• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jerawat Secara Umum 2.1.1 Definisi jerawat

Jerawat adalah reaksi dari penyumbatan pori-pori kulit disertai peradangan yang bermuara pada saluran kelenjar minyak kulit. Sekresi minyak kulit menjadi tersumbat, membesar dan akhirnya mengering menjadi jerawat (Muliyawan dan Suriana, 2013). Gangguan kulit yang berupa peradangan dari folikel pilosebasea ini ditandai dengan adanya erupsi komedo, papul, pustul, nodus dan kista pada tempat predileksinya (muka, leher, lengan atas, dada dan punggung) (Wasitaatmadja, 1997).

2.1.2 Klasifikasi jerawat

Berdasarkan jenisnya jerawat dapat dibedakan menjadi:

Acne punctata. Acne punctata merupakan blackhead comedo atau whitehead

comedo yang bisa menjadi cikal bakal tumbuhnya jerawat. Bila kuman masuk ke dalam sumbatan pori-pori kulit, maka kedua komedo tersebut berganti rupa menjadi jerawat dengan tingkatan yang lebih tinggi.

Acne papulosa. Acne papulosa merupakan jerawat dalam bentuk papul, yaitu

peradangan disekitar komedo yang berupa tonjolan kecil.

Acne pustulosa. Acne pustulosa merupakan jerawat dalam bentuk pustul, yaitu

jerawat papul dengan puncak berupa pus atau nanah. Biasanya usia pustul lebih pendek dari pada papul.

(2)

Acne indurate. Acne indurate merupakan jerawat yang terinfeksi bakteri

Staphylococcus epidermidis sehingga menimbulkan abses.

Cystic acne (jerawat batu). Cystic acne (jerawat batu) merupakan jerawat dengan

ukuran yang besar dan apabila terjadi jumlahnya bisa hampir memenuhi wajah (Muliyawan dan Suriana, 2013).

2.1.3 Epidemiologi jerawat

Gangguan kulit berupa jerawat sering dianggap sebagai gangguan kulit yang timbul secara fisiologis, hal ini dikarenakan tidak ada seorang pun yang semasa hidupnya sama sekali tidak pernah menderita gangguan kulit tersebut (Efendi, 2003).

Berdasarkan survei yang dilakukan di kawasan Asia Tenggara, terdapat 40-80% kasus jerawat. Di Indonesia, menurut catatan kelompok studi dermatologi kosmetika Indonesia, terdapat 60% penderita jerawat pada tahun 2006 dan 80% pada tahun 2007. Berdasarkan kasus di tahun 2007, kebanyakan penderitanya adalah remaja dan dewasa muda yang berusia antara 11-30 tahun, sehingga beberapa tahun belakangan ini para ahli dermatologi di Indonesia mempelajari patogenesis terjadinya penyakit tersebut (Andy, 2009). Meskipun demikian, jerawat dapat terjadi pada usia lebih tua ataupun lebih muda dari usia tersebut (Efendi, 2003). Pada wanita jerawat dapat menetap sampai dekade umur 30-an tahun atau bahkan lebih. Pada pria umumnya jerawat lebih cepat berkurang, tetapi gejala yang lebih berat justru lebih sering terjadi pada pria (Cunliffe, 1989).

Diketahui pula bahwa ras Oriental (Jepang, Cina, Korea) lebih jarang menderita jerawat dibandingkan dengan ras Kaukasia (Eropa, Amerika) dan lebih sering terjadi nodul-kistik pada kulit putih daripada negro (Rook, dkk, 1972).

(3)

2.1.4 Etiologi jerawat

Faktor penyebab jerawat cukup banyak (multifaktorial), antara lain:

Genetik. Jerawat merupakan penyakit genetik akibat adanya peningkatan kepekaan unit pilosebasea terhadap kadar androgen yang normal. Faktor genetik ini berperan dalam menentukan bentuk, gambaran klinis, penyebaran lesi dan durasi penyakit. Pada lebih dari 80% penderita mempunyai minimal seorang saudara kandung yang menderita jerawat dan pada lebih dari 60% penderita mempunyai minimal salah satu orangtua dengan jerawat juga (Efendi, 2003). Apabila kedua orangtua pernah menderita jerawat berat, anak-anak mereka akan memiliki kecenderungan serupa (Ramdani, dkk, 2015).

