• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak. Kata Kunci: Neurosistiserkosis, infeksi parasit, kejang, epilepsi, monoparesis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Abstrak. Kata Kunci: Neurosistiserkosis, infeksi parasit, kejang, epilepsi, monoparesis"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Makalah Lengkap

Laporan Kasus

Reinfeksi Neurosistiserkosis dengan Perubahan Pola Kejang dan Monoparesis Murni Pramana NAK*, Susilawathi NM**, Swastika IK***, Sudewi AAR**

Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, Bali

Abstrak Pendahuluan

Sistiserkosis merupakan infeksi parasit yang diakibatkan oleh tertelannya telur cacing pita dewasa, Taenia solium. Ketika sistiserkosis mengenai sistem saraf pusat disebut neurosistiserkosis. Manifestasi klinis dari neurosistiserkosis berkaitan dengan lokasi kista dan respon terhadap infeksi. Kejang dan epilepsi merupakan gejala yang paling sering pada neurosistiserkosis. Neurosistiserkosis merupakan infeksi parasit di otak yang paling sering pada negara berkembang. Bali merupakan salah satu daerah endemis neurosistiserkosis di Indonesia.

Kasus

Laki-laki 41 tahun dengan keluhan kejang parsial sederhana pada kaki kanan sejak 2015, frekuensi 10x/bulan, disertai kelemahan pada kaki kanan sejak 3 bulan yang lalu dan menetap hingga sekarang, Kesadaran pasien baik dengan status general dalam batas normal, pada pemeriksaan neurologi didapatkan monoparesis spastik pada ekstremitas bawah kanan, refleks KPR dan APR meningkat, reflex Babinski dan varian -, tidak ditemukan klonus paha maupun kaki. Pasien pernah didiagnosis neurosistiserkosis dengan keluhan kejang parsial kompleks menjadi umum sekunder sebagai manifestasi klinis pada tahun 2009. Pasien mendapatkan terapi antiparasit dan dinyatakan sembuh. Hasil MRI kontras terbaru menunjukkan lesi multipel baru dibandingkan dgn imajing sebelumnya. Pasien mendapatkan terapi albendazole, metilprednisolone, karbamazepin, asam folat dan omeprazole selama 1 bulan kemudian didapatkan perbaikan klinis.

Kesimpulan

Epilepsi kronis berkaitan dengan granuloma terkalsifikasi, sedangkan onset kejang baru terkait dengan kista aktif. Kebiasaan mengkonsumsi daging babi mentah/ setengah matang merupakan faktor risiko utama terjadinya reinfeksi neurosistiserkosis terutama pada daerah endemis. Defisit neurologis baru dengan perubahan pola kejang meningkatkan kecurigaan reinfeksi pada pasien neurosistiserkosis.

Kata Kunci: Neurosistiserkosis, infeksi parasit, kejang, epilepsi, monoparesis

* Peserta PPDS Departemen Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar ** Staf Pengajar Departemen Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar *** Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

(4)

Case Report

Reinfection Neurocysticercosis with Seizure Pattern Changes and Pure Motor Monoparesis

Pramana NAK*, Susilawathi NM**, Swastika IK***, Sudewi AAR**

Neurology Department, Faculty of Medicine, Udayana University / Sanglah General Hospital, Denpasar, Bali

Abstract Introduction

Cysticercosis is a parasitic infection that results from ingestion of eggs from the adult tapeworm, Taenia solium. When cysticercosis involves the central nervous system, it is called neurocysticercosis. Clinical manifestation of neurocysticercosis is related to the location of the cyst and response to infection. Seizures and epilepsy are the most common manifestation in neurocysticercosis. Neurocysticercosis is the most common parasitic infection of the brain in the developing world. Bali is one of the neurocysticercosis endemic region in Indonesia. Case

41-year-old male with simple partial seizures on the right foot since 2015, occured 10x / month, accompanied by weakness in the right foot since 3 months ago, patient alert with general status within normal limits, on neurological examination we found spastic monoparesis in right lower extremities, increased KPR and APR reflexes, Babinski reflexes and variants are negative, no thigh or leg clonus were found. Patients once diagnosed with secondary generalized seizure as clinical manifestations in 2009. Patients received antiparasitic therapy and were cured. Recent contrast MRI results show new multiple lesions compared with previous imaging. Patients received albendazole, methylprednisolone, carbamazepine, folic acid and omeprazole therapy for 1 month and then obtained clinical improvement.

