• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. atau pemberontakan yang dimulai dari Tunisia pada musim semi, Desember 2010.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. atau pemberontakan yang dimulai dari Tunisia pada musim semi, Desember 2010."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak penghujung tahun 2010 hingga awal 2011, kawasan di Afrika Utara dan Timur Tengah mulai mengalami sebuah pergolakan yang selanjutnya dikenal dengan peristiwa “Arab Spring”. Peristiwa tersebut jika diartikan secara literal, bermakna musim semi Arab. Namun, secara istilah terdapat pendapat yang mengatakan bahwa Arab Spring adalah istilah untuk kebangkitan dunia Arab/Islam atau pemberontakan yang dimulai dari Tunisia pada musim semi, Desember 2010. Arab Spring telah terjadi di Tunisia sejak 18 Desember 2010, kemudian menyusul Mesir, perang saudara di Libya, pemberontakan sipil di Bahrain, Suriah, dan Oman. Protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, serta protes kecil di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi, Sudan, dan Sahara Barat. Namun, dari keseluruhan kejadian tersebut, apa yang terjadi di Tunisia, Mesir, Aljazair, Libya, Yaman, Suriah, serta Bahrain merupakan yang paling strategis dan penting karena

menjadi rebutan banyak pihak serta paling intens diberitakan oleh media massa.1

Protes yang bernama Arab Spring ini pada awalnya menggunakan teknik pemberontakan sipil dalam kampanye yang melibatkan serangan, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial, seperti Facebook, Twitter, Youtube, dan Skype. Tujuannya adalah mengorganisir, berkomunikasi, serta meningkatkan

1 M. Agastya ABM, Arab Spring : Badai Revolusi Timur Tengah yang Penuh Darah, Jogjakarta :

(2)

2 kesadaran terhadap usaha-usaha penekanan dan penyensoran internet oleh pemerintah. Dalam kejadian tersebut, banyak unjuk rasa ditanggapi keras oleh pihak berwajib, serta milis dan pengunjuk rasa propemerintah. Adapun slogan pengunjuk rasa di dunia Arab adalah ash-sha’b yurid isqat an-nizam (rakyat ingin

menumbangkan rezim ini).2

Kejadian tersebut menunjukkan bahwa peristiwa Arab Spring merupakan sebentuk protes massa (revolusi) yang bertujuan menggulingkan, menurunkan, melengserkan, serta menjatuhkan para pemimpin negara karena telah bertindak diktator, otoriter, korup, dan menindas rakyat dalam memimpin. Sederhananya, massa (rakyat) turun ke jalan melakukan demonstrasi dan protes terhadap

pemerintah, sekaligus menuntut presiden turun dari jabatannya.3 Itulah revolusi

yang sedang terjadi di dunia Arab, sebuah pergolakan yang berasal dari rakyat.

Suriah merupakan salah satu dari negara Arab yang terkena hempasan Arab Spring. Kasus pergolakan yang terjadi di Suriah memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan negara-negara lainnya di kawasan Timur Tengah yang mengalami proses pergolakan Arab Spring. Dari segi korban, jumlahnya jauh lebih besar daripada revolusi yang terjadi di negara-negara Arab lainnya, Menteri Luar Negeri AS, John Kerry, mengatakan bahwa jumlah korban tewas di Suriah mencapai 90 ribu orang, data tersebut di dapatkan dari Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Saud al-Faisal. PBB dan AS memperkirakan lebih dari 750 ribu warga Suriah telah meninggalkan negaranya. Sedangkan sekitar 2,5 juta lainnya

2 M. Agastya ABM, Ibid, hal. 12 3 Ibid

(3)

3

kehilangan rumah.4 Dari segi waktu, apa yang terjadi di Suriah membutuhkan

waktu yang relatif lama, karena pada faktanya aksi saling tembak antara pasukan pemerintah yang loyal terhadap Presiden Assad melawan para milisi bersenjata yang berjuang untuk perubahan di Suriah masih terus berlanjut. Sementara Bashar al-Assad masih berhasil mempertahankan kekuasaannya sejak digoyang oleh pihak oposisi pada Februari 2011.

