• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. penulisan skripsi ini juga tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. penulisan skripsi ini juga tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan yang Relevan

Dalam penulisan sebuah karya ilmiah sangat diperlukan kajian pustaka. Dalam penulisan skripsi ini juga tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judul proposal skripsi ini.

Kajian pustaka adalah paparan atau konsep yang mendukung pemecahan permasalahan dalam suatu penelitian, paparan atau konsep itu bersumber dari pendapat para ahli, empirisme (pengalaman peneliti) dan daya nalar peneliti yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

2.1.1 Pengertian Semiotik

Secara etimologi semiotik berasal dari bahasa yunani yaitu semion yang berarti tanda. Jadi, jika dilihat dari kata asalnya maka semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Ilmu ini menganggap bahwa masyarakat dan kebudayaan adalah tanda yang mempunyai arti.

Pokok perhatian semioik adalah tanda. Tanda itu sendiri diartikan sebagai sesuatu yang memiliki ciri khusus yang penting. Pertama tanda harus dapat diamati, dalam arti tanda itu harus dapat ditangkap. Kedua, tanda harus menunjuk pada sesuatu yang lain. Artinya bisa menggantikan, mewakili, dan menyajikan.

Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda yang ada dalam kehidupan masyarakat. Semiotik memiliki dua aspek, yaitu penanda (signfier) dan petanda

(2)

(signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu sendiri yaitu artinya.

Peirce (dalam zoest 1978:1) mengatakan semiotik adalah setiap gagasan yang berupa tanda. Peirce juga mengatakan bahwa semiotik adalah studi tentang tanda. Semiotik baginya adalah doktrin dari sifat esensial dan variasi fundamental semiosis.

Haliday (1992:16), mengatakan semiotik mulanya muncul dari konsep tanda yang berhubungan dengan istilah semaion (penanda) dan semianomenon (petanda) yang digunakan dalam ilmu Yunani kuno.

Sudjiman (1978:3) mengatakan semiotika mulanya dari konsep tanda, istilah tersebut berasal dari bahasa yunani semion yang berarati tanda-tanda terdapat di mana-mana, kata adalah tanda, demikian juga gerak, isyarat, bendera dan sebagainya.

Dari beberapa pendapat di atas yang menjelaskan tentang pengertian semiotik penulis mengambil kesimpulan bahwa semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda dan mengkaji tentang makna yang terkandung dalam sebuah tanda di mana tanda-tanda ini dianggap sebagai fenomena sosial dan hubungan antara masyarakat dan kebudayaan.

Semiotik juga memepelajari tentang sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanta-tanda tersebut memiliki arti. Tanda sangat berperan dalam kehidupan manusia di mana setiap manusia menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang untuk beriteraksi dalam kehidupan bermasyarakat dan merepresentasikan kehidupannya dengan kebudayaannya dalam kehidupan sehari-hari.

(3)

Pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat juga menggunakan tanda-tanda dalam mempresetasikan kehidupannya dengan kebudayaannya di mana masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat memberi makna secara arbiter seperti yang dikemukakan oleh Pradopo (2001:71). Mereka menentukan maknanya sesuai dengan apa yang mereka utarakan, baik dengan cara berangan-angan ataupun sebagai aturan-aturan adat. Mereka menyesuaikan dengan bentuk dan kebiasaan yang mereka alami sehari-hari.

Untuk itulah penulis memilih teori semiotik sebagai landasan dalam meneliti makna tanda atau lambang yang terkandung dalam upacara kematian cawir metua pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat.

2.1.2 Pengertian Cawir Metua

Upacara kematian adalah upacara yang ditujukan sebagai penghormatan terakhir kepada orang yang telah meninggal.Pada masyarakat Batak Karo diberi berbagai istilah yang diberikan pada orang yang telah meninggal yaitu : enggo keri beras ijemputna ( sudah habis beras diambilnya), enggo seh padanna (sudah samapi janjinya), enggo seh

sibarna (sudah tiba waktunya), enggo ngobah ngeluk (sudah merubah takdir), enggo metua (sudah tua), enggo keri kesahna (sudah habis napasnya), enggo idilo Dibata (sudah

dipanggil Tuhan), enggo nadingken kegeluhen (sudah meninggalkan kehidupan), enggo

mate (sudah meninggal). Itulah beberapa istilah atau nama yang diberikan pada orang

yang telah meninggal. (Sitepu 1996: 133).

Dilihat dari proses waktu meninggalnya kematian pada masyarakat Karo dibedakan atas dua jenis yaitu: mate telpek artinya meninggal tiba-tiba dan mate modar

(4)

artinya meninggal perlahan-lahan. Meninggal perlahan-lahan maksudnya adalah meninggal karena sakit ataupun sudah ada tanda-tanda sebelumnya.

