i PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN
SYOK ANAFILAKSIS OLEH KARENA
TRANSFUSI ALBUMIN PADA PENDERITA
LIMFOMA HODGKIN
Oleh :
L.P. Suryantini Septiadewi (0802005098) dr. Ketut Suardamana, Sp.PD-KAI
DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUP SANGLAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2018
ii KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rakhmatnya maka Laporan Pengalaman Belajar Lapangan yang berjudul ”Osteoartritis” ini dapat selesai pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini. Laporan Pengalaman Belajar Lapangan ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar.
Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada:
1. dr. Ketut Suardamana, Sp.PD-KAI selaku dosen pembimbing.
2. Pasien dan keluarga pasien yang telah memberikan informasi dan data-data yang sangat penulis perlukan untuk penyelesaian laporan ini.
3. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari tulisan ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan tulisan ini. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.
Denpasar, Juni 2018
iii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... ... i
KATA PENGANTAR ... ... ii
DAFTAR ISI ... ... iii
BAB I PENDAHULUAN ... ... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 3
2.1 Definisi. ... ... 3 2.2 Etiologi. ... ... 3 2.3 Faktor Predisposisi... ... 5 2.4 Patofisiologi... 5 2.5 Manifestasi Klinis ... 7 2.6 Penatalaksnaaan ... 7 2.7 Pencegahan ... 9
BAB III LAPORAN KASUS...11
3.1 Identitas pasien ...11 3.2 Anamnesis ...12 3.3 Pemeriksaan Fisik ...13 3.4 Pemeriksaan Penunjang ...15 3.5 Diagnosis ... 18 3.6 Penatalaksanaan ...18
BAB IV KUNJUNGAN LAPANGAN ...19
4.1 Alur kunjungan Lapangan ... 19
4.2 Daftar Masalah ...20
4.3 Analisis Kebutuhan Pasien...21
4.4 Edukasi dan Saran ...23
4.5 Denah Rumah ... 27
4.6 Dokumentasi ...28
1 BAB I
PENDAHULUAN
Anafilaksis adalah suatu respons klinis hipersensitivitas yang akut, berat dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi hipersensitivitas tipe I), yaitu reaksi antara antigen spesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada sel mast. Sel mast dan basofil akan mengeluarkan mediator yang mempunyai efek farmakologik terhadap berbagai macam organ tersebut. Selain itu dikenal pula istilah reaksi anafilaktoid yang secara klinis sama dengan anafilaksis, akan tetapi tidak disebabkan oleh interaksi antara antigen dan antibodi. Reaksi anafilaktoid disebabkan oleh zat yang bekerja langsung pada sel mast dan basofil sehingga menyebabkan terlepasnya mediator.1
Secara klinis gejala anafilaksis dapat berupa reaksi lokal dan reaksi sistemik. Reaksi lokal terdiri dari urtikaria dan angioedema pada daerah yang kontak dengan antigen. Reaksi lokal dapat berat tetapi jarang sekali fatal. Reaksi sistemik terjadi pada oragan target seperti traktus respiratorius, sistem kardiovaskular, traktus gastrointestinalis, dan kulit. Reaksi ini biasanya terjadi dalam waktu 30 menit sesudah kontak dengan penyebab.
Gejala awal reaksi sistemik ringan adalah rasa gatal dan panas di bagian perifer tubuh, biasanya disertai perasaan penuh dalam mulut dan tenggorokan. Gejala permulaan ini dapat disertai dengan hidung tersumbat dan pembengkakan peri orbita. Dapat juga disertai rasa gatal pada membran mukosa, keluarnya air mata, dan bersin. Gejala ini biasanya timbul dalam 2 jam sesudah kontak dengan antigen. Lamanya gejala bergantung pada pengobatan, umumnya berjalan 1-2 hari atau lebih pada kasus kronik.
Reaksi sistemik sedang mencakup semua gejala dan tanda yang ditemukan pada reaksi sistemik ringan ditambah dengan bronkospasme dan atau edema jalan napas, dispnu, batuk dan mengi. Dapat juga terjadi angioedema, urtikaria umum, mual dan muntah. Biasanya penderita mengeluh gatal menyeluruh, merasa panas, dan gelisah. Masa awitan dan lamanya reaksi sistemik sedang hampir sama dengan reaksi sistemik ringan.
2 Sedangkan reaksi sistemik berat, masa awitan biasanya pendek, timbul mendadak dengan tanda dan gejala seperti reaksi sistemik ringan dan reaksi sistemik sedang, kemudian dengan cepat dalam beberapa menit (terkadang tanpa gejala permulaan) timbul bronkospasme hebat dan edema laring disertai serak, stridor, dispnu berat, sianosis, dan kadangkala terjadi henti napas. Edema faring, gastrointestinal dan hipermotilitas menyebabkan disfagia, kejang perut hebat, diare dan muntah. Kejang umum dapat terjadi, dapat disebabkan oleh rangsangan sistem saraf pusat atau karena hipoksia. Kolaps kardiovaskular menyebabkan hipotensi, aritmia jantung, syok dan koma.2
Kejadian anafilaksis sering kali tidak dilaporkan karenanya insiden yang tercatat mungkin lebih rendah dari kenyataan yang terjadi. Insiden anafilaksis diperkirakan terjadi pada 4-5 orang per 100.000 orang tiap tahun, di mana sekarang ini anafilaksis mengakibatkan 500-1000 kematian di Amerika, 20 kematian di Inggris, dan 15 kematian di Australia tiap tahunnya. Penyebab anafilaksis paling sering adalah alergen makanan, obat-obatan, serangga, dan media kontras radio grafis. Kematian karena anafilaksis lebih sering diakibatkan karena faktor obat, di mana 25%-65% di antaranya seringkali adalah ODHA. Penisilin adalah obat yang paling sering mengakibatkan reaksi anafilaksis.3 Faktor lain yang dapat memicu kejadian anafilaksis adalah gangguan regulasi imunitas yang dapat terjadi pada pasien dengan penyakit sistemik kronik seperti diabetes, penyakit hati kronis, penyakit ginjal kronis, dan malignansi.
