• Tidak ada hasil yang ditemukan

PUTUSAN. Nomor 29/Pdt.G/2016/PTA. Plg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PUTUSAN. Nomor 29/Pdt.G/2016/PTA. Plg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

PUTUSAN

Nomor 29/Pdt.G/2016/PTA. Plg

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Pengadilan Tinggi Agama Palembang yang memeriksa dan

mengadili perkara gugatan cerai, hadhanah dan nafkah anak dalam tingkat banding telah menjatuhkan putusan sebagai berikut, antara :

PEMBANDING, umur 29 tahun, agama Islam, pendidikan S-1, pekerjaan Karyawan Bank, bertempat tinggal di Kota Prabumulih. Dalam hal ini memberi kuasa kepada H. Darmadi Djufri, S.H., M.H., Joemarthine Chandra, S.H., Yudi Wahyudi, S.H., Nico Andrea, S.H., dan Rico Roberto, S.H., Advokat/Penasehat hukum pada Kantor Hukum H. Darmadi Djufri dan Rekan, beralamat di Jalan Angkatan 66, Blok 6 (i), Kelurahan Talang Aman, Kecamatan Kemuning, Kota Palembang, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 23 Mei 2016, dahulu disebut sebagai Tergugat, sekarang Pembanding, untuk selanjutnya disebut Pembanding/Tergugat;

m e l a w a n

TERBANDING, umur 30 tahun, agama Islam, pendidikan S-1, pekerjaan Karyawan, bertempat tinggal di Kota Prabumulih, dahulu disebut sebagai Penggugat, sekarang Terbanding, untuk selanjutnya disebut Terbanding/Penggugat;

Pengadilan Tinggi Agama tersebut;

Telah membaca dan mempelajari berkas perkara dan semua surat yang berhubungan dengan perkara ini;

(2)

DUDUK PERKARA

Mengutip segala uraian sebagaimana termuat dalam putusan

Pengadilan Agama Muara Enim Nomor 0157/Pdt.G/2016/PA ME, tanggal 17 Mei 2016 Masehi, bertepatan tanggal 10 Syakban 1437 Hijriah, yang

amarnya sebagai berikut :

M E N G A D I L I DALAM KONVENSI

1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;

2. Menjatuhkan talak satu ba’in sughro Tergugat (PEMBANDING) terhadap Penggugat (TERBANDING);

3. Menetapkan dua orang anak bernama ANAK PEMBANDING dan TERBANDING I dan ANAK PEMBANDING dan TERBANDING II berada di bawah pemeliharaan (Hadhonah) Penggugat;

4. Menghukum Tergugat menyerahkan anak yang bernama ANAK PEMBANDING dan TERBANDING II kepada Penggugat sebagai pemegang hak pemeliharaan anak (hadhonah);

5. Menghukum Tergugat membayar kepada Penggugat nafkah untuk dua orang anak yang bernama ANAK PEMBANDING dan TERBANDING I, umur 1 tahun 8 bulan dan ANAK PEMBANDING dan TERBANDING II, umur 1 tahun 8 bulan, minimal sejumlah Rp1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) perbulan sampai anak tersebut dewasa (berumur 21 tahun);

6. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Muara Enim untuk mengirimkan salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Belimbing dan Kecamatan Gunung Megang, untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu;

7. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;

DALAM REKONVENSI

(3)

DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI

Membebankan kepada Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi membayar biaya perkara sejumlah Rp 341.000,- (tiga ratus empat puluh satu ribu rupiah);

Membaca Akta Permohonan Banding Nomor 0157/Pdt.G/2016/PA

ME, yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Muara Enim, tanggal 27 Mei 2016, yang menyatakan bahwa PEMBANDING sebagai

Pembanding/Tergugat melalui kuasa hukumnya, Yudi Wahyudi, S.H., telah mengajukan permohonan banding terhadap putusan Pengadilan Agama tersebut, kemudian permohonan banding tersebut telah diberitahukan kepada Terbanding/Penggugat pada tanggal 6 Juni 2016;

Bahwa Pembanding/Tergugat telah mengajukan memori banding yang dibuat dan ditanda tangani oleh kuasa hukumnya bertanggal 1 Juni 2016, yang diterima oleh Panitera Pengadilan Agama Muara Enim sesuai Tanda Terima Memori Banding Nomor 0157/Pdt.G/2016/PA ME, tanggal 1 Juni 2016, dan memori banding tersebut telah diberitahukan kepada Terbanding/Penggugat pada tanggal 13 Juni 2016;

Bahwa Terbanding/Penggugat telah mengajukan kontra memori banding bertanggal 17 Juni 2016 yang diterima oleh Panitera Pengadilan Agama Muara Enim sesuai Tanda Terima Kontra Memori Banding Nomor 0157/Pdt.G/2016/PA ME, tanggal 22 Juni 2016, dan kontra memori banding tersebut telah diberitahukan kepada Pembanding/Tergugat pada tanggal 25 Juli 2016;

Bahwa terhadap para pihak telah diberitahukan untuk memeriksa berkas perkara banding (inzage), yaitu kepada kuasa hukum Pembanding/Tergugat sesuai surat relaas pemberitahuan tanggal 25 Juli 2016, dan kepada Terbanding/Penggugat, sesuai surat relaas pemberitahuan tanggal 1 Juli 2016; dan berdasarkan Surat Keterangan Panitera Nomor 0157/Pdt.G/2016/PA ME, tanggal 25 Agustus 2016, Pembanding/Tergugat atau kuasa hukumnya tidak datang memeriksa berkas perkara, sedangkan Terbanding/Penggugat telah datang memeriksa berkas

(4)

perkara berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Berkas Perkara (Inzage) Nomor 0157/Pdt.G/2016/PA ME, tanggal 19 Juli 2016;

Bahwa permohonan banding yang diajukan oleh Pembanding/ Tergugat melalui kuasa hukumnya tanggal 27 Mei 2016, telah didaftar dalam register perkara banding Pengadilan Tinggi Agama Palembang Nomor 29/Pdt.G/2016/PTA Plg., tanggal 6 September 2016;

PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang, bahwa permohonan banding yang diajukan oleh Pembanding/Tergugat pada tanggal 27 Mei 2016, ternyata telah diajukan dalam tenggang waktu dan menurut cara-cara serta memenuhi syarat menurut ketentuan perundang-undangan, maka permohonan banding tersebut dinyatakan dapat diterima;

