• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Non Verbal Dalam Komunitas Tanah Aksara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Komunikasi Non Verbal Dalam Komunitas Tanah Aksara"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Komunikasi Non Verbal Dalam Komunitas

Tanah Aksara

Ditha Prasanti1, Nuryah Asri Sjafirah2

1

Universitas Padjadjaran, dithaprasanti@gmail.com

2

Universitas Padjadjaran, asri_sjafirah@yahoo.co.id ABSTRAK

Manusia mengalami proses komunikasi dalam setiap aspek kehidupannya. Disadari maupun tidak, proses komunikasi tersebut dapat terjadi kapanpun dan dimanapun. Begitupun halnya proses komunikasi dalam sebuah komunitas. Proses komunikasi yang seringkali tidak disadari adalah komunikasi non verbal. Dalam komunitas, manusia juga belajar sesuatu mengenai fenomena melalui peristiwa komunikasi non verbal. Pada era modern ini, ketika budaya sudah semakin berkembang menjadi budaya populer yang tercampur oleh budaya barat, ternyata masih ada sebuah komunitas yang ingin mempertahankan tradisi warisan budaya lokal, dalam bidang aksara. Hal inilah yang akan peneliti angkat dalam penelitian kali ini. Komunitas tersebut bernama “Tanah Aksara”. Peneliti tertarik untuk mengangkat penelitian tentang Komunikasi Non Verbal dalam komunitas Tanah Aksara. Adapun fokus penelitian ini adalah (1) mengetahui jenis-jenis komunikasi non verbal yang digunakan dalam komunitas Tanah Aksara. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma konstruktivis dengan metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah ketekunan pengamatan, trianggulasi data, dan kecukupan referensial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komunikasi non verbal dalam komunitas Tanah Aksara meliputi pesan gesture, pesan proksemik, dan pesan artifaktual.

Kata Kunci: Komunikasi, Non Verbal, Komunitas, Tanah Aksara

ABSTRACT

Humans experience the process of communication in every aspect of life. Knowingly or not, the communication process can happen anytime and anywhere. So it is the case of communication process in a community. The communication process is often not realized is non-verbal communication. In the community, people also learn something about the phenomenon through non-verbal communication events. In this modern era, when the culture is growing into popular culture mixed by western culture, there are still a community that wants to maintain the tradition of the local cultural heritage, in the field of literacy. This is what will lift the researchers in the current study. The community was named "Tanah Aksara". Researchers are interested to raise the research on Non Verbal Communication in Tanah Aksara community. The focus of this study were (1) determine the types of non-verbal communication used in Tanah Aksara community. In this study, researchers used the constructivist paradigm with qualitative descriptive method. Data collection techniques used were interviews, observation and documentation. The data analysis technique used is perseverance observation, triangulation of data, and adequacy referential. The results of this study indicate that non-verbal communication in Tanah Aksara community includes messages gesture, proksemik message, and the message artifactual.

(2)

PENDAHULUAN

Sebuah komunitas tercermin karena adanya persamaan yang teridentifikasikan oleh masing-masing individu dalam komunitas tersebut. Mulai dari ras, ekonomi, agama, politik maupun lifestyle atau gaya hidup. Sebagai mahluk sosial, setiap individu membutuhkan individu lainnya, dan perasaan eksistensi, manusia pun perlu memenuhi kebutuhannya akan diterima oleh sebuah kelompok masyarakat atau komunitas. Adanya „sense of belonging‟ yang merupakan salah satu ciri manusia. Hal tersebut memberikan kepuasan atas identifikasi diri, bahwa mereka merupakan bagian dari sebuah kelompok atau komunitas (Prasanti, 2016). Bandung sebagai sebuah kota yang nyaman terkenal dengan dengan berbagai macam komunitas yang ada di dalamnya, mulai dari komunitas yang bernuansa tradisional, pendidikan, maupun gaya hidup. Namun, yang paling dikenal adalah beragam komunitasnya (Prasanti, 2016). Dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk mengangkat sebuah komunitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya lokal, yaitu komunitas “Tanah Aksara”.