3 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DEFINISI
Anafilaksis adalah suatu alergi yang bersifat akut, menyeluruh dan bisa menjadi berat. Anafilaksis terjadi pada seseorang yang sebelumnya telah mengalami sensitisasi akibat pemaparan terhadap suatu alergen. Anafilaksis tidak terjadi pada kontak pertama dengan alergen. Pada pemaparan kedua atau pemaparan berikutnya, terjadi suatu reaksi alergi secara tiba-tiba, berat dan melibatkan seluruh tubuh. Literatur lain mendefinisikan anafilaksis sebagai respon klinis terhadap reaksi imunologi cepat (hipersensitivitas tipe I) antara antigen yang spesifik dan antibodi.
Reaksi tersebut terjadi akibat antigen IgE dengan cara berikut: (1) Antigen melekat pada antibody IgE yang terikat dengan membrane permukaan sel mast serta basofil dan menyebabkan sel-sel target ini diaktifkan. (2) Sel mast dan basofil kemudian melepas mediator yang menyebabkan perubahan vaskuler; pengaktifan trombosit, eosinofil serta neutrofil; dan pengaktifan rangkaian peristiwa koagulasi. 1
Tipe-tipe reaksi anafilaksis: 1. Reaksi lokal
Reaksi anafilaksis local biasanya meliputi urtikaria serta angioedema pada tempat kontak dengan antigen dan dapat merupakan reaksi yang berat tetapi jarang fatal. 2. Reaksi sistemik
Reaksi sistemik terjadi dalam tempo kurang lebih 30 menit sesudah kontak dalam system organ berikut ini: kardiovaskuler, respiratorius, gastrointestinal, dan integument. 4
4 Berbagai zat atau keadaan dapat menyebabkan reaksi anafilaksis/anafilaktoid. Ada yang berupa antigen seperti protein (serum, hormone, enzim, bisa binatang, makanan, dan sebagainya), atau polisakarida, juga ada yang berupa hapten yang nanti bertindak sebagai antigen apabila berikatan dengan protein (antibiotik, anastesi lokal, analgetik, zat kontras, dan lain-lain). Antigen tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui oral, suntikan/sengatan, inhalasi, atau topikal. Di samping itu ada juga penyebab yang tidak bersifat antigen. Secara umum penyebab anafilaksis/anafilaktoid dapat dikelompokkan sebagai berikut:4
1. Obat
a. Molekul besar : hormone insulin, ACTH, estrogen, relaksin, kortison b. Antibiotik : penisilin, streptomisin, klorampenikol, sulfonamide, kanamisin c. Kemoterapeutik : siklosporin, metotreksat, melfalan, klorambusil
d. Vaksin : difteri, morbili, parotitis, influenza, pertusis, rabies, tetanus, tipoid. 2. Makanan
a. Ikan : cakalang, lemuru, salmon, sardine, lele, layang. b. Udang : kepiting, cumi-cumi, kerang, teripang.
c. Kacang tanah, kacang kedelai, kacang mete, ercis, coklat.
d. susu, telur, jamur, daging tupai, daging sapi, daging kelinci, daging ayam, daging rusa.
e. Buah : nanas, mangga, nangka, apel, rambutan, langsap, durian, strawberi, salak, jeruk, pisang, jagung,
f. Bumbu atau rempah : lada, pala, seledri, cengkeh, adas, asam,lombok, jahe, bawang, ragi, vanili, kayu manis.
3. Bisa atau cairan binatang : serangga, ular, laba-laba, ubur-ubur, dan beberapa jenis ikan atau hewan air.
5 5. Bahan kosmetik/industri : cat rambut, parfum, pelurus rambut, pemutih
kulit, pengawet kayu, penyamak, cat.
6. Faktor lisis : panas, dingin, getaran, cahaya, tekanan. 7. Faktor kolinergik dan kegiatan jasmani
8. Idiopatik4 2.3 Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis:
Sifat alergen.
Beberapa zat tertentu lebih sering menyebabkan anafilaksis (obat golongan Penisilin, pelemas otot, media kontras radiografis, aspirin, lateks, kacang-kacangan, kerang).
Alur pemberian obat.
Pemberian obat secara parenteral lebih cenderung menimbulkan anafilaksis dibandingkan pemberian peroral, namun anafilksis dapat terjadi melalui berbagai jalur pemberian.
Riwayat atopi.
Adanya riwayat atopi meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis (misalnya terhadap lateks, media kontras radiografis, dan anafilaksis setelah latihan fisik). Sebagian besar penderita anafilaksis idiopatik memiliki riwayat atopi. Basofil pada penderita atopic lebih reaktif dan lebih mudah mengalami degranulasi dibandingkan penderita nonatopik.
Kesinambungan (constancy) paparan alergen.
Pemakaian obat yang sering terputus dapat meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis. Sebagian besar penderita yang alergi terhadap insulin tidak mengalami anafilaksis, kecuali jika pemberian insulin tersebut terputus dan diberikan kembali setelah beberapa waktu.
Pemberian imunoterapi berupa injeksi ekstrak alergen pada penderita yang penyakit alerginya sedang tidak terkendali.
6 Injeksi ekstrak alergen pada penderita asma yang belum terkendali akan meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis.3
2.4 PATOFISIOLOGI
Berbagai manifestasi klinis yang muncul dalam reaksi anafilaksis pada umumnya disebabkan oleh penglepasan mediator oleh mastosit/basofil baik yang timbul segera (dalam beberapa menit) maupun yang timbul belakangan (sesudah beberapa jam). Pengaktifan mastosit/basofil untuk mengelurkan mediatornya tidak hanya terjadi akibat alergi atau rangsangan yang dimediasi IgE, tetapi juga dapat terjadi oleh karena rangsangan yang dimediasi oleh komplemen, kompleks imun, atau factor lain yang langsung membebaskan histamine seperti panas, dingin, sinar matahari, tekanan, hipoksia, neurohormon, sitokin, kolinergik, latihan jasmani, dan lain-lain.
