• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Peribahasa merupakan salah satu genre wacana yang digunakan sebagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Peribahasa merupakan salah satu genre wacana yang digunakan sebagai"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang

Peribahasa merupakan salah satu genre wacana yang digunakan sebagai piranti untuk mengungkapkan sesuatu hal yang terlintas dalam alam pikir manusia, yang banyak sekali mengandung pengetahuan mengenai pengalaman dalam mengkonseptualisasikan dunia. Pada hakikatnya, peribahasa merupakan produk bahasa yang memiliki kekhasan tertentu sebagaimana dijelaskan oleh Sibarani (2004:61) yang menyatakan bahwa setiap pembentukan kata-kata bahkan kalimat dalam suatu bahasa (termasuk bahasa yang ada dalam peribahasa) dapat menentukan sifat atau jenis karya sastra dinilai senantiasa hidup dalam kultur masyarakat karena peribahasa tidak pernah luntur walaupun keberadaannya telah ada sejak zaman dahulu kala. Hampir semua bangsa mempunyai bentuk peribahasanya sendiri, adapun peribahasa merupakan khasanah pengetahuan yang mampu merefleksikan pemikiran, perwatakan, dan kegiatan sebuah bangsa. Penggunaan peribahasa dalam masyarakat umum mencerminkan pemikiran atau kognisi masyarakat yang berasal dari pengamatan dan pengalaman dari suatu peristiwa atau kejadian disekitarnya. Sejalan dengan hal tersebut Prihatmi (1993:755) mendefinisikan peribahasa sebagai ungkapan atau kalimat-kalimat ringkas dan padat yang berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau atruran tingkah laku yang menjadi salah satu gudang kebijaksanaan lokal

(2)

mengungkapkan bahwa peribahasa adalah wujud atau hasil dari beberapa faktor yaitu bagaimana cara pandang manusia melihat alam sekelilingnya, pengalaman apa yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari, dan juga akumulasi dari banyaknya pengalaman yang diperoleh secara turun-temurun dari nenek moyangnya, kemudian juga peraturan hidup yang telah dipadukan dengan ajaran agama dan budaya. Oleh karena itu melalui peribahasa maka manusia mampu memahami corak pemikiran, falsafah, kepercayaan dan norma suatu bangsa.

Danandjaja (1994:21-28) menyatakan bahwa peribahasa merupakan salah satu bentuk foklor yang merupakan intisari dari pengalaman suatu masyarakat penutur bahasa. Dalam kaitannya dengan aspek makna, peribahasa merupakan representasi dari penggunaan makna figuratif (Pateda, 2001:108). Sebagai media penyampaian nilai kearifan lokal bagi masyarakat luas sehingga tidaklah mengherankan jika hampir semua bangsa di dunia ini memiliki peribahasa dalam tata bahasanya. Yang menjadi menarik kemudian apakah peribahasa yang terdapat antara satu bangsa dan bangsa lainnya memiliki kesamaan atau mungkin berbeda, mengingat peribahasa sendiri merupakan hasil dari pemikiran dan pengalaman dari masyarakat itu sendiri. Agaknya masalah mengenai kesemestaan peribahasa ini juga diperdebatkan oleh beberapa ahli sebut saja Lakoff dan Turner (1989:194) yang berpendapat bahwa pengetahuan rakyat (folk knowledge) yang mendasari peribahasa adalah alamiah dan oleh karena itu maka sifatnya universal. Akan tetapi pendapat tersebut ditentang oleh Ibanez-Moreno (2005) yang berpendapat bahwa meskipun terdapat persamaan dalam peribahasa antar budaya namun hal tersebut tidak semestinya seperti itu. Proposisi yang berkaitan dengan peribahasa

(3)

tersebut memang bersifat universal, akan tetapi adanya ruang dari proposisi yang luas memungkinkan adanya ruang perbedaan dan hal ini diakibatkan oleh perbedaan budaya, oleh karena itu kesemestaan atau keuniversalan peribahasa tidaklah tepat. Namun Ibanez-Moreno menambahkan bahwa luasnya ruang dari proposisi tersebut tetaplah memungkinkan untuk menghadirkan persamaan dalam banyak budaya, oleh karena itu tidaklah mengherankan jika terdapat peribahasa dalam pelbagai bahasa dan budaya yang hampir serupa dari segi perspektif atau bentuk. Misalnya saja dalam peribahasa yang mengandung kata API dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris berikut ini :

[1] Pouring oil on the fire is not the way to quench it (Bahasa Inggris) [2] Hendak memadam api yang tengah menyala disiramkan pula

minyak ke atasnya (Bahasa Indonesia)

Dari kedua contoh di atas dapat terlihat adanya kesamaan antara kedua peribahasa tersebut meskipun peribahasa tersebut berasal dari dua bangsa yang berbeda. Kesamaan tidak hanya terdapat dalam segi bentuk akan tetapi juga perspektif maknanya, makna dari peribahasa [1] Pouring oil on the fire is not the

way to quench it dan [2] Hendak memadam api yang tengah menyala disiramkan pula minyak ke atasnya adalah sama yakni memberikan pendapat

yang provokatif pada orang yang sedang marah bukanlah cara yang benar.

Selain adanya peribahasa yang memiliki kesamaan bentuk dan perspektif, terdapat pula peribahasa yang meskipun menggunakan kata yang sama akan tetapi memiliki perspektif makna yang berbeda. Misalnya saja pada peribahasa yang mengandung leksem ANJING yang telah diteliti oleh Lakoff dan Turner (1989)

(4)

yang menyatakan bahwa dalam perspektif peribahasa Barat leksem ANJING dilambangkan sebagai teman yang setia bagi manusia, sebaliknya dalam budaya Melayu seperti yang telah di kaji oleh Imran (2011) perspektif peribahasa Melayu mengungkapkan bahwa ANJING dipandang sebagai hal yang merujuk pada sesuatu yang rendah, hina, lemah dan jahat. Dalam peribahasa Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris juga terdapat perbedaan perspektif mengenai API, misalnya saja seperti yang terdapat dalam peribahasa berikut :

[3] Fight fire with fire (Bahasa Inggris)

[4] Hanya air dingin yang dapat memadamkan api (Bahasa Indonesia) Peribahasa [3] memiliki arti jika ada pertentangan atau pertengkaran maka harus dilawan dengan cara yang sama [4] berarti bahwa untuk menenangkan orang yang sedang marah atau pertengkaran lebih baik menggunakan kata-kata yang lemah lembut, sedangkan dalam peribahasa . Dari kedua peribahasa tersebut jelas terlihat bahwa perspektif makna dari kedua peribahasa tersebut berbeda, jika dalam peribahasa [3] sebaiknya dilawan dengan cara yang sama maka dalam peribahasa [4] dengan menggunakan kata-kata yang lemah lembut.

