• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEGARUH RUMPON ATRAKTOR CUMI TERHADAP HASIL TANGKAPAN CUMI- CUMI DI PERAIRAN TUING, BANGKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEGARUH RUMPON ATRAKTOR CUMI TERHADAP HASIL TANGKAPAN CUMI- CUMI DI PERAIRAN TUING, BANGKA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Volume 9. Nomor. 2. Tahun 2015 HALAMAN- 8 1)

Wede Mitra, 2)Eva Utami, 3)Umroh

1)Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan

Wede_mitra@yahoo.com

2)3)

Staf Pengajar Jurusan Mnajemen Sumberdaya Perairan FPPB Universitas Bangka Belitung Abstract

Squid agregating device useful as a squid to attach eggs and a squid fishing area. The research objective was to analyze the catch squid in the area and nothing squid agregating device. The method used in the study is experimental squid fishing. The study was conducted in May 2015 in Tuing waters, Bangka. Collecting data 4 times in one month. Results in getting fishing on squid agregating device area and without squid agregating device are not significantly different with 95% confidence interval . Waters tuing in May instead of squid fishing season .

Keywords: Squid, Fishing, squid agregating device

PENDAHULUAN

Kabupaten Bangka memiliki kawasan dengan potensi yang sangat besar untuk pengembangan perikanan tangkap, salah satunya adalah Perairan Tuing. Perairan yang masih alami karena belum tercemar oleh aktivitas penambangan timah ini memiliki terumbu karang tepi, serta vegetasi mangrove yang tumbuh subur di sekitarnya sehingga menjadi daerah tangkapan cumi-cumi bagi nelayan Kabupaten Bangka.

Nelayan Tuing masih dikatakan tradisional karena penangkapannya masih berskala kecil dengan perahu kecil dan penangkapan tak lebih dari sehari (one day

fishing). Cumi-cumi ditangkap oleh nelayan

sekitar menggunakan pancing cumi (squid

jigging) dan bagan tancap. Besarnya potensi

cumi di Perairan Tuing namun kebanyakan nelayan dalam penangkapan cumi-cumi masih berdasarkan dugaan menyebabkan hasil tangkapan belum optimal. Salah satu solusi dalam menetapkan daerah tangkapan cumi-cumi adalah dengan menempatkan Rumpon atraktor cumi (RAC). RAC merupakan salah satu jenis rumpon dasar yang nantinya akan berperan sebagai terumbu buatan, sehingga dapat membentuk suatu ekosistem baru yang dapat mengumpulkan cumi-cumi karena kesesuaian habitat untuk cumi-cumi melepaskan telurnya. Penerapan teknologi RAC yang masih baru di Perairan Tuing perlu diteliti pengaruhnya terhadap hasil tangkapan nelayan untuk memaksimalkan pendapatan dari penangkapan.

Tujuan

Menganalisis pengaruh rumpon atraktor cumi terhadap hasil tangkapan cumi-cumi. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi nelayan terkait penggunaan teknologi RAC untuk meningkatkan hasil tangkapan dan pendapatan.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 di Perairan Tuing Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah pancing cumi berwarna hijau dan merah sesuai dengan kebiasaan Nelayan Dusun Tuing, RAC berfungsi sebagai alat untuk mengumpulkan cumi-cumi. Bahan yang digunakan antara lain waring yang berfungsi sebagai penutup kerangka RAC dan tali rapia sebagai pengikat kerangka RAC.

Kontruksi Rumpon

Rumpon atraktor cumi dibuat berbentuk kotak dengan ukuran 70x50x60 cm3. Kerangka RAC dibuat dari bahan kayu yang ditutupi dengan waring dan menggunakan pemberat pasir pantai yang dimasukan

(2)

Volume 9. Nomor. 2. Tahun 2015 HALAMAN- 9 kedalam karung. Konstruksi RAC dapat

dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Konstruksi Rumpon Atraktor Cumi

Metode Pengambilan Data

Penelitian menggunakan metode uji coba penangkapan cumi-cumi atau

experimental fishing dengan 2 perlakuan

yaitu memancing di area RAC dan tanpa RAC (kontrol) dengan 4 kali pengambilan data selama satu bulan. Jumlah pancing yang digunakan sebanyak 9 pancing di setiap perlakuan. Banyaknya pancing pada setiap perlakuan dinyatakan sebagai banyaknya ulangan.

