• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sekilas Konservasi Lukisan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sekilas Konservasi Lukisan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

www .primastoria.net

Puji Yosep Subagiyo

disusun oleh

Sekilas Konservasi Lukisan

Primastoria Studio

Taman Alamanda Blok BB2 No. 55-59, Bekasi 17510 April 2016

(2)

Kata Pengantar

Pekerjaan konservasi dapat dilakukan apabila tenaga konservasi telah mengenal bahan pembentuk benda yang akan ditangani; dan jenis kerusakan yang sedang dihadapi. Hampir semua bahan - khususnya benda organik - sangat peka terhadap kondisi lingkungan, seperti kelembaban, suhu udara, dan radiasi cahaya. Kerusakan dapat juga terjadi karena kesalahan penggunaan bahan atau cara penanganannya. Dalam kasus semacam ini, konservator harus dapat memilah atau menggolongkan benda koleksi menurut jenis bahan pembentuknya, serta mengidentifikasi dan klasifikasi berbagai jenis bahan, berikut sifat-sifatnya (fisik dan kimiawi).

Konservator adalah orang yang mampu melakukan pengamatan (kajian), berpikir analitik,

dan melaksanakan konservasi karya seni, artefak, relik, dan benda lain dengan menggunakan

metode atau teknik yang benar. Sehingga seorang konservator harus memiliki pengetahuan

cukup tentang metode dan teknik konservasi; serta dapat memilih dan menerapkan bahan (materials) atau alat dalam proses konservasi dengan baik. Nantinya, mereka dapat pula mengkhususkan diri pada satu atau lebih bidang konservasi, seperti: batu, logam, kayu, tekstil, lukisan, karya seni bermedia kertas, buku, (pita) film, pita perekam suara, foto, atau benda lain bermedia komplek (campuran).

Konservasi adalah suatu tindakan yang bersifat kuratif – restoratif (penghentian proses kerusakan dan perbaikannya) dan tindakan yang bersifat preventif (penghambatan dari kemungkinan proses kerusakan). Konservasi benda koleksi museum menurut American

Association of Museums (AAM 1984:11) dirujuk kedalam 4 tingkatan.

Pertama adalah perlakuan secara menyeluruh untuk memelihara koleksi dari kemungkinan suatu

kondisi yang tidak berubah; misalnya dengan kontrol lingkungan dan penyimpanan benda yang memadai, didalam fasilitas penyimpanan atau displai;

Kedua adalah pengawetan benda, yang memiliki sasaran primer suatu pengawetan dan

penghambatan suatu proses kerusakan pada benda;

Ketiga adalah konservasi restorasi secara aktual, perlakuan yang diambil untuk mengembalikan

artifak rusak atau 'deteriorated artifact' mendekati bentuk, desain, warna dan fungsi aslinya. Tetapi proses ini mungkin merubah tampilan luar benda; dan

Keempat adalah riset ilmiah secara mendalam dan pengamatan benda secara teknis.

Dengan “Sekilas Konservasi Lukisan” ini (melalui infografis, gambar atau ilustrasi berwarna, tabel, dll.), kita akan mendapatkan pengetahuan terapan dan teknis konservasi koleksi di museum atau galeri secara utuh, sistematis dan terarah. Khususnya dalam rangka penyusunan instrumen pengumpulan dan pengolahan data, analisis data serta identifikasi masalah kondisi koleksi benda bernilai budaya sesuai prosedur dan ketentuan yang berlaku untuk mengetahui pemecahannya.

Bekasi, April 2016 Puji Yosep Subagiyo

(3)

5.000 μm = 5 mm = 0,5 cm 1. Kanvas asli lukisan (kiri) Perb. 30X 2. Kanvas dobelan lukisan (kanan). Perb. 30X

7

6

4

5

Gambar 5 ini menunjukkan close-up pada semua sisi lukisan. Bagian ini menunjukkan paku berkarat dan perbedaan kanvas asli dan kanvas dobelan.

paku berkarat

1.000 μm

1

2

Ilustrasi Pengamatan Teknis Lukisan

Penanganan konservasi dan restorasi setelah proses pengamatan.

Pengamatan retakan dan konstruksi pendobelan kanvas dengan perekat.

Varnis lama harus diangkat untuk mengetahui warna & tekstur cat asli

{

Kanvas 1Priming

{

Kanvas 2 perekat kanvas 1 + 2 cat/ priming yang terangkat

harus diratakan

pendobelan kanvas seharusnya dilakukan setelah mengatasi retakan dan pengangkatan cat. Cat

3

Gambar 4 menunjukkan close-up, yang mana pada sisi bawah lukisan telah termakan bubuk.

DETAIL

illustrated by Primastoria 2016

Rismoyo

(4)

Ilustrasi Inpainting (tusir-warna)

Inpainting atau tusir warna adalah proses pemberian warna pada bagian cat yang terkelupas, atau tergores dengan mempertimbangkan warna dan bentuk aslinya (sapuan kuas, atau bentuk teknis lain). Luas tusiran harus sama persis seukuran cat yang terkelupas dan tidak boleh lebih.

Sebelum Pembersihan, dan Tusir Warna.

Sesudah Pembersihan, dan Tusir Warna. SAMPLE

for academic use

(5)

Ilustrasi Inpainting (tusir-warna)

Sesudah Pembersihan, dan Tusir Warna. Sebelum Pembersihan,

dan Tusir Warna. Sebelum Pembersihan,

dan Tusir Warna. Sesudah Pembersihan,dan Tusir Warna. Inpainting atau tusir warna adalah proses pemberian warna pada bagian cat yang terkelupas, atau tergores dengan mempertimbangkan warna dan bentuk aslinya (sapuan kuas, atau bentuk teknis lain). Luas tusiran harus sama persis seukuran cat yang terkelupas dan tidak boleh lebih.

ada bayangan ada garis-garis ada garis-garis SAMPLE Harijadi S. SAMPLE

for academic use

for academic use

(6)

illustrated by Primastoria 2016

Ilustrasi Striping (mengangkat) Overpaint

Striping adalah proses mengangkat atau melunturkan cat, yang biasanya ditujukan untuk mengangkat cat pelapis (overpainting) yang bukan aslinya, cat tusiran warna yang tidak pas (warna atau bentuknya). Setelah proses striping adakalanya dilanjuti dengan proses repainting (melukis ulang).

Kondisi awal lukisan

Cat Setelah Striping [Asli]

C

at A

w

al [buk

an asli]

Kondisi lukisan dalam proses striping. Striping dilakukan setelah memahami struktur cat, karakter dan gaya melukis seniman, serta dibantu dengan penyinaran ultra-violet.

Kondisi akhir lukisan

Kondisi asli lukisan setelah proses striping dan sebelum repainting. Harus ada kajian mendalam untuk proses striping (memutuskan apakah ada kesalahan overpainting).

Harijadi S.

1

4

2

3

SAMPLE

for academic use

SAMPLE

for academic use

(7)

Detail

Detail

Sesudah Pembersihan,

Sesudah Penguatan Cat

Sesudah Penguatan Cat, Sesudah Pembersihan,

Detail

Sebelum Pembersihan,

Sebelum Penguatan Cat

Kontras

Sesudah Penguatan Cat,

Sebelum Pembersihan, Se b elum Pem b ersihan, Se b elum Pengu atan C at illustrated by Puji Y. Subagiyo 2016

* WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem) dengan cara dipanaskan (diseterika) ini dapat dibuka kembali

dengan cara yang sama (pemanasan lagi). Sifatnya yang reversibel ini sesuai dengan prinsip konservasi (Mayer: 242, 502-505; Organ (1968: 454-455); Plenderleith (1969: 167-169).

Ilustrasi Penguatan Cat dengan WRA

559

*

SAMPLE

for academic use

SAMPLE

for academic use

Tarmizi?, 1968

Foto Penuh

Sebelum Pembersihan, Sebelum Penguatan Cat

(8)

1

2

3

4

1

2

3

4

Ilustrasi Teknis Penguatan Cat dan Tusir

Penguatan cat dilakukan dengan WRA (Wax Resin Adhesive), yang adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermosetting. Penggunaan perekat (lem) dengan cara dipanaskan (diseterika) ini dapat dibuka kembali dengan cara yang sama (pemanasan lagi). Sifatnya yang reversibel ini sesuai dengan prinsip konservasi (Mayer: 242, 502-505; Organ (1968: 454-455); Plenderleith (1969: 167-169).

