• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH FREKUENSI AKUSTIK TERHADAP PENETRASI SUB BOTTOM PROFILE DENGAN PENERAPAN ACOUSTIC FILTERING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH FREKUENSI AKUSTIK TERHADAP PENETRASI SUB BOTTOM PROFILE DENGAN PENERAPAN ACOUSTIC FILTERING"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

ACOUSTIC FILTERING

Oleh Haqqu Ramdhani

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN LEMBAR INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

PENGARUH FREKUENSI AKUSTIK TERHADAP

PENETRASI SUB BOTTOM PROFILE DENGAN PENERAPAN

ACOUSTIC FILTERING

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.

Bogor, Maret 2011

HAQQU RAMDHANI C54061697

(3)

HAQQU RAMDHANI. Pengaruh Frekuensi Akustik Terhadap Penetrasi Sub Bottom Profile Dengan Penerapan Acoustic Filtering. Dibimbing oleh HENRI M. MANIK dan SUSILOHADI.

Kebutuhan data geofisika kelautan memperlihatkan kecenderungan yang meningkat akibat semakin maraknya kegiatan eksplorasi sumberdaya mineral dan energi di laut. Salah satu metode yang cukup handal untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah metode seismik refleksi, karena memiliki keakuratan yang tinggi untuk mengetahui karakteristik dasar laut, seperti ketebalan dan volume endapan sedimen permukaan laut, struktur dasar laut, dan kedalaman suatu perairan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh frekuensi akustik terhadap penetrasi metoda seismik refleksi ke bawah permukaan batuan dengan penerapan analisis spektrum data digital dan Acoustic Filtering.

Akuisisi data lapangan dilaksanakan pada tanggal 23 Juli – 21 Agustus 2010 di daerah Pastenoster, Doang, dan Spermonde yang terletak di antara Selat Makassar dan Laut Flores pada koordinat 05°00’00’ – 07°00’00” LS dan

117°00’00”–120°00’00” BT. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Akustik Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Laut (PPPGL) di Bandung.

Dalam pengolahan data seismik untuk penelitian ini software Promax dan Matlab digunakan untuk mengevaluasi dan menganalisis data serta Seisee

digunakan untuk melihat tampilan digital data seismik dan mengekstraknya dalam Microsoft Exel. Analisis dilakukan terhadap spektrum frekuensi dari trace-trace seismik yang diolah.

Berdasarkan hasil analisis FFT gelombang seismik dari lima trace pada line 14 dan line 15 Terdapat perubahan amplitudo gelombang seismik sejak merambat dari daerah permukaan, dasar laut, dan dibawah dasar laut terhadap respon frekuensinya. Hal ini disebabkan bahwa semakin dalam gelombang seismik merambat ke dasar sedimen maka semakin lemah frekuensi tingginya. Faktor lain yang mempengaruhi amplitudo gelombang akustik yang dipantulkan adalah sudut datang gelombang akustik pada bidang pantul, pengurangan (attenuation) dari gelombang akustik oleh sedimen, kehilangan energi akustik yang disebabkan oleh penyebarannya ke segala arah, serta kehilangan energi akustik yang disebabkan karena penyebarannya oleh bidang-bidang reflektor yang permukaannya tidak teratur. Berdasarkan hasil filtering menggunakan software Seisee, penggunaan frekuensi rendah akan mendapatkan penetrasi batuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan frekuensi tinggi.

Berdasarkan hasil pemetaan sedimen yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Laut (PPPGL) adanya perbedaan nilai koefesien refleksi pada jenis sedimen pasir dan lempung tergantung dari jarak sumber suara dengan dasar periaran, sudut datang, absorbsi, dan nilai atenuasinya. Besar

kecilnya frekuensi yang digunakan akan mempengaruhi penetrasi dari gelombang seismik, karena semakin besar spektrum frekuensinya maka semakin besar nilai kuadrat frekuensinya (m) dan semakin besar pula koefisien atenuasinya. Hal ini dipengaruhi oleh frekuensi dan nilai koefisien atenuasi dari setiap sedimen.

(4)

ACOUSTIC FILTERING

Oleh Haqqu Ramdhani

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(5)

Judul Penelitian : PENGARUH FREKUENSI AKUSTIK TERHADAP PENETRASI SUB BOTTOM PROFILE DENGAN PENERAPAN ACOUSTIK FILTERING

Nama Mahasiswa : Haqqu Ramdhani Nomor Pokok : C54061697

Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T Dr.Ir. Susilo Hadi NIP. 19701229 199703 1 008 NIP. 100009219

Mengetahui,

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo M.Sc NIP. 19580909 198303 1 003

(6)

© Hak cipta milik Haqqu Ramdhani, tahun 2011

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopi, microfilm, dan sebagainya

(7)

Penulis dilahirkan di Bandung 29 April 1988 dari ayah yang bernama H. Agus Setiawan S. dan ibu Hj.Tuti Ispriati. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 6 Bandung. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Dan pada semester 3 penulis masuk di Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelauatan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor penulis aktif dalam organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa sebagai anggota di Departemen Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM) periode 2007-2008 dan sebagai Kepala Departemen Sosial Lingkungan Hidup (SOSLING) pada periode 2008-2009. Penulis juga menjadi Asisten Mata Kuliah Selam Ilmiah pada periode 2008-2009 dan periode 2009-2010, serta Asisten Mata Kuliah Teknik Deteksi Bawah Air pada periode 2010-2011 .

Pada penyelesaian tugas akhir penulis mengikuti Survei Seismik

Multichannel pada Tanggal 23 Juli – 21 Agustus 2010 dengan Kapal Geomarin III di daerah Paternoster, Doang, dan Spermonde yang terletak di antara Selat Makassar dan Laut Flores, oleh Pusat Penelitian Geologi Kelautan (P3GL). Dalam rangka penyelesaian studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Pengaruh Frekuensi Terhadap Penetrasi Sub-Bottom Profile dengan Menggunakan Acoustic Filtering”.

(8)

i   

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, karena atas rahmat

dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian ini.

Proposal yang berjudul ” PENGARUH FREKUENSI AKUSTIK TERHADAP

PENETRASI SUB BOTTOM PROFILE DENGAN PENERAPAN ACOUSTIC

FILTERING” diajukan sebagai salah satu syarat untuk melakukan penelitian.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya atas

terlaksanaya praktek kerja lapang ini kepada:

1.

Bapak Dr. Ir. Henry M. Manik, MT selaku dosen pembimbing utama yang

telah banyak membantu dan membimbing penulis dalam penelitian ini.

2.

Bapak Dr. Ir Susilo Hadi selaku pembimbing kedua yang telah banyak

membantu dan membimbing penulis dalam penelitian ini.

3.

Ibu, Bapak, Fitria, dan seluruh keluarga yang ada di bandung serta semua

orang yang disayangi dan yang telah memberi dukungan, semangat serta

arahannya selama penelitian ini.

4.

Pak Adrian, Pak Ali, Pak Riza, serta seluruh

Cruse

Kapal Geomarin III yang

telah membantu dalam tercapainya skripsi ini.

5.

Bang Asep dan Keluarga besar Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK IPB serta

banyak pihak yang mendukung demi pencapaian proposal ini.

(9)

 

berharap agar proposal ini dapat berguna dan bermanfaat untuk orang lain untuk

penelitian selanjutnya.

Bogor, Januari 2011

(10)

ii  

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Teori Akustik Seismik Pantul ... 3

2.1.1 Konsep Dasar Perambatan Seismik ... 4

2.1.1 Hukum Snellius, Wave Front, dan Ray Path ... 6

2.2 Gelombang Seismik ... 10

2.3 Akuisisi Data Seismik ... 11

2.4 Sumber Seismik ... 14 2.4.1 Sparker ... 14 2.4.2 Air Guns ... 14 2.5 Noise ... 15 2.6 Frequency Filtering ... 16 2.7 Multipel ... 17 2.8 Atenuasi ... 18

2.9 Kecepatan Suara Dalam Air ... 19

3. METODOLOGI ... 21

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 21

3.2 Perangkat dan Peralatan Penelitian ... 24

3.3 Akuisisi Data Seismik ... 25

3.4 Metoda Pengolahan Data ... 30

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1 Hasil ... 32

4.1.1 Line 14 ... 32

4.1.2 Line 15 ... 52

4.1.3 Estimasi Nilai Koefisien Refleksi ... 72

4.1.4 Estimasi Nilai Atenuasi ... 74

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

5.1 Kesimpulan ... 76

5.2 Saran ... 77

(11)

iii  

1. Daftar alat yang digunakan dalam Survei Spermonde ... 24

2. Tipe dan Ukuran Sedimen... 72

3. Nilai Koefisien Atenuasi pada Lempung ... 73

(12)

iv  

1. Basic Seismic Reflection ... 4

2. Geometri Penjalaran Gelombang Pantul untuk Penurunan Rumus Hukum Snellius ... 7

3. Muka Gelombang dan Perambatannya ... 8

4. Sudut Kritis Ray Path ... 9

5. Penampang Hidropon ... 12

6. Operasional Seismik di Laut ... 13

7. Diagram metode penembakan Refraksi dan Refleksi ... 14

8. Macam-Macam Multipel... 17

9. Fenomena Multipel ... 18

10. Peta Batimetri Lintasan Spermonde ... 22

11. Peta Lintasan Penelitian ... 23

12. Konfigurasi dan Susunan Air gun pada Saat Survei ... 26

13. Prinsip kerja survey seismik profil kontinu ... 27

14. Layar Gun Controller... 28

15. Hubungan Gun Controller, sistim navigasi dan perekam seismik ... 28

16. Proses Aliran Data dari Alat ke Streamer ... 29

17. Pengolahan Data Seismik Menggunakan Perangkat Lunak Seise dan Mc Exel ... 30

18. Pengolahan Data Mengunakan Matlab Dengan Cara FFT ... 31

19. Hubungan Waktu Dengan Amplitudo dan Hubungan Spektrum Frekuensi Pada Tarce 280 Terhadap Amplitudo ... 33

20.

