• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kapsul

Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam cangkang atau wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin lunak atau keras. Kebanyakan kapsul-kapsul yang diedarkan di pasaran adalah kapsul yang semuanya dapat ditelan oleh pasien, untuk keuntungan dalam pengobatan. Kapsul gelatin yang keras merupakan jenis yang digunakan oleh ahli farmasi masyarakat dalam menggabungkan obat-obat secara mendadak dan di lingkungan para pembuat sediaan farmasi dalam memproduksi kapsul pada umumnya (Ansel, 2008).

Ada dua tipe kapsul, keras dan lunak. Kapsul lunak terdiri dari cangkang padat lentur yang mengandung serbuk, cairan non-aqueous, larutan, emulsi, suspensi, atau pasta. Beberapa kapsul mengandung cairan diberikan dalam bentuk sediaan bentuk padat, contoh minyak ikan cod. Kapsul ini dibentuk, diisi dan ditutup dalam satu proses produksi. Cangkang kapsul keras digunakan dalam pengolahan sebagian besar pembuatan kapsul dan peracikan kapsul. Cangkang terbagi dua, badan dan tutup, keduanya berbentuk silinder dan dapat ditutup pada ujungnya. Serbuk dan partikulat padat, seperti granul dan pelet, ditempatkan dalam badan dan kapsul ditutup dengan menyatukan badan dan tutup secara bersamaan (Winfield, et al., 2009).

(2)

7

Ukuran cangkang kapsul yang sesuai harus dipilih untuk membuat sediaan kapsul penuh. Cangkang kapsul keras tersedia dalam delapan ukuran. Berat jenis campuran serbuk akan mempengaruhi pemilihan ukuran kapsul. Delapan ukuran kapsul beserta taksiran kapasitas (berdasarkan penambahan laktosa) dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Ukuran kapsul beserta taksiran kapasitas (berdasarkan penambahan laktosa)

No. Kapsul 000 00 0 1 2 3 4 5

Kandungan (mg) 950 650 450 300 250 200 150 100

Sebagian besar bahan yang digunakan untuk mengisi kapsul adalah dalam bentuk serbuk. Biasanya merupakan campuran dari bahan aktif bersama dengan kombinasi dari jenis bahan tambahan yang berbeda. Jenis bahan tambahan yang biasanya digunakan dalam pengisi serbuk kapsul antara lain:

• Diluen,

• Lubrikan, menurunkan daya lekat serbuk terhadap alat • Glidan, meningkatkan aliran serbuk

• Agen pembasah, meningkatkan penetrasi air

• Desintegran, menghasilkan perpecahan massa serbuk • Stabilizer, meningkatkan stabilitas produk

Bahan aktif dengan dosis rendah dapat dirancang untuk mengalir baik dengan mencampurkan bahan aktif dengan diluen yang mudah mengalir seperti laktosa, dan mikrokristalin selulosa. Saat ruang terbatas dapat ditambahkan glidan yang dapat menurunkan pergesekan antar partikulat, seperti silikon dioksida

(3)

8

koloidal, atau lubrikan yang dapat menghasilkan fungsi alat pengisi yang lebih efisien seperti magnesium stearat (Aulton, 2007).

2.2 Gastroretentive Drug Delivery System

Sistem penghantaran obat yang tertahan di lambung atau Gastroretentive Drug Delivery System (GRDDS) merupakan bentuk sediaan yang dapat tetap berada di lambung selama beberapa jam sehingga secara signifikan memperpanjang waktu tinggal obat di lambung. Peningkatan waktu retensi lambung meningkatkan bioavailabilitas, mengurangi limbah obat, dan meningkatkan kelarutan obat yang kurang larut dalam lingkungan pH tinggi. Hal ini juga cocok untuk pengiriman obat lokal untuk perut dan bagian proksimal dari usus kecil. Adapun metode untuk membuat sediaan tinggal di lambung adalah:

- Penggunaan bentuk sediaan yang memiliki berat jenis yang lebih rendah dari cairan lambung sehingga menghasilkan daya apung dalam cairan lambung. - Penggunaan bahan yang berat jenisnya tinggi: bahan dengan berat jenis tinggi

(˃2.5g/cm3) akan mempunyai waktu tinggal yang lama di saluran cerna. Hal ini dapat dicapai dengan penambahan bahan seperti barium sulfat.

