• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan daerah rawan bencana alam, seperti gempabumi, tsunami, letusan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan daerah rawan bencana alam, seperti gempabumi, tsunami, letusan"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan daerah rawan bencana alam, seperti gempabumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor dan kekeringan yang sering mengancam bangsa Indonesia. Bencana alam tersebut telah menimbulkan masalah tersendiri bagi masyarakat yang mendiami daerah-daerah rawan bencana karena selain menimbulkan kerugian harta benda, perkebunan dan perumahan yang telah menimbulkan permasalahan baru yang bersifat kompleks bagi masyarakat dan pemerintah. Di Indonesia, banjir adalah sebuah bencana alam yang mudah terjadi. Hal ini karena letak Indonesia pada daerah tropis yang memungkinkan curah hujan yang tinggi setiap tahunnya. Hal ini dipengaruhi oleh tekanan rendah di perairan utara Australia dan Samudera Pasifik. Kondisi ini mempengaruhi pembentukan daerah pertemuan angin yang memanjang di Laut Jawa serta dari Laut Banda hingga Laut Arafuru.

Papua yang terletak di Indonesia bagian timur memiliki dua tipe curah hujan berdasarkan klasifikasi tipe hujan dalam konteks BMI. Berdasarkan letaknya secara geografis, Papua berada di sebelah barat samudra Pasifik, sehingga osilasi iklim di Pasifik kemungkinan memiliki hubungan yang erat dengan variabilitas iklim di Papua. Rouw, dkk (2013) mengklasifikasikan curah hujan di Papua dalam 3 tipe, yaitu tipe hujan monsunal, tipe hujan ekuator dan tipe hujan lokal. Tipe hujan monsunal, seperti di Merauke, Jayapura, Jayawijaya, Wasior, Kaimana, dan Manokwari. Tipe Equator, seperti di Asmat, Kiwirok (Pegunungan Bintang), Nabire dan Enarotali. Tipe hujan lokal, seperti di Timika dan Sorong.

Papua terletak di sebelah selatan garis khatulistiwa, namun dikarenakan daerahnya yang bergunung-gunung maka iklim di Papua sangat bervariasi melebihi daerah Indonesia lainnya.

(2)

2

Di pesisir barat dan utara beriklim tropis basah dengan curag hujan rata-rata berkisar antara 1.500-7.500 mm pertahun. Curah hujan tertinggi terjadi di pesisir pantai utara dan di pegunungan tengah, sedangkan curah hujan terendah terjadi di pantai selatan. Hal tersebut diikuti dengan suhu udara yang bervariasi sejalan dengan bertambahnya ketinggian. Untuk setiap kenaikan ketinggian 100 m (900 feet), maka suhu rata-rata akan menurun 0,6º C.

Kondisi cuaca di udara Papua memang terbilang ekstrim karena sering berubah-ubah. Tingginya curah hujan di Provinsi Papua disebabkan karena perubahan arah angin di bagian utara Samudera Pasifik yang memicu percepatan pembentukan awan, karena kondisi topografi Provinsi Papua yang berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik, serta arah angin dari laut Filipina menjadi salah satu penyebab perubahan cuaca seperti pembentukan awan dan hujan yang terjadi begitu cepat sehingga sulit diprediksi.

Kabupaten Jayawijaya beribukota di Kota Wamena, merupakan daerah yang berada di barisan pegunungan tengah Papua. Kabupaten Jayawijya memiliki topografi dan kontur tanah yang bervariasi dan menyimpan air permukaan yang sangat potensial dan berada di hamparan Lembah Baliem, yaitu sebuah lembah aluvial yang terbentang pada areal ketinggian 1.650 m di atas permukaan laut, yang memiliki daratan seluas 13.925,31 km2 dan jumlah penduduk 203.085 jiwa (Data BPS 2014), yang tersebar di 40 Distrik, 4 Kelurahan dan 328 Kampung. Temperatur udara bervariasi antara 14,5 derajat Celcius sampai dengan 24,5 derajat Celcius. Di Kabupaten Jayawijaya, musim kemarau dan musim penghujan sulit dibedakan, namun berdasarkan data bahwa bulan Maret dan April adalah bulan dengan curah hujan terbesar dengan 26 hari hujan, sedangkan curah hujan terendah ditemukan pada bulan Juli. Dalam setahun rata-rata curah hujan adalah 1.900 mm dan dalam sebulan terdapat kurang lebih 16 hari hujan. (Data BMKG 2006-2016, Kabupaten Jayawijaya).

Kabupaten Jayawijaya merupakan daerah pegunungan, namun memiliki sebuah dataran rendah yang luas yang dinamakan Lembah Baliem dan sebagian besar wilayahnya dialiri oleh

(3)

3

Sungai Baliem. Lembah Baliem sangat sempit dan berombak sehingga terbilang rawan bencana alam dan tidak luput dari bencana banjir. Kabupaten Jayawijaya merupakan daerah kemiringan dengan klasifikasi sangat curam lebih dari 40 persen, juga merupakan daerah rawan terhadap bencana sedangkan sisanya merupakan daerah datar dan landai (lembah) yang cukup potensial sebagai lahan usaha pertanian dan pemukiman. Wilayah yang relatif datar yaitu sebesar (0-8%) dan merupakan pusat kegiatan pertanian penduduk adalah wilayah DAS Baliem.

Pada daerah pinggiran sungai baliem terdapat kawasan rawa-rawa. Kawasan ini rawan dan mudah banjir. Kawasan rawa ini dimanfaatkan masyarakat untuk melepas hewan peliharaan babi. Tumbuhan yang mendominasi adalah Pragmites karka dan Echinochloa

colona. Untuk selanjutnya, lahan ini baik untuk daerah persawahan bagi para masyarakat

lembah Baliem. Jika daerah aliran sungai ini benar-benar dimanfaatkan oleh masyarakat maka dalam 10-20 tahun ke depan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Selain dapat dimanfaatkan sebagai tempat pariwisata, sungai ini dapat dimanfaatkan bagi perikanan, pertanian dan perkebunan masyarakat lembah Baliem.

Sungai–sungai di Kabupaten Jayawijaya termasuk jenis sungai gletsier, dengan pola sungai yang deras airnya di mana pola sungai seperti ini dapat mengakibatkan pengikisan tanah sepanjang alur sungai, proses sedimentasi dan banjir sepanjang cakupan sungai. Pola aliran air permukaan trellis dan sub dendritik dan alirannya ada yang interminfent dan permanen mengalir sepanjang tahun dan pada umumnya bermuara ke wilayah selatan Papua. Sungai Baliem terlihat tenang, namun sangat deras di dasarnya dengan substrat lumpur yang padat. Pada daerah aliran sungai baliem ditemukan jenis hewan yang memiliki manfaat bagi masyarakat lokal sebagai bahan pangan yang memiliki kandungan gizi tinggi, bahkan di dalam kehidupan sosiokultural masyarakat Lembah Baliem merupakan salah satu jenis hewan yang memiliki nilai adat tinggi seperti halnya babi dan ubi jalar. (LIPI, 2014)

(4)

4

Banjir di Wamena tidak disebabkan oleh faktor alam namun juga diakibatkan oleh faktor manusia. Faktor alam yang mempengaruhi terjadi banjir adalah curah hujan, topografi dan wilayahnya. Sedangkan faktor manusia diakibatkan dari aktifitas yaitu adanya perubahan alih fungsi lahan yang terjadi di daerah sekitar DAS yang semula sebagai daerah resapan air berubah menjadi kawasan perkebunan, pemukiman, dan lahan kosong akibat penebangan kayu yang tidak terbatas yang menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya banjir.