Pemaknaan peribahasa tersebut agaknya tidak bisa dipungkiri terikat dengan proses kognitif. Dari sudut kognitif, peribahasa memang sarat akan proses mental yakni dengan memahami satu situasi khusus manusia dapat memahami pelbagai situasi lain. Dengan kata lain, manusia dapat menggambarkan satu adegan (scene) tentang suatu peristiwa atau fakta lain, contohnya dalam peribahasa Menari yang

tak pandai, dikatakan lantai nan terjungkit, peribahasa tersebut merujuk pada satu

(5)

yang tidak rata tanpa meyadari bahwa kelemahannya lah yang menyebabkan tarian itu tidak baik. Selanjutnya, adegan ini bisa ‘dipindahkan’ atau dipetakan kepada situasi seseorang yang menyalahkan orang lain (atau mencari alasan) serta tidak mau mengakui kesalahan atau kebodohannya sendiri (analisis peribahasa

The blind blames the ditch oleh Lakof dan Turner, 1989:162 dalam Imran 2011).

Proses pemindahan dan pemetaan antara satu adegan dengan adegan yang lain oleh minda sehingga dapat memberikan intrepetasi makna sebuah peribahasa tidak bisa dilepaskan dari proses kognitif manusia. Adapun proses kognitif tersebut memberikan ruang yang tepat bagi analisis peribahasa dengan menggunakan kerangka semantik kogitif yang berasaskan pada mekanisme kognitif metafora dan metonimi. Pendekatan semantik kognitif dirasa mampu untuk menguraikan prinsip yang mendasari cara manusia memahami dan memberikan arti peribahasa itu sendiri. Karena pendekatan semantik kognitif mencakup tidak hanya struktur linguistik saja melainkan juga latar belakang pengetahuan (background

knowledge), kepercayaan budaya (cultural beliefs) serta kebudayaan masyarakat (folklore) yang terkandung dalam suatu peribahasa. Adapun Saeed (1999:299)

menyatakan bahwa semantik kognitif adalah pendekatan dalam semantik yang memandang makna bahasa sebagai bagian dari persoalan mental. Oleh karena itu, dari definisi-definisi tersebut dapat dikatakan bahwa semantik kognitif mengandung makna sebagai hasil kognisi manusia sehingga penelitiannya pun lebih diarahkan pada bagaimana kognisi manusia dalam mengkonseptualisasikan makna. Tindak lanjut dari dafinisi tersebut hendak memposisikan semantik kognitif sebagai suatu alat yang dapat digunakan untuk mengungkap dan

(6)

mengkonseptualisasikan bentuk-bentuk kebahsaan yang di dalamnya diperlukan suatu kerja kognisi dalam menganalisis maknanya. Honeck (1997:1) mengatakan bahwa peribahasa merupakan salah satu bentuk kebahasaan yang kompleks sehingga memerlukan sentuhan cognitive science untuk memahami atau menganalisisnya lebih dalam.

Berdasarkan hubungan yang erat antara konseptualisasi manusia dan bahasa khususnya yang tercermin dalam peribahasa, maka penelitian ini ingin meneliti peribahasa dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dalam kerangka pendekatan semantik kognitif. Pendekatan semantik kognitf dinilai tepat karena sesuai dengan pokok bahasan utama semantik kognitif yaitu struktur konseptual dan proses konseptualisasi. Sistem konseptual tersebut terungkap di dalam bahasa. Dengan demikian, kita dapat meneliti bahasa untuk memperoleh penataan sistem konseptual.

Adapun peribahasa yang dianalisis adalah peribahasa yang menggunakan kata API di dalamnya. Hal ini karena kata API dalam peribahasa adalah satu bentuk yang umum dalam sebuah masyarakat seperti yang telah diketahui API merupakan simbol alam yang mendasar dalam kehidupan manusia, jadi simbol tersebut sering ditemukan dalam berbagai bentuk entah sebagai kata, frasa, idiom, ungkapan atau peribahasa. Sehingga dengan dasar asumsi tersebut maka dipilihlah kata API dalam peribahasa bahasa Indonesia dan bahasa Inggris hal ini karena kata API pasti terdapat dalam peribahasa kedua bahasa tersebut dan juga lengkap dengan membawa konsep pemaknaan kata oleh masyarakat penutur masing-masing.

(7)

Penulisan kata API dengan menggunakan huruf kapital dalam penelitian ini merujuk pada berbagai pustaka Linguistik Kognitif yang memakai huruf kapital dalam penulisan leksem. Kovecses (2002:4) menyatakan bahwa penggunaan huruf kapital menunjukkan bahwa kata tidak terdapat dalam bahasa, tetapi menyatakan konsep dari sebuah ekspresi metaforis. Terkait dengan aspek ortografis pada tesis ini, penulisan huruf kapital mengacu pada kata dan konsep semantik sebuah kata. Selanjutnya penulisan kata peribahasa Inggris akan disingkat menjadi PBI dan peribahasa Indonesia menjadi PBIN, hal ini dilakukan untuk menyederhanakan pembacaan data peribahasa.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan pada bagian latar belakang, terdapat tiga rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana intrepetasi makna dan fungsi kata API dalam peribahasa Bahasa Inggris ?

2. Bagaimana intrepetasi makna dan fungsi kata API dalam peribahasa Bahasa Indonesia?

3. Bagaimana perbandingan konsep makna dan fungsi kata API peribahasa Bahasa Inggris dengan peribahasa Bahasa Indonesia ?

1.3 Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan intrepetasi dan fungsi dari peribahasa yang

(8)

2. Mendeskripsikan intrepetasi dan fungsi dari peribahasa yang menggunakan kata API dalam peribahasa Bahasa Indonesia.

3. Membandingkan dan mendeskripsikan konsep makna dan fungsi kata API peribahasa Bahasa Inggris dengan peribahasa Bahasa Indonesia 1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menambah penelitian dalam bidang ilmu Linguistik, khususnya Semantik Kognitif, mengingat pendekatan ini belum banyak ditemui di lingkungan Universitas Gadjah Mada. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi tambahan referensi dan acuan bagi para peneliti yang tertarik dengan bahasa dan sistem konseptualisasi, khususnya fenomena metafora dan metonimi dari sebuah peribahasa. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat membantu para pelajar dalam mempelajari peribahasa. Karena peribahasa bisa dipakai sebagai pegangan hidup atau pengontrol sikap dan perilaku sehari-hari mengingat peribahasa merupakan suatu fakta kebahasaan yang banyak mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Selain itu penelitian juga dapat membantu masyarakat secara umum untuk lebih mengetahui dan memahami peribahasa Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris yang berkaitan dengan kata API sebagai wahana pembelajaran dan sumber pengetahuan.