Menimbang, bahwa Pembanding/Tergugat telah mengajukan keberatan-keberatannya sebagaimana tersebut dalam memori bandingnya, tanggal 1 Juni 2016, terhadap pertimbangan-pertimbangan Pengadilan Agama dalam putusannya, dan selanjutnya Pembanding/Tergugat memohon kepada Pengadilan Tinggi Agama agar menerima permohonan banding Pembanding/Tergugat dan memperbaiki putusan Pengadilan Agama tersebut dalam pokok perkara dengan menetapkan hak pemeliharaan anak yang bernama ANAK PEMBANDING dan TERBANDING I dan ANAK PEMBANDING dan TERBANDING II berdasarkan Surat Kesepakatan Hak Asuh Anak tertanggal 6 Februari 2016 dan/atau setidak-tidaknya hak pemeliharaan anak merupakan hak bersama, serta menetapkan nafkah untuk satu orang anak berdasarkan kemampuan Pembanding/Tergugat;

Menimbang, bahwa Terbanding/Penggugat, dalam kontra memori bandingnya, tanggal 17 Juni 2016, menyatakan menerima seluruh pertimbangan putusan Pengadilan Agama karena sudah benar, tepat dan cermat dalam menerapkan hukum, dan selanjutnya menyatakan pula bahwa keberatan-keberatan Pembanding/Tergugat, banyak yang tidak benar dan sangat keliru serta kontradiktif dalam memori bandingnya, kemudian Terbanding/Penggugat memohon kepada Pengadilan Tinggi Agama agar

(5)

menolak permohonan banding Pembanding/Tergugat untuk seluruhnya dan menguatkan putusan Pengadilan Agama tersebut, serta menghukum Pembanding/Tergugat untuk membayar semua biaya yang timbul dalam perkara ini dalam tingkat pertama serta biaya perkara dalam tingkat banding;

Menimbang, bahwa setelah mempelajari dan meneliti dengan saksama salinan resmi putusan Pengadilan Agama Muara Enim Nomor 0157/Pdt.G/2016/PA ME, tanggal 17 Mei 2016 Masehi, bertepatan tanggal 10 Syakban 1437 Hijriah serta berkas perkara yang terdiri dari berita acara sidang dan surat-surat lainnya yang berhubungan dengan perkara ini, dan setelah pula memperhatikan pertimbangan hukum hakim tingkat pertama yang memutus perkara ini, selanjutnya hakim tingkat banding mempertimbangkan sebagai berikut;

DALAM KONVENSI

Menimbang, bahwa Terbanding/Penggugat mengajukan gugatan cerai terhadap Pembanding/Tergugat di Pengadilan Agama Muara Enim bertanggal 11 Februari 2016 dengan register Nomor 0157/Pdt.G/2016/PA ME, tanggal 11 Februari 2016, berdasarkan alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus terjadi dalam rumah tangga Terbanding/Penggugat dan Pembanding/Tergugat serta sudah sulit diharapkan untuk rukun kembali sebagai suami istri, sebagaimana dimaksud Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam;

Menimbang, bahwa dalam perkara a quo diajukan pula gugatan hadhanah dan nafkah anak sebagai kumulasi gugatan dalam perkara gugatan cerai tersebut, hal mana tidak dipertimbangkan oleh hakim tingkat pertama dalam putusannya, sehingga hakim tingkat banding akan memberikan pertimbangan mengenai kumulasi gugatan dimaksud, sebagai berikut;

Menimbang, bahwa perkara ini adalah gugatan cerai maka kumulasi gugatan hadhanah dan nafkah anak dalam perkara a quo dapat dibenarkan sesuai ketentuan Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

(6)

yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, yang menegaskan bahwa : “Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah

isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau pun sesudah keputusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap”; oleh karena itu gugatan Terbanding/Penggugat

tersebut berdasarkan hukum dan karenanya patut dipertimbangkan, dengan terlebih dahulu mempertimbangkan gugatan cerai a quo;

Menimbang, bahwa berdasarkan Berita Acara Sidang tanggal 26 Februari 2016 dan tanggal 11 Maret 2016 yang dihadiri oleh Terbanding/Penggugat dan Pembanding/Tergugat, hakim tingkat pertama telah melakukan upaya perdamaian di depan sidang maupun upaya perdamaian melalui mediasi yang dihadiri para pihak materiil, namun tidak berhasil sesuai laporan mediator tanggal 10 Maret 2016; dengan demikian maka hakim tingkat pertama dalam perkara a quo telah melaksanakan upaya perdamaian di depan sidang maupun upaya perdamaian melalui mediasi secara optimal terhadap pihak-pihak materiil sesuai ketentuan Pasal 154 ayat (1)RBg jo. Pasal 65 dan 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, serta telah memenuhi pula ketentuan Pasal 6 ayat (1), Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (1) huruf a Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan;

Menimbang, bahwa dalam perkara a quo Terbanding/Penggugat mendalilkan bahwa Terbanding/Penggugat dan Pembanding/Tergugat menikah pada tanggal 30 Agustus 2013 dan telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dengan dikaruniai 2 (dua) orang anak yang lahir kembar pada tanggal 15 Agustus 2014; mulai terjadi perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga pada bulan Desember 2013 karena ketidak sepahaman antara Terbanding/Penggugat dengan Pembanding/Tergugat, yang mana Pembanding/Tergugat selalu menyalahkan Terbanding/Penggugat yang

(7)

belum ada tanda-tanda kehamilan, dan setelah ada tanda-tanda kehamilan dari hasil pemeriksaan medis, Pembanding/Tergugat memaksa Terbanding/ Penggugat untuk memakai jimat selama kehamilan dan hal-hal lainnya yang bertentangan dengan keyakinan dan pemikiran Terbanding/Penggugat;

Menimbang, bahwa Terbanding/Penggugat mendalilkan pula bahwa keretakan rumah tangganya dengan Pembanding/Tergugat berlanjut sekitar bulan Mei 2014, saat itu Terbanding/Penggugat sedang istirahat di dalam kamar setelah pulang kerja dengan kondisi tubuh yang sangat lelah (saat itu usia lima bulan kehamilan Terbanding/Penggugat), kemudian Pembanding/ Tergugat yang juga pulang ke rumah dari tempat kerjanya menanyakan permasalahan yang terjadi dengan ayah dan ibu Pembanding/Tergugat sehingga menangis, namun karena ketidak tahuan Terbanding/Penggugat mengenai hal tersebut lalu Pembanding/Tergugat emosi dan secara refleks mengambil kipas angin yang hendak dilemparkan kepada Terbanding/ Penggugat; dan sejak kejadian itu Pembanding/Tergugat sering bersikap keras dan temperamental serta mengucapkan kata-kata penghinaan kepada Terbanding/Penggugat, hal-hal yang kecil selalu diributkan dan dipermasalahkan, seperti ketika anak digigit nyamuk, Pembanding/Tergugat tidak menerimanya, dan selain itu terkadang pula marah secara tiba-tiba lalu benda apapun yang ada disekitarnya hendak dilemparkan kepada Terbanding/Penggugat, sehingga Terbanding/ Penggugat tidak lagi merasa tenang dan jiwa tertekan untuk hidup bersama dengan Pembanding/ Tergugat;