Selain itu, tekanan kebutuhan ekonomi yang tinggi mendorong masyarakat melakukan penangkapan hewan jenis Cherax spp yang ditemukan di Sungai Baliem. Hewan Cherax spp menyukai substrat lumpur, karena ternyata lumpur berfungsi sebagai tempat bernaung (shelter). Dalam bahasa sehari-sehari di Wamena hewan ini disebut dengan udang selingkuh (lobster air tawar). Namun, karena adanya penangkapan udang tersebut secara terus menerus sehingga semakin berkurang jumlah udang di sungai yang menyebabkan lumpur di dasar sungai menjadi padat. Udang ini sangat bermanfaat bagi sungai, karena dapat membuka jalannya air di dasar sungai. Ketika turun hujan dan semakin tinggi debit air, maka air tidak mampu mengalir karena lumpur yang padat di dasar sungai, sehingga menyebabkan air meluap ke sekitar bantaran sungai dan menyebabkan banjir. Hal ini diyakini sebagai salah satu penyebab air sungai yang meluap dan mengakibatkan banjir (sumber: hasil observasi lapangan,2017).

Berdasarkan hasil survey di lapangan, banjir yang terjadi di Kabupaten, merupakan banjir tahunan, yang terjadi pada Bulan Februari hingga Bulan April dan juga pada Bulan September hingga Bulan Desember. Pada tanggal 10 Februari – 23 Februari 2013 telah terjadi bencana banjir yang menerjang beberapa distrik di Kabupaten Jayawijaya, yaitu Distrik Bolakme, Distrik Wolo, Distrik Yalengga, Distrik Assologaima, Distrk Kurulu, Distrik Musatfak, Distrik Witawaya, Distrik Hubikosi, Distrik Hubikiak, Distrik Wesaput, Distrik Walelagama, Distrik Assolokobal dan Distrik Assotipo. Adapun dampak banjir yakni 222

(5)

5

rumah yang rusak , 2.281 bedeng perkebunan rusak serta kerusakan beberapa jembatan, kantor distrik dan kantor desa serta tempat ibadah dan sekolah ( Data Rekapitulasi Kerusakan Banjir 2013, Dinas Sosial Kabupaten Jayawijaya)

Berdasarkan uraian tersebut, maka diperlukan suatu studi sebagai usaha untuk mengetahui dampak yang diakibatkan oleh banjir, mengetahui tingkat kerentanan banjir serta mengetahui strategi mitigasi dan adaptasi oleh masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi bencana banjir di Kabupaten Jayawijaya.

Berdasarkan data yang diperoleh, sejak tahun 2013 pemerintah telah melakukan beberapa kegiatan dan memberikan distribusi bantuan kesejahteraan sosial bagi masyarakat korban banjir yang dilakukan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, melalui program pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial, yaitu penanganan masalah-masalah strategis yang menyangkut tanggap cepat darurat dan kejadian luarbiasa (Sumber : Dinas Sosial Kabupaten Jayawijaya, 2013)

Berdasarkan hasil penelitian, bahwa banjir tahunan yang sering terjadi, mendorong kesadaran adanya upaya dan strategi adaptasi yang dilakukan masyarakat yaitu membuat saluran-saluran air di setiap bedeng dan menimbun tanah di sekitar kebun serta membuat rumah/honai berbentuk panggung serta menyiapkan beberapa perahu untuk menjadi transportasi ketika saat banjir.

(6)

6 Berikutnya dapat dilihat pada tabel 1.1 di bawah ini :

Tabel 1.1 Karakteristik Sungai Baliem

No Karakteristik Sungai DAS Baliem

1 Pola aliran sungai Trellis, sub dendritik

2 Panjang sungai 80 Km

3 Lebar sungai 15-20 Meter

4 Temperature rata-rata tahunan 19,5 C

5 Suhu 14-18 C

6 PH (Tingkat keasaman air) 6,8 - 7,5

7 Oksigen 4,1- 4,3 mg/L

8 Kecerahan 17 - 160 cm

9 Alkalinitas 56,27 mg/L CaCO3

10 Kedalaman air 2 - 15 m

11 Kecepatan Arus/detik 0,09 - 0,92 m/detik 12 Debit Air Sungai * 104,25 m3 /detik Sumber : Hasil penelitian Kusmini, dkk : Keanekaragaman Hayati Cherax spp dan Habitatnya di Sungai Baliem (Jayawijaya) 2012 Keterangan : * (Debit air sungai, hasil perhitungan di lapangan, 2017)

Tabel 1.1 menunjukan bahwa tingkat keasaman air ini baik untuk pertumbuhan organisme air seperti ikan, kandungan oksigennya relative cukup untuk kehidupan air. Untuk kadar alkalinitasnya masih tergolong baik karena masih berada dibawah angka 500 mg/L CaCO3.

Kabupaten Jayawijaya memiliki banyak sungai-sungai kecil dari beberapa mata air yang keluar di bawah kaki gunung dan hasil hujan yang berkepanjangan. Berdasarkan sumber air, Sungai Baliem merupakan sungai campuran, yang berasal dari beberapa mata air, yaitu mata air di Kampung Tiom dan Kampung Makki (sekarang Kabupaten Lanny Jaya), mata air

(7)

7

dari Karubaga (sekarang Kabupaten Mamberamo Tengah), mata air dari Kabupaten Nduga (sebelah barat Kabupaten Jayawijaya), mata air dari Distrik Walaik dan Distrik Walesi ( Kabupaten Jayawijaya serta beberapa mata air yang berasal dari bawah kaki-kaki gunung di daerah Lembah Baliem.

Sungai dari Kabupaten Lanni Jaya bergabung dengan Sungai Toli (Kabupaten Mamberamo tengah) mengalir melewati Distrik Tagineri, Distrik Piramid dan Distrik Yalengga menuju Distrik Silokarnodoga dan bergabung dengan beberapa sungai kecil, seperti Sungai Elkora, Sumpaima, Isaima yang mengalir melewati Distrik Musatfak, Distrik Libarek, Distrik Witawaya dan Distrik Kurulu. Sungai-sungai kecil ini mengalir melewati rawa –rawa (Hisakuba : sebutan masyarakat Baliem) berkumpul di suatu muara kecil , yaitu Muara Weligi di Distrik Kurulu. Dari muara weligi ini, semua sungai mengalir ke Sungai Baliem di Distrik Witawaya dan bermuara ke arah selatan di Kampung Wesaput dan Distrik Pesugi.

Selain itu, adapun sungai Uwe yang mengalir dari Distrik Napua melewati Sinakma dan Distrik Wouma juga bermuara ke Sungai Baliem di Distrik Maima, dan juga sungai dari Walesi yang mengalir melewati Distrik Assotipo bermuara ke Sungai Baliem di Distrik Maima. Sungai Baliem mengalir melewati Distrik Maima, Distrik Assolokobal, Distrik Assotipo menuju Kabupaten Yahukimo (sebelah selatan Kabupaten Jayawijaya).