Sitepu (1996:133) mengatakan bila dilihat dari segi usia, masyarakat Karo membagi jenis kematian menjadi tujuh bagian yaitu:

1. Mate Gara-Gara, yaitu orang yang meninggal saat masih bayi dan belum tumbuh gignya.

2. Mate Danak-Danak, yaitu orang yang meninggal masih berusia 1-7 tahun. 3. Mate Erlajar Mejile, yaitu orang yang meninggal masih remaja.

4. Mate Anak Perana/Singuda-nguda, yaitu orang yang meninggal masih lajang atau gadis.

5. Mate Parang Mbelin/Pernanden, yaitu orang yang meninggal telah berkeluarga berumur 35-45 tahun.

6. Mate Tua-tua, yaitu orang yang meninggal sudah orang tua tetapi anaknya belum semua menikah.

7. Mate Cawir Metua disebut juga Mate Kayat-kayaten, yaitu orang yang meninggal sudah tua dan semua anaknya sudah menikah.

Mate cawir metua merupakan istilah yang diberikan kepada orang yang telah

meninggal apabila yang meninggal sudah berusia lanjut. Berusia lanjut maksudnya sudah memiliki anak, cucu, cicit atau cacah dan semua anaknya sudah menikah inilah yang sebenarnya dapat dikatakan telah cawir metua. Namun saat sekarang ini ada kalanya orang yang meninggal itu sudah berusia lanjut, tetapi masih ada anaknya yang belum menikah sebenarnya belum bisa dikatakan cawir metua dalam keadaan separti ini dapat

(5)

dilaksanakan adat cawir metua tetapi harus dengan persetujuan dari pihak kalimbubu dan anak yang belum menikah tersebut. Tetapi apabila pihak kalimbubu dan anak yang belum menikah tidak memberi persetujuan maka tidak bisa dilakukan upacara adat cawir metua.

Menurut kepercayaan lama masyarakat Karo (yang belum beragama) di Kabupaten Langkat, orang yang meninggal cawir metua apabila tidak dilakukan upacara adat yang layak pada saat kematiannya maka rohnya akan sering menganggu keluarga yang ditinggalkan karena merasa tidak diharagai ataupun diingat oleh keluarga yang ditinggalkan. Oleh karena itulah, pada masyarakat Karo di Kabupaten Langkat setiap ada anggota keluarga yang meninggal cawir metua, selalu diadakan upacara adat yang sesuai dengan adat dan budayanya agar roh yang telah meninggal tidak pernah mengganggu keluarga yang ditinggalkan, tetapi memberi rezeki karna dihargai dan diingat oleh keluarga yang ditinggalkan.

2.1.3 Sistem Kekerabatan Pada Masyarakat Karo

Setiap suku bangsa mempunyai sistem kekerabatan sendiri dan merupakan ciri khas dari suatu suku bangsa. Setiap upacara adat tidak terlepas dari sistem kekerabatan yang ada dari setiap suku. Begitu juga dengan suku Batak Karo yang juga memiliki sistem kekerabatan sendiri. Kerabat (kade-kade) memiliki pengertian yang sangat luas, baik atas dasar hubungan darah maupun hubungan yang disebabkan karena salah satu keluarag menikahi keluarga lain.

Sejak dahulu masyarakat Karo terikat oleh adat istiadat yang merupakan warisan dari leluhurnya. Rasa kekeluargaan atau ikatan kekerabatan pada masyarakat Karo sangat

(6)

kuat dalam pengertian jarang sekali terjadi secara terang-terangan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan adat istiadat yang berkaitan dengan sistem kekerabatannya.

Tingginya rasa kekeluargaan pada masyarakat Karo, selain disebabkan oleh rasa senasib sepenanggungan juga karena adanya praktek gotong royong (serayan-aron) dalam masyarakat Karo yang masih bertahan sampai sekarang.

Sistem kekerabatan masyarakat Karo bertumpu pada Rakut Sitelu. Rakut Sitelu merupakan rangkaian kesatuan hubungan kekeluargaan yang tersusun secara fungsional, dan tergambar dalam adat istiadat dan kehidupan sehari-hari.

Sebagai contoh, bila suatu keluarga telah tergabung dengan keluarga yang lain akibat perkenalan atau perkawinan, maka secara tidak langsung telah menjadi keluarga dari pihak lain yang bersangkutan, karena telah disatukan oleh perkawinan salah satu anggota keluarga.

Perkawinan tersebut menghasilkan keturunan yang menyebabkan timbulnya keluarga baru di samping adanya keluarga lama. Akibatnya terjadilah pertukaran kedudukan beserta fungsinya, pihak keluarga perempuan disebut kalimbubu oleh pihak dari keluarga laki-laki, hal inilah yang menyebabkan timbulnya sistem kekerabata yang disebut rakut sitelu. Rakut artinya mengikat dan sitelu artinya tiga unsure. Jadi, rakut

sitelu merupakan tiga unsur yang mengikat kekeluargaan.