Pada awalnya gerakan protes di Suriah yang terjadi dipermulaan tahun 2011 hanya dalam bentuk aksi-aksi demonstrasi yang secara terus menerus muncul di Suriah, rakyat Suriah menyuarakan tuntutannya untuk menghentikan rezim Bashar al-Assad. Tetapi, dengan berjalannya waktu aksi demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat Suriah akhirnya berkembang menjadi suatu pemberontakan nasional. Aksi pemberontakan nasional tersebut akhirnya berujung pada terjadinya konflik bersenjata internal di Suriah, karena pemerintah Suriah tidak segan-segan mempergunakan senjata api untuk merepresif dan membungkam pergolakan rakyat. Konflik yang terjadi di Suriah tersebut, menyebabkan rakyat mulai mengangkat senjata dan melakukan perlawanan terhadap pemerintah Suriah. Bahkan, berkembang menjadi sebuah gerakan yang berorientasi politik dengan kemunculan berbagai macam gerakan-gerakan yang ingin mengambil alih kekuasaan dalam rangka menggulingkan Assad.

Seluruh pemimpin dunia saat ini memberikan perhatian serius kepada Suriah. Sejumlah langkah politik sudah diambil, Organisasi Kerjasama Islam

4

(4)

4 memutuskan membekukan keanggotaan Suriah menyusul krisis politik dan kemanusiaan yang makin memburuk di negara itu. Bahkan, Arab Saudi telah melontarkan inisiatif di Majelis Umum PBB agar al-Assad meletakkan kekuasaannya kepada pihak oposisi dan mendorong demokratisasi. Secara geopolitik, krisis politik di Suriah menimbulkan friksi di negara-negara yang mempunyai hak veto di Perserikatan Bangsa-Bangsa karena Rusia dan China masih bertahan pada posisinya menggunakan hak veto menolak intervensi negara-negara Barat dalam masalah Suriah. Rakyat Suriah mempunyai kedaulatan politik untuk menentukan jatuh bangunnya kekuasaan al-Assad.

Perkara yang lebih menarik bagi penulis adalah ternyata pergolakan yang terjadi di Suriah tidak hanya mengundang kekuatan dari negara-negara besar saja, melainkan juga kekuatan tempur dari para mujahidin di berbagai wilayah. Mujahidin di Suriah yang menginginkan bentuk kekhilafahan Islam, memperoleh bantuan dari para mujahidin dari berbagai macam bangsa. Tidak hanya dari wilayah jazirah Arab, tetapi juga Kaukasus dan Eropa. Berdasarkan hal itu, konflik internal Suriah mempunyai karakternya sendiri jika dibandingkan dengan negara-negara lain dalam rentetan “Arab Spring”. Karakter itu terletak pada isu yang diperjuangkan oleh gerakan-gerakan perlawanan di Suriah, yang menginginkan agar Suriah pasca Assad adalah sebuah Negara Islam yang tegak di atas dasar Islam. Fenomena ini setidaknya menjadi sebuah pertanda dari kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan di Suriah.

Menguatnya gerakan politik Islam dalam pergolakan yang terjadi di Suriah dapat kita lihat dari bermunculannya berbagai macam kelompok-kelompok

(5)

5 perlawanan milisi jihad Islam, salah satu diantara mereka adalah kelompok yang disebut sebagai Jabhat al-Nusra (Front al-Nusra), kelompok ini disebut-sebut berafiliasi dengan Al-Qaeda serta paling solid dan kuat di antara beberapa kelompok-kelompok lainnya. Jabhat al-Nusra telah berhasil merebut beberapa lokasi strategis milik rezim Assad, diantaranya mereka berada di kota Idlib dan Aleppo, bahkan konsentrasi mereka sedang mengarah ke ibukota Suriah, yakni

Damaskus.5

Kelompok Jabhat al-Nusra merilis video yang disebarluaskan melalui YouTube berisi pernyataan “akan membawa hukum Allah kembali ke tanah-Nya”. Selain itu, Jabhat al-Nusra bersama dengan sejumlah kelompok pejuang Islam

lainnya mendeklarasikan Brigade Koalisi Pendukung Khilafah.6 Amerika Serikat

menyebut mereka sebagai “kaum ekstrimis” dan menjadikan Jabhat al-Nusra dinyatakan sebagai organisasi teroris, melalui dimasukkannya Jabhat al-Nusra ke

dalam list organisasi kelompok terorisme.7

Ketika Barack Obama berkunjung ke Timur Tengah dalam sebuah konferensi pers bersama dengan Raja Abdullah II dari Yordania, beliau menyampaikan peringatan tentang bahaya Suriah pasca-Assad yang digambarkan sebagai skenario mimpi buruk di mana lembaga-lembaga negara Suriah hancur dan