Jadi dapat dikatakan bahwa Sungai Baliem adalah sungai besar yang mengalir di tengah Lembah Baliem di Kabupaten Jayawijaya, yang merupakan hasil penggabungan sungai-sungai kecil dan sungai-sungai-sungai-sungai besar antar kabupaten yang mengalir ke arah selatan melewati Kabupaten Jayawijaya.

Bentang alam Kabupaten Jayawijaya sangat bervariasi, yang terdiri dari areal pedataran, perbukitan dan pegunungan dengan kelerengan beragam, mulai 0% sampai lebih dari 40%. Oleh karena itu, daerah ini sangat rawan terhadap bencana longsor dan banjir, namun daerah datar dan landai (lembah baliem) sangat potensial sebagai lahan usaha pertanian lahan basah,

(8)

8

lahan kering, perkebunan dan pemukiman. Wilayah yang relatif datar yaitu sebesar (0-8%) dan merupakan pusat kegiatan pertanian penduduk adalah wilayah DAS Baliem yang sangat rentan terhadap banjir setiap tahunnya.

Jenis tanah di Kabupaten Jayawijaya terdiri dari sebagian besar jenis tanah alluvial, litosol, podsolik, dan batu karang metamorfik (filit, kuartit, chrit). Penyebaran jenis tanah di daerah lembah terdapat jenis tanah alluvial. Jenis tanah ini ditandai oleh kadar zat organik yang rendah, kejenuhan basah sedang sampai tinggi dengan daya absorbsi besar, permeabilitas rendah, sedangkan kepekaan tanah terhadap erosi sangat kecil. Penggunaan tanah yang berada di lembah yang datar untuk pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan dan pariwisata. Di daerah perbukitan terdapat jenis tanah litosol. Jenis tanah ini ditandai oleh sifat keasaman, kandungan zat organik kejenuhan basa, daya absorbsi, permeabilitas dan kandungan unsur haranya sangat bervariasi serta kepekaan terhadap erosi besar. Penggunaannya untuk pertanian lahan kering, perkebunan masyarakat. Di daerah dataran tinggi umumnya terdapat jenis podsolik coklat. Jenis tanah ini ditandai oleh keasaman tanah bervariasi antara agak asam di bagian atas dan makin kebawah basah. Bahan organiknya rendah, kejenuhan basah tinggi serta kepekaan terhadap erosi tinggi.

(9)

9

(10)

10

Pengembangan wilayah dan pembangunan di Wamena berjalan sangat lambat dibandingkan kota-kota pelabuhan lainnya di Papua. Kabupaten Jayawijaya berada pada ketinggian 1600 Mdpl, sehingga wilayah ini tidak dapat dihubungkan oleh jalur laut dan hanya dapat dihubungkan melalui jalur udara, yaitu Wamena yang memiliki satu lapangan terbang utnuk menghubungkan wilayah Wamena dengan Jayapura dan kota besar lainnya di Papua. Wamena juga merupakan kota terbesar yang terletak di pedalaman tengah Papua, yang merupakan jantung dari beberapa kabupaten baru yang mengalami pemekaran, dari bekas distrik yang dahulu termasuk dalam Kabupaten Jayawijaya, yaitu Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Yalimo, Yahukimo, Tolikara.

Oleh karena itu, Kabupaten Jayawijaya dipilih sebagai daerah penelitian karena merupakan pusat kawasan strategis dalam mendukung pembangunan dan pengembangan wilayah pemekaran kabupaten lainnya di Pegunungan Tengah Papua.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi permasalahannya dalam penelitian ini dijabarkan melalui pertanyaan penelitian :

1) Bagaimana memetakan daerah rawan banjir di Kabupaten Jayawijaya ?

2) Apa dampak-dampak banjir terhadap aspek fisik, sosial, ekonomi pada masyarakat di Kabupaten Jayawijaya ?

3) Bagaimana peran serta pemerintah dalam menghadapi dampak banjir di Kabupaten Jayawijaya?

4) Bagaimana strategi mitigasi dan adaptasi masyarakat Jayawijaya dalam menghadapi dampak banjir di Kabupaten Jayawijaya ?

(11)

11 1.3 Tujuan Penelitian

1) Memetakan daerah rawan banjir di Kabupaten Jayawijaya

2) Mengkaji dampak-dampak banjir terhadap aspek fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan pada masyarakat di Kabupaten Jayawijaya.

3) Mengkaji peran pemerintah dalam menghadapi dampak banjir di Kabupaten Jayawijaya. 4) Mengetahui strategi mitigasi dan adaptasi masyarakat dalam menghadapi dampak banjir di

Kabupaten Jayawijya. 1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan agar pihak – pihak yang berkepentingan dapat memperoleh data tentang dampak sosial dan ekonomi pasca banjir serta mengetahui program keberlanjutan pembangunan untuk memulihkan lingkungan sosial dan ekonomi masyarakat

Oleh karena itu manfaat yang dapat diperoleh antara lain :

1) Bagi masyarakat : memberikan alternatif informasi bagi pentingnya partisipasi masyarakat dalam menjaga dan melestarikan alam sehingga meminimalisir dampak-dampak banjir serta mempertahankan nilai- nilai kearifan lokal sebagai pola mitigasi dan adaptasi terhadap banjir.

2) Bagi pemerintah : sebagai informasi untuk mendorong perhatian pemerintah terhadap dampak-dampak banjir serta dapat memberikan acuan bagi pemangku kebijakan dalam upaya penanggulangan banjir di Kabupaten Jayawijaya

3) Bagi ilmu pengetahuan : sebagai masukan untuk pengembangan kajian ilmiah maupun studi lanjutan tentang dampak banjir terhadap beberapa aspek penting dalam masyarakat serta kajian mitigasi dan adaptasi.

(12)

12 1.5 Keaslian Penelitian

Beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yang juga mengangkat tema strategi adaptasi masyarakat, yaitu :

1) Berdasarkan penelitian terdahulu oleh Osmar (2012) : ‘’Adaptasi Penduduk Kampung Melayu Jakarta terhadap Banjir Tahunan’’ bahwa banjir tahunan yang terjadi di disebabkan oleh luapan sungai dan naiknya permukaan air laut karena letak Jakarta yang berada di pesisir Pulau Jawa, dilalui oleh 13 aliran sungai di daratannya dan merupakan wilayah endapan yang rendah serta berbatasan langsung dengan Perbedaan letak geografis ini merupakan salah satu perbedaan mendasar dari penelitian sebelumnya, yaitu Kabupaten Jayawijaya merupakan lokasi penelitian yang berada pada ketinggian 1.650 di atas permukaan air laut dan berada di antara barisan pegunungan tengah Papua dan di keliling oleh dikelilingi oleh bukit dan tebing. Dapat dikatakan bahwa banjir tahunan yang terjadi di Kabupaten Jayawijaya tidak berkaikan dengan permukaan air laut dan endapan, karena lokasi penelitian ini dikelilingi oleh Pegunungan Jayawijaya yang terkenal karena puncak-puncak salju abadinya, antara lain: Puncak Trikora (4.750 m), Puncak Mandala (4.700 m) dan Puncak Yamin (4.595 m). Adapun Kabupaten Jayawijaya merupakan hamparan lembah yang luas, yang di sebut Lembah Baliem dan memiliki banyak mata air sehingga membentuk banyak aliran dan sungai-sungai kecil yang bergabung menjadi Sungai Baliem yang mengalir di sepanjang Lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya. 2) Berdasarkan penelitian terdahulu oleh Tarigan (2015) : “Strategi Adaptasi Dan

