/1
Konteks GeografiSELEPAS 1980-an, penggunaan tanah pedesaan dan hubungan sosial terkait tanah di Asia Tenggara mengalami perubahan men-colok dan tampak ganjil. Sebagian proses utama yang mengge-rakkan perubahan tersebut terlihat seperti mengancam sektor pertanian. Pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, dan urbanisa-si telah mendorong konverurbanisa-si sejumlah besar kawasan pertanian untuk kegiatan komersial, industri, perumahan, tempat-tempat wisata, dan pembangunan infrastruktur. Kepedulian pada peles-tarian lingkungan juga tengah menggiring badan-badan peme-rintahan untuk menetapkan sejumlah luasan tanah yang sangat besar sebagai zona terlindung, bebas dari kegiatan pertanian, dan diawasi dengan ketat. Lenyapnya begitu banyak lahan yang per-nah digunakan untuk kegiatan pertanian harus dipahami seba-gai bagian penting dari “deagrarianisasi” di Asia Tenggara, yakni suatu proses kian merosotnya peran pertanian bagi perekono-mian nasional dan sebagai sumber penghidupan, bahkan bagi penduduk yang tinggal di kawasan pedesaan. Namun, proses-proses yang mengancam pertanian tersebut muncul berbarengan dengan proses-proses lain yang menunjukkan semakin penting-nya peran pertanian. Bukti yang paling mencolok: tanah-tanah untuk tanaman komoditas dan ternak bertambah luas dengan pesat, terutama melalui pembukaan hutan, sementara lahan per-tanian yang telah ada diolah dengan semakin intensif.
Selain itu, pemerintah negara-negara di Asia Tenggara meng-upayakan program-program ambisius berupa sertifikasi tanah
dalam rangka menyediakan pengakuan resmi hak atas tanah ba-gi petani kecil. Mereka tergerak meluncurkan program tersebut sebagian karena pengaruh wacana nasional dan internasional yang menyatakan bahwa lahan-lahan pertanian adalah jantung pembangunan ekonomi. Pendapat mengenai terjadinya deagra-rianisasi juga tidak sejalan dengan kemunculan gerakan-gerakan protes yang menuntut akses tanah sebagai sumberdaya produk-tif, jaminan atas penghidupan yang kian tak menentu, serta simbol identitas dan keterikatan sosial. Mereka bergerak dengan beragam bendera perjuangan: kaum miskin, warga negara, partai politik, petani, kelompok suku atau masyarakat adat. Ketegangan antara kemunduran dan bertahannya arti penting pertanian bukan se-mata-mata terjadi di tingkat makro. Ketegangan-ketegangan ini juga terlihat dari perilaku dan harapan-harapan yang muncul di berbagai tingkatan masyarakat. Sebagai contoh, badan-badan pe-merintahan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendorong sekaligus menghambat kegiatan pertanian; sementara penduduk pedesaan berjuang untuk mendapat akses tanah pertanian atau klaim wilayah adat, bahkan ketika mereka tak lagi tinggal di pe-desaan, demi meraih masa depan “pasca-agraria”.
Tinjauan sekilas atas Kamboja, salah satu negara di Asia Tenggara, dapat memberi gambaran umum mengenai bentang-an dbentang-an laju perubahbentang-an hubungbentang-an berbasis sumberdaya agraria (agrarian relation), terutama tanah. Pada 2005, sektor pertanian menyumbang 33% Produk Domestik Bruto (PDB), dan 68% pen-duduk menggantungkan hidup dari pertanian. Hingga saat itu, kegiatan pertanian masih berpusat pada petani kecil. Tetapi, pada dekade 1998–2008, sekitar 100 perusahaan perkebunan seluas 500–330.000 hektare diberi izin untuk memproduksi ta-naman-bahan-baku-kertas, karet, dan ubi kayu. Penggunaan tanah di luar kegiatan pertanian meluas dengan keluarnya 23 izin untuk membangun “zona ekonomi khusus”, 88
perusaha-an tambperusaha-ang mendapat konsesi, 67 usulperusaha-an pembperusaha-angkit listrik te-naga air sedang dipertimbangkan, dan 18% luasan daratan di-tetapkan sebagai “kawasan lindung” yang bebas dari kegiatan cocok tanam. Serangkaian program berbasis masyarakat dengan dukungan organisasi nonpemerintah (ORNOP) juga menyetujui
penetapan tanah yang bebas dari, atau membatasi, kegiatan pertanian, perhutanan, perikanan, dan penggunaan lain. Pada saat yang sama, World Bank mendukung sebuah program serti-fikasi tanah yang mendapat kritik dari dua arah. Kelompok-ke-lompok penentang berpendapat bahwa program tersebut gagal menyediakan perlindungan memadai bagi kelompok-kelompok yang rentan penggusuran, sementara pemerintah melihat prog-ram itu menghalangi skema-skema pembangunan yang butuh penggusuran, agar bisa terlaksana. Skema-skema pembangunan yang dimaksud termasuk bisnis-bisnis milik pejabat pemerintah dan anggota Angkatan Bersenjata. Alih-alih merespons kebe-ratan dan memenuhi persyakebe-ratan yang dituntut World Bank, pe-merintah memilih membatalkan program sertifikasi pada 2009. Sementara itu, petani-petani kecil di Kamboja mengambil inisi-atif sendiri untuk mengonsolidasikan klaim-klaim tanah, baik untuk jaminan penghidupan maupun, dalam sebagian kasus, sebagai sumber penghasilan dari tanaman komersial. Tujuan konsolidasi ini tidak hanya untuk mempertahankan tanah dari negara dan perusahaan swasta, tetapi juga untuk merespons tin-dakan-tindakan kerabat dan tetangga yang juga melakukan kon-solidasi maupun akumulasi tanah (Seng 2004). Terakhir, gerak-an beberapa kelompok di Kamboja timur-laut ygerak-ang mengalami pengusiran—baik pada masa perang, oleh rezim Khmer Merah, maupun karena bermacam proyek pembangunan—melakukan klaim ulang atas ulayat leluhur suku mereka atau bermigrasi ke wilayah kelompok-kelompok suku lain guna mencari tanah dan penghidupan.
Kamboja barangkali adalah contoh ekstrem karena bermacam-macam perubahan besar berlangsung bersamaan dalam suatu periode singkat dan di negara yang relatif kecil. Namun, unsur-unsur yang terlibat dalam proses tersebut dapat ditemukan di se-antero Asia Tenggara. Proses-proses yang akan kami kaji dalam buku ini memiliki peran penting dalam dinamika dan pergeseran hubungan antara masyarakat dan tanah. Di banyak bagian, per-ubahan-perubahan tersebut berlangsung permanen, tidak da-pat dibalikkan lagi, dan menentukan bentuk perkembangan se-lanjutnya. Perubahan ini terjadi dalam konteks sejumlah besar penduduk masih melanjutkan hidup di pedesaan dan menggan-tungkan hidup dari pertanian—37 juta orang lebih banyak pada 2005 dibandingkan pada 1980—bahkan ketika kontribusi perta-nian dalam PDB relatif menurun (lihat Tabel 1.1).
TABEL 1.1
Asia Tenggara: Jumlah Penduduk, Penduduk yang Bertani, dan Sumbangan Pertanian bagi PDB
Jumlah Penduduk (Juta)1 Penduduk yang Bertani (Juta)1 Persentase Jumlah Pendu-duk Bertani atas Jumlah Penduduk Persentase Sumbangan Pertanian untuk PDB2 1980 2005 1980 2005 1980 2005 1980 2005 Kamboja 6.8 13.9 5.1 9.4 76 68 47 (1993) 33 Indonesia 146.6 219.2 78.6 89.1 54 41 24 13 Laos 3.2 5.9 2.6 4.5 80 76 60 (1990) 45 Malaysia 13.8 25.6 5.4 3.7 39 15 23 8 Filipina 48.1 85.5 24.7 31.1 51 36 25 14 Thailand 47.3 65.9 30.4 29.9 64 45 27 9 Vietnam 53.3 84.1 39.1 54.9 73 65 40 (1985) 21 Total 319.1 500.1 185.9 222.6 58 45 -
-Catatan:
1 Food and Agriculture Organization Corporate Statistical Database (FAOSTAT).
Food and Agriculture Organization (FAO) mendefinisikan petani sebagai “semua orang yang menggantungkan mata pencaharian mereka dari perta-nian, perburuan, perikanan, dan perhutanan. Ini mencakup semua orang yang secara ekonomi aktif dalam pertanian dan anggota keluarga yang tidak bekerja.”
2 World Development Indicators. Data 1980 tidak tersedia untuk Kamboja,
Laos, dan Vietnam.
Melalui buku ini, kami bermaksud membahas bagaimana dan mengapa semua hal ini terjadi. Kuasa-kuasa apa saja yang tam-pak dalam transformasi ini? Siapa saja pelaku yang mendukung atau menolak perubahan ini? Apa dilema-dilema dan debat-de-bat yang dihasilkan dan dirangsang oleh perubahan ini? Siapa yang menang dan siapa yang kalah di tempat dan skala berbeda di kawasan yang sangat rumit ini?
Eksklusi
Untuk memandu penyelidikan kami di atas medan yang rumit ini, kami mengarahkan kajian pada perubahan-perubahan cara penutupan/pencegahan akses orang atas tanah (eksklusi). Isti-lah “eksklusi” sering digunakan dalam kajian-kajian mengenai pertanah di seluruh dunia, dengan penggunaan yang cenderung memiliki dua ciri. Secara empiris, eksklusi sebagai suatu kondisi mengacu pada situasi ketika sejumlah besar orang tidak meliki akses atas tanah atau ketika tanah dikuasai sebagai hak mi-lik pribadi; sementara eksklusi sebagai suatu proses mengacu pada aksi-aksi berskala besar dan sering kali diiringi kekeras-an ykekeras-ang membuat rakyat miskin terusir dari tkekeras-anah mereka oleh, atau atas nama, pihak-pihak yang berkuasa. Secara normatif, eksklusi (penutupan/pencegahan akses) sering dipersamakan dengan penyingkiran, dilihat sebagai sesuatu yang negatif, dan diperlawankan dengan istilah “inklusi” (pemberian akses) yang
bernuansa positif. Pembingkaian seperti ini memberi gambaran bahwa eksklusi adalah sesuatu yang dipaksakan oleh pihak yang kuat kepada pihak yang lemah—sesuatu yang harus dilawan.