5 Mujiyanto, 2013 : Tahun berdirinya Khilafah ?, Media Umat Edisi 96, 4-17 Januari 2013, Hal. 4 6 Dina Y. Sulaeman, Prahara Suriah : Membongkar Persekongkolan Multinasional, Depok :

Pustaka Iman, Cetakan 1, Juni 2013, hal. 114-118

7 http://hizbut-tahrir.or.id/2013/04/30/faktor-islam-pada-revolusi-suriah-menyulitkan-amerika/, di

(6)

6 negara terpecah ke dalam sektarianisme, serta kelompok Islam mengisi

kesenjangan.8

Obama memiliki kekhawatiran terhadap prospek kelompok jihadis Islam yang mampu beroperasi secara bebas di Suriah. Obama beranggapan bahwa kaum ekstremis di Suriah tidak memiliki banyak hal yang dapat mereka tawarkan untuk membangun Suriah, namun mereka sangat baik memanfaatkan situasi konflik yang sedang berlangsung. Para analis kebijakan luar negeri di Washington berpendapat jika kaum Islam mengisi kevakuman kekuasaan hal ini bisa menimbulkan ancaman tidak hanya bagi Israel namun juga bagi negara-negara tetangga seperti Yordania

dan Libanon.9 Termasuk pula ancaman bagi kepentingan Amerika Serikat secara

umum di kawasan Timur Tengah.

Berangkat dari fenomena dan uraian di atas, penulis merasa sangat tertarik untuk mengetahui secara lebih mendalam lagi mengenai persepsi ancaman dari Amerika Serikat terhadap kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan yang terjadi di Suriah, utamanya terkait dengan salah satu kelompok dari barisan pejuang Islam, yakni Jabhat al-Nusra ( Front al-Nusra ) yang dimasukkan oleh Amerika Serikat ke dalam list organisasi teroris dan di klaim sebagai organisasi yang merupakan cabang dari Al-Qaeda di Suriah. Fokus penulisan tesis ini bertumpu pada upaya untuk memberikan sebuah konstruksi penjelasan mengenai alasan yang menyebabkan Amerika Serikat mempersepsikan gerakan politik Islam

8

http://hizbut-tahrir.or.id/2013/03/24/obama-khawatirkan-berkuasanya-kelompok-islam-pasca-assad-di-suriah/, di akses pada 09 April 2013.

(7)

7 dalam pergolakan yang terjadi di Suriah, khususnya kelompok Jabhat al-Nusra sebagai sebuah ancaman, sehingga dimasukkan kedalam list organisasi teroris.

B. Rumusan Masalah

Mengacu pada pemaparan yang telah dikemukan sebelumnya tentang persepsi ancaman dari Amerika Serikat terhadap kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan di Suriah utamanya terkait dengan eksistensi Jabhat al-Nusra (Front al-Nusra), maka kami mencoba untuk merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut, yaitu : Mengapa Amerika Serikat mempersepsikan kebangkitan gerakan politik Islam “Jabhat al-Nusra (Front al-Nusra)” dalam pergolakan yang terjadi di Suriah sebagai sebuah ancaman dan memasukkannya kedalam list organisasi teroris ?

C. Tinjauan Pustaka

Hakikat dari penelitian ilmiah adalah untuk membuka tabir kegelapan agar menjadi terang dan lebih jelas atas fenomena atau obyek tertentu berdasarkan suatu parameter ilmiah, maka aktivitas penelitian tidak terhindar dari proses tesis, antithesis, maupun sintesis. Kajian pustaka pada intinya mengandung makna aktivitas peneliti untuk berdialog secara kritis dengan pendapat pihak lain. Dengan kajian pustaka berarti kapasitas peneliti akan berhadapan dengan konsep-konsep yang terlebih dulu ada. Kajian pustaka dilakukan secara selektif terhadap tema yang

secara substansial relevan dengan kajian yang sedang dilakukan.10

(8)

8 Tulisan-tulisan tentang Islam Politik termasuk didalamnya pembahasan tentang gerakan politik Islam dan hubungannya dengan Amerika Serikat sebenarnya telah banyak ditulis oleh para ilmuwan baik dalam bentuk buku, maupun jurnal-jurnal. Salah satu buku yang menurut penulis telah berhasil sangat baik dalam memberikan penjelasan tentang hubungan antara Amerika dan Islam politik adalah buku yang ditulis oleh Fawaz A. Gerges yang berjudul America and Political Islam : Clash of Civilization or Clash of Interest ? ( Amerika dan Islam

Politik : Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan ?, edisi terjemahan )11.

