• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kanker Paru

Kanker paru merupakan kanker yang onsetnya dimulai dari paru-paru dimana terjadi pertumbuhan sel abnormal yang sangat cepat dan tidak terkendali. Pertumbuhan sel yang tidak normal tersebut dipicu oleh kerusakan DNA diantaranya adanya delesi pada bagian DNA, inaktivasi gen supresor tumor, aktivasi proto-onkogen menjadi proto-onkogen, tidak terjadinya apoptosis dan aktivitas dari enzim telomerase.(Yu, dkk, 2014; Yolder dkk,2010)

2.2 Klasifikasi dan Epidemiologi Kanker Paru

Di Indonesia, kanker paru termasuk dalam 3 besar kanker terbanyak bersama dengan kanker payudara dan kanker serviks. Kanker paru merupakan kanker dengan prevalensi terbanyak yang diderita oleh pria. Berdasarkan data dari RS Kanker Dharmais Jakarta, prevalensi dari kanker paru dari tahun 2010 hingga 2013 selalu meningkat, dimana pada tahun 2010 terdapat 117 kasus dengan 38 kematian, tahun 2011 terdapat 163 kasus dengan 39 kematian, tahun 2012 terdapat 165 kasus dengan 62 kematian, dan pada tahun 2013 terdapat 173 kasus dengan 65 jumlah kematian. (Instalasi Deteksi Dini dan Promosi Kesehatan RS Kanker Dharmais, 2010-2013). Berdasarkan data RISKESDAS pada tahun 2013, terdapat 347.792 orang yang menderita kanker dengan 8.729 orang merupakan penduduk Bali dan kebanyakan penderita berumur diatas 75 tahun, akan tetapi masih belum ada data spesifik mengenai kanker paru baik di Bali.(Pusdatin Kemenkes RI,2015) Berdasarkan data Register pada Poli Paru RSUP Sanglah pada tahun 2014 dan 2015, Kanker paru merupakan salah satu kasus penyakit paru terbanyak dengan total kasus 583 pada tahun 2014 dan 968 pada tahun 2015

Secara umum, kanker paru dibagi kedalam dua jenis yaitu NSCLC dan SCLC. Perbedaan diantara keduanya adalah SCLC memiliki agresivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan NSCLC. Namun secara epidemiologi, NSCLC lebih sering

(2)

dijumpai, yakni sekitar 85% dari total kasus kanker paru. Menurut klasifikasi WHO, kanker paru terdiri dari 4 tipe major sel yaitu SCLC, NSCLC yang termasuk adenokarsinoma, SCC dan LCC. Secara histologi, tumor dapat terjadi baik berupa tipe tunggal maupun campuran. (WHO,2012)

SCC merupakan jenis terbanyak dari NSCLC yang terdiagnosis. Morfologi SCC menyerupai tumor ekstrapulmonal yang nampak seperti sarang tumor yang terinflitrasi yang tidak memiliki jembatan intraselular. Keratin seringkali nampak pada morfologi jaringan SCC. Terjadinya SCC ini diduga dipengaruhi oleh merokok, seiring menurunnya jumlah perokok, maka SCC tergantikan oleh adenokarsinoma sebagai jenis NSCLC yang paling sering terdiagnosis. Adenokarsinoma paling sering mengenai wanita berumur di bawah 60 tahun. Adenokarsinoma memiliki kelenjar, struktur papilari, pola branchioalveolar, musin sel atau pola solid yang terdiferensiasi buruk. Adenokarsinoma memiliki tipe signet ring, clear cell and mucinous serta fetal adenocarcinoma. BAC merupakan subtype dari adenokarsinoma yang tumbuh bersama alveolus tanpa menginvasi dan dapat dilihat sebagai masa tunggal multinoduler difus pada X-ray, dan “ground glass” opacity pada CT-Scan.(Harrison,2012)

SCLC merupakan tumor neuroendokrin yang cenderung muncul sebagai masa sentral dengan pertumbuhan endobrakial dan sangat berhubungan dengan merokok. SCLC memiliki sel dengan sitoplasma yang sedikit, nucleus hiperkromatik kecil dengan pola kromatin seperti “Salt and Pepper” serta nucleolus yang prominen. SCLC sering memproduksi hormone spesifik seperti ACTH, AVP, ANF dan GRP yang berhubungan dengan distinctive paraneoplastic syndrome.(Harrison,2012)