Metode pemancingan menggunakan umpan buatan yaitu pancing cumi-cumi (squid jigging). Pengambilan data dimulai pukul 19.00-03.15 WIB. Pemancingan diawali di area tanpa RAC pada pukul 19.00-23.00 WIB, dilanjutkan di area RAC pada pukul 23.15-03.15 WIB. Pengambilan data di area tanpa RAC dilakukan pada daerah fishing ground sesuai kebiasaan nelayan Tuing.

Pengukuran Parameter Lingkugan 1. Suhu

Suhu perairan diukur menggunakan termometer batang dengan cara mencelupkannya ke dalam perairan selama 2 menit, kemudian dilakukan pembacaan nilai suhu pada saat termometer dalam air agar nilai suhu tidak dipengaruhi oleh suhu udara. (Hutagalung et al.,1997).

2. Kecepatan Arus

Kecepatan arus diukur menggunakan layang-layang arus yang telah diberikan tali dengan panjang tertentu dihanyutkan dan

stopwatch dihidupkan secara bersamaan,

setelah panjang tali pemegang dan layang arus berhenti, stopwatch dimatikan. Kecepatan arus (v) dapat dihitung dengan cara membagi panjang tali (l) dengan lama waktu yang terukur (t) (Hutagalung et

al.,1997).

3. Potensial Hidrogen (pH)

Pengukuran pH perairan menggunakan pH indikator universal dengan cara mencelupkannya ke dalam air selama 1-2 menit kemudian diangkat dan dicocokkan dengan skala indikator warna pH yang ada. 4. Salinitas

Salinitas diukur menggunakan alat refraktometer yang dioperasikan dengan cara meneteskan sampel air laut pada alat kemudian dilakukan pembacaan skala pada teropong yang dilengkapi kaca pembesar di dalamnya. Sebelum pengukuran alat ini harus dikalibrasi dahulu dengan akuades (Hutagalung et al.,1997).

5. Total Suspended Solid (TSS)

Total Suspended Solid (TSS) atau padatan

tersuspensi adalah jumlah partikel-partikel yang melayang dalam air (Hutagalung et al. 1997). Sampel air dimasukkan ke dalam botol sampel 1 liter kemudian dianalisis di laboratorium. Rumus yang digunakan untuk menganalisis TSS adalah:

dimana; TSS adalah total suspended solid (mg/l), W1 adalah berat kertas saring sebelum digunakan untuk menyaring (mg), W2 merupakan berat kertas saring setelah digunakan untuk menyaring (mg), V: volume air yang tersaring (liter).

Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam menentukan perbedaan hasil tangkapan cumi-cumi di area RAC dan tanpa RAC adalah Uji Mann Whitney. Uji Mann

Whitney merupakan uji yang digunakan

untuk menguji dua sempel independen. Pemilihan metode ini dengan pertimbangan banyak faktor yang tidak dapat dikontrol yang mempengaruhi hasil penelitian seperti ombak, arus, kecerahan perairan dan musim

(3)

Volume 9. Nomor. 2. Tahun 2015 HALAMAN- 10 serta parameter-parameter lainnya pada

lokasi penelitian. Uji ini termasuk dalam uji non parametrik.

Untuk memenuhi persyaratan analisis dalam menarik kesimpulan, maka dirumuskan uji hipotesis sebagai berikut: a) : Tidak terdapat perbedaan atau

pengaruh memancing di area RAC dan tanpa RAC.

b) : Terdapat perbedaan atau pengaruh memancing di area RAC dan tanpa RAC.