Buku tersebut menelaah pembuatan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap negara-negara Islam dari masa Carter sampai Clinton, dengan fokus pada pemikiran para elit kebijakan luar negeri AS terhadap negara-negara dan gerakan-gerakan Islam.12

Buku tersebut mencoba memetakan berbagai penilaian masyarakat dan beberapa pandangan pribadi kalangan elit kebijakan luar negeri AS terhadap kebangkitan Islam untuk menyingkap pandangan dari beberapa era pemerintahan yang berbeda dalam kebijakan Amerika, kesinambungannya, serta ragamnya. Perbandingan yang dilakukan secara hati-hati terhadap wacana masyarakat dan pernyataan-pernyataan pribadi menunjukkan berbagai tema, nilai, serta pandangan-pandangan yang bergaung saat ini, yang merupakan hal penting untuk memahami

11Fawaz A. Gergez, America and Political Islam : Clash of Civilization or Clash of Interest ? (Edisi

Indonesia : Amerika dan Politik Islam : Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan ?), Jakarta : AlvaBet, Cet.1, September 2012

(9)

9 perumusan dan tindakan-tindakan yang diambil dalam kebijakan AS tentang

Islam.13

Buku tersebut memaparkan bahwa ada tiga hal yang mendasari posisi Amerika terhadap Islam politik. Pertama, AS tidak ingin terlihat tak bersahabat bagi negara-negara Islam, ini dikhawatirkan bakal memperparah sikap mereka terhadap Amerika. Para pejabat pemerintah AS tidak mau mengulangi kesalahan yang dibuat saat menghadapi revolusi Islam di Iran. Alasan kedua, AS ragu-ragu untuk secara terbuka mendukung kelompok Islam manapun kecuali jika menguntungkan bagi kepentingan regionalnya ataupun kepentingan sekutunya. Pejabat-pejabat Amerika mengidap kecurigaan besar pada tujuan kebijakan luar negeri para aktivis Islam berikut agenda mereka. Alasan terakhir, di dalam lingkaran para pembuat kebijakan luar negeri AS terdapat sebentuk keyakinan tentang kemungkinan terjadinya hubungan baik antara Islam dan demokrasi. Namun, pandangan Amerika yang sudah dijejali dengan masukan-masukan implisit mengenai perilaku politik Islam, melihat Islam revolusioner itu antidemokrasi dan otoriter. Sehingga, bukannya memberikan panduan kebijakan yang konkret, pernyataan-pernyataan resmi AS jadinya berbentuk bahasa yang mendua dan bisa memunculkan beragam

interpretasi.14

Intinya buku yang ditulis oleh Gerges tersebut memberikan sebuah kesimpulan bahwa para kalangan elit kebijakan luar negeri AS dalam perkembangannya tidak memandang Islam sebagai sebuah ancaman yang bersifat

13 Ibid, Hal. 1-2, Lihat juga dalam Michael H. Hunt, Ideology and U.S. Foreign Policy (New Heaven,

CT : Yale University Press, 1987), Hal. 15-16

(10)

10 monolitik dengan hanya mendasarkannya pada aspek budaya dan sejarah, tetapi juga memandang pada aspek politik dan pertahanan keamanan. Bahkan, masalah politik dan keamanan sekarang ini merupakan hal penting, mungkin jauh lebih penting ketimbang faktor budaya dan sejarah, karena berdampak langsung terhadap persepsi para pemimpin AS tentang kepentingan utama mereka.