LCC cenderung muncul pada bagian perifer dan nampak sebagai karsinoma yang berdeferensiasi buruk dari komposisi paru tanpa adanya bukti squamous, diferensiasi grandular atau SCLC pada mikroskop cahaya. Tumor ini terdiri dari lapisan sel malignant besar yang berkaitan dengan nekrosis. Varian dari LCC termasuk basaloid karsinoma yang muncul sebagai lesi endobrakial yang menyerupai tumor neuroendokrin stadium tinggi dan lymphoepithelioma-like carcinoma yang berkaitan dengan infeksi EBV. (Harrison, 2012)

(3)

Gambar 2.1. Klasifikasi kanker paru berdasarkan morfologi jaringannya (Harrison,2012)

2.3 Staging Kanker Paru

Penderajatan untuk KPKBSK ditentukan menurut International System For Lung Cancer, berdasarkan sistem TNM. Pengertian T adalah tumor yang dikategorikan atas Tx, To s/d T4, N untuk keterlibatan kelenjar getah bening(KGB) yang dikategorikan atas Nx, No s/d N3,sedangkan M adalah menunjukkan ada atau tidaknya metastasis jauh.(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,2003)

Tabel 2.1. Penderajatan kanker paru berdasarkan sistem TNM

Derajat TNM Occult Ca Tx N0 M0 0 Tis N0 M0 IA T1 N0 M0 IB T2 N0 M0 IIA T1 N0 M0

(4)

IIB T2 N1 M0 IIIA T3 N1 M0 T3 N2 M0 IIIB Sebarang T N3 M0 T4 Sebarang N M0 IV T4 Sebarang N Sebarang M Keterangan : T :Tumor Primer

To :Tidak ada bukti ada tumor primer. Tumor primer sulit dinilai, atau tumor primer terbukti dari penemuan sel tumor ganas pada sekret bronkopulmoner tetapi tidak tampak secara radilogis atau bronkoskopik.

Tx :Tumor primer sulit dinilai, atau tumor primer terbukti dari penemuan sel tumor ganas pada sekret bronkopulmoner tetapi tidak tampak secara radilogis atau bronkoskopik.

Tis :Karsinoma in situ

T1 :Tumor dengan garis tengah terbesar tidak melebihi 3 cm, dikelilingi oleh jaringan paru atau pleura viseral dan secara bronkoskopik invasi tidak lebih proksimal dari bronkus lobus (belum sampai ke bronkus lobus (belum sampai ke bronkus utama). Tumor superfisial sebarang ukuran dengan komponen invasif terbatas pada dinding bronkus yang meluas ke proksimal bronkus utama

T2 :Setiap tumor dengan ukuran atau perluasan sebagai berikut : - Garis tengah terbesar lebih dari 3 cm

- Mengenai bronkus utama sejauh 2 cm atau lebih distal dari karina mengenai pleura viseral

- Berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif yang meluas ke daerah hilus, tetapi belum mengenai seluruh paru.

T3 :Tumor sebarang ukuran, dengan perluasan langsung pada dinding dada (termasuk tumor sulkus superior), diafragma, pleura mediastinum atau tumor dalam bronkus

(5)

utama yang jaraknya kurang dari 2 cm sebelah distal karina atau tumor yang berhubungan dengan atelektasis atau pneumositis seluruh paru

T4 :Tumor sebarang ukuran yang mengenai mediastinum atau jantung, pembuluh besar, trakea, esofagus, korpus vertebra, karina, tumor yang disertai dengan efusi pleura ganas atau satelittumor nodul ipsilateral pada lobus yang sama dengan tumor primer.

N : Metastasis KGB regional Nx : KGB tak dapat dinilai

No: Tak terbukti keterlibatan KGB

N1:Metastasis pada kelenjar getah bening peribronkial dan/atau hilus ipsilateral, termasuk perluasan tumor secara langsung

N2:Metastasis pada kelenjar getah bening mediatinum ipsilateral dan/atau KGB subkarina

N3:Metastasis pada hilus atau mediastinum kontralateral atau KGB skalenus/ supraklavila ipsilateral /kontralateral

M Metastasis jauh.

Mx :Metastasis tak dapat dinilai Mo :Tak ditemukan metastasis jauh

M1:Ditemukan metastasis jauh. “Metastastic tumor nodule”(s) ipsilateral di luar lobus tumor primer dianggap sebagai M1

2.4 Faktor Risiko Terjadinya Kanker Paru 2.4.1 Jenis Kelamin

Jenis kelamin diduga berkaitan dengan kejadian kanker paru. Hal ini dapat dilihat dari data epidemiologi bahwa pasien kanker paru pria lebih banyak dari wanita begitu juga dengan jumlah kematiannya. Laki-laki memiliki tingkat metilasi pada gen Ras Association domain Family 1A (RASSF1A) yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yaitu 7,5% dibandingkan dengan 17,9% dengan nilai P<0,01.(Vaissiere dkk, 2015) dimana gen RASSF1A merupakan salah satu tumor supresor yang mengkode protein menyerupai RAS efektor protein, sehingga apabila