Spektrum Frekuensi Airgun di Permukaan, Dasar Laut, dan di Bawah Dasar Laut ... 34

21. Penampang Seismik dan Posisi Trace 280 ... 36

22. Hubungan Waktu Dengan Amplitudo dan Hubungan Spektrum Frekuensi Pada Tarce 1367 Terhadap Amplitudo ... 37

23.

Spektrum Frekuensi Airgun di Permukaan, Dasar Laut, dan di Bawah Dasar Laut ... 38

(13)

v  

26.

Spektrum Frekuensi Airgun di Permukaan, Dasar Laut, dan

di Bawah Dasar Laut ... 42 27. Penampang Seismik dan Posisi Trace 2303 ... 43 28. Hubungan Waktu Dengan Amplitudo dan Hubungan

Spektrum Frekuensi Pada Tarce 2905 Terhadap Amplitudo ... 44

29.

Spektrum Frekuensi Airgun di Permukaan, Dasar Laut, dan

di Bawah Dasar Laut ... 46 30. Penampang Seismik dan Posisi Trace 1367 ... 47 31. Hubungan Waktu Dengan Amplitudo dan Hubungan

Spektrum Frekuensi Pada Tarce 3610 Terhadap Amplitudo ... 48

32.

Spektrum Frekuensi Airgun di Permukaan, Dasar Laut, dan

di Bawah Dasar Laut ... 50 33. Penampang Seismik dan Posisi Trace 3610 ... 51 34. Hubungan Waktu Dengan Amplitudo dan Hubungan

Spektrum Frekuensi Pada Tarce 2326 Terhadap Amplitudo ... 52

35.

Spektrum Frekuensi Airgun di Permukaan, Dasar Laut, dan

di Bawah Dasar Laut ... 54 36. Penampang Seismik dan Posisi Trace 2326 ... 55 37. Hubungan Waktu Dengan Amplitudo dan Hubungan

Spektrum Frekuensi Pada Tarce 2615 Terhadap Amplitudo ... 56

38.

Spektrum Frekuensi Airgun di Permukaan, Dasar Laut, dan

di Bawah Dasar Laut ... 58 39. Penampang Seismik dan Posisi Trace 2615 ... 59 40. Hubungan Waktu Dengan Amplitudo dan Hubungan

Spektrum Frekuensi Pada Tarce 5580 Terhadap Amplitudo ... 60

41.

Spektrum Frekuensi Airgun di Permukaan, Dasar Laut, dan

di Bawah Dasar Laut ... 62 42. Penampang Seismik dan Posisi Trace 5580 ... 63 43. Hubungan Waktu Dengan Amplitudo dan Hubungan

(14)

vi  

45. Penampang Seismik dan Posisi Trace 10620 ... 67

46. Hubungan Waktu Dengan Amplitudo dan Hubungan Spektrum Frekuensi Pada Tarce 13090 Terhadap Amplitudo ... 68

47.

Spektrum Frekuensi Airgun di Permukaan, Dasar Laut, dan di Bawah Dasar Laut ... 70

48. Penampang Seismik dan Posisi Trace 13090 ... 71

49. Sedimen Permukaan Dasar Laut pada Lintasan 14 ... 72

(15)

vii  

1. Survei Seismik Multichannel Dua Dimensi dengan Kapal ... 82

2. Syintax Hubungan Waktu dengan Amplitudo ... 92

3. Syintax Hubungan Spektrum Frekuensi dengan Amplitudo ... 92

4. Rumus Mencari Koefisien Refleksi dan Impedansi ... 93

(16)

1   

1.1.Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, para ahli dari berbagai disiplin ilmu menemukan berbagai metode serta alat untuk mempelajari dasar lautan. Pengetahuan morfologi dasar laut mulai berkembang pesat setelah ditemukannya alat pemerum gema (echosounder). Dengan alat ini, kita dapat mengetahui kedalaman dasar perairan beserta morfologi dasar lautnya. Selain echosounder, telah ditemukan pula alat yang dapat digunakan dalam mempelajari sedimen dasar perairan seperti side scan sonar. Alat ini dapat mencitrakan gambaran permukaan perairan secara horizontal termasuk material-material penyusun dasarnya serta dapat pula menampilkan bentuk morfologi dan kedalaman dasar perairan.

Kebutuhan data geofisika kelautan memperlihatkan kecenderungan yang meningkat akibat semakin maraknya kegiatan eksplorasi sumberdaya mineral dan energi di laut. Salah satu metode yang cukup handal untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah metode seismik refleksi. Metode ini memiliki keakuratan yang tinggi untuk mengetahui karakteristik dasar laut, seperti ketebalan dan volume endapan sedimen permukaan laut, struktur dasar laut, dan kedalaman suatu perairan (Susilawati, 2004). Kemampuan dasar dari metode seismik menyajikan informasi resolusi tinggi dengan pengoperasian yang relatif sederhana, sehingga metode ini sering digunakan pada penelitian geologi kelautan.

Secara umum, tahapan eksplorasi dengan metode seismik refleksi terbagi atas tiga bagian penting yaitu pertama adalah akuisisi data seismik yang

(17)

merupakan kegiatan untuk memperoleh data dari lapangan yang disurvei,

pemrosesan data seismik sehingga dihasilkan penampang seismik yang mewakili geologi bawah permukaan yang siap untuk diinterpretasikan, dan interpretasi data seismik untuk memperkirakan keadaan geologi di bawah permukaan serta untuk memperkirakan material batuan di bawah permukaan bumi. Penelitian kali ini diawali dengan akuisisi data lapangan dan kemudian menggunakan data tersebut sesuai dengan tujuan penelitian

1.2.Tujuan

Dalam akuisisi lapangan sumber suara metoda seismik yang digunakan adalah airgun yang mempunyai spektrum frekuensi dari 20 Hz hingga 200 Hz. Lebar spektrum tersebut dapat mempengaruhi kualitas rekaman data seismik. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh frekuensi terhadap penetrasi metoda seismik refleksi ke bawah permukaan batuan dengan penerapan analisis spektrum data digital dan Acoustic Filtering.

(18)

3   

2.1Teori Dasar Seismik Pantul

Sistem seismik adalah sistem yang didasari oleh gerakan gelombang yang memantul atau membias diantara lapisan bumi (Bullen, 1959). Penggunaan gelombang seismik untuk meneliti dan mengidentifikasi bermula dari pengukuran seismometer di daratan yang menemukan pola aneh dari batuan yang kemudian diidentifikasi sebagai minyak (Waters, 1913). Ludger pada tahun 1913, kemudian menemukan bahwa cara ini juga dapat menggambarkan stratigrafi batuan di bawah tanah dan memakainya untuk mencari minyak. Cara kerjanya sederhana saja, energi dalam bentuk gelombang seismik dikirimkan ke perut bumi, dan karena lapisan-lapisan batuan perut bumi memiliki densitas dan karakteristik yang berbeda-beda, maka gelombang-gelombang seismik yang dikirimkan ke perut bumi tadi memantulkan balik dengan kecepatan berbeda-beda sesuai jenis batuan yang dilaluinya. Pantulan balik gelombang seismik inilah yang kemudian

direkam, dianalisis, dan diinterpretasikan sebagai bentuk lapisan batuan di bawah permukaan. Prinsip kerja dari sistem ini sama dengan sistem akustik yang sering digunakan dalam pencarian ikan di kolom perairan, hanya saja gelombang yang digunakan adalah gelombang dengan panjang gelombang yang panjang atau dengan kata lain berfrekuensi rendah (Robinson dan Treitel, 1980).

(19)

Gambar 1. Basic Seismic Reflection (Sumber: Marine Seismic Overview) 2.1.1 Konsep Dasar Perambatan Seismik

Pantulan suatu sinyal akustik terhadap suatu bidang batas udara-air, air-sedimen, atau sedimen-air-sedimen, disebabkan karena adanya perbedaan impedansi akustik pada bidang batas tersebut di atas. Impedansi akustik adalah kemampuan batuan untuk melewatkan gelombang seismik yang melaluinya. Secara fisis, Impedansi Akustik merupakan produk perkalian antara kecepatan gelombang kompresi dengan densitas batuan (Abdullah, 2008).

z =

ρ

.c

(2.1)

dimana: z = impedansi akustik (gr/cm2/det) ρ = Berat jenis dari medium

c = Kecepatan rambat gelombang akustik pada medium (cm/det)

Impedansi akustik suatu sedimen atau batuan diperlihatkan sebagai fungsi dari kecepatan ramabat gelombang akustik dan berat jenis sedimen, sehingga Hamilton (1963) menunjukkan kecepatan rambat gelombang akustik dengan persamaan berikut:

(20)

(2.2)

dimana: c = kecepatan rambat gelombang akustik pada sedimen (km/det)

k = kompresibilitas dari sedimen (dyne/cm2)-1

G = rigiditas dari sedimen (dyne/cm2) ρ = berat jenis sedimen (gr/cm3)

Berat jenis (bulk density) dari sedimen yang tidak kompak

(unconsolidated) berubah, sehingga kecepatan rambat gelombang akustiknya akan berubah pula. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan kompresibilitas dari butiran-butiran mineral serta adanya faktor-faktor yang merubah rigiditas dari sistem seperti ikatan-ikatan antar partikel yang lebih kuat pada butiran-butiran mineral (Prawirasastra et al., 1999).