Kajian pustaka lainnya yang juga memiliki relevansi dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh International Crisis Group (ICG) yang

berjudul Understanding Islamism, Middle East/North Africa Report No3715, yang

dipublikasikan pada 2 Maret 2005. Di dalam tulisan tersebut Islamism didefinisikan oleh International Crisis Group sama dengan Islamic Activism, yang bermakna sebuah tuntutan yang aktif, dan dukungan terhadap keyakinan, preskripsi, hukum-hukum yang berasal dari karakter Islam. ICG membagi kelompok Islamism dalam dua bagian, Sunni Activism dan Syiah Activism. Sunni Activism juga kemudian dibagi dalam beberapa bagian, Pertama, kelompok politik Islam yang prioritas gerakannya fokus pada kekuasaan dan menghindari aksi-aksi kekerasan. Contoh dari gerakan ini adalah seperti Partai AKP di Turki, PKS di Indonesia dan Jamaat I Islami di Pakistan. Kedua, adalah kelompok missionary activism yang apolitis dan fokus pada dakwah menuju iman dan keshalehan individu. Contoh dari kelompok ini adalah kelompok Salafi. Selanjutnya, yang ketiga, kelompok jihadist yang bergerak di medan jihad/perang. Mereka fokus melakukan perjuangan bersenjata

15 International Crisis Group, Understanding Islamism : Middle East/North Africa Report No37,

(11)

11 untuk membela kaum muslim dari pendudukan Negara-negara Barat atau dari kekuasaan yang tunduk pada Negara-negara Barat.

Berdasarkan pada sumber literatur tersebut penulis menjadi tertarik untuk mengkaji secara lebih mendalam tentang persepsi ancaman dari Amerika Serikat terhadap kebangkitan gerakan politik Islam. Kasus terbaru saat ini yang menunjukkan ketegangan antara Amerika dan Islam politik adalah maraknya kemunculan berbagai macam gerakan-gerakan politik Islam yang terjadi di Suriah sebagai bagian dari “Arab Spring” yang dipersepsi oleh Amerika Serikat sebagai sebuah potensi ancaman karena aspek identitas Islam yang dibawanya, utamanya setelah dimasukkannya kelompok Jabhat al-Nusra (Front al-Nusra) oleh Amerika Serikat ke dalam list organisasi teroris. Atas dasar itu, penelitian ini berupaya untuk memberikan sebuah konstruksi penjelasan mengenai alasan yang menyebabkan Amerika Serikat mempersepsikan gerakan politik Islam dalam pergolakan yang terjadi di Suriah, khususnya kelompok Jabhat al-Nusra sebagai sebuah ancaman, sehingga dimasukkan ke dalam daftar organisasi teroris. Sepengetahuan penulis, belum ada penelitian yang secara spesifik membahas tentang ancaman gerakan politik Islam (terkhusus kelompok Jabhat al-Nusra) dalam pergolakan yang terjadi di Suriah.

D. Kerangka Dasar Berfikir

Kerangka analisis yang akan digunakan untuk menjawab perumusan masalah dan menarik suatu asumsi dasar yang berkaitan dengan masalah penelitian ini menggunakan konsep gerakan politik Islam yang nantinya akan menggambarkan apa sebenarnya yang disebut dengan gerakan politik Islam dalam

(12)

12 tulisan ini. Selanjutnya, kerangka teoritik yang berbasis pada perspektif konstruktivisme dalam upaya untuk menjelaskan tentang persepsi aktor yang dibentuk oleh identitas, ide, dan norma-norma yang dimilikinya.

1. Gerakan Politik Islam, Jabhat al-Nusra (Front al-Nusra)

Gerakan Politik Islam dalam beberapa buku sering disebut sebagai “Political Islam”. Pengkajian yang membahas tentang fenomena kemunculan Gerakan Politik Islam tersebut, secara jelas dibahas dalam buku Joel Beinin dan Joe Stork yang berjudul “Political Islam : Essays from Middle East Report” yang diterbitkan oleh University of California Press pada tahun 1997. Buku tersebut mengungkapkan bahwa mengapa Joel Beinin menggunakan istilah Political Islam bukan Islam Fundamentalis, seperti yang disebutkan oleh para politisi karena istilah fundamentalisme tidak sesuai untuk gerakan politik Islam, mengingat istilah ini berasal dari gerakan Kristen Protestan pada awal abad ke-20 untuk meyakinkan bahwa Injil merupakan firman Tuhan, sedangkan gerakan politik Islam tidak ada satu pun yang menyangsikan bahwa Al-Qur’an sebagai kumpulan firman Tuhan. Tepatnya dikatakan, “Nonetheles, fundamentalism is a problematic comparative term. It is inescapably rooted in a specific Protestan experience whose principle theological premise is that the Bible is the true word of God and should be understood literally”.16

Gerakan politik Islam didefenisikan sebagai gerakan politik yang

menggunakan Al-Qur’an dan Hadist sebagai dasar gerakan mereka.17 Ada beberapa

16 Joel Beinin dan Joe Stork, Political Islam : Essays from Middle East Report, University of

California Press, 1997, hal. 3.

