• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAMPILAN PERTUMBUHAN PEDET SAPI BALI YANG DIBERIKAN PAKAN PADAT PEMULA DI LAHAN KERING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TAMPILAN PERTUMBUHAN PEDET SAPI BALI YANG DIBERIKAN PAKAN PADAT PEMULA DI LAHAN KERING"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

TAMPILAN PERTUMBUHAN PEDET SAPI BALI YANG

DIBERIKAN PAKAN PADAT PEMULA DI LAHAN KERING

(Performance of Bali Calves Fed on Calf Starter on Dry Land)

SUKAWATY FATTAH

Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang ABSTRACT

This research was conducted in Kupang, East Nusa Tenggara Province, for six months. The objectives of the research was to study the effect of calf starter Bali consisted of snail meal pumpkin, corn meal, rice bran, coconut cake and Leucaena leucocephala leaves on dry matter intake and growth of Bali calves. Twelve calves, eight calves were isolated in barn and the other four were freely grazed on grassland with their dams. The experimental design used was completely randomized design with three treatments and 4 replications. Those treatments were: A = calves grazing altogether with their mother as control, B = calves separated from their mother fed hay and p31 (calf starter 1) and C = calves separated from their mother, fed hay and p32 (calf

starter 2). Parameters measured were dry matter intake body and weight gain. This results showed that there was no significant difference on dry matter intake between calves fed on diet B and diet C. However the growth of Bali calves fed on diet B and diet C showed a better body weight gain, i.e. twice higher than of calves fed on diet A (P<0.05), while between diet B diet C there was no difference (P>0.05) observed. Key Words: Calves, Calf Starter, Growth

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan komsumsi bahan kering pedet sapi Bali yang diberikan makanan padat pemula (tepung bekicot, labu, jagung, dedak padi, bungkil kelapa dan daun lamtoro). Penelitian ini dilakukan di Kupang Nusa Tenggara Timur selam 6 bulan. Materi penelitian menggunakan 12 ekor pedet, sebanyak 8 ekor dikandangkan dan 4 ekor dilepas bersama induknya di padang pengembalaan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang diberikan: A = pedet bersama induk, (kontrol), B = pedet dipisahkan dan diberikan hay dan p31 dan C = pedet dipisahkan dan diberikan hay p32. Parameter yang diukur adalah

komsumsi bahan kering dan pertambahan bobot hidup. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan konsumsi bahan kering antara ternak yang diberikan pakan p31 dan p32. Pertumbuhan pedet sapi Bali cukup

bagus yaitu dengan pertambahan bobot hidup yang mendapat perlakuan B dan C lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan dengan ternak pedet yang mendapat perlakuan A (P<0,05) dan tidak ada perbedaan (P>0,05) antara perlakuan B dan C.

Kata Kunci: Pedet, Pakan Padat Pemula, Pertumbuhan

PENDAHULUAN

Subsektor peternakan merupakan bagian integral dari sektor pertanian yang sangat berperanan dalam usaha tani didaerah lahan kering seperti Nusa Tenggara Timur. Pada umumya daerah ini, akibat musim kemarau yang panjang, terdapat relatif cukup luas lahan kering yang sebenarnya lebih cocok bagi pemeliharaan ternak khususnya ternak herbivora. Salah satu pulau yang ada di Nusa

Tenggara Timur yaitu pulau Timor Barat telah diketahui sebagai penghasil ternak terbesar, keadaan ini dapat dilihat dari data yang ada. NULIK dan BAMUALIM (1998) melaporkan bahwa diantara kurun waktu 1979–1993 NTT telah mensuplai ternak kepasar Nasional sebanyak 750.000 sapi potong dan 110.000 ekor sapi bibit. Dari total pengeluaran tersebut 85% dari Timor Barat. SALEAN (1999) melaporkan dalam kurun waktu 1997–2001 telah dikeluarkan sapi potong ke pulau Jawa,

(2)

khususnya ke Jakarta 50.000–60.000 ekor pertahun. Namun demikian produktifitas ternak sapi didaerah ini sangat rendah dan mempunyai kecendrungan untuk semakin rendah dari tahun ke tahun. Hasil penelitian JELANTIK (2001) mencatat produktifitas sapi Bali pada dua sistem pemeliharaan hanya 4,45% dari produksi yang ada.

