• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEBIJAKAN PERUBAHAN STATUS PERGURUAN TINGGI IAIN MENJADI UIN DALAM PERSPEKTIF INSTITUSI. Oleh: Ahmad Ma ruf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KEBIJAKAN PERUBAHAN STATUS PERGURUAN TINGGI IAIN MENJADI UIN DALAM PERSPEKTIF INSTITUSI. Oleh: Ahmad Ma ruf"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEBIJAKAN PERUBAHAN

STATUS PERGURUAN TINGGI IAIN MENJADI UIN DALAM PERSPEKTIF INSTITUSI

Oleh: Ahmad Ma’ruf

Dalam Rencana Strategis Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pembangunan pendidikan tinggi didasarkan pada tiga pilar utama, yaitu pemerataan dan perluasan akses pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, dan peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam yang mengemban tugas pendidikan juga harus mengikuti Renstra tersebut. Sehubungan dengan pemerataan dan perluasan akses pendidikan, kebijakan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam itu ditujukan untuk memberdayakan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan serta meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan. Kebijakan ini sangat relevan terkait dengan lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam yang dikelola oleh masyarakat. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam telah menerbitkan Surat Keputusan No. Dj.I/441/2010 tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi. Di dalam pedoman itu dijelaskan secara rinci mekanisme pengajuan permohonan ijin pendirian perguruan tinggi agama Islam.

Kata Kunci: Perubahan Status Perguruan Tinggi, IAIN Menjadi UIN A. Pendahuluan

Perguruan tinggi IAIN untuk menjadi UIN tentu bukan hanya aspek islamisasi ilmu yang penting, tetapi juga memberikan peluang yang lebih besar kepada para alumni SMA/Aliyah pondok pesantren, yang karena factor ekonomi kemudian tidak bias melanjutkan pendidikan ke program studi sains. Kebanyakan peminat studi di UIN atau IAIN adalah orang-orang yang secara ekonomi adalah klas menengah ke bawah. Memang belum ada survei tentang hal ini. Mendirikan lembaga pendidikan Islam tentu memiliki fungsi ganda, yaitu fungsi akademis dan dakwah. Dalam fungsi akademis, maka dengan memperluas spektrum keilmuan berarti akan memperluas dan memberikan akses kepada anak bangsa untuk menjadi akademisi yang selain memiliki keahlian dalam bidang studinya juga menjadi da’i. Bukankah menjadi sangat ideal, jika ada da’i dengan kemampuan menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an melalui

(2)

pendekatan akademis, sementara juga terdapat ahli agama yang sangat berkualitas karena ketuntasannya dalam memahami agama.1

Dengan demikian, di satu sisi akan dihasilkan ahli agama yang sangat cualified dan juga dihasilkan ahli science yang memiliki keahlian keilmuan yang sangat memadai dan sekaligus menjadi ahli agama yang memiliki komitmen bagi pengembangan keilmuan dan masyarakat.Selain untuk tujuan memberikan akses bagi alumni pondok pesantren dan masyarakat lainnya yang memiliki kemampuan ekonomi sangat terbatas, akan tetapi memiliki kecenderungan untuk melanjutkan pendidikannya di dalam jenjang pendidian tinggi dalam bidang studi yang bervariasi, maka yang tidak kalah pentingnya adalah memberikan penegasan tentang bidang studi apa dan berada di mana.

Dalam sejarah bahwa Sekolah Tinggi Islam merupakan upaya memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat akan pendidikan Islam. Tidak saja ini dianggap sebagai akomodir penguasa atas kelompok Islam. Bahwa dengan harapan adanya Sekolah Tinggi Islam mampu mewadahi peran dan keberadaan masyarakat muslim dalam aspek kehidupan yang beragam. Namun dalam perjalanannya, perubahan sosial, ekonomi, politik, pemahaman agama, pergeseran nilai dan pola hidup yang secara dinamis selalu berkembang. Hingga pada akhirnya sekolah tinggi Islam perlu peningkatan dan pengembangan ke arah yang lebih luas. Misalnya saja perubahan lembaga dari Sekolah TInggi menjadi Universitas Islam Indonesia, kemudian pengembangan fakultas agama menjadi naik statusnya yakni Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri. Kemudian harapan masyarakat lainnya mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama di mana Mahmud Yunus menjelaskan bahwa hadirnya ADIA ini adalah untuk mendidik pegawai negeri dilingkungan kementrian agama dan untuk ahli agama.2Hingga

