• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN SURVEY KEBUTUHAN HIDUP LAYAK (KHL) DI KOTA BANDAR LAMPUNG. Susana Indriyati Caturiani dan Meiliyana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PELAKSANAAN SURVEY KEBUTUHAN HIDUP LAYAK (KHL) DI KOTA BANDAR LAMPUNG. Susana Indriyati Caturiani dan Meiliyana"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Susana Indriyati Caturiani dan Meiliyana Staf Pengajar Jurusan Administrasi Negara

FISIP Universitas Lampung

ABSTRACT

Feasible Living Needs (KHL) is something fundamental in determining the minimum wage for workers. Feasible Living Needs Survey (KHL) is important to do as a basis for establishing State Minimum Wage (UMK). This study aims to determine the barriers implementation Living Needs survey. The results showed that the implementation of the survey in the field is often hampered by the availability and timeliness of budget, as well as the reluctance of traders. Therefore this study suggests that the KHL survey should be conducted periodically in one year and supported by the availability and timeliness of budget down.

Key Words: living need, implementation, survey

PENDAHULUAN

Bagi buruh/pekerja/karyawan, upah adalah jasa yang berhak diterima karena mereka telah memberikan jasa. Sebagaimana definisi buruh, yaitu orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. (KBBI: 1999). Undang-undang (UU) No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (bab X, pasal 88.ay 1).

Pernyataan bahwa upah rendah menjadi daya tarik investasi seperti menjadi pegangan yang tak berubah. Namun hal ini dibantah oleh Vice President DPP Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), yang mengemukakan, “Itu pendapat kuno. . .daya tarik investasi itu karena banyaknya tenaga ahli/trampil, disiplin kerja, loyalitas dan penegakkan hukum”.

Penetapan upah minimum merupakan tradisi tahunan dalam lingkaran hidup buruh dan pengusaha. Hampir setiap tahun terjadi pro kontra, ketidakpuasan di kedua belah pihak, bahkan sampai muncul konflik. Misalnya dalam rapat penetapan angka KHL tahun

2009 yang sempat tertunda karena pihak pengusaha yang diwakili Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) belum sepakat mengenai beberapa jenis kebutuhan hidup yang disurvei. Sementara pada tahun 2010, kepala Dinas Tenaga Kerja Bandar Lampung , Dhomiril Hakim dan pihak akademisi , tidak menandatangani nilai UMK yang sudah disepakati antara serikat pekerja dan Apindo pada rapat penetapan UMK. Sumber konflik yang terjadi berkaitan dengan :(1) perbedaan angka yang disampaikan oleh DPK dengan organisasi buruh yang juga melakukan survey, (2) presentase Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang kemudian ditetapkan sebagai Upah Minimum Kota (UMK). Pada tahun 2009 Dewan Pengupahan Kota (DPK) Bandar Lampung menetapkan KHL sebesar Rp. 904,981. Sementara UMK ditetapkan sebesar Rp. 776,500 atau 85 % dari KHL.

Dalam menetapkan upah minimum, pemerintah mendasarkan pada KHL dan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi (Pasal 88.ay 4). Upah minimum didasarkan pada hal-hal yaitu (a) wilayah provinsi (Upah Minimum Kabupaten/Kota/UMK), (b) sektor pada wilayah provinsi atau

(2)

kabupaten/kota. (Pasal 89.ay 1). Pada pasal 89 ayat 4 dinyatakan bahwa komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian KHL diatur dengan peraturan menteri, yaitu Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. PER-17/MEN/VIII/2005.

Berdasarkan Permenakertrans No. PER-17/MEN/VIII/2005, tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yang dimaksud dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non fisik dan sosial, untuk kebutuhan 1 (satu) bulan (Pasal 1 ay 1). Pencarian dan pengumpulan data tentang KHL dilaksanakan oleh sebuah tim yang dibentuk oleh Dewan Pengupahan Kota (DPK) dalam hal ini adalah DPK Bandar Lampung.

Dewan Pengupahan

Provinsi/Kabupaten/Kota adalah suatu lembaga non struktural yang bersifat tripartite, dibentuk oleh Gubernur/Bupati/Walikota dan bertugas memberikan saran serta pertimbangan kepada Gubernur/Bupati/Walikota dalam penetapan upah minimum (Pasal 1 ay 2). Oleh karena itu, keanggotaan DPK merupakan perwakilan dari serikat buruh, pengusaha dan pemerintah, ditambah unsur akademisi. Unsur pengusaha diwakili oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), unsur buruh diwakili oleh serikat buruh yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

Dengan mempertimbangkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pelaksanaan survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Kota Bandar Lampung dan kendala yang mempengaruhi pelaksanaan survey tersebut di Kota Bandar Lampung. Sehingga akhirnya dapat dideskripsikan pelaksanaan survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Kota Bandar Lampung serta dihasilkan sebuah analisis terhadap kendala-kendala yang mempengaruhi pelaksanaan survey tersebut.