Inpainting atau tusir warna adalah proses pemberian warna pada bagian cat yang terkelupas, atau tergores dengan mempertimbangkan warna dan bentuk aslinya (sapuan kuas, atau bentuk teknis lain). Luas tusiran harus sama persis seukuran cat yang terkelupas dan tidak boleh lebih.

Kondisi lukisan sebelum proses penguatan cat dan tusir warna.

Kondisi lukisan sesudah proses penguatan cat dan tusir warna. SAMPLE

for academic use

Srihadi S. SAMPLE

for academic use

(9)

Ilustrasi Teknis Restorasi Lukisan

Melamin B oar d

glass fabr

ic

pain

ting

Seb elum P emb ersihan Sesudah P emb ersihan, Seb elum P engua tan C at Kanvas Cat

{

Priming

GAMBAR ANATOMI LUKISAN

Rongga bawah retakan terisi varnis/ linseed oil

Sesudah Pembersihan, Sebelum Penguatan Cat

Sesudah Pembersihan, Sesudah Penguatan Cat, Sesudah Relaksasi Cat & Kanvas Varnis/ linseed

oil begitu tebal & mengkilap

1

2

2

4

5

FINISHING TREATMENTS:

Priming, Tusir warna (inpainting),

Retouching & protecting varnish.

Detail

illustrated by Primastoria 2016

for academic use

3

SUPPORTS:

Back-up lukisan dengan

melamin board yang

dilindungi dengan kain organdi

(10)

Jamur

Jamur

a

c

Serat lapuk

Spora jamur

b

Gambar 3. a. Jamur tumbuh hampir pada seluruh permukaan lukisan;

b. Pengamatan dengan Mikroskop Skening Elektron untuk mengetahui tingkat kerusakan kanvas/ kain; c. Pengamatan dengan Mikroskop Skening Elektron untuk mengetahui tingkat pertumbuhan dan jenis jamur.

Detail

Sesudah Pembersihan,

Sesudah Penguatan Cat

Detail

Sebelum Pembersihan, Sebelum Penguatan Cat

Gambar 2. DETAIL KERUSAKAN LUKISAN

cat terkelupas

cat terangkat

a b

cat terkelupas

a. Seluruh permukaan kotor, warna tidak keluar dan sebagian cat terkelupas.

b. Setelah pembersihan kotoran dan varnis lama, priming (pendempulan), tusir warna (inpainting) dan varnis.

Gambar 1.

illustrated by Primastoria 2016

Li Shuji

Le Mayeur

(11)

}

}

}

KANVAS GESSO CAT PRIMING VARNIS SERAT Cat Dasaran retakan rongga retakan Gesso Sottile Gesso Grosso

F

E

D

B

G

A

1 2

A = Substrat (Kayu, Tripleks, Hardboard,

Kanvas);

B = Priming;

C = GESSO; D = Dasar Cat

; E = Cat

Lukisan; F =

Varnis; G = Kotoran, Debu, dll.

C

1. Alan Phenix and Sue Ann Chui (2009): FACING THE CHALLENGES OF PANEL PAINTINGS CONSERVATION: TRENDS, Treatments, and Training, Los Angeles, The Getty Conservation Institute, 234 pages.

2. Arie Wallert, Erma Hermens, and Marja Peek. (1995): HISTORICAL PAINTING TECHNIQUES, MATERIALS, AND STUDIO PRACTICE; (Art History Institute of the University of Leiden, Central Research Laboratory for Objects of Art and Science, Amsterdam), Los Angeles, The Getty Conservation Institute, 241 pages.

3. Francesca Caterina Izzo (2009-2010): 20TH CENTURY ARTISTS’ OIL PAINTS: A CHEMICAL-PHYSICAL SURVEY, Università Ca’ Foscari Venezia, 234 pages.

4. Kathleen Dardes and Andrea Rothe (1995): THE STRUCTURAL CONSERVATION OF PANEL PAINTINGs, Los Angeles, The Getty Conservation Institute, 582 pages.

5. Marion F. Mecklenburg, A. Elena Charola, and Robert J. Koestler (2013): NEW INSIGHTS INTO THE CLEANING OF PAINTINGS, Washington D.C., Smithsonian Institution, 256 pages.

6. Patricia Sherwin Garland (1983): JOSEF ALBERS: HIS PAINTINGS, THEIR MATERIALS, TECHNIQUE, AND TREATMENT, JAIC 1983, Volume 22, Number 2, Article 2 (pp. 62 to 67).

7. Sheldon Keck (1984): SOME PICTURE CLEANING CONTROVERSIES: PAST AND PRESENT, JAIC 1984, Volume 23, Number 2, Article 1 (pp. 73 to 87).

Referensi :

ANATOMI LUKISAN

a. Support (Bahan pelindung bagian belakang kanvas, untuk kategori lukisan jagrag atau panel). Bahan: kayu jati, hard board.

b. Kanvas (barang-tenunan yang dilapisi zat, semacam kanji yang lebih dikenal dengan sebutan “priming”. Priming digunakan untuk menjaga supaya kanvas tidak menjadi kusut dan licin, serta mudah untuk dilukisi).

Bahan: kain benang linen, kain benang kapas, dll. c. Priming (lihat definisi butir b diatas)

Bahan: campuran white-lead (bubuk timbal putih, Pigment White 1.) dalam minyak biji rami (linseed-oil) dengan minyak turpentine, dengan perbandingan 450 gram white-lead dengan 85 gram minyak terpentin. Bahan untuk priming ini dapat dibeli di toko grafik-art dengan nama White-lead. White lead ini harus dibedakan dengan Flake-white walaupun sama-sama berbahan utama timbal karbonat dasar. Yang pertama lebih banyak mengandung minyak, dan yang kedua berupa pasta yang banyak digunakan untuk “cat minyak”.

d. Dasar Lukisan (first coating of ground, bahan penghalus priming yang dimaksudkan sebagai dasar cat minyak. Bahan jenis ini lebih dikenal dengan sebutan GESSO GROSSO).

Bahan: Acrylic-polymer yang berkarakter hydrophobic (kedap air).

e. Gesso (second coating of ground, bahan dasar cat-minyak dan membuat permukaan kanvas sedikit agak menyerap cat. Bahan ini dikenal dengan sebutan GESSO SOTTILE).

Bahan: gypsum (calcium sulfate, CaSO4.2H2O) dan air. Pembuatan gesso dari gypsum yang mirip dengan plaster

of Paris ini adalah sebagai berikut: (1). gypsum dipanggang atau dioven pada suhu antara 100 ~ 190oC., untuk menguapkan 3/4 kandungan air kristalisasinya dan menjadi CaSO4.1/2H2O; (2). campurkan 1,5 bagian air, dan

diamkan sampai membentuk padatan; (3). rendam dalam air untuk membentuk pasta. f. Cat (definisi: campuran antara pigmen dengan binder atau bahan perekat).

Adapun kemungkinan susunan/ lapisan cat adalah sebagai berikut: 1. Underpainting (lapisan cat bawah);

2. Overpainting (lapisan cat yang menindih cat bawah);

3. Glazes atau Scumblings (lapisan seperti film yang transparan); 4. Isolating varnishes atau veils. (lihat butir g dibawah).

g. Varnish (Picture Varnish sebagai pelindung; Retouch Varnish sebagai pelindung dan penimbul efek tertentu, seperti efek lembab/ basah; Mixing Varnish sebagai bahan campuran pada tabung cat-minyak yang digunakan dalam aneka teknik lukis cat-minyak; dan Isolating Varnish yang digunakan sebagai pelindung pigmen/ cat asli lukisan dalam proses tusir-warna, tetapi biasanya setelah pelapisan dengan Retouch Varnish).

Bahan-bahan:

1. Picture Varnish = campuran damar resin dan turpentine, polycyclo-hexanone. Picture Varnish yang terbuat dari damar berkomposisikan damar dan minyak terpentin (kualitas bagus/ bening) dengan perbandingan (konsentrasi) 1.812 gram dalam 4 liter minyak terpentin.