Conclusion :

Chronic epilepsy is associated with calcified granuloma, whereas the onset of a new seizure is associated with an active cyst. The habit of consuming raw / half-cooked pork is a major risk factor for reactivation of neurocysticercosis especially in endemic areas. New neurological deficits with changes in seizure patterns increase suspicion of reactivation in patients with neurocysticercosis

Keywords: Neurocysticercosis, parasitic infection, seizures, epilepsy, monoparesis

* Resident of Neurology Department, Faculty of Medicine Udayana University / Sanglah General Hospital, Denpasar, Bali

** Staff of Neurology Department, Faculty of Medicine Udayana University / Sanglah General Hospital, Denpasar, Bali

*** Staff of Parasitology Department, Faculty of Medicine Udayana University / Sanglah General Hospital, Denpasar, Bali

(5)

Pendahuluan

Taenia solium merupakan parasite cacing intestinal yang umumnya didapatkan

pada babi yang dapat menginfeksi manusia akibat mengkonsumsi daging babi yang mengandung larva sistiserkus atau menelan telur T. solium melalui kontaminasi fekal. Larva sistiserkus berisikan parasit imatur dari T. solium dan dapat menginfeksi berbagai organ tubuh yang kemudian disebut sebagai sistiserkosis, dan bila memasuki sistem saraf pusat disebut sebagai neurosistiserkosis1,2.

Neurosistiserkosis merupakan penyakit infeksi parasit paling sering pada sistim saraf pusat yang menjadi salah satu penyebab epilepsi tertinggi di negara berkembang yang masyarakatnya memiliki kontak tinggi dengan babi. Angka kejadian epilepsi terkait neurosistiserkosis di negara tropis 10-15 per 1000 penduduk3. Daerah endemik dari penyakit ini yaitu di Amerika Selatan dan tengah, Sub-sahara afrika, India, Indonesia, dan Cina. Penyakit ini cukup jarang ditemukan di daerah Eropa, Amerika Utara, Australia, Jepang, dan Selandia Baru4,5. Di Indonesia taeniasis/sistiserkosis terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Sumatera Utara, Bali dan Irian Jaya. Disamping itu penyakit tersebut juga ditemukan di Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Barat6.

Manifestasi klinis sistiserkosis sesuai dengan organ yang terinfeksi, lokasi kista, dan respon terhadap infeksi. Sistiserkosis dapat mengenai organ ekstraneural (seperti mata, hati, otot bawah kulit dan lainnya). Sindrom berdasarkan letak kista di otak yaitu neurosistiserkosis asimtomatis, parenkimal, subaraknoid, intraventrikuler, spinal dan okular, gejala neurologis berupa migren, araknoiditis, hidrosefalus, demensia, gangguan penglihatan, dan peningkatan tekanan intracranial3. Manifestasi

(6)

klinis tersering dari neurosistiserkosis adalah kejang dan epilepsi, yaitu sekitar 50-70% kasus. Adanya gambaran episodik edema di sekitar sistiserkosis dan disekitar kalsifikasi setelah episode kejang menunjukkan hubungan sistiserkosis dan kejang7.

Hubungan antara neurosistiserkosis dan epilepsi ditunjukkan dari suatu studi epidemiologi yang menunjukkan adanya korelasi pada populasi dengan peningkatan prevalensi sistiserkosis dan epilepsi serta suatu studi neuroimaging yang menunjukkan ditemukannya neurosistiserkosis pada pasien dengan epilepsi yang tidak memiliki lesi

epileptogenic lainnya8,9.

Ilustrasi kasus

Pasien INS, lelaki 41 tahun, menikah, dirujuk dari RS daerah ke poliklinik Saraf RSUP Sanglah Denpasar pada bulan Januari 2018 dengan keluhan utama kejang dengan pola kaki kanan menghentak-hentak, pasien sadar baik namun tidak dapat mengendalikan gerakan kakinya. Lamanya kejang kurang lebih 3-5 menit, berhenti sendiri, dan berlangsung + 10x/bulan. Pasien juga mengeluh kelemahan pada kaki kanan yang dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan ringan dimana pasien dapat berjalan sendiri tetapi dirasakan goyang dan seperti mau jatuh. Kelemahan menetap hingga pasien berobat ke poliklinik saraf RSUP Sanglah Denpasar.