1 Nur Sam, “KONVERSI IAIN KE UIN” dalam http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=981 (08 Desember 2013), 01

2 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008), cet. III, hal.447

(3)

akhirnya penyatuan antara STAIN dan ADIA menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan berkedudukan di Yogyakarta.

B. Dasar Hukum Perubahan Status Perguruan Tinggi IAIN Menjadi UIN a. Dasar Perubahan IAIN Menjadi UIN3

1. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3401);

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5336);

3. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagaimana diubah dengan PP No. 32 Tahun 2013.

4. Peraturan Menteri Agama Nomor 36 Tahun 2009 tentang Penetapan Pembidangan Ilmu dan Gelar Akademik di Lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam;

5. Keputusan Menteri Agama Nomor 394 Tahun 2003 tentang Pedoman Pendirian

Perguruan Tinggi Agama;

6. Keputusan Menteri Agama Nomor 156 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengawasan,

Pengendalian dan Pembinaan Program Diploma, Sarjana dan Pascasarjana pada

Perguruan Tinggi Agama Islam;

7. Keputusan Menteri Nomor 353 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi Agama Islam;

3 Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor: 3389 Tahun 2013 Tentang Penamaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Fakultas Dan Jurusan Pada Perguruan Tinggi Agama Islam Tahu 2013 Hal. 03

(4)

8. Keputusan Menteri Agama Nomor 387 Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan

Pembukaan Program Studi pada Perguruan Tinggi Agama Islam;

9. Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja

Kementerian Agama;

10. Keputusan Direktur Jenderal Nomor Dj.I/441/2010 tentang Pedoman Pendirian

Perguruan Tinggi Agama Islam

b. Penamaan Perguruan Tinggi Dan Nomenklatur Jurusan

Penamaan perguruan tinggi baru ini mengacu kepada hasil pertimbangan peta pendidikan pada jenjang perguruan tinggi yang dilandaskan pada aspek pembidangan keilmuwan terkait erat dengan nomenklatur yang diajukan untuk pendirian PTAI. Dengan merujuk kepada UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 dan Peraturan Menteri Agama No. 36 Tahun 2009 tentang Pembidangan Ilmu dan Gelar Akademik pada Perguruan Tinggi Agama Islam dan Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor: 1429 Tahun 2012 tentang Penataan Program Studi di Perguruan Tinggi Agama Islam.4

Pendirian PTAI baru dengan nama Institut, maka penamaannya menggunakan nama sebagaimana nomenklatur pada Institut Agama Islam Negeri dan dimungkinkan untuk mempergunakan nama tertentu yang mencerminkan bidang keilmuwan. Dalam UU No. 12 Tahun 2012 disebutkan bahwa Institut adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau pendidikan vokasi dalam sekelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan 4Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor: 3389 Tahun 2013 Tentang Penamaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Fakultas Dan Jurusan Pada Perguruan Tinggi Agama Islam Tahu 2013 Hal. 04

(5)

jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.5

Untuk pengajuan pendirian PTAI baru dengan bentuk institut bisa ditempuh dengan ketentuan harus mengajukan minimal 6 program studi yang tersebar pada 3 bidang ilmu (fakultas) yang akan dijelaskan kemudian. Institut Agama Islam (IAI) menyelenggarakan 6 fakultas yaitu: a) Fakulta Tarbiyah b) Fakultas Syariah c) Fakultas Adab dan Budaya Islam d) Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama e) Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam f) Fakultas Ekonomi Islam/Syariah Jika pengusul adalah Perguruan Tinggi Umum, maka syarat awal Perguruan Tinggi tersebut harus sudah berstatus Universitas.