Manusia mengalami proses komunikasi dalam setiap aspek kehidupannya. Disadari maupun tidak, proses komunikasi tersebut dapat terjadi kapanpun dan dimanapun. Begitupun halnya proses komunikasi dalam sebuah komunitas. Proses komunikasi yang seringkali tidak disadari adalah komunikasi non verbal. Dalam komunitas, manusia juga belajar sesuatu mengenai fenomena melalui peristiwa komunikasi non verbal. Pada era modern ini, ketika budaya sudah semakin berkembang menjadi budaya populer yang tercampur oleh budaya barat, ternyata masih ada sebuah komunitas yang ingin mempertahankan tradisi warisan budaya lokal, dalam bidang aksara. Hal inilah yang akan peneliti angkat dalam penelitian kali ini. Komunitas tersebut bernama “Tanah Aksara”. Peneliti tertarik untuk mengangkat penelitian tentang Komunikasi Non Verbal dalam komunitas Tanah Aksara.

Komunikasi itu muncul, karena adanya kontak, interaksi dan hubungan antar warga masyarakat yang berbeda

kebudayaannya. Sehingga “kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan, begitulah kata Edward T. Hall (Liliweri, 2001). Jadi, sebenarnya tak ada komunitas tanpa kebudayaan, tidak ada masyarakat tanpa pembagian kerja, tanpa proses pengalihan atau transmisi minimum dari informasi. Dengan kata lain, tidak ada komunitas, tidak ada masyarakat, dan tidak ada kebudayaan tanpa komunikasi. Di sinilah pentingnya dilakukan penelitian ini. Komunikasi non verbal sering kali dilakukan oleh setiap orang dalam berkomunikasi, tetapi juga sebagian orang tidak menyadarinya. Begitupun halnya dalam komunitas Tanah Aksara ini. Peneliti ingin mengkaji bentuk komunikasi non verbal yang digunakan oleh komunitas tersebut. Apalagi mengingat bahwa komunitas Tanah Aksara merupakan komunitas yang mengusung nilai-nilai lokal dalam simbol yang digunakannya. Nama komunitasnya pun cukup unik, yakni Tanah Aksara.

Peneliti tertarik untuk mengangkat penelitian tentang Komunikasi Non Verbal dalam komunitas Tanah Aksara. Adapun fokus penelitian ini adalah (1) mengetahui jenis-jenis komunikasi non verbal yang digunakan dalam komunitas Tanah Aksara; (2) mengetahui hambatan komunikasi yang terjadi selama proses komunikasi dalam komunitas Tanah Aksara.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma konstruktivis dengan metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah ketekunan pengamatan, trianggulasi data, dan kecukupan referensial. Adapun teori komunikasi yang relevan digunakan dalam penelitian ini adalah teori interaksi simbolik.

Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk mengangkat penelitian tentang “Komunikasi Non Verbal dalam Komunitas Tanah Aksara”. Adapun fokus kajian penelitian ini adalah :

(1) Bagaimana jenis-jenis komunikasi non verbal yang sering digunakan dalam interaksi di komunitas Tanah Aksara?

(3)

KAJIAN LITERATUR Komunikasi Non Verbal

Komunikasi nonverbal menurut Mark L Knapp adalah istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis (Mulyana, 2009). Hardjana (2003) mendefinisikan komunikasi nonverbal sebagai penciptaan dan pertukaran pesan dengan tidak menggunakan kata-kata seperti komunikasi yang menggunakan gerakan tubuh, sikap, kontak mata, ekspresi muka, kedekatan jarak, dan sentuhan. Lebih jauh, bahasa nonverbal tanpa kita sadari akan menggambarkan karakter kita secara kasat mata. Lewat perilaku nonverbalnya, kita dapat mengetahui suasana emosional seseorang. Kesan awal kita pada seseorang sering didasarkan perilaku nonverbalnya, yang mendorong kita untuk mengenalnya lebih jauh.