Dari berbagai perangsangan yang dapat menyebabkan pelepasan mediatornya, mekanismenya dapat melalui beberapa cara, antara lain:1,2,4
1. Reaksi yang dimediasi oleh IgE (IgE mediated anaphylaxis). Berbagai jenis alergen bekerja dengan cara ini, baik yang berupa makanan, obat-obatan, enzim, maupun yang berupa sengatan serangga atau ular, semen, getah tumbuhan dan lain-lain. Hal ini bisa terjadi pada orang yang atopi atau tidak atopi yang terjadinya sesudah pajanan ulangan (kedua dan seterusnya). Pada pajanan alergen, alergen ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cells) seperti makrofag, sel dendritik, sel langerhans, atau yang lain. Kemudian antigen tersebut dipersembahkan bersama beberapa sitokin (IL-1, TNF, IL-8) ke sel T helper melalui MHC (major histocompatibility complex) kelas II. Sel T helper kemudian aktif dan mengeluarkan sitokin (IL-4 dan IL-5) yang merangsang sel B melakukan memori, proliferasi dan peralihan menjadi sel plasma yang kemudian mengahsilkan antibody termasuk IgE. Immunoglobulin yang spesifik ini kemudian akan melekat pada permukaan sel mastosit, basofil, dan sel B sendiri dan beberapa sel imun yang lain. Apabila di kemudian hari terjadi pajanan ulang dengan alergen yang sama maka alergen itu akan ditangkap oleh IgE terutama yang melekat pada mastosit/basofil. Ikatan alergen dengan IgE spesifiknya ini akan merangsang mastosit/basofil
7 mengeluarkan mediator, baik yang segera maupun yang lambat. Mediator tersebut menyebabkan dilatasi venula, peningkatan permebilitas kapiler, bronkospasme, kontraksi otot polos dan dilatasi arteriol sehingga timbul manifestasi klinis reaksi anafilaksis berupa, urtikaria atau angioedema, edema laring, asma, muntah, kram usus, dan renjatan yang bisa menyebabkan kematian tiba-tiba. Reaksi inilah yang sebenarnya disebut reaksi anafilaksis.
2. Reaksi yang dimediasi kompleks imun (Immune complex mediated anaphylaxis) atau yang dimediasi oleh komplemen (complement mediated anaphylaxis). Reaksi ini terjadi apabila antibody yang bebas (biasanya Ig G atau Ig M tetapi bisa Ig E) melakukan ikatan dengan antigen yang masuk membentuk kompleks imun. Kompleks imun ini bisa langsung merangsang mastosit/basofil mengeluarkan mediator atau melalui pengaktifan komplemen untuk mengeluarkan anafilaktoksin, C3a, C4a, dan C5a yang akan merangsang mastosit/basofil meneluarkan mediator. Reaksi ini sering terjadi pada pemberian transfuse darah, komponen darah, plasma serum, immunoglobulin, kriopresipitat. Reaksi yang timbul juga dikenal sebagai aggregate anaphylaxis.
3. Rangsangan langsung pada mastosit/basofil. Beberapa obat dan zat kontras secara langsung dapat merangsang mastosit jaringan dan basofil darah perifer untuk mengeluarkan mediatornya. Hal ini ditemukan pada pemberian opiate, dekstran, zat kontras, dan lain-lain. Di samping itu beberapa faktor fisis seperti panas, dingin, tekanan, dan lain-lain dapat secara langsung mempengaruhi pengeluaran mediator mastosit/basofil.3,4
2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi anafilaksis bervariasi dalam hal awal mula timbulnya gejala maupun perjalanan klinisnya. Reaksi dapat timbul dalam beberapa menit hingga beberapa jam setelah paparan terhadap suatu alergen.3
1. Kulit: rasa kesemutan, panas di kulit diikuti dengan kemerahan pada kulit, pruritus, urtikaria dengan atau tanpa angioedema.
2. Saluran napas: keluarnya cairan dalam rongga hidung, hidung buntu, bersin-bersin, rasa gatal pada hidung. Keterlibatan saluran napas bagian bawah
8 umumnya berupa bronkospasm, dan edema saluran napas yang menimbulkan sesak napas, mengi, dan perasaan dada terhimpit.
3. Kardiovaskular: aritmia berupa gangguan irama atrium maupun ventrikel. Dapat dijumpai iskemia miokard, palpitasi, dizziness, atau nyeri dada. Hipotensi merupakan gejala yang paling mengkhawatirkan
4. Gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasm otot polos, berupa nyeri perut, mual muntah atau diare.
5. Susunan saraf pusat: disorientasi, pingsan, kejang, dan penurunan kesadaran.3
2.6 PENATALAKSANAAN
Menghentikan semua obat yang diperoleh oleh penderita merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan. Manifestasi klinis umumnya berangsur hilang dalam beberapa hari. Bila suatu obat merupakan obat esensial yang tidak dapat dicarikan alternatifnya, maka harus dipertimbangkan secara cermat risiko untuk terus memberikan obat tersebut dibandingkan risiko untuk tidak mengobati penyakit dasarnya. Cara lain yang dapat ditempuh adalah pemberian obat melalui desentisasi.5
Pengobatan Simptomatik
Pengobatan simptomatik dimaksudkan untuk menghilangkan manifestasi klinis alergi obat yang hingga mereda. Untuk reaksi anafilaksis:
1. Segera berikan suntikan epinephrine 1:1000, 0,3 ml intramuscular di daerah deltoid atau paha lateral (vastus lateralis).
