• Tidak ada hasil yang ditemukan

COP 22 Marakesh Saatnya Indonesia Memperkuat Komitmen Penurunan Emisi GRK, Mempertegas Dukungan terhadap Wilayah Kelola Rakyat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "COP 22 Marakesh Saatnya Indonesia Memperkuat Komitmen Penurunan Emisi GRK, Mempertegas Dukungan terhadap Wilayah Kelola Rakyat"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Kertas Posisi

COP 22 Marakesh

Saatnya Indonesia Memperkuat Komitmen Penurunan Emisi GRK, Mempertegas Dukungan terhadap Wilayah Kelola Rakyat

Pendahuluan

Tahun 2015 yang lalu, kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan telah merugikan Rakyat Indonesia di berbagai tempat. Dampak dari model tatakelola sumberdaya alam yang buruk, terutama dalam tatakelola lahan konsesi-konsesi Perkebunan Kelapa Sawit Skala Besar dan Kebun-kebun Kayu untuk bahan baku pulp dan kertas tersebut memperlihatkan dengan gamblang bahwa pembangunan yang ramah lingkungan dan rendah emisi gas rumah kaca memunculkan kesan komitmen tersebut hanya menjadi jargon saja.

Berbagai upaya di level global untuk mengatasi dampak perubahan iklim dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) juga terus dilakukan. Negara-negara Eropa berupaya beradaptasi dengan merencanakan pengembangan pemakaian biofuel di Eropa. Hal ini memicu permasalahan tersendiri di negara-negara berlahan luas dan cocok untuk pengembangan komoditas biofuel. Di Indonesia kecenderungan ini akan memicu ekspansi lebih lanjut perkebunan besar kelapa sawit. Kecenderungan global ini seakan bertemu dengan ambisi pemerintah dan industri minyak sawit Indonesia untuk menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil minyak sawit nomor satu di dunia.

Di sektor industri pulp dan kertas, ambisi pemerintah Indonesia untuk menjadikan Indonesia produsen nomor 3 terbesar pulp dunia juga dipicu oleh melemahnya industri ini di Amerika Serikat dan Eropa. Sampai tahun 2025 pemerintah Indonesia memproyeksikan perluasan perkebunan kayu pulp hingga 21 juta hektar.

Seluruh perkembangan pertumbuhan ekonomi global tersebut secara langsung akan mempengaruhi kebijakan Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim.

(2)

Disisi lainnya, negosiasi Perubahan Iklim yang berlangsung di Paris pada tanggal 30 November—11 Desember 2015 lalu adalah salah satu momen penting untuk komitmen dan adanya kesepakatan baru dalam hal mengurangi emisi GRK yang memicu terjadinya perubahan iklim. Kesepakatan baru ini diharapkan dapat merangkul 196 negara yang tergabung dalam United Nations Framework on Climate Change Convention (UNFCCC) untuk bersama-sama berbagi upaya (sharing the effort) dalam berkontribusi pada pencapaian tujuan tertinggi konvensi, yaitu untuk mencegah kenaikan temperatur rata-rata dunia di atas 2 derajat Celcius. Perjanjian yang mengandung prinsip Applicable to All Parties ini diharapkan dapat diimplementasikan di tahun 2020 oleh seluruh pihak terkait.

Adapun tujuan dari persetujuan yang dicapai di Paris tersebut adalah1 :

a. Menahan laju peningkatan temperatur global hingga di bawah 2 derajat celcius dari angka sebelum masa Revolusi Industri, dan mencapai upaya dalam membatasi perubahan temperatur hingga setidaknya 1,5 derajat Celcius, karena memahami bahwa pembatasan ini akan secara signifikan mengurangi risiko dan dampak dari perubahan iklim.

b. Meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim, meningkatkan ketahanan iklim, dan melaksanakan pembangunan yang bersifat rendah emisi gas rumah kaca tanpa mengancam produksi pangan.

c. Membuat suplai finansial yang konsisten demi tercapainya pembangunan yang bersifat rendah emisi gas rumah kaca dan tahan terhadap perubahan iklim.