Menimbang, bahwa selanjutnya Terbanding/Penggugat mendalilkan bahwa keretakan rumah tangganya dengan Pembanding/Tergugat mencapai puncaknya pada tanggal 15 Agustus 2015 ketika Pembanding/Tergugat melakukan tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan mencekik leher Terbanding/Penggugat sehingga terasa sedikit sesak nafas, namun Terbanding/Penggugat melakukan perlawanan sehingga Terbanding/Penggugat jatuh terpental ke belakang atas dorongan kaki Pembanding/Tergugat. Setelah kejadian itu, Terbanding/Penggugat tidak pernah ada niat dan itikad baik untuk meminta maaf, tidak ada kesadaran

(8)

untuk merubah sikap, lalu selama kurang lebih 4 (empat) hari tidak saling tegur sapa dan tidak tidur bersama, maka Terbanding/Penggugat pun ke rumah orang tua Terbanding/Penggugat bersama anak yang bernama ANAK PEMBANDING dan TERBANDING I dengan dijemput oleh ibu Terbanding/ Penggugat, dan sejak itu hingga diajukan perkara ini ke Pengadilan, selama kurang lebih lima bulan lima belas hari, sudah tidak tinggal bersama dan tidak ada lagi hubungan lahir dan batin sebagai suami istri, sehingga Terbanding/Penggugat tidak dapat lagi mempertahankan keutuhan rumah tangganya dengan Pembanding/Tergugat, dan memohon agar dinyatakan putusnya perkawinan Terbanding/Penggugat dengan Pembanding/Tergugat karena perceraian;

Menimbang, bahwa sesuai Berita Acara Sidang tanggal 11 Maret 2016, dalil-dalil gugatan Terbanding/Penggugat sebagaimana terurai dalam posita angka 1 s.d. 3 telah diakui oleh Pembanding/Tergugat sebagaimana tersebut dalam jawabannya yang disampaikan secara tertulis di depan sidang, berdasarkan ketetuan pasal 311 RBg. jo. pasal 1925 KUH Perdata menyatakan bahwa “pengakuan yang dilakukan di depan hakim merupakan

bukti lengkap yang mengemukakannya secara pribadi, maupun lewat seorang kuasa khusus”, hakim tingkat banding berpendapat bahwa dengan

pengakuan tersebut maka dalil gugatan Terbanding/Penggugat a quo harus dinyatakan terbukti dan Terbanding/Penggugat mempunyai legal standing dan berhak untuk mengajukan perkara a quo terhadap Pembanding/ Tergugat;

Menimbang, bahwa dalil-dalil gugatan Terbanding/Penggugat pada posita angka 5 s.d. 10 serta posita angka 12 s.d. 18 dibantah dengan tegas oleh Pembanding/Tergugat dengan alasan bahwa Pembanding/Tergugat tidak pernah menyalahkan Terbanding/Penggugat yang belum ada tanda-tanda kehamilan dan tidak pernah memaksa Terbanding/Penggugat untuk memakai jimat pada saat sedang hamil, serta tidak benar Terbanding/Penggugat bersikap emosi dan temperamental yang hendak melemparkan kipas angin atau dengan benda-benda lainnya kepada Terbanding/Penggugat; Pembanding/Tergugat mengakui posita gugatan

(9)

angka 11, namun itu dilakukan sebagai teguran dan nasehat kepada Terbanding/ Penggugat ketika anak digigit nyamuk karena hal ini menyangkut kesehatan dan pertumbuhan anak;

Menimbang, bahwa selain itu Terbanding/Penggugat dalam dalil-dalil bantahannya menyatakan pula tidak pernah melakukan tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) kepada Terbanding/ Penggugat, justru Terbanding/Penggugat yang tidak lagi melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai istri, baik lahir maupun batin, dan tidak lagi menghargai Pembanding/Tergugat, nasehat yang disampaikan disalah artikan dan dijadikan alasan oleh Terbanding/Penggugat untuk meninggalkan rumah tanpa seizin Pembanding/Tergugat, sehingga Pembanding/Tergugat pun memohon agar gugatan cerai yang diajukan oleh Terbanding/Penggugat tersebut dikabulkan;

Menimbang, bahwa sesuai Berita Acara Sidang tanggal 1 April 2016 dan Berita Acara Sidang tanggal 15 April 2016, Terbanding/Penggugat dalam repliknya menyatakan tetap pada dalil-dalil gugatan cerai semula, demikian pula Pembanding/Tergugat dalam dupliknya menyatakan tetap pada dalil-dalil jawaban dan bantahan semula;

Menimbang, bahwa jawab menjawab antara Terbanding/ Penggugat dengan Pembanding/Tergugat tersebut, telah dipertimbangkan oleh hakim tingkat pertama mengenai dalil-dalil gugatan Terbanding/Penggugat yang telah diakui oleh Pembanding/Tergugat sebagaimana terurai dalam putusannya (hlm. 14 alinea ke 1 dan 2), dan hakim tingkat banding menilai pertimbangan hukum tersebut sudah tepat dan benar sehingga dapat dipertahankan, selanjutnya akan dipertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan dalil-dalil bantahan Pembanding/Tergugat dalam perkara a quo;

Menimbang, bahwa terkait dengan dalil bantahan atas posita angka 5 s.d. 10 dan posita angka 12 s.d. 18 gugatan a quo, serta pengakuan berklausula atas posita angka 11 tersebut, Pengadilan Agama telah memberikan beban pembuktian kepada para pihak untuk menghadirkan saksi-saksi dari pihak keluarga dan atau orang yang dekat dengan para pihak, dengan memberi kesempatan terlebih dahulu kepada Terbanding/

(10)

Penggugat untuk membuktikan kebenaran dalil-dalil gugatannya, kemudian kepada Pembanding/Tergugat untuk membuktikan kebenaran dalil-dalil bantahannya. Dalam hal ini hakim tingkat banding menilai pertimbangan dan pembebanan pembuktian tersebut sudah tepat dan benar, sesuai Pasal 283 RBg. jo. Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, serta sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 549 K/Sip/1971 tanggal 15 Maret 1972, yang menegaskan bahwa : “Berdasarkan

yurisprudensi Hakim bebas untuk memberikan beban pembuktian, lebih tepat

jika pembuktian dibebankan kepada yang lebih mampu untuk

membuktikannya” (vide Putusan Mahkamah Agung RI ,tanggal 12 April 1972

No. 988 K/Sip/1971 dan Putusan Mahkamah Agung RI,tanggal 15 April 1972,No. 1121 K/Sip/1971);