Pasien telah didiagnosis epilepsi sejak 9 tahun yang lalu (tahun 2009). Kejang pertama kali dengan pola tangan dan kaki kiri menghentak-hentak kemudian diikuti seluruh tubuh, lamanya kejang kurang lebih 1-3 menit dan berhenti sendiri. Keluarga mengatakan sebelum kejang pasien sadar baik, saat kejang dimulai pasien tidak sadar dan setelah kejang pasien sadar kembali. Tidak didapatkan lidah tergigit dan bibir

(7)

berbuih. Tahun 2009 pasien berobat ke RS Sanglah karena kejang yang dialaminya, dilakukan pemeriksaan penunjang CT-Scan kepala, saat itu didiagnosis mengalami infeksi cacing di otak. Pasien mengatakan diberikan obat anti parasit dan anti kejang selama perawatan 9 tahun yang lalu. Selama 3 tahun minum obat epilepsi, keluhan kejang tidak muncul sama sekali sehingga atas saran dokter pasien berhenti minum obat epilepsi. Pada tahun 2015, pasien dikatakan mulai merasakan gerakan menghentak-hentak pada kaki kanan.. Pasien kemudian berobat ke RS Gianyar dan dilakukan kembali pemeriksaan CT-Scan Kepala. Pasien dikatakan mengalami infeksi cacing otak berulang kemudian diberikan kembali obat cacing dan obat kejang oleh dokter. Walaupun rutin minum obat kejang, keluhan dikatakan tidak pernah hilang hingga sekarang, Hasil CT-Scan kepala tahun 2009 dan 2015 dapat dilihat dibawah pada Gambar 1.

Pasien tinggal bersama istri dan anak-anaknya di daerah Gianyar, tepatnya di Desa Blahbatuh. Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien. Pasien bekerja sebagai karyawan swasta hingga saat ini. Pasien memiliki kebiasaan mengkonsumsi daging babi sejak lama hingga saat ini. Saat ini pasien mengatakan sudah mengurangi mengkonsumsi daging babi. Pemeriksaan fisik umum dan klinis neurologis saat datang ke poliklinik saraf RSUP Sanglah Denpasar ditampilkan pada Tabel 1.

(8)

Gambar 1. (Kanan) CT-Scan kepala tanpa kontras (30 Januari 2009). Lesi hipodens multipel pada lobus frontal, temporal, parietal, occipital kanan serta lobus parietal, occipital kiri, lesi hiperdens di daerah kapsula interna anterior kanan. (Kiri) CT-Scan kepala tanpa kontras (4 Juni 2015). Tampak adanya kalsifikasi pada lesi hipodens lobus parietal kanan kiri.

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Fisik Umum dan Status Neurologis

Status General Status Neurologis

•  Kesadaran compos mentis

•  Tensi 110/80 mmHg, nadi 80 x/menit regular, frekuensi napas 18 x/menit •  Suhu 36oC, skala nyeri 0

•  Tinggi badan 170 cm, berat badan 70 kg •  Turgor kulit baik, nodul pada kulit (-) •  Mata anemis -/-, ikterus -/-,

•  Leher : struma (-) •  Thoraks:

•  GCS E4V5M6

•  Tanda rangsang meningeal (-) •  Paresis nervus kranialis (-)

•  Monoparesis flaksid tungkai dekstra grade 4 •  Refleks patologis (-)

•  Perubahan pola bangkitan : Bangkitan parsial kompleks menjadi umum

sekunder(tahun 2009-2012) à bangkitan parsial sederhana (tahun 2015-sekarang)

(9)

Jantung: bunyi jantung tunggal, bunyi tambahan (-)

Paru: sonor, vesikuler +/+

•  Abdomen: hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), bising usus (+) normal •  Ekstremitas: akral hangat, edema (-)

Pemeriksaan penunjang laboratorium yang dilakukan yaitu pemeriksaan darah lengkap, kimia klinik, serologi dan pemeriksaan feses yang ditampilkan pada Tabel 2 dibawah, selain pemeriksaan tersebut dilakukan pemeriksaan penunjang EEG ulang. Pemeriksaan penunjang radiologi yaitu MRI kepala dengan kontras. Gambaran MRI Kepala dengan kontras ditunjukkan pada Gambar 2 dibawah ini.