Di tingkat global, pencapaian komitmen melalui Paris Agreement telah mendorong negara-negara di dunia untuk mulai melakukan perubahan-perubahan konsep pembangunannya. Terlebih lagi melalui Intended Nationally Determined Contributions (INDC), Negara Indonesia akan memperkuat Komitmen Indonesia untuk pembangunan rendah karbon (“Indonesian commitment to a low carbon future outlines enhanced actions and puts in place the necessary enabling environment for the 2015 - 2019 period that will lay foundation for more ambitious goals beyond 2020”). Draft Nationally Determined Contributions Indonesia rencananya akan disubmit Pemerintah Indonesia pada Pertemuan Para Pihak di Marakesh kali ini.

WALHI mengingatkan Pemerintah Indonesia agar jangan terjebak dalam kerangka pembangunan global yang dimotori oleh negara-negara maju, industri-industri besar dunia dan lembaga keuangan international dengan tetap melakukan pembangunan ekonomi dengan basis pengembangan infrastruktur yang merusak, eksploitasi sumberdaya alam, penggunaan energi kotor dan pemberian konsesi-konsesi lahan yang menjauhkan Indonesia dari kepentinganhya melindungi keselamatan rakyat, khususnya kelompok rentan seperti perempuan, petani, nelayan, masyarakat adat/masyarakat lokal dan masyarakat miskin perkotaan.

(3)

Negara-negara maju telah menggeser harapan sangat jauh dan memberikan rakyat dunia kesepakatan palsu. Melalui janji-janji, negara-negara maju telah mendorong sebuah kesepakatan yang sangat buruk. Kesepakatan Paris semestinya menjamin pembagian tanggung jawab yang adil (fair share), khususnya bagi negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk menurunkan emisi, memberikan pendanaan dan dukungan alih tekhnologi bagi negara-negara berkembang untuk membantu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Namun, negara-negara kaya berupaya membongkar konvensi perubahan iklim untuk memastikan kepentingan mereka sendiri.

Terdapat setidaknya lima kelemahan dalam Paris Agreement yang antara lain2 :

1. Ketidaktegasan (ambigu) penetapan target untuk menekan kenaikan temperatur bumi.

2. Paris Agreement tidak mendasarkan pembagian tanggung jawab yang adil antara seluruh negara/pihak (equity) untuk mencapai target penurunan emisi dan menekan kenaikan suhu bumi.

3. Dukungan yang tidak memadai untuk transformasi.

4. Lemahnya komitmen dan dukungan untuk adaptasi dan “loss and damage”.

5. Paris Agreement melanjutkan solusi palsu dan membuka peluang lebih besar untuk mengeksploitasi krisis iklim. Paris Agreement membuka lebar pintu mekanisme pasar (market mechanism) untuk mengeksploitasi krisis iklim tanpa pembatasan secara spesifik dalam teks.

Dengan kondisi yang demikian maka Paris Agreement masih memberikan “kebebasan” bagi para poluter untuk tetap mencemari bumi dan membuang emisi gas rumah kaca, Paris Agreement juga memberi ruang yang besar bagi berkembangnya offset kerusakan iklim dengan membayar polusi yang mereka lakukan melalui berbagai proyek-proyek perlindungan hutan.

Meski penuh dengan kelemahan dan kritik terhadap Paris Agreement seperti yang telah disampaikan di atas, namun Paris Agreement menjadi satu-satunya perjanjian internasional dalam menangani perubahan iklim dan dampaknya, paska Kyoto Protokol berakhir. Karenanya, dengan melihat kelemahan atau kritik terhadap Paris Agreement, ratifikasi ini akan lebih positif dilihat sebagai sebuah perwujudan tanggungjawab negara terhadap hak konstitusi warga negaranya, dibandingkan untuk memenuhi arus atau kepentingan negara-negara industri.

Indonesia sendiri telah meratifikasi Paris Agreement pada tanggal 19 Oktober 2016. Sebuah komitmen dimana pemerintah Indonesia mengambil bagian dalam kewajiban internasional untuk mengatasi perubahan iklim, termasuk di dalamnya komitmen mengambil bagian dalam pengurangan emisi global.