Pada sedimen yang kompak (consolidated) atau setengah kompak (semi consolidated), berat jenis menjadi faktor penting yang mempengaruhi perubahan impedansi akustik kekompakan (consolidation) ini. Litifikasi (litification) dari sedimen yang kompak adalah sebagai hasil pembebanan yang berlebihan yang disebabkan oleh air, es, atau sedimen-sedimen lain, pengeringan (dissication) dari sedimen selama air surut, sedimentasi oleh silika atau kalsium karbonat yang terdapat di dalam lautan, serta proses diagenetik karena ketidaksamaan kimia dari butiran-butiran memproduksi mineral-mineral baru yang menambah koherensi sedimen (Prawirasastra et al., 1999).

Intensitas amplitudo dari gelombang akustik yang dipantulkan pada bidang batas antara dua sedimen yang berbeda impedansi akustiknya, dinyatakan oleh rumus Reyleigh Reflection Coeficient (Prawirasastra et al., 1999).

(21)

(2.3)

dimana: Z1 = Impedansi akustik dari sedimen yang berada di atas

bidang batas

Z2 = Impedansi akustik dari sedimen yang berada di bawah

bidang batas

Faktor lain yang mempengaruhi amplitude gelombang akustik yang dipantulkan adalah sudut datang gelombang akustik pada bidang pantul, pengurangan (attenuation) dari gelombang akustik oleh sedimen, kehilangan energi akustik yang disebabkan oleh penyebarannya ke segala arah, serta kehilangan energi akustik yang disebabkan karena penyebarannya oleh bidang-bidang reflektor yang permukaannya tidak teratur (Prawirasastra et al., 1999).

2.1.2 Hukum Snellius, Wave Front, dan Ray Path

Arah gelombang awal (incident waves) dan kecepatan gelombang seismik mempengaruhi arah gelombang yang dipantulkan. Muka gelombang yang

melewati bidang batas antar medium yang memiliki kecepatan seismik berbeda menyebabkan sebagian energi akan direfleksikan ke medium berikutnya (Lubis et al., 1999).

Gambar 2 mengilustrasikan geometri penjalaran gelombang pantul untuk penurunan hukum Snellius. Posisi sumber gelombang awal dianggap sangat jauh dengan bidang batas sehingga dua berkas gelombang sangat berdekatan, hampir paralel saat kedua berkas tersebut akan mencapai bidang batas dan salah satu muka gelombang sedikit membelok berupa garis lurus. Gelombang awal berjalan dengan kecepatan V1, dan waktu yang dibutuhkan untuk menjalar dari A ke C

(22)

Gelombang dipantulkan kearah yang baru dan berjalan ke titik E dengan

kecepatan Vr setelah mencapai titik C. Interval waktu yang dibutuhkan gelombang

untuk menjalar dari C ke E dianggap sebagai t, sehingga jarak C ke E adalah Vrt.

Gelombang menjalar dari titik D ke F pada interval waktu yang sama dengan kecepatan Vi sehingga jarak D ke F adalah Vit, kemudian muka gelombang

membelok ketika menyentuh bidang batas.

Gambar 2. Geometri Penjalaran Gelombang Pantul untuk Penurunan Hukum Snellius (Sumber : Bidang Geofisika Kelautan-PPGL, 1999)

Berkas gelombang awal berinklinasi dari bidang batas dengan sudut i (Lubis et al., 1999). CDF merupakan segitiga siku-siku karena sinar tegak lurus dengan muka gelombang, sehingga:

(2.4) Sinar yang dipantulkan berinklinasi dari bidang batas pada sudut r. CEF merupakan segitiga siku-siku, sehingga:

(2.5)

Gelombang awal  Gelombang pantul 

E

(23)

Kedua persamaan diatas dikombinasikan sehingga persamaan tersebut menjadi:

        (2.6)

di mana : i = Sudut datang r = Sudut bias

Vi = Kecepatan gelombang datang

Vt = Kecepatan gelombang dipantulkan

Konsep hukum-hukum fisika optik umumnya mendasari perambatan gelombang seismik, anggapan yang dipakai adalah bahwa bumi bersifat homogen isotropis dan elastis sempurna, pancaran sumber gelombang berada dalam kondisi simetris bola (spheric) sehingga muka gelombang (wave front) akan menjalar dengan kecepatan konstan sepanjang garis lurus dengan konsep rambatan seismik (Lubis et al., 1999). Gelombang yang dihasilkan dari ledakan di dalam suatu massa batuan diilustrasikan dalam Gambar 3.

Gambar 3. Muka Gelombang dan Perambatannya (Sumber: Lubis et al., 1999)

Titik di tengah-tengah gelombang adalah sumber suara, lingkaran

gelombang pada sisi terluar disebut muka gelombang dan garis yang memancar ke segala arah adalah perambatannya yang mengikuti hukum Huygen (Lubis et al., 1999). Hukum Huygen menyatakan bahwa setiap titik-titik pengganggu yang

(24)

berada didepan muka gelombang utama akan menjadi sumber bagi terbentuknya deretan gelombang yang baru. Jumlah energi total deretan gelombang baru tersebut sama dengan energi utama.

Berkas gelombang(Ray paths) mengikuti hukum Snellius, sin θ1/c1 = sin

θ2/c2. Perambatan waktu dari sinyal bergerak sepanjang jalur minimum, hal ini

sesuai dengan prinsip Fermat yaitu gelombang menjalar dari satu titik ke titik lain melalui jalan tersingkat waktu penjalarannya. Dengan demikian jika gelombang melewati sebuah medium yang memiliki variasi kecepatan gelombang seismik, maka gelombang tersebut akan cenderung melalui zona-zona kecepatan tinggi dan menghindari zona-zona kecepatan rendah. Ketika c2>c1 pada sudut kritis (θc),

refraksi ray path bersifat parallel terhadap lapisan di θ1= θ2 dan sin θc=c1/c2.

     

Gambar 4. Sudut Kritis Ray Path. Sinyal menempuh jarak L pada medium 2 dengan kecepatan suara c2. (Sumber: Clay dan Madwin, 1998)

Perambatan sinyal paralel diantara lapisan di c2 dapat membiaskan

kedalam medium yang paling atas di θc. Dari gambar tersebut disimpulkan bahwa

sinyal tersebut memiliki suatu perambatan yang minimum. Ketika θ1 > θc,

koefisien refleksi mencapai titik kompleks dan nilai absolut yaitu 1. Fase dari

X L θc  θc  source receiver c2>c1  C1  C2 

(25)

perambatan sinyal tergantung pada θ1. Hal inilah yang disebut sebagai total

refleksi (Clay dan Medwin, 1998). 2.2Gelombang Seismik

Gelombang seismic merupakan gelombang akustik yang menjalar pada medium bumi, maka sifat-sifat dari gelombang seismic sama dengan sifat-sifat gelombang akustik (Rahardjo et al., 1999).

1) Gelombang Longitudinal (gelombang P)

Gelombang longitudinal adalah gelombang yang arah penjalarannya searah dengan arah gerakan-gerakan partikel dari medium. Gelombang P menjalar dengan kecepatan tertentu. Jika melewati material yang bersifat kompak atau keras misalnya dolomit maka kecepatan gelombang P akan lebih tinggi dibanding jika melewati material yang 'lunak' seperti

batulempung.

2) Gelombang Transversal (gelombang S)

Gelombang Transversal ini merupakan arah jalar yang tegak lurus arah gerakan-gerakan partikel dari medium. Arah gerakan partikel-partikel pada gelombang transversal dapat vertikal maupun horizontal.

3) Gelombang Permukaan berupa: (1)Gelombang Rayleigh

Gelombang Rayleigh merupakan gelombang yang mempunyai sifat menjalar di sepanjang benda padat elastis, dan gerakan partikel pada bidang vertical, elipstis, dan mundur terhadap arah penjalaran gelombang.

(26)

(2)Gelombang Love

Gelombang love merupakan gelombang permukaan yang terjadi jika suatu lapisan yang mempunyai kecepatan rambat lebih rendah menutupi lapisan yang mempunyai kecepatan rambat gelombang lebih besar. Gelombang love juga merupakan perambatan gelombang transversal. Penjalaran gelombang dipengaruhi oleh sifat keelastisan benda. Medium yang dilalui gelombang akan mengalami kompresi (penekanan) dan peregangan sehingga volume berubah tetapi bentuknya tetap

2.3Akuisisi Data Seismik

Untuk memperoleh hasil pengukuran seismik refleksi yang baik,

diperlukan pengetahuan tentang sistem perekaman dan parameter lapangan yang baik pula. Parameter akan sangat ditentukan oleh kondisi lapangan yang ada yaitu berupa kondisi geologi daerah survei. Teknik-teknik pengukuran seismik

meliputi:

1. Sistem Perekaman Seismik

Tujuan utama akuisisi data seismik adalah untuk memperoleh pengukuran travel time dari sumber energi ke penerima. Keberhasilan akusisi data bisa bergantung pada jenis sumber energi yang dipilih. Sumber energi seismik dapat dibagi menjadi dua yaitu sumber impulsif dan vibrator. Sumber impulsif adalah sumber energi seismik dengan transfer energinya terjadi secara sangat cepat dan suara yang dihasilkan sangat kuat, singkat dan tajam. Sumber energi impulsif untuk akuisisi data seismik yang digunakan untuk akusisi data seismik di laut adalah air gun, sparker, water gun, dsb.

(27)

Perekaman data seismik melibatkan detektor dan amplifier yang sangat sensistif serta data recorder. Alat untuk menerima gelombang-gelombang refleksi pada survei seismik di laut adalah hidrofon. Hidrofon merespon perubahan tekanan. Hidrofon terdiri atas kristal piezoelektrik yang terdeformasi oleh perubahan tekanan air yang akan menghasilkan beda potensial listrik. Elemen piezoelektrik ditempatkan dalam suatu kabel streamer yang terisi oleh kerosin untuk mengapungkan dan insulasi. Model hidrofon seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.