Rakut sitelu tersebut adalah kunci dari segala kegiatan adat istiadat dan mewadahi

musyawarah dalam setiap upacara adat termasuk upacara kematian. Ketiga unsur tersebut juga sering disebut sangkep sitelu atau daliken sitelu yang terdiri dari :

(7)

2. Kalimbubu adalah pihak yang anak perempuannya dikawini oleh pihak laki-laki. 3. Anak beru adalah pihak laki-laki yang menikahi putrid pihak kalimbubu.

Tapi ketiga unsur di atas masih dapat diperinci fungsinya yang disebut dengan

tutur siwaluh atau delapan sistem kekerabatan sehingga membuat kedudukan seseorang

menjadi lebih jelas. Tutur siwaluh terdiri dari:

1. Senina yaitu semua orang yang bermarga sama

2. Senina sepemeren yaitu orang-orang yang tidak semarga namun ibu mereka yang bersaudara.

3. Senina seperibanen yaitu orang-orang yang tidak semerga namun istri mereka bersaudara.

4. Puang kalimbubu yaitu kalimbubu dari pihak perempuan yang diambil atau

kalimbubu dari pihak kalimbubu

(8)

2.1.4 Tutur Siwaluh Rakut Sitelu

Dalam sistem kekerabatan pada masyarakat Karo dikenal istilah ertutur. Ertutur dapat diartikan sebagai cara dalam memperkenalkan diri agar mengetahui posisi dan kedudukan serta sapaan dalam keluarga. Masyarakat Karo biasanya melakukan perkenalan kepada seseorang atau keluarga yang belum dikenal sebelumnya. Pada saat

ertutur biasanya ditanyakan asal kampung, marga dan berunya sehingga akhirnya

mengenal identitas mereka.

Merga atau beru merupakan tanda garis keturunan seseorang dan juga

merupakan penentu dalam hubungan keluarga antara satu orang dengan yang lainnya. Hal ini dapat diketahui dari cara ertutur pada masyarakat Karo yang sesuai dengan adat istiadatnya.

Di pihak lain, hubungan kekeluargaan atau kekerabatan pada masyarakat Karo dapat terjadi akibat pertalian darah yaitu hubungan kekerabatan berdasarkan perkawinan dan hubungan kekerabatan berdasarkan merga.

Akibat adanya hubungan kekeluargaan atas dasar keturunan, perkawinan, dan tutur maka dalam pergaulan sehari-hari masyarakatnya harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak melanggar norma-norma atau ketentuan berdasarkan tutur maka akan diketahui sistem kekerabatan masing-masing pihak.

Kekerabatan masyarakat Karo berdasarkan tutur siwaluh atau delapan sistem kekerabatan yaitu:

1. Kalimbubu 2. Puang kalimbubu 3. Senina

(9)

4. Sembuyak

5. Senina seperibanen 6. Senina sepemeren 7. Anak beru

8. Anak beru mentri

Kedelapan unsur di atas merupakan hasil dari sistem yang dianut oleh masyarakat Karo yang pada prinsipnya didasarkan pada merga silima (lima marga) yaitu:

1. Karo-karo 2. Ginting 3. Tarigan 4. Sembiring 5. Perangin-angin

Maksud dari hal di atas adalah adanya proses pertalian kekeluargaan atas dasar keturunan, perkawinan, hubungan merga yang menyebebkan lahirnya istilah tutur

siwaluh (delapan sistem kekerabatan) dan jenjang keturunan, tinggi maupun rendahnya

posisi dalam tutur.

Sebagai perwujudan lebih lanjut, berdasarkan kelima marga ini maka masyarakat Karo membagi diri atas tiga kelompok berdasarkan fungsinya di dalam hubungan kekeluargaan. Pembagian ini dikenal dengan istilah rakut sitelu (tiga ikatan) perbedaan istilah di atas bukanlah menunjukkan perbedaan pendapat karena mempunyai pengertian yang sama.

(10)

Rakut sitelu dalam masyarakat Karo merupakan unsur yang memegang peranan

penting dalam sistem kekerabatan karena bermula dari ikatan perkawinan berupsa segitiga, tiga tungku kekerabatan sebagai kelompok terkecil (keluarga) sampai kepada kelompok yang lebih luas (masyarakat) yang merupakan kesepakatan bersama.