Meskipun berbeda, namun ada keterkaitan yang erat antara bahasa verbal yang digunakan oleh suatu masyarakat dengan bahasa nonverbalnya. Ada dugaan bahwa bahasa nonverbal sebangun dengan bahasa verbalny. Artinya, pada dasarnya suatu kelompok yang punya bahasa verbal yang khas juga dilengkapi dengan bahasa nonverbal khas yang sejajar dengan bahasa verbal tersebut.

Peranan yang tepat dalam penampilan dan pakaian dalam total sistem komunikasi non-verbal masih tidak dapat diketahui. Kita mengetahui, bagaimanapun juga, bahwa penampilan dan pakaian adalah bagian dari total stimulus non-verbal yang mempengaruhi interpersonal respond dan dalam kondisi yang sama sebagai penentu utama dalam respon serupa. Ketertarikan secara fisik mungkin mempengaruhi dalam menetapkan seseorang ketika mencari; atau mungkin mempunyai hubungan ketika seseorang mampu melakukan bujukan atau memanipulasi orang lain.

Meskipun pengaruh fisik yang menarik besar sekali, ini adalah hal yang menarik bagi kualitas situasi interpersonal, faktor lain tentang sifat atau watak dapat diketahui. Misalnya, penemuan positif tentang ketertarikan didasari pada kemungkinan bukan kepastian. Banyak orang yang tidak menarik tidak dievaluasi

sebagai hal yang merugikan. Contoh, penilaian tentang watak dan sifat seseorang adalah apa yang mereka lihat, lingkungan dimana mereka menilai, prilaku komunikasi yang mengikat disekitarnya atau kapan waktu dalam kehidupan mereka ketika dievaluasi. Dalam banyak hal, studi tentang fisik yang menarik lebih banyak menggunakan foto daripada turun langsung atau berinteraksi dengan sesama.

Sebagai tambahan, pentingnya fisik yang menarik secara umum dalam mempengaruhi respon orang lain, kami mempunyai informasi tentang bagaimana stereotipe respon terhadap bagian yang spesifik – bagian tubun secara umum, warna kulit, aroma tubuh, rambut dan pakaian. Bagian spesifik ini mungkin mempunyai pengaruh yang membutuhkan pemikiran dalam rangka citra diri dan dari sini, pola komunikasi dengan orang lain bisa dibentuk.

Jenis-jenis Komunikasi Nonverbal Ada beberapa cara untuk melakukan komunikasi non verbal kepada lawan bicara, sebagai berikut :

1. Bahasa tubuh

Setiap anggota tubuh seperti wajah, tangan kepala, dan kaki, secara keseluruhan dapat digunakan sebagai isyarat simbolik. Ada empat gerakan tubuh yang mencerminkan bahasa tubuh:

Isyarat tangan. Isyarat tangan termasuk apa yang disebut emblem yang punya makna dalam suatu budaya atau subkultur. Contohnya untuk menunjuk diri sendiri orang Indonesia menunjuk dadanya dengan telapak tangan atau jari telunjuk. Penggunaan isyarat tangan dan maknanya jelas berlainan dari budaya ke budaya. Gerakan kepala. Di beberapa negara, anggukan kepala malah berarti “tidak”, seperti di Bulgaria. Sementara isyarat untuk “ya” di negara itu adalah menggelengkan kepala. Orang Indonesia, sebaliknya menganggukan kepala utuk menyatakan setuju.

Postur tubuh dan posisi kaki. Postur tubuh sering bersifat simbolik. Beberapa postur tubuh tertentu diasosiasikan dengan status sosial dan agama tertentu. Status seseorang memengaruhi postur tubuhnya ketika ia berkomunikasi dengan orang lain. Orang yang berstatus tinggi umumnya

(4)

mengatur postur tubuhnya secara lebih leluasa daripada orang yang berstatus rendah.