Mitigasi Bencana Banjir Pada Masyarakat Di Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun” Bahwa banjir yang terjadi disebabkan juga oleh luapan air sungai, karena penduduk yang bermukim dekat dengan bibir Sungai Deli, sehingga tidak terlepas

(13)

13

dari dampak aktifitas masyarakat dalam mencemari sungai dengan sampah ruah tangga. Hal inilah yang merupakan perbedaan penting dalam penelitian saat ini karena Masyarakat Jayawijaya memiliki adat istiadat dan kepercayaan bahwa Sungai Baliem merupakan ‘ibu’ yang ‘menyusui’ yaitu memberikan penghidupan bagi masyarakat, sehingga Sungai Baliem dianggap sakral dan penting. Oleh karena itu, masyarakat tidak membuang sampah di sekitar sungai dan sangat menjaga kebersihan Sungai, sehingga masalah sampah bukanlah salah satu penyebab bencana banjir di Kabupaten Jayawijaya.

Peneliti / Tahun

Judul Tujuan Metode/Analisa

Data Hasil Azhar (2014) Strategi adaptasi masyarakat kampung Jogoyudan Yogyakarta terhadap bencana lahar dingin merapi 2010 1. Mendeskripsikan strategi adaptasi masyarakat pada kasus bencana banjir lahar dingin di Kampung Jogoyudan 2. Menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan strategi adaptasi terseut 1. Menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus 2. Observasi Partisipatif 3. Wawancara mendalam 1. Mengurangi atau menghilangkan tekanan lingkungan akibat bencana 2. Modal sosial diidentifikasi sebagai faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan antara penemuan lapangan dengan teori Tarigan (2015) Strategi adaptasi dan mitigasi bencana banjir pada masyarakat di Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun 1. Mengetahui persepsi masyarakat tentang erosi pantai di Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan

2. Mendiskripsikan dampak sosial, ekonomi dan budaya akibat erosi pantai di Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan 3. Menjelaskan cara adaptasi masyarakat dalam pengurangan risiko dampak erosi pantai di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan 1. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam 2. Wawancara dengan metode FGD (Forum Group Discussion) 1. Masyarakat sadar tentang kejadian tersebut. Erosi pantai tersebut mengakibatkan hilangnya lahan pemukiman dan lahan tambak, kerusakan bangunan, kehilangan mata pencaharian dan kehilangan rasa aman. 2. Bentuk adaptasi dilakukan oleh masyarakat yaitu pembangunan rumah panggung, pembuatan pagar sementara dari bambu, dan sebagai melakukan adptasi dengan bersifat reaksioner. Tabel 1.2 Tabel Keaslian Penelitian

(14)

14 1.6 Tinjauan Pustaka

1.6.1 Konsep Banjir

Banjir adalah aliran yang melimpas tanggul alam atau tanggul buatan dari suatu sungai (Soewarno, 1996 dalam Suhandini, 2011). Banjir sering terjadi saat musim hujan, terutama ketiak curah hujan tinggi. Banjir merupakan genangan air, meliputi daerah yang cukup luas karena sungai tidak mampu lagi menampungnya.

Selain itu, banjir karena ulah manusia disebabkan oleh kepatan penduduk dan jaringan drainase yang buruk (Sinaro, 1984 dalam Suhandini, 2011), dan juga bisa disebabkan oleh perubahan tataguna lahan, pembangunan permukiman dan kegiatan-kegiatan lain di dataran banjir (Suprayogi dan Marfai, 2005 dalam Suhandini, 2011).

Banjir yang terus berlangsung di Indonesia disebabkan oleh empat hal yaitu faktor hujan yang lebat, penurunan resistensi DAS terhadap banjir, kesalahan pembangunan alur sungai dan pendangkalan sungai. Faktor hujan merupakan faktor alami yang dapat menyebabkan banjir namun faktor ini tidak selamanya menyebabkan banjir karena tergantung besar intensitasnya. Banjir merupakan fenomena alam yang merupakan bagian dari siklus iklim. Bahwa kemudian banjir menciptakan petaka bagi manusia adalah akibat dari intervensi manusia terhadap alam (Kusumaatmadja, 2004 dalam Suhandini, 2011).

Banjir adalah tergenangnya daratan oleh air yang meluap dari tempat-tempat penampungan air di bumi. Banyaknya air yang masuk ke penampungan melebihi kapasitas (daya tampungnya) sehingga air meluap. Luapan air dari penampungan juga melebihi daya serap setiap daratan air tidak dapat lagi terserap ke dalam tanah, akibatnya, air menggenangi daratan dalam waktu tertentu yang tidak terlalu lama.

Dalam cakupan pembicaraan yang luas, kita bisa melihat banjir sebagai suatu bagian dari siklus hidrologi, yaitu pada bagian air di permukaan Bumi yang bergerak ke laut. Dalam

(15)

15

siklus hidrologi kita dapat melihat bahwa volume air yang mengalir di permukaan Bumi dominan ditentukan oleh tingkat curah hujan, dan tingkat peresapan air ke dalam tanah.

Aliran Permukaan = Curah Hujan – (Resapan ke dalam tanah + Penguapan ke udara) Air hujan sampai di permukaan bumi dan mengalir di permukaan bumi, bergerak menuju ke laut dengan membentuk alur-alur sungai. Alur-alur sungai ini di mulai di daerah yang tertinggi di suatu kawasan, bisa daerah pegunungan, gunung atau perbukitan, dan berakhir di tepi pantai ketika aliran air masuk ke laut.

Secara sederhana, segmen aliran sungai itu dapat kita bedakan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir.

1. Daerah hulu: terdapat di daerah pegunungan, gunung atau perbukitan. Lembah sungai sempit dan potongan melintangnya berbentuk huruf “V”. Di dalam alur sungai banyak batu yang berukuran besar (bongkah) dari runtuhan tebing, dan aliran air sungai mengalir di sela-sela batu-batu tersebut. Air sungai relatif sedikit. Tebing sungai sangat tinggi. Terjadi erosi pada arah vertikal yang dominan oleh aliran air sungai.

2. Daerah tengah: umumnya merupakan daerah kaki pegunungan, kaki gunung atau kaki bukit. Alur sungai melebar dan potongan melintangnya berbentuk huruf “U”. Tebing sungai tinggi. Terjadi erosi pada arah horizontal, mengerosi batuan induk. Dasar alur sungai melebar, dan di dasar alur sungai terdapat endapan sungai yang berukuran butir kasar. Bila debit air meningkat, aliran air dapat naik dan menutupi endapan sungai yang di dalam alur, tetapi air sungai tidak melewati tebing sungai dan keluar dari alur sungai.