Hormonal, diantaranya: 1. Hormon Androgen

Hormon ini memegang peranan yang penting karena kelenjar palit sangat sensitif terhadap hormon ini. Hormon androgen berasal dari testis dan kelenjar anak ginjal (adrenal). Hormon ini menyebabkan kelenjar palit bertambah besar dan produksi sebum meningkat.

2. Hormon Estrogen

Pada keadaan fisiologi, estrogen tidak berpengaruh terhadap produksi sebum. Estrogen dapat menurunkan kadar gonadotropin yang berasal dari kelenjar hipofisis. Hormon gonadotropin mempunyai efek menurunkan produksi sebum.

3. Hormon Progesteron

Progesteron dalam jumlah fisiologis tidak mempunyai efek pada efektifitas terhadap kelenjar lemak. Produksi sebum tetap selama siklus menstruasi, akan

(4)

tetapi kadang-kadang progesteron dapat menyebabkan jerawat premenstrual (Rook, dkk, 1972).

Makanan. Jenis makanan yang sering dihubungkan dengan timbulnya jerawat adalah makanan yang tinggi lemak (kacang, daging, susu dan es krim), tinggi karbohidrat, beryodida tinggi (makanan asal laut) dan makanan yang pedas. Jenis makanan diatas diyakini dapat merubah komposisi sebum dan menaikkan produksi kelenjar sebasea (Efendi, 2003).

Psikis. Stress emosi pada sebagian penderita dapat menyebabkan kambuhnya jerawat, hal ini terjadi melalui mekanisme peningkatan produksi hormon androgen dalam tubuh (Efendi, 2003).

Musim/Iklim. Suhu yang tinggi, kelembaban udara yang lebih besar, serta sinar ultraviolet yang lebih banyak menyebabkan jerawat lebih sering timbul pada musim panas dibandingkan dengan musim dingin. Faktor ini berhubungan dengan laju ekskresi sebum. Kenaikan suhu udara 1ºC pada kulit mengakibatkan kenaikan laju ekskresi sebum sebanyak 10% (Efendi, 2003).

Infeksi bakteri. Bakteri yang terlibat dalam proses terbentuknya jerawat adalah Corynebacterium acnes, Staphylococcus epidermidis dan Propionibacterium acnes. Peran bakteri ini adalah membentuk enzim lipase yang dapat memecah trigliserida menjadi asam lemak bebas yang bersifat komedogenik (Efendi, 2003). Kosmetika. Menggunakan alas bedak, blush on dan bedak padat bisa memicu munculnya jerawat, hal ini dikarenakan partikel kosmetik tersebut bisa menyumbat pori-pori atau bersifat comedogenic (Muliyawan dan Suriana, 2013).

(5)

Terlalu sering terpapar sinar matahari. Beraktivitas di bawah sinar matahari membuat tubuh berkeringat. Kelenjar minyak pun menjadi lebih aktif. Tumpukan minyak inilah yang menyebabkan jerawat muncul (Muliyawan dan Suriana, 2013). Bahan kimia lainnya. Mengonsumsi obat-obatan jenis tertentu bisa membuat jumlah bakteri penyebab timbulnya jerawat bertambah banyak, sehingga jerawat menjadi lebih sering muncul (Muliyawan dan Suriana, 2013).

2.1.5 Patogenesis jerawat

Patogenesis jerawat dipengaruhi banyak faktor (multifaktorial). Ada empat hal penting yang berhubungan dengan terjadinya jerawat, yaitu:

1. Meningkatnya produksi sebum

Gollnick (2003) menyatakan bahwa hormon androgen merangsang peningkatan produksi dan sekresi sebum. Peningkatan produksi sebum secara langsung berkorelasi dengan tingkat keparahan dan terjadinya lesi jerawat. Peningkatan produksi sebum menyebabkan peningkatan unsur komedogenik dan inflamatogenik penyebab terjadinya lesi jerawat. Kelenjar sebasea dibawah kontrol endokrin. Pituitari akan menstimulasi adrenal dan gonad untuk memproduksi estrogen dan androgen yang mempunyai efek langsung terhadap unit pilosebaseus. Stimulasi hormon androgen mengakibatkan pembesaran kelenjar sebasea dan peningkatan produksi sebum pada penderita jerawat, hal ini disebabkan oleh peningkatan hormon androgen atau oleh hiperesponsif kelenjar sebasea terhadap androgen dalam keadaan normal. 2. Hiperproliferasi epidermal dan pembentukan komedo