Rumus statistik uji U Mann Whitney adalah (Supranto, 2009):

Dimana :

jumlah sampel 1 jumlah sampel 2

= jumlah jenjang pada sampel 1 = jumlah jenjang pada sampel 2 Kriteria pengambilan keputusan :

= diterima bila = ditolak bila

Untuk memeriksa apakah nilai U benar maka perlu dilakukan perhitungan sebagai berikut :

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Perairan Tuing

Perairan Tuing terletak di bagian timur laut Pulau Bangka dan berbatasan langsung dengan Perairan Laut Cina Selatan. Perairan Tuing mengalami siklus musim barat dan musim timur. Puncak musim barat dan timur dicirikan dengan kondisi gelombang yang kuat dan besar dengan kondisi air laut yang keruh. Kondisi perairan laut relatif teduh dan jernih pada musim peralihan antara barat-timur dan sebaliknya (Terangi 2011 dalam Syari 2013). Perairan Tuing pada musim barat kondisi gelombang langsung mengarah

ke daratan sehingga daerah ini diterpa oleh gelombang yang tinggi, besar dan kuat. Nelayan Tuing umumnya pada saat musim barat tidak melakukan aktivitas penangkapan di laut karena khawatir gelombang besar akan mengancam keselamatan mengingat perahu yang digunakan berukuran kecil. Perairan Tuing pada musim timur lebih terlindung karena terdapat tanjung Tuing yang menghalangi arah gelombang. Karakteristik fisika kimia perairan Tuing disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Fisika Kimia Perairan Tuing Minggu ke-Parameter arus (m/s) Suhu (°C) Salinit as (‰)pH TSS (mg/l) area RAC I 0,5 31 32,8 8 40 II 0,4 31 32 8 40 III 0,4 30,5 33 8 40 IV 0,4 31 33 8 40 area tanpa RAC I 0,6 31 33 8 30 II 0,5 30 33 8 30 III 0,5 30 34 8 20 IV 0,5 30 34 8 20 Baku Mutu* 0,50 -1 25-31 30-35 7-8,5 <20 * berdasarkan Kepmen LH No 51 Tahun 1988 Hasil Tangkapan Cumi

Nelayan Tuing dalam proses penangkapan cumi-cumi biasanya dilakukan pada malam hari dengan bantuan lampu yang berguna untuk menarik dan mengumpul cumi-cumi yang tersebar pada suatu daerah penangkapan. Hasil tangkapan cumi-cumi selama penelitian adalah dari jenis Uretheutis chinensis atau cumi bangka dengan total tangkapan sebanyak 15,08 kg (Tabel 3).

Tabel 3. Jumlah Hasil Tangkapan Cumi Perlakuan Tangkapan per Minggu (kg)

I II III IV Total RAC

0.8 1.2 3 4.2 9.2 Tanpa

RAC 1.9 2.1 1.5 1 6.6 Hasil tangkapan cumi pada perlakuan RAC berjumlah 9,2 kg, sedangkan memancing di area tanpa RAC berjumlah 6,6 kg. Berdasarkan analisis statistik menggunakan uji Man-Whitney (uji U)

(4)

Volume 9. Nomor. 2. Tahun 2015 HALAMAN- 11 diketahui bahwa perlakuan dalam penelitian

ini tidak berbeda nyata terhadap hasil tangkapan cumi dengan selang kepercayaan 95%. Nilai U hitung lebih besar sama dengan U tabel α(4,4) yaitu 7>0 yang berarti hipotesa null (H0) ditolak, bahwa hasil tangkapan pancing cumi di area RAC dan tanpa RAC tidak berbeda nyata. Hal ini dikarenakan data yang didapatkan selama empat kali pengambilan data sedikit dan tidak berpengaruh nyata terhadap hasil statistik yang ada.