Ekspresi wajah dan tatapan mata. Banyak orang menganggap perilaku nonverbal yang paling banyak “berbicara” adalah ekspresi wajah meskipun mulut tidak berkata-kata. Sebagian pakar mengakui, terdapat beberapa keadaan emosional yang dikomunikasikan oleh ekspresi wajah. Kontak mata punya dua fingsi. Pertama, fungsi pengatur, untuk memberi tahu orang lain apakah Anda akan melakukan interaksi dengan orang itu atau tidak. Kedua, fungsi ekspresif, memberi tahu orang lain bagaimana perasaan Anda terhadapnya.

2. Sentuhan

Sentuhan bisa merupakan tamparan, pukulan, cubitan, senggolan, tepukan, belaian, pelukan, jabat tangan, hingga sentuhan lembut sekilas. Menurut Heslin, terdapat lima kategori sentuhan, yaitu: Fungsional-profesional. Sentuhan bersifat “dingin” dan berorientasi bisnis, misalnya pelayan toko membantu pelanggan memilih pakaian.

Sosial-sopan. Membangun dan memperteguh pengharapan, aturan dan praktik sosial yang berlaku, misalnya berjabat tangan.

Persahabatan-kehangatan. Meliputi setiap sentuhan yang menandakan afeksi misalnya dua orang yang saling merangkul setelah lama berpisah.

Cinta-keintiman. Merujuk pada sentuhan yang menyatakan keterikatan emosional atau ketertarikan, misalnya mencium pipi orang tua.

Rangsangan-seksual. Motif sentuhannya bersifat seksual. Rangsangan seksual tidak otomatis bermakna cinta atau keintiman. 3. Parabahasa

Parabahasa merujuk pada aspek-aspek suara selain ucapan yang dapat dipahami, misalnya kecepatan berbicara, tinggi-rendah nada, volume suara, intonasi, warna suara, dialek, suara gemetar, siulan, tangis, gumaman, dan sebagainya. Setiap karakteristik suara ini mengkomunikasikan emosi dan pikiran kita. Suara yang terengah engah menandakan kelamahan.

4. Penampilan fisik

Penampilan fisik mencakup dua aspek: Busana serta karakteristik fisik. Busana misalnya orang-orang memakai pakaian serba hitam saat meninggal. Pilihan orang atas busananya juga mencerminkan kepribadian, apakah ia orang yang religius, modern, atau berjiwa muda.

Sementara daya tarik fisik merupakan ciri penting dalam banyak teori kepribadian, meskipun bersifat implisit. Orang yang menarik secara fisik dinilai lebih pandai bergaul, luwes, tenang, menarik, dan berhasil dalam karier.

5. Bau-bauan

Para ahli menganalogikan bau badan setiap orang dengan sidik jari, karena merupakan ciri khas setiap orang yang tidak sama dengan bau badan setiap orang lainnya. Kita dapat menduga bagaimana sifat seseorang dan selera masakannya atau kepercayaannya berdasarkan bau yang berasal dari tubuhnya dan dari rumahnya. Victor Hugo mengatakan, “Tidak sesuatu pun membangkitkan kenangan seperti suatu bau.” Bau parfum tertentu boleh jadi mengingatkan kita pada seseorang yang khusus.

6. Orientasi Ruang dan Jarak Pribadi Setiap orang, baik ia sadar atau tidak, memiliki ruang pribadi imajiner yang bila dilanggar, akan membuatnya tidak nyaman. Ruang pribadi kita identik dengan wilayah tubuh, satu dari empat kategori wilayah yang digunakan manusia. Ketiga wilayah lainnya adalah: wilayah pubil, yakni tempat yang secara bebas dimasuki dan ditinggalkan orang; wilayah rumah, yakni wilayah publik yang bebas dimasuki dan digunakan orang yang mengakui memilikinya; dan wilayah interaksional, yakni tempat pertemuan yang

memungkinkan semua orang

berkomunikasi secara informal seperti tempat pesta atau tempat cukur.

7. Konsep Waktu

Waktu menentukan hubungan antarmanusia. Waktu berhubungan erat dengan perasaan hati dan perasaan manusia. Bila kita selalu menepati waktu yang dijanjikan, maka komitmen kita pada waktu memberikan pesan tentang diri kita.