Gambar 5. Penampang Hidrofon (Sumber: Teknologi Seismik Untuk Eksplorasi Minyak dan Gas Bumi)

Hampir semua data seismik modern direkam secara digital. Karena output dari hidropon sangat lemah dan output amplitude meluruhdalam waktu yang sangat singkat, maka sinyal ini harus diperkuat. Amplifier bisa juga dilengkapi dengan filter untuk meredam frekuensi yang tidak diinginkan (Sanny dalam Hasanudin, 2004).

2. Prosedur Operasional Seismik Laut

Kapal operasional seismik dilengkapi dengan sumber suara, instrumen perekaman serta hidropon, dan alat untuk penentuan posisi tempat dilakukannya

(28)

survei seismik seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3. Menurut Kearn & Boyd dalam Hasanudin (1963), terdapat dua pola penembakan dalam operasi seismik di laut yaitu :

a) Profil Refleksi, pola ini memberikan informasi gelombang-gelombang seismik sebagai gelombang yang merambat secara vertikal melalui lapisan-lapisan di bawah permukaan. Teknik ini melakukan tembakan disepanjang daerah yang disurvei dengan kelajuan dan penembakan yang konstan. Jarak penembakan antara satu titik terhadap lainnya disesuaikan dengan informasi refleksi yang diperlukan, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3.

Gambar 6. Operasional Seismik di Laut (Sumber: Teknologi Seismik Untuk Eksplorasi Minyak dan Gas Bumi)

b) Profil Refraksi, Pola ini memberikan informasi gelombang-gelombang seismik yang merambat secara horizontal melalui lapisan-lapisan di bawah permukaan. Pada teknik ini kapal melakukan tembakan pada titik-titik tembak yang telah ditentukan (Gambar 4).

(29)

(a) (b)

Gambar 7. Diagram metode penembakan Refraksi (a) dan Refleksi (b) (Sumber: Teknologi Seismik Untuk Eksplorasi Minyak dan Gas Bumi)

2.4Sumber Seismik

Hal ini diperlukan untuk menghasilkan suatu pulse seismik yang kuat, dalam rangka memperoleh penetrasi di bawah permukaan tanah lebih dari 100 m, di dalam frekuensi resolusi tinggi ( band pass dipusatkan sekitar 100 Hz).

Sekarang ini ada sejumlah sumber seismik yang sesuai dengan kebutuhan (Trabant, 1984).

2.4.1 Sparker

Pada beberapa dekade yang lalu sumber sparker, yang beroperasi dengan melepaskan energi elektrik tegangan tinggi pada kedalaman dangkal. Sparker beroperasi pada energi 100 sampai 2000 Joule yang menyediakan sumber akustik berfrekuensi tinggi, sederhana dan hemat biaya.

2.4.2 AirGuns

Penggunaan airguns sebagai sumber seismik untuk High-Resolution Geophysical (HRG) dan masih digunakan sebagai sumber yang utama untuk pengadaan data seismik refleksi explorasi minyak bumi. Biasanya airgun digunakan dengan menggunakan tekanan mencapai 2000 psi.

(30)

2.5Noise

Noise merupakan komponen penting dari akustik bawah air, yang meliputi banyak proses yang berbeda, yang semuanya menambah sinyal yang diharapkan dan menurunkan kinerja sistem akustik bawah air. Penyebab kebisingan dapat dikelompokkan menjadi empat kategori (Lurton, 2002):

1) Ambient noise. Jenis noise ini dari luar sistem dan berasal dari alam (angin, gelombang, hujan, hewan) atau disebabkan manusia (aktivitas maritim, industri). Noise ini adalah independen dari sistem sonar atau kondisi penyebarannya.

2) Self-noise. Apakah kebisingan diderita oleh sistem akustik bawah air itu sendiri. Bila disebabkan oleh dukungan platform (pancaran noise, aliran noise, gangguan listrik) atau sistem elektronik (noise thermal).

3) Gema. Jenis noise ini efek sistem sonar aktif saja, seperti yang disebabkan oleh kekacauan (yang dihasilkan oleh sinyal sonar). Hal ini dapat begitu keras untuk menutupi pendeteksian gema sasaran yang diharapkan. 4) Acoustic interference. Jenis noise ini dihasilkan oleh sistem akustik lain

yang beroperasi di sekitarnya, biasanya onboard perahu yang sama atau platform kapal selam, kadang-kadang sumber informasi lebih lanjut. Beberapa sumber berselang dalam keseluruhan noise yang terpancar dari kapal:

Propeller noise. Propeller rotasi menghasilkan garis spektrum pada frekuensi sangat rendah pada kisaran frekuensi 0,1-10 Hz dari garis, tergantung pada kecepatan putaran baling-baling dan geometri. Depresi disebabkan oleh pergerakan pisau membuat beberapa kavitasi,

(31)

Flow noise. Turbulensi yang dihasilkan oleh aliran air di lambung kapal atau permukaan transduser aktif atau perlindungan. Tentu saja, ini tergantung jenis kebisingan pada kecepatan kapal, frekuensi dan bentuk dan lokasi perlindungan transduser.

Noise mesin. Banyak noise mesin diinstal pada kapal, motor, gear reduksi, generator, alternator, mesin hidrolik, mesin bubut, dll. menyebabkan getaran di transmisi suara lambung dalam struktur interior atau melalui udara, getaran lambung dihabiskan di dalam air. Mesin kebisingan

umumnya independen kecepatan kapal, karena itu, merasa lebih mendalam ketika kapal berada pada kecepatan rendah dan kecepatan tinggi tertutup oleh suara aliran dan kebisingan kavitasi. Suara frekuensi utama mesin biasanya disertai dengan harmoniknya.

2.6Frequency Filtering

Frekuensi filtering menurut Yilmaz (1987) dapat berupa band-pass, band-reject, high-pass (low cut), atau low-pass (hight-cut) filter. Semua filter ini didasarkan pada prinsip konstruksi yang sama dari sebuah wavelet phase nol dengan spektrum amplitudo yang memenuhi salah satu dari empat spesifikasi.

Band-pass filter merupakan yang paling sering digunakan, karena biasanya digunakan untuk menghilangkan beberapa jejak noise frekuensi rendah, seperti ground roll, dan beberapa ambient noise frekuensi tinggi. Energi seismik refleksi dengan sumber suara airgun biasanya terbatas pada bandwidth sekitar 10-70 Hz, dengan frekuensi dominan sekitar 30 Hz.

Band-pass filter dilakukan pada berbagai tahap dalam pengolahan data. Jika diperlukan, dapat dilakukan sebelum dekonvolusi untuk menekan energi sisa

(32)

ground-roll dan ambien noise frekuensi tinggi yang tidak akan mencemari autokorelasi sinyal.

2.7Multipel

Multiple adalah pengulangan refleksi akibat ’terperangkapnya’ gelombang seismik dalam air laut atau terperangkap dalam lapisan batuan lunak. Terdapat beberapa macam multiple: (a) water-bottom multiple, (b) peg-leg multiple dan (c) intra-bed multiple (Abdullah, 2008; Gambar 8).

Didalam rekaman seismik, masing-masing multipel akan menunjukkan ‘morfologi’ reflektor yang sama dengan reflektor primernya akan tetapi waktunya berbeda.

Untuk model water bottom multiple (model a) jika waktu tempuh ke sea bottom sebesar 500ms maka multiplenya akan muncul 500 x 2 = 1000 ms. Jika gelombang tersebut terperangkap tiga kali maka multiple water bottom berikutnya akan muncul pada 500 x 3 = 1500 ms.

Untuk model peg leg multiple (model b), multiple akan muncul pada waktu tempuh gelombang refleksi primer ditambah waktu tempuh sea bottom.

Gambar 8. Macam-Macam Multipel (Sumber: Ensiklopedia Seismik, 2007-2008) 

(33)

Untuk model intra bed multipel, multipel akan muncul pada waktu tempuh gelombang primer top gamping ditambah waktu tempuh dalam shale.

Gambar 9 dibawah ini adalah rekaman seismik yang menunjukkan fenomena multiple.Perhatikan terdapat 4 multipel akibat dasar laut, berarti gelombang seismik tersebut‘terperangkap’ empat kali.

2.8Atenuasi

Atenuasi adalah besaran pelemahan energi sinyal yang dinyatakan dalam dB dan disebabkan oleh 3 faktor utama yaitu absorpsi, hamburan (scattering) dan mikro-bending. Atenuasi menyebabkan pelemahan energi sehingga amplitudo gelombang yang sampai pada penerima menjadi lebih kecil dari pada amplitudo yang dikirimkan oleh pemancar (Abdullah, 2008).

Ketika perjalanan suara melalui medium, intensitas suara akan menurun dengan jarak (www.ndt-ed.org). Bagaimanapun, semua bahan-bahan alami

menghasilkan efek yang lebih lanjut melemahkan suara. Hal ini lebih melemahkan hasil hamburan dan penyerapan. Hamburan adalah refleksi dari suara di arah yang

Gambar 9. Fenomena Multipel (Sumber: Ensiklopedia Seismik, 2007-2008) 

(34)

berbeda dari arah propagasi aslinya. Penyerapan adalah konversi energi suara ke bentuk energi lainnya. Efek gabungan dari hamburan dan penyerapan disebut atenuasi. Atenuasi umumnya sebanding dengan kuadrat frekuensi suara. nilai Atenuasi sering diberikan untuk satu frekuensi, atau mungkin nilai redaman frekuensi rata-rata lebih dari banyak. Juga, nilai riil dari koefisien atenuasi bahan tertentu sangat tergantung pada cara yang material diproduksi. Dengan demikian, nilai redaman hanya memberikan indikasi kasar atenuasi dan tidak dapat

dipercaya secara otomatis. Secara umum, nilai yang dapat diandalkan redaman hanya dapat diperoleh dengan mengukur atenuasi eksperimen untuk bahan tertentu yang sedang digunakan.