Rakut sitelu menunjukkan betapa pentingnya peranan tiap-tiap tungku, sebab

dalam proses memasak tidak bisa menggunakan dua tungku, tetapi harus tiga dan ketiga tungku ini difungsikan agar mendapatkan hasil yang baik dalam memasak. Ketiga tungku tersebut adalah:

1. Kalimbubu 2. Senina/sembuyak 3. Anak beru

Rakut sitelu merupakan tri tunggal yang mempunyai asas kekeluargaan dan

gotong royong. Di atas dasar ini pula berkisar segala kegiatan masyarakat baik hukum atau adat istiadat yang telah lama berfungsi di tengah-tengah masyarakat Karo.

Rakut sitelu harus lengkap dalam setiap pelaksanaan upacara adat. Karena tanpa

ketiga unsur di atas upacara adat pada masyarakat Karo dianggap tidak sah. Ketiga tingkatan ini berdasarkan garis keturunan di dalam masyarakat Karo sehingga semua masyarakat suku Karo mempunyai kalimbubu, senina, dan anak beru.

Secara umum pembagian rakut sitelu pada masyarakat Karo adalah: 1. Kalimbubu

(11)

Kalimbubu adalah pihak pemberi anak gadis, pihak yang harus dihormati harus benar-benar dijaga agar kalimbubu jangan sampai kecil hati. Kalau kalimbubu sampai sakit hati misalnya, karena sesuatu hal yang tidak pantas dilakukan oleh anak berunya, dapat menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan seperti padi tak jadi, tidak mendapat anak, anak lahir cacat, pikiran kusut dan sebagainya.

Hal ini biasanya dapat diketahui melalui seorang guru (dukun), untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan ada dilaksanakan upacara minta maaf kepada kalimbubu yang disebut sabai yaitu upacara memakaikan kain adat atau menyelimutkan sabai atau kain adat kepada kalimbubu setelah akin adat tersebut disabaikan atau dipakaikan kepada kalimbubu, maka anak beru meminta maaf kepada

kalimbubu agar segala kesalahannya dimaakan dan dilupakan. Anak beru juga berjanji

tidak akan berbuat hal-hal yang tidak pantas untuk dilakukan, hal yang tidak baik, yang dapat menyakiti hati kalimbubu. Setelah itu selesai maka diadakan pesta makan, pesta makan ini biasanya hany pesta makan alakadarnya.

Sebaliknya kalau anak beru hormat dan sopan terhadap kalimbubu pandai mengambil hati maka restu kalimbubu akan datang seperti padi jadi banyak, tanaman subur, ternak berkembang biak, murah rejeki, anak-anak sehat, pikiran tenang, dan sebagainya. Masyarakat Karo berpendapat bahwa kalimbubu adalah Dibata Nidah atau Tuhan yang dapat dilihat.

Dalam masyarakat karo juga dikenal beberapa jenis kalimbubu, yaitu:

1. Kalimbubu taneh yaitu orang yang pertama kali mendirikan kampung tersebut. Jadi, pengertian kalimbubu taneh adalah orang yang pertama kali

(12)

menemukan dan menempati sebuah kampng, maka keturunannya tetap dihargai dan dihormati sebagai kalimbubu taneh. Kalimbubu taneh sering juga disebut kalimbubu simajek lulang atau kalimbubu simantek kuta. 2. Kalimbubu tua yaitu kalimbubu yang setingkat dengan kalimbubu taneh

dimana kalimbubu tua juga ikut serta mendirikan kampong setelah kalimbubu taneh menemukan kampung tersebut termasuk saudaranya, anaknya, dan cucunya.

3. Kalimbubu simada dareh yaitu kalimbubu sedarah, maksudnya adalah kalimbubu yang merupakan paman atau saudara laki-laki dari ibu kita. 4. Kalimbubu sierkimbang (sipedemui) yaitu kalimbubu yang dihasilkan

oleh perkawinan sendiri. Sebelum adanya perkawinan belum ada hubungan kalimbubu tersebut. Kalimbubu sipedemui adalah pihak lain yang menjadi kalimbubu karena seseorang menikahi putri dari keluarga lain, akibat pernikahan itu maka terjadilah kalimbubu Ipedemui atau orang tua dan keluarga dari istri.

5. Kalimbubu sepemeren yaitu kalimbubu karena ibunya yang bersaudara. 6. Puang Kalimbubu yaitu kalimbubu dari kalimbubu kita, meskipun

kalimbubu dari kalimbubu kita tetapi puang kalimbubu juga harus dihormati dan disegani sama dengan kalimbubu.

2. Senina

Senina merupakan hubungan saudara antara orang yang merganya sama meskipun

subsukunya berbeda tetap saja dikatakan ersenina atau satu marga. Hubungan senina dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:

(13)

1. Sukut yaitu saudara satu ayah dan satu ibu.

2. Sembuyak yaitu bersaudara karena satu ayah atau pun hanya satu ibu. 3. Senina sepemeren yaitu bersaudara karena ibu yang bersaudara. 4. Senina seperibanen yaitu bersaudara karena istri yang bersaudara. 3. Anak beru

Anak beru adalah golongan penerima anak gadis atau golongan pihak suami.