2. Retouch Varnish = damar atau resin sintetis. Picture Varnish yang terbuat dari damar berkomposisikan damar dan minyak terpentin (kualitas bagus/ bening) dengan perbandingan (konsentrasi) 2.265 gram (5 pound) dalam 4 liter (1 galon) minyak terpentin.

3. Mixing Varnish = damar atau resin, yang dicampur dengan linseed oil (sebagai binder) dan cat minyak. Perbandingan antara minyak binder, resin dan cat-minyak = 50:15:35.

4. Isolating Varnish = resin sintetis atau polyvinyl.

Keterangan Gambar :

(12)

Perbandingan Jumlah Kerusakan Lukisan terhadap Teknik Lukisan. Gambar 2.

Ruang A

Temperatur (°C) Min. Ave. Max.

26 28 29

Kelembaban (%) Min. Ave. Max.

44 50 59

Ruang B.

Temperatur (°C) Min. Ave. Max.

27 28 28,5

Kelembaban (%) Min. Ave. Max.

60 66 75

Ruang C.

Temperatur (°C) Min. Ave. Max.

22 24 26,5

Kelembaban (%) Min. Ave. Max.

60 66 99

Ruang D. Temperatur (°C) Min. Ave. Max.

28,5 29 29,5

Kelembaban (%) Min. Ave. Max.

72 74 76

Ruang E.

Temperatur (°C) Min. Ave. Max.

26 27 28

Kelembaban (%) Min. Ave. Max.

76 78 99 Ideal ~ Cukup Beresiko ~ Bahaya Cukup ~ Beresiko 1 3 2

Data Iklim Mikro Lukisan

Keterangan : Gambar 1. Perbandingan Jumlah Kerusakan Lukisan

terhadap Lokasi dan Kondisi [Total: 1.694]

0 200 400 600 800 1000 Pastel Cat minyak Cat air Batik Akrilik Jumlah

Teknik dan Jumlah Per Jenis Lukisan

133 74 254 1.153 36 115 (86%) 7 (5%) 11 (8%) 66 (89%) 2 (3%) 6 (8%) 227 (89%) 4 (2%) 23 (9%) 48 (4%) 2 (6%) 2 (6%) 32 (89%) 211 (18%) 894 (78%) Baik Sedang Rusak

Kondisi dan Lokasi 0 100 200 300 400 500 600 Jumlah

(Persebaran/ Presentasi & Kondisi)

A

B

C

D

E

408 (84%) 6 (1,2%) 12 (5%) 70 (32%) 9 (2%) 12 (8%) 16 (11%) Jumlah Baik Sedang Rusak Per Ruang & Persebaran Kondisi 389 (23%) 333 (86%) 123 (81%) 151 (9%) 47 (12%) 139 (62%) 221 (13%) 371 (82%) 52 (12%) 25 (6%) 71 (15%) 485 (29%) 448 (26%)

(13)

[11]

Sutan Takdir Alisjahbana (S.T.A.), pujangga besar Indonesia, adalah salah seorang yang diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa Penggerak Hidup ini untuk berjumpa langsung dan bercengkrama dengan Mas Pirnggadie di masa tuanya. Hasil pencengkramaan intens itu menjadi tulisan panjang dan bersambung sampai tiga kali dalam tahun-tahun yang berbeda sebagai artikel di majalah Poedjangga Baroe tentang tokoh kita Mas Pirngadie ini. Catatan-catatan S.T.A. ini sangatlah penting. Melewati tulisan-tulisan S.T.A. inilah yang mampu menjadi 'jembatan' komprehensif dalam menggapai serta mengenal lebih dekat sosok dan kiprah Mas Pirngadie.

Dalam salah satu artikelnya tentang Mas Pirngadie di majalah Poedjangga Baroe tersebut S.T.A. menulis demikian: "Dalam waktoe itoelah perasaannja terhadap gambaran ornament dapat toemboeh sesempoerna-sempoernanja. Di berbagai daerah itoe boekan sadja ia mendapat kesempatan mengenali sebaik-baiknja tjara anak negeri menghiasi barang perhiasan dan barang keperloean mereka setiap hari, iapoen mendapat kesempatan sepenoeh-penoehnja

memakai pinsilnja oentoek meloekiskan sekaliannja itoe di atas kertas. Dan siapa jang membalik-balikkan kelima djilid boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tebal-tebal hasil perdjalanan itoe dan mengamat-amati dengan seksama gembaran jang beratoes boeah itoe, tiada boleh tiada akan kagoem melihat ketjintaan, kesabaran, ketetapan hati, ketelitian dan tadjamnja penglihatan jang berseri-seri di seloeroeh gambaran itoe. Sesoenggoehnja dengan boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tiada ternilai harganja itoe telah terteralah oentoek selama-lamanja nama Mas Pirngadie sebagai ahli gambar jang pajah ditjahari tandingannja pada zaman permoelaan kebangoen-an bangsa Indonesia sekarang ini". (S.T.A. 1934)

Demikian petikan dari salah satu catatan S.T.A. tentang Mas Pirngadie ini. Dari ketiga artikel S.T.A. di Majalah Poedjangga Baroe (S.T.A. 1934, 1935, 1936) sangat terasa kuat pergumulan S.T.A. dengan Mas Pirngadie. Sebagai budayawan, S.T.A. tampil memberikan kesaksian lengkap serta jujur atas sosok dan kiprah Mas Pirngadie, 'seorang dari pada mereka jang soenji sepi berdjoeang itoe, tiada diminati dan tiada dikenali orang' ini. Tentu sebuah langkah hebat dan berani untuk menimbang kembali peran Mas Pirngadie dalam ranah kebudayaan negeri. Selain riwayat hidup Mas Pirngadie, S.T.A. mengungkapkan kekuatan, keindahan dan kedalaman karya-karya Mas Pirngadie, ahli gambar yang tetap hidup sederhana dan rendah hati.

Catatan-catatan S.T.A. itu adalah hasil wawancara langsung dengan Mas Pirngadie serta riset terhadap tulisan-tulisan koran atau majalah-majalah berbahasa Belanda yang terbit di negeri ini maupun di luar negeri yang mengupas karya-karya Mas Pirngadie. Dituliskan pula oleh S.T.A. bahwa tak ada satu pun media terbitan bumi putera yang pernah memberitakan atau mengulas tentang Mas Pirngadie ini. Jika pun ada, kata S.T.A., itu hanyalah kopian dari terbitan-terbitan berbahasa Belanda. Rasanya kenyataan ini memedihkan. Mengisyaratkan keberadaan Mas Pirngadie seperti sudah lama dalam posisi yang 'tak diperhitungkan' di kalangan para bumi putera sendiri. Meskipun kenyataannya, Mas Pirngadie telah menghasilkan ratusan karya lukis yang berbobot. Belum lagi dalam posisinya atas hasil karya luar biasa berupa lima jilid buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie.

Lalu bagaimana jejak-jejak Mas Pirngadie di masa kini?

Menapaki jejak-jejak Mas Pirngadie untuk menggapai sosok dan kiprahnya secara utuh memang bukanlah sesuatu yang mudah. Rasanya nama Mas Pirngadie hanya bisa dijumpai secara fragmentaris saja. Memang, ia terasa lebih dikenal bagi kalangan dunia antropologi atau etnografi. Itu pun pasti para ahli tertentu saja yang mau bertekun pada litaratur-litaratur budaya sehingga hanya mereka itu yang bisa menjumpai kumpulan karya buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie ini. Sementara di kalangan praktisi atau pecinta seni kerajinan tangan Nusantara itu pun lebih terfragmentaris lagi; yang tertarik di bidang seni anyaman membaca buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie yang jilid I yaitu seni anyaman; yang tertarik dunia tenun mengenal namanya dari buku jilid II nya tentang seni tenun; begitu juga yang tertarik batik, seni keris dan logam, membaca dari jilid-jilid lainnya sesuai masing-masing subyek itu.

Dunia lukisan Indonesia -- marilah kita sebut saja sejarah seni lukis Indonesia -- sebenarnya mengenal namanya. Meski agak samar-samar. Oleh karena dunia/sejarah lukis Indonesia rasanya terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan genre, aliran-aliran, periodisasi-periodisasi karya, 'mooi indie' dan 'bukan mooi indie', 'yang ini' dan 'yang itu' dan sebagainya yang semua itu seringkali berkaitan pada 'politisasi seni'.