1.5 Tinjauan Pustaka

Subbab ini berisi penelitian sebelumnya yang mengkaji bahasa dalam pendekatan semantik kognitif. Berbagai penelitian ini mempunyai peranan yang

(9)

sangat penting dalam memberikan model analisis sebuah kata dari sudut pandang Semantik Kognitif. Fokus dalam berbagai penelitan berikut ini berbeda-beda, sehingga terdapat topik yang tidak dibahas begitu mendalam yang kemudian dapat dikaji dan dilengkapi dalam tesis ini.

Penelitian mengenai Peribahasa pernah dilakukan oleh Ibanez-Moreno (2005), adapun penelitiannya mengenai mekanisme kogitif dalam struktur bahasa. Adapun yang menjadi target analisis adalah peribahasa yang berhubungan dengan nama hewan yakni ANJING yang terdapat dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Spanyol. Analisis ini didasarkan pada prinsip invarians yang dicanangkan oleh Lakoff dan Turner (1989) serta dilengkapi dengan pandangan dari Ruiz De Mendoza mengenai ekonomi, dan motivasi model konseptual. Di samping itu penelitian ini merupakan penelitian kognitif yang bersifat kontrastif dan memiliki bumbu pandangan sosiolinguistik dalam analisisnya. Dalam beberapa hasil analisisnya, Ibanez-Moreno (2005) menunjukan bagaimana peribahasa dapat menunjukan skema kognisi dari masyarakatnya, karena peribahasa dinilai mampu mencerminkan nilai-nilai kebudayaan yang berbeda antara satu bangsa dengan yang lain. Peribahasa juga dipilih karena peribahasa mengandung banyak pengetahuan tentang pengalaman masyarakatnya terhadap dunia dan bagaimana mereka mengkonseptualisasikan pengalaman tersebut. Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa peribahasa merupakan fenomena universal konseptual yang memiliki nilai-nilai yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain.

Terdapat pula penelitian yang dilakukan oleh Ahli semantik kognitif Amirah Ahmad dan Rozaimah Rashidin (2011). Mereka memberikan ulasan mengenai

(10)

semantik kognitif dalam peribahasa Melayu, kajian tersebut memberikan ulasan mengenai bagaimana simbol AIR dalam peribahasa Melayu disejajarkan dengan peribahasa Inggris yang memakai simbol WATER. Dalam temuannya, ternyata terdapat perbedaan kognisi antara masyarakat Melayu dan Inggris yang tercermin dalam simbolisme AIR. Misalnya AIR dalam peribahasa Melayu “Air dincincang

tidak akan putus” melambangkan hubungan persaudaraan yang kuat, sedangkan

dalam peribahasa Inggris ‘Blood is thicker than water’ simbolisme AIR meskipun bermakna secara umum sebagai hubungan pertalian akan tetapi AIR merupakan hubungan pertalian dengan orang lain bukan saudara. Jadi AIR dalam peribahasa Melayu merupakan hubungan kekeluargaan sedangkan AIR dalam peribahasa Inggris adalah hubungan dengan orang yang bukan keluarga.

Kajian mengenai topologi kogniftif pada peribahasa juga telah dilakukan oleh Imran Ho-Abdullah yang termuat dalam jurnal GEMA Online™ Journal of

Language Studies Volume 11(1) 2011. Dalam kajiannya tersebut Imran

memberikan penjelasan mengenai simbol hewan ANJING yang terdapat dalam peribahasa Melayu. Dalam analisisnya Imran mempersoalkan fenomena tentang keuniversalan peribahasa dan dalam hal ini adalah keuniversalan mengenai tabiat hewan, apakah tabiat hewan dalam peribahasa tersebut berlaku secara universal atau hanya berlaku khusus pada budaya tertentu saja. Untuk menganalisis fenomena tersebut Imran menggunakan kerangka Semantik Kognitif yang dikenal dengan Metafora Rangkaian Utama Mahluk (Great Chain of Being Metaphor) yang dicetuskan oleh Lakoff dan Turner (1989) melalui kajian yang pernah dilakukan oleh Kovesces (2002). Kajian tersebut mengintrepetasikan peribahasa

(11)

yang mengandung simbol hewan, misalnya seperti yang terdapat dalam peribahasa ‘Anjing menyalak bukit takkan runtuh” (Imran, 2011:132). Simbolisme ANJING diskemakan menjadi “orang yang jahat”, perbuatan

menyalak dipetakan sebagai kelakuan “mencela” , bukit diskemakan sebagai

“orang baik” dan runtuh dipetakan menjadi “kebaikan yang hilang”. Dalam struktur umum yang sama maka kajian Imran tersebut memperlihatkan model budaya Rantaian Utama Mahluk telah merefleksikan pandangan masyarakat Melayu terhadap simbolisme ANJING. Sebelumnya Lakof dan Turner (1989) menyatakan bahwa ANJING dilambangkan sebagai teman yang dapat diandalkan dan setia dalam perspektif budaya barat. Tetapi sebaliknya dalam budaya Melayu, simbolisme ANJING merujuk kepada hewan yang hina, lemah dan jahat. Perbedaan tersebut jelas ditunjukan oleh skema metaforikal yang telah dianalisis dalam peribahasa yang memiliki simbolisme ANJING. Kajian yang telah dilakukan Imran membuktikan bahwa pendekatan semantic kognitif tersebut mampu memperlihatkan kejelasan secara deskriptif dan eksplanatori mengenai keterkaitan antara bentuk struktur skemata peribahasa dengan falsafah pemikiran masyarakat.