- Sistem bioadhesi, sistem yang mempunyai daya lekat terhadap mukosa lambung.

- Pemberian obat atau bahan bahan tambahan farmasi yang memperlambat motilitas saluran cerna.

- Sistem ekspansi dengan pembengkakan atau pengembangan ke ukuran yang lebih besar sehingga membatasi kemampuan pengosongan dari sistem untuk melewati sphincter pilorus (Garg dan Gupta, 2008).

(4)

9 2.3 Floating Drug Delivery System

Sistem penghantaran obat terapung atau Floating Drug Delivery System (FDDS) memiliki berat jenis yang lebih rendah dibandingkan dengan cairan lambung sehingga mengapung dalam lambung tanpa dipengaruhi waktu pengosongan lambung dengan waktu yang diperpanjang. Ketika sistem terapung dalam kandungan lambung, obat secara perlahan terlepas dengan laju yang diinginkan. Setelah lepasnya obat, sistem yang tersisa dikosongkan dari lambung. Kondisi ini menghasilkan peningkatan waktu pengosongan lambung dan pengendalian yang lebih baik terhadap fluktuasi kadar obat dalam plasma (Mishra & Gupta, 2012).

2.3.1 Pembagian sistem floating

Sistem penghantaran floating dibagi berdasarkan pada variabel formulasinya: effervescent dan sistem non-effervescent.

(5)

10

2.3.2 Bentuk sediaan floating non-effervescent

Sistem non-effervescent ini bekerja dengan mekanisme pengembangan polimer, bioadhesif dari polimer pada lapisan mukosa saluran pencernaan. Pada umumnya dalam formulasi sistem non-effervescent ini menggunakan bahan yang mampu membentuk gel atau memiliki kemampuan mengembang yang baik seperti senyawa hidrokoloid, polisakarida. Biasanya juga digunakan bentuk matriks dari polimer seperti polimetakrilat, poliakrilat, polistiren, dan bioadhesif polimer yaitu kitosan dan karbopol (Goyal, et al., 2011).

2.3.3 Bentuk sediaan floating effervescent

Sistem ini dibuat dalam bentuk matriks dengan menggunakan polimer yang dapat mengembang seperti HPMC, kitosan, senyawa polisakarida lain, dan berbagai komponen effervescent seperti natrium bikarbonat, kalsium karbonat, asam sitrat atau asam tartrat. Sediaan ini dirancang sedemikian rupa, sehingga ketika kontak dengan cairan lambung, gas karbondioksida (CO2) akan terlepas

dan terperangkap dalam sistem hidrokoloid yang mengembang. Hal ini menyebabkan sediaan mengapung (Goyal, et al., 2011).

2.3.4 Keuntungan Floating Drug Delivery System

Keuntungan Floating Drug Delivery System ini meliputi:

a) Menguntungkan untuk obat yang dimaksudkan untuk aksi lokal di lambung misalnya: Antasida.

b) Menguntungkan untuk menjaga obat dalam kondisi mengapung di lambung ketika gerakan usus kuat dan ketika diare sehingga menghasilkan respon yang relatif lebih baik.

(6)

11

c) Zat yang bersifat asam seperti aspirin dapat mengiritasi lambung ketika bersentuhan dengan dinding lambung. Oleh karena itu, formulasi FDDS mungkin berguna untuk pemberian aspirin dan obat-obatan lain dengan sifat yang sama.

d) Menguntungkan untuk obat-obat diserap di lambung misalnya: garam ferro, Antasida.

e) Meningkatan penyerapan obat, karena terjadi peningkatan waktu tinggal di lambung dan peningkatan waktu kontak obat dengan daerah penyerapan (Arunachalam, et al., 2011).