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Penunjang

Hasil Pemeriksaan Penunjang •  Pemeriksaan Laboratorium 23Februari 2018 :

RBC 5,48 (106/uL); WBC 7,77 (103/uL); Neu/ Lym /Mono /Eos /Baso

5,61/ 1,20/ 0,90/ 0,03/ 0,03 (103/uL); HGB 15,72 (g/dL); HCT 48,90%; PLT 265,5 (103/µL); LED 4,2mm/jam BUN 10,1 mg/dL; Kreatinin 1,06 mg/dL; Kalium 4,42 mmol/L; Natrium 141 mmol/L; •  Serologi Darah

OD : 0,276 Cut off : 0,082 Positive cysticercosis

•  Pemeriksaan Feses Lengkap : Warna coklat; Konsistensi lembek; Kista (-); Vegetatif (-); telur cacing (-); Leukosit (0-2); Lendir (-); Eritrosit (0-1); Darah (-); Amoeba (-); Yeast cell (+++) •  Pemeriksaan EEG 4 Februari 2018:

EEG pada perekaman ini dalam batas normal

(10)

18003689

Gambar 2. MRI Kepala + Kontras (8 Februari 2018). Tampak lesi intra axial multiple di cortical dan subcortical lobus frontalis, temporalis, parietalis dan occipitalis kanan kiri, dengan ukuran terbesar 2,7 x 2,0 cm, berada di lobus parietal kiri, yang tampak isointens pada T1WI dan Flair, hyperintens pada T2WI dengan gambaran intramural nodul di dalamnya, serta menunjukkan rim contrast enhancement setelah pemberian kontras

(11)

Pasien didiagnosis sebagai bangkitan parsial sederhana et causa (e.c.) suspek epilepsi simtomatik e.c. neurosistiserkosis. Pasien mendapatkan terapi : Carbamazepine 3x200mg peroral, Albendazol 2x400mg peroral, deksametason 3x1,5 mg peroral dan omeprazole 2x20mg peroral. Komunikasi, edukasi dan informasi diberikan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang dialami dan rencana penanganan selanjutnya. Memberikan edukasi untuk meningkatkan hygiene-sanitasi pasien, keluarga dan lingkungan sekitarnya merupakan hal penting untuk memutus rantai penularan dari parasit.

Diskusi

Neurosistiserkosis adalah penyakit infeksi sistem saraf pusat disebabkan oleh bentuk larva parasit cacing pita Taenia solium (T. solium).1,2 Kasus neurosistiserkosis endemik didaerah tropis termasuk Indonesia salah satunya adalah Bali.1 Babi

merupakan sumber penularan taeniasis. Manusia berperan sebagai carrier sehingga dapat menularkan ke yang lainnya (fecal-oral route).1,2 Pada kasus ini pasien adalah seorang lelaki, usia 41 tahun, berasal dari Bali, Indonesia, tepatnya Kabupaten Gianyar. Pasien memiliki kebiasaan mengkonsumsi olahan daging babi sejak usia muda hingga saat ini.

Manifestasi klinis sesuai organ yang terkena, lokasi kista, dan respon terhadap infeksi. Sindrom berdasarkan letak kista di otak yaitu neurosistiserkosis asimtomatis, parenkimal, subaraknoid, intraventrikuler, spinal dan okular, gejala neurologis berupa migren, araknoiditis, hidrosefalus, demensia, gangguan penglihatan, dan peningkatan tekanan intrakranial.1,2 Sebesar 50-70% manifestasi klinis neurologis adalah epilepsi

(12)

yaitu epilepsi tipe parsial yang dihubungkan dengan larva yang mengalami fibrosis dan telah mati atau mengalami pengapuran.1 Laporan kasus sebelumnya melaporkan hingga 70-90% pasien mengalami kejang didaerah endemis.3,5 Pasien pada laporan

kasus ini mengalami perubahan pola bangkitan yaitu bangkitan parsial menjadi umum sekunder (tahun 2009-2012) menjadi bangkitan parsial sederhana (tahun 2015-2018). Pola bangkitan yang pertama dialami pasien akibat epilepsi simtomatik e.c. neurosistiserkosis, perubahan pola kejang saat ini diduga akibat berulangnya infeksi neurosistiserkosis. Sebuah jurnal membandingkan infeksi T. solium dengan T. asiatica menyatakan bahwa kondisi neurosistiserkosis dapat dikontrol dengan kemungkinan berulang (reinfection) yang rendah.4 Pada kasus ini faktor risiko pasien mengalami neurosistiserkosis berulang kemungkinan akibat kurangnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan, serta kebiasaan mengkonsumsi makanan yang tidak terjaga dengan baik. Pasien tidak memelihara, babi, namun dikatakan terdapat tetangga yang beternak babi disekitar rumah pasien. Sebuah studi potong lintang menjabarkan beberapa faktor risiko terjadinya neurosistiserkosis yaitu peternak babi, seringnya terpapar babi, pengetahuan mengenai siklus hidup cacing, sumber mata air yang digunakan sehari-hari, kebersihan air, pengetahuan mengenai kebersihan diri (seperti kebiasaan mencuci tangan) dan lingkungan, serta cara pengolahan makanan yang dikonsumsi.7