2.9Kecepatan Suara Dalam Air

Kecepatan suara dalam air tidak tergantung pada arah. Oleh karena itu, nama "kecepatan suara" dan "velocity" dapat digunakan secara bergantian. (Medwin & Clay, 1998).

Kecepatan suara dipengaruhi oleh temperatur, salinitas, dan kedalaman. Rumus sederhana berikut menurut Medwin, 1975 in Lurton 2002, kurang dari 0,2 m/s kesalahan, dibandingkan dengan Del Grosso untuk 0 <T ° C <32 dan 22 <salinitas ppt <45 untuk kedalaman di bawah 1.000 m:

c = 1449.2 + 4.6T – 0.055T2 + 0.00029T3 + (1.32 – 0.01T)(S-35) + 0.016z (2.7) dimana c = kecepatan suara(m/s), T = suhu(°C), S = salinitas (°/oo; i.e., parts per thousand); dan z = kedalaman (m).

(35)

Mackenzie (1981) in Lurton, 2002 memberikan yang lebih panjang, yang mengklaim kesalahan standar 0,07 m / s dan tidak terbatas pada kedalaman di bawah 1.000 m sebagai:

c = 1448.96 + 4.591T – 5.304 x 10-2T2 + 2.374 x 10-4T3 + 1.340 (S – 35) + 1.630 x 10-2z + 1.675 x 10-7z2 – 1.025 x 10-2T (S – 35) – 7.139 x 10-13Tz3 (2.8)

(36)

21   

3. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Akuisisi data lapangan dilaksanakan pada tanggal 23 Juli – 21 Agustus 2010 di daerah Paternoster, Doang, dan Spermonde yang terletak di antara Selat Makassar dan Laut Flores. Lokasi penelitian dan pemetaan Lembar Peta 1909, 1910, 2009 dan 2010 adalah antara koordinat05°00’00’ – 07°00’00” LS dan 117°00’00”–120°00’00” BT. Sebagian besar lokasi mempunyai kedalaman laut lebih dari 500 meter.

Akuisisi data seismik dilaksanakan sepanjang kurang lebih 2300

kilometer, serta contoh sedimen sebanyak 23 contoh. Survei dilaksanakan dalam 2 tahap, yaitu survei pertama tanggal 23 Juli - 5 Agustus 2010 dari Cirebon sampai Makassar dengan survei seismik dan geologi. Survei kedua tanggal 8 Agustus sampai 17 Agustus 2010 dari Makassar sampai Cirebon dengan survei geologi lebih dominan dan dilanjutkan dengan survei seismik.

Sedangkan untuk Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Akustik Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Laut (P3GL) di Bandung.

(37)

Gambar 10. Peta Batimetri Lintasan Spermonde

(38)

  Gambar 11. Peta Lintasan Penelitian

(39)

   

3.2 Perangkat dan Peralatan Penelitian Lapangan

Peralatan yang digunakan dalam survei seismik ini terdiri atas sumber energi udara, pemancar, penerima dan perekam gelombang. Ada pun alat-alat yang digunakan dalam survei adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Daftar alat yang digunakan dalam Survei Spermonde

No Nama Alat Merk/Type Jumlah

A 1 2 3 4 5 B C PERALATAN SEISMIK SUMBER ENERGI:

High Pres. Compressor, 190 SCFM

High Pres. Compressor, 90 SCFM

SUMBER SUARA: Air Gun

Gun Source Control PENERIMA:

Streamer Multy Channel (120 Channel):

a) RUM53 dan Lead-in Cable (75 m)

b) HESE (50 m)

c) ALS (150 m, 12 ch, 12.5 m)

d) TES (50 m)

DigiBird

DigiBird Positioning Control System PEREKAM: PRM HCI CMXL2000 DCXU AXCU PERIPHELAS: Plotter

NAS (Penyimpan data) QC, eSQC-Pro v2.2.10

Communication Seismic Gateway Streamer tester

PERALATAN SOUNDING: Sub Bottom Profilles

PERALATAN SAMPLING DAN WET LAB:

Grabe sampler, Box corer, Gravity corer Water sample,

Timbangan Analitik Mett Oven 1400 Watt LMF LMF Sercel-Sodera/ G-Gun TTS/SC-2008 Sercel/Baby seal Sercel Sercel Sercel Sercel Digicourse/5010 Digicourse Ultra 45/CPU-2x1600 MHz Ultra 25/CPU-650MHz Sercel/408XL Sercel Sercel Isys/V12 SNI IBM Z Pro Dell 755 CMB Syqwest inc./Bathy Saturnus 5000 Memmert 1 2 4 1 1 1 2 11 1 6 1 2 2 1 2 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1

(40)

3.3 Akuisisi Data Seismik

Pendugaan seismik pantul dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan gambaran mengenai keadaan geologi bawah dasar laut dalam bentuk penampang seismik yang bersifat menerus (kontinyu). Metode ini merupakan metode yang dinamis dengan memanfaatkan hasil pantulan gelombang akustik oleh bidang pantul pada bidang batas antara lapisan sedimen yang satu dengan yang lainnya akibat adanya perbedaan densitas dan cepat rambat gelumbang akustik.

Secara umum kegiatan akuisisi data seismik dimulai dengan membuat sumber getar buatan yang berupa ledakan oleh airgun, kemudian mendeteksi sinyal pantulan dengan hydrophone dan merekamnya pada suatu alat perekam. Penelitian ini meggunakan sumber energi suara airgun dengan 3 unit kompresor

LMF yang masing-masing berkekuatan 2 x 90 SCFM dan 1 x 190 SCFM. Selanjutnya,

hasil refleksi dari bidang-bidang pantul akan diterima oleh transducer penerima atau hydrophone. Kedua peralatan tersebut ditarik dibelakang kapal dengan jarak aman sehingga nantinya data yang dihasilkan merupakan refleksi murni dari bidang pantulnya. Selain itu untuk mendapatkan data seismik dengan resolusi tinggi dan mempunyai kualitas yang baik, maka diperlukan peralatan pemrosesan sinyal yang ditempatkan setelah hydrophone dan sebelum unit perekam.

Jarak antar airgun ke arah penarikan adalah 1 meter, dan jarak antar airgun yang berdampingan (parallel cluster) adalah 1 meter (Gambar 12).

(41)

Gambar 12. Konfigurasi dan Susunan Air gun pada Saat Survei

Dalam operasional kegiatan lapangan array airgun tersebut ditarik 50 meter dibelakang kapal, dan jarak airgun terhadap streamer dibelakangnya adalah 140 meter. Selama survei berlangsung, peledakan airgun menggunakan jarak per 25 meter dengan interval waktu yaitu 12.5s, karena kecepatan kapal yang sering berubah-ubah maka pada survei kali ini menggunakan interval jarak. Seharusnya airgun diledakan menggunakan interval waktu dengan asumsi kecepatan kapal konstan. Jarak dari pelampung terhadap Gun berkisar sekitar 3 meter. Untuk pengontrolan peledakan airgun dapat di lakasanakan di Laboratorium Geofisika dengan perangkat lunak TTs Sc 2000. Perangkat lunak ini dijalankan untuk meledakan gun setiap 10 s, 25 s, 50 s antar ledakan. Airgun meledak setiap 25 meter dan kedalaman airgun dari permukaan sebesar 4 meter, panjangnya gun ke kapal sejauh 50 meter.

(42)

Kontrol peledakan airgun dilakukan oleh sebuah Gun Controller yang mengontrol aktifitas kelep (valve) solenoid yang terpasang pada setiap airgun. Solenoid ini memerlukan arus listrik pada tegangan 60 volt yang dibangkitkan oleh Gun Controller (Gambar 14) di Laboratorium Geofisika Geomarin III. Peledakan dilakukan untuk setiap jarak tertentu yang dihitung oleh sistem navigasi kapal (Gambar 13 dan 15).

Gambar 13. Prinsip Kerja Survey Seismik Profil Kontinu

Di dalam kapal

Sistem navigasi Clock

Perekam Seismik

Tanpa Perekam Pemrosesan

Sinyal Unit Trigger Power Supply Muka laut Pulsa Trigger  Pulsa Energi  Transducer Pengirim Transducer Penerima Keluaran  Bunyi Masukan  Bunyi

(43)

 

Gambar 14. Layar Gun Controller untuk memonitor terjadinya ledakan airgun (kanan) dan layar DigiCourse untuk mengatur naik-turunnya Digibird pada streamer (kiri).

Gambar 15. Hubungan Gun Controller, sistim navigasi dan perekam seismik. Shoot control unit mengirim data TTL (RS 232) ke CMXL (Control Module XL pada sistem perekam seismik) dan juga mengatur ledakan airgun. To dibangkitkan oleh shot control unit pada sistim navigasi dan berfungi memicu Gun Controller sedangkan TB adalah time break yang berfungsi memicu perekam seismik untuk memulai perekaman.