Betapa pentingnya kedudukan anak beru sebagai golongan yang membawa kerukunan dan kedamaian pada keluarga kalimbubu, karena anak beru adalah pihak yang paling dibutuhkan tenaganya untuk menyelesaikan segala urusan upacara adat seperti memasak nasi beserta lauknya, membentangkan tikar dan menyediakan sirih, pinang, serta rokok kepada kalimbubu.

Bila terjadi perselisihan dalam keluarga maka tampillah anak beru sebagai pihak yang mendamaikan dan sebagai penengah. Anak beru juga sebagai pendamai apabila terjadi pertengkaran antara suami istrei.

Pada umumnya keputusan yangh dibuat anak beru harus dipatuhi, namun meskipun demikian keputusan yang diambil oleh anak beru sering tidak didengarkan oleh pihak yang bersangkutan. Bila terjadi hal seperti ini maka kalimbubu yang bersangkutanlah yang membuat keputusan terakhir. Dalam masyarakay Karo dikenal beberapa jenis anak beru yaitu:

1. Anak beru I pupus yaitu anak beru yang mengetahui secara langsung segala sesuatu dalam keluarga kalimbubu. Anak beru I pupus berarti anak beru yang dilahirkan, yaitu anak beru yang ada akibat adanya hubungan darah , sejak

(14)

seseorang lahir secara otomatis menjadi anak beru tanpa harus ada perkawinan terlebih dahulu karena dia sudah menjadi bere-bere atau keponakan.

2. Anak beru taneh (anak beru si majek lulang) berdasarkan asal katanya anak beru memiliki arti anak perempuan dan taneh yang berarti tanah. Jadi dapat disimpulkan kalau anak beru taneh memiliki arti simbolik yaitu anak beru kehormatan yang nenek moyangnya dahulu sebagai anak beru dalam mendirikan kampung pertama kali. Berdasarkan keberadaanya baik jasa leluhurnya (pendiri kampung) keturunannya tetap sebagai anak beru taneh.

3. Anak beru tua, bila dilihat dari asal katanya yang berasal dari katai anak beru (anak perempuan), tua (tua atau yang utama). Jadi anak beru tua adalah seseorang atau keluarga yang menjadi anak beru sudah berdasarkan keturunan. Anak beru

tua adalah anak beru yang paling utama karena tanpa kehadirannya acara pesta kalimbubu tidak dapat dimulai, dan tidak akan ada yang berani memulainya,

karena dialah sebagai penanggung jawab utama. Jadi anak beru tua dalam keluarga seseorang merupakan yang tertua dari semua anak beru dan kedudukan sebagai kepala pimpinan dari semua anak beru yang turut serta dalam dalam setiap upacara adat. Bahkan keturunan dari orang tersebut dinamai anak beru tua. 4. Anak beru I ampu berdasarkan asal katanya anak beru I ampu memiliki arti anak

beru yang dipangku. Anak beru I pangku adalah seseorang yang menjadi anak

beru suatu keluarga karena mengawini anak perempuan dari keluarga tersebut.

Dalam hal ini perkawinan tersebut barulah untuk pertama kalinya, yang membuat adanya hubungan keluarga. Anak beru I pangku tidak boleh berbicara dalam setiap,musyawarah adat atau runggu.

(15)

5. Anak beru menteri yaitu anak beru dari anak beru. Menteri maksudnya melempari atau membersihkan tetapi ada juga menteri yang artinya meluruskan. Dari pengertian menteri ini terkandung makna seperti memberi petunjuk, nasehat, mengawasi, serta membantu tugas kalimbubunya sesuai dengan kewajiban dan menurut adatnya.

6. Anak beru singikuri yaitu anak beru dari anak beru menteri. Anak beru ini semata-mata bertugas di dapur saja untuk mempersiapkan hidangan pada saat pesta. Anak beru singikuri tidak dibenarkan untuk mencicipi makanan tersebut. Hal ini mengingat hubungan kekeluargaan yang sudah jauh.

2.1.5 Sangkep Nggeluh

Berbicara tentang sangkep nggeluh terlebih dahulu kita harus mengetahui arti

sangkep. Sangkep artinya lengkap, nggeluh artinya hidup. Jadi, sangkep nggeluh adalah

kesempurnaan hidup. Kesempurnaan hidup diasosiasikan secara adat istiadat karena telah dilengkapi oleh kalimbubu, senina dan anak beru. Pengertian ini timbul karena dalam kehidupan masyarakat Karo baik dalam upacara dan sebagainya ketiga unsur di atas harus datang dan menyetujui hal yang akan dilaksanakan.