(6)

terjadi metilasi yang menginduksi inaktivasi dari ekspresi gen tersebut maka akan menimbulkan hilangnya inhibisi pada Cyclin D1 sehingga cell cycle arrest tidak terjadi. Hal ini tentunya menyebabkan sel membelah secara tidak terkendali dan menjadi kanker. (Song dkk, 2008) Tingginya kejadian kanker paru pada laki-laki juga dapat dikaitkan dengan kebiasaan merokok laki-laki yang lebih besar dibandingkan perempuan yaitu 63,38% dibandingkan dengan 31,62% dengan nilai P<0,01.(Gupta dkk,2014)

2.4.2 Umur

Menurut data epidemiologi, kebanyakan penderita kanker paru merupakan orang yang sudah berumur. Kecenderungan data memperlihatkan bahwa semakin tuanya umur maka akan semakin tinggi risikonya untuk terkena kanker. Sebuah penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2014 menyebutkan bahwa adanya kecenderungan pola merokok sesuai umur turut mempengaruhi terjadinya kanker paru. Populasi yang berumur 50-75 tahun, 77%nya merupakan perokok aktif (p<0,0003) sedangkan pada orang yang berumur diatas 75 tahun, hanya 23% yang merupakan perokok. (Gupta dkk,2014). Populasi yang berumur 45-49 tahun menunjukkan inaktivasi gen MTHFR paling tinggi dibandingkan kelompok umur lainnya yaitu 18,5% (P<0,01) yang dikaitkan erat dengan kebiasaan merokok. Golongan umur 50-64 tahun memiliki inaktivasi gen tertinggi pada gen CDH1 dan GSTP1 sedangkan golongan umur >70tahun memiliki kecenderungan inaktivasi gen GTSP1 dan RASSF1A yang paling tinggi diantara kelompok umur lainnya. Hal ini menyebabkan golongan umur diatas 45 tahun memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita kanker paru dibandingkan populasi yang berumur dibawah 45 tahun. (Vaissere 2015) Sebuah penelitian insiden kanker di Korea juga membuktikan bahwa kecenderungan kanker paru terjadi pada pria dan wanita diatas 65 tahun.(Kyu dkk, 2011)

(7)

2.1.3 Berat Badan

2.4.3 Riwayat Merokok

Merokok memiliki kaitan yang erat dengan kejadian kanker paru. Rokok memiliki 73 jenis zat pemicu kanker dan 16 diantaranya diakui sebagai karsinogen. Karsinogen yang erat kaitannya dengan kanker paru adalah NKK, NNN dan PAH. NNK dengan dosis 1,8mg/kg dapat menginduksi kanker paru pada mencit, estimasi dosis terendah dari NNK pada perokok dengan lama merokok 40 tahun adalah sekitar 1,1mg/kg sehingga risiko kanker paru akan semakin tinggi apabila lama merokok semakin panjang.(Yuan dkk,2015) Perokok memiliki kadar metilasi yang tinggi terhadap gen SULF-2 (P<0,05) yaitu sebuah gen yang memproduksi enzim ekstraseluler yang mengkatalis reaksi hidrolisis 6-O-Sulfo dari polisakarida heparan sulfat. Heparan sulfat proteoglikan tersebar pada membran sel dan ECM dan berfungsi sebagai koreseptor untuk berbagai macam faktor pertumbuhan dan sitokin. Inaktivasi dari SULF-2 mencegah pelepasan gugus sulfat dari ikatan dengan IFN yang akan meningkatkan transkripsi dari IFN sehingga menghasilkan metaplasia sel mucus yang diakibatkan dari disregulasi cell death yang terlibat dalam signaling IFN Gambar 2.2. Grafik hubungan antara umur dan kejadian kanker paru. (A) kejadian pada laki-laki (B) pada perempuan. Dapat dilihat bahwa kejadian kanker paru memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan umur pasien. Dapat dilihat juga bahwa kejadian tertinggi terdapat pada kelompok umur diatas 65 tahun yaitu puncaknya pada umur 80-84 tahun untuk pria dan diatas 85 tahun untuk wanita.(Kyu dkk, 2011)

(8)

yang akan menyebabkan terjadinya kanker paru. (Bruse dkk, 2014; Tessema dkk,2012)