(5)

8. Diam

Dalam beberapa budaya, diam kurang disukai daripada berbicara. Kita menghargai pembicaraan untuk melepaskan ketegangan dan sebagai tanda kehidupan yang baik. Bila seorang dosen bertanya kepada mahasiswa, dan mahasiswa diam cukup lama sebelum menjawab, mahasiswa dapat dianggap berpikir lambat, mempermainkan dosen, atau abnormal. Dalam beberapa budaya lain, diam justru menyenangkan. Diam dalam budaya jepang saat mengantarai satu kalimat dengan kalimat lainnya adalah hal yang wajar. Faktor-faktor yang memengaruhi diam antara lain: durasi diam, hubungan antara orang-orang yang bersangkutan, dan situasi atau kelayakan waktu.

9. Warna

Warna sering digunakan untuk menunjukkan suasana emosional, cita rasa, bahkan keyakinan agama. Contohnya, warna merah muda sebagai warna feminin, warna biru adalah warna maskulin, warna putih sering bermakna positif, suci, murni, atau bersih.

10. Artefak

Artefak adalah benda apa saja yang dihasilkan kecerdasan manusia. Benda-benda yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup sering mengandung makna tertentu. Motor Harley Davidson bila terpajang di rumah seseorang, kita tahu bahwa pemiliknya adalah orang berduit (Mulyana, 2009) Kerangka Teoritis

Teori Interaksi Simbolik

Esensi dari interaksi simbolik menekankan pada suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana, 2008). Banyak ahli di belakang perspektif ini yang mengatakan bahwa individu sebagai manusia merupakan hal yang paling penting. Mereka mengatakan bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West Turner (2008), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi

untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia. Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap. Mind, Self and Society merupakan judul buku yang menjadi rujukan utama teori interaksi simbolik, merefleksikan tiga konsep utama dari teori. Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, yaitu: 1. Pikiran (Mind)

Pikiran adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain (Turner, 2008). Simbol yang bermakna adalah tindakan verbal berupa bahasa yang merupakan mekanisme utama interaksi manusia. Penggunaan bahasa atau isyarat simbolik oleh manusia dalam interaksi sosial mereka pada gilirannya memunculkan pikiran (mind) yang memungkinkannya menginternalisasi masyarakat. Jadi menurut Mead, pikiran mensyaratkan adanya masyarakat; dengan kata lain masyarakat harus lebih dulu ada sebelum adanya pikiran (Mulyana, 2003). Dengan demikian pikiran adalah bagian integral dari dari proses sosial, bukan sebaliknya proses sosial adalah produk pikiran.

Menurut Mead, lewat berfikir yang

terutama ditandai degan

kesadaran,manusia mampu mencegah tindakannya sendiri untuk sementara, menunda reaksinya terhadap suatu stimulus (Mulyana, 2003). Manusia juga mampu mengambil suatu stimulus diantara sekian banyak stimulus alih-alih bereaksi terhadap stimulus yang pertama dan yang paling kuat. Manusia pun mampu pula memilih suatu tindakan di antara berbagai tindakan yang direncanakan atau dibayangkan.

(6)

2. Diri (Self)

Diri adalah kemampuan untuk merefleksikan diri sendiri dari sudut pandang atau pendapat orang lain. Disini diri tidak dapat dilihat dari dalam diri seseorang melalui introspeksi diri. Bagi Mead, diri hanya bisa berkembang melalui kemampuan pengambilan peran, yaitu membayangkan diri dari pandangan orang lain (Turner, 2007). Konsep melihat diri dari pandangan orang lain sebenarnya sebuah konsep yang pernah disampaikan oleh Charles Cooley pada 1912. Konsepnya adalah the looking glass self yaitu kemampuan melihat diri melalui pantulan dari pandangan orang lain. Cooley meyakini bahwa ada tida prinsip perkembangan sehubungan dengan the looking glass self, yaitu (1) membayangkan penampilan kita di hadapan orang lain, (2) membayangkan penilaian mereka terhadap penampilan kita, dan (3) merasa sakit hati atau bangga karena perasaan diri.

3. Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya. Oleh karena itu masyarakat terdiri dari individu-individu yang terbagi kedalam dua bagian masyarakat yang mempengaruhi pikiran dan diri. Masyarakat yang pertama disebut Mead sebagai particular others yang berisikan individu yang bermakna bagi individu yang bersangkutan seperti anggota keluarga, teman dan rekan kerja, sedangkan masyarakat yang kedua adalah generalized others yang merujuk pada kelompok sosial dan budayanya secara keseluruhan. Generalized others menyediakan informasi tentang peranan, peraturan dan sikap yang digunakan bersama oleh komunitas, sedangkan particular others memberikan perasaan diterima dalam masyarakat dan penerimaan diri. Generalized others seringkali membantu mengatasi konflik yang terjadi dalam particular others.

METODE PENELITIAN

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti setatus sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskipsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. “Metodologi adalah proses, prinsip, dan prosedur yang kita gunakan untuk mendekati problem dan mencari jawaban” (Mulyana, 2008). Menurut Sugiyono (2007), metode penelitian kualitatif merupakan suatu penelitian yang digunakan untuk meneliti pada objek yang alamiah dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi. Penelitian kualitatif bertujuan mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia dan menganalisis kualitas-kualitasnya, alih-alih mengubahnya menjadi entitas-entitas kuantitatif (Mulyana, 2008).

Metode yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode penelitian deskriptif dengan analisis data kualitatif. Disebut sebagai metode deskriptif karena penelitian ini tidak menggunakan hipotesis dan variabel melainkan hanya menggambarkan dan menganalisis kejadian yang ada tanpa perlakuan khusus atas objek-objek yang diteliti.

Observasi yang peneliti lakukan yaitu penelitian berdasarkan kondisi di lapangan, peneliti tidak terlibat dalam kegiatan tersebut hanya mengamati gejala-gejala yang ada di lapangan yang kemudian dilakukan analisis untuk mendapatkan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan.

(7)

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan melakukan observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi.

1) Observasi

Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan cara non participant observation, terhadap objek yang diteliti yaitu yang berkaitan dengan komunikasi non verbal dalam komunitas Tanah Aksara.

2) Wawancara

Wawancara yang dilakukan penulis dalam penelitian dimaksudkan untuk mengetahui pandangan, kejadian, kegiatan, pendapat, perasaan dari nara sumber (subjek matter expert). Wawancara yang dilakukan yaitu untuk tentang komunikasi non verbal dalam komunitas Tanah Aksara. Penggunaan teknik ini sangat penting bagi penelitian kualitatif, terutama untuk melengkapi data dan upaya memperoleh data yang akurat dan sumber data yang tepat.

3) Studi Dokumentasi

Menurut Burhan Bungin (2007), metode dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data historis. Dokumentasi dalam penelitian ini diperlukan terutama untuk memperkaya landasan-landasan teoritis dan mempertajam analisis penelitian yang berkaitan dengan komunikasi non verbal dalam komunitas Tanah Aksara. Dokumen yang dimaksud dapat berupa buku-buku yang relevan dan sumber terkait lainnya. PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan peneliti, maka peneliti dapat menjabarkan hasil penelitian ini dalam deskripsi di bawah ini. Komunikasi non verbal dalam komunitas Tanah Aksara ini menunjukkan hasil penelitian yang unik dengan perkembangan kebudayaan di era modern ini.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, peneliti menemukan bahwa komunitas Tanah Aksara merupakan komunitas yang unik dalam mengusung komitmen yang tinggi dalam

mempertahankan budaya lokal dan warisan leluhur berupa aksara-aksara lokal.