(13)

13 cara menyebut Jabhat al-Nusra atau Front al-Nusra, dalam bahasa Arab disebut Jabhat an-Nuṣrah li-Ahl ash-Shām yang berarti Front Pendukung untuk warga Levant/Syam. Karena pertimbangan kelaziman bahasa Arab yang biasa diadopsi ke dalam bahasa Indonesia maka penelitian ini menggunakan nama Jabhat al-Nusra (Front al-Nusra).

Gerakan politik Islam biasanya akan muncul dalam keadaan negara menjadi sekuler, sementara sebagian besar penduduknya mempunyai akar Islam yang kuat, penguasa terlalu dekat dengan Barat, masyarakat Islam dimarginalkan di negara

yang sebagian besar beragama Islam.18 Gerakan politik Islam ini mempunyai

agenda untuk menerapkan syariah Islam dan konsep-konsep politik Islam dalam lingkup negara, menentang pemisahan antara urusan agama dengan urusan negara yang dianggap sebagai sekularisme, dan melawan segala bentuk penjajahan serta penindasan kepentingan Islam, khususnya di negara yang mayoritas beragama Islam. Selain itu, juga terkadang jalur kekerasan sering dipilih oleh gerakan politik

Islam untuk mewujudkan tujuannya.19

2. Perspektif Konstruktivisme

Konstruktivisme muncul sebagai upaya untuk mempersempit kesenjangan antara empirisis dan pos-positivis. Konstruktivis mengklaim bahwa orang bertindak di dunia sesuai dengan persepsi mereka tentang dunia itu, dan bahwa dunia ”nyata” atau “obyektif” membentuk persepsi itu. Persepsi ini, kata mereka, muncul dari identitas orang yang, menurut kaum konstruktivis, dibentuk oleh pengalaman dan

18 Siti Mutiah Setiawati, Mekanisme Consociational dalam Penyelesaian Konflik Internal Lebanon,

Yogyakarta : Elmatera Publishing, 2010, hal. 41

19 Ibid, hal. 196-197. Lihat juga dalam Siti Mutiah Setiawati, Kekuatan Gerakan Politik Islam di

(14)

14 norma-norma sosial yang berubah. Sebagai contoh, mereka yang menganggap dirinya “miskin” atau “tak berdaya” mempersepsi dunia dengan cara yang sangat berbeda dari mereka yang mengidentifikasi diri sebagai “kaya” atau “berkuasa”. Begitu orang tahu “siapa mereka”, mereka dapat memahami kepentingan mereka

dan membuat kebijakan-kebijakan yang melayani kepentingan mereka.20

Namun, tidak seperti kaum realis dan liberal yang menganggap identitas dan kepentingan sebagai sesuatu yang “terberikan” yang nyaris tak berubah, kaum konstruktivis memandang pembentukan identitas sebagai proses penting dan dinamis. Bagi kaum konstruktivis, kepentingan tidak inheren atau ditentukan sebelumnya, melainkan dipelajari melalui pengalaman dan sosialisasi. Di mana kaum realis dan liberal menganggap bahwa para aktor adalah orang-orang egois yang selalu ingin memaksimalisasikan keuntungan mereka, kaum konstruktivis memandang para aktor bersifat sosial dalam arti ide-ide dan norma-norma mereka berkembang dalam konteks sosial. Akibatnya, identitas berubah seiring waktu selama interaksi dan berkembangnya keyakinan dan norma serta akibatnya begitu juga dengan kepentingan. Kaum konstruktivis berpendapat bahwa ide-ide dan norma-norma kolektif memainkan peran utama dalam memproduksi identitas dan

kepentingan.21

Kaum Konstruktivis percaya bahwa cara orang mendefenisikan dirinya membentuk cara mereka bertindak, sikap mereka berkenaan dengan apa yang oleh