Kami memiliki pendekatan yang berbeda mengenai si. Kendati buku ini akan menunjukkan beragam contoh eksklu-si yang melibatkan ketakadilan dan penggusuran, analieksklu-sis kami berdasar pada pengamatan bahwa semua penggunaan dan akses atas tanah membutuhkan eksklusi dengan satu atau lain cara. Orang paling miskin sekalipun, yang bertani secara berkelom-pok dan berkelanjutan, tidak dapat menggunakan tanah tanpa jaminan bahwa orang lain tidak akan merebut lahan atau mencu-ri panen mereka. Berangkat damencu-ri asumsi bahwa eksklusi adalah keniscayaan dan bahwa semua perspektif politik mengenai hu-bungan atas tanah—dari yang paling konservatif sampai yang paling radikal—memandang beberapa tipe eksklusi sebagai se-suatu yang positif, kami meneliti bagaimana cara beragam pi-hak (perusahaan swasta, petani kecil, badan-badan pemerintah,
ORNOP konservasi, dan lain-lain) mendapatkan atau kehilangan
akses atas tanah selama dekade 1990-an dan 2000-an, serta pada dampak eksklusi bagi hubungan sosial di pedesaan.
Eksklusi bukanlah suatu proses yang acak, juga tidak berlang-sung pada satu medan tunggal. Eksklusi dibentuk oleh relasi ku-asa. Di pedesaan seantero Asia Tenggara dan seluruh dunia, pen-cegahan akses atas tanah dapat dipahami melalui interaksi antara
pengaturan, pemaksaan, pasar, dan legitimasi. Pengaturan sering
kali, meski tidak selalu, dihubungkan dengan instrumen hukum dan aturan resmi negara; menyediakan rangkaian aturan ter-kait dengan akses atas tanah dan syarat-syarat penggunaannya. Pemaksaan menciptakan eksklusi melalui penggunaan kekeras-an atau kekeras-ancamkekeras-an kekeraskekeras-an, baik dilakukkekeras-an oleh aparat pemerin-tah (polisi, tentara) maupun pelaku-pelaku nonpemerinpemerin-tah (pre-man, milisi, mafia, satpam, dan lain-lain). Pasar merupakan kuasa
eksklusi karena membatasi akses atas tanah melalui harga dan penyediaan insentif yang menguntungkan klaim individu atas tanah. Legitimasi memapankan basis moral untuk menyatakan klaim secara eksklusif, juga untuk menyokong kuasa pengatur-an, pasar, dan pemaksaan agar tindakan eksklusi bisa diterima secara sosial dan politik. Kuasa-kuasa eksklusi itulah yang mem-bentuk judul dan analisis buku ini.
Penyelidikan kami atas interaksi kuasa-kuasa tersebut berfo-kus pada proses dan pelaku. Buku ini dibagi menjadi enam bab. Setiap bab membahas salah satu proses kunci yang menggerak-kan perubahan hubungan pertanahan di pedesaan Asia Tengga-ra. Proses-proses tersebut secara berurutan adalah (1) pengaturan akses atas tanah, melalui program-program yang didukung pe-merintah berupa sertifikasi, formalisasi tanah, dan pemukiman; (2) perluasan kawasan dan intensifikasi usaha-usaha konservasi hutan melalui pembatasan kegiatan pertanian; (3) munculnya “demam komoditas budidaya” (boom crops) yang menyebabkan konversi lahan secara besar-besaran, cepat, dan lepas kendali untuk produksi tanaman monokultur; (4) konversi lahan bagi penggunaan tanah pasca-agraria; (5) proses-proses pembentuk-an kelas agraria di pembentuk-antara orpembentuk-ang-orpembentuk-ang dekat (intimate) di tingkat desa; (6) pengerahan kelompok-kelompok (berbasis suku, kelas, dan lain-lain) untuk mempertahankan atau merebut akses atas tanah, dengan menyingkirkan pengguna dan penggunaan tanah yang lain. Secara bersamaan, proses-proses tersebut mewakili berubahnya—bukan berkurangnya—arti penting tanah pedesaan. Pergeseran arti tanah ini semakin perlu dikaji karena pentingnya status tanah, baik sebagai aset produktif bagi sumber penghidup-an maupun sebagai tempat ypenghidup-ang sarat dengpenghidup-an rasa dpenghidup-an makna.
Indikasi terjadinya perubahan besar dalam hubungan agra-ria di Asia Tenggara terlihat dari beragamnya proses yang di-kupas dalam buku ini dibandingkan buku-buku mengenai
pe-desaan pada masa “revolusi hijau” dekade 1960-an, 1970-an, hingga 1980-an. Penelitian generasi sebelum ini terfokus pada pola-pola diferensiasi agraria di tingkat desa (proses #5 dalam buku ini) dan konteks kebijakan nasional yang mendorong atau menghambat proses diferensiasi tersebut. Selain itu, deretan
pelaku yang terlibat dalam proses ini juga semakin beragam. Di
samping tuan tanah, penyewa, rentenir, dan pemungut pajak (“penguasa-penguasa lokal” dalam istilah kajian pedesaan kla-sik), pelaku-pelaku yang kami paparkan juga meliputi petani ke-cil dan perkebunan skala besar. Termasuk di dalamnya adalah berbagai badan dan pemangku pemerintahan di tingkat pusat hingga daerah, yang mempunyai agenda, aturan, dan mekanis-me penerapan yang berbeda-beda dan sering kali bertentangan sehingga memperumit maksud dari kebijakan “negara” yang tunggal. Di antara mereka juga mencakup pelaku-pelaku yang melampaui tapal negara, termasuk ORNOP internasional dan
lem-baga donor yang menyediakan pengaturan transnasional seba-gai bagian dari kuasa-kuasa eksklusi yang kami akan bahas. Para pelaku tersebut juga mencakup gerakan-gerakan sosial yang ber-basis nasional maupun lokal, serta berbagai lembaga di bawah payung besar “masyarakat sipil”. Tak ketinggalan, perusahaan nasional dan transnasional juga mewujudkan kuasa eksklusi se-iring mengalirnya investasi asing yang sering memicu timbulnya jenis-jenis baru eksklusi. Dalam praktiknya, identitas para pelaku tersebut sering kali tumpang-tindih dan tersamar satu sama lain. Usaha-usaha mengategorikannya sangat susah. Misalnya, ketika pejabat pemerintah menggunakan wewenangnya untuk kepen-tingan pribadi atau ketika lembaga donor, perusahaan, dan ORNOP
bekerjasama dalam proyek yang berpotensi mengeksklusi. Eksklusi bukanlah hal baru. Kami hendak menghindari pen-dekatan gampangan “sebelum dan sesudah”, serta menolak pandangan romantis dan penuh penyederhanaan mengenai
hi-langnya suatu hubungan harmonis antara komunitas lokal dan tanahnya yang dihancurkan oleh kapitalisme, pembangunan, dan negara. Dinamika-dinamika yang kami bahas sukar diurai dan sering kali tumpang-tindih serta mustahil diringkas menjadi narasi tunggal. Meski demikian, bahan-bahan yang dibahas da-lam buku ini menunjukkan dengan tegas adanya pergeseran kua-litatif, pola-pola yang bisa diidentifikasi, arah yang bisa dipre-diksi, serta beberapa perubahan drastis dan semakin intensif yang membedakan dengan keadaan sebelumnya. Kami mengidentifi-kasi lima pergeseran: pertama, akses tanah yang semula didefi-nisikan secara luwes dan tumpang-tindih berubah menjadi lebih tegas dengan batasan-batasan yang jelas; kedua, akses dan eks-klusi tanah yang semula dilandaskan pada aturan-aturan dan norma-norma berdasar kekerabatan dan hubungan sosial setem-pat bergeser menjadi mekanisme yang lebih ditentukan oleh pemerintah dan aturan resmi; ketiga, di banyak tempat, terjadi penutupan (closure) kawasan pinggiran/tepian hutan (frontier) yang telah lama menyediakan kebutuhan tanah bagi generasi baru dan menjadi suaka bagi orang-orang yang tertindas atau melarat; keempat, pengaruh global dalam dinamika eksklusi di pedesaan Asia Tenggara semakin penting dekade belakangan ini, seperti dicontohkan oleh kegiatan-kegiatan World Bank dan
ORNOP internasional; kelima, terjadi pergeseran pola legitimasi,
suatu proses yang terlihat jelas dalam kebangkitan konservasi alam, formalisasi hak milik pribadi, dan wacana masyarakat adat atau penduduk asli sebagai alasan untuk melakukan eksklusi.
Bentuk-bentuk baru eksklusi mencakup perubahan cara peng-gunaan tanah yang dibuka untuk satu kelompok tetapi ditutup untuk kelompok lain. Perubahan ini sering kali, meski tidak se-lalu, ditolak oleh pihak-pihak yang mengalami eksklusi seca-ra langsung. Pihak-pihak yang tereksklusi mungkin menerima, melawan, atau menghilang begitu saja dengan berbagai cara
se-hingga dampak-dampak eksklusi menjadi sulit dikenali. Sebagi-an besar kepustakaSebagi-an ySebagi-ang membahas eksklusi mengambil con-toh kasus-kasus terkenal seperti sertifikasi tanah (land titling), penetapan kawasan taman nasional, perkebunan (skala besar), dan resor-resor wisata. Pembahasan proses eksklusi dari kasus yang membetot perhatian itu sering kali bermasalah. Di bagian selanjutnya, kami menunjukkan apa masalah dari pembahas-an tersebut, dengpembahas-an cara mengidentifikasi adpembahas-anya dilema ypembahas-ang muncul dari apa yang kami sebut sebagai “wajah ganda eksklu-si”: dalam kenyataannya, eksklusi lebih merupakan kelaziman ketimbang sesuatu yang luar biasa, dan meluasnya aspirasi un-tuk mendapatkan akses atas tanah mengandung harapan tersirat untuk memiliki kuasa mengeksklusi. Sebelum menguraikan dile-ma ini, kami perlu menjabarkan lebih terperinci apa yang kami maksud dengan eksklusi.