Getaran suara dari ledakan yang menembus ke dalam permukaan bumi sebagian akan diteruskan dan sebagian lagi akan dipantulkan kembali oleh reflektor dan diterima oleh hydrophone. Reflektor adalah bidang-bidang antarmuka antar batuan yang mempunyai masa jenis dan cepat rambat suara berbeda. Geonav PC  SHOOT Control  CMXL  TB  To TTL port di 2 dan 8  airgun

(44)

Sinyal yang diterima oleh hidrofon selanjutnya diteruskan ke Lab Geofisika di kapal dengan melewati beberapa tahapan (Gambar 16). RUM 53 LR bertugas memperkuat sinyal yang akan diteruskan ke bagian DXCU (Deck Cable Crossing Unit). DXCU berfungsi menghubungkan streamer (hydrophone) dengan perangkat perangkat elektronik lainnya,seperti CMXL,bird dan acoustic controler. Data dari DXCU dikirim ke CMXL (Control Module XL) .CMXL merupakan perangkat rekaman yang mengirim data ke PRM (Processor Remote Module). CMXL terdiri dari 2 bagian yaitu LCI dan LMP. PRM merupakan alat antar muka antara CMXL dengan alat penyimpan data. PRM menerima data yang berformat de multiplexed IEEE 32 bit dan mengkorvesikannya menjadi SEG-D Format.File SEG-D pertama tama disimpan di SEG-D repository setelah itu baru dikirimkan ke perangkat Quality Control atau Plotter. HCI (Human Computer Interface) merupakan perangkat komputer yang mengatur sistem interaksi operator dengan perangkat keras sistem perekaman. Alat perekam akan menghasilkan data berupa penampang seismik yang tersusun oleh trace-trace seismik.

Gambar 16. Proses Aliran Data dari Alat ke Streamer

Data di streamer  Slip ring di bagian 

sebelah kiri terdapat 

RUM 53 LR untuk 

memperkuat sinyal 

HCI PRM 

AXCU  CMXL 

Deck Cable Crossing 

Unit (DXCU) yang 

membuat akses ke 

(45)

3.4 Metoda Pengolahan Data

Dalam pengolahan data seismik untuk penelitian ini perangkat lunak Promax dan Matlab digunakan untuk mengevaluasi dan menganalisis data serta Seise digunakan untuk melihat tampilan digital data seismik dan mengekstraknya dalam Microsoft Exel. Analisis dilakukan terhadap spektrum frekuensi dari trace-trace seismik yang diolah. Adapun beberapa tahapan pengolahan data seismik sebagai berikut:

Pertama, data seismik dalam bentuk .segy dibuka dalam perangkat lunak Seisee. Seisee akan memunculkan data seismik dalam bentuk digital, kemudian pilihlah trace yang akan diteliti (Gambar 17.a) dan selanjutnya save as dalam bentuk . text file agar dapat dibuka dalam Ms. Exel. Setelah dalam bentuk . text file, kemudian buka Ms. Exel untuk membaca data seismik. Pilih trace pada bagian surface, bottom, dan sub-bottom lalu save as dalam .txt agar ke baca di Matlab (Gambar 17.b), kemudian FFT menggunakan Matlab.

Gambar 17. (a) Pengolahan Data Seismik Menggunakan Software Seise, dan (b) Pengolahan Data Menggunakan Ms. Exel.

Data  Seismik  Buka dalam   Seise  Save as  dalam .text 

Pilih trace yang 

akan diolah

.text file 

Buka dalam 

Mc. Exel 

Pilih trace yang 

akan dianalisis

Surface Bottom  Sub‐

Bottom

(a) 

(46)

Setelah surface, bottom, dan sub-bottom di save as dalam bentuk . txt maka data akan dianalisis terhadap spektrum frekuensinya dengan menggunakan FFT pada perangkat lunak Matlab (Gambar 18) untuk mendapatakan grafik hubungan spektrum frekuensi dengan amplitudo. Spektrum dari ketiga posisi tersebut dibandingkan untuk mendapatkan besaran perubahan intensitas/amplitudo gelombang seismik.

Gambar 18. Pengolahan Data Mengunakan Matlab Dengan Cara FFT

  Data  dalam .txt  Buka   Dalam Matlab  FFT Surface  Dalam .JPG  Bottom  Dalam .JPG  Sub‐Bottom  Dalam .JPG 

(47)

32 4.1 Hasil

Proses pengolahan data sebelum dijadikan dalam bentuk gambar grafik terlebih dahulu mengalami proses prossesing menggunakan perangkat lunak Promax, kemudian hasilnya dalam bentuk data digital dapat dibuka menggunakan perangkat lunak Seisee. Pada perangkat lunak Seisee dapat dilihat data seismik dalam bentuk digital dan dianalisis salah satu trace untuk mengetahui hubungan antara spektrum frekuensi (Hz) dengan amplitudo (dB) pada daerah permukaan, dasar laut, dan dibawah dasar laut dengan cara melakukan analisa FFT pada perangkat lunak Matlab (Gambar 17). Pada Seisee juga dapat melihat pengaruh frekuensi terhadap penetrasi gelombang seismik pada dasar laut dengan

melakukan manipulasi fillter. 4.1.1 Line 14

1) Trace 280

Awal gelombang seismik ditembakkan pada kedalaman 106.5 m atau pada waktu 142 ms dengan besar amplitudo yaitu -0.0139 mV, sedangkan gelombang seismik pertama kali berefleksi dengan dasar perairan pada kedalaman 1524 m atau pada waktu 2032 ms dengan besar amplitudo yaitu -0.1985 mV (Gambar 19a). Gelombang seismik yang menunjukkan amplitudo ekstrim terdapat di selang waktu 7000-8000 ms, yaitu sebesar 1 mV dan -1 mV.

(48)

Gambar 19. (a) Hubungan waktu dengan amplitudo (mV), (b) hubungan spektrum frekuensi trace 280 terhadap ampltudo(dB)

Spektrum frekuensi hasil analisis FFT pada kedalaman 0 ms – 8000 ms. Spektrum frekuensi dominan pada selang frekuensi 15 – 50 Hz dengan amplitudo hingga sebesar 37.17 dB (Gambar 19b). Disebabkan karena adanya pantulan gelombang airgun dengan dasar perairan yang sedimennya solid dan adanya atenuasi energi oleh air laut disepanjang perjalanan gelombang seismik menuju dasar laut hingga diterima oleh hidrofon.

Semakin dalam gelombang seismik merambat ke dasar sedimen maka semakin lemah frekuensi tingginya. Faktor lain yang mempengaruhi amplitudo gelombang akustik yang dipantulkan adalah sudut datang gelombang akustik pada bidang pantul, pengurangan (attenuation) dari gelombang akustik oleh sedimen, kehilangan energi akustik yang disebabkan oleh penyebarannya ke segala arah, serta kehilangan energi akustik yang disebabkan karena penyebarannya oleh bidang-bidang reflektor yang permukaannya tidak teratur.

(a)

(49)

Untuk membuktikan lebih lanjut bahwa gelombang seismik di

permukaan, dasar laut dan dibawah dasar laut berbeda respon frekuensinya maka telah dilakukan analisis FFT pada beberapa kedalaman. Spektrum frekuensi airgun di permukaan pada kedalaman 142-450 ms (106.5-337.5 m) nilai amplitudonya berkisar antara 0.4 mV -0.65 mV. Spektrum tersebut dapat dianggap sebagai spektrum frekuensi awal airgun (Gambar 20a).

Gambar 20. (a) Spektrum frekuensi airgun di permukaan, (b) dasar laut, dan (c) Spektrum frekuensi airgun di bawah dasar laut.

(a)

(b)

(50)

Spektrum frekuensi sinyal seismik pada kedalaman 2000-3650 ms (1500-2737.5 m) rata-rata nilai amplitudonya diatas 0 mV, nilai amplitudo terbesar yaitu 11.5 mV pada selang frekuensi 20-40 Hz, sedangkan nilai amplitudo terendah yaitu -11.17 mV (Gambar 20b). Hal ini disebabkan bahwa gelombang seismik telah mengalami penjalaran panjang dan berefleksi dengan sedimen padat di dasar perairan, sehingga nilai amplitudonya rata-rata diatas 0 mV. Semakin besar frekuensi nilai amplitudonya semakin kecil karena menguatnya atenuasi terhadap frekuensi. Selain itu semakin dalam gelombang seismik merambat ke dasar sedimen maka semakin lemah energinya (Gambar 20b).

Sedangkan pada spektrum frekuensi pada kedalaman 5690-7000 ms (4267.5-5250 m) di bawah dasar laut nilai amplitudonya lebih rendah dari nilai amplitudo di permukaan dasar laut, hal ini disebabkan karena energi yang sudah melemah dikombinasi dengan atenuasi frekuensi tinggi yang menguat, sehingga menyisakan komponen frekuensi rendah.

Dari Gambar 21 dapat diambil frekuensi yang amplitudonya tidak berubah secara signifikan dan konstan untuk melakukan filtering yang berfungsi untuk melihat penetrasi gelombang seismik terhadap dasar perairan yaitu pada selang frekuensi 20-40 Hz dan frekuensi 40-60 Hz. Dari kedua selang frekuensi tersebut yang penetrasi paling dalam yaitu pada selang 20-40 Hz sedalam 3600 ms atau 2700 m (Gambar 21). Hal ini terbukti bahwa gelombang seismik menggunakan frekuensi rendah akan mendapatkan penetrasi yang dalam.

(51)

Gambar 21. Penampang seismik dan posisi trace 280 2) Trace 1367

Trace 1367 berbeda dengan trace 280, dimana pada trace 1367 ini awal gelombang seismik ditembakkan pada kedalaman 112.5 m atau pada waktu 150 ms dengan besar amplitudo yaitu -0.003084 mV, sedangkan gelombang seismik pertama kali berefleksi dengan dasar perairan pada kedalaman 1363.5 m atau pada waktu 1818 ms dengan besar amplitudo yaitu -0.1371 mV (Gambar 22a). Hal ini berbeda karena kedalaman trace 1367 lebih dangkal dari trace 280. Gelombang seismik yang menunjukkan amplitudo ekstrim pada selang waktu 2000-3000 ms dengan besar amplitude 2 mV dan pada selang waktu 7000-8000 ms dengan besar amplitude -1 mV.