Terasa sekali saat ini bila kita mencari nama Mas Pirngadie di antara tumpukan nama-nama pelukis besar Indonesia, proporsi namanya hanya kecil saja di tengah himpitan para pelukis besar Indonesia lainnya yang biografi dan karyanya bisa dituliskan dengan panjang lebar itu. Untuk melihat bukti ini kita bisa saja secara 'iseng-iseng' lewat internet di Google, ketik nama 'Mas Pirngadie' atau sekalian tambahi kata bantuan 'pelukis' di depan atau di belakang namanya. Maka pasti yang mucul kebanyakan bukan yang hendak kita cari. Yang kita dapati kebanyakan justeru riwayat para pelukis lainnya yang beberapa di antaranya memang pernah berguru pada Mas Pirngadie ini. Terasa kita kesulitan mendapati informasi, biografi dan karya-karya lukis Mas Pirngadie. Padahal bukankah di tanah air ini dan untuk tanah air ini seorang Sutan Takdir Alisyahbana sudah pernah menuliskannya secara panjang lebar lewat artikel-artikelnya di Poedjangga Baroe? Jangan-jangan memang kita sudah kesulitan untuk bisa mendapatkan tulisan-tulisan S.T.A. atau majalah-majalah Poedjangga Baroe itu, seperti halnya yang saya alami ketika mencoba mencari di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Nomor-nomor majalah itu sudah tidak ada lagi. Tidak terarsipkan dengan baik. Untungnya saya bisa mendapatinya kembali dari arsip di Belanda melewati ke-baikan hati antropolog Sandra Niessen.

Sesuai info dari tulisan S.T.A. dan dari beberapa sumber informasi lainnya menjadi petunjuk penting bagi saya di suatu hari untuk lari ke Museum Nasional dengan harapan bisa mendapatkan jejak-jejak Mas Pirngadie. Oleh karena gedung ini -- yang di zaman Hindia Belanda dikenal sebagai Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en

Wetenschappen -- adalah tempat terakhir Mas Pirngadie bekerja. Dan ketika saya sampai di museum ini tak banyak

yang bisa saya dapati tentang Mas Pirngadie. Jejak-jejaknya seperti diterbangkan oleh angin zaman, meskipun memang tidak semuanya. Selalu saya bayangkan bagaimana ia telah menyusun daftar-daftar informasi tentang benda-benda di museum ini yang masing-masing pada kartu kertas itu ia gambari juga dengan tangannya. Juga saya bayangkan

berhari-hari lamanya selama beberapa tahun Mas Pirngadie melukis 78 orang dari semua etnis yang ada di Nusantara ini yang ia gambar dari potret-potret yang semula hitam putih menjadi lukisan berwarna lengkap dengan pakaian adatnya masing-masing dengan detil-detil perhiasan asesorisnya dan 78 orang itu mengelilingi peta besar negeri ini yang juga digambar dengan tangan oleh Mas Pirngadie ini.

Lukisan-lukisan 78 kepala etnis dengan peta besar negeri Nusantara ini pulalah yang akhirnya mendapat kehormatan secara internasional untuk dipamerkan di Koloniale Tentoonstelling (Pameran Kolonial) di Paris 1931. Meski

sayang buah pekerjaan yang memakan waktu lama dari Mas Pirngadie itu pun musnah terbakar api bersama dengan buah seni Indonesia lainnya di pameran itu. Tapi gilanya, sekali lagi gilanya Mas Pirngadie tetap menggambarnya sekali lagi 78 lukisan itu. Sehingga sejak 1935 di museum tempat Mas Pirngadie bekerja ini orang-orang Indonesia, seperti halnya S.T.A., masih bisa menyaksikan lukisan-lukisan ulang ini. Ketika saya kembali ke Museum Nasional untuk bisa menyaksikan satu set lukisan tersebut, memang saya masih bisa mendapati gambar 78 suku bangsa negeri ini dalam satu ruang tersendiri. Yaitu berupa foto-foto yang merepro lukisan-lukisan Mas Pirngadie. Di lain hari saya mendapati kabar bahwa lukisan-lukisan aslinya sedang dirawat, direnovasi oleh museum ini. Dari foto-foto yang merepro satu set lukisan Mas Pirngadie, setidaknya masih bisa membuat saya merasakan jejak-jejak ketelatenannya yang luar biasa. Meskipun kebanyakan pengunjung yang masuk ruang ini tak kan pernah tahu siapa sesungguhnya yang menciptakan lukisan-lukisan aslinya. Tak ada tertera nama Mas Pirngadie secuil pun di ruang ini.

Akhirnya saya keluar dari ruangan ini dengan perasaan sunyi. Sesunyi Mas Pirngadie yang khusyuk bertahun-tahun mengerjakan segala macam pekerjaan di masa silam. Mengabdikan diri sepenuhnya pada museum ini. Bekerja tiap hari dari pagi sampai sore hari sampai yang benar-benar terakhir dari hidupnya di Sabtu 4 April 1936. Pada hari itu, tiada seperti biasanya Mas Pirngadie meninggalkan pekerjaan, pulang ke rumah karena sakit. Tiada lama kemudian beliaupun meninggalkan dunia, menuju Sang Pencipta.

"Mas Pirngadie, aman dan sentosa toean dapat merebahkan badan toean jang letih di pangkoean boemi : pekerdjaan toean telah selesai. Dan nama toean tiada akan terloepa lagi!" (S.T.A. 1936).

Semoga demikianlah anak-anak bangsa negeri ini tiada melupakan lagi Mas Pirngadie, tokoh besar negeri ini.

Catatan:

1. Pembersihan ringan = pembersihan ringan dengan kwas/ penyedot debu; 2. Chemical cleaning = pembersihan kotoran yang sudah berkerak, mengangkat varnis lama yang sudah menguning/ teroksidasi dengan bahan pelarut, seperti: white spirits, turpentine, dietoxy-ethanol, diacetone alcohol, MEK (methyl-ethyl-ketone), dll.; 3. Framing/ reframing = bongkar/ pasang kanvas dari spanram (dan

pigura) karena kanvas kendor, mengganti paku yang berkarat, dll.; 4. Restretching = mengencangkan kanvas yang kendor atau reshaping kanvas yang bergelombang; 5. Inpainting = tusir warna bagian cat yang terkelupas; 6. Repainting = lukis ulang pada bagian cat yang hilang karena cleaning atau inpainting yang salah; 7. Retouching = pembuatan efek khusus dengan cat/ varnis; 8. Varnishing = vanish for retouching or protection; 9. Penguatan cat dengan perekat thermosetting atau lainnya; 10. Fumigasi dengan thymol, dll.

Pembersihan ringan Chemical cleaning Framing/ reframing Restretching Inpainting Repainting Retouching Varnishing Penguatan cat Fumigasi X X X X X X X MEK X Rekomendasi Konservasi : Lain-lain sambung sobekan, dobel kanvas tanpa lem

X

sobek

Liquin LocTite Gel Glue 4 gram

2

picture cleaner

white spirits turpentine toluene & acetone 2-ethoxy ethanol 2-aceton alcohol

Proses Konservasi Lukisan

Kotor debu

Kanvas kendor Varnis menguning Varnis cacat Cat rapuh/ kering Cat kelupas Jamur

Lain-lain Kondisi :

Hendra Gunawan [Pahlawan Teuku Umar, 98 x 145,5 cm, Oils on Canvas, 1956] X X X X parah sobekan di 3 tempat A. B. kan vas spanr am

1

Luk isan air white-spirit turpentin air sabun (amonia) 2-ethoxy ethanol 2-aceton alcohol 5. 6. 7. 8. 1. 2. 3. 4. toluene acetone X X pigur a X Cr eat ed b y P uji Y . Subagiy o 2016

(14)

[12]

Sutan Takdir Alisjahbana (S.T.A.), pujangga besar Indonesia, adalah salah seorang yang diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa Penggerak Hidup ini untuk berjumpa langsung dan bercengkrama dengan Mas Pirnggadie di masa tuanya. Hasil pencengkramaan intens itu menjadi tulisan panjang dan bersambung sampai tiga kali dalam tahun-tahun yang berbeda sebagai artikel di majalah Poedjangga Baroe tentang tokoh kita Mas Pirngadie ini. Catatan-catatan S.T.A. ini sangatlah penting. Melewati tulisan-tulisan S.T.A. inilah yang mampu menjadi 'jembatan' komprehensif dalam menggapai serta mengenal lebih dekat sosok dan kiprah Mas Pirngadie.