Pasien juga mengeluhkan kelemahan tungkai kanan 2 tahun setelah mengalami kejang, pada pemeriksaan didapatkan klinis monoparesis spastik tungkai dekstra grade 4, klinis ini menetap hingga pasien diperiksa di poliklinik RSUP Sanglah Denpasar, dibandingkan dengan laporan kasus sebelumnya seorang perempuan, berusia 12 tahun dengan diagnosis solitary cysticercus granuloma dengan klinis monoparesis atau pure

(13)

motor monoparesis dapat terjadi sebagai satu-satunya gejala yang muncul pada

penderita neurosistiserkosis walaupun hal tersebut jarang. Kondisi ini terjadi bila lesi terletak di area motorik kortikal untuk tungkai.3 CT-Scan kepala tanpa kontras pada

tanggal 30 Januari 2009 menunjukkan lesi hipodens multipel pada lobus frontal, temporal, parietal, occipital kanan serta lobus parietal, occipital kiri, lesi hiperdens di daerah kapsula interna anterior kanan. CT-Scan kepala tanpa kontras pada tanggal 4 Juni 2015 menunjukkan adanya kalsifikasi pada lesi hipodens lobus parietal kanan kiri. MRI Kepala dengan kontras pada tanggal 8 Februari 2018 menunjukkan nampak lesi intra aksial multipel di kortikal dan subkortikal lobus frontalis, temporalis, parietalis dan oksipitalis kanan kiri, dengan ukuran terbesar 2,7 x 2,0 cm, berada di lobus parietal kiri, yang tampak isointens pada T1WI dan Flair, hyperintens pada T2WI dengan gambaran intramural nodul di dalamnya, serta menunjukkan rim contrast enhancement setelah pemberian kontras. MRI kepala lebih sensitif daripada CT-Scan untuk mendeteksi kista parenkim, intraventrikuler, subaraknoid dan edema perifokal, namun CT-Scan lebih superior untuk melihat kalsifikasi. Gambaran CT-Scan kepala pada neurosistiserkosis berupa nodul soliter/multipel atau lesi tanpa enhancement menunjukkan lesi sistiserkus hidup, lesi hipodens atau isodens dengan ring enhancement merupakan kista mati, kalsifikasi dari bekas kista mati, dan edema otak difus.1,6 Dilaporkan gambaran lesi soliter (67,5%) dan tersering daerah parietal (79%).6

Penanganan pada neurosistiserkosis melalui beberapa pendekatan yaitu obat anti parasit, pengobatan simtomatis, dan operasi.1 Terapi pada kasus ini adalah Albendazol 2x400mg peroral, deksametason 3x1,5 mg peroral, Carbamazepine 3x200mg peroral, dan omeprazole 2x20mg peroral.

(14)

Dosis obat anti parasit yang direkomendasikan oleh Kelompok Studi neuroinfeksi yaitu albendazol 15mg/kg/hari diberikan selama 1 bulan atau praziquantel 50mg/kg/hari selama 2 minggu, pada hari kedua dan keempat terapi biasanya terjadi gejala eksaserbasi gejala neurologi berupa sakit kepala, mual, dan muntah akibat inflamasi lokal karena kematian parasit. Obat anti parasit diberikan bersamaan dengan steroid untuk mengontrol edema dan peningkatan tekanan intrakranial. Penetrasi albendazol lebih baik ke cairan serebrospinal dan konsentrasinya tidak dipengaruhi oleh steroid dibandingkan praziquntel. Terapi simtomatis yaitu obat anti epilepsi dan analgetik.1,5 Lama penggunaan obat anti epilepsi tidak diketahui secara pasti, namun angka bangkitan berulang sangat besar bila dilakukan penghentian obat anti epilepsi walaupun telah mendapatkan terapi selama 2 tahun, 20-30% pasien dengan bangkitan dan terdapat gambaran lesi parenkim mengalami bangkitan berulang dengan terapi obat anti epilepsi.5 Penelitian di India mendapatkan bahwa kejang yang menetap terjadi bila

adanya perburukan klinis atau terjadi klinis yang baru.6

Taeniasis dengan etiologi T. solium dapat dikontrol dengan baik sehingga memiliki prognosis yang baik.4 Neurosistiserkosis dengan lesi tunggal memiliki prognosis yang baik dan pada 60% kasus lesi menghilang setelah 6 bulan pengobatan. Jumlah lesi yang multipel dengan gambaran kalsifikasi umumnya akan mengalami kejang berulang.8