METODE PENELITIAN

Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan gambaran yang mendalam tentang subyek yang diteliti. Selanjutnya penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yang menggambarkan situasi yang terjadi dan menganalisis data yang didapatkan. Penelitian dilakukan di Kota Bandar Lampung dengan unit analisis Dewan Pengupahan Kota/Kabupaten (DPK). Penelitian ini melibatkan informan dari unsur-unsur DPK serta serikat buruh yang tidak terwakili dalam DPK, akademisi yang tidak terwakili dalam DPK dan anggota DPRD komisi D yang membidangi ketenagakerjaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang kompleks dengan begitu banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Pendekatan yang digunakan dalam menganalisis implementasi kebijakan tentang Survey KHL sebagai dasar untuk menetapkan upah minimum kota (UMK) di Kota Bandar Lampung adalah model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh George C. Edwards III. Dimana implementasi dapat dimulai dari kondisi abstrak dan sebuah pertanyaan tentang apakah syarat agar implementasi kebijakan dapat berhasil. Menurut George C. Edwards III ada empat variabel yang harus diperhatikan dalam implementasi kebijakan publik yaitu komunikasi (Communications), sumber daya (resources), sikap (dispositions atau attitudes) dan struktur birokrasi (bureucratic structure). Empat faktor tersebut harus dilaksanakan secara simultan karena antara satu dengan yang lainnya memiliki hubungan yang erat. Berikut ini akan diuraikan dan dianalisis satu persatu keempat faktor tersebut. Komunikasi

Komunikasi merupakan salah-satu variabel penting yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik, komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif akan

(3)

terlaksana, jika para pembuat keputusan dan kelompok sasaran mengetahui mengenai apa yang akan mereka kerjakan. Hal ini bisa terlaksana jika ada komunikasi yang baik. Dalam pelaksanaan survey KHL diperlukan komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam hal ini pemerintah, apindo dan karyawan/buruh. Terdapat tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengkur keberhasilan variabel komunikasi. Menurut Edward III dalam Winarno (2008:175) tiga variabel tersebut yaitu: transmisi, kejelasan dan konsistensi.

Menurut Edward III, transmisi merupakan factor pertama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan. Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Berdasarkan hasil wawancara dengan serikat pekerja dan sekretaris DPK, pelaksanaan survey KHL diawali dengan sosialisasi Permenakertrans no. Per-17/MEN/VIII/2005 oleh pemerintah provinsi kepada tiga elemen yang tergabung dalam Dewan Pengupahan Kota (DPK). Lebih lanjut dikatakan antar anggota DPK juga selalu dilakukan komunikasi melalui rapat koordinasi. Hal ini dilakukan untuk menghindari salah informasi (miskomunikasi) diantara anggota DPK.

Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa kebijakan tentang pelaksanaan survey KHL telah ditransmisikan dengan baik kepada pihak-pihak yang berkepentingan, yang dalam hal ini adalah DPK. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Edward III, bahwa mereka yang terlibat dalam satu pelaksanaan kebijakan harus memahami apa yang harus mereka lakukan dan apa tujuan dari yang mereka lakukan.

Kejelasan dipahami sebagai situasi di mana informasi yang diterima oleh pelaksana kebijakan (street-level-bureaucrats) harus jelas dan tidak membingungkan atau tidak ambigu/mendua sehingga dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini menuntut kejelasan dari informasi yang ditransmisikan. Edward III (dalam Winarno, 2008:177) menyatakan bahwa

ketidakjelasan pesan yang dikomunikasikan akan menyebabkan terjadinya interpretasi yang salah bahkan mungkin bertentangan dengan makna pesan awal.

Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, yang menjadi dasar pelaksanaan survey KHL adalah Permenakertrans Per no. Per-17/MEN/VIII/2005. Dalam peraturan tersebut tertuang dengan jelas petunjuk pelaksanaan survey KHL beserta tujuan dan target yang harus dicapai dari pelaksanaannya. Dengan demikian diharapkan para anggota DPK dapat melaksanakan survey KHL tersebut dengan lancar dan baik dan tidak terjadi kebingungan di lapangan.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa dari aspek kejelasan sudah terpenuhi dalam unsur komunikasi untuk pelaksanaan survey KHL ini. Dengan penjelasan yang lengkap dalam peraturan tersebut maka para anggota DPK dapat melaksanakan survey KHL tersebut dengan lancar dan baik dan tidak terjadi kebingungan di lapangan.