Hasil tangkapan cumi yang sedikit ini dikarenakan informasi dari nelayan yang menyatakan bahwa pada waktu penelitian memang bukan merupakan musim untuk menangkap cumi-cumi di perairan Tuing. Biasanya dalam satu trip penangkapan cumi pada saat musim cumi-cumi, nelayan bisa mendapatkan hasil kurang lebih 10 kg. Musim penangkapan cumi-cumi terjadi pada saat musim peralihan timur–barat. Pada musim peralihan barat–timur, cumi-cumi biasanya ditangkap di daerah yang jauh ke arah utara. Itupun dengan hasil yang jauh lebih sedikit dibandingkan pada musim peralihan timur–barat. Sebaliknya, pada musim timur–barat, hasil tangkapan cumi-cumi ditangkap di perairan Tuing jumlahnya relatif lebih banyak dibandingkan musim yang lain karena cumi-cumi akan terus bermigrasi dari utara ke selatan pada musim tersebut. Hal ini menunjukan terjadinya migrasi cumi-cumi secara horizontal di perairan timur Pulau Bangka yaitu dari arah utara ke arah selatan selama musim timur sampai ke musim barat. Migrasi horizontal dilakukan dengan tujuan untuk mencari makanan dan untuk mencari daerah bertelur (Tasywiruddin, 1999 dalam Tallo, 2006). Cumi-cumi biasanya bermigrasi secara bergerombol (schooling) dan sangat berasosiasi dengan faktor lingkungan seperti salinitas, suhu dan kedalaman perairan.

Selain itu cumi-cumi jenis Uretheutis

chinensis yang ditangkap di Perairan Tuing

memang tidak melakukan pemijahan sepanjang tahun (perairan timur Pulau Bangka). Penyebaran U. chinensis hampir di seluruh laut di Indonesia seperti laut Jawa, selat Makasar, laut Maluku, laut Seram, laut Flores, perairan Morowali, Sulawesi Tengah

dan laut Arafuru (Hamsiah, 1990 dalam Kasmudin, 2011).

Kelimpahan cumi-cumi di perairan juga ditunjang oleh keberadaan zat hara yang terbawa arus dari daratan (run off). Zat har tersebut dimanfaatkan oleh fitoplankton yang selanjutnya dimanfaatkan oleh zooplankton, juvenil ikan ataupun ikan-ikan kecil yang menjadi makanan cumi-cumi (Tasywiruddin 1999 dalam Tallo 2006). Adanya ikan di sekitar rumpon menciptakan suatu hubungan makan dan dimakan, dimulai dengan tumbuhnya bakteri dan mikroalga sejak rumpon dipasang di perairan. Selanjutnya hewan-hewan kecil dari golongan zooplankton akan datang untuk mencari makan. Akhirnya ikan- ikan kecil akan berdatangan, begitu pula halnya dengan ikan- ikan besar seperti cumi-cumi akan datang untuk mencari makan dengan memangsa ikan-ikan pelagis kecil (Zulkarnain 2002 dalam Siahaan, 2005).

Selain itu kelimpahan cumi-cumi di Perairan Tuing tergantung dengan pergerakan bulan (fase bulan) yang ada, dan sangat dipengaruhi oleh parameter oseanografi (fisika-kimia) perairan. Suhu Perairan Tuing berdasarkan hasil pengukuran bekisar 30-31°C masih sesuai dengan suhu permukaan laut di Indonesia. Suhu alami air laut berkisar antara suhu di bawah 0-33°C. Perubahan suhu dapat memberi pengaruh besar kepada sifat-sifat air laut lainnya dan kepada biota laut (Rumimohtarto dan Juwana, 2009). Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. Kep-51/MENKLH/1988 suhu ini masih normal untuk kehidupan biota laut. Suhu yang diperkenankan untuk tujuan perikanan (budidaya) dan kehidupan biota laut adalah suhu alami yaitu 25-31°C (Boyd,1988). Suhu juga dapat mempengaruhi proses kehidupan dan penyebaran organisme perairan (Nybakken 1988). Segawa (1987) menyatakan bahwa suhu air juga sangat berperan dalam pengaturan energi cumi-cumi seperti feeding rate, pertumbuhan dan pematangan gonad.