2.3.5 Kerugian Floating Drug Delivery System

Kerugian Floating Drug Delivery System meliputi:

a) Sistem floating tidak sesuai untuk obat-obat yang memiliki masalah kelarutan atau stabilitas pada cairan lambung.

b) Obat-obatan seperti nifedipine yang diserap di seluruh saluran pencernaan dan yang menjalani metabolisme lintas pertama tidak sesuai sebagai kandidat FDDS karena pengosongan lambung yang diperlama dapat menyebabkan penurunan bioavailabilitas sistemik.

c) Keterbatasan penerapan FDDS untuk obat yang mengiritasi mukosa lambung.

d) Salah satu kelemahan dari sistem floating adalah sistem ini membutuhkan jumlah cairan yang cukup banyak di lambung, sehingga bentuk sediaan obat dapat terapung dan bekerja secara efisien dalam cairan lambung. e) Retensi lambung dipengaruhi oleh banyak faktor seperti makanan, pH dan

(7)

12 2.4 Ranitidin HCl

2.4.1 Uraian bahan

Gambar 2.2 Struktur ranitidin HCl

Rumus Molekul : C13H22N4O3S.HCl

Nama Kimia : N-{2-{{{5-{(Dimetilamino)metil}-2-furanil}metil}tio}etil}-N’-metil-2-nitro- 1,1-etenadiamina, hidroklorida

Berat Molekul : 350,87

Pemerian : Serbuk hablur; putih sampai kuning pucat; praktis tidak berbau; peka terhadap cahaya dan kelembaban. Melebur pada suhu lebih kurang 140o, disertai peruraian.

Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air; cukup larut dalam etanol dan sukar larut dalam kloroform (Ditjen POM, 1995).

2.4.2 Mekanisme Kerja

Ranitidin HCl menghambat produksi asam dengan cara berkompetisi secara reversibel dengan histamin untuk berikatan dengan reseptor H2 pada

membran basolateral sel-sel parietal (Goodman dan Gillman, 2007). 2.4.3 Farmakokinetik

Ranitidin HCl yang merupakan antagonis reseptor-H2 diabsorpsi dengan

cepat setelah pemberian oral, dengan konsentrasi puncak dalam serum dapat dicapai 1 sampai 3 jam. Berbeda dengan pompa proton, hanya sebagian kecil

(8)

13

antagonis reseptor-H2 yang berikatan dengan protein. Sejumlah kecil obat

mengalami metabolisme di hati. Baik produk yang dimetabolisme maupun yang tidak dimetabolisme akan disekresikan oleh ginjal dengan cara filtrasi dan sekresi tubular renal (Goodman dan Gillman, 2007).

2.4.4 Kegunaan

Ranitidin HCl digunakan untuk pengobatan tukak lambung dan tukak duodenum, refluks esofagitis, dyspepsia episodic kronis, tukak akibat AINS, tukak duodenum akibat H.pylori, sindrom Zollinger Ellison, kondisi lain dimana pengurangan asam lambung akan bermanfaat (Sukandar, et al., 2008).

2.4.5 Efek Samping

Secara keseluruhan insidensi reaksi merugikan yang timbul akibat pemakaian antagonis reseptor-H2 adalah rendah (<3%). Efek samping yang

umumnya ringan meliputi diare, sakit kepala, mengantuk, kelelahan, nyeri otot, dan konstipasi. Ranitidin hanya memiliki 10% efek relatif terhadap aktifitas sitokrom P450 sehingga memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan simetidin. Ginekomastia pada pria dan galaktorea pada wanita dapat muncul akibat ikatan simetidin pada reseptor androgen dan penghambatan hidroksilasi estradiol yang dikatalisasi oleh sitokrom P450 (Goodman dan Gillman, 2007). 2.4.6 Dosis

Dosis Ranitidin HCl adalah 150 mg 2 kali sehari (pagi dan malam) atau 300 mg sebelum tidur malam (Sukandar, et al., 2008).