Perubahan pola keratenisasi folikel sebasea menyebabkan stratum korneum bagian dalam dari duktus pilosebaseus menjadi lebih tebal dan lebih melekat,

(6)

akhirnya akan menimbulkan sumbatan pada saluran folikuler. Bila aliran sebum ke permukaan kulit terhalang oleh masa keratin tersebut, maka akan terbentuk mikrokomedo. Mikrokomedo ini merupakan suatu proses awal dari pembentukan lesi jerawat yang dapat berkembang menjadi lesi non inflamasi maupun lesi inflamasi. Proses keratenisasi ini dirangsang oleh androgen, sebum, asam lemak bebas dan skualen.

3. Kolonisasi mikroorganisme di dalam folikel sebaseus

Peran mikroorganisme penting dalam perkembangan jerawat. Dalam hal ini mikroorganisme yang mungkin berperan adalah Propionibacterium acnes, Staphylococcus epidermidis dan Corynebacterium acnes. Mikroorganisme tersebut berperan pada kemotaktik inflamasi serta pada pembentukan enzim lipolitik pengubah fraksi lipid sebum. Propionibacterium acnes menghasilkan komponen aktif seperti lipase, protease, hialuronidase dan faktor kemotaktik yang menyebabkan inflamasi. Lipase berperan dalam menghidrolisis trigliserida sebum menjadi asam lemak bebas yang berperan dalam menimbulkan hiperkeratosis, retensi dan pembentukan mikrokomedo.

4. Adanya proses inflamasi

Propionibacterium acnes mempunyai aktivitas kemotaktik yang menarik leukosit polimorfonuklear ke dalam lumen komedo. Jika leukosit polimorfonuklear memfagosit Propionibacterium acnes dan mengeluarkan enzim hidrolisis, maka akan menimbulkan kerusakan dinding folikuler dan menyebabkan ruptur sehingga isi folikel (lipid dan komponen keratin) masuk dalam dermis dan mengakibatkan terjadinya proses inflamasi (Fox, dkk, 2016).

(7)

Gambar 2.1 Patogenesis Jerawat 2.1.6 Manifestasi klinik jerawat

Tempat predileksi jerawat terutama di wajah, leher, lengan atas, dada dan punggung (Wasitaatmadja, 1997). Jerawat ditandai dengan lesi yang polimorfi, walaupun dapat terjadi salah satu bentuk lesi yang dominan pada suatu saat atau sepanjang perjalanan penyakit. Manifestasi klinik jerawat dapat berupa lesi non inflamasi (komedo terbuka dan komedo tertutup), lesi inflamasi (papul, pustul dan nodul) (Movita, 2013).

Komedo. Komedo adalah suatu tanda awal dari jerawat, dapat berupa komedo terbuka dan komedo tertutup. Komedo terbuka berwarna hitam karena mengandung unsur melanin, berdiameter 0,1-3,0 mm dan biasanya memerlukan waktu beberapa minggu atau lebih untuk berkembang. Komedo tertutup berwarna putih karena letaknya lebih dalam sehingga tidak mengandung unsur melanin, berdiameter 0,1-3,0 mm (Cunliffe, 1989).

Papul. Papul merupakan peninggian kulit yang solid dengan diameter < 1cm dan bagian terbesarnya berada di atas permukaan kulit (Jusuf, dkk, 2007). Papul

(8)

adalah lesi meradang yang bervariasi dalam ukuran dan kemerahan, 50% papul muncul dari kulit tampak normal yang bisa menjadi tempat mikrokomedo, sementara 25% muncul dari whitehead komedo dan 25% muncul dari blackhead komedo (Cunliffe, 1989).