Tingginya angka kematian pedet sebelum disapih merupakan faktor utama, penyebab rendahnya produktifitas sapi Bali di pulau Timor. Beberapa penelitian yang telah dilakukan didaerah ini pada umumnya mengungkapkan tingginya angka kematian pedet (WIRDAHAYATI, 1989; FATTAH, 1998) dan pertambahan bobot hidup yang rendah bahkan negatif selama musim kemarau. Produktifitas sapi Bali yang rendah selama musim kemarau disebabkan oleh ketersediaan pakan yang rendah baik kuantitas maupun kualitasnya. Produksi hijauan pada padang penggembalaan dapat mencapai 110 ton hijauan segar (RIWO KAHO, 1993) atau bahkan mencapai diatas 260 ton (NULIK, 1990) selama musim hujan. Sedangkan tingkat produksi hijauan pada musim kemarau turun menjadi setengahnya (NULIK et al.. 1990). Kandungan protein kasar hijauan rumput alam selama musim kemarau (8–9 bulan) turun hingga 2– 4% (FATTAH, 1998). Disamping itu kandungan dinding sel, NDF, dapat mencapai 80%, tingkat kecernaan pun menurun dari 60% menjadi dibawah 50% (MARAWALI et al., 1990).

Berdasarkan permasalahan diatas maka faktor pembatas utama yang menyebabkan tingkat produksi ternak, adalah tingkat komsumsi dan kecernaan pakan yang rendah. Keadaan ini disebabkan karena kandungan protein kasar yang rendah. Strategi pada umumnya digunakan untuk meningkatkan produktifitas ternak adalah dengan memberikan suplemen protein. Menurut KROPP et al. (1997) pemberian sumber protein yang berbeda memberikan respon pada ternak juga berbeda. STRIZLER et al. (1992) melaporkan bahwa tepung ikan menyebabkan kecernaan bahan organik, sellulosa dan hemisellulosa yang tertinggi dibandingkan gula, tepung kedelai. Selanjutnya JELENTIK et al. (2003) melaporkan bahwa suplementasi pakan padat pemula (P3) pada pedet sapi Bali yang dipisahkan dari induknya memberikan pertambahan bobot hidup sebesar 379

gram/hari. Pertambahan bobot hidup ini lebih tinggi dibandingkan dengan pedet sapi Bali yang dipisahkan dari induknya dan disuplementasi dengan hay halus lamtoro. Pakan padat pemula ini terdiri dari tepung bekicot, labu, jagung, dedak padi dan bungkil kelapa. Pertambahan bobot yang diperoleh pada pedet yang mendapatkan suplementasi P3 lebih rendah dari yang diperkirakan. Hal ini diduga dari energi yang terkandung dalam P3 masih rendah. Oleh karena itu perlu adanya peningkatan level energi pada pakan padat pemula.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini berlangsung selama 6 bulan berlokasi di Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur. Ternak yang digunakan adalah ternak pedet sapi Bali sebanyak 12 ekor. Sebanyak 8 ekor ternak pedet ditempatkan dalam kandang individu yang dilengkapi dengan tempat makan dan minum. Sedangkan 4 ekor yang lain dilepas bersama induknya di padang penggembalan (perlakuan kontrol). Penempatan masing-masing ternak kedalam kandang dan pemeberian perlakuan dilakukan secara acak. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang diberikan: A = kontrol, pedet bersama induk, B = pedet dipisahkan dan diberikan hay dan p31 dan C = pedet dipisahkan dan diberikan hay dan p32. Komposisi pakan pada pemula 1 (p31) dan pakan padat pemula 2 (p32) dapat dilihat pada Tabel 1.

Pemberian pakan pada ternak yang dikandangkan dilakukan dua kali sehari pada 07.30 dan 16.00 dan air minum yang disediakan setiap saat.

Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah: (1). Komsumsi Bahan Kering (BK), Bahan Organik (BO) hay dan pakan padat pemula yang diperoleh dengan cara menghitung selisih antara bahan pakan yang diberikan dan bahan pakan sisa dikalikan dengan persentase masing-masing komponen. Pengukuran dilakukan setiap hari selama periode pengumpulan data. (2). Pertambahan bobot hidup diperoleh melalui penimbangan sekali seminggu pada pagi hari. Data yang terkumpul dianalisis keragaman (ANOVA).