Wajah Ganda Eksklusi
Ada dua pandangan utama mengenai eksklusi dalam kajian agraria. Dari perspektif ekonomi, sumberdaya serta barang dan jasa yang lain dikatakan “dapat dieksklusi” ketika terdapat kemungkinan pencegahan terhadap orang untuk mengakses sumberdaya tersebut, sementara sesuatu dikatakan tidak dapat dieksklusi ketika hal itu tidak dimungkinkan. Kemungkinan sesuatu dapat dieksklusi sebagian ditentukan oleh karakter sumberdaya itu sendiri, tetapi juga bisa berasal dari hubungan-hubungan sosial yang melingkupi sumberdaya tersebut (Barkin dan Shambaugh 1999: 4). Satu contoh klasik sumberdaya yang tidak dapat dieksklusi adalah udara yang kita hirup. Tanah pu-nya karakter “dapat dieksklusi” karena orang dapat dicegah un-tuk mendapat akses atau dibatasi dalam memperoleh manfaat darinya. Orang dapat memagari tanah, menempatkan penjaga
di sekitarnya, atau mengumumkan lewat tanda atau informasi berikut sanksi-sanksinya, bahwa seseorang telah memilikinya. Dengan demikian, tanah adalah sumberdaya yang dapat dieks-klusi. Eksklusi juga sering diulas dari perspektif ekonomi politik kritis. Ilmuwan dari perspektif ini banyak menulis tentang eks-klusi dalam ekonomi politik pengaturan sumberdaya alam, tetapi mereka cenderung tidak mengurai definisinya secara ketat. Kami menilai, eksklusi tanah dalam perspektif yang kedua memili-ki paling tidak dua pengertian, yang biasanya terkandung se-cara tersirat. Pertama, eksklusi merujuk pada kondisi distribusi tanah yang sangat timpang, dengan sejumlah besar orang tidak mendapatkan akses/memiliki tanah, sementara sedikit orang menguasai sebagian besar tanah. Pengertian ini sangat dekat dengan konsep ketimpangan dan menyokong penggambaran Jun Borras dan Jennifer Franco (2010: 19) mengenai “status quo” di banyak negara sebagai “suatu kondisi yang ditandai dengan ketakmerataan dan eksklusi dalam hubungan sosial berbasis ta-nah.” Kajian-kajian lain membahas eksklusi melalui pengertian yang lebih dekat dengan konsep properti daripada ketimpangan. Thomas Sikor dan Tran Ngoc Thanh, misalnya, memaparkan apa yang mereka sebut “devolusi hutan eksklusif” di Provinsi Dak Lak, Vietnam, sebagai suatu kebijakan yang “memberi pelaku lokal hak atas hutan yang mendekati hak pemilikan, termasuk hak men-cegah akses pihak lain dan hak terbatas untuk mengalihkan.” Sikor dan Thanh (2007: 650, 652) mengacu pada pemberlakuan kebijakan ini sebagai bentuk “penutupan akses” (enclosure), dan sebagai alternatifnya mereka menawarkan kebijakan “inklusif” yang mencakup pengakuan hak-hak adat dan penciptaan ben-tuk-bentuk tata kelola yang melibatkan seluruh pihak terkait. Kesamaan pandangan para sarjana kritis mengenai eksklusi bu-kan terletak pada pengertian eksklusi itu sendiri, melainbu-kan pa-da persepsi mereka bahwa eksklusi apa-dalah sesuatu yang bersifat
negatif dan perlu diperbaiki. Bagi mereka, eksklusi adalah
sesua-tu yang secara prinsip dapat diatasi atau dikurangi dan diganti-kan dengan hubungan yang bersifat “inklusif”.
Pendekatan kami berbeda. Menurut kami, lawan kata dari “eksklusi” bukanlah “inklusi”, melainkan akses. Berangkat dari definisi Jesse Ribot dan Nancy Lee Peluso (2003: 153) tentang ak-ses sebagai “kemampuan mendapat manfaat dari ak-sesuatu”, kami mendefinisikan eksklusi dengan merujuk pada bagaimana pihak-pihak tertentu dicegah untuk mendapat manfaat dari sesuatu (le-bih khusus lagi, tanah). Kami membagi proses-proses eksklusi menjadi tiga tipe utama: 1) bagaimana pihak tertentu memelihara akses atas tanah yang mereka punyai dengan mencegah akses calon pengguna lain; 2) bagaimana pihak tertentu yang memili-ki akses atas tanah kehilangan akses tersebut; dan 3) bagaimana pihak yang tidak memiliki akses dicegah untuk mendapatkan akses. Seperti konsep Ribot dan Peluso mengenai akses, pema-haman kami mengenai eksklusi lebih luas daripada konsep ke-pemilikan pribadi, bahkan ketika keke-pemilikan dipahami dalam arti luas sebagai “berbagai klaim atau hak yang diterima atau
diakui oleh masyarakat.” Eksklusi tidak ditentukan oleh ada
atau tidaknya hak resmi, tetapi oleh berbagai jenis kekuasaan yang dapat mencegah orang mendapatkan manfaat dari tanah. Namun, penekanan kami atas eksklusi dan bukan pada akses tidak berarti kami hanya membalikkan mekanisme-mekanisme akses yang dibahas Ribot dan Peluso. Dengan berfokus pada pihak-pihak yang tidak mendapat akses dan kuasa-kuasa yang mencegah mereka untuk mendapatkannya, kami menaruh per-hatian lebih besar pada ketegangan dan konflik. Pilihan fokus ini dapat dilihat dari pembahasan kami yang lebih mendalam dan gamblang tentang peran pemaksaan (satu dari empat kuasa eks-klusi) ketimbang artikel Ribot dan Peluso.
Definisi eksklusi di atas membantu kami untuk memusatkan perhatian pada wajah ganda eksklusi dan segala kerumitan yang mengikutinya. Eksklusi, seperti yang kami singgung sebe-lumnya, adalah keniscayaan dalam setiap tipe penggunaan dan pengaturan penguasaan tanah. Konservasi hutan berarti mela-rang kegiatan pertanian, paling tidak sebagian. Para petani tidak akan bercocok tanam tanpa ada keyakinan bahwa mereka da-pat mengontrol lahan hingga panen. Para investor di sektor per-kebunan bergantung pada hak mengeksklusi pihak lain untuk mendapat manfaat dari investasi mereka, meski orang-orang di se-kitarnya barangkali diizinkan untuk memungut sisa-sisa yang ter-tinggal di kebun pascapanen. Karena itu, eksklusi menciptakan perlindungan sekaligus ketakamanan. Ketika tanah menjadi lang-ka, akses eksklusif atas tanah produktif bagi suatu pihak akan berbuah ketegangan karena pihak lain tidak mendapatkannya. Ketegangan ini menjadi jantung perebutan tanah, baik itu “di la-pangan”—dengan pihak-pihak yang mengusung klaim berbeda berkonfrontasi secara langsung (misalnya perusahan perkebun-an lawperkebun-an warga sekitar)—maupun di arena kebijakperkebun-an nasional dperkebun-an internasional, tempat tata kelola tanah diperdebatkan. Eksklusi berwajah ganda berarti beragam hak eksklusif yang diinginkan beragam pihak tidak hanya memberi harapan baik, tetapi juga beragam dampak yang tidak dikehendaki. Ketika pengambil kebijakan, ORNOP, petani kecil, warga tunakisma, dan
pelaku-pelaku lain menyatakan keinginan mereka dengan yakin tanpa membicarakan “dampak negatif”, bukan berarti mereka tidak me-nyadari hal tersebut. Sebagian ketegangan dan kontradiksi yang telah berlangsung lama dalam politik pertanahan di Asia Teng-gara berakar dari fakta bahwa pelaku mengenali wajah ganda eksklusi tetapi gagal mengidentifikasi solusi atas dilema yang di-hadirkannya.
Wajah ganda eksklusi menciptakan serangkaian masalah yang menyebabkan penderitaan dan barangkali tidak dapat dipecah-kan bagi orang atau kelompok tertentu. Debat kebijadipecah-kan, misal-nya, cenderung mendukung tindakan eksklusi sebagai sarana un-tuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya, para pakar berpendapat bahwa konservasi hutan dibutuhkan bagi masa depan bumi, atau orang-orang harus disingkirkan demi melancarkan pembangun-an bendungpembangun-an guna menyediakpembangun-an pasokpembangun-an listrik. World Bpembangun-ank berdalih bahwa pembentukan pasar tanah akan memaksimalkan akses bagi para pengguna tanah paling efisien untuk menjamin pertumbuhan ekonomi. Tetapi, kebijakan resmi yang mendu-kung tindakan eksklusi umumnya diiringi dengan kepedulian atas akibat-akibat eksklusi bagi kehidupan orang banyak. Pemerintah kolonial di Indonesia, umpamanya, mengeluarkan undang-un-dang yang mengizinkan pengambilalihan kawasan yang luas dan mengalokasikannya sebagai kawasan perkebunan bagi orang-orang Eropa. Pemerintah yang sama juga menciptakan kategori “tanah ulayat” yang bersifat komunal dan tidak bisa dijual. Me-reka cemas pemilikan tanah perorangan memberi peluang bagi pribumi “malas” untuk menggadaikan atau menjual tanah, dan membahayakan penghidupan mereka sendiri. Bagi sebagian pejabat, perhatian mereka adalah kesejahteraan pribumi; bagi yang lain, pengambilalihan tanah pribumi yang terlalu banyak dan cepat adalah suatu risiko yang dapat mengguncang tatanan sosial dan keuntungan ekonomi sekaligus. Pemerintahan masa kini sering memiliki cara pandang serupa dan memberlakukan skema pelarangan penjualan tanah bagi kelompok-kelompok tertentu yang dianggap membutuhkan perlindungan khusus (se-perti masyarakat adat, suku-suku terpencil, penerima manfaat program reforma agraria, dan sebagainya) (Li 2010b).