Universitas pengusul mengajukan izin penyelenggaraan program studi keagamaan hanya untuk satu bidang ilmu tertentu sebagaimana ditetapkan melalui PMA No. 36 Tahun 2009 tentang Pembidangan Ilmu dan Gelar Akademik pada Perguruan Tinggi Agama Islam. Jika pada universitas sudah diselenggarakan bidang ilmu yang sejenis/serumpun, maka program studi dimaksud dibuka oleh fakultas terkait.

C. Sejarah Institut Agama Islam Negeri

Dalam catatan sejarah, gagasan pendirian lembaga pendidikan Islam telah dimiliki umat Islam sejak zaman Belanda. Diawali oleh Dr. Satiman Wirjosandjojo dengan mendirikan pesantren luhur tahun 1938 namun di akhirnya gagal karena intervensi penjajah Belanda. Tahun 1940 Persatuan Guru Agama Islam di Padang mendirikan Sekolah Islam Tinggi di Sumatera Barat dan bertahan sampai 1942. Beberapa tokoh nasional seperti M. Hatta, M.Natsir, K.H.A. Wahid Hasyim, K.H. Mas Mansur juga mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta Tahun 1945 di bawah pimpinan Abdul Kahar Muzakar.6Masa revolusi kemerdekaan STI pindah ke Jogjakarta karena ibu kota pindah ke sana sampai tahun 1948 akhirnya berganti nama menjadi Universitas Islam Indoneisa (UII) dengan empat fakultas yakni hukum, agama, ekonomi dan pendidikan.7

5 Ibid hal. 06

6 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Jakarta; Rajawali Press, 2010), hal 314-315 7 Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo, Hingga Colombia, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2002), hal.13

(6)

Berdirinya sekolah tinggi Islam juga tidak terlepas dari kebijakan politik atas dua kelompok besar yakni nasionalis dan kelompok Islam. Jamhari menjelaskan bahwa sebagai upaya memenuhi tuntutan kebutuhan pendidikan umat Islam atau mengakomodasi umat, pemerintah mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) dari Fakultas Agama di UII Yogyakarta dijadikan statusnya dengan nama PTAIN bertempat di Jojakarta dan sesuai dengan PP nomor 3 tahun 1950. Ini juga nantinyya jadi cikal bakal IAIN.8

Dalam perjalanan selanjutnya, sebagai upaya isntitusionalisasi pendidikan Islam dan mempersiapkan guru, tokoh dan pimpinan agama didirikan pula ADIA di Jakarta. Ini didirikan sesuai dengan Penetapan Menteri Agama RI No.1 Tahun 1950. Dengan Dekan pertama adalah Mahmud Yunus dan Bustami A. Gani sebagai wakilnya.9 Mahmud Yunus menjelaskan bahwa Akademi Dinas Ilmu Agama didirikan guna mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri akan mencapai ijazah pendidikan semi akademi dan akademi untuk dijadikan ahli didik Agama pada sekolah-sekolah lanjutan (umum/kejuruan/Agama).10

Upaya pemerintah dalam mengintegrasikan sistem perguruan tinggi Islam dan peningkatan mutu pendidikan terwujud dalam penyatuan PTAIN dengan ADIA menjadi satu institusi yakni Institut Agama Islam Negeri “Al-Jami’ah

al-Islamiyah al-Hukumiyah”. Upaya ini terlaksana setelah Presiden RI mengeluarkan

PP No. 11 tahun 1960. Pembentukan ini juga mulai berlaku resmi pada tanggal 9 Mei 1960.11

Dalam peraturan pemerintah tersebut juga menjelasnya tetang tujuan adanya IAIN adalah untuk memperbaiki dan memajukan pendidikan tenaga ahli agama Islam guna keperluan pemerintah dan masyarakat.