2.5 Alginat

Alginat merupakan polimer yang banyak terdapat pada ganggang cokelat (Phaeophcyceae) dan melimpah di alam dan sebagai kapsul polisakarida pada

(9)

14

bakteri. Alginat adalah kopolimer yang tersusun dari α-L-Guluronat dan β-D-Mannuronat. Alginat komersil umumnya diproduksi dari Laminaria hyperborean, Macrocystis pyrifera, Laminaria digitata, Ascophyllum nodosum, Laminaria japonica, Edonia maxima, Lessonia nigrescens, Durvillea Antarctica, dan Sargassum sp (Draget, et al., 2005).

Tabel 2.2 Perbandingan asam uronat dalam berbagai spesies alga yang ditentukan dengan spektroskopi NMR high-field (Draget, et al., 2005).

Jenis FG FM FGG FMM FGM,MG

Laminaria japonica Laminaria digitata

Laminaria hyperborea, blade Laminaria hyperborea, stipe

Laminaria hyperborean, outer cortex Lessonia nigerescens

Ecklonia maxima Macrocystis pyrifera Durviella antarctia

Ascophyllum nodosum, fruiting body Ascophyllum nodosum, old tissue

0,35 0,41 0,55 0,68 0,75 0,38 0,45 0,39 0,29 0,10 0,36 0,65 0,59 0,45 0,32 0,25 0,62 0,55 0,61 0,71 0,90 0,64 0,18 0,25 0,38 0,56 0,66 0,19 0,22 0,16 0,15 0,04 0,16 0,48 0,43 0,28 0,20 0,16 0,43 0,32 0,38 0,57 0,84 0,44 0,17 0,16 0,17 0,12 0,09 0,19 0,32 0,23 0,14 0,06 0,20

Perbandingan yang bervariasi dari asam uronat menyebabkan perbedaan sifat produk yang dihasilkan. Alginat yang mengandung asam guluronat yang lebih tinggi dibandingkan asam mannuronat cenderung mempunyai struktur yang kaku (rigid) serta mempunyai porositas yang besar, sedangkan yang mengandung

(10)

15

asam mannuronat yang lebih tinggi dibandingkan asam guluronat mempunyai struktur yang tidak kaku atau lebih fleksibel (Draget, et al., 2005).

2.5.1 Struktur kimia

Alginat termasuk dalam kopolimer yang tidak bercabang, alginat tersusun dari (1→4) β-D-mannuronat (M) dan α-L-guluronat (G). Melalui hidrolisis parsial dengan asam klorida, alginat dapat dibagi menjadi tiga fraksi. Dua dari fraksinya adalah berupa homopolimer yang terdiri dari molekul asam guluronat (G) dan asam mannuronat (M), dan fraksi ketiga terdiri dari gabungan asam mannuronat dan asam guluronat dengan jumlah yang sama. Dari sini dapat disimpulkan bahwa alginat terdiri dari homopolimer M dan G serta bagian MG yang mempunyai gugus sama (Draget, et al., 2005).

Gambar 2.3 Struktur kimia alginat a. Monomer alginat b. Konformasi alginat c. Distribusi monomer

(11)

16 2.5.2 Sifat alginat

Kelarutan alginat dalam air ditentukan oleh tiga parameter, yaitu:

• pH pelarut merupakan parameter penting karena akan menentukan adanya muatan elektrostatik pada residu asam uronat

• Kekuatan ionik total zat terlarut juga memainkan peranan penting (efek salting out kation-kation non gelling), dan

• Kandungan dari ion-ion pembentuk gel dalam pelarut membatasi kelarutan (Draget, et al., 2005).

Alginat secara luas digunakan pada pambuatan produk makanan dan sediaan farmasi oral maupun topikal. Alginat dipilih karena sifatnya yang non toksik dan juga tidak mengiritasi. Pada pembuatan tablet dan kapsul, alginat digunakan sebagai pengikat dan bahan desintegran pada konsentrasi 1-5% w/w. Alginat juga banyak digunakan sebagai bahan pengental dan suspending agent pada pembuatan pasta, krim, gel, dan juga sebagai stabilizing agent pada pembuatan emulsi minyak dalam air (Rowe, et al., 2009).