Ketika instansi pemerintah mengenali wajah ganda eksklu-si, dan berusaha membatasi akibat-akibat merusak yang tidak
diinginkan dari tindakan-tindakan eksklusi, mereka menjadi bagian “gerakan tanding”. Tanah, seperti diamati Karl Polanyi (1957), bukanlah sebuah komoditas biasa karena merupakan dasar utama penghidupan; karena itu, pencegahan akses atas tanah akan terus menjadi subjek gerakan tanding yang menun-tut fungsi sosial tanah. Gerakan-gerakan tanding ini tidak ha-rus memiliki asal usul atau alasan yang sama atau mewakili kepentingan tunggal. Gerakan-gerakan ini adalah jaringan long-gar dengan beragam pelaku, cita-cita, dan tuntutan datang ber-temu, bergabung untuk sementara, terpecah-belah, lalu buyar. Polanyi menekankan, eksklusi yang berbasis pasar merupakan ancaman utama bagi akses atas tanah. Gerakan tanding mela-wan komodifikasi tanah punya sejarah panjang di Asia Tengga-ra, dan terus bermunculan dan bersekutu lagi di era neoliberal ketika pasar muncul sebagai kuasa adidaya. Pada waktu yang sa-ma, jangkauan gerakan tanding ini semakin luas dan menyadari bahwa, selain proses-proses pasar, rangkaian aturan resmi dan pematokan besar-besaran juga turut menghancurkan prasyarat bagi keberlanjutan kehidupan dan mata pencaharian sebagian orang. Penduduk desa yang menduduki sebidang tanah untuk membudidayakan tanaman pangan melancarkan gerakan tan-ding ketika mereka mengabaikan tapal hutan negara atau tanda yang menyatakan “Tanah Milik Pribadi. Dilarang Masuk”. Aksi-aksi mereka kadang mendapat dukungan dari aktivis atau pejabat pemerintah yang menyitir pasal-pasal konstitusi dan menyata-kan bahwa tanah tertentu adalah milik “rakyat” sehingga mere-ka berhak menggunamere-kannya demi keberlangsungan hidup. Ter-masuk bagian dari gerakan tanding adalah program-program pemerintah yang mengambil tanah dari pemilik perorangan dan membagikannya kepada orang lain melalui program reforma agraria atau mengalokasikan tanah-tanah negara bagi petani gurem. Terdapat unsur-unsur transnasional dalam persekutuan
ini, ketika penduduk desa yang memperjuangkan tanah mencari pembenaran klaim lewat wacana hak atas pangan yang dijanji-kan dalam aturan-aturan internasional hak asasi manusia. Untuk mencapai semua tujuan tersebut, pihak-pihak dalam gerakan tanding cenderung memandang eksklusi sebagai sesuatu yang buruk, berbalikan dengan pengambil kebijakan yang melihatnya sebagai hal yang baik. Namun, gerakan-gerakan tanding ini ti-dak menyelesaikan dilema: sekalipun tujuan mereka adalah me-lindungi kehidupan, rangkaian pranata dan aturan akses yang mereka tawarkan mensyaratkan bentuk-bentuk baru eksklusi yang memberi manfaat bagi satu kelompok dengan mengorban-kan kelompok lain.
Wajah ganda eksklusi dan dilema yang dihadirkannya bagi beragam pihak dapat dijumpai di sepanjang buku ini. Konservasi alam adalah satu arena di mana wajah ganda eksklusi ini dengan gampang dikenali. Kawasan suaka alam atau taman nasional me-nutup dan menetapkan tanah bebas dari kegiatan pertanian skala kecil. Ganti rugi, jika diberikan, biasanya tidak cukup mengganti mata pencaharian petani yang hilang, dan para petani sering me-lawan proses eksklusi itu atas nama hak tanah sebagai sumber penghidupan. Satu cara untuk melihat perseteruan semacam itu adalah dengan melihat skalanya. Pihak-pihak yang tereksklusi dari akses langsung atas kawasan hutan lindung dituntut untuk menanggung beban bagi kepentingan global, yakni konservasi keanekaragaman hayati. Timpangnya beban yang mesti mere-ka bayar menunjukmere-kan ketaksetaraan kekuasaan di antara pi-hak-pihak yang terlibat. Lebih penting lagi, mereka yang men-dukung konservasi tidak menganggap tindakan mereka sebagai penutupan akses atas tanah; mereka melihatnya sebagai bagi-an dari gerakbagi-an tbagi-anding untuk melindungi kehidupbagi-an. Mereka menganggap diri sedang melindungi hutan dari pembalakan atau konversi pertanian bukan demi kepentingan pribadi, melainkan
untuk menjamin kesehatan bumi dan masa depan generasi men-datang. Mereka sulit menerima tudingan sebagai penjahat yang tidak peduli nasib rakyat.
Kapitalisme menghadirkan dilema yang pelik karena memili-ki efek eksklusi yang kronis dalam jantungnya. Untuk menjelas-kan efek-efek kapitalisme, para peneliti yang bekerja dalam tradisi Marxis membahas perbedaan penting antara memproduksi un-tuk pasar ketika peluang menguntungkan terbuka, dan mempro-duksi untuk pasar karena terpaksa (simak, salah satunya, Wood 2002). Unsur keterpaksaan inilah yang menentukan hadirnya hubungan-hubungan kapitalis (capitalist relations). Petani kecil di Asia Tenggara sudah lama berpartisipasi di dalam pasar. Be-danya, kini sangat sedikit petani yang dapat bertahan hidup tan-pa berhubungan dengan tan-pasar, itu pun jika masih ada. Petak-petak lahan sempit yang berkombinasi dengan kebutuhan uang tunai untuk membeli barang dan jasa yang disepakati penduduk desa masa kini sebagai kebutuhan pokok (misalnya, biaya seko-lah), memaksa para petani terlibat dalam pasar sebagai produ-sen tanaman komersial atau penyedia tenaga kerja. Jika biaya produksi (sewa tanah, tenaga kerja, modal) melebihi hasil pro-duksi, atau penghasilan mereka tidak cukup untuk memperta-hankan kehidupan keluarga, mereka akan terjerat utang dan berisiko kehilangan tanah. Sementara sebagian lain, yang se-ring digambarkan sebagai petani efisien, dapat mengakumula-si tanah dan modal. Peran efimengakumula-sienmengakumula-si dan kuasa “alamiah” pasar dalam konteks kompetisi seharusnya tidak dibesar-besarkan. Dalam semua sistem kapitalisme yang pernah ada, pemerintah senantiasa melakukan intervensi untuk menciptakan kondisi yang mendorong kelompok tertentu dapat meraih kemakmur-an, sementara yang lain disingkirkan—satu poin yang akan ka-mi uraikan di sepanjang buku ini. Di atas semuanya, kapitalisme agraria—seperti kapitalisme pada umumnya—secara sistematis
menciptakan kemakmuran sekaligus kemiskinan, akumulasi se-kaligus perampasan.
Yang luar biasa, kedalaman efek-efek eksklusi kapitalisme se-ring tidak diperhatikan oleh pakar pembangunan neoliberal yang mengutamakan intensifikasi pasar dalam mengurangi kemiskin-an, mengabaikan bahwa kemiskinan terbentuk bersamaan de-ngan kemakmuran. Di sisi lain, mereka mungkin mengakui ada-nya kemiskinan, tetapi mereka menekankan manfaat-manfaat yang akan diterima orang-orang yang terusir jika pindah ke kota, atau menjanjikan penyediaan “jaring pengaman”, atau mengalih-kan perhatian dengan menemengalih-kanmengalih-kan pada manfaat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang akan menyejahterakan semua orang (Li 2009a). Atau yang terakhir, mereka mungkin mengecilkan dampak eksklusi dengan memilah-milah penduduk, memisah-kan kelompok yang menguntungmemisah-kan bagi pasar dari kelompok lain yang karena karakter khususnya—seperti masyarakat adat, penerima manfaat program reforma agraria, penduduk sekitar hutan, atau “komunitas” khusus lain—harus dilindungi dari risi-ko bersentuhan dengan pasar. Di Asia Tenggara, gerakan masya-rakat adat dan gerakan yang mempromosikan pengelolaan hu-tan berbasis masyarakat mengusulkan agar kelompok-kelompok dan tanah-tanah tertentu tidak terlibat dalam pasar tanah demi mencegah mereka kehilangan tanah dengan cara menjualnya. Di Filipina, perlindungan jenis ini dimasukkan ke dalam perun-dang-undangan yang mengakui ulayat leluhur masyarakat adat yang tidak dapat dijual kecuali atas kesepakatan seluruh anggo-ta kelompok. Eksklusi yang bekerja di sini adalah pencegahan akses atas pasar tanah. Hal ini juga memiliki akibat ganda: para petani kecil pedesaan yang dikategorikan sebagai masyarakat adat sering kali menginginkan status kepemilikan perseorangan secara penuh sebagai modal untuk memperoleh peruntungan yang ditawarkan pasar dalam perekonomian kapitalisme.
Seja-uh mana aktivis, para ahli, dan pejabat merancang skema untuk memilah para warga dan menetapkan jenis kepemilikan tanah yang disesuaikan dengan kategorisasi tersebut adalah salah satu temuan mengejutkan yang muncul dari analisis komparatif ka-mi. Ini pun mengisyaratkan bahwa dilema yang dihadirkan oleh pasar sebagai mesin penggerak eksklusi diakui oleh beragam pe-laku, termasuk anggota kelompok-kelompok khusus tersebut, se-kalipun dilema itu belum bisa ditangani (Li 2010b).