Pustul. Pustul merupakan papul dengan puncak berupa pus atau nanah, berada diatas kulit yang meradang. Biasanya usia pustul lebih pendek dari pada papul (Barakbah, dkk, 2007).

Nodul/Nodus. Nodul merupakan lesi radang dengan diameter 1 cm atau lebih disertai nyeri (Barakbah, dkk, 2007). Lesi lebih dalam dan cenderung bertahan sampai delapan minggu atau beberapa bulan yang akhirnya dapat mengeras untuk membentuk kista di bawah permukaan kulit. Baik nodul dan kista sering kali menimbulkan jaringan parut yang dalam (Cunliffe, 1989).

2.1.7 Gradasi jerawat

Gradasi yang menunjukkan tingkat keparahan suatu penyakit sangat diperlukan bagi pemilihan pengobatan (Wasitatmadja, 2002). Salah satu pola pembagian gradasi jerawat, yaitu:

Ringan, apabila:

1. Beberapa lesi tak beradang pada 1 predileksi

2. Sedikit lesi tak beradang pada beberapa tempat predileksi 3. Sedikit lesi beradang pada 1 predileksi

Sedang, apabila:

1. Banyak lesi tak beradang pada 1 predileksi

2. Beberapa lesi tak beradang pada lebih dari 1 predileksi 3. Beberapa lesi beradang pada satu predileksi

(9)

4. Sedikit lesi beradang pada lebih dari 1 predileksi Berat, apabila:

1. Banyak lesi tak beradang pada lebih dari 1 predileksi 2. Banyak lesi beradang pada 1 lebih predileksi

Catatan:

Jumlah : sedikit < 5; beberapa 5-10, banyak > 10 Tak beradang : komedo putih, komedo hitam

Beradang : papul, pustul, nodus dan kista 2.1.8 Diagnosis jerawat

Diagnosis jerawat dibuat atas dasar klinis dan pemeriksaan penunjang khusus berupa ekskohleasi sebum yaitu pengeluaran sumbatan sebum dengan komedo ekstrator (sendok Unna). Sebum yang menyumbat folikel tampak sebagai massa padat seperti lilin atau massa lebih lunak bagai nasi yang ujungnya kadang berwarna hitam (Wasitaatmadja, 1997).

Pemeriksaan histopatologis tidak spesifik berupa serbukan sel radang kronis di sekitar folikel pilosebasea dengan massa sebum di dalam folikel. Pada kista, radang sudah menghilang diganti dengan jaringan ikat pembatas massa cair sebum yang bercampur dengan darah, jaringan mati dan keratin yang lepas (Wasitaatmadja, 1997).

Pemeriksaan mikrobiologis terhadap jasad renik (Corynebacterium acnes, Propionebacterium acnes dan Staphylococcus epidermidis) yang mempunyai peran pada etiologi dan patogenesis jerawat dapat dilakukan di laboratorium mikrobiologi (Wasitaatmadja, 1997).

(10)

Pemeriksaan susunan dan kadar lipid permukaan kulit (skin surface lipids) dapat pula dilakukan untuk tujuan serupa. Pada jerawat kadar asam lemak bebas (free fatty acid) meningkat dan karena itu pada pencegahan dan pengobatan digunakan cara untuk menurunkannya (Wasitaatmadja, 1997).

2.1.9 Pengobatan jerawat

Pengobatan jerawat dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: cara topikal, sistemik dan bedah. Cara topikal biasanya digunakan untuk mengobati jerawat dalam kategori ringan sedangkan cara sistemik dan bedah digunakan untuk mengobati jerawat dalam kategori sedang hingga berat (Cunliffe, 1989). Cara topikal. Prinsip pengobatan dengan cara topikal adalah mencegah pembentukan komedo, menekan peradangan dan mempercepat penyembuhan lesi jerawat. Cara topikal dapat dilakukan dengan penggunaan obat topikal dan penggunaan cosmedic antijerawat. Obat topikal terdiri dari:

1. Bahan iritan/pengelupas, misalnya sulfur, resorsinol, asam salisilat, benzoil peroksida, asam vitamin A dan asam azeleat. Efek samping obat iritan dapat dikurangi dengan pemakaian hati-hati dimulai dari konsentrasi yang paling rendah.