Kajian mengenai semantik kognitif yang memakai objek peribahasa juga dilakukan oleh Nur Aini (2014) dalam kajiannya, Aini fokus pada peribahasa Bahasa Arab. Dan yang menjadi target analisis adalah nama-nama hewan yang terdapat dalam peribahasa Bahasa Arab. Dalam temuannya, Aini mengungkapkan bahwa terdapat banyak nama hewan yang terdapat dalam peribahasa Bahasa Arab meliputi kategori mamalia, aves, reptile, insect dan pisces. Adapun faktor yang

(12)

mempengaruhi pemakaian nama hewan tersebut antara lain adalah keadaan geografis dunia arab, biogeografi dunia arab, Sosial-budaya Masyarakat Arab. Selain Nur Aini terdapat pula tesis karya Ruston Kumaini (2014) yang berjudul Kaji Banding Peribahasa yang Menggunakan Kata Anjing dalam Bahasa Jerman dan Bahasa Indonesia merupakan tesis yang membahas kata ANJING dalam dua bahasa yakni Bahasa Jerman dan Bahasa Indonesia. Sebagai hasil dari analisinya ditemukan bahwa kata ANJING yang terdapat dalam peribahasa baik dalam Bahasa Jerman maupun Bahasa Indonesia merupakan bentuk dari metafora manusia yang meliputi penampilan, tingkah laku, karakter, dan yang menunjukan hubungan antara ANJING dan manusia. Dari segi penilaian kata ANJING dalam peribahasa dua bahasa tersebut ternyata sama-sama didominasi oleh penilaian negatif, meskipun dinilai negatif dilain sisi peribahasa tersebut juga memiliki pesan moral.

1.6 Landasan Teori

Teori yang ditulis dalam subbab ini merupakan kerangka untuk menjawab rumusan masalah yang telah diuraikan. Bentuk, makna dan fungsi kata API dalam peribahasa akan diuraikan berdasarkan konsep-konsep dari Semantik Kognitif. Berikut adalah teori-teori yang dijadikan landasan dalam menganalisis data.

1.6.1 Semantik Kognitif

Semantik merupakan bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu wicara (Kridalaksana, 2009). Semantik sebagai bagian dari teori ilmu bahasa (linguistic) telah mengalami berbagai perkembangan di dalamnya, salah satunya adalah munculnya

(13)

aliran semantik kognitif. Semantik kognitif merupakan salah satu perkembangan dalam bidang semantik yang dimulai dari tahun 1980-an (Geeraert, 2010:182). Teori tersebut merupakan teori yang muncul untuk mematahkan teori semantik kebenaran (truth-conditional semantics). Hal tersebut tampak pada pernyataan Sweester (1990;4) yang menyatakan bahwa “by viewing meaning as the

relationship between words and the world, truth-conditional semantics eliminates cognitive organization from the linguistic system”. Fokus utama Semantik

Kognitif adalah kajian terhadap struktur konseptual dan proses konseptualisasi. Ini berarti bahwa pakar Semantik Kognitif tidak mengkaji makna linguistik semata, tetapi lebih kepada apa yang dapat diungkap terkait dengan hakikat sistem penataan konseptual manusia melalui bantuan bahasa (Evans & Green, 2006:170). Cabang-cabang teori serta kajian dalam Semantik Kognitif meliputi (i) Teori Skema-Gambaran (Image-Schema Theory), (ii) Teori Metafora dan Metonimi Konseptual, (iii) Kategorisasi, (iv) Semantik Leksikal dan Semantik Ensiklopedis, dan (v) Teori Ruang Mental dan Pemaduan Konseptual (Mental Spaces and

Conceptual Blending Theory) (Evans & Green, 2006).

Geeraert (2010:182) mendefinisikan sebagai suatu disiplin keilmuan yang mempelajari makna sebagai bagian dari bingkai kognisi manusia secara luas. Adapun Saeed (1999:299) menyatakan bahwa semantik kognitif adalah pendekatan dalam semantik yang memandang makna bahasa sebagai bagian dari persoalan mental. Oleh karena itu, dari definisi-definisi tersebut dapat dikatakan bahwa semantik kognitif mengandung makna sebagai hasil kognisi manusia sehingga penelitiannya pun lebih diarahkan pada bagaimana kognisi manusia

(14)

dalam mengkonseptualisasikan makna. Tindak lanjut dari definisi tersebut hendak memposisikan semantik kognitif sebagai suatu alat yang dapat digunakan untuk mengungkap dan mengkonseptualisasikan bentuk-bentuk kebahsaan yang di dalamnya diperlukan suatu kerja kognisi dalam menganalisis maknanya.

Pendekatan semantik kognitif berpedoman pada hubungan akal budi dengan pengungkapan pengalaman dan budaya. Pendekatan tersebut menggunakan bahasa sebagai alat utama untuk mengungkapkan penataan dan struktur (Evans, 2006:153). Gärdenfors (2001:21-25) memaparkan enam prinsip dasar semantik kognitif, yaitu:

1. Makna merupakan konseptualisasi yang terjadi dalam kognisi. Semantik dalam suatu bahasa adalah pengkategorisasian unsur-unsur bahasa dalam bentuk satuan-satuan mental. Makna ada lebih dahulu daripada acuan di luar bahasa. 2. Makna bergantung pada persepsi. Oleh karena itu, makna ditentukan oleh

persepsi. Hipotesa utama dari semantik kognitif adalah persepsi manusia di dalam pikirannya mem-punyai bentuk yang sama dengan makna kata.

3. Dasar dari skema konseptual adalah ruang dan benda-benda yang berkaitan dengan geometri. Konsep ruang terdiri atas berbagai jenis dimensi, misalnya atas-bawah, depan-belakang, luar-dalam, warna, suhu, dan berat. Dimensi-dimensi tersebut diasumsikan mempunyai struktur metrik, misalnya waktu dan berat yang merupakan struktur satu di-mensi yang sama dengan struktur linear nomor.

4. Model kognitif yang utama adalah image-schemas yang diungkapkan secara metaforis dan metonimis. Oleh karena itu, metafora dan metonimia menduduki

(15)

posisi penting dalam semantik kognitif. Image-schemas secara inheren mempunyai struktur ruang dan ber-kaitan erat dengan pengalaman kinetis manusia. Model kognitif ini dicetuskan oleh Lakoff dan Johnson. Mereka mengatakan bahwa image-schemas yang paling mendasar adalah container,

source-path-goal, dan link.

5. Semantik mempunyai peran lebih penting daripada sintaksis, bahkan dalam hal tertentu mengambil bagian dalam kaidah sintaktik. Paparan tentang sintaksis tidak dapat dilepaskan dari semantik.

6. Konsep memperlihatkan prototipe. Namun, prototipe ini menimbulkan masalah. Apa-bila orang menganggap MEJA dan KURSI adalah contoh atau tipe yang paling tepat dari kategori MEBEL, KARPET dianggap sebagai contoh yang kurang tepat. Ketimpangan antara keanggotaan dalam suatu kategori tersebut disebut typicality effects (Evans, 254). Contoh lain: nomor genap. Orang cenderung mengatakan ‘2’, ‘4’, ‘6’, dan ‘8’sebagai anggota nomor genap daripada ‘98’ atau ’10.002’. Kategori semacam ini disebut graded categories. Hal tersebut dapat muncul karena ketidaktahuan atau kesalahan. Seseorang dapat memiliki sebuah konsep tanpa harus mengetahui definisinya, misalnya ia mengetahui konsep IKAN PAUS dan secara keliru mengategorikannya ke dalam IKAN, bukan MAMALIA.