2 Inisiasi Solusi Palsu, INDCs Indonesia, dan Paris Agreement (Kritik atas kebijakan Indonesia dan

(4)

Meratifikasi tentulah memiliki konsekuensi, namun demikian konsekuensi ini mesti dilihat sebagai sebuah tindakan penyelamatan keselamatan warga negara yang hidup di negara yang rentan dari dampak perubahan iklim.

Komitmen Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% BAU pada tahun 2030 terutama dari penggunaan lahan dan hutan sebesar 17%, Sektor energi sebesar 11% dan sisanya pengurangan emisi GRK dari limbah, industri, pertanian, peternakan dan lain-lain sebesar 1% masih belum mampu memberikan gambaran bagaimana menjalankan target-target tersebut dengan kondisi saat ini.

Ratifikasi ini sebenarnya jauh lebih penting maknanya ke dalam negeri dibandingkan ke internasional. Ratifikasi ini saja tidak cukup, karena ini juga berarti negara memiliki tanggung jawab untuk memenuhi komitmen tersebut. Bagaimana menurunkan emisi 29% di tahun 2030 serta memastikan adanya kebijakan adaptasi yang bisa mencegah terjadinya bencana ekologis.

Pengesahan Paris Agreement menjadi UU harus dibarengi dengan kebijakan nasional yang sejalan dengan komitmen negara menurunkan emisi GRK tersebut. Negara harus menunjukkan komitmen-komitmen tersebut dengan rencana-rencana pembangunan yang rendah emisi dan berpihak kepada lingkungan hidup dan keselamatan rakyat. Antara lain di sektor energi, dengan menghapuskan secara bertahap penggunaan energi fossil seperti batubara dan beralih ke energi terbarukan dengan prinsip terdesentralisasi, dapat diakses oleh rakyat dan bagi kepentingan rakyat. Ratifikasi ini juga harus dibarengi dengan penghentian ekspansi perkebunan monokultur seperti sawit dan hutan tanaman industri yang mengakibatkan deforestasi dan kebakaran hutan, yang kita ketahui menyumbangkan emisi GRK yang sangat tinggi.

Penurunan emisi GRK yang tajam baik dari sektor energi dan lahan termasuk hutan mutlak diperlukan jika Indonesia ingin memberikan kontribusi yang bermakna. Di sektor kehutanan, penegakan hukum terhadap perusahaan penyebab emisi dan evaluasi seluruh perijinan kehutanan adalah prasyarat untuk memperbaiki kinerja penurunan emisi deri sektor kehutanan. Di sektor energi, penurunan emisi yang tajam dilakukan dengan berangsur-angsur menurunkan pemakaian energi fossil dan beralih kepada energi terbarukan dengan prinsip berkeadilan, berkelanjutan, dapat dikuasai oleh rakyat dan bagi kepentingan pemenuhan kebutuhan rakyat, serta terdesentralisasi.

Ratifikasi ini seharusnya dijadikan sebagai momentum bagi pemerintah untuk mengoreksi model pembangunan yang selama ini mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta berisiko tinggi bagi rakyat dan lingkungan hidup.

(5)

Sub judul sebagaimana di atas, sering kali dilontarkan oleh pemerintahan, baik di pemerintah maupun parlemen. Bahwa jika kita meratifikasi Paris Agreement atau berkomitmen menurunkan emisi, akan mempengaruhi perekonomian Indonesia. Pertanyaan atau bisa kita sebut sebagai ketakutan adalah hal yang wajar, sama seperti sering kita mendengar kepentingan lingkungan hidup yang sering dibenturkan dengan kepentingan ekonomi. Dan pertanyaan atau kekhawatiran tersebut juga dijawab sendiri oleh pemerintah, dengan peluang pendanaan yang akan didapatkan oleh Indonesia untuk mengatasi persoalan kepentingan ekonomi tersebut, dengan berbagai inisiatif dengan tetap berbasiskan pada pasar (trading) dan aktornya adalah private sector.