Klaim atas tanah berdasar identitas kesukuan atau wilayah adat, ketika satu kelompok menyatakan bahwa mereka hadir duluan dan berhak melakukan eksklusi terhadap pihak lain le-wat klaim sejarah dan keterikatan atas satu kawasan tertentu, memunculkan dilema-dilema yang amat sulit ditangani. Klaim atas wilayah berdasarkan suku semakin meluas di Asia Tengga-ra ketika progTengga-ram-progTengga-ram desentTengga-ralisasi menguatkan kembali konsep kolonial maupun lokal mengenai kesukuan sebagai jus-tifikasi utama akses atas tanah, serta didukung instrumen legal transnasional yang melindungi hak-hak masyarakat adat. Dalam kasus yang sangat ekstrem, eksklusi berubah menjadi pengusir-an dengpengusir-an melibatkpengusir-an kekeraspengusir-an hingga pemusnahpengusir-an etnis. La-zimnya, perjuangan tanah berdasar klaim ini berlangsung da-mai, tetapi selalu diwarnai ketegangan ketika “orang setempat” mempersulit “orang luar” untuk mendapat atau menguasai tanah. Pemerintah terkadang siap mengakui kepemilikan wila-yah berdasar kesukuan sebagai basis legitimasi pembenaran klaim. Namun, masalah tentang siapa yang mendapat akses ti-dak terpecahkan. Di sebagian besar Asia Tenggara, masa-masa perang, migrasi, penggusuran, dan pemindahan paksa menja-dikan persoalan tentang ‘milik siapa di mana’ biasanya kabur. Karena tidak mungkin mengembalikan semua orang ke tempat semula, masalah tentang bagaimana mengalokasikan tanah ba-gi orang-orang yang menyadari bahwa mereka berada di luar
batas ulayat leluhur tetapi menuntut hak untuk hidup, tetaplah mengemuka. Klaim kawasan berbasis kesukuan juga berbentur-an dengberbentur-an skema lain pemberiberbentur-an akses (dberbentur-an legitimasi eksklusi) atas nama peningkatan kesejahteraan penduduk, seperti pertum-buhan ekonomi, konservasi, dan kebutuhan tanah bagi para tu-nakisma.
Akhirnya, wajah ganda eksklusi juga terlihat dalam aspek-aspek administrasi pertanahan yang sering membuat frustrasi para ahli, administrator, dan investor. Undang-undang yang saling bertentangan, agenda pemerintah yang tidak konsisten, tumpang-tindih alokasi tanah, prioritas yang berubah-ubah, batas-batas yang membingungkan, peta-peta yang buruk, dan data yang tidak lengkap, semua ini biasa ditafsirkan sebagai bukti lemahnya kapasitas pemerintah atau selubung bagi upaya perampasan tanah. Namun, situasi ini juga punya sisi produktif yang jarang diperhatikan. Inkonsistensi aturan memungkinkan beragam pihak untuk mengajukan klaim bahwa hak mereka-lah yang diakui. Aturan yang mengakui hak atas tanah hadir bersamaan dengan aturan yang mengabsahkan pengusiran: di satu sisi, aturan-aturan tersebut melegitimasi beragam tindakan eksklusi; di sisi lain, aturan-aturan itu menyisakan dilema yang tidak terselesaikan. Tergantung situasinya, pihak yang dituga-si mengudituga-sir petani keluar dari hutan lindung atau tanah-tanah telantar di sudut perkebunan dapat melaksanakan tugas sesuai aturan yang mendukung mereka; atau mereka dapat memilih ca-ra lain karena tahu paca-ra petani itu (mungkin keca-rabat atau tetangga mereka sendiri) tidak hanya butuh penyambung hidup tetapi juga punya hak atas tanah itu. Batas-batas yang membingungkan ini menyediakan kondisi tahu-sama-tahu, dan ini sangat disukai pa-ra petani kecil saat mereka tepa-rancam diusir lantapa-ran bepa-rada di are-al yang ditetapkan sebagai kawasan terlarang. Namun, ketakje-lasan juga menyimpan mara bahaya: ini membuka kesempatan
bagi pejabat di berbagai tingkatan untuk bertindak sebagai tiran, menggunakan kekuasaan mereka untuk mengusir, mengancam, merampas sumberdaya, atau meminta pungutan secara selektif.
Saat membahas wajah ganda eksklusi sebagai keniscayaan dalam pengaturan dan penggunaan lahan produktif maupun se-bagai ancaman bagi kehidupan dan sumber penghidupan, kami sudah mengawalinya dengan mengurai dilema yang dihadapi pi-hak berwenang dan pakar yang bertanggung jawab merancang penataan terbaik, juga ORNOP serta pelaku lain yang berusaha
menantang aturan-aturan tersebut atas nama kaum miskin pe-desaan. Tak ada satu bagian pun di sepanjang buku ini yang me-nunjukkan bahwa kami menyederhanakan persoalan akses da-lam dikotomi eksklusi (jahat) dan inklusi (baik); dikotomi seperti ini tidak memadai karena inklusi bagi penggunaan dan penggu-na tapenggu-nah tertentu selalu berarti eksklusi bagi yang lain. Kami tidak punya resep siap saji untuk ditawarkan selain menunjukkan bah-wa akan lebih bermanfaat bagi pengambil kebijakan, program, atau proyek yang memiliki efek eksklusi untuk mengenali dan memahami berbagai dampak eksklusi bagi beragam kelompok daripada mengabaikan kehadirannya. Apa yang kami sajikan di sini adalah kajian tentang bagaimana eksklusi berlangsung. Pe-nekanan pada pertanyaan “bagaimana” memungkinkan kami untuk membedah kuasa-kuasa yang bekerja pada beragam rezim eksklusi, dan menempatkan pertanyaan siapa yang menang dan siapa yang kalah sebagai pusat analisis.
Untuk merangkum diskusi mengenai wajah ganda eksklusi, kami akan mengemukakan komentar singkat mengenai hubung-an hubung-antara pemahamhubung-an kami atas eksklusi denghubung-an konsep pe-nutupan akses (enclosure), akumulasi primitif (primitive
accu-mulation), dan akumulasi melalui perampasan (accumulation by dispossession). Sepanjang abad XXI, tiga konsep ini telah
negara-negara berkembang. “Penutupan akses” secara umum dipahami sebagai konversi sumberdaya milik umum (terutama tanah, teta-pi juga sumberdaya lain milik bersama seperti pengetahuan dan perikanan) menjadi milik pribadi. Konsep “akumulasi primitif” berasal dari Karl Marx, merujuk pada elemen inti suatu proses transformasi sosial masyarakat nonkapitalis menjadi masyarakat kapitalis, khususnya pada proses pemisahan pekerja dari akses sarana produksi secara langsung, terutama melalui penutupan akses lahan yang menyingkirkan sebagian petani dan mengubah tanah menjadi harta dan modal pribadi (Perelman dan Glassman 2006). David Harvey (2003) kemudian merumuskan ulang istilah “akumulasi primitif” menjadi “akumulasi melalui perampasan”. Konsep-konsep ini dan perdebatan seputarnya sangat berguna, dan kami setuju bahwa ketiga proses tersebut terjadi di Asia Teng-gara kontemporer. Meski demikian, penggunaan istilah “eks-klusi” dengan sengaja diperluas melebihi konsep-konsep terse-but, sekaligus untuk menunjukkan fenomena yang lebih luas dan beragam sambil membahas beberapa kekurangan dan asumsi-asumsi keliru dalam penggunaan ketiga konsep tersebut.
Perhatian utama kami terletak pada asumsi-asumsi menge-nai “siapa” (pelaku dan korban) dan “mengapa” penutupan akses terjadi. Kebanyakan penulis dalam debat ini berasumsi: pertama, penutupan akses dilakukan oleh pemerintah dan/ atau perusahaan besar (atau yang mewujud sebagai “kapital”); kedua, penutupan akses dilakukan untuk meraup untung besar atau secara lebih umum untuk memfasilitasi akumulasi. Tetapi, kami akan menunjukkan bahwa penutupan akses juga sering digerakkan oleh tujuan lain seperti dalam penetapan kawasan konservasi dan pembentukan atau perlindungan wilayah berba-sis suku. Kami juga membahas kasus-kasus penutupan akses tanah dan penggusuran pihak lain yang dilakukan oleh ORNOP
or-ganisasi desa yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya ber-basis komunitas, dan petani yang bertindak atas nama sendiri. Perhatian pada kelompok jenis terakhir ini, khususnya, memba-wa pada asumsi bermasalah ketiga: bahmemba-wa penutupan akses dan akumulasi primitif akan ditentang oleh penduduk miskin. Seba-liknya, kajian kami tentang budidaya kakao di dataran tinggi Sulawesi dan demam kopi di Tây Nguyên (Central Highlands), Vietnam, menunjukkan dengan jelas bahwa para petani kecil di Asia Tenggara sangat ingin terlibat dalam penutupan akses dan akumulasi primitif “dari bawah”. Secara paradoksal, Tubtim dan Hirsch (2005) menunjukkan bagaimana penutupan akses dapat dilakukan melalui wacana mengenai sumberdaya milik bersama. Penutupan akses yang sering terjadi di kalangan orang-orang dekat, yang kami sebut sebagai “penutupan akses sehari-hari”, sebaiknya tidak membutakan kita dari fakta bahwa para petani kecil tidak selalu setuju dengan orientasi kolektif dalam memer-tahankan kepemilikan bersama; mereka sering kali menginginkan kepemilikan pribadi atas tanah. Karena keinginan ini juga bisa memunculkan dilema yang kami bahas di atas, kita tidak bisa mengabaikannya.
Asumsi bermasalah keempat dalam kepustakaan mengenai penutupan akses terletak pada pandangan bahwa proses ini dili-hat sebagai proses sepihak oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang berusaha mengambil alih tanah milik bersama suatu “komunitas”. Kalaupun pandangan ini merupakan suatu deskripsi memadai untuk beberapa sengketa tanah di Asia Teng-gara, kepemilikan bersama atas lahan pertanian atau permukim-an lebih merupakpermukim-an pengecualipermukim-an daripada kelazimpermukim-an. Di tem-pat-tempat yang “dipatok” untuk bendungan, program sertifikasi tanah, dan perkebunan besar, tanah sebagian besar dikuasai, dihuni, dan dikelola secara perseorangan oleh penduduk se-tempat. Fakta bahwa pemangkuan-pemangkuan tanah tersebut
sering tidak diakui oleh pemerintah bukan berarti tanah-tanah itu “milik bersama”; alih-alih, tanah-tanah itu harus dilihat sebagai properti individu yang dipegang di bawah beragam pengaturan adat istiadat setempat dan/atau pengaturan informal. Aturan-aturan setempat sering kali memberi izin bagi pemilik tanah un-tuk menjual atau menggadaikan tanah, sehingga menjadikan tanah sebagai komoditas, meski cara pengalihan tanah sering diawasi (lihat Bab 2). Sekali lagi, kami tidak menyangkal bahwa penutupan akses, akumulasi primitif, dan akumulasi melalui pe-rampasan, sebagaimana didefinisikan banyak pihak dalam per-debatan agraria, sedang berlangsung di Asia Tenggara. Kami juga tidak menyatakan bahwa konsep tersebut tidak berguna dalam menjelaskan mengapa padang gembala, hutan, rawa-rawa, dan “sumberdaya milik bersama” lain dirusak dan dirampas tanpa kompensasi. Kami menyadari bahwa istilah “sumberdaya milik bersama” telah dan akan terus digunakan untuk menjadi dasar penting perjuangan bagi mereka yang menghadapi perampas-an. Namun, kekuatan wacana “sumberdaya milik bersama” dan “komunitas” untuk menuntut atau mempertahankan hak atas ta-nah tidak selalu sesuai dengan kenyataan di lapangan. Dengan demikian, istilah “sumberdaya milik bersama”, seperti halnya istilah “penutupan akses”, harus diterapkan dengan hati-hati dan memperhatikan asumsi-asumsi di dalamnya.