3. Daerah hilir: umumnya merupakan daerah dataran. Alur sungai lebar dan bisa sangat lebar dengan tebing sungai yang relatif sangat rendah dibandingkan lebar alur. Alur sungai dapat berkelok-kelok seperti huruf “S” yang dikenal sebagai “meander”. Di kiri dan kanan alur terdapat dataran yang secara teratur akan tergenang oleh air sungai yang meluap, sehingga dikenal sebagai “dataran banjir”. Di segmen ini terjadi pengendapan di kiri dan

(16)

16

kanan alur sungai pada saat banjir yang menghasilkan dataran banjir. Terjadi erosi horizontal yang mengerosi endapan sungai itu sendiri yang diendapkan sebelumnya.

Dari karakter segmen-segmen aliran sungai itu, maka dapat dikatakan bahwa :

1. Banjir merupakan bagian proses pembentukan daratan oleh aliran sungai. Dengan banjir, sedimen diendapkan di atas daratan. Bila muatan sedimen sangat banyak, maka pembentukan daratan juga terjadi di laut di depan muara sungai yang dikenal sebagai “delta sungai.”

2. Banjir yang meluas hanya terjadi di daerah hilir dari suatu aliran dan melanda dataran di kiri dan kanan aliran sungai. Di daerah tengah, banjir hanya terjadi di dalam alur sungai.

Penyebab banjir (BPBD,2012) :

1. Curah hujan tinggi

2. Permukaan tanah lebih rendah dari dibandingkan muka air laut

3. Terletak pada cekungan yang dikelilingi perbukitan dengan pengaliran air keluar sempit

4. Banyak pemukiman yang di bangun pada dataran sepanjang sungai

5. Aliran sungai tidak lancar akibat banyaknya sampah serta bangunan di pinggir sungai

6. Kurangnya tutupan lahan di daerah hulu sungai

Menurut, Kodoatie (2002), banjir di Indonesia terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu :

1) Banjir bandang

Banjir bandang adalah banjir besar yang terjadi secara tiba-tiba dan berlangsung hanya sesaat yang yang umumnya dihasilkan dari curah hujan berintensitas tinggi dengan durasi (jangka waktu) pendek yang menyebabkan debit sungai naik secara cepat. Banjir jenis ini biasa terjadi di daerah dengan sungai yang alirannya terhambat oleh sampah.

(17)

17 2) Banjir hujan ekstrim

Banjir ini biasanya terjadi hanya dalam waktu 6 jam sesudah hujan lebat mulai turun. Biasanya banjir ini ditandai dengan banyaknya awan yang menggumpal di angkasa serta kilat atau petir yang keras dan disertai dengan badai tropis atau cuaca dingin. Umumnya banjir ini akibat meluapnya air hujan yang sangat deras, khususnya bila tanah bantaran sungai rapuh dan tak mampu menahan cukup banyak air.

3) Banjir luapan sungai / banjir kiriman

Jenis banjir ini biasanya berlangsung dalam waktu lama dan sama sekali tidak ada tanda-tanda gangguan cuaca pada waktu banjir melanda dataran – sebab peristiwa alam yang memicunya telah terjadi berminggu-minggu sebelumnya. Jenis banjir ini terjadi setelah proses yang cukup lama. Datangnya banjir dapat mendadak. Banjir luapan sungai ini kebanyakan bersifat musiman atau tahunan dan bisa berlangsung selama berhari- hari atau berminggu-minggu tanpa berhenti. Banjir ini biasanya terjadi pada daerah-daerah lembah. Meluapnya air sungai yang terjadi merupakan salah satu faktor yang bisa menyebabkan terjadinya banjir. Meluapnya air sungai ini bisa saja disebabkan karena adanya pengendapan di dasar sungai. Endapan yang terjadi bisa disebabkan karena turunnya hujan dalam waktu yang cukup lama sehingga sungai kehilangan daya tampung terhadap air tersebut. Selainnya itu, bisa juga disebabkan karena adanya penyempitan permukaan aliran sangai sehingga air yang mengalir semakin terbatas.

4) Banjir pantai (ROB)

Banjir yang disebabkan angin puyuh laut atau taifun dan gelombang pasang air laut. Banjir ini terjadi karena air dari laut meresap ke daratan di dekat pantai dan mengalir ke daerah pemukiman atau karena pasang surut air laut. Banjir ini biasanya terjadi di daerah pemukiman yang dekat dengan pantai. Contoh daerah yang biasanya terkena ROB adalah Semarang.

(18)

18 5) Banjir hulu

Banjir yang terjadi di wilayah sempit, kecepatan air tinggi, dan berlangsung cepat dan jumlah air sedikit. Banjir ini biasanya terjadi di pemukiman dekat hulu sungai. Terjadinya banjir ini biasanya karena tingginya debit air yang mengalir, sehingga alirannya sangat deras dan bisa berdampak destruktif.

Menurut Kristiyanto (2008), dampak-dampak yang ditimbulkan oleh banjir, yaitu :

1. Dampak Primer

• Kerusakan fisik - Mampu merusak berbagai jenis struktur, termasuk jembatan, mobil, bangunan, sistem selokan bawah tanah, jalan raya, dankanal.

2. Dampak Sekunder

• Persediaan air – Kontaminasi air. Air minum bersih mulai langka. • Penyakit - Kondisi tidak higienis. Penyebaran penyakit bawaan air.

• Pertanian dan persediaan makanan - Kelangkaan hasil tani disebabkan oleh kegagalan panen. Namun, dataran rendah dekat sungai bergantung kepada endapan sungai akibat banjir demi menambah mineral tanah setempat.

• Pepohonan - Spesies yang tidak sanggup akan mati karena tidak bisa bernafas.

• Transportasi - Jalur transportasi rusak, sulit mengirimkan bantuan darurat kepada orang-orang yang membutuhkan.

3. Dampak tersier/jangka panjang

• Ekonomi - Kesulitan ekonomi karena kerusakan pemukiman yang terjadi akibat banjir; dalam sektor pariwisata, menurunnya minat wisatawan.

(19)

19 1.6.2 Kerentanan Banjir

Kerentanan/kerawanan (Vulnerability) merupakan tingkat kemudahan terkena suatu kejadian yang mengancam dari suatu fenomena secara potensial pada suatu wilayah dalam periode waktu tertentu (UNDH dalam Munawar, 2008)

Menurut Suprapto (1984), kerawanan banjir merupakan tingkat kemudahan suatu daerah untuk dilanda banjir. Pengertian kerawanan berikutnya diutarakan oleh United nations

Disaster Relief Co-ordinator (UNDRO) dan united Nations Educational, Scientific and Culture Organization (UNESCO). Menurut UNDRO dan UNESCO kerawanan diartikan

sebagai penilaian tingkat bahaya di suatu daerah hanya didasarkan pada sifat dan proses dari potensi bahayanya serta ciri morfologi daerah tersebut, tanpa memperhitungkan objek bencananya.

Menurut Klindao (1983) bahwa kerawanan (kerentanan) banjir adalah memperkirakan daerah-daerah yang mungkin menjadi sasaran banjir. Indikatornya meliputi bentuk lahan bentukan banjir, bentuk-bentuk adaptasi manusia terhadap banjir, peristiwa banjir dan vegetasi penutup lahan atau tata guna lahan. Tingkat kerentanan banjir menjadi hal yang penting untuk diketahui mengingat bencana akan terjadi bila bahaya berada pada kondisi yang rawan.