Menimbang, bahwa Terbanding/Penggugat dalam membuktikan dalil-dalil gugatannya telah mengajukan bukti surat P.1 dan P.2 serta dua orang saksi, yaitu saksi pertama bernama SAKSI TERBANDING I (umur 59 tahun, ibu kandung Penggugat) dan saksi kedua bernama SAKSI TERBANDING II (umur 32 tahun, kakak ipar Penggugat), sedangkan Pembanding/Tergugat dalam membuktikan dalil-dalil jawaban telah mengajukan bukti surat T.1, T.2 dan T.3 serta dua orang saksi, yaitu saksi pertama bernama SAKSI PEMBANDING I umur 55 tahun, ibu kandung Tergugat), saksi kedua bernama SAKSI PEMBANDING II (umur 24 tahun, adik kandung Tergugat) untuk didengar keterangannya dalam perkara a quo di depan sidang;

Menimbang, bahwa pertimbangan hakim tingkat pertama sebagaimana terurai dalam putusannya terkait dengan dasar hukum dan alasan perceraian yang diajukan oleh Terbanding/Penggugat adalah sudah tepat dan benar, dan pula telah mendengar keterangan saksi keluarga dan atau orang-orang dekat dengan para pihak sebagaimana ketentuan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (vide Pasal 172 ayat (2) RBg.), maka pertimbangan tersebut diambil alih menjadi pertimbangan hakim tingkat banding sebagai pendapat dan pertimbangan hakim tingkat banding sendiri, namun demikian hakim tingkat banding perlu menambahkan pertimbangan sebagai berikut;

(11)

Menimbang, bahwa sesuai dalil gugatan Terbanding/Penggugat dihubungkan dengan keterangan saksi‐saksi para pihak di depan sidang, ternyata saksi‐saksi tersebut menerangkan bahwa Terbanding/Penggugat dengan Pembanding/Tergugat sudah tidak berdiam dalam satu rumah lagi selama 5 bulan lebih, yaitu sejak bulan Agustus 2015 hingga diajukannya perkara ini di pengadilan dan/atau selama 9 bulan lebih hingga perkara a quo diputus di pengadilan tingkat pertama pada tanggal 17 Mei 2016;

Menimbang, bahwa meskipun para saksi tersebut tidak melihat secara langsung terjadinya pertengkaran antara keduanya sejak rumah tangga keduanya mulai tidak harmonis pada bulan Desember 2013 hingga mencapai puncaknya pada bulan Agustus 2015 ketika Terbanding/ Penggugat meninggalkan kediaman bersama, akan tetapi dampak dan akibatnya yang dilihat dan diketahui oleh para saksi adalah merupakan fakta dimana Terbanding/Penggugat dengan Pembanding/Tergugat telah berpisah tempat tinggal dan tidak hidup bersama sebagaimana layaknya suami isteri yang masih hidup rukun dalam suatu rumah tangga, hal mana sejalan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 299 K/AG/2003 tanggal 8 Juni 2005 yang menegaskan bahwa : “Keterangan dua orang saksi dalam

sengketa perceraian yang hanya menerangkan suatu akibat hukum (Rechts Bevolg) mempunyai kekuatan hukum sebagai dalil pembuktian;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, ditemukan fakta bahwa rumah tangga keduanya telah retak dan pecah karena tidak terpenuhi lagi hak dan kewajiban suami isteri sehingga rumah tangga keduanya telah sulit dipertahankan, hal mana sejalan dengan kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 273 K/AG/1998 tanggal 17 Maret 1999 yang menegaskan bahwa “cekcok, hidup berpisah tidak dalam

satu tempat kediaman bersama, salah satu pihak tidak berniat untuk meneruskan kehidupan bersama dengan pihak lain, merupakan fakta yang cukup sesuai alasan perceraian Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 1974” ;

(12)

Menimbang, bahwa upaya perdamaian yang dilakukan dengan Hakim Mediator ternyata tidak berhasil, dan pula upaya perdamaian itu tetap dilakukan selama dalam proses persidangan sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, namun tetap tidak berhasil untuk mendamaikan keduanya agar hidup rukun kembali dalam rumah tangga sebagai suami istri, maka mempertahankan rumah tangga yang sudah sedemikian rupa bentuknya akan menimbulkan kemadharatan bagi para pihak dan terutama pihak Terbanding/Penggugat;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas terhadap petitum gugatan Terbanding/Penggugat pada huruf a yang memohon agar mengabulkan gugatan Terbanding/Penggugat, dan hakim tingkat pertama dalam putusannya telah mengabulkan gugatan Terbanding/Penggugat tersebut, dalam hal ini hakim tingkat banding menilai sudah tepat dan benar, oleh karena dalil gugatan Terbanding/Penggugat

a quo telah memenuhi alasan perceraian sebagaimana dimaksud Pasal 39

ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, dengan demikian maka amar putusan perkara a quo pada angka 1 dapat dipertahankan;

Menimbang, bahwa terhadap petitum gugatan Terbanding/ Penggugat pada huruf b yang memohon agar hakim tingkat pertama memutuskan perkawinan Terbanding/Penggugat dengan Pembanding/ Tergugat, hakim tingkat pertama dalam putusannya telah menjatuhkan talak satu ba’in shughra Pembanding/Tergugat terhadap Terbanding/Penggugat, dalam hal ini hakim tingkat banding menilai sudah tepat dan sudah benar, oleh karena selama pernikahan keduanya bakda dukhul dan belum pernah bercerai maka talak yang dijatuhkan oleh pengadilan agama adalah talak satu ba’in shughra Pembanding/Tergugat terhadap Terbanding/Penggugat, sesuai Pasal 119 ayat (1) dan ayat (2) huruf c Kompilasi Hukum Islam;

(13)

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka hakim tingkat banding berpendapat bahwa putusan hakim tingkat pertama yang mengabulkan gugatan cerai Terbanding/Penggugat serta amar putusan yang telah menjatuhkan talak satu ba’in shughra Pembanding/ Tergugat terhadap Terbanding/Penggugat, atas dasar apa yang telah dipertimbangkan dan disebutkan di dalam amar putusannya adalah tepat dan benar, oleh karenanya diambil alih sebagai pertimbangan dan pendapatnya sendiri dalam mengadili dan memutus perkara ini. Dengan demikian amar putusan perkara a quo pada angka 2 dapat dipertahankan;

Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 84 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, hakim tingkat pertama dalam amar putusannya pada angka 6 telah memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Muara Enim untuk mengirimkan salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Belimbing dan Kecamatan Gunung Megang untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu; dalam hal ini hakim tingkat banding menilai amar putusan a quo tidak tepat dan kurang lengkap, yang seharusnya perintah mengirimkan salinan putusan tersebut kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Cambai, Kota Prabumulih dan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Prabumulih Barat, Kota Prabumulih, untuk dicatat dalam daftar yang.disediakan untuk itu, maka amar putusan a quo pada angka 3 perlu diperbaiki sebagaimana tersebut pada amar putusan di bawah ini ;

Menimbang, bahwa berkaitan dengan petitum gugatan Terbanding/ Penggugat mengenai hadhanah pada huruf c yang memohon agar hakim tingkat pertama membatalkan Kesepakatan Hak Asuh Anak secara hukum yang telah ditanda tangani oleh Terbanding/Penggugat dan Pembanding/ Tergugat pada tanggal 6 Februari 2016, dengan alasan bahwa hal itu dilakukan Terbanding/Penggugat dengan setengah hati atas permintaan Pembanding/Tergugat yang tidak mau menyerahkan Buku Kutipan Akta

(14)

Nikah atas nama Terbanding/Penggugat dengan Pembanding/Tergugat dan akte kelahiran anak, yang diperlukan oleh Terbanding/Penggugat untuk pengajuan perkara ini ke pengadilan; hal mana dibantah dengan tegas oleh Pembanding/Tergugat dan keberatan atas tuntutan pembatalan surat kesepakatan tersebut, apapun alasannya, karena konsep kesepakatan itu dilakukan di rumah paman Terbanding/Penggugat yang dibuat dan ditanda tangani oleh Pembanding/Tergugat dan Terbanding/Penggugat sendiri tanpa paksaan dari siapapun sehingga surat kesepakatan tersebut adalah sah dan berkekuatan hukum;

Menimbang, bahwa terhadap dalil gugatan Terbanding/Penggugat dan dalil bantahan Pembanding/Tergugat terkait dengan petitum gugatan huruf c tersebut, telah dipertimbangkan oleh hakim tingkat pertama sebagaimana terurai dalam putusannya (hlm.21 alinea kelima s.d. hlm.22 alinea keenam), dalam hal ini hakim tingkat banding tidak sependapat dengan hakim tingkat pertama mengenai dalil-dalil bantahan Pembanding/Tergugat beserta alasan-alasannya yang dipertimbangkan dalam rekonvensi, yang seharusnya dipertimbangkan dalam konvensi, sehingga hakim tingkat banding akan mempertimbangkan dalil-dalil bantahan Pembanding/Tergugat a quo dalam konvensi;

Menimbang, bahwa mengenai surat kesepakatan hak asuh anak yang dibuat pada tanggal 6 Februari 2016, telah dipertimbangkan oleh hakim tingkat pertama dalam putusannya (hlm. 21 alinea keenam dan hlm. 22 alinea kedua s.d. kelima) menyatakan bahwa surat kesepakatan tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 105 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam jo. Pasal 41 huruf (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, karena walaupun telah terjadi kesepakatan pembagian pemeliharaan anak tetapi kemudian kesepakatan itu diperselisihkan maka majelis hakim memberikan putusannya terhadap perselisihan tersebut. Dalam hal ini hakim tingkat banding tidak sependapat karena tidak tepat dan tidak benar dengan pertimbangan sebagai berikut;

Menimbang, bahwa didalam surat kesepakatan hak asuh anak tersebut terdapat klausul dalam pasal 7 surat kesepakatan yang

(15)

menegaskan bahwa : “Apabila di kemudian hari timbul perselisihan dalam

permasalahan ini, maka para pihak sepakat untuk diselesaikan secara musyawarah keluarga, dan apabila musyawarah tidak tercapai maka dapat diselesaikan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Kabupaten Muara Enim”;

dan klausul tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 41 huruf (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang di dalamnya ditegaskan pula bahwa : “……. bilamana ada perselisihan

mengenai penguasaan anak, Pengadilan memberikan putusan”;

Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Hukum Acara, jika dalam suatu kesepakatan telah diperjanjikan bahwa jika terjadi sengketa, maka penyelesaiannya akan memilih domisili hukum yang tetap untuk menyelesaikannya (in casu Pengadilan Agama Muara Enim) maka kesepakatan/yang diperjanjikannya tersebut yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak, sebab kesepakatan ini merupakan undang-undang bagi yang membuatnya sesuai asas hukum pacta sun servanda, bunyi aturan perundang-undangan dapat di kesampingkan, asalkan kesepakatan itu dibuat dengan itikad yang baik, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan agama (vide Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 K/AG/2013 tanggal 13 Mei 2013), dan ternyata klausul tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 41 huruf (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana yang telah dipertimbangkan di atas;

Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata yang menegaskan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, dengan demikian

apa yang termuat dalam pasal 7 surat kesepakatan tersebut adalah tetap berlaku bagi kedua belah pihak, dan pula di dalam perkara ini telah diajukan gugatan hadhanah atas kedua orang anak Terbanding/Penggugat dengan Pembanding/Tergugat, yang bernama ANAK PEMBANDING dan TERBANDING I dan ANAK PEMBANDING dan TERBANDING II, maka petitum huruf c pada gugatan a quo tidak relevan lagi, oleh karena itu harus dinyatakan tidak dapat diterima;

(16)

Menimbang, bahwa berkaitan dengan petitum gugatan Terbanding/ Penggugat mengenai hadhanah pada huruf d yang memohon agar hakim tingkat pertama menetapkan hak asuh anak antara Terbanding/Penggugat dengan Pembanding/Tergugat, yang bernama ANAK PEMBANDING dan TERBANDING I dan ANAK PEMBANDING dan TERBANDING II berada di bawah asuhan Terbanding/Penggugat hingga anak tersebut dewasa atau mandiri, dengan alasan bahwa kedua anak tersebut selain masih balita, juga lahir dalam keadaan premature yang perlu perawatan khusus sebagaimana surat keterangan Dr. Zulamri Muchtar, Sp.A, Dokter Spesialis Anak dari Rumah Sakit AR Bunda Prabumulih, sehingga lebih baik dirawat dan dibesarkan oleh Terbanding/Penggugat selaku ibu kandungnya yang mempunyai ikatan batin yang kuat; hal mana dibantah oleh Pembanding/Tergugat dengan alasan bahwa anak lahir dalam keadaan sehat dan normal seperti bayi-bayi lainnya, sehingga Pembanding/Tergugat memohon agar hakim tingkat pertama menetapkan hak asuh anak dalam pengasuhan Pembanding/Tergugat dan Terbanding/Penggugat sesuai surat Kesepakatan Hak Asuh Anak, tertanggal 6 Februari 2016 tersebut;