Dalam upaya melakukan perbaikan tatakelola ekosistem gambut serta melakukan restorasi kawasan gambut, pemerintah melalui Badan Restorasi Gambut3 justru mengundang para investor untuk berinvestasi dalam kerangka restorasi ekosistem. Investasi yang ditawarkan berupa pengembangan perkebunan skala besar sagu, nenas, sorgum dan juga pengembangan peternakan. Alih-alih menyelamatkan ekosistem gambut, pemerintah melalui Badan Restorasi Gambut justru mengembangkan inisiatif yang mengancam keberadaan ekositem gambut dan penghidupan masyarakat4. Harus diingat

emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dihasilkan dari lahan gambut yang terdrainase dengan kedalaman air tanah gambut rata-rata 0,7 meter adalah 65 ton/CO2/Ha/tahun, model restorasi yang tidak tepat akan berakibat pada

semakin buruknya kondisi ekosistem rawa gambut di Indonesia.

Dalam hal pemenuhan energi, salah satu energy baru dan terbarukan yang dimaksud adalah Bahan Bakar Nabati (Biofuel) yang berasal dari kelapa sawit. Salah satu kebijakan untuk mendukung hal tersebut dikenal dengan julukan B15, kebijakan tersebut menimbulkan implikasi terhadap peningkatan permintaan CPO nasional untuk konsumsi BBN domestik. Pemenuhan jumlah BBN dari kebijakan B15 akan bergantung sangat besar pada dialokasikannya sejumlah produksi CPO nasional untuk proses produksi BBN, yang dalam hal ini harus mempertimbangkan jumlah ketersediaan pasokan bagi kebutuhan domestik dan memenuhi permintaan ekspor dari pasar global. Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan untuk memproduksi bahan bakar nabati menjadi kontradiksi dari tujuan penggunaan BBN itu sendiri. Pemerintah sebaiknya mulai memikirkan alternatif energi bersih lain yang tidak berimplikasi pada konversi lahan dan pembangunannya tidak menghasilkan emisi GRK yang tinggi.

Kebijakan bio fuel Uni Eropa misalnya yang menempatkan Indonesia sebagai sumber pemenuhan konsumsi energi Eropa, bertentangan dengan salah satu concern Indonesia-Europa Union CEPA yang mencantumkan isu SDG's dan climate change, antara lain target mengambil tindakan penting dan mendesak untuk mengatasi perubahan iklim dan dampaknya. Kebijakan biofuel Uni Eropa akan semakin mempercepat ekspansi perkebunan besar kelapa sawit,

3 http://setkab.go.id/inilah-perpres-no-1-tahun-2016-tentang-badan-restorasi-gambut/ 4

http://economy.okezone.com/amp/2016/08/24/320/1472041/pemerintah-undang-investor-bantu-restorasi-gambut?=utm_source=br; http://m.metrotvnews.com/video/selamat-pagi-indonesia/1bVXovQK-brg-undang-investor-danai-restorasi-gambut, 24 Agustus 2016.

(6)

yang selama ini berdampak buruk terhadap lingkungan hidup, sosial dan ekonomi masyarakat dan melanggengkan praktek perampasan tanah-tanah rakyat dan konflik agraria. Sehingga diperlukan komitmen kuat dari masing-masing Negara untuk dapat mengimplementasikan aturan sustainable development di dalam IEU CEPA.

Sektor energi harus berani melakukan reformasi kebijakan untuk mewujudkan komitmen penggunaan energi terbarukan (bukan energi baru) dalam menopang kehidupan rakyat dan tentu akan menyasar hingga ke perubahan rencana pembangunan jangka menengah nasional. Kebijakan energi nasional yang tertuang dalam PP 79 tahun 2014 belum menggambarkan sinergitas antara komitmen penurunan emisi 29% dengan praktek kebijakan energi nasional, karena target pencapaian bauran energi primer hingga tahun 2025 sebesar 23% dan tahun 2050 sebesar 31% untuk energi terbarukan sedangkan peran batubara masih tergolong tinggi hingga tahun 2025 sebesar 30% dan tahun 2050 sebesar 25%. Selebihnya, kebutuhan energi nasional juga masih tetap bergantung pada minyak dan gas bumi yang semestinya juga harus segera dikurangi.