(3)

Uji lanjut yang digunakan adalah uji beda nyata terkecil.

Tabel 1. Komposisi pakan padat pemula 1 dan 2

Komponen p31 p32

Tepung bekicot (%)

Tepung bekicot (di panaskan 90ºC selama 4 jam) Labu (%) Jagung (%) Dedak padi (%) Bungkil kelapa (%) Lamtoro (%) 10 0 15 35 15 25 0 0 10 15 35 15 0 25 Komposisi Kimia Protein kasar (%) 16,3 16,3 Lemak (%) 8,2 8,2 Karbohidrat (%) 66,4 66,4 Gross energy (MJ) 18,4 18,4 Diagestible energy (MJ) 14,1 14,1 Metabolisme energy (MJ) 11,6 11,6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat komsumsi diukur hanya pada ternak yang mendapat perlakuan p31 dan p32 yaitu ternak yang diberikan pakan padat pemula sedangkan ternak yang tidak diberikan pakan padat pemula (kontrol) tidak diukur tingkat komsumsi karena ternak pedet tersebut dilepas dan tidak dipisahkan dari induknya sehingga sulit untuk mengukur tingkat komsumsi, kecuali menggunakan indikator misalnya, chromoxide. Tingkat komsumsi susu tidak diukur sedangkan yang diukur adalah tingkat komsumsi hay, dan tingkat komsumsi pakan padat pemula, serta total yaitu penjumlahan dari hay, dan pakan padat pemula. Tingkat komsumsi bahan kering hay, pakan padat pemula (P3), dan total (hay + p3) antara ternak pedet yang mendapat perlakuan p31 dan p32 secara statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) (Tabel 2). Secara empirik tingkat komsumsi bahan kering hay dan total lebih tinggi pada ternak pedet yang mendapat perlakuan C (HYP 3) dari pada ternak yang mendapat perlakuan B (Hay + P31), sebaliknya tingkat komsumsi bahan kering pakan padat pemula lebih tinggi pada

ternak yang mendapat perlakuan p31. Tidak ada perbedaan tingkat komsumsi bahan kering diantara kedua perlakuan. Mungkin dikarenakan kualitas P3 tidak jauh berbeda dilihat dari komposisi bahan penyusun dan kandungan nutrisinya yang sama seperti protein kasar, karbohidrat, dan gross energi (Tabel 1).

Tabel 2. Rata-rata tingkat komsumsi bahan kering hay, pakan padat pemula dan total pada ternak pedet sapi bali (gram) dan pertumbuhan bobot hidup (PBH) (kg)

Parameter p31 p32 kontrol Komsumsi hay (g BK/hari) 637,7 686,6 Komsumsi p3 (g BK/hari) 434,9 417,9 Komsumsi total (g BK/hari) 1072, 6 1104,5 PBH (kg/hari) 0,243a 0,249a 0,125b

Superscript yang berbeda pada garis yang sama menunjukkan ada perbedaan

Perbedaan sumber protein dimana p31 menggunakan bungkil kelapa sedangkan p32 menggunakan tepung daun lamtoro tidak mempengaruhi tingkat komsumsi hay maupun total. Hal ini kemungkinan disebabkan kualitas kedua sumber protein tidak berbeda.

Tingkat komsumsi bahan kering hay pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian JELANTIK et al. (2003) sebesar yaitu 646,5 g perhari pada ternak pedet sapi Bali yang mendapat suplemen pakan padat pemula. Komposisi pakan padat pemula pada penelitian JELANTIK et al. (2003) adalah tepung bekicot, labu, jagung, dedak padi dan bungkil kelapa dengan kandungan nitrogen yang sama yaitu sebesar 16,3%. Tingkat komsumsi pakan padat pemula pada penelitan tersebut adalah sebesar 516,5 g yang mana secara emperik lebih rendah dari penelitian ini. Hal ini mungkin disebabkan perbedaan umur ternak. Pada penelitian ini umur ternak rata-rata satu setengah bulan. Sedangkan pada penelitian JELANTIK et al. (2003) umur ternak rata-rata 3 bulan. Disamping itu pada penelitian tersebut ternak juga disuplementasi dengan lamtoro. Kondisi tersebut juga menyebabkan ada perbedaan secara emperik pada total komsumsi

(4)

dimana penelitian tersebut adalah sebesar 1830, 8 gram/hari.