Konsistensi, menurut Edward III (Winarno, 2008:177), bermakna bahwa kebijakan harus bersifat tetap dan tidak berubah-ubah dalam jangka waktu tertentu. Hal inilah yang dimaksud dengan konsistensi dalam pelaksanaan kebijakan. Jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan. Permenakertrans yang menjadi dasar pelaksanaan survey KHL, sudah memenuhi syarat konsistensi ini. Sejak dikeluarkan belum ada perubahan-perubahan dalam petunjuk pelaksanaan survey ini, sehingga dengan demikian para pelaksana survey KHL tidak mengalami kebingungan karena peraturan yang berubah-ubah. Dari ketiga indicator komunikasi yang dikemukakan oleh Edward III, dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan yang menjadi dasar pelaksanaan survey KHL berjalan dengan baik dan tanpa masalah.

Struktur Birokrasi

Menurut Edward III (dalam Winarno, 2008:203), meskipun suatu

(4)

kebijakan sudah dikomunikasikan dengan baik, implementasi kebijakan masih belum bisa efektif jika belum ada struktur birokrasi yang baik dan benar. Struktur birokrasi yang dimaksud dalam pelaksanaan survey KHL ini bukan hanya yang terdapat dalam struktur pemerintahan, tapi juga organisasi swasta yang terlibat (Serikat Pekerja dan APINDO). Masih menurut Edward (dalam Winarno, 2008;203), terdapat dua karakteristik utama birokrasi, yaitu prosedur-prosedur kerja atau Standard Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi.

Standard Operating Procedures (SOP) dalam implementasi kebijakan berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan para pelaksana. Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan diketahui bahwa SOP dalam pelaksanaan survey KHL adalah Permenakertrans No. PER-17/MEN/VIII/2005. Karena adanya SOP ini maka dalam bertindak di lapangan, seluruh pelaksana kebijakan mengacu pada SOP yang telah ditentukan. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan survey KHL di Kota Bandar Lampung ini, sudah terdapat SOP untuk dipatuhi oleh pelaksana survey.

Fragmentasi adalah pembagian tanggungjawab di antara unit-unit organisasi (Edward III dalam Winarno, 2002;153). Tanggungjawab bagi suatu bidang dibagi di beberapa unit organisasi. Dalam implementasi kebijakan tentang pelaksanaan survey KHL terdapat tiga elemen yang menjadi pelaksana, yaitu: (1) Pemerintah yang terdiri dari Dinas Tenaga Kerja, Biro Pusat Statistik, Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan UKM, Dinas pariwisata dan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas); (2) Pengusaha yang diwakili oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO); (3) Karyawan/buruh yang diwakili oleh beberapa serikat pekerja.

Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Yohanes Gio dari Serikat Pekerja Metal Indonesia, masing-masing elemen tersebut berhak memberikan dan mempertahankan pendapatnya. Namun, masih menurut karyawan/buruh, unsur

pemerintah wewenangnya sebatas memberikan pertimbangan. Misalnya serikat pekerja dan pengusaha sudah mencapai kesepakatan, sedangkan pemerintah belum, maka yang akan digunakan adalah hasil kesepakatan pengusaha dan pedagang.

Sementara itu berdasarkan hasil wawancara dengan ketua dan sekretaris DPK yang merupakan wakil pemerintah, didapatkan informasi bahwa wewenang dan tanggungjawab masing-masing anggota DPK adalah mengacu pada Permenakertrans No. PER-17/MEN/VIII/2005, dan kewenangan yang paling besar adalah pada ketua dan sekretaris DPK.

Dari keterangan ketua DPK Kota Bandar Lampung yang juga merupakan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Bandar Lampung, dalam rapat penetapan UMK tahun 2009, terjadi ketidaksepakatan pihak pemerintah dengan pengusaha dan karyawan/buruh, sehingga kemudian ketua DPK tidak bersedia menandatangani rekomendasi yang disampaikan kepada DPRD sebagai dasar untuk menetapkan UMK.

Berdasarkan hasil penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sudah terdapat pembagian wewenang dan tanggungjawab dalam pelaksanaan survey KHL. Pembagian tersebut mengacu pada Permenakertrans No. PER-17/MEN/VIII/2005. Dalam kenyataannya

penggunaan wewenang dan

tanggungjawab tersebut belum terlaksana dengan baik. Hal ini menjadi penyebab seringnya terjadi konflik dalam penetapan UMK. Menurut model implementasi kebijakan yang diungkapkan oleh Edward III, hal seperti ini dapat menghambat koordinasi diantara elemen-elemen yang terlibat dalam penetapan UMK yang mengakibatkan tujuan dari pelaksanaan survey KHL tidak tercapai dengan sempurna.