Karakteristik banjir yang berupa frekuensi, lama genangan, dan kedalaman banjir pada suatu daerah yang rawan terjadi banjir dapat dibuat klasifikasi kelas kerentanan banjir, yaitu: sangat rentan, rentan, kurang rentan, dan tidak rentan.

Menurut Afrizal (2013) parameter-parameter kerentanan banjir, yaitu sebagai berikut :

(20)

20

Bentuk lahan ini merupakan kondisi morfologi lahan daerah penelitian. Kemiringan lereng adalah sudut yang dibentuk oleh bidang lereng dengan bidang horizontal dan besarannya dinyatakan dalam derajat atau persen. Kemiringan lereng merupakan faktor yang sangat sangat berpengaruh dalam penetuan besar kecil suatu wilayah masuk dalam zona dampak banjir, karena daerah dengan kemiringan lereng yang kecil/datar sangat rawan terjadi banjir ketika air sungai meluap.

b) Infiltrasi Tanah

Infiltrasi tanah sangat dipengaruhi oleh tekstur tanah, karena tekstur tanah akan mempengaruhi laju infiltrasi atau kemampuan tanah dalam meloloskan air kedalam tanah, sehingga penentuan infiltrasi tanah didasarkan atas tekstur tanah. Tekstur tanah merupakan sifat fisik tanah yang menyatakan perbandingan relatif dari berbagai golongan besar partikel dalam suatu masa tanah, terutama perbandingan antara fraksi lempung, debu, dan pasir. Pengukuran tekstur tanah perlu dilakuakan dalam pengklasifikasian bahaya banjir dengan asumsi pada tanah-tanah dengan tekstur halus akan sukar menyerap air sehingga lebih mudah terjadi genangan air pada saat hujan lebat atau saat terjadi banjir. Sebaliknya pada tanah-tanah dengan tekstur kasar akan mudah menyerap air sehingga daerah tersebut relatif sukar terjadi penggenangan air.

c) Ketinggian lokasi

Topografi merupakan bentuk lahan satuan pemetaan yang ada di dalam pemetaan geomorfologi, sehingga pengenalan untuk setiap satuan bentuk lahan harus diwakili dengan mengenali proses dan tenaga geomorfologi yang memebentuk bentuk lahan tersebut. Pemetaan topografi perlu dilakukan dalam mengidentifikasi bahaya banjir. Sudah jelas dimana air mengalir mencari daerah yang lebih rendah, ketika suatu sungai tak mampu menampung debit air yang masuk maka air akan menggenang tempat-tempat di daerah

(21)

21

sekitarnya yang memiliki tinggi permukaan yang kecil. Jadi, suatu daerah yang memiliki ketinggian permukaan yang lebih rendah akan memliki risiko terkena banjir yang lebih lebih tinggi, begitu juga sebaliknya.

d) Penggunaan lahan

Merupakan merupakan wujud nyata dari pengaruh aktivitas manusia terhadap sebagian fisik permukaan bumi. Beberapa wujud penggunaan lahan, seperti perutukan lahan untuk permukiman, persawahan, perkebunan, tegalan, perikanan, pariwisata, dan lain sebagainya.

1.6.3 Mitigasi

Mitigasi bencana adalah upaya yang dilakukan untuk mengurasi atau mencegah resiko dari bencana tersebut, baik itu melalui pembangunan fisik maupun peningkatan dan penyadaran kepada masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana yang sudah tertera di Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Jadi, mitigasi bencana banjir adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi resiko dari bencana banjir.

Menurut Wahida (2009) jenis-jenis mitigasi bencana banjir, yaitu :

1. Mitigasi Struktural

Mitigasi Struktural adalah upaya yang dilakukan demi meminimalisir bencana seperti dengan melakukan pembangunan danal khusus untuk mencegah banjir dan dengan membuat rekayasa teknis bangunan tahan bencana, serta infrastruktur bangunan tahan air. Dimana infrastruktur bangunan yang tahan air nantinya diharapkan agar tidak memberikan dampak yang begitu parah apabila bencana tersebut terjadi.

(22)

22

• Membangun tembok pertahanan dan tanggul – Sangat dianjurkan untuk membangun tembok pertahanan dan tanggul di sepanjang aliran sungai yang memang rawan apabila terjadi banjir, seperti kawasan yang dekat dengan penduduk. Hal ini sangat membantu untuk mengurangi resiko dari bencana banjir yang kerap terjadi pada tingkat debit banjir yang tidak bisa diprediksi. Misalnya adalah banjir bandang.

• Mengatur kecepatan aliran dan debit air – Diusahakan untuk memperhatikan kecepatan aliran dan debit air di daerah hulu. Yang dimaksud disini adalah dengan mengatur aliran masuk dan keluar air di bagian hulu serta membangun bendungan / waduk guna membendung banjir.

• Membersihkan sungai dan pembuatan sudetan – Pembersihan sungai sangatlah penting, dimana hal ini untuk mengurangi sedimentasi yang telah terjadi di sungai, cara ini dapat diterapkan di sungai yang memiliki saluran terbuka, tertutup ataupun di terowongan.

2. Mitigasi Non-Struktural

Mitigasi non-struktural adalah upaya yang dilakukan selain mitigasi struktural seperti dengan perencanaan wilayah dan & asuransi. Dalam mitigasi non-struktural ini sangat mengharapkan dari perkembangan teknologi yang semakin maju. Harapannya adalah teknologi yang dapat memprediksi, mengantisipasi & mengurangi resiko terjadinya suatu bencana.

Beberapa contoh yang dapat dilakukan dengan metode mitigasi non-struktural adalah :

• Pembentukan LSM – Membentuk LSM yang bergerak dalam bidang kepedulian terhadap bencana alam dan juga mengadakan kampanye peduli bencana alam kepada masyarakat, agar masyarakat lebih sadar untuk selalu siap apabila bencana alam terjadi.

(23)

23

• Melakukan pelatihan dan penyuluhan – Melatih, mendidik dan memberikan pelatihan kepada masyarakat akan bahaya banjir yang disertai dengan pelatihan lapangan.

• Membentuk Kelompok Kerja atau POKJA – dimana dalam kelompok tersebut beranggotakan instansi terkait untuk melakukan dan menetapkan pembagian peran dan kerja untuk penanggulangan bencana bajir.

• Mengevaluasi tempat rawan banjir – Melakukan pengamatan dan penelusuran di tempat yang rawan banjir, sehingga apabila ada tanggul yang sudah tidak kuat segera diperbaiki.

• Memperbaiki sarana dan prasarana – Mengajukan proposal untuk pembangunan perbaikan sarana dan prasarana yang memang sudah tidak layak.

• Menganalisa data-data yang berkaitan dengan banjir – Mengevaluasi dan memonitor data curah hujan, debit air dan informasi yang berkaitan dengan banjir seperti daerah yang rawan banjir dan mengidentifikasi daerah yang rawan banjir tersebut. Apakah memang ada tanggul yang rusak atau memang daerah tersebut sangat berbahaya apabila ditempati.

• Membuat mapping – Membuat peta sederhana untuk daerah yang rawan banjir disertai dengan rute pengungsian, lokasi posko dan lokasi pos pengamat banjir.

• Menguji peralatan dan langkah selanjutnya – Menguji sarana sistem peringatan dini terhadap banjir serta memikirkan langkah selanjutnya apabila sarana tersebut belum tersedia.