2. Hentikan infuse media kontras radiografis, antibiotika, produk yang berasal dari darah, dsb; lepaskan sengatan binatang
3. Ukur tekanan darah dan nadi, pertimbangkan apakah diperlukan tindakan resusitasi kardiopulmoner.
4. Bergantung pada derajat keparahan reaksi, respons terhadap pengobatan, dan kondisi masing-masing penderita berikan:
a. Dipenhidramin 50 mg IV (scr pelan) b. Ranitidin 50 mg atau Cimetidin 300 mg IV c. Oksigen melalui masker/kanula hidung
9 d. Infus cairan garam fisiologis
e. Metilprednisolon 125 mg IV
5. Ulangi pemberian epinephrine tiap 15-20 menit bila diperlukan 6. Siapkan untuk intubasi dan antipasi terjadinya hipotensi
7. Bila tekanan darah sistolik <90 mmHg, baringkan penderita dalam posisi trendelenburg dengan tungkai dielevasi, lakukan:
a. Pasang 2 jalur infuse dengan cairan larutan garam fisiologis tetesan cepat (guyur).
b. Dopamin 400 mg (2 ampul) dalam 500 ml Dextrose 5% tetesan cepat hingga tekanan darah sistolik >90 mmHg lalu dititrasi secara perlahan, bila tidak efektif pertimbangkan
c. Norepinephrin (Levophed) 2 mg 1 ampul dalam 250 ml Dextrose 5% hingga tekanan darah sistolik mencapai 90 mmHg, selanjutnya titrasi secara perlahan.
8. Bila terjadi bronkospasm atau sesak napas, berikan: a. Epinephrin seperti petunjuk di atas
b. Bila tidak efektif, pertimbangkan: salbutamol/Terbutalin secara nebulisasi atau inhalasi
c. Oksigen hingga konsentrasi 100% menggunakan masker 9. Bila dijumpai stridor
a. Epinephrin seperti petunjuk di atas b. Oksigen menggunakan masker
c. Intubasi atau trakeostomi untuk mengatasi obstruksi saluran napas.3,5 Untuk penderita dengan serum sickness cukup diberikan antihistamin. Reaksi yang lebih berat membutuhkan kortikosteroid dengan dosis awal 40-60 mg per hari dan diturunkan bertahap dalam 7-10 hari. Kadang-kadang diperlukan plasmapharesis untuk menghilangkan kemungkinan yang tersisa.3
10 Desentisasi
Desentisasi merupakan upaya untuk mengubah kondisi penderita yang sebelumnya sangat peka terhadap suatu obat menjadi toleran terhadap obat tersebut. Pada umumnya desentisasi dimulai dengan pemberian obat dengan dosis rendah (1/10.000 hingga 1/1000 dosis terapi). Dosis obat selanjutnya dilipatgandakan setiap 15 menit sambil dilakukan pemantauan secara ketat terhadap kondisi penderita.3
2.7 PENCEGAHAN
Sebelum memberikan obat kepada pasien, dokter harus mencatat secara teliti adanya riwayat atopi, riwayat alergi sebelumnya, jenis obat yang menimbulkan reaksi alergi, manifestasi alergi yang terjadi, jenis obat yang sedang digunakan saat ini. Pada pasien denga riwayat alergi, pemberian obat harus dberikan secara hati-hati, jika memungkinkan lebih baik diberikan obat secara oral.3,6
Hindari uji paparan alergen yang mengandung makanan dan obat-obatan atau pemberian vaksin imunoterapi. Tes diagnostic atau pengobatan semacam itu seyogyanya dilakukan oleh dokter ahli bidang alergi-imunologi. Pada penderita yang sensitif terhadap media kontras radiografis diperlukan langkah-langkah profilaksis dan pemilihan media kontras radiografis dengan osmolalitas rendah.3
11 BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas pasien
Nama : RAH
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 15 tahun
Alamat : Jalan P. Aru gang.1 no.4 Denpasar
Bangsa : Indonesia
Suku : Lombok
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Status : Belum Menikah
Pendidikan : SMP
Tanggal MRS : 28 Desember 2012 Tanggal Kunjungan : 20 Januari 2013
3.2 Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang Keluhan Utama : Sesak napas
Pasien mengeluhkan sesak napas 3 hari sebelum tanggal kunjungan. Sesak dan sulit bernapas dirasakan tiba-tiba saat pasien menerima transfusi albumin untuk ketiga kalinya. Rasa sesak muncul sebelum transfusi berakhir, dirasakan semakin memberat walaupun transfusi albumin telah dihentikan. Pasien mengatakan baru bisa bernapas kembali setelah diberikan injeksi adrenalin di daerah bahu. Keluhan sesak disertai dengan rasa pusing, mual, dan muntah. Saat kunjungan dilakukan, keluhan sudah tidak dirasakan lagi.
Pasien merasakan pusing dan mual yang datangnya bersamaan dengan munculnya keluhan sesak napas. Rasa pusing dan mual juga dirasakan tiba-tiba setelah transfusi albumin dimulai. Pasien sempat muntah sebanyak satu kali, berisi cairan dan
12 makanan yang sempat dimakan pasien. Segera setelah sesak menghilang, keluhan pusing dan mual juga menghilang. keluhan ruam/kemerahan, gatal dan bengkak saat menjalani terapi disangkal oleh pasien.
Pasien adalah pasien rawat inap di bangsal Angsoka 2 RSUP Sanglah dengan diagnosis Limfoma Hodgkin. Saat pertama kali masuk rumah sakit, pasien datang dengan keluhan muncul benjolan pada leher kirinya sejak 2 tahun yang lalu. Benjolan awalnya sebesar kelereng dan dikatakan makin lama makin membesar. Benjolan dirasakan berdungkul-dungkul dan menetap. Tidak dirasakan nyeri saat digerakkan atau saat pasien melakukan aktivitas.
Pasien juga mengeluh batuk sejak 5 hari SMRS. Batuk dikatakan berdahak dengan warna dahak putih kekuningan. Pasien juga mengeluh gatal-gatal di seluruh tubuhnya sejak beberapa minggu SMRS. Gatal tidak memberat dengan berkeringat. Pasien juga mengalami penurunan berat badan sejak 6 bulan terakhir. Pasien juga mengeluh rasa lemas yang disertai penurunan nafsu makan sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien tidak mau makan nasi dan lauk pauk lainnya, hanya ingin makan cemilan. Keluhan demam disangkal oleh pasien. Buang air kecil dan buang air besar dikatakan normal oleh pasien.
Saat pemeriksaan (kunjungan ke rumah pasien), kondisi pasien secara umum baik, pasien nampak ceria dan nafsu makan pasien sudah meningkat. Pasien mengatakan sudah tidak lagi mengalami keluhan tersebut. Benjolan pada leher kirinya juga dikatakan sudah mulai mengecil. Hanya saja terkadang pasien masih merasa cepat lelah. Sesak nafas, batuk, mual, dan muntah tidak dikeluhkan oleh pasien saat ini.