Merokok juga mempengaruhi metilasi gen MTHFR, tingkat metilasi gen MTHFR pada orang yang merokok lebih tinggi secara signifikan yaitu 72,1% (P<0,01) dibandingkan dengan mantan perokok (63,8%) dan yang tidak merokok (31,6%). MTHFR merupakan produk gen yang memainkan peran sebagai methionine pool serta memastikan bahwa kadar homosistein dalam tubuh tidak mencapai level toksik. Enzim MTHFR mengkatalis sintesis metionin yang dibutuhkan dalam metabolism S-adenosilmetionin yang memiliki peran penting pada proses metilasi DNA dan ekspresinya dapat mengubah metilasi DNA yang bersangkutan, Inaktivasi MTHFR menyebabkan penurunan signifikan 5-metilsitosin yang akan menginduksi hipometilasi DNA yang nantinya akan mengganggu program cell death yang memicu perkembangan tumor.(Vassiere dkk,2015)

Gambar 2.3. Pengaruh rokok terhadap metilasi gen MTHFR

Peningkatan metilasi MTHFR terjadi akibat kandungan benzopyrene pada rokok mempengaruhi metilasi CpG sites yaitu ditemukan bahwa dari 6 CpG MTHFR, setidaknya 1-4nya mengalami metilasi yang lebih besar secara signifikan pada perokok. Kandungan lain dalam rokok juga dapat memindahkan cis-acting element yang menghalangi penyebaran metilasi dari pusat metilasi, serta mengganggu pola modifikasi histon dari CpG.(Vassiere dkk,2015)

(9)

Merokok juga memiliki kaitan yang erat dengan kejadian PPOK dimana PPOK juga berkaitan dengan kejadian kanker paru. Sebuah penelitian telah mengidentifikasi 5 gen yang terganggu akibat merokok yang berpengeruh terhadap kanker paru yang di induksi PPOK, gen tersebut adalah WIPF1 yang meregulasi formasi sinapsis imunologikal dan aktivasi sel T, BCL2I yang meregulasi tumor supresor p53, SGK1 yang kenaikan regulasinya mempengaruhi pertumbuhan tumor, ZNF397 yang memiliki peran dalam formasi sentromer dan transkripsi gen serta CLK1 yang merupakan faktor pemotongan DNA alternatif yang di induksi oleh keadaan hipoksia.(Faner dkk,2014). Pengaruh merokok terhadap kejadian kanker paru juga dapat dibuktikan melalui efek dari berhenti merokok. Orang yang berhenti merokok terbukti mengalami perubahan hasil skrining dari tahun sebelumnya disaat ia masih merokok. Orang yang sebelumnya terskrining positif berisiko besar terhadap kanker paru akan menjadi negative atau setidaknya risikonya berkurang saat ia berhenti merokok setidaknya satu tahun P<0,05. (Tamemmagi dkk,2014; Slatore dkk,2014)

2.4.4 Berat Badan

Berat badan memiliki kaitan dengan berbagai jenis kanker. Indeks Masa Tubuh (IMT) yang tinggi merupakan salah satu predisposisi dari berbagai jenis kanker, akan tetapi kanker paru memiliki kecenderungan yang berbeda dengan kanker lainnya. Kenaikan IMT justru memberikan efek negative terhadap risiko kanker paru. .(Bashkaran dkk,2014)

Gambar 2.4. Grafik perbandingan IMT dan 95%CI terhadap kejadian kanker paru. Dapat dilihat bahwa kejadian kanker paru meningkat pada IMT dibawah 25kg/m2 baik pada pria maupun wanita, yang berarti bahwa pasien kanker paru cenderung memiliki IMT yang kecil.(Song dkk,2014)

(10)

IMT yang rendah pada pasien kanker paru diduga juga terkait dengan kecenderungan orang dengan IMT rendah untuk merokok. Perokok pria cenderung memiliki IMT lebih rendah dibandingkan dengan mantan perokok maupun bukan perokok (P<0,001) sedangkan pada wanita tidak terdapat perbedaan yang begitu signifikan antara IMT mantan perokok dibandingkan dengan bukan perokok, akan tetapi perokok wanita memiliki kecenderungan memiliki IMT lebih rendah (<25,57kg/m2) dibandingkan dengan dua grup pembandingnya (>26,8kg/m2) dengan nilai P<0,013 .(Gupta dkk,2014; Song dkk,2014).