Secara formal IAIN diresmikan tanggal 24 Agustus 1960 berdasarkan atas Penetapan Menteri Agama No. 35 tahun 1960, berkedudukan di Jogjakarta dan Prof. Mr. R.H.A Soenarjo sebagai Rektor, Wasil Aziz sebagai Sekretaris Senat,

8 Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.13 9 Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.14 10 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan …, hal.447 11 Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.14

(7)

Prof. T.A. Hasby Ash Shiddieqy sebagai Dekan fakultas Syari’ah, Prof. Dr. Muchtar Yunus sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin, Mahmud Yunus sebagai Dekan Tarbiyah, Bustami A. Gani sebagai Dekan Fakultas Adab.12

Lahirnya Institut Agama Islam Negeri yang berpusat di Jogjakarta dan Fakultas Tarbiyah bertempat di Jakarta belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan akan pendidikan Islam bagi masyarakat nusantara yang notabene muslim. Hingga dibukalah cabang-cabang keilmuan Islam di daerah-daerah luar Jogjakarta dan Jakarta. Namun, semakin besar tuntutan pemenuhan umat Islam, ternyata tidak cukup dengan membuka cabang. Perlunya ada IAIN yang berdiri sendiri di daerah.

Sebagai upaya merespon kebutuhan umat Islam akan pendirian IAIN di daerah, lahirlah peraturan pemerintah No. 27 tahun 1963 yang memberi kesempatan untuk mendirikan IAIN dan terpisah dari pusat. Jakarta mendapat kesempatan pertama untuk mendirikan IAIN. Sehingga IAIN Jakarta adalah yang kedua setelah IAIN Jogjakarta.13

Dalam perjalanan itu pula, berdiri IAIN Ar-Raniry Banda Aceh tanggal 5 Oktober tahun 1964, IAIN Raden Fattah tanggal 22 Oktober 1963, IAIN Antasari Banjarmasin tanggal 22 November 1964, IAIN Sunan AMpel Surabaya tanggal 6 Juli 1965, IAIN Alaudin Ujung pandang 28 Oktober 1965, IAIN Imam Bonjong Padang 21 November 1966, IAIN Sultan Thaha Syaefuddin Jambi tahun 1967.14

Memasuki orde baru, pemerintah melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh Islam dan daerah-daerah yang memiliki semangat mendirikan IAIN. Fakultas yang masih merupakan cabang dari IAIN pusat dipromosikan menjadi IAIN sendiri. Di sini termasuk IAIN Sunan Gunung Djati Bandung tanggal 28 Maret 1968, IAIN Raden Intan lampung tanggal 28 Oktober 1968, IAIN wali Songo Semarang tanggal 1 April 1970 dan IAIN Sultan Syarif Qosim Sumatera Utara tanggal 19 November 1973.15

12 Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.17 13Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.18 14 Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.13 15 Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.18

(8)

Selama satu dekade, jumlah mahasiswa PTAIN semakin banyak. Mahasiswa itu tidak hanya datang dari seluruh tanah air, tetapi juga dari negara tetangga, terutama Malaysia. Berdasarkan perkembangan-perkembangan itu, dan pertimbangan lain yang bersifat akademis, pada 24 Agustus 1960 Presiden mengeluarkan PP No. 11 yang menggabungkan PTAIN dan ADIA dengan nama baru, yaitu Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Sejak saat itulah secara berturut-turut di beberapa wilayah propinsi Indonesia berdiri IAIN sebagai sarana bagi masyarakat Muslim untuk mendapatkan pendidikan tinggi dalam bidang Islam. Hingga saat ini terdapat 14 IAIN dan 35 STAIN yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia

D. Upaya Integrasikan Ilmu Agama dan Sosial “Sains”

Pengembangan IAIN menjadi UIN menandakan sebuah proses kesadaran yang lebih maju. Selama ini IAIN di anggap kampus yang memproduksi guru-guru agama baru, penganti imam masjid, takmir, dan pengisi acara pengajian. Stigma ini tersepsi ketika alumni IAIN tidak berkembang karena ijazah yang di hasilkan adalah tidak memiliki standar yang diminta oleh pasar. Kita tidak bisa pungkiri bahwa, keinginan di setiap kelulusan adalah orientasi mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Pembentukan UIN merupakan bagian dari usaha mengintegrasikan beragam keilmuan untuk mengeliminasi dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. Hal ini dianggap perlu dalam usaha untuk memberikan dasar etika Islam demi pengembangan ilmu dan teknologi dan pada saat yang bersamaan juga berusaha mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam secara profesional di dalam kehidupan sosial.16

Perubahan IAIN menjadi UIN merupakan hasil dan usaha para sarjana Muslim yang lama dan melelahkan dimulai dari adanya Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) dari tahun 1957-1960. Kemudian pada tahun 1960-1963 berubah menjadi salah satu bagian dari fakultas di IAIN Yogyakarta. Akhirnya IAIN Syarif Hidayatullah (yang dimulai tahun 1963) berubah menjadi UIN dengan adanya Keppres No. 31 tahun 2002. Perkembangan dunia pendidikan tinggi Islam

(9)

dengan perubahan beberapa IAIN menjadi UIN, juga dibukanya prodi-prodi umum di IAIN, memunculkan harapan baru bagi munculnya alternatif paradigmatis pengembangan ilmu sosial di Indonesia. Wacana besar integrasi agama dan ilmu pengetahuan segera muncul sebagai tema sentral pengembangan ilmu sosial di IAIN/UIN. Ilmu sosial yang selama ini terlanjur dikembangkan dengan asumsi kuat terpisahnya wilayah agama dan ilmu (diferensiasi), tentu tidak dapat menjawab kebutuhan kita atas paradigma keilmuan yang integratif. Di sisi lain, gagasan semacam paradigma islamisasi ilmu sosial juga masih menyisakan banyak persoalan pelik yang justru dapat menghambat perkembangan ilmu sosial. Karena itu kiranya dibutuhkan paradigma lain yang lebih menjanjikan untuk mengatasi persoalan ini.

E. Perubahan IAIN menjadi UIN

Sejarah panjang perguruan tinggi Islam di Indonesia, dari masa awal pendirian sekolah tinggi Islam, Universitas Islam Indonesia, kemudian yang tadinya fakultas agama di UII dinaikkan statusya menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam, diikuti pendirian Akademi Dinas Ilmu Agama sampai pada penyatuan PTAIN dan ADIA menjadi IAIN.

Munculnya gagasan perkembangan pendidikan tinggi Islam di Indonesia yakni transformasi IAIN menjadi UIN. Ada beberapa alasan yang diidentifikasi atas gagasan tersebut. Pertama, dengan bentuk institut, ruang lingkup hanya sebatas keilmuan dan pengkajian keIslaman saja. Kedua, wawasan mahasiswa dan dosen IAIN terbatas, berbeda halnya dengan universitas umum. Sehingga pengkajian Islam seolah terputus dari persoalan kontemporer yang aktual. Sehingga menuju transformasi lembaga tersebut menjadi harapan yang harus diwujudkan, agar kedua alasan tersebut dapat diselesaikan.17

Gagasan tersebut bukan berarti langsung terwujud, karena tetap saja harus melalui berbagai persyaratan, kesiapan pemenuhan kebutuhan IAIN menjadi UIN dalam berbagai aspek; misalnya kegiatan akademis akan lebih besar