Sumber Daya

Sumber daya merupakan bagian yang juga penting dalam pelaksanaan suatu program atau kebijakan. Dari keberadaan sumber daya, dapat

(5)

diperkirakan apakah suatu pelaksanaan kebijakan akan berhasil dengan baik atau tidak. Dengan demikian sumber-sumber daya penting untuk diperhatikan karena berperan penting untuk keberhasilan implementasi suatu kebijakan (Edward III dalam Winarno, 2002;138-139). Tanpa ada sumber daya yang memadai, mustahil suatu kebijakan dapat dilaksanakan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), mendefinisikan sumber daya sebagai segala sesuatu baik yang berwujud benda maupun sarana penunjang lainnya yang tidak berwujud, yang digunakan untuk mencapai hasil tertentu.

Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, didapatkan informasi bahwa sumber daya manusia yang terlibat dalam pelaksanaan survey, dari segi kualitas dan kuantitas sudah cukup memadai. Sumber dana dalam pelaksanaan survey KHL ini adalah dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Bandar Lampung. Menurut wakil dari serikat pekerja maupun pihak pemerintah, dana untuk pelaksanaan survey sudah cukup memadai. Namun honor bagi pelaksana survey, dimata karyawan/buruh, sangatlah tidak memadai. Menurut Edward III, berhasilnya pelaksanaan suatu kebijakan sangat ditentukan dari kecukupan sumber daya baik manusia maupun dana serta fasilitas lainnya. Honor pelaksana survey yang dinilai pihak buruh/karyawan kurang memadai, dapat menyebabkan tidak lancarnya atau terhambat nya pelaksanaan survey KHL ini.

Sikap (Attitude) / kecenderungan-kecenderungan

Faktor “sikap” ini berkenaan dengan kesediaan para pelaksana kebijakan untuk melaksanakan kebijakan public tersebut (Nugroho, 2008;447). Adanya kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan secara efektif karena mendapat dukungan dari pembuat dan pelaksana kebijakan. Menurut Edward III (Winarno,2008;194),

sikap/kecenderungan memiliki arti bahwa adanya dukungan dari pelaksana kebijakan, akan membuat mereka melaksanakan kebijakan tersebut seperti

yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Demikian juga sebaliknya, dukungan penuh dari pembuat kebijakan, akan membuat pelaksana kebijakan melaksanakan kebijakan sesuai aturan yang ditetapkan pembuat kebijakan.

Menurut hasil wawancara, dalam pelaksanaan survey KHL, dukungan penuh sudah didapatkan baik dari pembuat keputusan maupun dari sesame pelaksana keputusan. Hal ini dapat dilihat dari jawaban yang disampaikan anggota DPK baik dari wakil karyawan/buruh maupun wakil pemerintah (sekretaris DPK), yang menyatakan mereka sepakat bahwa survey KHL seperti yang tertuang dalam Permenakertrans No PER -17/MEN/VIII/2005, sangat penting untuk dilakukan untuk dapat menentukan besaran UMK di Kota Bandar Lampung. Berdasarkan hasil wawancara juga, wakil karyawan/buruh yang diwawancarai mengatakan, bahwa pihak pemerintah (Disnakertrans) sangat mendukung pelaksanaan survey KHL ini dan menurut mereka dukungan ini merupakan hal yang sangat positif dalam kelancaran pelaksanaan survey.

Hasil temuan di lapangan ini sesuai seperti yang diungkapkan Edward III dalam model implementasi kebijakan yang diajukannya yaitu bahwa jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, hal ini berarti bahwa ada dukungan yang memungkinkan mereka dapat melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat kebijakan awal. Meski demikian, kegiatan survey KHL juga tak lepas dari berbagai kendala, seperti: (1) Kecenderungan para pedagang pasar yang disurvey, ogah-ogahan dalam menjawab pertanyaan karena ketidaktahuan mereka tentang tujuan survey tersebut; (2) Keterbatasan anggaran yang tersedia; (3) Waktu penurunan dana yang sangat dekat (mepet) dengan waktu survey.