Berdasarkan eksistensinya inilah sengkep nggeluh sangat berperan dalam kehidupan sosial masyarakat Karo khususnya dalam masalah peradatan dan ketiga unsur di atas mempunyai istilah yang bermacam-macam seperti sangkep nggeluh, rakut sitelu dan sebagainya semua ini memiliki maksud dan arti yang sama. Sangkep nggeluh merupakan suatu kerjasama di dalam hubungan keluarga. Dalam setiap melakukan pesta

(16)

adat, musyawarah terlebih dahulu harus dilakukan. Rancangan atau musyawarah itu dinamakna runggu sengkep nggeluh.

Dalam masyarakat Karo, tidak ada yang tidak dikesampingkan maksudnya adalah semua orang tidak tetap kedudukannya dalam adat tergantung upacara peradatan yang dilaksanakn dalam masyarakat Karo. Fungsi dan kedudukan sangkep nggeluh sering berubah, hal ini disebabkan oleh sistem kekeluargaan dan kekerabatan yang secara turun-temurun samapai beberapa generasi turut juga berubah di samping karena adanya perkawinan secara vertical dan horizontal.

Struktur masyarakat dengan inti sangkep nggeluh merupakan tenaga penggerak di tengah-tengah masyarakat Karo. Setiap orang dari salah satu keluarga terlibat langsung padas sangkep nggeluh. Mungkin kedudukan sebagai kalimbubu, senina atau anak beru. Kedudukan seseorang dalam sangkep nggeluh sering bertukar terutama dalam satu kelompok dengan kelompok lain, seseorang dari kelompok tertentu dengan kedudukannya sebagai senina dapat berubah menjadi anak beru atau kalimbubu pada kelompok keluarga yang lain. Dengan adanya pertukaran posisi tersebut maka fungsinya secara tidak langsung juga berubah dalam kegiatan adat bahkan di dalam tata kehidupan sehari-hari kedudukan tertinggi terletak pada kalimbubu.

Kalimbubu sangat disegani dan dihormati oleh anak berunya karena golongan ini

dianggap sebagai golonga tertua dalam adat karena dianggap dapat member restu atau petuah serta dianggap pemberi rezeki. Bagi orang yang kurang menghormati

kalimbubunya, dianggap kurang sopan dan melanggar adat serta akan mendatangkan

malapetaka bagi orang tersebut. Oleh karena itu, timbul suatu istilah pada masyarakat Karo bahwa kalimbubu adalah dibata nidah atau Tuhan yang dapat dilihat.

(17)

Tanggung jawab atas setiap bentuk kegiatan adat sebagai hasil musyawarah mufakat, sangkep nggeluh diserahkan kepada anak beru. Dalam hubungannya denagn inti musyawarah tersebut berada di tangan anak beru Ipupus, karena dialah anak beru yang paling utama dan mempunyai hubungan darah langsung dengan kalimbubu. Anak beru lainnya hanya sebagai pembantu, khususnya di dalam penyelesaian tugas menurut adat. Senina merupakan golongan yang mengerti tentang seluk beluk kalimbubu yang merupakan penanggung jawab masalah biaya dalam setiap upacara peradatan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi sangkep

nggeluh (kalimbubu, senina, dan anak beru) adalah sama dan tidak terpisah, tak ubahnya

seperti Trias Politigu (pemisahan kekuasaan kepada tiga badan) seperti : 1. Kalimbubu sebagai kekuasaan legislative.

2. Senina sebagai kekuasaan executive. 3. Anak beru sebagai kekuasaan yudikatif.

Adapun fungsi dari masing-masing unsur tersebut adlah:

1. Kalimbubu sebagai supremasi keadilan dan kehormatan dan sebagai pembuat peraturan.

2. Senina sebagai penyedia saran yang dibutuhkan petugas. 3. Anak beru sebagai pelaksana tugas.

Selain ketiga tugas di atas kalimbubu, senia, anak beru juga memiliki tugas sebagai berikut:

1. Kalimbubu

a. Menyelesaikan perselisihan anak berunya dalam hal ini kalimbubu dapat menyelesaikan masalah menurut kehendaknya, apabila pihak

(18)

yang berselisih paham tetap ngotot dengan pendapatnya masing-masing. Hal ini sesuai dengan anggapan bahwa kalimbubu adalah Tuhan yang tampak pada masyarakat Karo sering dikenal istilah “kalimbubu dibata nidah simeteh nggeluh ras mate” artinya kalimbubu adalah tuhan yang tampak bagi orang yang mengerti kehidupan sehingga dianggap apapun yang dilakukan kalimbubu dianggap benar dan tidak bisa disalahkan. Oleh karena itulah masyarakat Karo sangat segan dan menghormati kalimbubunya.

b. Sebagai lambang supremasi kehormatan keluarga. 2. Senina

a. Mengawasi pelaksanaan tugas anak beru

b. Secara bersama-sama menanggung biaya pesta dalam setiap upacara adat

3. Anak beru

a. Mengatur jalannya pembnicarraan runggu (musyawarah adat).

b. Menyiapkan hidangan (makanan, minuman, sirih, dan rokok) pada waktu pestan atau musyawarah

c. Menyiapkan semua peralatan yang diperlukan sewaktu upacar adat. d. Menanggung aib kalimbubu nya dan harus menerimanya dengan

rendah hati apabila belum sesuai dengan kebutuhan. e. Mengawasi segala harta pusaka milik kalimbubu nya. f. Mengatur keperluan keluarga.