Riwayat Penyakit Terdahulu
Pasien sebelumnya pernah mengalami keluhan seperti ini. Beberapa bulan sebelumnya timbul benjolan ditempat yang sama kemudian dilakukan operasi. Riwayat alergi obat-obatan tertentu disangkal oleh pasien. Riwayat penyakit jantung, diabetes, asma disangkal oleh pasien.
13 Riwayat Keluarga
Pasien mengatakan tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama serta tidak ada anggota keluarga yang memiliki kelainan jantung, ginjal, penyakit infeksi, maupun riwayat keganasan.
Riwayat Sosial
Pasien merupakan siswa SLTP di SLTP Lombok. Saat ini pasien sudah tidak bersekolah selama 2 bulan akibat penyakitnya. Dikatakan diantara teman-teman sekolah dan sepermainannya tidak ada yang mengalami penyakit serupa dengan pasien.
3.3 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik Umum
Kesan sakit : Sedang
Kesadaran : Compos mentis (GCS: E4V5M6) Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 kali/menit, reguler, isi cukup Respirasi : 20 kali/menit, teratur
Temperatur aksila : 36,5 °C
Nyeri : VAS 0/10
Tinggi badan : 150 cm
14
BMI : 21,3 kg/m2
Gizi : Baik
Pemeriksaan Fisik Khusus
Mata : anemis (-/-), ikterus (-/-), refleks pupil (+/+) isokor, edema palpebra (-/-)
THT
Telinga : sekret tidak ada, pendengaran ↓ tidak ada Hidung : sekret tidak ada
Tenggorokan : tonsil T1/T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-) Lidah : ulkus (-), papil lidah atrofi (-)
Kelenjar parotis : tidak ditemukan pembesaran Mukosa bibir : kering, stomatitis angularis (-) Leher
JVP : PR + 0 cmH2O
Kelenjar getah bening : Regio Colli sinistra teraba massa dengan permukaan multiple noduler, konsistensi kenyal, tidak mobile/terfiksir, ukuran 15x10x5 cm, dan tidak ada nyeri tekan.
Thoraks
Cor: Inspeksi : tidak tampak pulsasi iktus kordis,
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V midclavicular line sinistra, kuat angkat (-), thrill (-)
15 Perkusi : batas atas jantung ICS II midclavicular line sinistra, batas kanan jantung parasternal line dekstra, batas kiri jantung midclavicular line sinistra ICS V
Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo: Inspeksi : simetris saat statis & dinamis, retraksi (-), spider nervi (-), Palpasi : vokal fremitus (N/N)
Perkusi : sonor +/+
+/+
+/+
Auskultasi : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
+/+ -/- -/-
+/+ -/- -/-
Abdomen
Inspeksi : distensi (-), spider nevi (-), caput medusa (-) Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-)
Ekstremitas : hangat +/+ edema −/−
+/+ −/−
16 Darah lengkap (28/12/2012)
Kimia Darah (28/12/12)
Parameter Hasil Unit Remarks Normal
Parameter Hasil Unit Remarks Normal
WBC 7,72 103/μL 4,1-11,0 #Ne 3,91 103/μL 2,50-7.50 #Lym 1,81 103/μL 1,0-4,0 #Mo 0,93 103/μL 0,1 – 1,2 #Eo 0,98 103/μL 0 ,0 – 0,5 #Ba 0,07 103/μL 0,0 – 0,1 RBC 4,35 103/μL Rendah 4,00 – 5,20 HGB 9,05 g/dl Rendah 12,00 – 16,00 HCT 29,34 % Rendah 36,00-46,00 MCV 67,34 fl Rendah 80,0 – 100,00 MCH 20,79 pg Rendah 26,0 – 34,0 MCHC 30,88 g/dl Rendah 31,00 – 36,00 RDW 16,13 % Tinggi 11,60-14,80 PLT 481,7 103/μL Tinggi 140,0-440,00
17
Bilirubin total 0,23 mg/dL Rendah 0,30 – 1,10
Bilirubin Indirek 0,13 mg/dL <0,8
Bilirubin Direk 0,10 mg/dL 0,00- 0,30
Alkali Phosfatase 189,0 U/L 42,00- 115,00
SGOT 11,8 U/L 11,00- 27,00 SGPT 10,0 U/L Rendah 11,00- 34,00 Total protein 6,49 g/dL 6,40 – 8,30 Albumin 2,82 g/dL Rendah 3,40 – 4,80 Globulin 3,67 g/dL 3,20 – 3,70 BUN 6,0 mg/dL Rendah 8,00- 23,00 Kreatinin 0,43 mg/dL Rendah 0,50- 0,90 Asam urat 2,9 mg/dL 2,00-7,00
Natrium 135,00 mmol/L Rendah 136,00- 145,00
Kalium 3,84 mmol/L 3,50- 5,10
Urinalisis (20/01/13)
Parameter Hasil Satuan NilaiRujukan Remarks
PH 6,5 - 5 – 8
Leucocyte 25 Leu/µL negatif +1
18
Protein Negatif mg/dL Negatif
Glucose Normal mg/dL Normal
Ketone Negatif mg/dL Negatif
Urobilinogen Normal mg/dL 1 mg/dl
Bilirubin Negatif mg/dL Negatif
Erythrocyte Negatif ery/ µL Negatif Spesific Gravity 1,005 - 1.005 – 1.020
Colour Yellow - p.yellow – yellow
SEDIMEN URINE: Lekosit 0-1 /lp < 6 /lp Eritrosit Negatif /lp < 3 /lp Selepitel - Gepeng - Bulat -Berekor -- 0-2 - - - /lp /lp /lp -- -- -- -- Kristal - /lp -- Lain-lain - /lp -- 3.5 Diagnosis
19
Limfoma Hodgkins IA asimtomatis (mixed cellularity regio colli sinistra)
3.6 Penatalaksanaan
Pro kemoterapi untuk Limfoma Hodgkin IVFD NaCl 0,9% 20 tts/menit Metilprednisolon 2x62,5 mg iv
Penanganan syok anafilaktik e.c albumin Stop transfusi albumin
Oksigen 2 lpm Adrenalin 0,3 cc IM
20 BAB IV
KUNJUNGAN LAPANGAN
4.1 ALUR KUNJUNGAN LAPANGAN
Kunjungan dilakukan pada tanggal 20 Januari 2013 langsung ke tempat tinggal pasien di Bali yang berada di lingkungan Sanglah kota Denpasar. Kami mendapat sambutan yang baik dari pasien dan keluarga. Pasien merupakan warga Lombok yang bertempat tinggal tetap di Lombok. Sejak pasien didiagnosis dengan Limfoma Hodgkins, pasien dan ibunya tinggal di Bali untuk sementara waktu selama berlangsungnya pengobatan. Pasien tinggal di Bali berdua dengan ibunya di sebuah kos-kosan yang sangat sederhana. Pasien menderita penyakit ini sudah 2 tahun, dimana perjalanan penyakitnya sendiri diawali dengan timbulnya massa kecil pada leher pasien yang semakin lama semakin membesar. Saat menjalani terapi di rumah sakit, pasien diberikan albumin kemudian pasien mengalami reaksi alergi yaitu syok anafilaktik. Hal ini memerlukan pemantauan akan aktivitas penyakitnya dan reaksi alerginya sehingga perburukan dapat dihindari. Prinsip- prinsip umum pengelolaan limfoma hodgkins yang disertai dengan reaksi alergi bukan hanya terbatas pada pemakaian obat saja, namun perlu pendekatan holistik yaitu pendekatan bio - psiko – sosial.