• Menyiapkan persediaan sandang, pangan dan papan – Mempersiapkan persediaan tanggap darurat seperti menyediakan bahan pangan, air minum dan alat yang akan digunakan ketika bencana banjir terjadi.

• Membuat prosedur operasi standar bencana banjir – Merencanakan Prosedur Operasi Standar untuk tahap tanggap darurat yang nantinya melibatkan semua anggota yang bertujuan

(24)

24

untuk mengidentifitasi daerah rawan banjir, identifikasi rute evakuasi, mepersiapkan peralatan evakuasi dan juga tempat pengungsian sementara.

• Mengadakan simulasi evakuasi – Melakukan percobaan pelatihan evakuasi apabila bencana banjir terjadi dan menguji kesiapan tempat pengungisan sementara beserta perlengkapan dalam pengungsian.

• Mengadakan rapat koordinasi di berbagai tingkat dan utamanya adalah instansi pemerintah tentang pencegahan bencana banjir.

1.6.4 Adaptasi

Menurut Soemarto (1991) adaptasi merupakan upaya yang dilakukan individu atau kelompok untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan Para ahli ekologi budaya mendefinisikan adaptasi sebagai suatu strategi penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon terhadap perubahan-perubahan lingkungan dan sosial (Alland dalam Marfai, 2012). Adaptasi adalah proses melalui interaksi yang bermanfaat, yang dibangun dan dipelihara antara organisme dan lingkungan (Hardesty dalam Gunawan, 2008).

Sementara itu para ahli ekologi budaya (cultural ecologists) (Alland, 1975; Harris, 1968; Moran, 1982) mendefinisikan, bahwa adaptasi adalah suatu strategi penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon terhadap perubahan-perubahan lingkungan dan sosial. Dalam kajian adaptabilitas manusia terhadap lingkungan, ekosistem merupakan keseluruhan situasi, di mana adaptabilitas berlangsung atau terjadi. Karena populasi manusia tersebar di berbagai belahan bumi, konteks adaptabilitas sangat berbeda-beda. Suatu populasi di suatu ekosistem tertentu menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan dengan cara-cara yang spesifik. Ketika suatu populasi atau masyarakat mulai menyesuaikan diri terhadap suatu lingkungan yang baru, suatu proses perubahan akan dimulai dan dapat saja membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menyesuaikan diri (Moran,1982).

(25)

25

Masyarakat yang tinggal di daerah penelitian membentuk pola adaptasi sosial dalam menghadapi banjir yang menurut Soekanto (2010) telah memberikan beberapa batasan mengenai pengertian adaptasi sosial, yakni: a) proses mengenai halangan-halangan dari lingkungan, b) penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan, c) proses perubahan untuk menyeseuaikan dengan situasi yang berubah, d) mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan, e) memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem, f) penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah.

Dalam menghadapi situasi bencana masyarakat memerlukan berbagai cara untuk beradaptasi dengan kondisi sekitarnya, berikut ini merupakan contoh pola adaptasi yang telah diterapkan di masyarakat :

1. Pola membangun rumah dengan 2 lantai, membuat tanggul penahan genangan banjir, meninggikan lantai rumah dan bangunan, meninggikan lantai fondasi dan sebagainya (Marfai, 2012)

2. Memperbaiki bibir sungai yang terkena langsung oleh banjir lahar hujan, memperbaiki tanggul sungai yang ambrol, membangun rumah yang hacur, inisiatif untuk mengecor depan rumah atau pintu, membuat tanggul dari karung pasir, membuat bronjong, memperbaiki dan meninggikan tempat tinggal (Maharani, 2012)

3. Adaptasi dilakukan pada bangunan tempat tinggal, instalasi air bersih dan lahan tambak. Adaptasi pada bangunan tempat tinggal dengan cara meninggikan lantai rumah, meninggikan lantai dan atapnya, membuat tanggul, membuat saluran air. Adaptasi pada ketersediaan air bersih yaitu dengan menggunakan air bersih yang dipasok dari daerah lain, sedangkan adaptasi pada lahan tambak yaitu meninggikan tanggul, memasang jaring dan penanaman bakau (Desmawan, 2012)

(26)

26

Masyarakat kota tentu memiliki sikap dan tindakan tertentu dalam menghadapi bencana alam. Misalnya, untuk menghadapi banjir seringkali pintu yang menghubungkan ke dalam rumah diberi penyekat dengan tinggi tertentu, atau landasan rumah ditinggikan. Pola-pola sosial dalam sebuah bangunan, baik itu rumah tinggal, kantor, pabrik, rumah sakit, asrama, supermarket, mal, penghuni/penggunanya memiliki pola perilaku tertentu terhadap ruang yang dihuni/digunakan sesuai dengan fungsi ruang dan kebiasaan yang terjadi. Pola-pola ini dapat menjadi pertimbangan dalam mendesain suatu ruang. (Hariyono, 2007).

Upaya pengendalian dan pencegahan bencana disesuaikan dengan budaya cikal dan tradisi yang berkembang di tengah masyarakat. Sebaiknya pemerintah daerah setempat mengembangkan budaya dan tradisi lokal tersebut untuk membangun kesadaran akan bencana di tengah masyarakat (Ramli, 2010).

Menurut Soekanto (2010), ada beberapa batasan dalam adaptasi sosial, yaitu :

1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan

2. Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan

3. Proses perubahan- perubahan menyesuaikan dengan situasi yang berubah

4. Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan

5. Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem.

Adaptasi merupakan suatu kunci konsep dalam 2 versi dari teori sistem, baik secara

biological, perilaku, dan sosial. Proses adaptasi dalam evolusi melibatkan seleksi genetik dan

varian budaya yang dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan. Menurut Hardestry (1985) ada 2 macam perilaku yang adaptif, yaitu perilaku yang bersifat idiosyncratic (cara-cara unik individu dalam mengatasi permasalahan

(27)

27

lingkungan) dan adaptasi budaya yang bersifat dipolakan, dibagi rata sesama anggota kelompok, dan tradisi.

Adaptasi merupakan suatu proses pengambilan ruang perubahan, yang mana perubahan tersebut ada di dalam perilaku kultural yang bersifat teknologikal, organisasional, dan ideological. Sifat-sifat kultural mempunyai koefisiensi seleksi seperti layaknya seleksi alam, sejak terdapat unsur variasi, perbedaan tingkat kematian dan kelahiran, dan sifat kultural yang bekerja melalui sistem biologi. Proses adaptif yang aktual merupakan kombinasi dari beberapa mekanisme biologis dan modifikasi budaya tersebut di atas sehingga adaptasi dapatlah disebut sebagai sebuah strategi aktif manusia. Adaptasi seharusnya dilihat sebagai respon kultural atau proses yang terbuka pada proses modifikasi dimana penanggulangan dengan kondisi untuk kehidupan oleh reproduksi selektif dan memperluasnya.