Parameter oseanografi yang lain seperti salinitas berkisar antara 32-34°C masih sesuai dengan salinitas pada perairan Indonesia umumnya yaitu antara

(5)

30,0-Volume 9. Nomor. 2. Tahun 2015 HALAMAN- 12 35,0‰. Daerah pesisir salinitas berkisar

antara 32-34‰, sedang untuk laut terbuka antara 33-37‰ dengan rata-rata 35‰ (Edward dan Marasabessy 2003 dalam Marwazi, 2013 ). Hasil pengukuran pH perairan berkisar 8. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. Kep-51/MENKLH/2004 untuk pH yaitu 7-8,5 maka nilai pH ini masih memenuhi baku mutu air laut yang diperbolehkan untuk biota laut. Hanya nilai padatan tersuspensi (TSS) Perairan Tuing (20-40 mg/l.) yang tergolong tidak baik berdasarkan Kepmen LH No 50 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut. Nilai TSS < 20 mg/l masih tergolong sesuai untuk kehidupan biota terumbu karang. Parameter oseanografi Perairan Tuing secara umum sesuai bagi kehidupan cumi-cumi (Nabhibtabhata, 1996).

Secara umum total hasil tangkapan cumi-cumi di area RAC lebih banyak dibandingkan tanpa RAC diduga karena keberadaan RAC yang berperan sebagai tempat menempelkan telurnya sehingga akhirnya menetas. Selain sebagai tempat memijah, RAC juga berperan sebagai daerah pengasuhan dan pembesaran. Berbagai jenis ikan akan mencari makan dan bermain di sekitar RAC tersebut.

Hasil tangkapan cumi pada minggu pertama dan kedua lebih banyak di area tanpa RAC (4,00 kg) dibandingkan di area RAC (2,00 kg). Hal ini diduga karena pada awal bulan Mei perairan Tuing terjadi akhir musim barat yang mengakibatkan angin masih berhembus kencang dan gelombang tinggi sehingga cumi-cumi yang berada di area rumpon lebih sedikit, kemudian kecepatan arus mempengaruhi keberadaan cumi-cumi. Pengukuran arus di perairan Tuing bekisar 0,4-0,6 m/s. Arus juga mempengarui hasil tangkapan karena pergerakan arus mempengaruhi cumi-cumi untuk melakukan pemijahan. Kuatnya arus perairan juga mempengaruhi proses penangkapan cumi-cumi dan keberadaan rumpon di dalam perairan untuk tempat cumi-cumi melakukan pemijahan. Perairan Tuing yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan merupakan kawasan yang terbuka dan langsung berhadapan dengan hantaman gelombang. Hal ini juga

dikarenakan pada awal bulan Mei dimulainya hasil pemijahan cumi-cumi (Marwazi, 2013).

Pengambilan data pada minggu ketiga dan keempat didapatkan berbanding terbalik dengan minggu pertama dan minggu kedua, yaitu hasil tangkapan cumi di area RAC lebih banyak (7,20 kg) dibandingkan di area tanpa RAC (2,60 kg). Akhir bulan Mei merupakan awal terjadinya musim pemijahan cumi-cumi, kemudian pada waktu ini juga merupakan musim peralihan barat– timur dimana kondisi muka air (level pasang surut) lebih rendah jika dibandingkan pada musim timur–barat. kondisi ini menyebabkan rumpon berada pada kondisi yang relatif lebih dangkal jika dibandingkan pada musim peralihan timur–barat. Artinya, pada musim barat–timur, cumi-cumi lebih menyukai untuk menenggelamkan telurnya pada kedalaman yang lebih dalam 5 meter. Kedalaman perairan berpengaruh terhadap keberadaan cumi-cumi (Brodziak dan Hendrickson 1999 dalam Marwazi 2013). Kesimpulan

Hasil tangkapan cumi-cumi di are rumpon dan di area tanpa rumpon tidak berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95%.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan pada bulan dan musim yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Baskoro M dan Mustaruddin. 2006. Atraktor Cumi-cumi: Teknologi Potensial dan Tepat Guna untuk Perkembangan Kawasan Pantai Terpadu. Fakultas Perikanan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Boyd CE. 1988. Water Quality In Warmwater Fish ponds. Fourth Printing

Auburn University

Hutagalung HP, D Setiapermana, dan Riyono. 1997. Metode Analisis Air

Laut, Sedimen dan Biota. Jakarta:

Puslitbang Oseanologi-LIPI.