Dalam kerangka penyelamatan hutan hujan tropis di Indonesia, pemerintah Indonesia mendorong dan memfasilitasi investasi restorasi ekosistem melalui ijin IUPHHK-RE dimana pemerintah Indonesia memberikan hak penguasaan hutan selama 65 tahun dan dapat diperpanjang kembali selama 35 tahun kepada korporasi. Restorasi Ekosistem merupakan salah satu solusi palsu yang mengakomodir kepentingan ekonomi negara-negara maju dengan mekanisme pasar karbon, bahkan selama masa moratorium perubahan peruntukan kawasan hutan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan untuk RTRW cenderung mengalami peningkatan, Tahun 2011 terjadi pelepasan kawasan hutan 159.300 hektar, tahun 2012 mengalami peningkatan lebih dari 10 kali lipat atau sebesar 1,8 juta hektar, tahun 2013 dilepaskan 2,4 juta hektar dan puncaknya tahun 2014 terjadi pelepasan hingga 3,2 juta hektar.

Pekerjaan terbesar paska ratifikasi Paris Agreement adalah bagaimana mengimplementasikannya melalui berbagai kebijakan nasional, untuk mendukung agar target penurunan emisi dapat tercapai. Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa kebijakan nasional kita sudah sesuai dan mendukung komitmen tersebut dijalankan.

WALHI tidak pernah berhenti mengingatkan Pemerintah Indonesia bahwa ketika menyetujui sebuah kesepakatan global maka konsekuensinya adalah menjalankan komitmen tersebut dengan penuh tanggungjawab. Dalam RPJMN juga terlihat jelas bahwa pemerintah memasang target produksi batubara sebesar 400 juta ton per tahun hingga tahun 2019 dan kemungkinan untuk mendukung pencapaian ketersediaan listrik 35.000 megawatt di Indonesia. Logika ini tentu tidak sejalan dengan penurunan emisi di sektor energi, karena meski target produksi batubara bukan sepenuhnya untuk ekspor tetapi tentu akan meningkatkan penggunaan batubara di dalam negeri yang artinya bahwa emisi yang dihasilkan dari pembakaran batubara akan terus meningkat hingga tahun 2050.

(7)

Sayangnya, WALHI menilai bahwa masih ada kontradiksi yang kuat antara komitmen penurunan emisi GRK dengan kebijakan pembangunan ekonomi nasional. Rencana Pemerintah Indonesia untuk membawa isu kelautan dalam konferensi para pihak UNFCCC ke 22 di Marakesh, Maroko di bulan November 2016 berkontradisksi dengan ambisi untuk menguruk laut dan membangun pulau-pulau buatan di berbagai tempat di Indonesia melalui proyek-proyek reklamasi pantai dan pesisir. WALHI mengkhawatirkan agenda pemerintah membawa isu ocean and sea ke COP 22 hanya dengan target blue carbon dan blue economy sebagai peluang untuk mendapatkan pendanaan baru, persis mereplikasi carbon trading di darat atau di sektor kehutanan. Bukan dengan pertimbangan pesisir dan laut/kepulauan sebagai wilayah rentan yang harus dilindungi dari ancaman pembangunan dan investasi dan dipulihkan dari krisis.

Tantangan terbesar adalah ketika Rencana Jangka Panjang Nasional 2015-2019 masih menunjukkan arah dan model pembangunan yang tinggi emisi dan bergantung pada industri ekstraktive sebagai tulang punggung ekonomi nasional untuk mengejar pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 5,1% pada tahun 2017 dan meningkat 6,0% di tahun berikutnya.

WALHI memandang bahwa dengan model pembangunan yang tinggi emisi dan tetap menempatkan sumber daya alam sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia, malah akan semakin membuat kita banyak mengalami kerugian ekonomi, akibat biaya lingkungan yang harus dikeluarkan. Sebagai contoh, pemerintah mengatakan bahwa batubara adalah energi yang memang kotor, tetapi murah sehingga tetap menjadi andalan sumber energi Indonesia. Padahal sesungguhnya, batubara merupakan energi yang sangat mahal ketika kita menghitung biaya lingkungan akibat pencemaran, bencana ekologis yang ditimbulkan, belum lagi hingga mengakibatkan kematian. Juga belajar dari kasus kebakaran hutan dan lahan, yang begitu besar kerugiannya. Bahkan kerugian negara akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 2015 menjadi fakta yang tidak terbantahkan, bahwa negara justru rugi dengan model pembangunan berbasis korporasi skala besar yang berlangsung seperti saat ini.