2.4.5 Riwayat Penyakit Paru Lainnya

Salah satu penyakit paru yang dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker paru adalah PPOK yang merupakan penyakit fatal dan progressive pada paru ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible. Hambatan aliran ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel beracun. Baik PPOK maupun kanker paru sama-sama memiliki kaitan erat dengan merokok seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab merokok diatas(Durham&Adcock, 2015; Faner et,al,2014.) PPOK juga diyakini sebagai faktor independent yang menyebabkan terjadinya kanker paru. RNOS yang merupakan pencetus kanker akibat inflamasi kadarnya sangat meningkat pada PPOK, selain itu fungsi mitokondria pada pasien PPOK sangat menurun sehingga sel endotel paru tidak mampu untuk berapoptosis. Sitokin terutama IFNγ dan M-CSF yang dihasilkan

Tabel 2. Perbandingan IMT pada perokok pria dan wanita. Dapat dilihat pada perokok aktif, rata-rata IMTnya lebih rendah dibandingkan dengan mantan perokok maupun yang tidak pernah merokok (Song dkk,2014)

(11)

dari inflamasi PPOK dapat memberikan sinyal untuk diferensiasi dan pembelahan sel serta dapat memanggil sel imun lain untuk berinfiltrasi dan membentuk tumor. Inflamasi kronik juga mengakibatkan adanya overekspresi dari NFkB yang dapat menginhibisi gen supresi tumor p53. Jalur PI3K yang berperan penting pada proliferasi dan supresi apoptosis sel juga teraktivasi pada penderita PPOK, selain itu peningkatan aktivasi protein Wnt dan B-catenin pada PPOK memiliki asosiasi dengan pertumbuhan kanker yang cepat pada percobaan mencit. (Durham&Adcock, 2015; Wauters dkk,2014)

2.4.6 Riwayat Penyakit Ekstrapulmonal

Komorbiditas pada pasien kanker paru memiliki efek positif terhadap perkembangan kanker dan efek negative terhadap kemampuan survival pasien. Komorbiditas juga dapat menutupi gejala kanker paru sehingga menyebabkan diagnosis kanker yang tertunda. Komorbiditas juga mempengaruhi proses penyembuhan kanker paru dikarenakan kebanyakan komorbiditas menjadi salah satu kontra indikasi dari tindakan operasi. Beberapa penyakit ekstrapulmonal yang dapat memicu terjadinya kanker paru sekaligus memperparah perjalan kanker paru adalah kondisi-kondisi yang menurunkan sistem imunitas seperti infeksi HIV, penggunaan obat imunosupresan pada pasien autoimun maupun pasien dengan riwayat transplantasi organ. Adapun penyakit metabolik seperti diabetes juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker paru.(Lachina, Green & Jakobsen, 2014) Berdasarkan ICD 10, komorbiditas penyerta dari kanker paru dibagi menjadi kelas yaitu kelas pertama seperti infark miokard, gagal jantung kongestif, penyakit vascular perifer, PPOK, penyakit liver dan diabetes. Sedangkan kelompok 2 adalah hemiplegi, penyakit ginjal, diabetes dengan kerusakan organ, tumor lain di luar paru, leukemia dan limfoma. Kelompok 3 adalah penyakit liver moderat atau parah dan kelompok 4 adalah metatstasis dari tumor solid atau AIDS. Komorbiditas terbanyak selain PPOK adalah metastasis tumor solid 24,8%, diabetes tanpa komplikasi 10,3% dan penyakit vascular perifer 8,7%.(Marcus dkk, 2014) Penelitian Kong dkk pada tahun 2014 menyatakan bahwa pasien dengan penyakit terkait defisiensi vitamin D memiliki

(12)

risiko yang lebih besar untuk terkena kanker paru. Vitamin D memiliki fungsi sebagai anti proliferative, anti angiogenik, anti metastasis dan efek pro apoptosis terhadap sel. Orang yang kekurangan vitamin D memiliki risiko 5 kali lebih besar untuk menderita kanker paru dengan OR=5,8 dan 95%CI=2,84-11,84.(Kong dkk,2014)