Dalam salah satu artikelnya tentang Mas Pirngadie di majalah Poedjangga Baroe tersebut S.T.A. menulis demikian: "Dalam waktoe itoelah perasaannja terhadap gambaran ornament dapat toemboeh sesempoerna-sempoernanja. Di berbagai daerah itoe boekan sadja ia mendapat kesempatan mengenali sebaik-baiknja tjara anak negeri menghiasi barang perhiasan dan barang keperloean mereka setiap hari, iapoen mendapat kesempatan sepenoeh-penoehnja

memakai pinsilnja oentoek meloekiskan sekaliannja itoe di atas kertas. Dan siapa jang membalik-balikkan kelima djilid boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tebal-tebal hasil perdjalanan itoe dan mengamat-amati dengan seksama gembaran jang beratoes boeah itoe, tiada boleh tiada akan kagoem melihat ketjintaan, kesabaran, ketetapan hati, ketelitian dan tadjamnja penglihatan jang berseri-seri di seloeroeh gambaran itoe. Sesoenggoehnja dengan boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tiada ternilai harganja itoe telah terteralah oentoek selama-lamanja nama Mas Pirngadie sebagai ahli gambar jang pajah ditjahari tandingannja pada zaman permoelaan kebangoen-an bangsa Indonesia sekarang ini". (S.T.A. 1934)

Demikian petikan dari salah satu catatan S.T.A. tentang Mas Pirngadie ini. Dari ketiga artikel S.T.A. di Majalah Poedjangga Baroe (S.T.A. 1934, 1935, 1936) sangat terasa kuat pergumulan S.T.A. dengan Mas Pirngadie. Sebagai budayawan, S.T.A. tampil memberikan kesaksian lengkap serta jujur atas sosok dan kiprah Mas Pirngadie, 'seorang dari pada mereka jang soenji sepi berdjoeang itoe, tiada diminati dan tiada dikenali orang' ini. Tentu sebuah langkah hebat dan berani untuk menimbang kembali peran Mas Pirngadie dalam ranah kebudayaan negeri. Selain riwayat hidup Mas Pirngadie, S.T.A. mengungkapkan kekuatan, keindahan dan kedalaman karya-karya Mas Pirngadie, ahli gambar yang tetap hidup sederhana dan rendah hati.

Catatan-catatan S.T.A. itu adalah hasil wawancara langsung dengan Mas Pirngadie serta riset terhadap tulisan-tulisan koran atau majalah-majalah berbahasa Belanda yang terbit di negeri ini maupun di luar negeri yang mengupas karya-karya Mas Pirngadie. Dituliskan pula oleh S.T.A. bahwa tak ada satu pun media terbitan bumi putera yang pernah memberitakan atau mengulas tentang Mas Pirngadie ini. Jika pun ada, kata S.T.A., itu hanyalah kopian dari terbitan-terbitan berbahasa Belanda. Rasanya kenyataan ini memedihkan. Mengisyaratkan keberadaan Mas Pirngadie seperti sudah lama dalam posisi yang 'tak diperhitungkan' di kalangan para bumi putera sendiri. Meskipun kenyataannya, Mas Pirngadie telah menghasilkan ratusan karya lukis yang berbobot. Belum lagi dalam posisinya atas hasil karya luar biasa berupa lima jilid buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie.

Lalu bagaimana jejak-jejak Mas Pirngadie di masa kini?

Menapaki jejak-jejak Mas Pirngadie untuk menggapai sosok dan kiprahnya secara utuh memang bukanlah sesuatu yang mudah. Rasanya nama Mas Pirngadie hanya bisa dijumpai secara fragmentaris saja. Memang, ia terasa lebih dikenal bagi kalangan dunia antropologi atau etnografi. Itu pun pasti para ahli tertentu saja yang mau bertekun pada litaratur-litaratur budaya sehingga hanya mereka itu yang bisa menjumpai kumpulan karya buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie ini. Sementara di kalangan praktisi atau pecinta seni kerajinan tangan Nusantara itu pun lebih terfragmentaris lagi; yang tertarik di bidang seni anyaman membaca buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie yang jilid I yaitu seni anyaman; yang tertarik dunia tenun mengenal namanya dari buku jilid II nya tentang seni tenun; begitu juga yang tertarik batik, seni keris dan logam, membaca dari jilid-jilid lainnya sesuai masing-masing subyek itu.

Dunia lukisan Indonesia -- marilah kita sebut saja sejarah seni lukis Indonesia -- sebenarnya mengenal namanya. Meski agak samar-samar. Oleh karena dunia/sejarah lukis Indonesia rasanya terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan genre, aliran-aliran, periodisasi-periodisasi karya, 'mooi indie' dan 'bukan mooi indie', 'yang ini' dan 'yang itu' dan sebagainya yang semua itu seringkali berkaitan pada 'politisasi seni'.

Terasa sekali saat ini bila kita mencari nama Mas Pirngadie di antara tumpukan nama-nama pelukis besar Indonesia, proporsi namanya hanya kecil saja di tengah himpitan para pelukis besar Indonesia lainnya yang biografi dan karyanya bisa dituliskan dengan panjang lebar itu. Untuk melihat bukti ini kita bisa saja secara 'iseng-iseng' lewat internet di Google, ketik nama 'Mas Pirngadie' atau sekalian tambahi kata bantuan 'pelukis' di depan atau di belakang namanya. Maka pasti yang mucul kebanyakan bukan yang hendak kita cari. Yang kita dapati kebanyakan justeru riwayat para pelukis lainnya yang beberapa di antaranya memang pernah berguru pada Mas Pirngadie ini. Terasa kita kesulitan mendapati informasi, biografi dan karya-karya lukis Mas Pirngadie. Padahal bukankah di tanah air ini dan untuk tanah air ini seorang Sutan Takdir Alisyahbana sudah pernah menuliskannya secara panjang lebar lewat artikel-artikelnya di Poedjangga Baroe? Jangan-jangan memang kita sudah kesulitan untuk bisa mendapatkan tulisan-tulisan S.T.A. atau majalah-majalah Poedjangga Baroe itu, seperti halnya yang saya alami ketika mencoba mencari di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Nomor-nomor majalah itu sudah tidak ada lagi. Tidak terarsipkan dengan baik. Untungnya saya bisa mendapatinya kembali dari arsip di Belanda melewati ke-baikan hati antropolog Sandra Niessen.

Sesuai info dari tulisan S.T.A. dan dari beberapa sumber informasi lainnya menjadi petunjuk penting bagi saya di suatu hari untuk lari ke Museum Nasional dengan harapan bisa mendapatkan jejak-jejak Mas Pirngadie. Oleh karena gedung ini -- yang di zaman Hindia Belanda dikenal sebagai Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en

Wetenschappen -- adalah tempat terakhir Mas Pirngadie bekerja. Dan ketika saya sampai di museum ini tak banyak

yang bisa saya dapati tentang Mas Pirngadie. Jejak-jejaknya seperti diterbangkan oleh angin zaman, meskipun memang tidak semuanya. Selalu saya bayangkan bagaimana ia telah menyusun daftar-daftar informasi tentang benda-benda di museum ini yang masing-masing pada kartu kertas itu ia gambari juga dengan tangannya. Juga saya bayangkan

berhari-hari lamanya selama beberapa tahun Mas Pirngadie melukis 78 orang dari semua etnis yang ada di Nusantara ini yang ia gambar dari potret-potret yang semula hitam putih menjadi lukisan berwarna lengkap dengan pakaian adatnya masing-masing dengan detil-detil perhiasan asesorisnya dan 78 orang itu mengelilingi peta besar negeri ini yang juga digambar dengan tangan oleh Mas Pirngadie ini.