Pertambahan bobot hidup ternak sapi pedet yang mendapat suplemen pakan padat pemula dan dipisahkan dari induknya selama digembalakan pada siang hari meningkat hingga mendekati 2 kali dari ternak yang tidak mendapat suplementasi pakan padat pemula tetapi digembalakan bersama dengan induknya (Tabel 2). Terdapat perbedaan pertambahan bobot hidup yang signifikan antara ternak yang mendapat perlakuan p31 dan p32 dengan ternak yang dikontrol (P<0,05), namun tidak ada perbedaan yang signifikan anatara ternak yang mendapat perlakuan p31 dan p32 (P>0,05). Pertambahan bobot hidup ternak yang perlakuan adalah lebih rendah bila dibandingkan dengan ternak yang mendapat suplementasi pakan padat pemula pada penelitian JELANTIK et al. (2003). Hal ini mungkin disebabkan karena perbedaan umur ternak dan sumber protein serta sistim pemberian makan. Ternak yang digunakan pada penelitian JELANTIK et al. (2003) rata-rata 3 bulan sedangkan pada penelitian ini rata-rata satu setengah bulan. Perbedaan umur ternak akan menyebabkan perbedaan pada ukuran tubuh yang mana sangat mempengaruhi tingkat komsumsi pakan yang selanjutnya akan mempengaruhi tingkat komsumsi energi. Seperti telah diuraikan diatas bahwa tingkat komsumsi pakan lebih tinggi pada penelitian JELANTIK et al. (2003) dibandingkan dengan penelitian ini.

Tidak adanya perbedaan yang signifikan pada pertambahan bobot hidup ternak yang mendapat perlakuan p31 dan p32 menunjukkan bahwa kedua sumber protein tersebut mempunyai kualitas yang sama mungkin pada degradabilitas dirumen maupun komposisi proteinnya.

KESIMPULAN

Suplementasi pakan padat pemula pada ternak pedet sapi Bali yang dipisahkan dari induknya pada siang hari meningkatkan pertambahan bobot hidup hingga hampir dua kali lipat dibandingkan dengan ternak pedet yang tidak disuplementasi dengan pakan padat pemula dan digembalakan bersama induknya di siang hari. Tidak ada perbedaan yang berarti

antara bungkil kelapa dengan tepung daun lamtoro dalam mempengaruhi tingkat komsumsi maupun pertambahan bobot hidup.

DAFTAR PUSTAKA

BAMUALIM, A., B. WIRDAHAYATI dan A SALEH. 1998. Produktivitas Sapi Bali di Pulau Timor. Laporan Subbalitnak, Lili, Kupang.

FATTAH, S. 1998. The Productivity of Bali Cattle Maintened in Natural Grassland: a Case of Oesuu, East Nusa tenggara Province. PhD Thesis, Universitas Padjajaran, Bandung. JELANTIK, I.G.N. 2001. Improving Bali Cattle

(Bibos banteng Wagner) Production Through Protein Suplementation. PhD. Thesis. The Royal Veterinary and Agricultural University, Copenhagen, Denmark.

JELANTIK, I.G.N., T.T. NIKOLAUS, K. PETRUS dan L.T. DOMINIKUS. 2003. Strategi Pemeliharan dan Suplementasi Selama Musim Kemarau dalam Upaya Menekan Angka Kematian dan Meningkatkan Laju Pertumbuhan Pedet Sapi Bali di Nusa Tenggara Timur. Laporan Penelitian, Fapet Undana, Kupang.

KROPP, J.E., R.R. JHONSON, J.R. MALES and F.N. OWEN. 1997. Microbial Protein Syhintesis with Low Quality Roughage Ration. Isonitrogeneous Subtitution of Urea for Soybean Meal. J. Anim. Sci. 46: 837–834. MARAWALI, H.A., YUSUF dan A. BAMUALIM. 1990.