2.4.7 Pekerjaan

Berbagai pekerjaan memiliki risikonya masing-masing. Beberapa pekerjaan memiliki asosiasi dengan meningkatkan risiko seseorang untuk menderita kanker paru dikarenakan lingkungan yang dapat mengganggu fungsi paru. Eksposur dalam pekerjaan yang paling sering adalah eksposur dari debu serbuk kayu. Pekerjaan yang terpapar dengan debu serbuk kayu ini diantaranya tukang gergaji, tukang kayu, pengrajin kayu dan pekerja furnitur. Paparan dari debu kayu diyakini sebagai salah satu faktor risiko kanker paru terbukti dalam penelitian pasien kanker paru yang bukan perokok memiliki kecenderungan bekerja dengan paparan dari debu kayu (OR=1,4 ; 95%CI= 1-2).(Vallieres dkk,2015) Pekerjaan lain yang dianggap berisiko terhadap kejadian kanker paru adalah penambang batu bara, penambang bijih besi dan pemecah batu. Penambang yang bekerja di bawah tanah memiliki tingkat eksposur yang tinggi terhadap bahan karsinogenik bagi paru seperti arsenik, asbestos, kromium, nikel, PAH, silika dan buangan mesin diesel sedangkan pemecah batu paling sering berkontak dengan silika. Kelompok pekerja ini memiliki risiko yang tinggi terhadap kanker paru apabila sudah terpapar zat karsinogenik selama lebih dari 10 tahun.(Taeger dkk,2015) Pekerja manual (pekerja yang bekerja dengan tangan tanpa bantuan mesin) diduga memiliki risiko tinggi terhadap kontak dengan bahan karsinogenik. Pekerjaan yang termasuk di dalam pekerja manual adalah pekerja terampil seperti petani, tukang las dan tukang ledeng, lalu pekerja pemrosesan dan operator mesin seperti pemecah batu dan perakit, serta pekerja dasar seperti tukang bersih-bersih. Risiko kanker paru lebih tinggi pada pekerja manual dibandingkan dengan manager atau pekerjaan professional lainnya dengan OR 2,5 dan 95%CI 1.2-5.05, 71,35% pekerja tersebut mendapatkan ekpaparan karsinogenik dari lingkungan tempat bekerja mereka.(Nordin dkk,2014)

(13)

2.4.8 Riwayat Keluarga

Keluarga diduga memiliki peranan penting dalam kejadian kanker paru. Keluarga diduga memiliki peran penting dalam menurunkan polimorfisme pada gen seseorang. Keluarga juga diduga berperan dalam menurunkan kebiasaan merokok pada seseorang. Studi meta analisis yang dibuat oleh Makidou dkk menunjukkan bahwa dari 31 case control 27 diantaranya menunjukkan riwayat kanker paru pada keluarga berkaitan dengan peningkatan risiko kanker paru (95%CI : 1,58-2.10) dan 11 dari studi tersebut menujukkan peningkatan risiko signifikan pada pasien yang tidak pernah merokok yang menandakan keluarga berperan besar pada pewarisan genetik kanker (95%Ci : 1,1-2,06). Sedangkan dari 17 studi cohort semuanya menunjukkan peningkatan risiko kanker paru yang signifikan pada pasien dengan riwayat keluarga (95%CI: 2,57-40,41). (Matakidou dkk, 2006) Penelitian dari Anna dkk menunjukkan bahwa riwayat penyakit kanker paru dalam keluarga dapat meningkatkan risiko seseorang menderita kanker paru, selain itu apabila keluarga yang memiliki riwayat kanker paru adalah ibu dan saudara perempuan maka risiko akan jauh lebih meningkat dengan OR 2,74 dan 3,58 seperti ditunjukkan pada tabel di bawah.(Anna dkk, 2009)

(14)

Beberapa gen yang diwariskan keluarga diduga mempengaruhi meningkatnya risiko kanker paru. Gen pada kromosom 5p15.33 yang memiliki pengaruh besar pada wanita yang tidak pernah merokok, diduga menaikan risiko melalui mediasi peningkatan TERT yang mengakibatkan overekspresi mRNA yang menyebabkan kanker paru. Gen pada kromosom 6p21-6p22 juga memiliki keterkaitan dengan meningkatnya risiko kanker paru dengan mengakibatkan adanya DNA mismatch repair pada gen M5H5. Gen pada kromosom 9p21.3 yang merupakan pengkode tumor suppressor gene yang dapat menghambat CDK dan apoptosis terinduksi stressor pada sel paru yang dapat meningkatkan risiko kanker paru serta gen pada kromosom 12p13.33 yang juga dapat mempengaruhi DNA repair mechanism pada sel kanker paru.(Timofeeva dkk,2012)

2.5 Penatalaksanaan Kanker Paru di Indonesia

Berdasarkan pedoman dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, penatalaksanaan penyakit kanker paru terdiri dari radioterapi, kemoterapi dan pembedahan. Adapun algoritma penatalaksanaan kanker paru di Indonesia adalah sebagai berikut :

(15)

Gambar 5. Alur penatalaksanaan kanker paru di Indonesia (PDPI,2003)

2.6 Keluaran Yang Dihasilkan Dari Upaya Pengobatan

Setiap jenis penatalaksanaan yang digunakan untuk mengobati kanker paru memiliki keluaran yang berbeda-beda. Tiga modalitas utama dalam penatalaksanaan kanker di Indonesia merupakan kemoterapi, radioterapi dan pembedahan yang masing-masing memiliki hasil keluaran yang berbeda-beda. Berikut penulis akan menjelaskan satu-persatu keluaran dari modalitas berdasarkan literatur terdahulu.