2.6 Eudragit

Eudragit merupakan produk dagang dari Rohm GmbH & Co. KG, Darmstadt di German yang pertama kali dipasarkan tahun 1950. Eudragit dibuat dengan polimerisasi asam akrilat dan asam metakrilat atau esternya seperti butyl ester atau dimethylaminoethyl ester (Nikam, et al., 2011).

Eudragit merupakan polimer kation dan anion sintetik dari dimetilaminoetil metakrilat, asam metakrilat dan ester asam metakrilat dalam perbandingan yang berbeda-beda.

(12)

17 Eudragit E R1, R3= CH3 R2= H R4=CH3 Eudagit FS R1= H R2= H, CH3 R3=CH3 R4=CH3

Eudragit RL dan Eudragit RS R1=H, CH3

R2=CH3, C2H5

R3=CH3

R4= CH2CH2N(CH3)3+Cl-

Eudragit NE 30 D dan Eudragit NE 40 D

R1, R3= H, CH3

R2, R4= CH3, C2H5

Gambar 2.4 Gambar struktur Eudragit (Rowe, et al.,2009)

Eudragit biasanya digunakan dalam penyalutan film kapsul dan tablet. Film dengan karakteristik kelarutan yang berbeda dapat dihasilkan, tergantung dari jenis polimer yang digunakan. Keterangan dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Salah satu aplikasi penggunaan Eudragit yaitu dalam pembuatan sediaan

gastroretentive. Pembuatan sediaan gastroretentive didasarkan pada pendekatan seperti pendekatan berat jenis sediaan yang rendah sehingga sediaan dapat mengapung dalam cairan lambung, mempunyai berat jenis sediaan yang tinggi sehingga sediaan dapat tertahan di bagian bawah lambung, bioadhesi terhadap mukosa, membesar atau mengembang di dalam saluran cerna (lambung) sehingga tidak akan dapat melewati sphinkter pylorus. Semua teknik tersebut dapat kita capai dengan menggunakan Eudragit yang berbeda-beda (Nikam, et al., 2011).

(13)

18 Tabel 2.3 Jenis dan pemerian dari Eudragit

Nama Bentuk Pelarut yang Direkomendasikan Kelarutan / Permeabilitas Aplikasi Eudragit E 12,5 Eudragit E 100 Eudragit E PO Eudragit L 12,5 P Eudragit L 12,5 Eudragit L 100 Eudragit L 100-55 Eudragit L 30 D-55 Eudragit RL 12,5 Eudragit RL 100 Eudragit RL PO Eudragit RL 30 D Eudragit RS 12,5 Eudragit RS 100 Eudragit RS PO Eudragit RS 30 D Larutan Organik Granul Serbuk Larutan Organik Larutan Organik Serbuk Serbuk Larutan Dispersi Larutan organik Granul Serbuk Larutan dispersi Larutan organik Granul Serbuk Larutan Dispersi Aseton, alkohol Aseton, alkohol Aseton, alkohol Aseton, alkohol Aseton, alkohol Aseton, alkohol Aseton, alkohol Air Aseton, alkohol Aseton, alkohol Aseton, alkohol Air Aseton, alkohol Aseton, alkohol Aseton, alkohol Air Larut dalam cairan lambung sampai pH 5 Larut dalam cairan pencernaan sampai pH 6 Larut dalam cairan lambung sampai pH 5,5 Permeabilitas tinggi Permeabilitas tinggi Permeabilitas tinggi Permeabilitas tinggi Permeabilitas rendah Permeabilitas rendah Permeabilitas rendah Permeabilitas rendah Film Coating Film Coating Film Coating Salut Enterik Salut Enterik Salut Enterik Salut Enterik Salut Enterik Sustained release Sustained release Sustained release Sustained release Sustained release Sustained release Sustained release Sustained release 2.7 Disolusi

Disolusi merupakan tahapan yang membatasi atau tahap yang mengontrol laju bioabsorpsi obat-obat yang mempunyai kelarutan rendah, karena tahapan ini merupakan tahapan yang paling lambat dan berbagai tahapan yang ada dalam

(14)

19

tahapan pelepasan obat dari bentuk sediaanya dan perjalanannya ke dalam sirkulasi sistemik.