Informasi dan edukasi kepada pasien, keluarga, dan lingkungannya untuk mencegah terjadinya neurosistiserkosis yaitu menghindari makanan yang tercemar, pengobatan pada penderita hingga tuntas sehingga tidak menularkan, perbaikan sanitasi, dan mengolah memasak daging babi dengan baik.1,8

(15)

Ringkasan

Lelaki 41 tahun dengan diagnosis bangkitan parsial sederhana e.c. epilepsi simtomatik e.c. neurosistiserkosis berulang. Pasien telah didiagnosis neurosistiserkosis sejak 9 tahun yang lalu. Saat ini pasien datang dengan keluhan adanya perubahan pola kejang dan kelemahan pada tungkai kanan. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien selanjutnya mendapatkan penanganan yaitu terapi Albendazol 2x400mg peroral, deksametason 3x1,5 mg peroral, Carbamazepine 3x200mg peroral, dan omeprazole 2x20 mg peroral. Kondisi neurosistiserkosis mampu dikontrol dengan baik dan memiliki prognosis yang baik. Pada kasus ini faktor risiko pasien mengalami neurosistiserkosis berulang kemungkinan akibat kurangnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan, serta kebiasaan mengkonsumsi makanan yang tidak terjaga dengan baik setelah menderita neurosistiserkosis sebelumnya.

Daftar pustaka

1.   Garcia HH, Evan CAW, Nash TE, Takayanagui OM, White AC, Motero D, Rajshkhar V, et al. Current consensus guideline for treatment of neurocysticercosis. Clinical microbiology review. 2002; 15: pp. 747-56

2.   Sharma M, Singh T, Mathew A. Antiepileptic drugs for seizure control in people with neurocysticercosis. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2015; 10. 3.   Sudewi AA Raka. Neurosistiserkosis. In : Sudewi, AA Raka, Sugianto Paulus,

Ritarwan Kiking, editors. Kelompok Studi Neuro Infeksi. Airlangga University Press. 2011; p. 119-130.

(16)

4.   Roman G, Sotelo J, Del Brutto O, et al. A proposal to declare neurocysticercosis an international reportable disease. Bull World Health Organ. 2000;78 : pp. 399–406. 5.   Burneo JG, Cavazos JE. Neurocysticercosis and epilepsy. Epilepsy Currents,

American Epilepsy Society. 2014; 14(1) : pp. 23–28

6.   Widarso HS, Margono SS, Purba WH, Subahar R. Prevalensi dan distribusi taenoasos dan sistiserkosis. Makara Kesehatan. 2001; 5(2) : pp. 34-38

7.   Del Brutto OH. Infection and inflammatory diseases. In: Epilepsy: A Comprehensive Textbook. (Engel J, Pedley TA, eds.) Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2008.

8.   Medina MT, Duron RM, Martinez L, et al. Prevalence, incidence, and etiology of epilepsies in rural Honduras: The Salama Study. Epilepsia 2005; 46: 124–131. 9.   Del Brutto OH, Idrovo L, Santibanez R, et al. Door-to-door survey of major

neurological diseases in rural Ecuador—the Atahualpa Project: Methodological aspects. Neuroepidemiology 2004; 23: 310–316.

(17)
(18)

Gambar

Gambar 1. (Kanan) CT-Scan kepala tanpa kontras (30 Januari 2009). Lesi hipodens multipel  pada lobus frontal, temporal, parietal, occipital kanan serta lobus parietal, occipital kiri, lesi  hiperdens di daerah kapsula interna anterior kanan
Gambar  2.  MRI  Kepala  +  Kontras  (8  Februari  2018).  Tampak  lesi  intra  axial  multiple  di  cortical dan subcortical lobus frontalis, temporalis, parietalis dan occipitalis kanan kiri, dengan  ukuran terbesar 2,7 x 2,0 cm, berada di lobus parietal

Referensi

Dokumen terkait