Pengaruh Pemberian Rumput Alam (Andropogon timorensis) pada Musim yang Berbeda Terhadap Komsumsi dan Daya Cerna Sapi Bali. Laporan Tahunan, Balitnak, Lili. NIKOLAUS, T.T. 1996. The Effect of Energy and

Protein Supplementation and Protein Source of Straw Diets on Rument Environment and Nitrogen Metabolism on Ruminant. Thesis. The Institute of Animal Science and Animal Health of The Royal Veterinary and Agricultural University, Copenhagen, Denmark.

NULIK, J. dan A. BAMUALIM. 1998. Pakan Ruminansia Besar di Nusa Tenggara. BPPT, Naibonat dan EIVSP AusAID.

NULIK, J., P. TH. FERNANDEZ dan Z. BABYS. 1990. Produktivitas Padang Penggembalaan Alam. RIWO–KAHO, M. 1993. Produktivitas Padang

rumput Alam di Timor. Laporan Penelitian Papet, Undana, Kupang.

(5)

SALEAN, E.T. 1999. Memori Serah Terima Jabatan Kepala Dinas Peternakan NTT 1994–1999. Kupang.

STRIZLER, N.P., J. WALSTRUP, B.O. EGGUM and B.B. JANSEN. 1992. Factor Affecting Degradadtion of Barley Straw in Sacco in Microbial Activity in The Rumen Cows Fed Fibre-Rich Diets. I. The Source Of Suplemental Nitrogen. Anim. Feed Sci. And Tech. 38: 263–280.

WIRDAHAYATI, R.D. dan A. BAMMUALIM. 1990. Produktivitas Ternak Sapi di Nusa Tenggra Timur, Indonesia (Cattle Productivity in Nusa Tenggara Timur, Indonesia). Laporan Penelitian. Sub Balai Penelitian Ternak, Lili, Kupang.

WIRDAHAYATI. 1989. Produktivitas Sapi Bali di Padang Penggembalaan Alam di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Laporan Hasil–Hasil Penelitian Sub Balai Penelitian Ternak, Lili, Kupang.

DISKUSI Pertanyaan:

1. Bagaimana dengan ketersediaan air minum selama penelitian, sebab bila pakan mengandung protein tinggi dan airnya kurang maka hasilnya kurang baik?

2. Dalam metodologi tidak disebutkan jenis suplemen protein apa yang digunakan?

Jawaban:

1. Air selalu tersedia tapi sapinya tidak terlalu berminat untuk minum karena pakan yang diberikan berupa bubur seperti susu sereal, jadi cukup cair.

2. Komposisi suplemen adalah tepung bekicot, labu, jagung, dedak padi, bungkil kelapa, daun lamtoro dan air, dengan kandungan protein kasar 16,3% dan lemak 8,2%.

Gambar

Tabel 1. Komposisi pakan padat pemula 1 dan 2

Referensi

Dokumen terkait

Meningkatnya produktivitas dan penempatan tenaga kerja dengan sasaran terwujudnya kehidupan masyarakat yang mandiri, bermartabat yang mampu membangun potensi

support the learning of important mathematics and furnish useful information to both teachers and students ´ 3DQGDQJDQ LQL PHQ\LUD tkan bahwa asesmen yang

Model bisnis merupakan sebuah pemetaan bagaimana sebuah usaha bisa menghasilkan value (produk dan/atas jasa) dan menyampaikannya kepada konsumen (Fielt, 2013). Dari

Jaringan santri Pondok Pesantren Al Anwar Sarang, Rembang ini sendiri menjadi salah satu bagian yang menarik untuk diperhatikan dalam politik elektoral Pilgub Jateng

Skripsi yang berjudul “Peran Pendidikan Agama Islam Dalam Pendidikan Lingkungan Hidup (Adiwiyata) Kelas X SMK Negeri 1 Mojosongo Boyolali Tahun Pelajaran

Dengan demikian, dari hasil tersebut dapat diketahui bagaimana efektivitas kepemimpinan dalam rangka meningkatkan komitmen organisasi di PT Biro Klasifikasi Indonesia

Selanjutnya, dapat memperbaiki mutu barang produksinya, yang dalam pasar persaingan sempurna hanya akan dilakukan dengan cara menaikkan harga (dalam syarat permasalahan

Dari persoalan seperti di atas banyak dugaan, bahkan mungkin ‘keterkejutan’ dari para siswa ketika mereka menempuh percobaan tersebut. Beberapa siswa terkejut