Laju dimana suatu padatan melarut didalam suatu pelarut dapat dihitung dengan persamaan:

atau

Keterangan:

M: Massa zat terlarut D: Koefisien difusi dari zat terlarut Cs: Kelarutan zat padat S: Luas permukaan kontak

C: Konsentrasi zat terlarut h: Ketebalan lapisan difusi V: Volume larutan

Dalam teori disolusi dianggap bahwa lapisan difusi air atau lapisan cairan stagnan dengan ketebalan h ada pada permukaan zat padat yang sedang terdisolusi. Ketebalan h ini menyatakan lapisan pelarut stasioner dimana molekul-molekul zat terlarut berada dalam konsentrasi dari Cs sampai C. Di belakang lapisan difusi statis tersebut, pada harga x yang lebih besar dari h, terjadi percampuran dalam larutan, dan obat terdapat pada konsentrasi yang sama C, pada seluruh fase bulk (Martin, et al., 1993).

(15)

20

2.7.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi 1. Faktor fisikokimia dari obat

a. Kelarutan obat

Kelarutan obat dalam air adalah faktor yang sangat menentukan laju disolusi dari suatu sediaan. Semakin tinggi kelarutan maka akan semakin tinggi pula laju disolusi.

b. Ukuran partikel obat

Peningkatan laju disolusi dapat dicapai dengan cara pengurangan ukuran partikel, dimana dengan pengurangan ukuran partikel sediaan akan meningkatkan luas permukaan sediaan yang kontak dengan larutan sehingga akan meningkatkan laju disolusi.

c. Bentuk kristal obat

Sediaan padat memiliki berbagai karakteristik bentuk seperti amorf, kristal, hidrat dan polimorf yang juga sangat berpengaruh terhadap laju disolusi. Sebagai contoh bentuk amorf dari novobiocin mempunyai kelarutan yang lebih besar dan laju disolusi yang lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk kristalnya.

2. Faktor yang berhubungan dengan bentuk sediaan obat a. Faktor formulasi

Laju disolusi obat murni dapat dipengaruhi secara signifikan dengan penambahan bahan tambahan selama proses produksi pada pembuatan sediaan padat.

(16)

21 b. Diluen dan desintegran

Peningkatan konsentrasi desintegran (pati dari 5%-20%) menghasilkan peningkatan laju disolusi. Penambahan bahan yang bersifat hidrofobik akan menurunkan kontak luas permukaan obat sedangkan dengan penambahan bahan hidrofilik akan meningkatkan kontak luas permukaan sehingga akan meningkatkan laju disolusi dari obat.

c. Efek bahan pengikat dan bahan penggranulasi

Perbedaan bahan pengikat yang digunakan pada pembuatan tablet akan menghasilkan profil disolusi yang berbeda pula. Granulasi basah adalah yang paling umum digunakan untuk meningkatkan laju disolusi dari bahan obat yang kurang larut dengan cara pemasukan bahan hidrofilik ke permukaan granul.

3. Faktor faktor yang berhubungan uji disolusi a. Suhu

Kelarutan obat sangat tergantung pada suhu. Oleh karena itu, suhu harus dijaga ketat selama disolusi dan dijaga perbedaannya tidak lebih dari 0,5o. Pada umumnya, suhu disolusi dijaga 37oC selama disolusi.

b. pH medium disolusi

Pada umumnya dalam penelitian digunakan medium berupa 0,1 N HCl atau larutan buffer yang pH-nya disesuaikan dengan pH cairan lambung (pH 1,2).

c. Tegangan permukaan medium disolusi

Tegangan permukaan medium menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap laju disolusi dari obat dan laju pelepasan dari sediaan padat.

(17)

22 d. Viskositas medium disolusi

Semakin tinggi viskositas medium, semakin kecil laju disolusi bahan obat (Gennaro, 2000).