Menimbang, bahwa terhadap dalil-dalil gugatan Terbanding/ Penggugat dan dalil-dalil bantahan Pembanding/Tergugat terkait dengan petitum gugatan huruf d mengenai gugatan hadhanah tersebut, telah dipertimbangkan oleh hakim tingkat pertama sebagaimana terurai dalam putusannya (hlm.19 alinea kedua s.d. hlm.20 alinea kedua), dalam hal ini hakim tingkat banding menilai pertimbangan hukum tersebut sudah tepat dan benar dengan tambahan pertimbangan sebagai berikut;

Menimbang, bahwa akibat hukum setelah terjadinya perceraian

terkait pemeliharaan anak telah diatur dalam Pasal 41 huruf (a)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 156 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, bahwa permasalahan hak hadhanah paska terjadinya perceraian maupun setelah kematian orang tuanya/ibunya adalah sangat berkaitan dengan kemaslahatan dan kepentingan anak maka gugatan pemeliharaan anak dalam gugatan a quo harus didasarkan pada prinsip kepentingan terbaik bagi anak (best interest of the child) berdasarkan

(17)

Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

Menimbang, bahwa dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Kemudian dalam Pasal 2 ditegaskan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi : a) non diskriminasi; b) kepentingan yang terbaik bagi anak; c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d) penghargaan terhadap pendapat anak;

Menimbang, bahwa namun demikian ternyata hakim tingkat pertama di dalam pertimbangannya tersebut tidak mengkonstatir dan mengkualifisir dalil-dalil gugatan Terbanding/Penggugat dan dalil-dalil bantahan Pembanding/Tergugat mengenai sengketa hadhanah itu kepada para pihak maka hakim tingkat banding memberikan pertimbangan sebagai berikut;

Menimbang, bahwa berdasarkan Berita Acara Sidang tanggal 11 Maret 2016 dan 15 April 2016, ternyata Pembanding/Tergugat dalam jawaban dan dupliknya secara tegas menyatakan menolak dalil gugatan Terbanding/Penggugat pada angka 4 dan 16 serta petitum gugatan yang menuntut agar anak dari perkawinan Pembanding/Tergugat dengan Terbanding/Penggugat, yang bernama ANAK PEMBANDING dan TERBANDING I dan ANAK PEMBANDING dan TERBANDING II, yang lahir kembar pada tanggal 15 Agustus 2014 berada di bawah asuhan Terbanding/Penggugat hingga anak tersebut dewasa atau mandiri, dengan alasan bahwa anak lahir dalam keadaan sehat dan normal seperti bayi-bayi lainnya, sehingga Pembanding/Tergugat memohon agar hakim tingkat

(18)

pertama menetapkan hak asuh anak dalam pengasuhan Pembanding/ Tergugat dan Terbanding/Penggugat sesuai surat Kesepakatan Hak Asuh Anak, tertanggal 6 Februari 2016 tersebut;

Menimbang, bahwa berdasarkan Berita Acara Sidang tanggal 29 April 2016, dalil gugatan Terbanding/Penggugat perkara a quo beserta alasan-alasannya telah dikuatkan dengan alat bukti P.2 dan tidak dibantah secara tegas oleh Pembanding/Tergugat di depan sidang, sehingga terbukti bahwa kedua orang anak Terbanding/Penggugat dengan Pembanding/ Tergugat, yang bernama ANAK PEMBANDING dan TERBANDING I dan ANAK PEMBANDING dan TERBANDING II, lahir kembar tanggal 15 Agustus 2014, sehingga keduanya masih berusia 1½ tahun pada saat perkara ini diajukan ke pengadilan atau berusia 1 tahun 8 bulan pada saat perkara ini diputus di pengadilan sehingga ditemukan fakta bahwa kedua anak tersebut belum mumayyiz (belum berusia 12 tahun);

Menimbang, bahwa sementara itu dalil bantahan Pembanding/ Tergugat a quo beserta alasannya yang menyatakan bahwa anak lahir dalam keadaan sehat dan normal seperti bayi-bayi lainnya, dan selanjutnya memohon agar hakim tingkat pertama menetapkan hak asuh anak dalam pengasuhan Pembanding/Tergugat dan Terbanding/Penggugat sesuai surat Kesepakatan Hak Asuh Anak, tertanggal 6 Februari 2016 tersebut; dalam hal ini hakim tingkat banding menilai dalil bantahan tersebut berikut alasannya adalah tidak berdasarkan hukum, oleh karena Pembanding/Tergugat tidak dapat membuktikan bahwa Terbanding/Penggugat sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya dan/atau berkelakuan buruk sekali sebagaimana diatur dalam Pasal 49 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta tersebut di atas, maka Terbanding/Penggugat telah dapat membuktikan dalil gugatan a quo sehingga petitum gugatan pada huruf d tersebut dapat dikabulkan sesuai ketentuan Pasal 105 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam bahwa anak di bawah umur atau belum mumayyiz adalah hak ibunya, serta sejalan dengan kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 199 K/Ag/2014, tanggal

(19)

17 Juni 2014 yang menegaskan bahwa “hadhanah bagi anak yang belum

mumayyiz adalah hak ibunya si anak kecuali bila ada fakta yang menunjukkan si ibu tidak mungkin menjalankan haknya dengan bukti-bukti yang sah menurut hukum”.

Menimbang, bahwa ternyata gugatan hadhanah yang diajukan oleh Terbanding/Penggugat berikut alasan-alasannya sebagaimana yang telah diuraikan di atas adalah didasarkan kepada kepentingan terbaik bagi anak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 2, Pasal 2 dan Pasal 3 Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan sejalan pula dengan pendapat ahli Fiqh Islam, Wahbah al Zuhaili, yang selanjutnya diambil alih sebagai pendapat hakim tingkat banding, bahwa “hadhanah

adalah merupakan hak bersama antara kedua orang tua serta anak-anak, sehingga apabila nantinya timbul permasalahan dalam hadhanah maka yang diutamakan adalah hak anak” (Wahbah Zuhaili : al Fiqh al Islam wa Adillatuhu Juz VII, Damaskus, Daar al Fikr, 1984, h. 279);