20 John Gerard Ruggie, Constructing the World Polity (New York : Routledge, 1998). Lihat juga

dalam Richard W. Mansbach dan Kirsten L. Rafferty, Introduction to Global Politics (Edisi Indonesia : Pengantar Politik Global), Bandung, Nusa media : 2012, Hal. 41-42

(15)

15

teoritisi hari ini disebut masalah agen-struktur,22 lebih cocok dengan keyakinan

liberal bahwa para aktor (pemimpin atau negara, misalnya) atau “agen” membentuk politik global daripada dengan keyakinan neorealis bahwa faktor-faktor struktural seperti anarki, distribusi kemampuan militer pada seluruh sistem global, pasar ekonomi global, atau budaya memaksa individu-individu untuk bertindak seperti yang mereka lakukan. Bagi Konstruktivis, agen punya kemampuan untuk bertindak dengan bebas di dalam batasan-batasan struktur, dan persepsi mereka tentang lingkungan mereka, termasuk struktur, dan interaksinya dengan satu sama lain mempengaruhi perilaku mereka, yang selanjutnya membentuk struktur. Keyakinan dan tindakan mereka mengubah struktur yang selanjutnya membatasi mereka dengan cara-cara baru, sebuah siklus yang dapat

dilacak secara historis.23

Kaum konstruktivis tetap empirisis tetapi, tidak seperti banyak empirisis, mereka fokus terutama pada faktor-faktor obyektif seperti norma-norma, ide-ide, dan nilai-nilai. Kaum konstruktivis, yang sebagian percaya bahwa pendekatan mereka adalah pertengahan antara determinisme struktural neorealisme dan keyakinan liberal bahwa dunia fleksibel secara tak terbatas, berpendapat bahwa kadang-kadang peristiwa-peristiwa sangat mempengaruhi keyakinan dan norma individu dan kelompok. Misalnya ketika terjadi perang besar, para pemimpin dan elite lain mungkin mulai memandang dunia secara berbeda dan ketika mereka

22 Alexander E. Wendt, The Agent-Structure Problem in International Relations Theory,

International Organization 41:3 (Summer, 1987), Hal. 335-370. Lihat juga dalam Richard W.

Mansbach dan Kirsten L. Raffery, ibid, Hal. 43.

(16)

16 berinteraksi menghasilkan konsensus seputar norma-norma baru dan cara-cara baru

dalam berperilaku.24

Konstruktivisme mengembangkan konsep pilihan yang secara mendalam digali dari identitas pemimpin, tentang bagaimana mereka mendefinisikan Negara atau kelompok mereka, siapa mereka, dan bagaimana mereka melihat diri mereka dalam hubungan dengan orang lain. Konstruktivis telah memperluas daftar penjelasan psikologis hubungan internasional – yang biasanya berfokus pada keyakinan, citra, dan penilaian pemimpin – dengan memasukkan keyakinan kolektif atau keyakinan bersama yang merupakan identitas bersama, dan proses-proses penciptaan norma dan kepatuhan norma. Konstruktivis menganggap identitas dan kepentingan sebagai diciptakan terutama melalui interaksi dengan orang lain. Mereka membangun kedalam konsep identitas tidak hanya kepentingan

tetapi perhatian terhadap norma-norma sebagai unsur pembentuk.25

E. Hipotesis

Melalui kerangka dasar berfikir yang telah dipaparkan sebelumnya, maka hipotesis yang dapat dibangun dalam penelitian ini sebagai sebuah kesimpulan sementara adalah, kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan Suriah sangat mempengaruhi persepsi Amerika Serikat. Persepsi tersebut mewujud dalam bentuk persepsi ancaman yang berasal dari Amerika Serikat terhadap kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan Suriah, utamanya melalui dimasukkannya

24 Ibid, hal. 44

25 Walter Carlsnaes, Thomas Risse, & Beth A. Simmons, Handbook of International Relations (Edisi

Indonesia : Handbook Hubungan Internasional), Bandung : Penerbit Nusa Media, 2013, Hal.