Kuasa-Kuasa Eksklusi
Lantas kuasa apa saja yang membentuk eksklusi atas tanah? Analisis kami atas pertanyaan ini dimulai dengan bertanya: tang-gapan seperti apa yang mungkin muncul jika seseorang ditanya mengapa ia tidak mendapat akses atas sepetak tanah? Katherine Verdery (2010) mengajukan pertanyaan yang sama dan mendaf-tar sederet “kemungkinan idiom” yang biasa digunakan untuk
membenarkan klaim atas sepetak tanah: “Garis kerabat kami le-bih tebal,” “Kamilah yang pertama kali tinggal di sini,” “Saya yang paling kuat,” “Saya pewaris sah,” dan “Saya sudah mengeluarkan banyak biaya untuk mendapatkannya dan saya punya buktinya.” Kami berpendapat, di tingkat yang paling dasar, terdapat empat penjelasan utama mengenai eksklusi: “Ini dilarang,” “Saya tidak sanggup membelinya,” “Saya bisa celaka kalau coba-coba,” dan “Ini salah.” Tanggapan-tanggapan ini memberi kita empat kua-sa yang kami lihat sebagai jantung eksklusi: pengaturan, pakua-sar,
pemaksaan, dan legitimasi. Kami menekankan dua aspek terkait
pendekatan kami mengenai kuasa-kuasa tersebut. Pertama, kami tidak sedang menyatakan bahwa empat kuasa itu sudah men-cakup seluruh aspek yang menjelaskan bagaimana akses tanah diatur, atau bahwa kuasa-kuasa itu merupakan semacam kun-ci pamungkas bagi teori sosial. Kedua, kami menyadari bahwa kuasa-kuasa tersebut bergantung satu sama lain. Misalnya, pasar sangat tergantung pada pengaturan, pemaksaan, dan legitimasi, sehingga pembahasan mengenai pasar yang mengabaikan fakta ini akan segera salah arah. Kuasa (power) juga salah satu istilah yang paling membingungkan dan mengundang perdebatan da-lam ilmu-ilmu sosial. Kami tidak mengambil satu posisi tertentu dalam perdebatan mengenai kuasa di buku ini. Tetapi, kami ingin menunjukkan bahwa empat kuasa tersebut menyediakan dasar-dasar heuristis yang sangat berguna bagi kajian mengenai akses dan eksklusi tanah di Asia Tenggara maupun bagian dunia lain.
Untuk menjelaskan secara singkat apa yang dimaksud de-ngan kuasa-kuasa itu, kami akan mulai dari pengaturan. Dalam pengertian kami, pengaturan merujuk secara khusus pada atur-an-aturan—formal maupun informal—yang mengatur akses dan pencegahan akses (eksklusi). Pengaturan tanah memiliki em-pat komponen utama. Pertama, pengaturan menentukan
menentukan jenis-jenis penggunaan tanah yang diperbolehkan atau dilarang di antara batas-batas tersebut. Pada umumnya, ne-gara-negara modern mengaveling tanah dengan beragam tujuan, dengan membagi wilayah kekuasaannya untuk konservasi, in-dustri, perdagangan, pariwisata, hutan, pertanian, militer, per-mukiman, dan sebagainya. Namun, peraturan-peraturan tata guna lahan tidak selalu bersifat mutlak, seperti ketika negara Siam abad XIX melarang para petani untuk menebang pohon jati tetapi membolehkan mereka untuk menggarap tanahnya. Ketiga, pengaturan berusaha menentukan jenis-jenis klaim
kepemilik-an dkepemilik-an hak pemkepemilik-anfaatkepemilik-an ykepemilik-ang dapat diberikkepemilik-an untuk berbagai
macam status tanah. Bila bentuk paling sederhana kepemilikan tanah yang dikenal adalah milik negara dan kepemilikan indivi-du, hubungan pertanahan di Asia Tenggara dicirikan oleh jenis-jenis hak atas tanah yang sangat beragam. Misalnya, Thailand memiliki sistem berjenjang untuk pengakuan hak atas tanah, dari yang paling lengkap dan formal (sertifikat hak milik) sampai yang nonformal atau berbasis adat, dan di antaranya berupa hak guna tanah yang tidak mengizinkan kepemilikan dan penjualan (lihat Bab 2). Sementara itu, di negara seperti Malaysia, asal usul kesukuan menentukan siapa saja yang dapat memiliki tanah ter-tentu (Bab 4). Ketiga komponen pengaturan yang telah dibahas tersebut—batas-batas, peruntukan lahan, dan tipe-tipe hak—bisa dibingkai secara bersamaan dalam rubrik penataan lahan atau “zonasi”. Keempat dan terakhir, pengaturan membuat ketentuan-ketentuan mengenai individu, keluarga, kelompok masyarakat, atau instansi pemerintah mana yang punya alas hak atas lahan tertentu.
Tiga poin lagi terkait pengaturan akan mengemuka dalam buku ini satu per satu. Pertama, kami tidak menganggap bahwa hanya pemerintahlah yang memegang hak mengatur. Aturan me-ngenai akses tanah dan eksklusi sering kali dibuat oleh
kelom-pok masyarakat adat. Barangkali yang kerap luput diperhatikan, organisasi transnasional juga terlibat dalam pengaturan tanah di Asia Tenggara. Seperti contoh yang kami diskusikan dalam Bab 5, UNESCO dapat memiliki suatu kewenangan, meski tidak sela-lu sela-lugas, yang berdampak bagi tata guna dan kepemilikan tanah dengan mendeklarasikan suatu kawasan sebagai Situs Warisan Dunia. Kedua, pengaturan bukanlah perkara yang semata-mata soal pelarangan dan pemberlakuan syarat-syarat. Lebih dari itu, pengaturan pertanahan bekerja melalui pemberian insentif yang mendorong perilaku tertentu sekaligus membatasi perilaku lain. Beberapa program “pengelolaan sumberdaya berbasis masyara-kat” dengan dukungan donor yang kami bahas dalam Bab 3 mem-beri penghargaan kepada desa-desa yang menyisihkan sebagian tanah mereka sebagai kawasan konservasi. Ketiga, pengaturan tidak selalu efektif, dan sumber-sumber wewenang pengaturan yang berbeda-beda sering kali berbenturan. Nyatanya, peratur-an-peraturan tentang akses tanah dan eksklusi di Asia Tenggara sering kali lemah. Lapangan golf dibentangkan di atas kawasan taman nasional; jual beli tanah besar-besaran berlangsung di tanah-tanah yang secara resmi tidak boleh diperjualbelikan; tanah-tanah yang dicadangkan bagi penggarap dan penerima manfaat program reforma agraria sering kali balik ke tangan pa-ra tuan tanah; dan birokpa-rasi yang rumit menciptakan atupa-ran- aturan-aturan yang berbenturan, tidak hanya dengan aturan-aturan lokal dan adat, tetapi juga dengan aturan resmi lainnya. Zona “abu-abu” penuh kompromi, kolusi, dan suap-menyuap adalah kelaziman, dan bukan hal yang luar biasa. Kasus-kasus yang kami hadirkan menunjukkan beragam pelaku dan metode yang terlibat dalam pengaturan tanah di Asia Tenggara dengan berbagai macam tingkat keberhasilan.
Saat bergeser membahas pengaturan menuju pemaksaan, ka-mi mendapati satu area penting dengan empat kuasa eksklusi
yang bercampurbaur. Paksaan adalah inti dari pengaturan: sa-at sanksi ditimpakan kepada mereka yang melanggar hukum, di negara modern, sebagian besar terjadi dengan jalan paksaan, dan pemerintah mendaku diri sebagai satu-satunya pihak yang sah melakukan pemaksaan. Namun, ini tidak berarti setiap peng-gunaan pemaksaan oleh aparat pemerintah bertujuan untuk menegakkan aturan. Di Asia Tenggara, aparat militer dan polisi dapat bertindak jauh di luar peran mereka sebagai penegak hu-kum, kerap menggunakan jalan kekerasan demi kepentingan swasta, atau membuat klaim-klaim ekstralegal atas tanah untuk mereka sendiri. Meluasnya perampasan tanah yang disokong militer di Kamboja barangkali contoh paling spektakuler di Asia Tenggara. Tak kalah penting, sering kita jumpai momen-momen ketika polisi berjibaku membela akses atas tanah yang dida-patkan oleh orang-orang kuat dengan cara kejam. Pelaku-pela-ku yang dapat melaPelaku-pela-kukan pemaksaan di sini termasuk aparat pemerintah yang bertindak di luar tugas resmi. Mereka bisa men-jadi pasukan pengaman dalam berbagai bentuk: polisi
hacienda-hacienda di Filipina, atau penjaga tambak yang mencegah
pen-curian udang di Thailand, atau geng bersenjata yang menjadi bagian penting bagi kekuasaan orang-orang kuat dan bos-bos lo-kal yang kami diskusikan dalam Bab 5. Selain itu, pemaksaan ju-ga tidak dimonopoli oleh pihak yang kuat dan memiliki jarinju-gan luas; penduduk miskin dan petani kecil di tingkatan yang berbe-da-beda juga menggunakannya. Petani-petani kecil lazim melaku-kan pembakaran dalam sengketa melawan petani lain di tingkat desa atau saat berhadapan dengan pemerintah atau perusahaan swasta. Kaum tani tunakisma menduduki kawasan secara pak-sa; kelompok-kelompok suku memobilisasi diri, melakukan inti-midasi, dan menyerang satu sama lain untuk mendapatkan akses atas suatu kawasan. Tentara Rakyat Baru (New People’s Army [NPA]), sayap militer Partai Komunis Filipina, merupakan pelaku
utama dalam sengketa tanah di Filipina. Pendek kata, pemaksaan adalah suatu kuasa nyata eksklusi.