2. Obat lain, misalnya kortikosteroid topikal atau suntikan intralesi dapat dipakai untuk mengurangi radang yang terjadi (Wasitaatmadja, 1997).

Cara sistemik. Pengobatan sistemik ditujukan terutama untuk menekan aktivitas jasad renik disamping dapat juga menekan reaksi radang, menekan produksi sebum dan mempengaruhi keseimbangan hormonal. Golongan obat sistemik terdiri atas:

(11)

2. Obat hormonal dapat digunakan untuk menekan produksi androgen atau secara kompetitif menduduki reseptor organ target di kelenjar sebasea, seperti etinil estradiol dan anti-androgen siproteron asetat.

3. Retinoid dan asam vitamin A oral dipakai untuk menekan hiperkeratinisasi sesuai dengan patofisiologi jerawat (Wasitaatmadja, 1997).

Cara bedah. Bedah kulit ditujukan untuk memperbaiki jaringan parut yang terjadi akibat jerawat, dapat berupa bedah listrik, bedah kimia, bedah beku, bedah pisau, dermabrasi dan bedah laser (Wasitaatmadja, 1997).

2.2 Defenisi Kosmetik, Obat dan Cosmedic 2.2.1 Kosmetik

Kosmetik berasal dari bahasa Yunani “kosmetikos” yang berarti keterampilan menghias dan mengatur. Definisi kosmetik dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 445/Menkes/Permenkes/1998 adalah sebagai berikut:

Kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ kelamin bagian luar), gigi dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit (Tranggono dan Latifah, 2007).

2.2.2 Obat

Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,

(12)

pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (Menkes RI, 2013). Dengan kata lain obat adalah bahan, zat atau benda yang dipakai untuk diagnosis, pengobatan dan pencegahan suatu penyakit atau yang dapat mempengaruhi struktur dan faal tubuh (Tranggono dan Latifah, 2007).

2.2.3 Cosmedic

Dalam defenisi kosmetik diatas, yang dimaksud dengan “tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit” adalah sediaan tersebut seyogyanya tidak mempengaruhi struktur dan faal kulit. Namun bila bahan kosmetik tersebut adalah bahan kimia meskipun berasal dari alam dan organ tubuh yang dikenai (ditempeli) adalah kulit, maka dalam hal tertentu kosmetik itu akan mengakibatkan reaksi-reaksi dan perubahan faal kulit tersebut. Karena itu, pada tahun 1955 Lubowe menciptakan istilah Cosmedic yang merupakan gabungan dari kosmetik dan obat yang sifatnya dapat mempengaruhi faal kulit secara positif, namun bukan obat (Tranggono dan Latifah, 2007).

Pada tahun 1982 Faust mengemukakan istilah “Medicated Cosmetics” yaitu preparat kosmetika yang tidak hanya berfungsi sebagai kosmetika pada umumnya, namun juga mengandung zat berkhasiat obat yang memberikan manfaat dalam mempengaruhi struktur dan faal kulit seperti pada obat topikal, tetapi tidak berbahaya secara farmakologis bagi kulit dan badan si pemakai (Tranggono dan Latifah, 2007).

Untuk memperbaiki dan mempertahankan kesehatan kulit diperlukan jenis kosmetik tertentu bukan hanya obat. Selama kosmetik tersebut tidak mengandung bahan berbahaya yang secara farmakologis aktif mempengaruhi kulit, penggunaan kosmetik jenis ini menguntungkan dan bermanfaat untuk kulit tersebut. Contoh:

(13)

cosmedic antijerawat, antiketombe, antiperspirant, deodoran, preparat untuk mempengaruhi warna kulit (untuk memutihkan atau mencoklatkan kulit), pengeriting rambut dan lain-lain (Tranggono dan Latifah, 2007).

2.3 Cosmedic Antijerawat

Cosmedic antijerawat merupakan preparat kosmetika yang tidak hanya berfungsi sebagai kosmetika pada umumnya, namun juga mengandung zat berkhasiat obat yang mana memberikan manfaat dalam mempengaruhi struktur dan faal kulit yang berjerawat seperti pada obat topikal, tetapi tidak berbahaya secara farmakologis bagi kulit dan badan si pemakai (Wasitaatmadja, 1997).