(52)

Gambar 22. (a) Hubungan waktu dengan amplitudo (mV), (b)Hubungan spectrum frekuensi trace 1367 terhadap ampltudo(dB)

Spektrum frekuensi hasil analisis FFT pada kedalaman 0 ms – 8000 ms. Spektrum frekuensi dominan pada selang frekuensi 30 – 53 Hz dengan amplitudo hingga sebesar 41.45 dB (Gambar 22b). Disebabkan karena adanya pantulan gelombang airgun dengan dasar perairan yang sedimennya solid dan adanya atenuasi energi oleh air laut disepanjang perjalanan gelombang seismik menuju dasar laut hingga diterima oleh hidrofon.

Semakin dalam gelombang seismik merambat ke dasar sedimen maka semakin lemah frekuensi tingginyanya. Faktor lain yang mempengaruhi

amplitudo gelombang akustik yang dipantulkan adalah sudut datang gelombang akustik pada bidang pantul, pengurangan (attenuation) dari gelombang akustik oleh sedimen, kehilangan energi akustik yang disebabkan oleh penyebarannya ke segala arah, serta kehilangan energi akustik yang disebabkan karena

penyebarannya oleh bidang-bidang reflektor yang permukaannya tidak teratur. Untuk membuktikan lebih lanjut bahwa gelombang seismik di

permukaan, dasar laut dan dibawah dasar laut berbeda respon frekuensinya maka (a)

(53)

telah dilakukan analisis FFT pada beberapa kedalaman. Spektrum frekuensi airgun di permukaan pada kedalaman 150-350 ms (112.5 - 210 m) nilai amplitudonya berkisar antara 0.6 mV - -0.4 mV. Spektrum tersebut dapat dianggap sebagai spektrum frekuensi awal airgun (Gambar 23a).

Gambar 23. (a) Spektrum frekuensi airgun di permukaan, (b) dasar perairan, dan (c) Spektrum frekuensi airgun di sub-buttom profile.

Spektrum frekuensi sinyal seismik pada kedalaman 1980-3000 ms(1485-2250 m) rata-rata nilai amplitudonya diatas 0 mV, nilai amplitudo terbesar yaitu 14 mV pada spektrum frekuensi 40-60 Hz, sedangkan nilai amplitude terendah

(a)

(b)

(54)

yaitu -112.86 mV pada spectrum frekuensi 0 - 20 Hz (Gambar 23b). Hal ini disebabkan bahwa gelombang seismik telah mengalami penjalaran panjang dan berefleksi dengan sedimen padat didasar perairan, sehingga nilai amplitudonya rata-rata diatas 0 mV. Semakin besar frekuensi nilai amplitudonya semakin kecil karena menguatnya atenuasi terhadap frekuensi. Selain itu semakin dalam gelombang seismik merambat ke dasar sedimen maka semakin lemah energinya (Gambar 23b).

Sedangkan spektrum frekuensi pada kedalaman 4220-5450 ms (3165-4087.5 m) di bawah dasar laut nilai amplitudonya tidak berbeda jauh dengan dasar laut (Gambar 23b), hal ini berbeda dengan trace 280 yang nilai amplitudo di bawah dasar lautnya lebih rendah dari dasar laut. Hal ini disebabkan karena energi yang sudah melemah dikombinasi dengan atenuasi frekuensi tinggi yang menguat, sehingga menyisakan komponen frekuensi rendah.

Dari Gambar 24 dapat diambil frekuensi yang amplitudonya tidak berubah secara signifikan dan konstan untuk melakukan filtering yang berfungsi untuk melihat penetrasi gelombang seismik terhadap dasar perairan yaitu pada spektrum frekuensi 20-60 Hz dan spektrum frekuensi 60-80 Hz. Dari kedua selang frekuensi tersebut yang penetrasi paling dalam yaitu pada selang 20-60 Hz sedalam 2900 ms atau 2175 m (Gambar 24). Hal ini terbukti bahwa gelombang seismik

(55)

Gambar 24. Penampang seismik dan posisi trace 1367

3) Trace 2303

Awal gelombang seismik ditembakkan pada kedalaman 112.5 m atau pada waktu 150 ms dengan besar amplitudo yaitu -0.003084 mV, sedangkan

gelombang seismik pertama kali berefleksi dengan dasar perairan pada kedalaman 1363.5 m atau pada waktu 1818 ms dengan besar amplitude yaitu -0.1371 mV (Gambar 25a). Gelombang seismik yang menunjukkan amplitudo ekstrim terdapat di selang waktu 6000-8000 ms, yaitu sebesar 2.34 mV dan -1.8 mV.

Gambar 25. (a) Hubungan waktu dengan amplitudo (mV), (b) Hubungan spektrum frekuensi trace 2303 terhadap ampltudo(dB)

(a)

(56)

Spektrum frekuensi hasil analisis FFT pada kedalaman 0 ms – 8000 ms (Gambar 25b). Spektrum frekuensi dominan pada selang frekuensi 20 – 40 Hz dengan amplitudo hingga sebesar 40 dB. Disebabkan karena adanya pantulan gelombang airgun dengan dasar perairan yang sedimennya solid dan adanya atenuasi energi oleh air laut disepanjang perjalanan gelombang seismik menuju dasar laut hingga diterima oleh hidrofon.

Semakin dalam gelombang seismik merambat ke dasar sedimen maka semakin lemah frekuensi tingginya. Faktor lain yang mempengaruhi amplitudo gelombang akustik yang dipantulkan adalah sudut datang gelombang akustik pada bidang pantul, pengurangan (attenuation) dari gelombang akustik oleh sedimen, kehilangan energi akustik yang disebabkan oleh penyebarannya ke segala arah, serta kehilangan energi akustik yang disebabkan karena penyebarannya oleh bidang-bidang reflektor yang permukaannya tidak teratur.

Untuk membuktikan lebih lanjut bahwa gelombang seismik di

permukaan, dasar laut dan dibawah dasar laut berbeda respon frekuensinya maka telah dilakukan analisis FFT pada beberapa kedalaman. Spektrum frekuensi airgun di permukaan pada kedalaman 150-280 ms (112.5 -210 m) nilai amplitudonya berkisar antara -0.2 mV - -0.3 mV. Spektrum tersebut dapat dianggap sebagai spektrum frekuensi awal airgun (Gambar 26a).

(57)

Gambar 26. (a) Spektrum frekuensi airgun di permukaan, (b) dasar laut, dan (c) Spektrum frekuensi airgun di bawah dasar laut.

Spektrum frekuensi sinyal seismik pada kedalaman 1800 3180 ms (1350 -2385 m) rata-rata nilai amplitudonya diatas 0 mV, nilai amplitudo terbesar yaitu 17.8 mV pada spektrum frekuensi 20-40 Hz, sedangkan nilai amplitude terendah yaitu -17.9 mV pada spectrum frekuensi 10 - 20 Hz (Gambar 26b). Hal ini disebabkan bahwa gelombang seismik telah mengalami penjalaran panjang dan berefleksi dengan sedimen padat didasar perairan, sehingga nilai amplitudonya rata-rata diatas 0 mV. Semakin besar frekuensi nilai amplitudonya semakin kecil

(a)

(b)

(58)

karena menguatnya atenuasi terhadap frekuensi. Selain itu semakin dalam gelombang seismik merambat ke dasar sedimen maka semakin lemah energinya (Gambar 26b).

Sedangkan pada spektrum frekuensi pada kedalaman 5730-7422 ms (4297.5 - 5566.5 m) di bawah dasar laut nilai amplitudonya lebih rendah dari nilai amplitudo di permukaan dasar laut (Gambar 26c), hal ini disebabkan karena energi yang sudah melemah dikombinasi dengan atenuasi frekuensi tinggi yang menguat, sehingga menyisakan komponen frekuensi rendah.

Dari Gambar 27 dapat diambil frekuensi yang amplitudonya tidak berubah secara signifikan dan konstan untuk melakukan filtering yang berfungsi untuk melihat penetrasi gelombang seismic terhadap dasar perairan yaitu pada spektrum frekuensi 20-40 Hz dan spektrum frekuensi 60-90 Hz. Dari kedua selang frekuensi tersebut yang penetrasi paling dalam yaitu pada selang 20-40 Hz sedalam 2900 ms atau 2175 m (Gambar 27). Hal ini terbukti bahwa gelombang seismik

menggunakan frekuensi rendah akan mendapatkan penetrasi yang dalam.

(59)

4) Trace 2905

Awal gelombang seismik ditembakkan pada kedalaman 126 m atau pada waktu 168 ms dengan besar amplitudo yaitu -0.00852 mV, sedangkan gelombang seismik pertama kali berefleksi dengan dasar perairan pada kedalaman 900 m atau pada waktu 1200 ms dengan besar amplitude yaitu -0.00235 mV (Gambar 28a). Gelombang seismik yang menunjukkan amplitudo ekstrim terdapat pada selang waktu 6500-8000 ms, yaitu sebesar 1.2 mV dan -1.6 mV.

Gambar 28. (a) Hubungan waktu dengan amplitudo (mV), (b) hubungan spektrum frekuensi trace 2905 terhadap ampltudo(dB)

Spektrum frekuensi hasil analisis FFT pada kedalaman 0 ms – 8000 ms, dapat dilihat bahwa nilai amplitude pada trace 2905 tidak begitu jauh berbeda nilainya, kemungkinan hal ini karena sedimen atau dasar perairan pada trace 2905 homogen (Gambar 28b). Nilai amplitude terbesar terletak pada sektrum frekuensi 80-90 Hz, yaitu 41.97 dB. Akan tetapi dari keseluruhan data, semakin besar spektrum frekuensi airgun yang digunakan maka nilai amplitudonya semakin kecil. Disebabkan karena adanya pantulan gelombang airgun dengan dasar

(a)

(60)

perairan yang sedimennya solid dan adanya atenuasi energi oleh air laut

disepanjang perjalanan gelombang seismik menuju dasar laut hingga diterima oleh hidrofon.