2.6.1 Kemoterapi

Kemoterapi untuk pasien kanker merupakan modalitas yang cenderung paling sering digunakan pada penderita kanker paru. Kemoterapi kerap kali dianggap sebagai modalitas yang tidak efektif serta memiliki toksik yang tinggi terhadap penggunanya, akan tetapi beberapa studi menyatakan bahwa kemoterapi merupakan modalitas yang dapat meningkatkan survival pasien, menurunkan gejala serta meningkatkan kualitas hidup pasien kanker.(Brown dkk,2013; Bonferroni dkk, 2012; Brimingham dkk, 2009) Studi yang dikerjakan oleh Schiller dkk yang membandingkan keefektivitasan pada beberapa kemoterapi yang digunakan pada pasien kanker paru menunjukkan bahwa terapi dengan menggunakan ciplastin dan gemcitabin memberikan hasil terbaik dalam meningkatkan survival selama 2 tahun. (Schiller dkk, 2012)

Table 2.4. Perbedaan keluaran pada beberapa regimen kemoterapi untuk kanker paru. Dapat dilihat respon komplet maupun partial tertinggi dicapai oleh gemcitabine, kestabilan kanker dicapai tertinggi oleh docetaxel dan survival terbaik dihasilkan oleh gemcitabine (Schiller dkk, 2012)

(16)

2.6.2 Radioterapi

Pengobatan kanker paru stadium awal biasanya tidak memungkinkan untuk dilakukan pembedahan dikarenakan ukuran kanker yang masih terlalu kecil. Kebanyakan penatalaksanaan pada penyakit kanker paru stadium awal adalah dengan menggunakan radioterapi. Salah satu jenis radioterapi yang dapat digunakan sebagai modalitas adalah stereotactic body radiotheraphy (SBRT) yang sekarang lebih dikenal dengan stereotactic ablative radiotherapy (SABR) yang merupakan teknologi noninvasive dengan ketepatan yang tinggi sehingga dapat mentarget tumor dengan lebih baik tanpa meningkatkan kadar toksik pada tubuh pasien. (Solda dkk, 2013 ; Palma dkk,2012) Penelitian dari palma dkk juga menunjukkan bahwa radioterapi yang digunakan dalam mengobati kanker paru merupakan terapi dengan tingkat toleransi tinggi dan hanya menghasilkan efek samping minor pada pasien seperti yang akan dijelaskan pada tabel 2.5. (Palma dkk,2012)

SABR biasa digunakan untuk pasien kanker paru yang memiliki kontra indikasi untuk pembedahan. Penelitian dari Verstegen dkk pada tahun 2013 juga membuktikan bahwa SARBP tidak memberikan toksisitas yang lebih rendah secara

Tabel 2.5. Perbandingan 30-day mortality pada pasien dengan kanker paru stadium awal yang diberikan tindakan bedah dibandingkan dengan radioterapi. Dapat dilihat bahwa pasien yang mendapatkan tindakan radioterapi tidak ada yang meninggal setelah 30 hari dibandingkan dengan pembedahan yang menghasilkan 8% pasien meninggal, 25% meninggal setelah lobektomi dan 7% setelah segmentektomi. Komplikasi yang terjadi pada radioterapi 69%nya merupakan toksisitas tingkat 1 dan 2 yaitu berupa kelelahan, batuk, sesak, mual dan berkurangnya nafsu makan. (Palma dkk,2012)

(17)

signifikan pada 90-day mortality pada pasien kanker paru stadium 1 dan 2 dibandingkan dengan pembedahan dan video assist thoracoscopy surgery (VATS).(Verstegen dkk, 2013)