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas maka gugatan hadhanah atas anak Terbanding/Penggugat dan Pembanding/ Tergugat yang bernama ANAK PEMBANDING dan TERBANDING I dan ANAK PEMBANDING dan TERBANDING II, keduanya lahir kembar pada tanggal 15 Agustus 2014, yang pada saat perkara ini diputus dalam tingkat pertama, kedua anak tersebut masih berusia 1 tahun 8 bulan (belum

mumayyiz) sehingga telah memenuhi ketentuan Pasal 41 huruf (a)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 1 angka 2, Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan ketentuan Pasal 156 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, maka terhadap petitum gugatan huruf d mengenai gugatan hadhanah tersebut dapat dikabulkan, dan oleh karena itu pula amar putusan a quo pada angka 3 dapat dipertahankan;

Menimbang, bahwa berkaitan dengan amar putusan pada angka 3 tersebut di atas, hakim tingkat pertama dalam putusannya menjatuhkan pula

(20)

putusan yang tidak dituntut dalam gugatan (ultra petita partium), sebagaimana tersebut pada angka 4 yang menyatakan : “Menghukum

Pembanding/Tergugat menyerahkan anak yang bernama ANAK

PEMBANDING dan TERBANDING II kepada Terbanding/Penggugat

sebagai pemegang hak pemeliharaan anak (hadhanah)”. Meskipun hal

tersebut tidak dituntut oleh Terbanding/ Penggugat di dalam gugatannya, namun hakim tingkat banding menilai amar putusan a quo sudah tepat dan benar, dengan pertimbangan sebagai berikut:

Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 189 ayat (3) RBg. tidak harus diterapkan secara mutlak atas pertimbangan, hakim dalam melaksanakan tugasnya harus bertindak secara aktif dan selalu berusaha agar memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan sengketa, sejalan dengan kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI No.499 K/Sip/1970 jo Putusan Mahkamah Agung RI No.556 K/Sip/1971 tanggal 8 Januari 1972, bahwa “mengabulkan hal yang lebih dari yang dituntut dapat dibenarkan asalkan

masih sesuai dengan kejadian materil atau posita”, dan di dalam praktik

peradilan Hakim dapat memutus berdasarkan petitum subsidair (ex aequo et

bono), sejalan dengan kaidah hukum dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung

RI Nomor 140 K/Sip/1971, tanggal 12 Agustus 1972, yang menegaskan bahwa : “Bila mana judex facti akan memberikan putusan atas “ Petitum

Subsider “yaitu gugatan diadili menurut kebijaksanaan Hakim Pengadilan“ maka putusan Hakim tersebut harus berhubungan atau masih terkait dalam kerangka tuntutan Primernya“;

Menimbang, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka hakim tingkat banding menilai penambahan amar putusan sebagaimana tersebut pada angka 4 tersebut tidak dikategorikan sebagai

“ultra petita“ sebagaimana diatur dalam Pasal 189 ayat (3) RBg, melainkan

didasarkan pada permintaan Terbanding/Penggugat dalam petitum subsidair (ex aequo et bono), dan hal itu sangat berkaitan dengan petitum primair pada huruf d yang memohon agar Terbanding/Penggugat ditetapkan sebagai pemegang hak hadhanah atas kedua anak tersebut, dan pula ternyata pada saat perkara ini diputus dalam tingkat pertama, anak Terbanding/Penggugat

(21)

dan Pembanding/Tergugat yang bernama ANAK PEMBANDING dan TERBANDING II berada dalam pemeliharaan Pembanding/Tergugat, sehingga untuk memenuhi amar putusan angka 3 tersebut diperlukan penambahan amar putusan sebagaimana tersebut pada angka 4 agar putusan tidak hampa ( ilusioir), sehingga amar putusan a quo dapat dipertahankan;

Menimbang, bahwa petitum gugatan huruf e mengenai gugatan nafkah anak agar Pembanding/Tergugat dihukum memberikan nafkah untuk kedua orang anak tersebut (usia 17 bulan) meliputi sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan sampai anak mandiri, dan sementara itu tidak ada bantahan atau tanggapan yang tegas dari Pembanding/Tergugat di dalam jawaban maupun dupliknya, kemudian pertimbangan hakim tingkat pertama dalam putusannya (hlm.20 alinea ketiga s.d. hlm.21 alinea ketiga) menyatakan bahwa berdasarkan Pasal 105 huruf (c) dan 156 huruf (d) maka petitum gugatan a quo dapat dikabulkan sehingga nafkah untuk kedua orang anak tersebut menjadi tanggungan Pembanding/Tergugat sesuai dengan kemampuan dan penghasilannya, minimal sejumlah Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) setiap bulan;

Menimbang, bahwa hakim tingkat banding menilai pertimbangan hukum tersebut di atas sudah tepat dan benar, namun karena fluktuasi nilai rupiah dan guna memenuhi kebutuhan minimum kedua orang anak tersebut maka perlu penambahan 10 % per tahun dari jumlah yang ditetapkan, di luar biaya pendidikan dan kesehatan (vide Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 K/Ag/2016, tanggal 11 Februari 2016). Oleh karena itu, amar putusan angka 5 dalam perkara a quo dapat dipertahankan dengan penambahan persentase pembebanan nafkah anak tersebut setiap tahunnya;

DALAM REKONVENSI

Menimbang, bahwa berdasarkan Berita Acara Sidang tanggal 11 Maret 2016 Pembanding/Tergugat dalam jawaban/bantahannya mendalilkan bahwa anak lahir dalam keadaan sehat dan normal seperti bayi-bayi lainnya, sehingga Pembanding/Tergugat memohon agar hakim tingkat pertama menetapkan hak asuh anak dalam pengasuhan Pembanding/

(22)

Tergugat dan Terbanding/Penggugat sesuai surat Kesepakatan Hak Asuh Anak, tertanggal 6 Februari 2016;

Menimbang, bahwa hakim tingkat pertama dalam putusannya memformulasi tuntutan tersebut sebagai gugatan rekonvensi sebagaimana terurai dalam putusan a quo (hlm. 21 alinea keenam), dalam hal ini hakim tingkat banding tidak menyetujui dan tidak sependapat atas pertimbangan hakim tingkat pertama tersebut, karena keliru dalam menerapkan hukum mengenai gugatan rekonvensi yang diatur dalam Pasal 158 RBg., dengan pertimbangan sebagai berikut;

Menimbang, bahwa tuntutan hak hadhanah yang diajukan oleh Pembanding/Tergugat dalam jawabannya adalah bagian dari pokok perkara cerai gugat yang kumulasi dengan gugatan hadhanah dan nafkah anak, sehingga bukan merupakan gugatan rekonvensi, dan bahkan sekalipun Pembanding/Tergugat mendalilkan tuntutannya tersebut dalam rekonvensi, maka bukan merupakan gugatan rekonvensi yang sungguh-sungguh dan harus dianggap tidak ada rekonvensi (vide Yuriprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 154 K/Sip/1973, tanggal 1 April 1975 dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 958 K/AG/2012, tanggal 19 April 2013);