Ke depan, jika biaya lingkungan bukan lagi sebagai biaya eksternal, maka logika memversuskan antara kepentingan ekonomi dengan kepentingan lingkungan dengan penanganan perubahan iklim salah satunya, menjadi tidak lagi relevan. Bahkan WALHI percaya, jika rakyat yang selama ini mengelola sumber daya alamnya secara lestari dengan pengetahuan dan kearifan lokal yang dimilikinya dipercaya sebagai aktor yang dapat menggerakkan ekonomi bangsa, maka target pertumbuhan ekonomi Indonesia justru dapat berhasil. Produksi dan konsumsi akan digerakkan oleh rakyat, di sinilah prinsip pembangunan berkelanjutan dapat terwujud, ketimpangan penguasaan dan pengelolaan lahan dapat diatasi dan krisis lingkungan hidup juga dapat dipulihkan.

(8)

Selama ini penanganan perubahan iklim didominasi oleh perdebatan tentang karbon, sehingga inisiatif-insiatif masyarakat adat dan masyarakat lokal nyaris tidak terdengar. Padahal justru inisiatif seperti inilah yang pada faktanya lebih mampu menghadapi dan menangani krisis. Sektor swasta yang berbasiskan mekanisme pasar seperti carbon trading, telah mengalihkan solusi mengatasi perubahan iklim yang seharusnya mengubah cara-cara pembangunan global menjadi isu perdagangan, sehingga gagal mengatasi masalah perubahan iklim.

Jika pemerintah berkomitmen membangun ekonomi yang berkelanjutan, maka kami mendesak tidak lagi menyerahkan kepada pasar dan korporasi yang akan semakin melanggengkan komodifikasi dan finansialisasi sumber daya alam. Kami berharap dalam pidatonya, Jokowi mengakui dan menjadikan model kelola rakyat yang berbasiskan pada kearifan lokal sebagai upaya mitigasi perubahan iklim, bukan kepada korporasi, termasuk dalam restorasi ekosistem. Kami percaya, bahwa ekonomi bangsa ini akan lebih berkelanjutan dan berkeadilan jika dikelola oleh rakyat dengan kearifan dan pengetahuan lokal yang dimilikinya.

Inisiative landscape ini juga bagian dari skenario dari korporasi untuk menguasai hutan dengan atas nama restorasi, dan tentu saja bagian dari modus land banking. Ini adalah Neoliberalisme “hijau”. Korporasi dan elit politik menjadikan isu lingkungan hidup sebagai komoditas baru untuk terus mengakumulasi keuntungan korporasi. Salah satu problem pokok di sektor kehutanan dan perkebunan selain kerusakan lingkungan hidup adalah konflik struktural korporasi-negara yang berhadapan dengan rakyat. Bagaimana inisiative ini dapat menyelesaikan konflik, jika selama ini korporasi-korporasi ini justru menjadi aktor atau bagian dari konflik itu sendiri.

Selama ini komitmen nol deforastasi yang dikampanyekan oleh perusahaan pada tahun 2020 misalnya, sampai saat ini belum terbukti sama sekali. Sebagai contoh, Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO), tidak mampu menjawab problem struktural yang diakibatkan dari praktek buruk korporasi dalam berbisnis. Asap dan kerusakan lingkungan hidup yang berakumulasi pada perubahan iklim, perampasan tanah, konflik dan berbagai praktek pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Titik api justru ditemukan di wilayah konsesi yang punya komitmen nol deforestasi. “Korporasi yang selama ini telah terbukti gagal sesunguhnya tidak lagi kredibel untuk bicara penanganan perubahan iklim. Bagaimana mungkin memberikan kembali kepada korporasi dalam menangani perubahan iklim, karena faktanya penyumbang emisi yang sangat besar dari praktek buruk korporasi dalam menjalankan bisnisnya. Sejak di COP 21 Paris lalu, WALHI mendorong agar tidak lagi memberi ruang bagi upaya green wash korporasi yang terlibat dalam kasus asap, baik yang melakukan pembakaran maupun yang di wilayah konsesinya ditemukan titik api, termasuk dengan atas nama restorasi ekosistem. Tidak lagi memberikan kesempatan kepada korporasi, termasuk dengan menggunakan mekanisme trading dalam penanganan perubahan iklim.