2.6.3 Pembedahan

Pembedahan merupakan penatalaksanaan kanker paru yang cukup umum dilakukan di Indonesia. Beberapa teknik pembedahan dilakukan untuk mengeradikasi sel kanker pada paru-paru pasien mulai dari pembedahan terbuka maupun pembedahan melalui endoskopi. Pembedahan biasanya dilakukan untuk kanker paru stadium lanjut akan tetapi pembedahan juga memiliki keuntungan untuk pengobatan kanker paru stadium awal (1&2) yaitu kemampuannya untuk melihat getah bening secara invasive sehingga dapat memutuskan untuk memulai kemoterapi adjuvant apabila terdeteksi dimulainya metastasis melalui getah bening. Selain itu, pembedahan juga memberikan keuntungan untuk mendapatkan diagnosis histopatologi pasti.(Verstegen dkk,2013; Zhang dkk, 2013) Studi meta analisis yang dilakukan oleh Taioli et al menunjukkan bahwa prosedur pembedahan dengan VATS lebih menguntungkan dibandingkan dengan torakostomi dengan 5 years survival 62-97% dan 5 years mortality yang lebih rendah (95%CI : 3-6). Studi Taioli et al menyarankan lobektomi dengan VATS dijadikan sebagai terapi pengganti torakostomi dikarenakan lobektomi VATS memiliki komplikasi yang lebih sedikit, durasi penggunaan chest tube yang lebih pendek dan durasi opname yang lebih pendek. (Taioli dkk, 2013). Lobektomi VATS dilakukan dengan menggunakan teknik three-port-non-rib-spreading dengan peralatan torakoskopik standar, insisi untuk akses masuk dibuat sebsar 4cm di antara interkosta 3 dan 4 pada garis anterior aksila. Port kamera sebesar 1cm diletakkan diantara interkosta 7 dan 8 pada garis anterior aksila dan dibuat lubang 1cm pada posterior untuk retraksi dan insersi stapler.(Taioli dkk,2013 ; Zhang dkk,2013; Lee dkk,2013) Perbandingan keluaran jangka panjang antara beberapa teknik pembedahan tidak memberikan perbedaan yang bermakna secara statistic (p:0,767) dimana pasien yang mampu bertahan selama 3 dan 5 tahun pada pasien open thoracostomy sebesar 87,2% dan 74,9% sedangkan VATS sebesar

(18)

80,9% dan 76,6% akantetapi pada pasien kanker dengan stadium 2 dan 3 keluaran jangka panjang bermakna secara signifikan (p=0,363) dimana pasien dengan OS yang mampu bertahan selama 3 tahunnya sebesar 58,4% (95%CI:33,3-83,5), VATS sebesar 61,3% (95%CI: 48,6-74,0). (Lee dkk, 2013)

2.7 Prognosis Kanker Paru

Seperti yang telah dibahas pada bagian pendahuluan, kanker paru merupakan salah satu kanker yang fatal dengan tingkat kematian paling tinggi jika dibandingkan dengan kanker lainnya. Prognosis kanker paru dikelompokkan berdasarkan stadiumnya dimana semakin tinggi tingkatan kankernya maka angka 5 years survival-nya akan semakin rendah. (American Cancer Society, 2016)

STAGE 5 YEARS SURVIVAL

I A 49% I B 45% II A 30% II B 31% III A 14% III B 5% IV 1%

Tabel 2.6. Persentase pasien yang mampu bertahan hidup setelah diagnosis kanker paru selama 5 tahun berdasarkan derajatnya. Dapat dilihat bahwa pasien kanker paru memiliki prognosis yang buruk dimana pada stage I A saja persentase pasien yang mampu bertahan sampai 5 tahun tidak sampai setengahnya dan pada stage akhir hanya 1% pasien yang mampu bertahan sampai 5 tahun.

Gambar

Gambar 2.1. Klasifikasi kanker paru berdasarkan morfologi jaringannya  (Harrison,2012)
Gambar  2.3.  Pengaruh  rokok  terhadap  metilasi gen MTHFR
Gambar  2.4.  Grafik  perbandingan  IMT  dan  95%CI  terhadap  kejadian  kanker  paru
Tabel 2. Perbandingan IMT pada perokok pria dan wanita. Dapat dilihat pada  perokok aktif, rata-rata IMTnya lebih rendah dibandingkan dengan mantan  perokok maupun yang tidak pernah merokok (Song dkk,2014)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian dengan metode diatas, penulis memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada bahwa Polresta Malang kesulitan dalam mengungkap tindak pidana

Untuk merencanakan proses pembelajaran agar meningkatkan motivasi dan prestasi belajar, perlu dilakukan hal-hal berikut: berdiskusi dengan kolaborator mengenai metode

13) Dapat dipercaya : diantaranya adalah siswa jujur, mampu mengikuti komitmen, mencoba melakukan tugas yang diberikan, menjadi teman yang baik dan membantu orang

Dari ketiga hasil tersebut, dengan menggunakan metode pemilihan usaha Mutually exclusive alternative project maka usaha kerajinan Coslat Rotan Furniture yang memiliki NPV, IRR,

Berdasarkan hasil pemeriksaan spirometer yang dilakukan oleh Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru (BP4) Semarang pada bulan Juli 2006 terhadap 10 (sepuluh)

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ Pengaruh Penggunaan Media Pembelajaran Animasi Terhadap Minat dan

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan pada penelitian mengenai kerapatan stomata daun mahoni ( Swietenia mahagoni L. Jacq) sebagai tanaman pelindung di Jalan

Untuk peningkatan kuantitatif organisasi pemerintahan ( Desa dan Kelurahan ), dapat berarti berkurangnya jumlah masyarakat yang berada dalam kondisi tidak sehat