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas maka putusan Pengadilan Agama Muara Enim Nomor 0157/Pdt.G/2016/PA ME, tanggal 17 Mei 2016 Masehi, bertepatan tanggal 10 Syakban 1437 Hijriah, tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan, selanjutnya hakim tingkat banding memberikan putusannya dengan mengadili sendiri sebagaimana tersebut dalam amar putusan di bawah ini;

Menimbang, bahwa adapun keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pembanding/Tegugat beserta alasan-alasannya sebagaimana terurai dalam memori bandingnya, tanggal 1 Juni 2016, maupun kontra memori banding yang diajukan oleh Terbanding/Penggugat, tanggal 17 Juni 2016, adalah merupakan pengulangan dari pemeriksaan perkara a quo dalam tingkat pertama, oleh karena itu harus dikesampingkan dan tidak perlu dipertimbangkan;

(23)

Menimbang, bahwa hal-hal yang telah dipertimbangkan oleh hakim tingkat pertama dalam putusannya dan tidak dipertimbangkan lagi oleh hakim tingkat banding atau tidak bertentangan dengan pertimbangan hakim tingkat banding dalam putusannya, maka dapat disetujui dan diambil alih sebagai pendapat dan pertimbangan sendiri dalam putusan ini;

Menimbang, bahwa oleh karena perkara ini termasuk sengketa di bidang perkawinan, sesuai Pasal 89 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka biaya perkara dalam tingkat pertama dibebankan kepada Terbanding/Penggugat sedangkan biaya perkara dalam tingkat banding dibebankan kepada Pembanding/Tergugat;

Mengingat pasal pasal dari peraturan perundang undangan yang berlaku dan dalil dalil Syar’i serta ketentuan lain yang berkaitan dengan perkara ini;

M E N G A D I L I

I. Menyatakan permohonan banding Pembanding secara formal dapat diterima;

II. Membatalkan Putusan Pengadilan Agama Muara Enim Nomor 0157/Pdt.G/2016/PA ME, tanggal 17 Mei 2016 Masehi, bertepatan dengan tanggal 10 Syakban 1437Hijriah;

MENGADILI SENDIRI 1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;

2. Menjatuhkan talak satu ba’in shughra Tergugat, PEMBANDING terhadap Penggugat, TERBANDING;

3. Menetapkan anak Penggugat dan Tergugat yang bernama ANAK PEMBANDING dan TERBANDING I, umur 1 tahun 8 bulan dan ANAK PEMBANDING dan TERBANDING II, umur 1 tahun 8 bulan, berada dibawah hadhanah Penggugat hingga anak tersebut dewasa atau mandiri;

(24)

4. Menghukum Tergugat menyerahkan anak yang bernama ANAK PEMBANDING dan TERBANDING II umur 1 tahun 8 bulan kepada Penggugat;

5. Menghukum Tergugat untuk memberikan nafkah anak yang tersebut

pada diktum angka 3 di atas kepada Penggugat sejumlah Rp1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) setiap bulan dengan

penambahan 10 % per tahun dari jumlah tersebut di luar biaya pendidikan dan kesehatan, terhitung sejak putusan ini diucapkan sampai anak tersebut dewasa atau mandiri;

6. Memerintahkan kepada Panitera Pengadian Agama Muara Enim untuk mengirimkan salinan putusan ini setelah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Cambai, Kota Prabumulih dan Pegawai Pencatat Nikah, Kantor Urusan Agama Kecamatan Prabumulih Barat, Kota Prabumulih, untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu; 7. Menyatakan gugatan Pengugat selainnya tidak dapat diterima;

8. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat pertama, sejumlah Rp341.000,00 (tiga ratus empat puluh satu ribu rupiah);

III. Membebankan kepada Pembanding/Tergugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat banding, sejumlah Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah);

Demikian diputuskan dalam musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Palembang pada hari Rabu, tanggal 19 Oktober 2016 Masehi, bertepatan dengan tanggal 18 Muharam 1438 Hijriah oleh kami Drs. H. Abdurrahman HAR, S.H. sebagai Ketua Majelis serta Drs. H. Baizar Burhan dan Drs. Masrur, S.H., M.H., masing-masing sebagai Hakim Anggota. Putusan tersebut diucapkan pada hari itu juga dalam sidang terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis tersebut didampingi oleh Hakim Anggota dan dibantu oleh H. M. Fajri, S.Ag., S.H., M.H., sebagai Panitera Pengganti

(25)

dengan tidak dihadiri oleh Pembanding dan Terbanding; Hakim Anggota Drs. H. Baizar Burhan Ketua Majelis Drs. H. Abdurrahman HAR, S.H. Hakim Anggota Drs. Masrur, S.H., M.H. Panitera Pengganti H. M. Fajri, S.Ag., S.H., M.H. Rincian biaya 1. Administrasi Rp 139.000,00 2. Redaksi Rp 5000,00 3. Meterai Rp 6000,00 Jumlah Rp 150.000,00

Referensi

Dokumen terkait

OMA dengan perforasi membran timpani dapat berkembang menjadi otitis OMA dengan perforasi membran timpani dapat berkembang menjadi otitis media supuratif kronis apabila gejala

Apabila Anda mengalami kesulitan dalam menjawab soal-soal di atas perhatikanlah jawaban di bawah ini sebagai acuan. 1) Sel merupakan kesatuan struktural, fungsional, dan

Gedung Rawat Inap Kelas 1 RSUD Sidoarjo yang semula 3 lantai akan direncanakan ulang menjadi 12 lantai dan dimodifikasi dari struktur awal berupa struktur

L’étre-pour-soi atau ‘ada untuk diri’ menunjuk cara beradanya manusia yaitu pada kesadaran manusia; sifatnya melebar (extensif) dengan dunia kesadaran dan sifat kesadaran

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa, manajemen sumber daya manusia yaitu merupakan sebuah ilmu serta seni dalam kegiatan perencanaan, pengelolaan dan pengembangan

Kedua deiksis ich yang terdapat dalam kutipan di atas merujuk kepada seorang perempuan yang sudah dua belas tahun menderita pendarahan. Pada kedua contoh di atas,

Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan alat ukur kapasitansi meter dengan beragam desain, harga yang relatif murah, memiliki rentang pengukuran yang besar

Dalam literasi dasar, kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca dan menghitung (counting) berkaitan dengan kemampuan analisis untuk memperhitungkan