Penulis melakukan kunjungan ke rumah pasien atau tempat tinggal sementara pasien di Bali dengan tujuan untuk mengidentifikasi masalah dan mendalami langsung keadaan riil yang ada pada pasien, serta menemukan permasalahan yang ada serta mencari solusi penyelesaiannya. Pada dasarnya pasien limfoma hodgkins yang disertai dengan reaksi alergi memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar pasien tidak putus asa dan cepat menyerah menghadapi pengobatan penyakitnya yang cukup lama. Adapun intervensi yang kami lakukan adalah:
21 a. Edukasi pada pasien dan keluarga untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang limfoma hodgkins (penjelasan apa itu limfoma hodgkins dan penyebabnya, gejala, aktivitas fisik, dan kecukupan nutrisi untuk pasien)
b. Edukasi pada pasien dan keluarga untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang reaksi alergi yaitu syok anafilaktik yang dialami pasien saat mendapatkan terapi albumin.
c. Memberikan saran pada pasien agar lebih berhati-hati jika akan mendapatkan pengobatan dan agar pasien selalu melaporkan kepada tenaga kesehatan bahwa dirinya memiliki alergi untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
d. Memberikan motivasi moril kepada pasien dan keluarga terkait penyakit, reaksi alergi yang dialaminya dan berbagai permasalahannya.
e. Menyadarkan pasien atau keluarga akan pentingnya menjaga kesehatan pasien dengan memenuhi kebutuhan nutrisi serta beraktivitas dengan baik.
4.2 DAFTAR MASALAH
Adapun permasalahan yang kami dapatkan adalah sebagai berikut :
Penderita belum sepenuhnya mengerti mengenai penyakit yang dideritanya, serta alergi yang dimilikinya.
Pasien merasa bosan untuk menjalani terapi pengobatan terhadap penyakitnya yang begitu lama.
Pasien di Bali tinggal berdua dengan ibunya di sebuah kos-kosan yang sangat sederhana. Pasien bertempat tinggal tetap di Lombok. Terkadang ia merasa jenuh disini dan ingin cepat kembali ke Lombok agar dapat berkumpul dengan keluarga besar dan teman-temannya.
Keluarga pasien merupakan keluarga dengan tingkat ekonomi menengah kebawah. Ayahnya sebagai tulang punggung keluarga bekerja sebagai pembuat pintu di Lombok dengan penghasilan yang tidak menetap. Penghasilan keluarga ini rata-rata Rp 30.000 perharinya. Ibunya adalah ibu rumah tangga yang hanya mmengurus
22 anak-anak dan keperluan rumah setiap harinya. Mereka memiliki kesulitan dalam hal biaya untuk memenuhi kebutuhan berobat Rahim dan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama tinggal di Bali.
Pasien adalah anak pertama dari 4 bersaudara. Ia tinggal disini bersama ibunya. Ibu pasien mengalami kesulitan dalam mengasuh adik-adik pasien karena adik-adik pasien masih kecil dan dengan terpaksa ditinggalkan di Lombok untuk karena ibu pasien harus menemani pasien untuk menjalani pengobatan di Bali.
4.3 ANALISIS KEBUTUHAN PASIEN
4.3.1 Kebutuhan Fisik-Biomedis
Kecukupan Gizi
Perhitungan kebutuhan kalori pada pasien dengan menentukan terlebih dahulu berat badan idealnya kemudian menghitung jenis aktivitas yang dilakukan.
Data Tinggi badan pasien: 150cm, BB: 48kg
Pertama- tama kita lakukan perhitungan berat badan ideal pasien dengan menggunakan rumus brocca:
Berat Badan Ideal = (TBcm-100) kg – 10% = (150 cm-100)kg - 10 %
= 50 kg – 5 kg = 45 kg Jumlah kebutuhan kalori per hari
Kebutuhan kalori basal = BB ideal x 30 kalori
= 45kg x 30 kalori = 1350 kalori Kebutuhan untuk aktivitas ringan = +10% x 1350 kalori = 135
Jadi total kebutuhan kalori perhari untuk penderita 1350 kalori + 135 = 1485 kalori untuk mempermudah dibulatkan menjadi 1500 kalori
23 Distribusi makanan :
1. Karbohidrat 60% = 60% x 1500 kalori = 900 kalori dari karbohidrat setara dengan 225 gram karbohidrat (900 kalori : 4 kalori/gram karbohidrat).