Lukisan-lukisan 78 kepala etnis dengan peta besar negeri Nusantara ini pulalah yang akhirnya mendapat kehormatan secara internasional untuk dipamerkan di Koloniale Tentoonstelling (Pameran Kolonial) di Paris 1931. Meski

sayang buah pekerjaan yang memakan waktu lama dari Mas Pirngadie itu pun musnah terbakar api bersama dengan buah seni Indonesia lainnya di pameran itu. Tapi gilanya, sekali lagi gilanya Mas Pirngadie tetap menggambarnya sekali lagi 78 lukisan itu. Sehingga sejak 1935 di museum tempat Mas Pirngadie bekerja ini orang-orang Indonesia, seperti halnya S.T.A., masih bisa menyaksikan lukisan-lukisan ulang ini. Ketika saya kembali ke Museum Nasional untuk bisa menyaksikan satu set lukisan tersebut, memang saya masih bisa mendapati gambar 78 suku bangsa negeri ini dalam satu ruang tersendiri. Yaitu berupa foto-foto yang merepro lukisan-lukisan Mas Pirngadie. Di lain hari saya mendapati kabar bahwa lukisan-lukisan aslinya sedang dirawat, direnovasi oleh museum ini. Dari foto-foto yang merepro satu set lukisan Mas Pirngadie, setidaknya masih bisa membuat saya merasakan jejak-jejak ketelatenannya yang luar biasa. Meskipun kebanyakan pengunjung yang masuk ruang ini tak kan pernah tahu siapa sesungguhnya yang menciptakan lukisan-lukisan aslinya. Tak ada tertera nama Mas Pirngadie secuil pun di ruang ini.

Akhirnya saya keluar dari ruangan ini dengan perasaan sunyi. Sesunyi Mas Pirngadie yang khusyuk bertahun-tahun mengerjakan segala macam pekerjaan di masa silam. Mengabdikan diri sepenuhnya pada museum ini. Bekerja tiap hari dari pagi sampai sore hari sampai yang benar-benar terakhir dari hidupnya di Sabtu 4 April 1936. Pada hari itu, tiada seperti biasanya Mas Pirngadie meninggalkan pekerjaan, pulang ke rumah karena sakit. Tiada lama kemudian beliaupun meninggalkan dunia, menuju Sang Pencipta.

"Mas Pirngadie, aman dan sentosa toean dapat merebahkan badan toean jang letih di pangkoean boemi : pekerdjaan toean telah selesai. Dan nama toean tiada akan terloepa lagi!" (S.T.A. 1936).

Semoga demikianlah anak-anak bangsa negeri ini tiada melupakan lagi Mas Pirngadie, tokoh besar negeri ini.

Ambron, Emilio Covarrubias, Miguel Dooijeward, Willem (1892-1990) Friend, Donald Israel, Isaac Mooijen, P. A. J. Meier, Theo (1908-1982) Smit, Arie Sonnega, Auke C. Sten, John

Pelukis Asing

(di Bali, dari 1904 - 1967)

1904 > W. O. J. Nieuwenkamp

1938 > Willem & Maria Hofker

1927 > Walter Spies

1941 > Lee Man-fong (1913-1988)

1935 > Adrien Jean Le Mayeur de Merpres (1880 - 1958)

1928 > Rudolf Bonnet (1895-1978)

1922 > Rolland Strasser (1895-?)

1915 > Carel Lodewijk Dake Jr. (1886-1946) 1952 > Antonia Blanco (1912 - 1999) 1990 1980 1970 1960 1950 1940 1941 1942 1943 1944 1945 1946 1947 19481949 1951 1952 1953 1954 19551956 1957 19581959 1961 1962 19631964 1965 1966 1967 1968 1969 1971 19721973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1981 19821983 1984 19851986 1987 19881989 1900 1800 1904

PERKEMBANGAN SENIRUPA INDONESIA

Masa Pendudukan Jepang (1942 - 1945)

Masa Raden Saleh (1814 - 1880) Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI), 1938 - 1942:

Agus Djaya, S. Sudjojono, Emiria Sunassa, Sukirno, Otto Djaya

Poesat Tenaga Rakyat (POETERA), 1942 - 1944:

Affandi, K. Yudhokusumo, Ny. Ngendon, Basuki Abdullah

W. Spies & Gde A. Sukowati PITA MAHA (1935)

Keimin Bunka Shidoso (1944)

Otto Djaya, Henk Ngantung, Dullah, Hendra Gunawan.

Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) Yogya, 1945:

Djajengasmoro, Sindusisworo, Indrosughondo, Prawito.

Angkatan Seni Rupa Indonesia (ASRI) Medan, 1945:

Ismail Daulay, Nasjah Djamin, Hasan Djafar, Husein.

Dr. Moerdowo Himpunan Budaya Surakarta (1945)

Pelukis Rakyat (1947)

Sudjojono, Affandi, Hendra, Soedarso,Sudiardjo, Trubus,

Sasongko, Kusnadi, Sudjono Kerton, Rustamadji, Sumitro, Sajono, Saptoto, C.J. Ali, Juski, Permadi. Seniman Indonesia Muda (SIM),1946

di Yogyakarta: Affandi, Hendra, Trubus, Dullah, Soedarso,

Suromo, Surono, Kartono Yudhokusumo, Basuki Resobowo,

Rusli, Harijadi S., Abdul Salam, D. Joes, Zaini.

SIM pindah dari Yogya ke Solo (1948), anggota tambah Trisno Sumarjo, Oesman Effendi, Sasongko, Suparto,

Mardian, Wakijan, Srihadi S.

Gabungan Pelukis Indonesia (1948):

Affandi, Sutiksna, Nasyah Djamin, Handriyo, Zaini,

Sjahri, Nashar, Oesman Effendi, Trisno Sumardjo. Sularko Pelangi di Surakarta (1947 - 1949)

Seniman Muda Indonesia (SEMI), 1946: di Bukittinggi: Zetka, A.A. Navis, Zanain.

Masa Terisolir dari Negara Luar:

Kanvas dibuat dari blaco/ kertas dan satu tube cat minyak harus bergantian dengan seniman lain

Masa Abdullah Sr. (1878 - 1914) Wakidi (1889 - 1979), M. Pirngadie (1875 - 1936)

1

2

3

4

Akademi Senirupa Indonesia di Yogya (1950)

G. Sidharta, Widayat, Edi Sunarso, Rulijati, Muljadi W., Sjahwil,

Sunarto Pr., Wardojo, Danarto, Arief Sudarsono

Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), 1950-1965

mempolitikkan kesenian Pameran ASRI - ITB (>1950) Alibasyah, G. Sidharta, Edhi Sunarso, But Muchtar, Pirous, Sunarso, Yusuf Affendi, Muljadi, Arief Sudarsono, Mudjita, Irsam, Danarto,

Aming Prayitno, Budiani, Bagong Kussudiardjo, Amri Yahya, Harijadi, Sutanto, Adi Munardi.

REVOLUSI FISIK (1945 - 1949)

Pelukis Asing

Amato, L.

Dezentje, Ernest

Giovanetti, G.

Imandt, Wilhelmus Jean Frederic

Kinsen, Mori Kichigoro (1888-1959)

Koenig, Arthur Johann

Li Shuji (1943 - ?) Makovsky, Konstantin E. (1839-1915) Renato, Cristiano Simonetti Snel, Han (1925 - 1998) Talwinski, Igor (1907-1983)

(Lukisan Ada Di Indonesia)

Alimin

Henk Ngantung (1921 - 1990)

Ida Bagus Made Nadera

I Gusti Putu Gede

I Gusti Ketut Kobot

Lim Wasim (1929 - 2004) Mahjuddin S. Nashar (1928 -1994) Sobrat, A. A. Gede Sumardi Thamdjidin, M. Wayan Sudana

7

6

Pelukis Koleksi Istana, dll.

5

Fadjar Sidik, Widayat, A. Sadali, Srihadi S., Popo Iskandar, Abas

Lukisan Dinding Gua di Maros - Sulawesi berusia 40.000 tahun

(15)

[13]

Mas Pirngadie - Jejak-Jejak yang Berkelana dari Masa Silam ke Masa Kini

Sebagai pelukis, boleh jadi namanya tidak banyak dikenal. Namun melewati De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie -- 5 jilid buku tentang segala seni kerajinan tangan Nusantara -- membuktikan bahwa dialah ahli gambar etnografis terhebat yang dimiliki negeri ini. Hasil berkelananya mengelilingi segenap pelosok Nusantara (1904-1913) bersama Johan Ernst Jasper, seorang ambtenaar (pegawai negeri sipil) pemerintah Hindia Belanda yang juga adalah penulis kumpulan buku ini, mengisyaratkan sebuah kenyataan: ia telah melakukan pekerjaan yang luar biasa dan menjadi karya besar bagi negeri yang dicintainya ini.