Dalam adaptasi budaya, setiap individu membutuhkan individu lain dalam rangka memberi respon dan menciptakan dunia sosialnya. Kebutuhan akan dunia sosial, memperkuat asumsi bahwa manusia tidak dapat hidup secara baik jikalau mereka terasing dari lingkungan sosialnya. Bukan hanya itu, manusia juga harus selalu berusaha memelihara hubungan yang selaras dengan alam dan lingkungan di sekitarnya berdasarkan prinsip hubungan timbal balik. Peter (2003) mengajukan teori tentang empat sistem tindakan untuk menjaga eksistensi yang disebut AGIL yaitu Adaptation (Adaptasi), Goal Attainment (Pencapaian Tujuan), Integration (Integrasi), dan Latency (Latensi atau Pemeliharaan Pola). Adaptasi dalam hubungan ini diartikan bahwa sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhan.

Pandangan menyatakan bahwa adaptasi adalah proses yang menghubungkan sistem budaya dengan lingkungannya.

(28)

28 1.6.5 Kearifan Lokal

Kearifan lokal (local wisdom) dalam disiplin antropologi dikenal juga dengan istilah

local genius. Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity,

identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986). Ciri-ciri kearifan lokal tersebut adalah sebagai berikut:

1. Mampu bertahan terhadap budaya luar,

2. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,

3. Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, 4. Mempunyai kemampuan mengendalikan,

5. Mampu memberi arah pada perkembangan budaya.

Dalam Sibarani (2012) juga dijelaskan bahwa kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur Universitas Sumatera Utara tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Kearifan lokal juga dapat didefinisikan sebagai nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana.

Jadi, dapat dikatakan bahwa kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat berkaitan dengan kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

Kearifan lokal merupakan pengetahuan eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat

(29)

29

kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban. Secara substansial, kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika dikatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya.

Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nila-inilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.

Menurut Keraf (2002), kearifan lokal (tradisional) adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Pengertian di atas memberikan cara pandang bahwa manusia sebagai makhluk integral dan merupakan satu kesatuan dari alam semesta serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta serta mengubah cara pandang antroposentrisme ke cara pandang biosentrisme dan ekosentrisme. Nilai-nilai kerarifan lokal yang terkandung dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke genarasi lainnya yang sekaligus membentuk dan menuntun pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap alam maupun terhadap alam.

Nababan (2003) menyatakan bahwa masyarakat adat umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal yang diwariskan dan ditumbuh kembangkan

(30)

terus-30

menerus secara turun temurun. Pengertian masyarakat adat disini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya.

Menurut Ataupah (2004), kearifan lokal bersifat historis tetapi positif. Nilai-nilai diambil oleh leluhur dan kemudian diwariskan secara lisan kepada generasi berikutnya lalu oleh ahli warisnya tidak menerimanya secara pasif dapat menambah atau mengurangi dan diolah sehingga apa yang disebut kearifan itu berlaku secara situasional dan tidak dapat dilepaskan dari sistem lingkungan hidup atau sistem ekologi/ekosistem yang harus dihadapi orang-orang yang memahami dan melaksanakan kearifan itu. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kearifan tercermin pada keputusan yang bermutu prima. Tolok ukur suatu keputusan yang bermutu prima adalah keputusan yang diambil oleh seorang tokoh/sejumlah tokoh dengan cara menelusuri berbagai masalah yang berkembang dan dapat memahami masalah tersebut. Kemudian diambil keputusan sedemikian rupa sehingga yang terkait dengan keputusan itu akan berupaya melaksanakannya dengan kisaran dari yang menolak keputusan sampai yang benar-benar setuju dengan keputusan tersebut.

1.7 Kerangka Pemikiran

Banjir di Kabupaten Jayawijaya merupakan banjir tahunan, yang sering terjadi ketika curah hujan meningkat, pada Bulan Februari hingga April dan Bulan Oktober hingga Bulan Desember. Oleh karena itu, untuk mengetahui karakteristik banjir yang terjadi, maka perlu mengetahui lata belakang masalah dan sejarah banjir yang terjadi, karena banjir yang terjadi sangat dipengaruhi oleh karakteristik DAS, karakteristik klimatologi dan pengaruh manusia.

Setelah kita mengetahui latar belakang tentang banjir tersebut, maka dapat mengambil data, baik data primer yang berasal dari survey dan pengamatan langsung di daerah terdampak banjir dan data sekunder, yaitu data BPS Kabupaten dan Provinsi, draft peta RTRW Kabupaten, data BMKG dan beberapa dokumen milik instansi terkait.

(31)

31

Data primer dan data sekunder akan mampu menjawab pertanyaan penelitian dan menganalisis tentang apa saja dampak – dampak dari banjir tahunan yang terjadi, sehingga perlu adanya upaya penanggulangan banjir oleh masyarakat, yaitu strategi mitigasi dan adaptasi yang terangkum dalam kearifan lokal yang telah ada. Selain itu, perlu adanya peran pemerintah secara kognitif untuk mendengar keluhan masyarakat serta mendukung penanggulangan banjir di saerah terdampak banjir, yaitu di Distrik Hubikiak, Distrik Hubikosi, Distrik Witawaya, Distrik Musatfak, Distrik Kurulu.

Dengan menjawab pertanyaan penelitian ini, maka dapat menjadi sumbangan ilmu pengetahuan dalam kajian ilmu lingkungan serta dapat memberikan saran dan kritik bagi peranan masyarakat maupun pemerintah dalam upaya meminimalisir dampak banjir dan tercipta lingkungan hidup yang lebih seimbang.

(32)

32

Gambar 1.2 Skema Kerangka Pemikiran - Curah Hujan

- Ketinggian banjir - Lama Genangan Banjir

Peran pemerintah dalam menghadapi dampak- dampak banjir.

Strategi Adaptasi Masyarakat dalam menghadapi dampak banjir Dampak Banjir : - Dampak Fisik - Dampak Sosial - Dampak Ekonomi - Karakteristik Banjir - Karakteristik DAS P engguna an L ah an di K abupa te n J aya w ija ya Banjir Tahunan P em et aan K er aw an an B a n jir

Gambar

Tabel 1.1 Karakteristik Sungai Baliem
Gambar .1.1 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Jayawijaya
Tabel 1.2 Tabel Keaslian Penelitian
Gambar 1.2 Skema Kerangka Pemikiran - Curah Hujan

Referensi

Dokumen terkait

Pada halaman Menu Utama, pengguna dihadapkan pada 4 (empat) buah tombol yaitu tombol Begin Class yang akan membawa pengguna ke halaman Menu Tuner untuk melakukan tuning

terdiri dari bahan buku hukum primer dan bahan buku hukum sekunder yang. setiap bahan hukum itu harus diperiksa kembali atau memeriksa

Tanah kas desa (TKD) merupakan bagian terpenting dalam sebuah desa karena bisa dikelola langsung oleh perangkat desa maupun dengan cara disewakan ke pihak ketiga

Kemudian guru memberikan tanda terhadap pemberian corporal punishment kepada peserta didik dengan memperhatikan dampaknya sebagai proses menuju tahap konfirmasi terhadap

Dari penerapan nilai-nilai as Sunah, privasi antara pemilik rumah, anak kos dan pihak luar seperti tamu, tetangga maupun kerabat kurang dapat terjaga dikarenakan arah hadap

Bab III tentang Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi Pasal 22 menyatakan, “Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29,

KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan, dengan tujuan untuk menguji dan menganalisis perbedaan kinerja keuangan dalam hal ini underwriting ratio, solvency