dengan demikian
suatu pola komunikasi yang tepat, jelas, akurat dan konsisten merupakan hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam mengkomunikasikan suatu keputusan dari satu pihak kepada para pihak yang terlibat dengan keputusan tersebut.
3.3. EVALUASI KEBIJAKAN
Evaluasi merupakan salah satu tingkatan di dalam proses kebijakan publik, evaluasi adalah suatu cara untuk menilai apakah suatu kebijakan atau program itu berjalan dengan baik atau tidak. Islamy (2000) dalam Safi’i mengatakan bahwa penelitian (evaluasi) kebijakan adalah merupakan langkah terakhir dari suatu proses kebijakan. Salah satu aktivitas fungsional, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan dengan mengikuti aktivitas-aktivitas sebe-lumnya, yaitu pengesahan (formulasi) dan pelaksananan (implementasi) kebijakan, tetapi dapat terjadi pada seluruh aktivitas-aktivitas fungsional yang lain dalam proses kebijakan.
Evaluasi kebijakan dapat mencangkup tentang isi kebijakan, pelak-sanaan kebijakan, dan dampak kebijakan. Jadi evaluasi kebijakan bisa dilakukan pada fase perumusan masalah, formulasi usulan kebijakan, imple-mentasi kebijakan, legitimasi kebijakan dan seterusnya. Evaluasi menurut Dunn yang dikutif oleh Riant Nugroho dalam bukunya Kebijakan Publik (Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi) mendefinisikan evaluasi sebagai suatu hal yang berhubungan, masing-masing merujuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan program. Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penafsiran (appraisal), pemberian angka (Ratting) dan penilaian (assesment), kata-kata yang menyatakan usaha untuk meng-analisis hasil kebijakan dalam arti satuan lainnya. Dalam arti yang lebih spe-sifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau man-faat hasil kebijakan (Nugroho, 2003: 181).
Dalam mengevaluasi suatu kebijakan, analis akan dihadapkan pada tiga aspek, yaitu :
1. Aspek perumusan kebijakan, pada aspek ini analis berusaha mencari jawaban bagaimana kebijakan tersebut dirumuskan, siapa yang paling berperan dan untuk siapa kebijakan tersebut dibuat.
72
2. Aspek implementasi kebijakan, pada aspek ini analis berusaha untuk mencari jawaban bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan, apa faktor-faktor yang mempengaruhinya dan bagaimana performance dari kebijakan tersebut. Aspek ini merupakan proses lanjutan dari tahap formulasi kebijakan. Pada tahap formulasi ditetapkan strategi dan tujuan-tujuan kebijakan sedangkan pada tahap implementasi kebijakan, tindakan (action) diselenggarakan dalam mencapai tujuan.
Menurut Bressman dan Wildavsky (Jones, 1991) implementasi adalah suatu proses interaksi antara suatu perangkat tujuan dan tindakan yang mam-pu mencapai tujuan. Dalam mengkaji implementasi kebijakan, para ahli kebijakan publik banyak menggunakan model implementasi yang salah satu-nya adalah model Merilee S Grindle (1980). Medel Grindle mesatu-nyajikan 3 (tiga) komponen kelayakan, yaitu : 1) tujuan kebijakan, 2) aktivitas pelak-sanaan yang dipengaruhi oleh content yang terdiri atas: kepentingan yang dipengaruhi, tipe manfaat, derajat perubahan, posisi pengambilan keputusan, pelaksanaan program, sumber daya yang dilibatkan, dan context yang terdiri atas: kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dilakukan pelaksana; karak-teristik rezim dan lembaga; compliance serta responsiveness. Model ini menggambarkan semua variabel yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan dan hasil kebijakan.
3. Aspek evaluasi, pada aspek ini analis berusaha untuk mengetahui apa dampak yang ditimbulkan oleh suatu tindakan kebijakan, baik dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.
Evaluasi kebijakan menurut Samudro, dkk (1994) dilakukan untuk mengetahui : 1) proses pembuatan kebijakan; 2) proses implementasi; 3) konsekuensi kebijakan ; 4) efektivitas dampak kebijakan. Evaluasi pada tahap pertama, dapat dilakukan sebelum dan sesudah kebijakan dilaksana-kan, kedua evaluasi tersebut evaluasi sumatif dan formatif, evaluasi untuk tahap kedua disebut evaluasi implementasi, evaluasi ketiga dan keempat di-sebut evaluasi dampak kebijakan.
Sedangkan evaluasi menurut Limberry dalam Santoso (1992), analisis evaluasi kebijakan mengkaji akibat-akibat pelaksanaan suatu kebijakan dan membahas hubungan antara cara-cara yang digunakan dengan hasil yang dicapai. Dengan demikian, studi evaluasi kebijakan menurut Sudiyono (1992) merupakan suatu analisis yang bersifat evaluatif sehingga konsekuensinya
73 lebih restrospeksi dibandingkan prospeksi. Dan dalam mengevaluasi seorang
analis berusaha mengidentifikasi efek yang semula direncanakan untuk merealisir suatu keberhasilan dan dampak apa yang ditimbulkan dari akibat suatu kebijakan.
Studi evaluasi ini mempunyai 2 (dua) pendekatan (Sudiyono,1992), yaitu:
1. Pendekatan kepatuhan, asumsinya apabila para pelaksana mematuhi semua petunjuk atau aturan yang diberikan, maka implementasi sudah dinilai berhasil. Kemudian pendekatan ini disempurnakan lagi dengan adanya pengaruh : a) ekstern, kekuatan non birokrasi dalam penca-paian tujuan, b) intern, program yang dimaksudkan untuk melaksana-kan suatu kebijamelaksana-kan sering tidak terdesain dengan baik sehingga pe-rilaku yang baik dari para pelaksana (birokrasi) tetap tidak akan ber-hasil dalam mencapai tujuan kebijakan.
2. Pendekatan perspektif, “what’s happening (apa yang terjadi). Pen-dekatan ini menggambarkan pelaksanaan suatu kebijakan dari seluruh aspek karena implementasi kebijakan melibatkan beragam variabel dan faktor.
Dalam studi evaluasi, menurut Finsterbusch dan Motz (dalam Samudro dkk, 1994) terdapat 4 (empat) jenis evaluasi, yaitu :
1. Single program after only, merupakan jenis evaluasi yang melakukan pengukuran kondisi atau penilaian terhadap program setelah meneliti setiap variabel yang dijadikan kriteria program. Sehingga analis tidak mengetahui baik atau buruk respon kelompok sasaran terhadap program. 2. Single program befora-after, merupakan penyempurnaan dari jenis pertama, yaitu adanya data tentang sasaran program pada waktu sebelum dan setelah program berlangsung.
3. Comparative after only, merupakan penyempurnaan evaluasi kedua tapi tidak untuk yang pertama dan analis hanya melihat sisi keadaan sasaran bukan sasarannya.
4. Comparative before-after, merupakan kombinasi ketiga desain se-hingga informasi yang diperoleh adalah efek program terhadap ke-lompok sasaran.***