Berkaitan dengan prinsip dasar kognitif tersebut, pokok bahasan utama semantik kognitif adalah struktur konseptual dan proses konseptualisasi. Sistem konseptual tersebut terungkap di dalam bahasa. Dengan demikian, kita dapat meneliti bahasa untuk memperoleh penataan sistem konseptual. Dan dalam

(16)

penelitian ini pendekatan semantik kognitif di sandarkan pada peribahasa, Honeck (1997:1) mengatakan bahwa peribahasa merupakan salah satu bentuk kebahasaan yang kompleks sehingga memerlukan sentuhan cognitive science untuk memahami atau menganalisisnya lebih dalam.

1.6.2 Peribahasa

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan peribahasa sebagai kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengkiaskan maksud tertentu seperti keadaan seseorang atau yang mengenai kelakuan atau perbuatan tentang diri orang lain serta di dalamnya berisi ungkapan atau kalimat ringkas dan padat yang berupa perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup, dan aturan tingkah laku (KBBI, 2008:1055). Adapaun Kridalaksana salah satu pakar dalam ilmu bahasa mendefinisikan peribahasa sebagai kalimat atau penggalan kalimat yang telah membeku bentuk, makna, dan fungsinya dalam masyarakat; bersifat turun-temurun; dipergunakan untuk penghias karangan atau percakapan, penguat maksud karangan, pemberi nasihat, pengajaran atau pedoman hidup (Kridalaksana, 2009:189). Ditambahkan oleh Kridalaksana bahwa peribahasa mencakup di dalamnya terdapat bidal, pepatah, perumpamaan, ibarat, dan pameo.

Honeck (1997:71) mengungkapkan bahwa istilah peribahasa seringkali dikacaukan dengan idiom. Secara konseptual dua istilah tersebut memiliki perbedaan namun keduanya mengalami penyimpangan makna dari unsure –unsur pembentuknya. Akan tetapi, penyimpangan makna pada idiom tidak dapat secara langsung ditelusuri dari makna masing-masing kata yang menjadi unsure-unsur pembentuknya. Akan tetapi, penyimpangan makna dalam peribahasa dapat

(17)

ditelusuri melalui skema metaforikal, yakni dengan menelusuri unsur pembanding

(vehicle), unsure pebanding (tenor), dan kesamaan antara unsur pembanding dan

unsur pebanding (ground) (Honeck, 1997:71-73).

Peribahasa dalam Bahasa Inggris disebut dengan istilah proverb, yang merupakan turunan dari bahasa Latin proverbium yang mengandung arti kata-kata konkrit dan sedehana yang dikenal secara berulang-ulang untuk mengungkapkan suatu kebenaran berdasarkan logika umum sebagai metafora yaitu pengungkapan berupa perbandingan analogis untuk mengungkapkan gambaran tentang perilaku seseorang atau sesuatu yang dianggap kurang cocok dalam lingkungan masyarakat. Peribahasa menggambarkan hukum dasar dari tingkah laku dan umumnya berlaku sesuai dengan budaya yang ada di masyarakat.

1.6.3 Makna Figuratif

Dalam memahami peribahasa dibutuhkan kemampuan untuk mengerti makna yang tersembunyi di dalamnya, seperti yang diketahui bahwa peribahasa terdiri atas dua lapisan, yakni lapisan bentuk dan lapisan makna. Makna sendiri merupakan unsur yang bersifat internal, dikatakan internal karena makna merupakan unsur yang terdapat di dalam bahasa.

Adapun salah satu jenis makna adalah makna figuratif (kiasan). Makna figuratif merupakan kandungan makna yang terdapat dalam suatu ungkapan figurative (figurative expression), seperti halnya dalam peribahasa, makna kiasan

(figurative meaning, transferred meaning) merupakan pemakaian satuan

kebahasaan dengan makna yang tidak sebenarnya. Sedangkan menurut Kridalaksana bahasa kiasan merupakan alat untuk memeperluas makna kata atau

(18)

kelompok kata untuk memperoleh efek tertentu dengan membandingkan atau memabagi serta mengasosiasikan dua hal. Bahasa kias atau figuratif menurut Abrams (2009:118-121) dapat muncul dalam bentuk simile (perbandingan), metafora, metonimi, seinekdoke dan peronifikasi. Sementara itu Pradopo (1994:62) membagi bahasa kias ke dalam ujuh jenis, yaitu perbandingan, metafora, perumapamaan, epos, personifikasi, metonimi, dan alegori.

Senada dengan pemaparan makna figuratif diatas, peribahasa dilihat dari sifatnya merupakan salah satu bentuk kebahasaan yang didalamnya sarat akan penggunaan makna figuratif. Sebagai contoh ‘Kalau ada asap, tentu ada api’, peribahasa ini memiliki makna kias bahwa tiap-tiap sesuatu atau kejadian pasti ada awal mulanya atau penyebabnya. Pemaknaan ini diperoleh dari skema metafora antara ranah sumber dan ranah target, secara realita ketika ada asap maka sudah dapat dipastikan bahwa asap tersebut berasal dari api yang mendahuluinya, karena tidak mungkin ada asap jika sebelumnya tidak ada api. Hal ini sama dengan suatu kejadian yang selalu ada permulaannya atau penyebabnya.

1.6.4 The Extended Conceptual Base Theory (ECBT)

The Extended Conceptual Base Theory merupakan teori lanjutan dari The Conceptual Base Theory yang diprakarsai oleh Honeck (1994). Teori ini

merupakan teori yang digunakan untuk mendapatkan pemahaman secara lebih mendalam mengenai intrepetasi sebuah peribahasa. Dalam ECBT sebuah peribahasa dapat dipahami secara lebih komprehensif melalui enam tahapan yakni : makna literal (literal meaning), pengenalan masalah (problem recognition),

(19)

perpindahan makna literal (literal transformaion), makna figuratif (figurative

meaning), instantiation, dan revisi makna (revised meaning phase).