Pada kulit manusia dan adneksanya sering ditemukan kelainan, misalnya kulit menua, jerawat, noda-noda hitam (hiperpigmentasi), ketombe (dandruff), seborrhea, rambut rontok dan sebagainya yang tidak dapat disembuhkan oleh kosmetik biasa karena tidak mengandung bahan aktif atau obat, tetapi terlalu ringan untuk disembuhkan sepenuhnya lewat pengobatan. Jerawat misalnya tidak akan sembuh jika hanya memakai kosmetik biasa, namun khususnya para wanita enggan menggunakan obat jerawat tanpa memakai kosmetik, terutama ketika akan keluar rumah. Mereka menginginkan obat jerawat yang merangkap sebagai kosmetik atau kosmetik yang mengandung obat jerawat. Oleh karena itu, keberadaan kosmetik yang sekaligus dapat mengobati kelainan pada kulit tersebut diperlukan (Tranggono dan Latifah, 2007).

2.3.1 Preparat cosmedic antijerawat

Jerawat dapat ringan yang berupa komedo terbuka (blackhead) atau komedo tertutup (whitehead), tetapi dapat pula parah dan disertai infeksi yang

(14)

menyebabkan terjadinya jerawat bernanah, berkantung-kantung dan bersambung-sambung. Penyembuhan oleh diri sendiri dengan menggunakan cosmedic antijerawat hanya untuk mengatasi jerawat yang ringan. Cosmedic antijerawat dapat berbentuk lotion, krim dan gel. Bahan-bahan aktif yang dibutuhkan dalam cosmedic antijerawat antara lain:

1. Bahan antiseptik, untuk mencegah atau membunuh bakteri yang akan menginfeksi jerawat. Untuk maksud itu biasa digunakan alkohol (ethyl alkohol).

2. Bahan keratolitik untuk menghancurkan lapisan kulit yang menutupi jerawat agar isi jerawat mudah kontak dengan bahan aktif penyembuh lainnya dan mudah keluar. Untuk maksud itu biasa digunakan asam salisilat.

3. Bahan pengering isi jerawat, biasanya adalah sulfur yang juga bersifat sebagai antiseptik dan keratolitik.

4. Bahan antipruritus (gatal), agar tidak muncul rasa gatal pada jerawat yang menyebabkan ingin digaruk, sehingga mungkin terinfeksi oleh jari kotor dan bakteri. Untuk itu biasa digunakan resorsinol.

5. Bahan aktif lain yang sering juga digunakan adalah camphora, untuk mengeringkan isi jerawat, mengurangi minyak kulit dan memberi rasa segar. 6. Bahan-bahan lain, misalnya allantoin, digunakan untuk merangsang

pertumbuhan sel-sel kulit baru agar bekas jerawat tidak bolong (bopeng), bahan pengental, white pigment, bahan pewarna, bahan pewangi dan lain-lain. Cara pembuatan sediaan cosmedic antijerawat sama seperti pada pembuatan losion, krim atau gel untuk perawatan kebersihan wajah (Tranggono dan Latifah, 2007).

(15)

2.3.2 Persyaratan preparat cosmedic antijerawat

Preparat cosmedic khususnya cosmedic antijerawat biasanya tidak mengandung lebih dari 5% bahan aktif tersebut karena sifat dan daya guna preparat tersebut tentu tidak hanya ditentukan oleh 5% bahan aktif itu, tetapi juga oleh bahan dasar pembawanya sebesar 95% (Tranggono dan Latifah, 2007).

2.4 Perilaku

Perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas (Notoatmodjo, 2012).

Perilaku manusia berasal dari dorongan yang ada dalam diri manusia, sedangkan dorongan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam diri manusia. Dalam segala aktivitas kehidupan sehari-hari manusia selalu dituntut untuk berperilaku. Perilaku ada yang tertutup dan ada yang terbuka. Perilaku tertutup adalah perilaku yang masih terbatas pada perhatian, pengetahuan/kesadaran dan sikap serta belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. Perilaku terbuka adalah perilaku yang sudah dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka dan sudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain (Notoatmodjo, 2012).