(17)

17 Jabhat al-Nusra (Front al-Nusra) ke dalam list organisasi teroris, yang dipandang sebagai konstruksi realitas sosial dengan menekankan pada peran ide-ide dan norma-norma kolektif yang memproduksi perbedaan antara dua identitas yang saling berlawanan dan benturan kepentingan yang berbeda. Identitas konstruksi Amerika adalah identitas sebagai bangsa Amerika yang merupakan masyarakat demokratis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dan hak azasi manusia, sementara kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan di Suriah yang diwakili oleh Front al-Nusra menunjukkan adanya sebuah gerakan politik yang berkeinginan untuk menerapkan syariah Islam dan konsep-konsep politik Islam dalam lingkup negara, dengan didasarkan pada karakter dan identitas Islam. Sebagai negara adidaya global Amerika Serikat memiliki tanggung jawab untuk melindungi pemerintah-pemerintah yang bersahabat, sekaligus menjaga kawasan Timur Tengah dari ancaman “kaum ekstrimis” yang semakin meningkat dengan adanya gerakan-gerakan politik Islam yang dapat berujung pada terorisme Internasional maupun domestik.

F. Metode Penelitian

Berkaitan dengan metode penelitian, maka dalam penulisan tesis ini penulis menggunakan pendekatan metode eksplanatif. Pendekatan ini penulis gunakan untuk menjelaskan tentang alasan yang menyebabkan munculnya persepsi ancaman dari Amerika Serikat terhadap kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan yang terjadi di Suriah. Data-data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang sebagian besar berasal dari buku-buku, jurnal, laporan tertulis,

(18)

18 website, koran online, dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan obyek penelitian kami.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menelusuri berbagai dokumen tertulis yang berkaitan dengan buku-buku, laporan, jurnal, website, koran dan sebagainya. Data yang terkumpul selanjutnya akan dianalisis dengan teknik analisis kualitatif, dimana penulis akan menjelaskan dan menggambarkan permasalahan berdasarkan fakta-fakta dan data-data yang telah diperoleh untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

G. Sistematika Penulisan

Untuk membuktikan hipotesis utama dan menjawab rumusan masalah, penulis akan membagi pembahasan dalam lima bab. Bab pertama akan membahas mengenai pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tinjauan pustaka, kerangka dasar berfikir, hipotesis, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Kemudian dalam bab dua akan dibahas tentang kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan di Suriah.

Bab tiga akan menjelaskan mengenai strategi Amerika Serikat dalam pergolakan Suriah dan persepsinya terhadap gerakan politik Islam “Jabhat al-Nusra”. Bab empat membahas mengenai konstruksi ancaman dan peran identitas dalam membentuk persepsi Amerika Serikat terhadap gerakan politik Islam “Jabhat al-Nusra”. Kemudian bab lima akan menjadi penutup dari pembahasan sebelumnya.

Referensi

Dokumen terkait

Ketepatan menjawab pertanyaan dari dosen (T1): Kuliah/ Diskusi (2x50 menit) TS 1:(2x50 menit) Menyusun ringkasan materi kuliah dalam bentuk resume (Pustaka: Dasar-dasar

Yang bertanda tangan dibawah ini, menerangkan bahwa Tugas Akhir Mahasiswa Program D-III Teknik Informatika :. Nama :

Mempengaruhi Pembangunan Canal Blocking sebagai Solusi Pencegahan Kebakaran Lahan Gambut di Desa Sungaitohor Dari hasil penelitian yang dilakukan dan juga didukung

Valitsin tutkimukseen kolme henkilöä koepelaajiksi. Kuvaan seuraavassa heidän koke- mustaan peleistä ja tiivistän tiedot taulukkoon 2. Pelaaja 1 on koepelaajakolmikosta vä-

Bila dilihat dari penciptaan sumber pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Selatan tahun 2016, Komponen Pembentukan modal tetap bruto (PMTB) memiliki sumber pertumbuhan

Perbandingan ketiga Jenis Percobaan Dari tiga jenis percobaan yang telah dilakukan secara garis besar terlihat bahwa akurasi optimum tercapai pada saat praproses

substrat selalu berenang dengan aktif yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya kematian massal (96,7%); (2) substrat berdiameter butir 63‒250 µm menghasilkan laju

Pada penelitian ini peneliti membandingkan dua metode yaitu metode C4.5 dan Metode Naïve Bayes untuk dipresentasikan dalam kelulusan Mahasiswa.Data yang diambil dari 2