17 Abudin Nata (ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Grasindo, 2001), hal.246-247

(10)

pengelolaannya, lahan yang harus diperluas, kebutuhan tenaga dosen dan pegawai administrasi dan berbagai persiapan lainnya. Sampai awal 1998, terdapat tiga IAIN yang mengajukan proposal yakni IAIN Yogyakarta, Jakarta dan Bandung. 18 Dalam pandangan Azyumardi Azra juga dikatakan (salah satu arsitek penting dalam proyek perubahan IAIN ke UIN) bahwa gagasan dan konsep dasar pengembangan IAIN menuju UIN tak lepas dari beberapa masalah yang dihadapi IAIN dalam perkembangannya selama ini. Pertama, IAIN belum berperan secara optimal dalam dunia akademik, birokrasi dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. IAIN lebih banyak berperan di masyarakat karena dalam konteks dakwah. Kedua, kurikulum IAIN belum mampu merespon perkembangan IPTEK dan perubahan masyarakat yang semakin kompleks.19

Alasan-alasan di atas menjadi bagian dari upaya untuk melakukan perubahan IAIN menjadi UIN, sehingga tidak hanya dominan pada orientasi dakwah akan tetapi juga untuk merespon dan menghadapi masyarakat baru dan semakin kompleks. Dorongan kuat terhadap perubahan ini juga dianggap untuk memperjelas institusi pendidikan Islam, Artinya IAIN dianggap sebagai lembaga dakwah atau lembaga pendidikan tinggi? Seperti halnya disampaikan oleh alm.Prof. Harsya W. Bachtiar (Guru Besar Universitas Indonesia) bahwa agar IAIN mengambil sikap tegas antara sebagai lembaga dakwah atau perguruan tinggi.20

Abuddin Nata mengungkapkan bahwa ada beberapa hal yang melatarbelakangi perlunya konversi IAIN menjadi UIN.

Pertama, perubahan pada jenis pendidikan Madrasah Aliyah. Dulunya

Madrasah adalah sekolah agama, kini madrasah sudah menjadi bagian dari sekolah umum atau sekolah yang berciri khas Islam. Di madrasah sudah terdapat mata pelajaran umum yang dimuat dalam kurikulumnya. Misalnya eksakta, sosial, bahasa dan fisika. Ini berbeda dengan kondisi IAIN yang masih menyediakan sekolah agama. Lulusan madrasah akan merasa kesulitan untuk masuk UIN. Di

18 Abudin Nata (ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan…, h. 247 19Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.23

(11)

samping itu konversi ini juga untuk menyambut tamatan sekolah menengah umum dapat masuk IAIN apabila telah menjadi UIN, karena dapat menyediakan jurusan dan fakultas umum. Perubahan ini juga merupakan misi untuk pemberdayaan masyarakat/umat di masa depan.21

Kedua, adanya dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Masalah

dikotomi ini solusinya adalah program integrasi ilmu pengetahuan antara ilmu agama dan ilmu umum. Dengan anggapan bahwa kalau IAIN hanya menyelenggarakan ilmu-ilmu agama. Ini akan melestarikan dikotomi tersebut.22 Maka dengan ini IAIN harus menjadi UIN untuk dapat mendirikan fakultas-fakultas umum.

Ketiga, perubahan IAIN menjadi UIN merupakan peluang bagi para lulusan

untuk memasuki lapangan kerja yang lebih luas.23 Selama ini, arah lulusan IAIN adalah lembaga pendidikan Islam, kegiatan kegiatan keagamaan, dakwah dan pada tataran departemen agama. Mmaka dengan perubahan menjadi UIN akan lebih meluas lingkup kerja dan eksistensi lulusan IAIN.

Dengan perubahan menjadi UIN juga sebagai upaya konvergensi ilmu umum dan agama, seperti yang diungkapkan oleh Harun Nasution bahwa perubahan IAIN menjadi universitas dirancang untuk menghilangkan dikotomi ilmu pengetahuan.24

Keempat, perubahan IAIN menjadi UIN adalah dalam rangka memberikan

peluang bagi lulusan IAIN untk melakukan mobilitas vertical. Yakni kesempatan gerak dan peran dan memasuki medan yang lebih luas. Lulusan IAIN akan memasuki wilayah dan lingkungan yang lebih luaus, bervariasi dan bergengsi. Perubahan ini juga ingin kembali menaruh harapan umat Islam menjadi pelopor peradaban manusia yng dulu pernah dicapai Islam zaman klasik.25