Tahapan makna literal lebih tertuju pada pemahaman harfiah sebuah kata, pemaknaan ini dimaksudkan untuk memahami ciri-ciri atau atribut yang merupakan penanda dari kata tersebut. Kemudian ketika makna literal dari masing-masing kata pembentuk satu peribahasa didapat maka akan terdapat masalah yakni adanya ketidaksesuaian atau ketidakpuasan makna literal tersebut karena tidak mampu memberikan informasi apa sebenarnya yang ingin disampaikan pengguna peribahasa. Maka tahapan selanjutnya adalah adanya kebutuhan untuk meindahkan makna literal tersebut ke dalam makna figuratif, meskipun terjadi perpindahan antara makna literal ke makna figuratif, keberadaan makna literal tetap dibutuhkan, karena meski bentuknya tidak dipakai namun isi informasi di dalamnyalah yang dipakai (Honeck, 1994). Setelah makna figuratif di dapatkan maka pendengar peribahasa akan mengetahui bahwa makna yang ada sebelumnya masih belum tepat karena itu terjadi proses revisi makna sehingga didapatkanlah makna sebenarnya dari peribahasa tersebut.

1.6.5 Metafora

Grothe (2008:9) mengatakan bahwa secara etimologi metafora berasal dari bahasa Yunani ‘meta’ yang berarti ‘over’, ‘beyond’, dan ‘pherein’ yang berarti ‘to

transfer’. Wahab (1986:11) menafsirkan bahwa metafora merupakan ungkapan

kebahasaan yang tidak dapat diartikan secara langsung dari lambang yang dipakai, melainkan dari prediksi yang dapat dipakai baik oleh lambang maupun makna yang dimaksukan oleh ungkapan kebahasaan tersebut. Adapun Kridalaksana

(20)

(2009:152) dalam Kamus Linguistik menjelaskan bahwa metafora adalah pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kiasan atau persamaan, misalanya ‘kaki gunung’ dan ‘catatan kaki’ yang dianalogikan dengan kaki manusia. Oleh karena itu, dari etimologi dan definisi para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa metafora memiliki suatu peran untuk menjadikan sebuah kata memiliki makna di luar dari makna aslinya dengan cara menggunakan kata tersebut untuk merujuk pada sesuatu hal yang lain (transfer makna).

Teori metafora linguistik berpandangan bahwa suatu metafora harus terdiri dari tiga elemen dasar, yakni tenor, vehicle, dan ground. Berikut adalah penjelasan Taylor 2003:135) terkait tiga elemen dasar metafora tersebut:

1. Tenor atau target domain (pebanding) adalah konsep atau obyek yang dideskripsikan, dibicarakan, dikiaskan, dilambangkan, atau dibandingkan.

Target domain juga disebut reseptor.

2. Vehicle atau source domain (pembanding) adalah konsep yang mendeskripsikan atau mengkiaskan atau melambangkan tenor atau target

domain. Source domain juga disebut sebagi ‘pendonor’. Dalam arti ini vehicle

atau source domain adalah lambing atau kiasan itu sendiri.

3. Ground (sense atau persamaan) adalah relasi persamaan antara tenor (target

domain) dan vehicle (source domain). Relasi persamaan ini dapat berupa

persamaan obyektif seperti bentuk, sifat atau kombinasi di antaranya, persamaan emotif, persamaan konsep, fungsi dan persamaan social budaya.

(21)

1.6.5.1 Metafora Konseptual

Teori mengenai metafora konseptual merupakan teori yang diprakarsai oleh Lakoff dan Johnson (2003;3). Teori ini menyatakan bahwa metafora merefleksikan apa yang kita alami, kita rasakan, dan apa yang kita pikirkan dalam khidupan sehari-hari. Misalnya saja pada ungkapan TIME IS MONEY (Lakoff dan Johnson), pengertian dari ungkapan ini tidak saja hanya didapatkan secara literal saja melainkan perlu adanya pemikiran atau konseptualisasi, sehingga nantinya ungkapan tersebut dapat dipetakan yakni TIME diibaratkan sebagai target dan

MONEY sebagai sumber yang mana dapat dianggap sebagai sesuatu yang sangat

berharga dan pantas untuk diperjuangkan. Sehingga tidak mengherankan ketika terdapat ungkapan seperti “You’re wasting my time”, “Can you give me a vew

minutes?”, “How do you spend your time?”. Dari contoh tersebut dapat

disimpulkan bahwa bahasa yang digunakan merupakan bukti secara sistematis cara manusia mengkonseptualisasikan apa yang dipikirkan,dialami, dan apa yang dilakukan.

Dalam metafora konseptual dikenal ada tiga jenis metafora, yakni metafora sruktural (Structural metaphor), metafora orientasional (Orientational metaphor) dan metafora ontologis (Ontological metaphor). Masih berkaitan dengan metafora konseptual, Lakoff dan Johnson (2003,4-8) menunjukan contoh yang lain, yakni metafora ARGUMENT IS WAR, yang terlihat dari adanya ungkapan sehari-hari semisal “he attacks every weak point in my argument”, “I’ve never won an

argument with him” dan “if you use that strategy ,he’ll wipe you out”.

(22)

adalah perang. Ungkapan-ungkapan berikut ini semakin memperjelas bahwa argumen adalah suatu peperangan, yakni mempertahankan, menyerang, menggunakan strategi, memenangkan argumen. Kata-kata tersebut lazim digunakan dalam ranah perang seperti mempertahankan negara, menyerang musuh, menggunakan strategi untuk berperang, atau memenangkan peperangan.

Dalam masyarakat Indonesia sendiri juga telah umum dikenal metafora konseptual misalnya seperti yang terdapat dalam ungkapan HIDUP ADALAH SEBUAH PERJALANAN, berdasarkan metafora tersebut munculah ungkapan seperti “Aku ingin melanjutkan hidupku lagi”, “Dia mengakhiri hidupnya dengan sangat tragis”, atau “ Aku sudah lelah dengan semua yang ada dalam hidupku”

Dari beberapa contoh diatas maka dapat dipahami bahwa metafora konseptual bersifat dinamis, karena metafora ini mewujudkan apa yang dirasakan, dipikirkan dan dilakukan oleh penggunanya yang berbeda di tiap-tiap budaya.

1.6.5.2 GCMT (Great Chain Metaphor Theory)

GCMT merupakan pandangan lain dari teori metafora yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya. GCMT merupakan perkembanagn dari teori metafora konseptual yang memandang bahwa metafora memiliki dua ranah konseptual dimana salah satu ranah (domain) dimengerti atau dijelaskan dengan domain lain. Dua ranah tersebut adalah target domain, yakni hal uang dijelaskan atau dimengerti dengan source domain, dan source domain, yaitu hal yang menjelaskan target domain (Kovesces, 2002:4). Metafora konseptual tersebut merupakan metafora kognitif yang dikembangkan oleh pakar linguis kognitif ketika terbit buku Metaphor We Live By yang di tulis oleh Lakoff dan Johnson.