Mas Pirngadie lahir Desember 1875 di desa Pakirangan Purbalingga Jawa Tengah, yang menjadi salah satu lukisan cat minyaknya tentang pemandangan berbukit dengan hamparan padi menguning dialiri anak sungai yang deras berbatu-batu. Darah seni mengalir dari ayahnya Mas Mertojoedo, seorang petani biasa yang juga adalah seorang ahli ukir serta pandai emas dan perak. Namun beliau tak sempat secara lansung mengajarkan seni kerajinan tangan itu pada puteranya ini. Beliau meninggal dunia ketika Pirngadie masih berusia lima tahun. Sejak itu Pirngadie kecil memulai takdirnya sebagai 'pengembara'. Berpindah-pindah dari satu orang ke orang lainnya, dari satu tempat ke tempat lainnya.

Oleh MJA Nashir, 2 Agustus 2012

Sutan Takdir Alisjahbana (S.T.A.), pujangga besar Indonesia, adalah salah seorang yang diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa Penggerak Hidup ini untuk berjumpa langsung dan bercengkrama dengan Mas Pirnggadie di masa tuanya. Hasil pencengkramaan intens itu menjadi tulisan panjang dan bersambung sampai tiga kali dalam tahun-tahun yang berbeda sebagai artikel di majalah Poedjangga Baroe tentang tokoh kita Mas Pirngadie ini. Catatan-catatan S.T.A. ini sangatlah penting. Melewati tulisan-tulisan S.T.A. inilah yang mampu menjadi 'jembatan' komprehensif dalam menggapai serta mengenal lebih dekat sosok dan kiprah Mas Pirngadie.

Dalam salah satu artikelnya tentang Mas Pirngadie di majalah Poedjangga Baroe tersebut S.T.A. menulis demikian: "Dalam waktoe itoelah perasaannja terhadap gambaran ornament dapat toemboeh sesempoerna-sempoernanja. Di berbagai daerah itoe boekan sadja ia mendapat kesempatan mengenali sebaik-baiknja tjara anak negeri menghiasi barang perhiasan dan barang keperloean mereka setiap hari, iapoen mendapat kesempatan sepenoeh-penoehnja

memakai pinsilnja oentoek meloekiskan sekaliannja itoe di atas kertas. Dan siapa jang membalik-balikkan kelima djilid boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tebal-tebal hasil perdjalanan itoe dan mengamat-amati dengan seksama gembaran jang beratoes boeah itoe, tiada boleh tiada akan kagoem melihat ketjintaan, kesabaran, ketetapan hati, ketelitian dan tadjamnja penglihatan jang berseri-seri di seloeroeh gambaran itoe. Sesoenggoehnja dengan boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tiada ternilai harganja itoe telah terteralah oentoek selama-lamanja nama Mas Pirngadie sebagai ahli gambar jang pajah ditjahari tandingannja pada zaman permoelaan kebangoen-an bangsa Indonesia sekarang ini". (S.T.A. 1934)

Demikian petikan dari salah satu catatan S.T.A. tentang Mas Pirngadie ini. Dari ketiga artikel S.T.A. di Majalah Poedjangga Baroe (S.T.A. 1934, 1935, 1936) sangat terasa kuat pergumulan S.T.A. dengan Mas Pirngadie. Sebagai budayawan, S.T.A. tampil memberikan kesaksian lengkap serta jujur atas sosok dan kiprah Mas Pirngadie, 'seorang dari pada mereka jang soenji sepi berdjoeang itoe, tiada diminati dan tiada dikenali orang' ini. Tentu sebuah langkah hebat dan berani untuk menimbang kembali peran Mas Pirngadie dalam ranah kebudayaan negeri. Selain riwayat hidup Mas Pirngadie, S.T.A. mengungkapkan kekuatan, keindahan dan kedalaman karya-karya Mas Pirngadie, ahli gambar yang tetap hidup sederhana dan rendah hati.

Catatan-catatan S.T.A. itu adalah hasil wawancara langsung dengan Mas Pirngadie serta riset terhadap tulisan-tulisan koran atau majalah-majalah berbahasa Belanda yang terbit di negeri ini maupun di luar negeri yang mengupas karya-karya Mas Pirngadie. Dituliskan pula oleh S.T.A. bahwa tak ada satu pun media terbitan bumi putera yang pernah memberitakan atau mengulas tentang Mas Pirngadie ini. Jika pun ada, kata S.T.A., itu hanyalah kopian dari terbitan-terbitan berbahasa Belanda. Rasanya kenyataan ini memedihkan. Mengisyaratkan keberadaan Mas Pirngadie seperti sudah lama dalam posisi yang 'tak diperhitungkan' di kalangan para bumi putera sendiri. Meskipun kenyataannya, Mas Pirngadie telah menghasilkan ratusan karya lukis yang berbobot. Belum lagi dalam posisinya atas hasil karya luar biasa berupa lima jilid buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie.

Lalu bagaimana jejak-jejak Mas Pirngadie di masa kini?

Menapaki jejak-jejak Mas Pirngadie untuk menggapai sosok dan kiprahnya secara utuh memang bukanlah sesuatu yang mudah. Rasanya nama Mas Pirngadie hanya bisa dijumpai secara fragmentaris saja. Memang, ia terasa lebih dikenal bagi kalangan dunia antropologi atau etnografi. Itu pun pasti para ahli tertentu saja yang mau bertekun pada litaratur-litaratur budaya sehingga hanya mereka itu yang bisa menjumpai kumpulan karya buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie ini. Sementara di kalangan praktisi atau pecinta seni kerajinan tangan Nusantara itu pun lebih terfragmentaris lagi; yang tertarik di bidang seni anyaman membaca buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie yang jilid I yaitu seni anyaman; yang tertarik dunia tenun mengenal namanya dari buku jilid II nya tentang seni tenun; begitu juga yang tertarik batik, seni keris dan logam, membaca dari jilid-jilid lainnya sesuai masing-masing subyek itu.

Dunia lukisan Indonesia -- marilah kita sebut saja sejarah seni lukis Indonesia -- sebenarnya mengenal namanya. Meski agak samar-samar. Oleh karena dunia/sejarah lukis Indonesia rasanya terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan genre, aliran-aliran, periodisasi-periodisasi karya, 'mooi indie' dan 'bukan mooi indie', 'yang ini' dan 'yang itu' dan sebagainya yang semua itu seringkali berkaitan pada 'politisasi seni'.

Terasa sekali saat ini bila kita mencari nama Mas Pirngadie di antara tumpukan nama-nama pelukis besar Indonesia, proporsi namanya hanya kecil saja di tengah himpitan para pelukis besar Indonesia lainnya yang biografi dan karyanya bisa dituliskan dengan panjang lebar itu. Untuk melihat bukti ini kita bisa saja secara 'iseng-iseng' lewat internet di Google, ketik nama 'Mas Pirngadie' atau sekalian tambahi kata bantuan 'pelukis' di depan atau di belakang namanya. Maka pasti yang mucul kebanyakan bukan yang hendak kita cari. Yang kita dapati kebanyakan justeru riwayat para pelukis lainnya yang beberapa di antaranya memang pernah berguru pada Mas Pirngadie ini. Terasa kita kesulitan mendapati informasi, biografi dan karya-karya lukis Mas Pirngadie. Padahal bukankah di tanah air ini dan untuk tanah air ini seorang Sutan Takdir Alisyahbana sudah pernah menuliskannya secara panjang lebar lewat artikel-artikelnya di Poedjangga Baroe? Jangan-jangan memang kita sudah kesulitan untuk bisa mendapatkan tulisan-tulisan S.T.A. atau majalah-majalah Poedjangga Baroe itu, seperti halnya yang saya alami ketika mencoba mencari di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Nomor-nomor majalah itu sudah tidak ada lagi. Tidak terarsipkan dengan baik. Untungnya saya bisa mendapatinya kembali dari arsip di Belanda melewati ke-baikan hati antropolog Sandra Niessen.