(9)

Dalam berbagai kesempatan WALHI selalu mengingatkan Pemerintah Indonesia agar memperhatikan dan mengakui praktek-praktek terbaik oleh Masyarakat dalam pengelolaan hutan dan juga pengelolaan ekosistem rawa gambut sebagai solusi penanganan perubahan iklim. Kelola Rakyat dalam perspektif ekologi dimana hubungan keterkaitan dan ketergantungan antar seluruh komponen ekosistem yang harus dipertahankan dalam kondisi yang stabil dan seimbang (homeostatis), dengan demikian maka konteks keberlanjutan dan terjaganya kondisi lingkungan yang baik merupakan faktor utama yang terus dipertahankan agar upaya ekonomi produktif masyarakat dapat berkesinambungan. Hal ini sangat sejalan dengan prinsip-prinsip penyelamatan bumi dari ancaman perubahan iklim.

Di bawah ini adalah peta wilayah kelola rakyat. Sebuah praktek terbaik rakyat dalam mengelola hutan dan ekosistem rawa gambut di daerah yang selama ini selalu memproduksi asap, antara lain Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Riau dan Jambi, yang dapat menjawab berbagai aspek penting antara lain mengatasi konflik, mewujudkan kedaulatan pangan, mensejahterakan rakyat dan sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. Terlebih Pemerintah Indonesia telah berkomitmen 12,7 juta hektar hutan untuk rakyat melalui perhutanan sosial, yang jika diimplementasikan secara benar, maka 12,7 juta hektar tersebut bagian dari kontribusi Indonesia dalam mengurangi emisi global.

Berdasarkan perjalanan negosiasi dalam pertemuan para pihak (COP) UNFCCC dari tahun ketahun, selalu muncul ketidak sepakatan disaat membangun kesepakatan dan sudah menjadi rahasia umum bahwa ketidak sepakatan itu adalah terkait upaya negara-negara maju agar kepentingan mereka di akomodir dan disaat COP selanjutnya ketidak sepakatan itu dibungkus menjadi kesepakatan baru yang mengakomodir kepentingan negara-negara maju. Sudah bisa dipastikan bahwa dalam pertemuan para pihak ke 22 di Marakesh nanti, beberapa ganjalan ketidaksepakatan sebelumnya akan dicoba untuk diakomodir untuk bisa memenuhi kepentingan negara-negara maju. Dalam konteks tersebut maka Indonesia harus jeli melihat kepentingan bangsa dan negara terutama dalam hal ini keselamatan rakyat Indonesia dan kepentingan keberlanjutan bumi.

Rekomendasi dan Penutup

Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa dalam pertemuan para pihak di konferensi perubahan iklim UNFCCC ke 22 di Marakesh, Maroko November 2016 akan membawa isu kelautan (ocean). Sebagai negara kepulauan dimana Indonesia memiliki kepentingan untuk memastikan bahwa kesepakatan yang nantinya dibangun melalui pertemuan para pihak ini melindungi keselamatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia yang hidup tersebar di ribuan di pulau-pulau kecil dan menggantungkan hidupnya pada pesisir dan laut.

Selain itu juga Indonesia harusnya memperjuangkan kepentingan rakyat Indonesia yang hidup dan tinggal didalam maupun sekitar kawasan hutan serta di wilayah ekosistem rawa gambut. Model kelola rakyat yang selama ini mampu mempertahankan keberlangsungan hutan, kelestarian pesisir serta

(10)

keberlangsungan ekosistem rawa gambut hendaknya menjadi salah satu hal yang harus terlindungi melalui kesepakatan dalam pertemuan para pihak di Marakesh nantinya.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah mendorong secara ambisius peralihan penggunaan energi kotor ke energi terbarukan serta memastikan tanggung jawab yang adil dalam mencapai target penurunan emisi dan menekan kenaikan suhu bumi. Indonesia juga diharapkan memastikan komitmen dan dukungan untuk adaptasi dan “loss and damage” dari para pihak terutama negara-negara maju. Menghentikan upaya-upaya mengembangkan solusi palsu melalui mekanisme pasar karbon dan mendesak negara-negara maju agar lebih konkrit dukungannya dalam menjalankan pembangunan rendah emisi gas rumah kaca.