(19)

g. Harus siap bekerja bila kapan saja dibutuhkan oleh pihak kalimbubu tanpa menuntut balas jasa.

h. Merahasiakan hal yang memperburuk citra kalimbubunya. i. Sebagai penengah perselisihan antara keluarga.

2.2 Teori Yang Digunakan

Secara etimologi, teori berasal dari bahasa yunani theoria yang berarti kebetulan alam atau realita. Teori diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah teruji keterandalannya, yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan dalam penelitian.

Teori merupakan landasan fundamental sebagai argumentasi dasar untuk menjelaskan atau memberi jawaban terhadap masalah yang digarap, dengan landasan teori ini maka segala masalah yang timbul dalam proposal skripsi ini akan terjawab.

Peirce (dalam Zoest 1978:1), mengatakan pengertian semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda.

Berdasarkan judul skripsi ini , maka teori yang digunakan untuk mengkaji upacara kematian cawir metua pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat adalah teori semiotika.

Saussure, (1974) mengatakan bahwa tanda memiliki tiga aspek yaitu: 1. Aspek itu sendiri

2. Aspek material dan tanda itu, aspek material ini dapat berupa bunyi, tautan huruf menjadi kata, gambar warna dan atribut-atribut lainnya ini disebut dangan signifer

(20)

3. Konsep, konsep ini sangat berperan dalam mengkontruksikan makna suatu denotatum atau objek yang disebut dengan signified.

Tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Sesuatu itu dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Yang dapat menjadi tanda bukan hanya bahasa, melainkan berbagai hal yang dapat melingkupi kehidupan disekitar kita. Tanda dapat berupa bentuk tulisan, karya seni, sastra, lukisan dan patung.

Berdasarkan objeknya Pierce merumuskan suatu tanda selalu merujuk pada suatu acuan. Setiap tanda selalu memiliki fungsi dan memiliki makna yang sesuai dengan tanda itu sediri.

Berdasarkan objeknya Peirce membagi tanda itu menjadi tiga bagian yaitu: 1. Ikon (icon)

2. Indeks (index) 3. Simbol (symbol)

Ketiga bagian di atas merupakan objek yang membagi jenis-jenis tanda di mana tanda memiliki arti dan makna tertentu. Ketiga bagian di atas biasa disebut dengan tipologi tanda.

1. Icon adalah tanda berdasarkan identitas dan hubungan antara tanda dan acuannya dapat berupa hubungan kemiripan. Jadi, sebuah tanda bersifat iconic seandainya ada kemiripan rupa atau kemiripan bentuk diantara tanda dengan hak yang diwakilinya.

Contoh:

- Rambu-rambu lalu lintas

- Lampu merah menandakan mobil harus berhenti - Lampu hijau menandakan mobil harus berjalan

(21)

- Lukisan menandakan sebuah ekspresi yang disampaikan dalam sebuah gambar

2. Indeks adalah tanda berdasarkan hubungan kausalitas atau hubungan yang timbul karena adanya kedekatan eksistensi.

Contoh:

- Adanya asap menandakan adanya api - Ketukan pintu menandakan ada orang - Suara bising menandakan adanya keramaian - Suara gemuruh menandakan adanya petir

3. Simbol adalah tanda yang menyatakan hubungan konvensional atau tanda yang bersifat mana suka (Arbitrary). Istilah simbol dipergunakan secara meluas dengan pengertian yang beraneka ragam dan dapat pula disesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu dalam sebuah situasi.

Contoh:

- Harimau simbol kekuatan - Ular simbol suatu kelicikan

- Anggukan kepala simbol sebuah persetujuan

- Lambaian tangan simbol selamat tinggal atau selamat jalan - Senyum simbol kebahagiaan

- Gambar tengkorak simbol bahaya, dan lain-lain

Secara etimologi, simbol berasal dari bahasa yunani symballein yang berarti melemparkan bersama sesuatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide. Ada pula

(22)

yang menyebutkan symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang.

Semua simbol melibatkan tiga usur yaitu simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan rujukan. Ketiga hal ini merupakan dasar bagi semua makna simbolik yang ada.

Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminta menyebutkan simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya yang menyatakan sesuatau hal, atau mengandung maksud tertentu. Misalnya, warna putih melambangkan kesucian, warna merah melambangkan keberanian, dan padi melambangkan kemakmuran.

Dengan demikian, dalam konsep Pierce simbol diartikan sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (petanda) yang sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya dapat menafsirkan ciri dan hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan maknanya.

Pierce juga membagi klasifikasi simbol menjadi tiga jenis yaitu: 1. Rhematic symbol atau Symbolik rheme

2. Dicent symbol atau proposition (proposisi) 3. Argumen

1. Rhematic symbol atau Symbolic rheme, yakni tanda yang dihubungkan dengan objeknya melalui asosiasi nilai umum. Misalnya, di jalan kita melihat lampu merah lantas kita katakan berhenti. Mengapa kita katakan demikian, ini terjadi karena adanya asosiasi dengan benda yang kita lihat.

(23)

2. Dicent symbol atau proposition (proposisi) adalah tanda yang langsung

menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. Kalau seseorang mengatakan “Pergi!” penafsiran kita langsung berasosiasi pada otak dan serta merta kita pergi. Padahal dari ungkapan tersebut yang kita kenal hanya kata. Kata-kata yang kita gunakan membentuk kalimat, semuanya adalah proposisi yang mengandung makna yang berasosiasi dalam otak. Otak secara otomatis dan cepat menafsirkan proposisi itu dan seseorang segera dapat menitipkan pilihan atau sikap.

3. Argumen yakni tanda yang merupakan kesamaan seseorang terhadap sesuatu

berdasarkan alasan tertentu.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Peirce. Di mana setiap tanda memiliki makna yang bersifat arbitrer atau mana suka.

Sesuai dengan teori di atas masyarakat Karo juga memberi makna pada setiap tanda bersiat arbitrer. Artinya mereka menentukan makna dari sebuah tanda sesuai dengan situasi dan apa yang ingin meraka utarakan yang sesuai dengan adat istiadatnya. Masyarakat Karo menyesuaikannya dengan bentuk dan kebiasaan mereka sehari-hari.

Sebagai contoh, kampuh ‘sarung’ biasanya dipakai oleh perempuan mulai dari pinggang sampai pergelangan kaki dan juga dipakai oleh laki-laki mulai dari pinggang sampai lutut. Penggunaan kampuh ‘sarung‘ ini sebagai tanda kesopanan dan saling menghargai antara perempuan dan laki-laki. Tetapi, bagi laki-laki dalam sebuah upacara adat kampuh ‘sarung’ juga sering diikat melingkar di pinggang, ini menandakan bahwa yang menggunakan kampuh ‘sarung’ adalah anak beru. Selain itu, kampuh ‘sarung’ juga sering digunakan di pundak dengan cara meletakkannya dibagian pundak. Ini

(24)

menandakan bahwa yang menggunakan kampuh ‘sarung’ tersebut adalah kalimbubu. Namun, dalam upacara kematian kampuh juga digunakan sebagai sapu-sapu ilu.

Sapu-sapu iluh adalah kampuh ‘sarung’ yang digunakan untuk menghapus air mata pada waktu

Referensi

Dokumen terkait

Alasan paling mendasar dari pemakaian metafora pada koran ataupun pada ranah lain adalah untuk memudahkan pemahaman, menguatkan makna/ kesan, dan

Sistem pengambilan keputusan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah metode Electre (Elimination and Choice Translation Reality), yang diharapkan dapat

Gambar 1. Kegiatan Koordinasi Tempat, Agenda Kegiatan di Desa Sukajadi.. pendampingan kepada masyarakat desa sumber harum dan desa margarahayu Adapun alur pelaksanaan program

Berdasarkan hasil simpulan yang diperoleh dari penelitian pengaruh terapi yoga terhadap tingkat dismenore pada mahasiswi Program Studi Ilmu Keperawatan semester VII

Batubara daerah Ransiki, Papua Barat menarik untuk diteliti karena berada pada Formasi Tipuma yang berumur Pra-Tersier.. Batubara Pra-Tersier ini diharapkan memiliki

Aspek teknis yaitu tinggi bangunan, Koefisien Dasar Bangunan (KDB), dan 6Koefisien Lantai Bangunan (KLB) pada proyek Perumahan Puri Indah Marsawa lebih kecil dari

Dari data sebaran titik panas / titik hotspot di bawah ini, terlihat jelas adanya peningkatan titik panas / titik hotspot yang cukup tinggi di wilayah Sumatera

Penelitian yang dilakukan Pushkareva (2016) tentang rancangan program permainan didaktik matematika dengan Adobe Flash menghasilkan kesimpulan bahwa merancang program