Kami juga menekankan bahwa ketika penggunaan kekerasan terbuka lazim terjadi, bukan berarti kekerasan merupakan bentuk pemaksaan utama yang digunakan untuk melakukan eksklusi. Pemaksaan dapat sangat mangkus bahkan ketika dilakukan se-cara tersirat dan dari jarak yang cukup jauh. Orang-orang yang sedang dipindahkan dari sekitar kawasan bendungan mungkin memutuskan tidak menuntut kompensasi yang dijanjikan kare-na merasa aparat pemerintah telah siap menggukare-nakan kekerasan untuk menghantam aksi perlawanan mereka. Orang-orang yang ditargetkan sebagai penerima manfaat program reforma agraria di Filipina mungkin tidak bersikeras menuntut hak atas tanah ka-rena mereka tahu bahwa para tuan tanah dapat menggunakan pemaksaan di luar koridor hukum. Sebaliknya, pejabat-pejabat pemerintah juga mencemaskan potensi kekerasan dari rakyat, juga menerapkan kebijakan reforma agraria dan cara-cara lain demi mencegah kekerasan. Penguasaan sarana kekerasan dapat menciptakan suatu iklim yang membuat pemaksaan berlaku sa-ngat mangkus tanpa harus digunakan secara langsung. Situasi semacam ini sangat terkait dengan kasus-kasus kekerasan aktual yang merentang dari intimidasi paling halus hingga yang terbu-ka.
Kuasa ketiga yang kami hadirkan dalam buku ini adalah
pa-sar, yang telah menjadi kekuatan besar dan penting bagi
dinami-ka akses dan eksklusi tanah di Asia Tenggara. Harga tanah adalah faktor utama yang menentukan siapa mendapat dan siapa yang tidak mendapat akses atas tanah. Sebagaimana berlaku pada ku-asa-kuasa lain, merumuskan apa yang membentuk kuasa pasar tentu saja bukan hal mudah. Pasar tidak muncul dengan sendi-rinya. Seperti yang kami paparkan sebelumnya, pasar disokong oleh pengaturan, pemaksaan, dan legitimasi. Pemerintah
se-nantiasa mencampuri urusan pasar dalam rangka menciptakan kegiatan ekonomi dan memberi keistimewaan bagi kelompok-kelompok yang disukai dan mendukungnya. Tanah siap untuk dijual hanya dalam kondisi-kondisi tertentu, dan pemerintah berusaha membenamkan keberadaan jenis-jenis pasar tertentu (misalnya, pasar tanah di dalam kawasan konservasi) dengan ragam tingkat keberhasilan. Tak kalah pentingnya, pihak-pihak yang terlibat di dalam pasar dan para pembuat kebijakan se-ring kali adalah orang atau kelompok yang sama. Dalam diskusi tentang kuasa pasar, kami berusaha memperlihatkan peran dan intervensi pemerintah agar lebih jelas. Sebaliknya, kami juga ingin menekankan bahwa harga-harga komoditas dan jasa ter-tentu sangat penting dalam memahami dinamika eksklusi. Mes-ki harga-harga itu tidak melulu tercipta dalam ruang abstrak hukum permintaan dan penawaran, di banyak bagian orang tetap berhadapan dengan harga sebagai fakta sosial yang sulit dihindari. Melejitnya harga kopi di pasar dunia telah mendorong jutaan warga Asia Tenggara untuk menanam komoditas budida-ya itu, baik di tanah-tanah budida-yang telah mereka kuasai maupun di lahan baru—suatu perubahan dengan dampak eksklusi yang luar biasa. Melonjaknya harga tanah secara spektakuler di pinggiran kota dan di kawasan wisata mendorong para petani kecil untuk menjual tanah-tanah mereka dan memacu pengambilalihan ta-nah besar-besaran. Harga-harga kredit (atau katakanlah bunga utang) menjadi faktor penting dalam proses-proses pelepasan tanah di antara petani kecil yang akan kami bahas dalam Bab 7. Selain itu, perlu diungkapkan bahwa suap-menyuap sering punya “harga pasar”, yang dapat menggiring polisi untuk mengabaikan nelayan yang menangkap ikan di kawasan pantai yang dibuat seolah terlarang, atau yang dapat meyakinkan seorang walikota untuk mengeluarkan aturan tata ruang baru guna memuluskan konversi lahan.
Kuasa terakhir adalah legitimasi. Dipahami sebagai alasan pembenaran bagi kondisi sesungguhnya atau kondisi ideal dan merujuk pada nilai-nilai moral, legitimasi berperan penting dalam mendukung berbagai bentuk eksklusi. Argumen yang dibingkai dalam pengertian “apa yang benar dan layak” turut menyediakan landasan normatif bagi kuasa-kuasa pengaturan, pemaksaan, dan pasar. Banyak pelaku yang dibicarakan dalam buku ini berusaha melakukan eksklusi dengan alasan moral. Seperti yang sudah ka-mi isyaratkan, jenis legitimasi bagi eksklusi yang digunakan di Asia Tenggara sangat melimpah, dan wacana-wacana yang ber-beda sering kali saling bertentangan. Sebuah keluarga barangkali merasa bahwa mereka memiliki hak atas sepetak tanah yang tak bisa diganggu-gugat karena mereka sudah mengeluarkan banyak uang untuk membelinya, sementara orang lain dari kelompok su-ku yang berbeda melihat petak tanah yang sama sebagai bagian dari ulayat warisan leluhur mereka yang tidak bisa dijual. Wa-cana kerakyatan dan kewarganegaraan digunakan oleh para tu-nakisma untuk mendapatkan akses atas tanah, sementara pada saat yang sama tujuan pembangunan—juga demi kepentingan rakyat—didengung-dengungkan guna menyingkirkan warga da-lam rangka memuluskan rencana pembangunan bendungan dan perkebunan. Wacana dari para ilmuwan tentang pentingnya daerah aliran sungai (DAS) atau hebatnya suatu pendekatan tata
kelola lahan (melalui pasar bebas, misalnya) dapat digunakan sebagai senjata pamungkas debat atau membenarkan eksklusi. Lebih luas lagi, pemerintah yang terobsesi pada “kehendak un-tuk memperbaiki” (will to improve) memosisikan diri sebagai para ahli yang lebih tahu bagaimana seharusnya rakyat hidup, juga merasa punya hak dan kewajiban untuk mengarahkan perilaku warga sesuai keinginan para ahli tersebut (Li 2007c). Meski me-miliki kuasa sangat besar, legitimasi selalu bisa dilawan, sehing-ga upaya pembenaran setiap bentuk eksklusi seharusnya selalu
dilihat sebagai suatu pertarungan yang melibatkan banyak pi-hak. Pertarungan-pertarungan ini terjadi di berbagai skala, dan masing-masing pelaku yang terlibat mengajukan argumen ber-beda di berbagai tingkatan, dari lokal hingga dunia. Misalnya, Ribot dan Peluso (2003) menyebutkan bahwa dengan mengang-kat konsep “sumberdaya dunia milik bersama”, ORNOP
internasio-nal dan kawan-kawannya “menciptakan universalisasi kategori dan memapankan intervensi mereka di seluruh dunia atas nama pelestarian lingkungan.”
Pengaturan, pemaksaan, pasar, dan legitimasi adalah empat kuasa yang harus digunakan para pelaku untuk mempertahankan akses atau mencegah akses, atau dengan kata lain, mengeksklusi atau merespons eksklusi. Masing-masing kuasa tersebut bekerja efektif di berbagai tingkat. Pemaksaan bekerja paling mangkus ketika diterapkan dalam jarak dekat (ketika salah satu pihak pu-nya kemampuan mepu-nyakiti pihak lain secara fisik). Tetapi, seperti telah kami singgung sebelumnya, pemaksaan juga dapat ber-operasi dari jarak jauh dalam bentuk penyebarluasan ancaman. Legitimasi selalu merupakan urusan memengaruhi orang lain, dan menjadi semakin penting ketika dua pihak masing-masing memiliki satu bingkai penalaran (misalnya, dua bersaudara bere-but tanah warisan) atau terpisah secara fisik dan sosial (petani “di sini” dan lobi-lobi transnasional mempromosikan konservasi via pengusiran “di sana”). Girik pajak tanah yang dikeluarkan oleh pegawai lokal bisa dijadikan bukti oleh pemilik tanah bahwa “pe-merintah” telah mengakui hak atas tanah mereka. Kuasa pasar bekerja paling konkret dalam proses tawar-menawar—“Ini har-ga yang mau dibayar oleh makelar untuk tanah kami sekarang.” Dalam bentuknya yang abstrak sebagai harapan atau janji-jan-ji, pasar memiliki kuasa yang besar untuk merangsang tindak-an. Contoh paling spektakuler adalah ketika harapan-harapan menjadi kaya turut mendorong petani (yang sukar mengakases
informasi tentang situasi pasar) untuk berlomba menanam ko-moditas budidaya yang sedang marak. Kompleksitas narasi di bab-bab yang menyajikan data empiris tidak hanya terbentuk oleh keragaman pelaku dan kuasa yang terlibat, tetapi juga oleh perbedaan cara kuasa-kuasa itu dimobilisasi sepanjang waktu di skala berbeda.