21 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), cet. 5 hal.56 22 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan…,cet. 5 hal.58

23 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan…., cet. 5 hal.59

24 Kusmana dan Yudi Munadi (ed.), Proses Perubahan IAIN Menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Ciputat: Jakarta UIN Press, 2002), hal.28

(12)

Kelima, perubahan IAIN menjadi UIN juga merupakan tuntutan akan

penyelenggaraan pendidikan yang professional, berkualitas tinggi dan menawarkan banyak pilihan. Apalagi dengan sambutan arus globalisasi yang melahirkan lingkungan persaingan dan kompetisi. Sehingga IAIN dengan menjadi UIN merupakan bagian dari upaya menghadapi tantangan dan menangkap peluang.

Gagasan menuju universitas bukan tidak menghadapi tantangan ataupun pro kontra di kalangan muslim maupun para tokoh Islam. Tantangan permasalahan bukan tidak ada, akan tetapi semenjak ide perubahan lembaga tersebut disuarakan banyak menuai kritikan dan pertanyaan. Menurut Abuddin Nata bahwa ada beberapa permasalahan yang muncul baik itu terkait dengan legal formal, kelembagaan, filosofis, histori, psikologis dan bahkan politis. 26

Ia menjelaskan bahwa dari segi legalitas, penambahan fakultas-fakultas umum atau non agama akan terbendung dengan PP No. 60 Tahun 1999, ada yang ditekankan dalam peraturan tersebut yakni institut. Istititut yang dijelaskan dalam peraturan tersebut adalah lembaga pendidikan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan dalam satu kelompok bidang studi tertentu, seperti kelompok bidang studi agama saja, hukum saja, pertanian saja dan seterusnya. Masalah berikutnya adalah kelembagaan, setelah perubahan IAIN menjadi Universitas apakah kelembagaannya berada di bawah naungan departemen Agama atau berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Persoalan lain yang muncul adalah latar belakang filosofis-historis. Di mana IAIN memiliki akar filosofis visi dakwah dan pengkajian keIslaman. Adanya kekhawatiran tokoh Islam akan dihapuskannya hasil perjuangan pendahulu mereka atas IAIN. Sisi lain juga ada masalah yang timbul dengan perubahan IAIN menjadi UIN yakni masalah yang bersifat politik. Di mana berdirinya IAIN tidak terlepas dari bentuk akomodir dan penghargaan pemerintah atas peran dan kontribusi umat Islam dalam perjuangan bangsa ini.27

26 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan…, hal. 62 27 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan…, hal. 64

(13)

Beberapa tokoh lain menanggapi secara beragam ketika ide IAIN menjadi UIN. Misalnya saja mantan menteri Agama Munawir Syazali. Menurutnya pendirian IAIN adalah untuk menciptakan sarjana Agama. Maka apabila ada perubahan lembaga, ia tidak tahu apa arah perubahan tersebut. Bila alasan Islamisasi ilmu, bukannya ilmu pengetahun bersifat netral. Karenanya tidak perlu Islamisasi. Munawir Syazali juga mempertanyakan apakah setelah perubahan lembaga tersebut menghasilkan output yang semakin baik. Ia juga membandingkan kualitas mahasiswa IAIN juga masih kurang.28

Selain itu juga gagasan transformasi tersebut dikomentari senada oleh KH. Ma’ruf Amien (Ketua Syuriah PBNU). Ia juga tidak setuju dengan adanya perubahan IAIN menjadi UIN Menurutnya IAIN tetap saja focus pada pendidikan khusus masalah agama. Lain halnya pendapat yang di sampaikan oleh Din Syamsuddin dan Tutti Alawiyah bahwa IAIN sudah waktunya berubah menjadi UIN, karena untuk menangkap tantangan dan peluang di masa yang akan datang.29

Dalam perjalanannya, transformasi perguruan tinggi Islam menjadi Universitas juga tidak dapat dihindari, apalagi setelah berhasilnya IAIN Jakarta dan Jogjakarta menjadi UIN. Disusul dengan IAIN di daerah lain. Seperti UIN Bandung, UIN Malang, UIN Alaudin Makasar.