2. Protein 20% = 20% x 1500 kalori = 300 kalori dari protein setara dengan 75 gram protein (300 kalori : 4 kalori/gram protein).
3. Lemak 20% = 20% x 1500 kalori = 300 kalori dari lemak setara dengan 34 gram lemak (300 kalori : 9 kalori/gram lemak).
Akses pelayanan kesehatan
Pasien tinggal di wilayah Jalan Pulau Aru Sanglah Denpasar. Akses pelayanan kesehatan sangat dekat dengan RSUP Sanglah. Jarak dari rumah pasien ke RSUP sanglah tergolong tidak cukup jauh, ± 100 m.
Lingkungan
Saat ini di Bali pasien tinggal dengan ibunya. Di rumahnya di Lombok, pasien tinggal dengan ayah, ibu, dan ketiga adiknya. Rumah kos pasien di Bali terdapat 5 kamar tidur, 2 kamar mandi, 2 dapur, dan ruangan pemilik tempat kos. Lingkungan tempat tinggal bersih dan cukup nyaman untuk ditinggali namun suasana dikamar pasien sangat pengap dan berantakan. Pasien tinggal 1 kamar dengan ibunya dengan luas kamar 3x1,5 m. Kamar pasien sangat kecil, udaranya sangat panas dan pengap karena tidak adanya jendela serta penataan kamar yang sangat berantakan.
4.3.2 Analisis Keadaan Bio-Psikososial
Faktor biologis
Kualitas kehidupan sehari-hari pasien dikatakan baik, karena pasien bisa melakukan semua aktivitas dasar seperti makan, minum, berjalan, membersihkan diri, mengontrol BAB dan BAK tanpa ada masalah dan tidak perlu bantuan. Seharinya harinya pasien hanya melakukan aktivitas ringan.
24 Dalam lingkungan biologis atau keluarga inti pasien tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki penyakit yang sama.
Faktor psikososial
Pasien pada awalnya malu terhadap benjolan yang muncul pada lehernya itu sehingga pasien ke dokter dan meminta agar benjolan tersebut dioperasi. Beberapa bulan setelah operasi, timbul benjolan di tempat yang sama. Akhirnya pasien kembali ke rumah sakit agar benjolan tersebut dapat ditangani. Di Rumah Sakit Mataram pasien sempat didiagnosis TB kelenjar dan sudah menjalani pengobatan selama 6 bulan, namun keadaan pasien tidak juga membaik. Setelah menjalani pemeriksaan lebih lanjut, pasien akhirnya didagnosa dengan limfoma Hodgkin dan dirujuk ke RSUP Sanglah untuk menjalani pengobatan lebih lanjut. Pasien awalnya merasa cemas dan depresi akibat lamanya proses penanganan penyakitnya yang sudah memakan waktu kurang lebih 8 bulan namun tidak juga membaik. Pasien juga merasa sedih harus berpisah dari keluarga dan lingkungannya di Lombok untuk menjalani pengobatan di Bali. Awal dari perjalanan penyakitnya pasien sering murung dan tidak mau makan, namun pasien berusaha untuk tegar dan pasrah menerima keadaanya. Pasien dan keluarga percaya takdir Tuhan adalah baik dan ia pasti bisa menjalaninya. Dalam keadaan sakit ini pasien sangat membutuhkan pengertian dan dukungan dari keluarga dalam menjalani aktivitas sehari-hari dan menjalani pengobatannya termasuk untuk menjalankan kemoterapinya yang berlangsung dalam waktu yang lama. Pasien juga harus didorong agar mau menjalani semua rangkaian kemoterapi dan agar pasien siap menghadapi efek samping yang mungkin timbul dari kemoterapi tersebut. Ibu pasien sangat memperhatikan kondisi kesehatannya dan kebutuhan anaknya dan selalu memberikan motivasi kepada anaknya.
4.4 EDUKASI DAN SARAN
Adapun edukasi yang kami berikan pada pasien dan keluarga saat melakukan kunjungan ke tempat tinggalnya:
25 1. Menjelaskan tentang apa itu limfoma hodgkins dan reaksi alergi berupa syok
anafilaktik, penyebab, dan gejala-gejala yang ditimbulkannya.
Limfoma hodgkins merupakan suatu penyakit keganasan primer yang menyerang limfoid dan jaringan pendukungnya. Dapat disebabkan oleh virus yang menimbulkan kelainan genetic atau disebabkan oleh kekurangan imun. Syok anafilaktik merupakan reaksi alergi sistemik dan dapat terjadi akibat berbagai macam bahan. Reaksi tersebut dapat tibul begitu cepat tanpa tanda-tanda peringatan sebelumnya dan merupakan salah satu kegawatdaruratan medik. Gejalanya dapat berupa gejala kulit (urtikaria, angioedema, kemerahan pada kulit wajah, gatal), gejala pernafasan (nafas cepat, suara parau, edema laring, sesak nafas), gejala pada jantung (berdebar, hipotensi, aritmia), gejala pada saluran pencernaan (disfagia, rasa panas di ulu hati, mual, muntah), dan gejala lain (konjungtivitis, rhinitis, pusing, nyeri kepala, kejang, dll)
Perjalanan Penyakit
Penyakit limfoma hogdkins sering terjadi pada laki-laki dengan usia antara 15-34 tahun dan diatas 55 tahun. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terjadi peningkatan kadar IgE yang signifikan pada pasien dengan limfoma, dimana tingginya kadar IgE berpengaruh terhadap angka kejadian hipersensitivitas, termasuk di dalamnya adalag reaksi anafilaktik. Syok anafilaktik sendiri merupakan reaksi alergi sistemik yang terjadi sangat cepat setelah pemberian alergen dan tanpa diawali oleh suatu tanda. Kejadian ini dapat terjadi dari berbagai paparan seperti oral, subkutan, topical, intramuscular, namun yang dapat dengan sangat cepat menimbulkan gejala dan gejala yang ditimbulkan lebih berat adalah melalui parenteral.