Kami mengakhiri diskusi mengenai empat kuasa eksklusi de-ngan pandade-ngan bahwa tidak satu pun kuasa itu yang berope-rasi di sebuah dunia dengan tanpa masalah. Menerapkan hukum secara mangkus, membeli atau menjual tanah berharga tinggi, menggertak para penyewa, meyakinkan orang bahwa pandang-an dunipandang-anya adalah ypandang-ang terbaik: semua tindakpandang-an itu butuh biaya dalam bentuk uang, waktu, maupun tenaga, dan seluruhnya bisa berantakan dengan mudah. Pihak berwenang tidak bisa meng-usir semua orang kapan saja. Pengmeng-usiran sangat mahal sekaligus menimbulkan gejolak sosial, sementara orang-orang yang kalah tidak langsung pergi atau ciut nyali. Mereka melawan, menggang-gu ketertiban, mengokupasi lahan, atau mempertahankan hak hidup dengan cara-cara yang tak dapat diabaikan rezim paling kejam sekalipun. Dengan begitu, kompromi-kompromi aktif atau pengabaian dan pembiaran (yang lebih sering terjadi) sehingga semua dipertahankan seperti adanya, sering menjadi ciri yang se-nantiasa tampak dalam fenomena eksklusi. Sebagaimana rang-kaian pengaturan dan rezim kebijakan yang tidak konsisten, yang telah kami paparkan sebelumnya, kompromi dan pengabaian dapat dilihat sebagai respons acak yang selalu diajukan dalam menghadapi dilema eksklusi.
Pengejawantahan Kuasa-Kuasa Eksklusi
Di bab-bab berikutnya, kami membahas enam proses kunci yang menggerakkan perubahan akses dan eksklusi tanah bagi
sejumlah besar penduduk pedesaan Asia Tenggara, dengan me-ngerahkan kuasa-kuasa yang kami identifikasi. Di setiap bab, kami menggabungkan perbandingan, diskusi konseptual, dan kajian terperinci di waktu dan tempat tertentu dengan dinami-ka eksklusi yang terlihat jelas. Fokus Bab 2 adalah formalisasi
hak dan pembagian tanah, suatu proses yang berkembang cepat
di Asia Tenggara dan digerakkan secara khusus, terutama oleh agenda-agenda pemerintah untuk mengatur akses tanah, mem-percepat pembangunan, dan mengonsolidasikan kontrol wila-yah. Di beberapa kasus, proyek-proyek negara memformalkan kepemilikan tanah dan memberi hak eksklusi untuk mendukung pembangunan berbasis pasar dan pasar tanah. Sertifikasi (land
titling) adalah contoh nyata proses ini, dan kami menunjukkan
bagaimana langkah ini diterapkan di Thailand dan Laos. Di tem-pat lain, formalisasi tanah berciri parsial serta dengan sengaja ti-dak memberi landasan hukum jual beli di areal-areal tertentu dan membagi-bagi tanah dengan penggunaan terbatas berdasarkan zonasi dan tidak boleh dipindahtangankan. Kami membahas program Alokasi Tanah dan Hutan di Laos untuk menjelaskan-nya. Berbagai negara juga terlibat dalam proses redistribusi ta-nah, terutama melalui reforma agraria, meski kebijakan ini lebih condong menjadi formalisasi hak atas tanah-tanah negara dari-pada redistrisbusi lahan besar milik tuan tanah, seperti yang terlihat pada kasus Filipina.
Dalam Bab 3, kami membahas perluasan upaya konservasi, suatu proses yang mempertemukan tujuan-tujuan negara dengan kepedulian lembaga donor dan ORNOP internasional untuk
me-ngendalikan dampak yang diciptakan manusia terhadap ling-kungan. Eksklusi yang dilegitimasi oleh kepedulian lingkung-an terjadi di semua tempat, menguar seperti udara segar ylingkung-ang kita hirup dan sering kali tidak diperhatikan. Konservasi
didu-kung oleh gagasan “kebaikan bersama”, tetapi memiliki efek sosial yang tidak merata. Kami mengulas bentuk paling familier eksklusi berbasis konservasi, yakni penetapan kawasan lindung yang melarang campur tangan manusia, dengan contoh dari Sulawesi. Kami lantas membahas bentuk eksklusi yang kurang diamati tetapi meningkat secara tajam dan tersebar di banyak wilayah pedesaan, yaitu ketika penduduk desa diundang ORNOP
dan lembaga-lembaga lain untuk berpartisipasi dalam proses pe-mapanan swaeksklusi di bawah judul “pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat”. Kami akan menggambarkan eksklusi jenis ini dengan contoh-contoh dari Kamboja. Fokus ketiga kami adalah praktik pemanfaatan tanah dan sumberdaya lain untuk mencegah kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh proyek-proyek skala besar. Praktik seperti ini menciptakan eksklusi gan-da, karena rakyat dipindahkan atau, bila tidak begitu, dilarang mendapat akses atas tanah, baik oleh proyek itu sendiri maupun karena usaha-usaha untuk mengatasi efek buruk proyek. Sebuah bendungan raksasa di Laos memberi contoh kasus ini.
Bab 4 membeberkan pengaturan ulang besar-besaran akses dan eksklusi tanah terkait dengan demam komoditas budidaya yang sejak lama mewarnai perjalanan pertanian Asia Tenggara. Demam tanaman komersial dirangsang oleh naiknya harga ko-moditas, pengenalan teknik budidaya baru dan intervensi kebi-jakan, dengan beragam konfigurasi. Kami akan mengupas tiga komoditas budidaya penting yang meledak baru-baru ini: sawit (dengan fokus Sarawak), udang (khususnya di Thailand), dan kopi (yang meledak secara spektakuler di Tây Nguyên, Vietnam selama pertengahan hingga akhir 1990-an). Beberapa kesamaan penting yang menyertai proses ini adalah arus besar migrasi ke wilayah yang sedang mengalami demam komoditas, kecenderungan ku-at orang-orang untuk membuku-at klaim-klaim hak ku-atas tanah yang
bersifat perseorangan, pengambilalihan tanah, kerusakan hutan, dan terbukanya peluang mendapat penghasilan besar (termasuk bagi para petani) sekaligus risiko mengalami kebangkrutan.
Bab 5 sekali lagi membahas kuasa harga, tetapi dalam kasus ini pasar mendorong orang keluar dari pertanian alih-alih masuk ke dalamnya. Sejak sektor industri dan jasa meningkat pesat di Asia Tenggara pada 1980-an hingga 2000-an, penggunaan lahan di lu-ar budidaya pertanian (post-agrlu-arian land uses) mulai bersaing tajam dengan pertanian. Salah satu aspek dari transisi ini adalah meluasnya perkotaan dan penciptaan kawasan periurban yang menggabungkan kegiatan industri, perdagangan, infrastruktur, permukiman, dan pertanian. Zona-zona periurban tumbuh de-ngan kecepatan luar biasa di sebagian kota besar Asia Tenggara, dan pembangunan tersebut dibentuk secara mendasar oleh inte-raksi keempat kuasa eksklusi yang kami paparkan. Contoh kasus ini bisa disimak dari kajian kami tentang Cavite, sebuah provin-si baru dekat Manila. Kawasan wisata adalah penggunaan lahan kedua yang mendorong konversi lahan pertanian besar-besaran melalui proses yang terlihat hampir sama dengan proses yang menyertai pembentukan kawasan periurban. Kami tunjukkan hal ini melalui kajian tentang pariwisata di Bali dan Angkor. Kami ju-ga memaparkan dinamika lain kuasa eksklusi yang mencirikan pembangunan pembangkit listrik tenaga air dengan fokus pada bendungan Hoa Binh di bagian utara Vietnam.
Dalam Bab 6, kami membahas proses saling mengeksklu-si untuk mendapatkan tanah pertanian yang terjadi di antara orang dekat, tetangga, dan kerabat. Proses ini telah lama terjadi di Asia Tenggara, terutama di zona persawahan berpenduduk padat. Kami berusaha menyegarkan kembali perhatian atas pro-ses ini karena kompetisi antar-petani kecil semakin meningkat dan meluas ke pelosok (terkadang digerakkan oleh tanaman komersial) karena tepian hutan ditutup, sehingga mempersulit
orang yang kehilangan tanah untuk mumbuka lahan baru. Kami membahas “eksklusi terhadap orang-orang dekat” di pedesaan Jawa tempat debat klasik tentang apakah para penduduk desa “berbagi kemiskinan” dengan membagi rata akses tanah dan kerja, atau malah mencegah akses orang dekat. Kasus kedua mengkaji proses “penutupan akses dari bawah” yang diikuti oleh proses diferensiasi pertanian yang pesat di antara petani dataran tinggi di Sulawesi yang sebelumnya berbagi akses atas tanah yang dimiliki dan diwariskan secara kolektif. Terakhir, kami menengok ke Vietnam, untuk menjelaskan kemunculan ulang ketimpangan akses tanah di antara petani dan perdebatan yang timbul antar-penduduk desa mengenai benar tidaknya eksklusi.
Dalam Bab 7, kami membahas gerakan tanding eksklusi oleh kelompok-kelompok yang memobilisasi diri untuk merebut kem-bali tanah dari penguasaan negara atau kelompok lain yang ke-hadirannya dianggap tidak pantas berdasar asas keadilan sosial atau kesukuan. Berbeda dengan mobilisasi petani berdasar ke-las di era sebelumnya, ciri menonjol mobilisasi kontemporer adalah sejauh mana mereka mendapatkan legitimasi dari kega-galan pemerintah mewujudkan janji perlakuan setara bagi war-ga newar-gara sebawar-gaimana termaktub dalam konstitusi, atau dari gagasan yang menghubungkan pembangunan dengan perbaik-an kesejahteraperbaik-an rakyat. Ciri mobilisasi kontemporer ini menge-muka terang benderang dalam kasus-kasus mengerikan di Indo-nesia, seperti pengusiran para pendatang dari wilayah adat yang melibatkan kekerasan, maupun yang berjalan lebih damai, yang dicontohkan oleh tindakan masyarakat adat di Tây Nguyên, Vi-etnam, dalam rangka mengembalikan otonomi mereka tatkala menghadapi serbuan pendatang. Ciri menonjol gerakan tanding ini juga mencuat dari perlawanan terhadap penggusuran, seperti dalam kajian terakhir kami dalam bab ini yang mengambil kasus salah satu ORNOP di Thailand, Dewan Rakyat Miskin (Assembly of