(23)

Dalam buku karangnnya tersebut, Lakoff dan Johnson (1980, 4-7) mengajukan hipotesis bahwa metafora digunakan untuk menayangkan peta kognitif dari satu ranah pebanding kepada ranah pembanding, sehingga menyebabkan pembanding terikat dalam pengalaman fisik spasial melalui ranah pebanding. Hasilnya adalah adanya skema-skema yang menengahi diantara tingkat konseptual dan inderawi dalam ranah pebanding menjadi aktif, begitu juga dalam ranah pembandingnya. Dalam pandangan ini, satu skema metaforis merupakan satu representasi mental yang mengikat struktur konseptual (intelektual) dari ranah abstrak ke dalam ranah inderawi yang lebih fisikal. Satu konseptual metafora yang dicontohkannya adalah ARGUMENT IS WAR. Metafora tersebut merupakan suatu usaha pemetaan antara ranah sumber, yakni ‘argument’ dan ranah sasaran, yakni ‘. Ranah sumber selalu bersifat fisik atau konkret, sedangkan ranah sasaran terlihat lebih abstrak. Metafora konseptual ARGUMENT IS WAR tersebut hendak memberikan gambaran WAR yang dinilai lebih abstrak dibandingkan dengan ARGUMENT yang dinilai lebih kongkrit dan terkonsep. Konsep perang (war) melalui metafora tersebut bukan berarti adu fisik, namun lebih mengarah pada adu verbal (argument).

Terkait dengan GCMT, pada dasarnya GCMT sendiri tidak dapat dilepaskan dari konsep dasar metafora Lakoff dan Johnson di atas. Selain hadirnya ranah pembanding dan ranah pebanding, skema yang ditawarkan oleh GCMT sebagai suatu pendekatan terhadap peribahasa adalah dengan memasukan adanya konsep moral, budaya, serta konsep pemakaiannya dalam mengkonseptualisasikan

(24)

metafora (Honeck, 1997:147). Oleh karena itu, secara terperinci peribahasa dalam ranah GCMT dapat dipetaan dalam empat konsep di bawah ini;

1. The Great Chain of Being

Lakoff dan Turner (1989:166) meyakini bahwa dalam konsep the great chain

of being setiap mahluk memiliki hierarki tertentu. Hal tersebut mencakup manusia,

hewan, tumbuhan, benda mati, serta sifat-sifat yang mengikuti dari bentuk-bentuk tersebut, seperti cara piir, perilaku, naluri, fungsi biologis serta atribut-atribut fisik lainnya. Bentuk atau benda yang menempati hierarki tertinggi pasti menjadi model untuk tingkat yang lebih rendahnya, bukan sebaliknya. Sebagi contoh adalah perilaku atau sifat manusia yang diserupakan dengan hewan, bukan perilaku atau sifat hewan yang diserupakan dengan manusia.

2. The Nature of Things

Dalam konsep The Nature of Things tersebut (Lakoff dan Turner, 1989:169-170) menjelaskan bahwa berbagai bentuk rangkaian mahluk hidup atau benda memiliki suatu esensi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Esensi tersebut itulah yang menentukan bagaimana mahluk hidup atau suatu benda berperilaku atau difungsikan. Oleh karena itu, atribut yang melekat pada suatu benda akan menentukan bagaimana cara benda tersebut berperilaku. Sebagai contoh adalah ‘serigala’. Serigala merupakan hewan karniivora dan liar. Atribut-atribut itulah yang kiranya akan menentukan perilaku-perilaku dari serigala, yakni dapat memuru binatang lain, ganas, menakutkan, dan lain sebagainya.

(25)

3. The Generic is Specific

Konsep the generic is specific merupakan suatu konsep dimana metafora berusaha memetakan bahwa sesuatu yang dianggap spesifik tersebut merupakan representasi dari sesuatu yang bersifat umum dalam rangka untuk dijadikan sebagai ranah sumber (Lakoff dan Turner, 1989:162-165). Oleh karena itu, maka ranah target hanya akan dapat diketahui dengan memahami aspek-aspek yang ada di dalam ranah sumbernya.

4. The Communicative Maxim of Quantity

The Communicative Maxim of Quantity hendak menjelaskan bahwa dengan

menggunakan skema metafora dalam sebuah tuturan atau tulisan, maka diharapkan pada pembicara atau penulis untuk memberikan seinformatif mungkin keterangan-keterangan yang diperlukan untuk tujuan tertentu dan tidak memberikan keterangan yang berlebihan dari apa yang diperlukan (Lakoff dan Turner, 1989:171). Oleh karena itu penggunaan peribahasa dalam suatu tuturan atau tulisan hendaknya juga mentaati asas sebagaimana prisip The Communicative

Maxim of Quantity tersebut.

1.7 Metode Penelitian

Pada umumnya, terdapat dua macam metode penelitian, yaitu penelitian kuantitatif dan kualitatif. Adapun metode analisis yang digunakan dalam penlitian ini adalah metode analisis deskriptif. Penelitian ini menekankan pada deskripsi berdasarkan fenomena kebahasaan yang ada secara alamiah berdasakan korpus yang ada dan kemudian dianalisis sehingga nantinya menghasilkan sebuah kesimpulan. Analisis deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini meliputi

(26)

analisis deskriptif kualitatif yang digunakan untuk mengintrepetasi peribahasa yang mengandung kata API baik dalam peribahasa Bahasa Indonesia maupun peribahasa Bahasa Indonesia, dan analisis dskriptif kuantitatif yang digunakan untuk membandingkan kedua peribahasa tersebut. Pelaksanaan metode ini ditempuh melalui tahap pengumpulan data, penganalisisan data, dan penyajian hasil analisis data.

Kajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Semantik Kognitif. Konsep-konsep dalam Semantik Kognitif seperti metafora konseptual,

The Extended Conceptual Base Theory, dan The Great Chain Metaphor Teory

digunakan untuk mendeskripsikan dan mengintrepetasikan makna, fungsi dan adanya kesepadanan konsep semantik dalam peribahasa. Dalam penelitian ini ditemukan penulisan huruf kapital dalam teks, Kovecses (2002:4) menyatakan bahwa penggunaan huruf kapital menunjukkan konsep dari sebuah ekspresi metaforis. Terkait dengan aspek ortografis pada tesis ini, penulisan huruf kapital mengacu pada leksem dan konsep semantik sebuah kata, misalnya API. Sementara itu, penulisan huruf miring digunakan untuk mengacu pada kata atau frase asing.