Sesuai info dari tulisan S.T.A. dan dari beberapa sumber informasi lainnya menjadi petunjuk penting bagi saya di suatu hari untuk lari ke Museum Nasional dengan harapan bisa mendapatkan jejak-jejak Mas Pirngadie. Oleh karena gedung ini -- yang di zaman Hindia Belanda dikenal sebagai Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en

Wetenschappen -- adalah tempat terakhir Mas Pirngadie bekerja. Dan ketika saya sampai di museum ini tak banyak

yang bisa saya dapati tentang Mas Pirngadie. Jejak-jejaknya seperti diterbangkan oleh angin zaman, meskipun memang tidak semuanya. Selalu saya bayangkan bagaimana ia telah menyusun daftar-daftar informasi tentang benda-benda di museum ini yang masing-masing pada kartu kertas itu ia gambari juga dengan tangannya. Juga saya bayangkan

berhari-hari lamanya selama beberapa tahun Mas Pirngadie melukis 78 orang dari semua etnis yang ada di Nusantara ini yang ia gambar dari potret-potret yang semula hitam putih menjadi lukisan berwarna lengkap dengan pakaian adatnya masing-masing dengan detil-detil perhiasan asesorisnya dan 78 orang itu mengelilingi peta besar negeri ini yang juga digambar dengan tangan oleh Mas Pirngadie ini.

Lukisan-lukisan 78 kepala etnis dengan peta besar negeri Nusantara ini pulalah yang akhirnya mendapat kehormatan secara internasional untuk dipamerkan di Koloniale Tentoonstelling (Pameran Kolonial) di Paris 1931. Meski

sayang buah pekerjaan yang memakan waktu lama dari Mas Pirngadie itu pun musnah terbakar api bersama dengan buah seni Indonesia lainnya di pameran itu. Tapi gilanya, sekali lagi gilanya Mas Pirngadie tetap menggambarnya sekali lagi 78 lukisan itu. Sehingga sejak 1935 di museum tempat Mas Pirngadie bekerja ini orang-orang Indonesia, seperti halnya S.T.A., masih bisa menyaksikan lukisan-lukisan ulang ini. Ketika saya kembali ke Museum Nasional untuk bisa menyaksikan satu set lukisan tersebut, memang saya masih bisa mendapati gambar 78 suku bangsa negeri ini dalam satu ruang tersendiri. Yaitu berupa foto-foto yang merepro lukisan-lukisan Mas Pirngadie. Di lain hari saya mendapati kabar bahwa lukisan-lukisan aslinya sedang dirawat, direnovasi oleh museum ini. Dari foto-foto yang merepro satu set lukisan Mas Pirngadie, setidaknya masih bisa membuat saya merasakan jejak-jejak ketelatenannya yang luar biasa. Meskipun kebanyakan pengunjung yang masuk ruang ini tak kan pernah tahu siapa sesungguhnya yang menciptakan lukisan-lukisan aslinya. Tak ada tertera nama Mas Pirngadie secuil pun di ruang ini.

Akhirnya saya keluar dari ruangan ini dengan perasaan sunyi. Sesunyi Mas Pirngadie yang khusyuk bertahun-tahun mengerjakan segala macam pekerjaan di masa silam. Mengabdikan diri sepenuhnya pada museum ini. Bekerja tiap hari dari pagi sampai sore hari sampai yang benar-benar terakhir dari hidupnya di Sabtu 4 April 1936. Pada hari itu, tiada seperti biasanya Mas Pirngadie meninggalkan pekerjaan, pulang ke rumah karena sakit. Tiada lama kemudian beliaupun meninggalkan dunia, menuju Sang Pencipta.

"Mas Pirngadie, aman dan sentosa toean dapat merebahkan badan toean jang letih di pangkoean boemi : pekerdjaan toean telah selesai. Dan nama toean tiada akan terloepa lagi!" (S.T.A. 1936).

Semoga demikianlah anak-anak bangsa negeri ini tiada melupakan lagi Mas Pirngadie, tokoh besar negeri ini.

Sejak ayahnya meninggal ia diasuh oleh adik dari ibunya, Haji Mochammad Tahir. Paman ini seorang santri ta'at yang berprofesi sebagai penghulu di desa Pakirangan. Pirngadi pun didiknya ilmu agama dan mengaji agar kelak bisa menggantikannya. Namun dalam usianya yang tujuh tahun, setelah tamat belajar mengaji, Pirngadie diambil oleh sepupunya (putra kakak ayahnya), Mas Joedodimedjo, untuk dibawa ke Bukateja. Di daerah inilah Mas Joedodimedjo mulai mendidik Pirngadie dengan harapan agar Pirngadie bisa masuk ke dunia pekerjaan seperti dirinya, pegawai kadaster. Oleh kakak sepupu ini Pirngadie di sekolahkan di sekolah district. Ketika kakak sepupunya pindah tugas ke beberapa kota lain Pirngadie pun turut serta. Dari Bukateja pindah ke Magelang, lalu ke Sukabumi dan selanjutnya ke Bandung. Di Bandung Pirngadie masuk Externenschool dan sore hari belajar bahasa Belanda pada H. Falk.

Pada 1889, di usia 12 tahun Pirngadie diterima magang pada jabatan kadaster (pegawai urusan persil tanah). Inilah tahun dimana Mas Pirngadie memulai profesinya di dunia kadaster atau pertanahan. Pekerjaan yang berurusan dengan sistem administrasi informasi persil tanah, mengurus kepentingan-kepentingan atas tanah; yaitu hak, batasan dan tanggung jawab dalam bentuk uraian geometrik atau peta sebagai dasar pengelolaan hak atas tanah, nilai tanah, dan pemanfaatan tanah. Dengan demikian Pirngadie mulai terlibat pekerjaan membuat peta-peta tanah. Maka ia pun mulai berkenalan dengan pinsil gambar. Pekerjaan di kadaster secara langsung membekali dirinya akan kemampuan pada hal-hal yang sifatnya detil, rumit, bahkan matematis karena tuntutan ketepatan. Kelak itu semua menjadi kekuatan bagi karya-karya gambarnya. Begitu juga menurut H. van Meurs dalam tulisannya tentang Mas Pirngadie, "A Javanese Artist Painter" di majalah Sluyters' Monthly :

"Ketika Pirngadie berusia 12 tahun dia telah mulai bekerja di kantor kadaster, dan saat mendesain peta di sini dia mengalami pertama kalinya pegang cat dan kuas. Seandainya dia mengambil pekerjaan lainnya selain ini maka bakatnya sebagai pelukis mungkin tak kan pernah mempunyai latar belakang. Maka inilah sisi penting dari pekerjaan kadasternya; meskipun secara alamiah bukanlah sesuatu yang penting bahwa sebagai dasar pertama dia banyak belajar tentang menggambar dan melukis secara mekanis. Tentu saja dengan pekerjaan yang selalu menekankan ketepatan matematis ini tiada ruang bagi inspirasi artistik."

Referensi

Dokumen terkait

Ekosistem perairan tawar secara umum dibagi menjadi dua yaitu perairan mengalir (lotik water) dan perairan menggenang (lentik water). Perairan lotik dicirikan adanya arus yang

Para guru mengajarnya dengan cara privat/ individu (tatap muka), ada juga klasikal (bersamaan) dan asistensi Maksudnya asistensi (yang lebih tinggi

pada Username atau password kemudian klik tombol login Username: Nabil Password: (Kosong) Sistem akan menolak akses user dan menampilkan “masukan data yang benar”

Todani dan kawan – kawan, berdasarkan analisisnya menggunakan endoscopic retrogarde cholangiography (ERCP) dan pemeriksaan dengan kolangiografi lain, menerangkan

Mikaeloff dkk (2003) melaporkan efikasi dan tolerabilitas topiramate sebagai terapi tambahan pada anak kurang dari 12 tahun dengan epilepsi refrakter sesuai sindrom epilepsi

Apakah catatan yang perlu direkodkan ke dalam lejar pada tarikh tersebut?.. 7

Maka dari itu alangkah baiknya jika kita bisa dengan bijak menggunakan fasilitas ini dengan sebaik-baiknya dalam hal yang positif demi kemajuan diri dan pribadi kita, dan

Dalam artikel ini profil karakter kartun Mang Ohle di Koran Pikiran Rakyat adalah untuk mengingat dan mengenang keberadaan tokoh kartun ini, yang turut