Kasmarudin. 2011. Perbandingan hasil tangkapan Cumi-cumi (Loligo Sp.) berdasarkan perbedaan kombinasi

(6)

Volume 9. Nomor. 2. Tahun 2015 HALAMAN- 13 warna umpan buatan pada alat tangkap

hand line di perairan Morowali Sulawesi Tengah [Skripsi]. Makassar: Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanudin.

Marwazi. 2013. Penempelan Telur Cumi-Cumi pada Modifikasi Rumpon Atraktor Berdasarkan Kedalaman Perairan. [Skripsi]. Balunijuk: Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung.

Mulyanto. 1992. Atraktor Cumi-cumi. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

Nabhitabhata J. 1996. Life Cycle of Cultured Big Fin Squid, Sepioteuthis lessoniana LESSON. Phuket Marine Biology

Center Special Publication 25 (1):

91-99.

Nybakken JW. 1988. Biologi Laut Suatu

Pendekatan Ekologis. Penerjemah M

Eidmen, Koesoebiono, DG Bengen, M Hutomo dan S Sukardjo. PT Gramedia: Pustaka Utama. Jakarta

Romimohtarto K dan Juwana S. 2009. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Djambatan. Jakarta. Syari IA. 2013. Interaksi fungsional penempelan telur cumi (Loligo

Chinensis. Gray, 1849) pada modifikasi

rumpon atraktor cumi di perairan Tuing Kabupaten Bangka [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Segawa S. 1987. Life History of Oval Squid Sepoteuthis lessoniana in Kominato and Adjacent Waters Central Honsu, Japan.

Tokyo University of Fisheries. 74 (2) :

67 – 105

Siahaan. 2005. Penambahan rumpon untuk meningkatkan hasil tangkapan kelong tancap di daerah Kawal, Kabupaten Tanjung Pinang, kepulauan Riau [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Supranto. 2009. Statistik Teori dan Aplikasi. Erlangga. Jakarta. Edisi ketujuh. Tallo I. 2006. Perbedaan Jenis dan

Kedalaman Pemasangan Atraktor Terhadap Penempelan Telur Cumi-cumi

[Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Tasywiruddin M.T. 1999. Sebaran dan Kelimpahan Cumi-cumi (Loligo edulis Hoyle, 1885) berdasarkan jumlah dan posisi lampu pada operasi penangkapan dengan payang oras di perairan selat Alas Nusa Tenggara Barat. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Gambar

Gambar  1.  Konstruksi  Rumpon  Atraktor  Cumi

Referensi

Dokumen terkait

Minyak eucalyptus dari klon 77 memiliki nilai rendemen dan kadar sineol yang lebih tinggi dibandingkan lainnya.. 82 UCAPAN

Kegiatan praktik mengajar di kelas telah selesai dilaksanakan oleh praktikan sesuai dengan jadwal yang direncanakan. Selama kegiatan tersebut, praktikan memperoleh

motivasi melaksanakan diet pada pasien diabetes mellitus rawat jalan di.

Karena pada sebagian besar proyek konstruksi, item pekerjaan ini memiliki alokasi biaya yang cukup besar dari pembiayaan total dan item pekerjaan yang ada,

Selain itu, karyawan dalam bekerja sering tidak menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan target yang telah diberikan kepada mereka. Hal ini juga menunjukkan kurangnya

Aktivitas antioksidan didapatkan dengan uji DPPH (2,2 dhipenyl -1- pycrilhidrazyil). Tingkat penerimaan dilakukan dengan uji hedonik. Analisis statistik data aktivitas

Persamaan lain yang dapat ditemukan dalam kedua iklan ini adalah sasaran pemirsa yang menonton iklan ini, keduanya sama-sama mempublikasikannya kepada seluruh lapisan

Berdasarkan hasil simulasi dan perhitungan didapatkan tata letak untuk penambahan fasilitas pelabuhan petrokimia Gresik yang optimum, yaitu: dermaga dengan penambahan panjang 170