KESIMPULAN

Pelaksanaan Survey kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai dasar untuk menetapkan Upah Minimum Kota (UMK) di kota Bandar Lampung dilaksanakan berdasarkan permenakertrans no

(6)

PER-17/MEN/VIII/2005. Dalam penelitian ini implementasi dari peraturan tersebut dianalisis dengan model implementasi yang diusulkan oleh Edward III. Model implementasi ini melihat implementasi kebijakan dari beberarapa faktor, yaitu komunikasi (Communications), Sumber Daya (resources), sikap (dispositions atau attitudes) dan struktur birokrasi (bureucratic structure).

Dalam pelaksanaan survey KHL, faktor komunikasi telah dilakukan dengan baik, sehingga semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya memahami dengan jelas informasi yang harus mereka ketahui. Dari aspek struktur birokrasi, dapat disimpulkan bahwa sudah terdapat pembagian wewenang dan tanggungjawab dalam pelaksanaan survey KHL. Pembagian tersebut mengacu pada Permenakertrans No. PER-17/MEN/VIII/2005. Dalam kenyataannya

penggunaan wewenang dan

tanggungjawab tersebut belum terlaksana dengan baik. Hal ini menjadi penyebab seringnya terjadi konflik dalam penetapan UMK.

Dari segi kecukupan sumber daya manusia dalam pelaksanaan survey KHL ini, dapat disimpulkan sudah cukup memadai dari segi kulaitas dan kuantitas. Sumber dana untuk pelaksanaan juga dinilai cukup namun honor bagi pelaksana masih jauh dari memadai dan hal tersebut dapat menghambat pelaksanaan survey KHL. Sementara dari aspek sikap/kecenderungan, pihak pelaksana kebijakan dan pembuat kebijakan saling mendukung pelaksanaan kebijakan ini sehingga pelaksanaannya diharapkan dapat mencapai hasil seperti yang ditetapkan di awal. Sedangkan kendala-kendala yang dihadapi berkaitan dengan ketersedian dan ketepatan waktu anggaran dan keengganan para pedagang yang di survey. Penelitian ini mengalami hambatan dalam memperoleh data dari pihak pengusaha (Apindo Kota).

KHL merupakan dasar dalam menetapkan Upah Minimum bagi buruh. Bagi buruh, upah adalah sumber

pendapatan utama. Oleh karena itu perlu upaya serius dalam melaksanakan survey KHL. Penelitian ini menyarankan agar survey KHL dilaksanakan secara berkala dalam satu tahun tersebut. Oleh karena itu hrus didukung oleh ketersediaan anggaran dan ketepatan waktu turun anggaran

DAFTAR PUSTAKA

Islamy, Irfan. 1991. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara. Jakarta.

Jones, Charles O., 1994. Pengantar Kebijakan Publik. Raja Grafindo Pustaka. Jakarta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1991. Balai Pustaka. Jakarta.

Keban, Yeremias. 2004. Memahami kebijakan publik dalam Perspektif Sumber Daya Manusia. Gava Media. Yogyakarta.

Miles, Matthew B dan Huberman, A. Michael. Analisis Data Kualitatif. 1992. UI Press. Jakarta.

Moleong, Lexy. J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. PT Remaja Rosda Karya. Bandung. Mulyana, Dede. Metodologi Penelitian

Kualitatif. 2002. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. PER-17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Salim, Agus. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. 2001. Tiara Wacana. Yogyakarta.

Soeprapto, Riyadi. 2005. Pengantar ilmu Administrasi Negara, Riyadi Press, Malang.

Undang-undang (UU) No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Wahab, Solichin Abdul. 1991. Analisis Kebijakan. Bumi Aksara. Jakarta

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang alternatif bahan baku sosis yang berasal dari bahan nabati seperti jamur tiram putih dengan

c) Quick Ratio atau Acid Test Ratio, rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban finansial jangka pendek dengan mengunakan aktiva lancar yang lebih likuid

Keracunan adalah suatu kejadian apabila substansi yang berasal dari alam Keracunan adalah suatu kejadian apabila substansi yang berasal dari alam ataupun buatan yang pada dsis

Derajat subsitusi CMC tertinggi yang dihasilkan pada penelitian ini diperoleh dari perlakuan asam trikloroasetat 20 % dan waktu reaksi 3 jam. Sehingga viskositas CMC

Pada penelitian ini akan dilakukan sintesis dan karakterisasi Na-CMC dari selulosa tanaman eceng gondok yang diperoleh dari dua daerah yang berbeda, yaitu daerah Jatinangor

Model penjadwalan pemetikan pucuk teh yang disusun dengan menggunakan program linier fuzzy memberikan hasil berupa produktivitas pucuk basah yang lebih tinggi dibandingkan hasil

Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini akan meneliti pengaruh pengendalian intern akuntansi, pemanfaatan teknologi informasi dan kualitas sumber daya manusia