Beberapa ahli membedakan bentuk-bentuk perilaku. Misalnya Bloom yang membedakan antara perilaku kognitif (yang menyangkut kesadaran atau pengetahuan), afektif (emosi) dan psikomotor (tindakan/gerakan). Ki Hajar Dewantara menyebutkannya sebagai cipta (peri akal), rasa (peri rasa) dan karsa

(16)

(peri tindak). Ahli-ahli lain umumnya menggunakan istilah pengetahuan, sikap dan tindakan, yang acapkali disingkat dengan KAP (knowledge, attitude, practice) (Sarwono, 1997).

Dalam perkembangannya, teori Bloom di modifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni:

Pengetahuan (knowledge). Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (Notoatmodjo, 2005). Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmodjo, 2003).

Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Purwanto, 1998). Manusia yang bertindak atas dasar pengetahuan dan tidak hanya secara kebetulan dapat bertindak tanpa ragu-ragu lagi (Poedjawijatna, 1998).

Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkatan yang berbeda-beda. Secara garis besar tingkatan tersebut dibagi menjadi 6, yaitu:

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, dalam hal ini termasuk mengingat kembali (recall) memori yang telah ada setelah mengamati sesuatu.

(17)

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

4. Analisis (analysis)

Analisis diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, serta masih ada kaitannya antara satu dengan yang lain.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2012).

Sikap (attitude). Sikap adalah kecenderungan untuk berespons (secara positif atau negatif) terhadap objek (Sarwono, 1997). Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2012).

Campbell (1950) mendefinisikan sikap yakni: “An individual’s attitude is syndrome of response consistency with regard to social object” bahwa sikap itu suatu sindroma atau kumpulan gejala dalam merespons stimulus atau objek,

(18)

sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan yang lain (Notoatmodjo, 2005). Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmojo, 2012).

Menurut Allport (1954) sikap terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu:

1. Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek. Artinya, bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek. 2. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana

penilaian orang tersebut terhadap objek.

3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave) artinya sikap adalah komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka (Notoatmodjo, 2005).

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap juga terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu:

1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespon (responding)

Merespon berarti memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan.

3. Menghargai (valuing)

Menghargai berarti mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.

(19)

4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko (Notoatmodjo, 2003).

Praktik atau tindakan (Practice). Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas. Disamping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain (Notoatmodjo, 2012).

Menurut Notoatmodjo (2012), tingkatan-tingkatan praktik adalah:

1. Respon terpimpin (guided response), yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh.

2. Mekanisme (mecanism), yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan.

3. Adopsi (adoption), yaitu suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran praktik tersebut.

Gambar

Gambar 2.1 Patogenesis Jerawat  2.1.6  Manifestasi klinik jerawat

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari kerja ini adalah munculnya fakta berupa label-label sosial yang semakin bertebaran dimana-mana sebagai bentuk keberhasilan para “dominator” konsumsi

Pada awal tahun 1990, produksi permen di Tangerang dengan membeli bahan baku gambir dari Tiongkok, setelah mengetahui bahwa gambir dihasilkan di Indonesia maka

Seiring dengan perkembangan lembaga kursus ini, proses akademik yang selama ini dijalankan dirasa kurang efektif dan efisien dan membutuhkan suatu sistem yang baru

Intrusion detection adalah proses memonitor kejadian yang terjadi pada sistem komputer atau jaringan dan menganalisanya untuk menandai kejadian yang mungkin, yang

Mohon kesediaan umat yang berpendidikan Psikolog bergabung dengan Seksi Kerasulan Keluarga untuk Pelayanan Konseling dengan mendaftarkan diri ke sekretariat... Akan

Faktor lain yang mempengaruhi amplitudo gelombang akustik yang dipantulkan adalah sudut datang gelombang akustik pada bidang pantul, pengurangan (attenuation) dari gelombang

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan impulse buying produk fashion muslimah pada mahasiswi pengguna jilbab modern

Menjadi sarana usaha yang mampu berperan dalam kancah industri secara signifikan dan mampu melahirkan serta mendukung wirausaha untuk memajukan perekonomian nasional khususnya di