Gejala-gejala Penyakit
Gejala awal dari penyakit limfoma hodgkins yang pertama ditandai dengan pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri. Diikuti dengan
26 gejala sistemik berupa demam, berkeringat malam hari, lemah, pruritus seluruh tubuh. Bisa juga terdapat nyeri pada perut dan nyeri pada tulang.
Gejala dari syok anafilaktiknya sendiri meliputi gejala kulit (urtikaria, angioedema, kemerahan pada kulit wajah, gatal), gejala pernafasan (nafas cepat, suara parau, edema laring, sesak nafas), gejala pada jantung (berdebar, hipotensi, aritmia), gejala pada saluran pencernaan (disfagia, rasa panas di ulu hati, mual, muntah), dan gejala lain (konjungtivitis, rhinitis, pusing, nyeri kepala, kejang, dll).
Faktor Resiko, Penyebab, dan Upaya Pencegahan
Reaksi anafilaksis adalah reaksi alergi sistemik yang dapat terjadi akibat berbagai macam bahan yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari yang seringkali terjadi dengan begitu cepat dan merupakan salah satu kondisi gawat darurat medik.
Menifestasi klinik dari reaksi anafilaksis ini bermacam-macam meliputi gejala kulit (urtikaria, angioedema, kemerahan pada kulit dan wajah, pruritus), gejala pernafasan (takipneu, suara parau, edema laring, bronkospasm, sesak napas); gejala kardiovaskular (takikardi, hipotensi, angina, aritmia); gejala gastrointestinal (disfagia, rasa panas di ulu hati, kram perut, hiperperistaltik, diare, mual dan muntah); dan gejala lainnya (konjungtivitis, rhinitis, nyeri kepala, pusing, kontraksi uterus, kejang, dan lain-lain). Melalui penjelasan ini, diharapkan pasien dan keluarganya memahami gejala-gejala yang muncul sebagai pertanda munculnya reaksi alergi sistemik yakni anafilaksis sehingga pasien segera dibawa ke rumah sakit sebelum terjadi akibat yang fatal, seperti shock.
Menjelaskan zat-zat yang dapat memicu timbulnya reaksi anafilaksis. - Makanan: kacang-kacangan, kerang, putih telur, susu, biji-bijian - Bisa sengatan serangga: Tawon, lebah, semut api
27 - Antibiotika: penisilin, sepalosporin, sulfametoksazol, Trimetoprim,
Fluorokuinolon, Vankomisin,
- Bahan diagnostic atau terapi: media kontras radiografi, zat warna fluoresin, immunoglobulin
Melalui penjelasan ini, diharapkan pasien dan keluarganya memahami apa saja yang dapat memicu pasien yang telah memiliki riwayat anafilaksis ini ketika berhadapan dengan zat-zat tersebut untuk mencegah munculnya reaksi anafilaksis, ada baiknya dilakukan tes alergi, sehingga pasien tahu dengan pasti zat-zat apa saja yang menjadi alerginya.
Memastikan pasien untuk mengenali dengan baik alergen yang memicu dirinya terkena reaksi anafilaksis, yakni pada kasus ini pasien memiliki riwayat alergi rifampisin, ciprofloksasin, flumin, clindamycin, dan primaquin. Dengan pasien mengetahui dengan baik riwayat alerginya, diharapkan pasien dapat memberikan informasi yang jelas kepada dokter, sehingga dokter tidak memberikan obat yang dapat memicu reaksi anafilaksisnya.
Menyarankan pasien untuk sebaiknya tidak mengkonsumsi obat-obatan secara parenteral, lebih baik melalui jalur oral yang biasanya walaupun mengakibatkan reaksi anafilasis gejalanya lebih ringan.
Menyarankan kepada pasien dan keluarganya untuk memperhatikan lingkungan rumah, karena kamar pasien tidak ditemukan ada jendela atau ventilasi, sehingga terkesan gelap dan kurang pertukaran udara. Lingkungan rumah yang bersih dan rapi juga senantiasa sebaiknya dijaga.
Memberikan saran kepada pasien terkait dengan aktivitas fisik dan nutrisi, antara lain:
28
Mengatasi kelelahan: Lelah adalah masalah yang dapat mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Kita harus belajar untuk menyelingi kegiatan kita dengan istirahat.
Makan sehat dan seimbang
Olahraga: Berjalan, perenggangan dapat membantu pasien tetap kuat dan menjaga stamina tubuh. Ingat untuk diselingi dengan istirahat.. Kalau dirasakan letih sekali atau tidak enak lebih dari 2 jam setelah olahraga, maka sesi olahraga tersebut harus dikurangi menjadi lebih singkat.
Memberikan saran kepada pasien untuk selalu menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar pasien. Biasakan mencuci tangan sebelum makan ataupun minum, sesudah BAK dan BAB.
Memberikan saran pada keluarga untuk selallu memberikan dukungan dan semangat kepada pasien agar pasien terhindar dari stress dan memudahkan penerimaan diri pasien.
4.5 DENAH RUMAH
Sanggah kamar kamar ruangan pemilik kos
kamar WC Kamar kamar WC Dapur& kamar pasien dapur
29 4.6 DOKUMENTASI
Dapur Kamar tidur pasien
30 Dokter Muda bersama pasien dan ibu pasien saat kunjungan
31 DAFTAR PUSTAKA
1. Kemp SF, Lockey RF. Anaphylaxis: a review of causes and mechanisms. J Allergy Clin Immunol. Sep 2002;110(3):341-8.
2. Simons FE. Anaphylaxis. J Allergy Clin Immunol. Feb 2008;121(2 Suppl):S402-7; quiz S420.
3. Soegiarto G, Konthen P G, Effendi C, Baskoro A. Anafilaksis. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK Unair. Surabaya. 2007.
4. Brunner & Suddarth. Anafilaksis. In Buku Ajar Medikal Bedah (edisi 8, volume 2). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2002
5. Alrasbi M, Sheikh A. Comparison of international guidelines for the emergency medical management of anaphylaxis. Allergy. Aug 2007;62(8):838-41
6. Webb LM, Lieberman P. Anaphylaxis: a review of 601 cases. Ann Allergy Asthma Immunol. Jul 2006;97(1):39-43.