Semakin dalam gelombang seismik merambat ke dasar sedimen maka semakin lemah frekuensi tingginya. Faktor lain yang mempengaruhi amplitudo gelombang akustik yang dipantulkan adalah sudut datang gelombang akustik pada bidang pantul, pengurangan (attenuation) dari gelombang akustik oleh sedimen, kehilangan energi akustik yang disebabkan oleh penyebarannya ke segala arah, serta kehilangan energi akustik yang disebabkan karena penyebarannya oleh bidang-bidang reflektor yang permukaannya tidak teratur.

Untuk membuktikan lebih lanjut bahwa gelombang seismik di

permukaan, dasar laut dan dibawah dasar laut berbeda respon frekuensinya maka telah dilakukan analisis FFT pada beberapa kedalaman. Spektrum frekuensi airgun di permukaan pada kedalaman 168-360 ms (126 -270 m) nilai amplitudonya berkisar antara 0.4 mV - -0.6 mV. Spektrum tersebut dapat dianggap sebagai spektrum frekuensi awal airgun (Gambar 29a).

(61)

Gambar 29. (a) Spektrum frekuensi airgun di permukaan, (b) dasar laut, dan (c) Spektrum frekuensi airgun di bawah dasar laut.

Spektrum frekuensi sinyal seismik pada kedalaman 1200 -2066 ms(900-1549.5 m) rata-rata nilai amplitudonya diatas 0 mV dengan nilai amplitude terbesar yaitu 13.6 mV pada spektrum frekuensi 20-40 Hz, sedangkan nilai amplitude terendah yaitu -9.4 mV pada spektrum frekuensi 60 -80 Hz (Gambar 29b). Hal ini disebabkan bahwa gelombang seismik telah mengalami penjalaran panjang dan berefleksi dengan sedimen padat didasar perairan, sehingga nilai amplitudonya rata-rata diatas 0 mV. Semakin besar frekuensi nilai amplitudonya semakin kecil karena menguatnya atenuasi terhadap frekuensi. Selain itu semakin

(a)

(b)

(62)

dalam gelombang seismik merambat ke dasar sedimen maka semakin lemah energinya (Gambar 29b).

Sedangkan pada spektrum frekuensi pada kedalaman 2220-3060 ms (1665 - 2295 m) di bawah dasar laut nilai amplitudonya lebih rendah dari nilai amplitudo di permukaan dasar laut (Gambar 29c). Hal ini disebabkan karena energi yang sudah melemah dikombinasi dengan atenuasi frekuensi tinggi yang menguat, sehingga menyisakan komponen frekuensi rendah.

Dari Gambar 30 dapat diambil frekuensi yang amplitudonya tidak berubah secara signifikan dan konstan untuk melakukan filtering yang berfungsi untuk melihat penetrasi gelombang seismik terhadap dasar perairan yaitu pada spektrum frekuensi 20-40 Hz dan spektrum frekuensi 110-140 Hz. Dari kedua selang frekuensi tersebut yang penetrasi paling dalam yaitu pada selang 20-40 Hz sedalam 2100 ms atau 1575 m (Gambar 30). Hal ini terbukti bahwa gelombang seismik menggunakan frekuensi rendah akan mendapatkan penetrasi yang dalam.

(63)

5) Trace 3610

Awal gelombang seismik ditembakkan pada kedalaman 120 m atau pada waktu 160 ms dengan besar amplitudo yaitu -0.00056 mV, sedangkan gelombang seismik pertama kali berefleksi dengan dasar perairan pada kedalaman 540 m atau pada waktu 360 ms dengan besar amplitude yaitu -0.014 mV (Gambar 31a). Gelombang seismik yang menunjukkan amplitudo ekstrim terdapat di selang waktu 7000-8000 ms, yaitu sebesar 3.5 mV dan -2.7 mV.

Gambar 31. (a) Hubungan waktu dengan amplitudo (mV), (b) hubungan spektrum frekuensi trace 3610 terhadap ampltudo(dB) Spektrum frekuensi hasil analisis FFT pada kedalaman 0 ms – 8000 (Gambar 31b). Nilai amplitude terbesar terletak pada sektrum frekuensi 20-40 Hz, yaitu 51.98 dB. Trace 3610 merupakan trace dengan kedalaman yang paling dangkal dari 4 trace sebelumnya dengan kedalaman 540 m, semakin besar spektrum frekuensi airgun yang digunakan maka nilai amplitudonya semakin kecil. Hal ini disebabkan karena adanya pantulan gelombang airgun dengan dasar perairan yang sedimennya solid dan adanya atenuasi energi oleh air laut

(a)

(64)

disepanjang perjalanan gelombang seismik menuju dasar laut hingga diterima oleh hidrofon.

Semakin dalam gelombang seismik merambat ke dasar sedimen maka semakin lemah frekuensi tingginya. Faktor lain yang mempengaruhi amplitudo gelombang akustik yang dipantulkan adalah sudut datang gelombang akustik pada bidang pantul, pengurangan (attenuation) dari gelombang akustik oleh sedimen, kehilangan energi akustik yang disebabkan oleh penyebarannya ke segala arah, serta kehilangan energi akustik yang disebabkan karena penyebarannya oleh bidang-bidang reflektor yang permukaannya tidak teratur.

Untuk membuktikan lebih lanjut bahwa gelombang seismik di

permukaan, dasar laut dan dibawah dasar laut berbeda respon frekuensinya maka telah dilakukan analisis FFT pada beberapa kedalaman. Spektrum frekuensi airgun di permukaan pada kedalaman 160-260 ms (120 -195 m) nilai

amplitudonya berkisar antara 0.3 mV - -0.2 mV (Gambar 32a). Spektrum tersebut dapat dianggap sebagai spektrum frekuensi awal airgun.

(65)

Gambar 32. (a) Spektrum frekuensi airgun di permukaan, (b) dasar laut, dan (c) Spektrum frekuensi airgun di bawah dasr laut.

Spektrum frekuensi sinyal seismik pada kedalaman 350-830 ms (262.5-622.5 m) rata-rata nilai amplitudonya diatas 0 mV dengan nilai amplitude terbesar yaitu 6.6 mV pada spektrum frekuensi 40 - 60 Hz, sedangkan nilai amplitude terendah yaitu -8.6 mV pada spectrum frekuensi 60 - 80 Hz (Gambar 32b). Hal ini disebabkan bahwa gelombang seismik telah mengalami penjalaran panjang dan berefleksi dengan sedimen padat didasar perairan, sehingga nilai amplitudonya rata-rata diatas 0 mV. Semakin besar frekuensi nilai amplitudonya semakin kecil

(a)

(b)

(66)

karena menguatnya atenuasi terhadap frekuensi. Selain itu semakin dalam gelombang seismik merambat ke dasar sedimen maka semakin lemah energinya (Gambar 32b).

Sedangkan pada spektrum frekuensi pada kedalaman 4150-4930 ms (3112.5 – 3697.5 m) di bawah dasar laut nilai amplitudonya lebih rendah dari nilai amplitudo di permukaan dasar laut (Gambar 32c). Hal ini disebabkan karena energi yang sudah melemah dikombinasi dengan atenuasi frekuensi tinggi yang menguat, sehingga menyisakan komponen frekuensi rendah.

Dari Gambar 33 dapat diambil frekuensi yang amplitudonya tidak berubah secara signifikan dan konstan untuk melakukan filtering yang berfungsi untuk melihat penetrasi gelombang seismic terhadap dasar perairan yaitu pada spektrum frekuensi 50-70 Hz dan spektrum frekuensi 80-100 Hz. Dari kedua selang

frekuensi tersebut yang penetrasi paling dalam yaitu pada selang 20-40 Hz sedalam 500 ms atau 375 m (Gambar 33). Hal ini terbukti bahwa gelombang seismik menggunakan frekuensi rendah akan mendapatkan penetrasi yang dalam.

Gambar

Gambar 2. Geometri Penjalaran Gelombang Pantul untuk Penurunan  Hukum Snellius (Sumber : Bidang Geofisika Kelautan-PPGL,  1999)
Gambar 4. Sudut Kritis Ray Path. Sinyal menempuh jarak L pada medium 2              dengan kecepatan suara c 2
Gambar 8. Macam-Macam Multipel (Sumber: Ensiklopedia     Seismik, 2007-2008)  
Gambar 10. Peta Batimetri Lintasan Spermonde
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hikayat adalah salah satu bentuk sastra prosa, terutama dalam Bahasa Melayu yang berisikan tentang kisah, cerita, dan dongeng.. Umumnya mengisahkan tentang

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “ANALISIS MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER DI

Berdasarkan uraian diatas, akan dilakukan perancangan dan simulasi reaktor tangki alir berpengaduk atau juga sering disebut CSTR pada kondisi non adiabatis untuk reaksi

Pedoman pergudangan ini diharapkan dapat bermanfaat dan membantu dalam penerimaan dan penanganan, penyimpanan, pemeliharaan, pendistribusian dan pengendalian logistik

Oleh karena itu, untuk mengimbangi tingkat risiko yang tinggi, maka pihak manajemen akan melakukan perataan laba agar dapat menarik minat investor untuk berinvestasi,

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik peserta didik yang lebih baik antara yang pembelajarannya

Dalam Kamus Hukum, Martin Basiang memberi pe ngertian demokrasi sebagai “bentuk dari suatu pemerintahan, pandangan hidup dan filosofi publik; suatu negara

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan memberi