1.7.1 Sumber Data

Data dalam penelitian ini adalah data yang berupa peribahasa baik peribahasa Bahasa Indonesia dan juga peribahasa Bahasa Inggris yang mengandung kata API. Adapun data peribahasa Bahasa Indonesia dihimpun dari kamus peribahasa Bahasa Indonesia dengan judul 3700 Peribahasa Bahasa Indonesia terbitan Pustaka Setia dan juga dari laman www.peribahasa.net. Sedangkan data

(27)

peribahasa Bahasa Inggris diperoleh dari kamus Oxford Dictionary of Proverbs dan Kamus Peribahasa Bahasa Inggris terbitan Kesaint Blanc yang juga dilengkapi dengan kumpulan peribahasa Bahasa Inggris yang diakses dari laman

www.special-dictionary.com. Adapun data peribahasa yang di unduh dari laman

internet dimaksudkan sebagi data tambahan peribahasa yang tidak terdapat dalam kamus.

1.7.2 Tahap Pengumpulan Data

Tahap pengumpulan data merupakan tahap pertama yang dilakukan oleh peneliti dalam menyediakan data yang secukupnya untuk suatu kepentingan analisis (Sudaryanto, 1993:5-6). Untuk mendapatkan data yang dimaksud, peneliti melakukan pengamatan yang mendalam terhadap penggunaan peribahasa yang mengandung kata API dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia yang diperoleh dari kamus dan laman kamus peribahasa on line. Adapun metode penyediaan data dalam penelitian ini adalah metode simak atau observasi. Data disediakan dengan metode simak dari buku-buku peribahasa dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, juga dilengkapi dengan data peribahasa yang di unduh dari laman internet, kemudian data-data tersebut diseleksi dan hanya dipilih yang mengandung kata API di dalamnya. Kemudian teknik dasar yang digunakan peneliti adalah teknik catat, yaitu dengan mencatat, mengkategorisasi dan mengklasifikasikan data yang diperoleh.

1.7.3 Tahap Analisis Data

Tahap analisis data pada penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan kerangka semantik kognitif. Dengan menggunakan kerangka semantik kognitif

(28)

diharapkan cara pandang masyarakat mengenai konsep API dapat diketahui. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan. Metode padan merupakan metode analisis data yang alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan atau diteliti (Sudaryanto, 1993:13; Kesuma, 2007:47). Adapun dalam penerapannya, setelah data dikategorikan dan diklasifikasikan maka peneliti akan melakukan proses analisis secara mendalam yakni dengan metode interpretasi atau penafsiran. Hal tersebut dilakukan untuk menggali lebih dalam kaitan antara penggunaan kata API dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia dengan tujuan mengungkap kognisi masyarakat pemilik peribahasa tersebut. Proses intrepetasi peribahasa akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan The Extended Conceptual Base

Theory yang dipelopori oleh Honeck (1994) yakni dengan mengungkapkan proses

kognisi untuk memahami peribahasa. Adapun proses kognisi tersebut meliputi enam tahapan yakni makna literal, pengenalan masalah, perpindahan makna literal, makna figuratif, instantiation, dan revisi makna. Setelah proses kognisi diketahui maka intrepetasi peribahasa dilanjutkan dengan penjelasan metafora dengan menggunakan teori The Great Chain Metaphor Theory oleh Lakoff dan Turner (1980). Sebagai pendukung metode interpretasi peneliti melakukan triangulasi data kepada narasumber penutur asli Bahasa Inggris mengingat Bahasa Inggris bukan merupakan Bahasa ibu dari peneliti, hal ini dilakukan untuk meminimalisir kesalahan intrepatasi peribahasa tersebut. Selain itu, proses analisis data juga didukung dengan buku-buku yang mengkaji tentang peribahasa baik peribahasa Bahasa Indonesia maupun peribahasa Bahasa Inggris sehingga interpretasi dari

(29)

penggunaan kata API dalam kedua bahasa tersebut dapat diketahui aspek semantik kognitifnya secara tepat. Untuk memperoleh kesepadanan semantis peribahasa antara Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia digunakan metode hubung banding dengan cara mentransposisi peribahasa satu ke peribahasa lainnya berdasarkan ekuivalensi semantik.

1.7.4 Tahap Penyajian Hasil Analisis Data

Tahap penyajian hasil analisis data merupakan tahap terakhir dalam penelitian ini. Tahap ini dilakukan setelah semua data dianalisis sesuai dengan teori dan metode yang relevan. Penyajian hasil analisis data pada penelitian ini disajikan dengan cara deskriptif berdasarkan kerangka analisis dan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Deskripsi disajikan melalui kata-kata biasa disertai dengan contoh-contoh yang relevan sehingga menghasilkan informasi yang detail dan lengkap (Sudaryanto, 1993:145; Kesuma, 2007:71).

1.8 Sistematika Penulisan

Pembahasan mengenai penelitian Penggunaan Kata API dalam Peribahasa Inggris dan Bahasa Indonesia : Analisis Semantik Kognitif ini dibagi ke dalam lima bab. Bab I adalah Pendahuluan yang menyajikan latar belakang, masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab II menyajikan intrepetasi makna dan fungsi kata API dalam peribahasa Bahasa Inggris. Bab III menyajikan intrepetasi makna dan fungsi kata API dalam peribahasa Bahasa Indonesia. Bab IV menyajikan bentuk kesepadanan makna dari kata API pada

(30)

peribahasa Bahasa Inggris dalam peribahasa Bahasa Indonesia. Dan Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

menyebutkan bahwa single tap root memiliki kemampuan untuk menyerap air dari kedalaman tanah yang dalam dan mencukupi kebutuhan air lebih dari 65% pada tanaman

Tahun 2003 menjadi awal titik balik dari perkembangan BMT Ki Ageng Pandanaran, dibawah pengurus baru ini BMT dapat berkembang dengan baik, karena pengurus dan anggota koperasi

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisis data statistik sederhana (kuantitatif) dengan menggunakan tabel frekuensi, kemudian secara deskriptif

Sebagai kelanjutan untuk mengukur hasil kerjanya perlu ada alat ukur yang lain, yaitu instrumen mutu pelayanan rumah sakit yang menilai dan memecahkan

Untuk menyelesaikan sengketa seperti ini, maka ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh wajib pajak sebagaimana ketentuan UU KUP dalam Pasal 25, wajib pajak

Program studi ini memiliki tujuan untuk menghasilkan lulusan strata-1 (S1) yang profesional, yaitu (i) memiliki kemampuan akademik bidang olahraga kesehatan dengan

Lagu dolanan Gundhul Pacul mengandung makna budaya yaitu jika orang yang mempunyai kehormatan, kedudukan, dan kemuliaan karena mempunyai penghasilan yang luar biasa, maka

Untuk memanfaatkan teknologi informasi dalam proses pendidikan, ada beberapa langkah pengembangan yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut: (1) merancang dan