Perubahan tersebut juga tidak terlepas dari harapan untuk menjawab tantangan dan peluang yang dihadapi perguruan tinggi Islam di Indonesia. Beberapa tanggapan di atas dan permasalahan di atas, setidaknya dapat diatasi apabila setiap IAIN memilki kesungguhan dan itikat baik untuk menjawab perubahan tersebut. Perubahan menjadi UIN adalah salah satunya untuk memperluas peluang dan kesempatan lulusan UIN dalam dunia global. Dalam aspek keilmuan, bahwa sudah pantas kalau perubahan UIN adalah upaya Islamisasi ilmu pengetahuan, integrasi ilmu umum dan agama. Ditambahkan oleh Din Syamsudin bahwa, dengan perubahan menjadi UIN adalah upaya perguruan

(14)

tinggi Islam dalam mengintegrasikan nilai Islam dan etika dalam ilmu pengetahuan.30

DAFTAR PUSTAKA

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008)

Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Jakarta; Rajawali Press, 2010

Nata, Abuddin (et.al.), Dari Ciputat, Cairo, Hingga Colombia, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2002)

____________ (ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga

Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Grasindo, 2001)

____________, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010) Kusmana dan Munadi, Yudi (ed.), Proses Perubahan IAIN Menjadi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, (Ciputat: Jakarta UIN Press, 2002

Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor: 3389 Tahun 2013 Tentang Penamaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Fakultas Dan Jurusan Pada Perguruan Tinggi Agama Islam Tahu 2013

Haidar Putra Daulay. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di

Indonesia. Kencana Prenada Media Group. Jakarta 2007

Undang-undang republik indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, (jakarta: departemen pendidikan nasional, tahun 2003)

Azyumardi Azra. Islam Substantif Agar Islam Tidak Jadi Buih. Bandung. 2000

Amin Abdullah, Pengembangan Kajian Ke-Islaman; Metode dan Pengdekatan Program Pascasarjana UIN/IAIN/STAI (Makalah di sampaikan IAIN Imam Bonjol Padang, 26-28 Desember 2008).

Prof. Dr. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi. Pendekatan Integratif-Interkonektif, Pustaka Pelajar Jogjakarta.

Referensi

Dokumen terkait

P : Pada tahapan plan Bapak dan guru lain peserta lesson study berdiskusi dalam membuat perencanaan pembelajaran seperti menentukan indikator dari kompetensi

Kerja reproduktif adalah kegiatan yang tidak langsung menghasilkan pendapatan baik berupa uang atau barang akan tetapi kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan

Dimana pun kita berada kita bisa dengan mudah untuk mencetak tugas dan lain sebagainya dengan menggunakan printer portabel, salah satu printer portable adalah HP Officejet

dibebankan. Perhitungan untuk biaya dibebankan kepada konsumen dihitung sebesar 60% dari total biaya seluruhnya, dengan alasan perhitungan SPP ini dimaksudkan untuk

Dari manajemen berbasis aktivitas dapat dilakukan analisis aktivitas bernilai tambah (value-added) dan tidak bernilai tambah (non-value-added).. Dari analisis ini

Hasil penelitian efektivitas dari segi penyelesaian SP2 pada tahun 2011 dan 2012 masuk dalam kategori tidak efektif dengan presentase yang sama 51%, sedangkan tahun 2013

Maka dari itu pembudidayaan kerang darah sangat sesuai untuk dibudidayakan ditambak sebagai alternatif pada saat musim kemarau karena tingginya daya adaptasi

Tabel 2 menunjukkan bahwa untuk aspek penilaian keterampilan berpikir kritis mengidentifikasi alasan yang dinyatakan, menyebutkan contoh , dan memberi suatu alasan