2.7.2 Metode disolusi

United States Pharmacopeia (USP) XXX memberi beberapa metode resmi untuk melaksanakan uji pelarutan yaitu:

a. Metode Keranjang

Metode keranjang menggunakan bejana yang dibuat dari gelas atau bahan yang inert, dan transparan dan silinder berbentuk keranjang. Bejana disolusi dimasukkan ke dalam penangas air yang cocok dan dengan ukuran yang tepat atau dipanaskan dengan alat yang cocok seperti jaket pemanas. Penangas air atau alat pemanas diatur sedemikian rupa sehingga suhu pada bejana dapat dijaga 37±0,5oC sepanjang pengujian dan dijaga suhu tetap konstan. Kecepatan pengadukan didasarkan pada kecepatan putaran batang penyangga dimana harus dijaga dengan teliti sesuai dengan monografi dari obatnya dengan deviasi ±4%.

b. Metode Dayung

Menggunakan alat yang sama seperti alat 1 (metode keranjang), kecuali keranjang yang ada pada alat 1 diganti dengan dayung sebagai pengaduk. Batang penyangga diatur sedemikian rupa supaya jaraknya dari pusat tidak lebih dari 2 mm dari poros vertikal dari bejana dan berputar secara halus sehingga tidak ada pengaruh signifikan yang dapat mempengaruhi hasil pengujian. Jarak antara dasar dayung dengan sampel (dasar labu) selama pengujian berada pada rentang 25±2 mm dan dijaga tetap konstan.

(18)

23 c. Metode Disintegrasi yang Dimodifikasi

Metode ini dasarnya memakai disintegrasi USP “Basket and Rack” dirakit untuk uji pelarutan. Bila alat ini dipakai untuk uji pelarutan maka cakram dihilangkan. Saringan keranjang juga diubah sehingga selama pelarutan partikel tidak akan jatuh melalui saringan. Metode ini jarang digunakan dan dimasukkan dalam USP untuk suatu formulasi obat lama. Jumlah pengadukan dan getaran membuat metode ini kurang sesuai untuk uji pelarutan yang tepat (Shargel dan Andrew, 1988).

Gambar

Gambar 2.1 Mekanisme sistem floating
Tabel 2.2 Perbandingan asam uronat dalam berbagai spesies alga yang ditentukan  dengan spektroskopi NMR high-field (Draget, et al., 2005)
Gambar 2.3 Struktur kimia alginat   a. Monomer alginat   b. Konformasi alginat    c. Distribusi monomer
Gambar 2.4  Gambar struktur Eudragit (Rowe, et al.,2009)
+2

Referensi

Dokumen terkait

(1) Apabila Wajib Retribusi tidak membayar atau kurang membayar retribusi yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), Bupati atau Pejabat

Rumah Sakit Umum Daerah sebagai Unit Pelaksana Teknis Daerah Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul perlu dioptimalkan fungsinya dengan menetapkan RSUD sebagai Unit

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan limpahan rahmat dan karuniaNya, penulis dapat merampungkan penulisan tesis ini, yang berjudul “Tinjauan

Di dalam penggunaannya dalam membangun suatu aplikasi (Irmayani, 2010), hasil diagnosa seorang pasien dari aplikasi yang telah dihitung menggunakan metode Certainty Factor

No text of specified style in document..42 Halaman Form Menambah Dimensi Proses Berikut adalah beberapa potongan source code untuk menambah pada halaman form dimensi

Bila dilihat dari segi penggunaan, jadwal salat sepanjang masa Abu Muhammad Isa masih bisa digunakan hanya untuk wilayah Aceh Utara saja, mengingat hasil jadwal salat Abu

Matakuliah iptek kulit dan hasil ikutan ternak pada variabel perencanan mempunyai nilai rata-rata dari perhitungan kuesioner 3.78, variabel media dan interaksi mempunyai

setelah dilakukan penjadwalan produksi dengan metode yang tepat ternyata masih terjadi keterlambatan pemenuhan pesanan, maka perusahaan perlu mempertimbangkan penambahan