Niat pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca dengan upaya sendiri dan tidak menutup dukungan bantuan asing (international support) memungkinkan masuknya dana-dana bantuan yang tentu saja perlu pengawasan agar pengelolaan dana-dana tersebut tepat sasaran dan berguna untuk kepentingan dan keselamatan Rakyat Indonesia, untuk itu WALHI mendorong pendanaan iklim tersebut harus melalui kelola Negara dilaksanakan dengan transparan, akuntable dan diawasi dengan baik.

Akhirnya, WALHI melihat ada gap antara komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi 29% dengan kebijakan pembangunan dan ekonomi nasional. Gap ini harusnya bisa dijawab dengan upaya transisi menuju ke arah kebijakan pembangunan yang rendah emisi, arahan dan roadmap ini menjadi penting agar target penurunan emisi dapat terukur.

Ratifikasi kesepakatan Paris yang telah dilakukan harusnya dapat dijadikan sebagai sebuah pijakan atau momentum bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan pembenahan tata kelola lingkungan hidup dan sumber daya alam, termasuk di dalamnya memetakan aktor-aktor di dalamnya. COP 22 Marakesh harus menjadi momentum mempertegas pengakuan wilayah kelola rakyat oleh negara.

Ratifikasi ini harus dapat dijadikan sebagai sebuah kesempatan bagi pemerintah untuk melakukan pembenahan tata kelola pengelolaan sumber daya alam, yang selama ini berupaya dilakukan melalui moratorium.Sehingga moratorium berbasis capaian dengan mereview perizinan lama dan tidak lagi memberikan izin baru, menjadi sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh pemerintah. Komitmen Presiden untuk moratorium sawit harus segera diberlakukan, dan RUU Perkelapasawitan harus dibatalkan. (selesai)

Jakarta, 5 November 2016

#WALHIMemanggil #ClimateJustice #SystemChangeNotClimateChange #IndonesiaAdilLestari #StopKejahatanKorporasi #COP22 #StopDirtyEnergy

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa jumlah individu di stasiun Bahowo jauh lebih banyak dibanding- kan dengan jumlah individu di stasiun Batu meja dan Rap-Rap,

Meskipun pada pendistribusian dana zakat untuk usaha produktif yang dilakukan amil belum menyertakan kesepakatan peminjaman dana atau barang dengan tuntutan waktu, pada dasarnya

waktu aktivitas puncak insulin dan selama atau s etelah latihan. Penambahan berat badan yang tidak diinginkan Penambahan berat badan yang tidak diinginkan.. Remaja yang meningkatkan

Untuk dapat menjawab pertanyaan dari rumusan masalah, digunakan teori rational choice , agar dapat mengetahui kebijakan yang diambil oleh sebuah negara berdasarkan

Gejala yang terkait dengan keluhan artritis adalah gejala umum berupa keluhan tidak nafsu makan, lemah/letih, sulit tidur dan penurunan berat badan. Dari seluruh responden, sebesar

selain itu mereka tak lupa untuk menggosok gigi menggunakan sikat gigi yang diberi pasta gigi sehingga gigi mereka menjadi putih dan kuat bobi dan nita juga terhindar dari

mendukung round-trip engineering dan reserve engineering pada kode bahasa pemrograman seperti Visual Basic 6.0, dapat memberikan gambaran visual mengenai sistem yang akan

Kegiatan Penegakkan Perda Provinsi Akomodasi peserta kegiatan Rakor Penegakan Perda JB: Barang/jasa JP: Jasa Lainnya 1 Paket Rp.. Kegiatan Penegakkan Perda Provinsi Akomodasi