Komunitas ini bernama Tanah Aksara, dengan tagline “bersama tradisi mencerdaskan bangsa”, dirintis 12 Desember 2015, beranggotakan 3 orang di Bandung. Tanah Aksara bergerak dibidang pendidikan dan pelestarian budaya Indonesia, fokus pada aksara nusantara, surat semangat & tanah aksara bergerak: 1. Aksara nusantara: mengenalkan pada masyarakat, bahwa aksara juga bagian dari warisan budaya yang harus lestarikan, bagian dari kearifan lokal sebagai identitas bangsa.

2. Surat semangat: misi awal bertujuan meminimalisir angka putus sekolah dengan cara mencari orang yang mau dan peduli dengan pendidikan di Indonesia, kemudian menulis & akan disebarkan ke penjuru nusantara yang membutuhkan. Kemudian berkembang, penggalian aksara nusantara disetiap daerah yang disingahi oleh tim. 3. Tanah Aksara bergerak: melakukan seminar kepada masyarakat untuk mengenalkan, mengingatkan kembali bahwa aksara bagian dari tradisi yang harus dijaga. Kemudian melalui pelatihan: revitalisasi budaya agar tidak punah. Produk bisa berupa karya cipta: menulis aksara, tshirt, puzzle, dan lain-lain. (Company Profile Tanah Aksara: 2016) Komunitas ini mengarah kepada pengenalan kembali aksara nusantara, memberikan wawasan tentang pentingnya aksara dan budaya. Tanah Aksara ingin bergerak sebagai wadah yang melestarikan aksara nusantara sebagai warisan budaya, bagian dari desain, identitas diri, dan kearifan lokal. Hal ini sangat menarik dan relevan dengan penelitian peneliti yang ingin mengkaji tentang konstruksi makna simbol sebagai pembentukan identitas diri bagi komunitas Tanah Aksara. Selain itu, peneliti pun tertarik mengangkat komunitas ini karena melihat tujuan dari komunitas Tanah Aksara sendiri yang memiliki eksistensi dalam penguatan budaya lokal.

Adapun hasil dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Pesan gesture (bahasa tubuh) menggunakan air muka untuk menyampaikan makna tertentu.

(8)

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa wajah dapat menyampaikan paling sedikit sepuluh kelompok makna: kebagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan, kesedihan, kemuakan, pengecaman, minat, ketakjuban, dan tekad.

Dyah, pendiri komunitas Tanah Aksara ini menceritakan tentang pesan gesture yang digunakan selama interaksi dalam komunitas Tanah Aksara:

“Kalau soal komunikasi non verbal, dalam komunitas ini ya emang kami kadang ga sadar gitu justru kayaknya komunikasi non verbal ini yang sering kami gunakan, hehe.. Misalnya dari bahasa tubuh ya, ada kan ya, ekspresi wajah kita, khususnya saya mungkin nih, haha..kalo lagi happy sama respon masyarakat yang bagus sama

komunitas ini, wah saya jadi

sumringah banget. Seneng aja

bawaannya, jadi anggota pun dah pada tau nih, tapi kalo sebaliknya saya lagi panik atau sedih nih tentang apapun deh dalam komunitas ini, mereka juga nanya dan berusaha cari solusi gimana caranya supaya jadi baik gitu…”

Dalam hasil wawancara di atas, Dyah menjelaskan adanya bentuk komunikasi non verbal yang digunakan yaitu pesan gesture (bahasa tubuh). Meskipun memang tanpa dikomunikasi lebih lanjut, para anggota dalam komunitas tersebut mencoba memahami apa yang Dyah rasakan dan sampaikan melalui pesan gesture tersebut.

Leathers (1976) menyimpulkan penelitian-penelitian tentang wajah sebagai berikut:

a. Wajah mengkomunikasikan penilaian dengan ekspresi senang dan tak senang, yang menunjukkan apakah komunikator memandang objek penelitiannya baik atau buruk. Hal inipun tercermin dalam pernyataan yang diungkapkan oleh informan. Ekspresi wajah akan terlihat spontan sesuai dengan pesan yang ingin disampaikannya.

b. Wajah mengkomunikasikan berminat atau tak berminat pada orang lain atau lingkungan, hal inipun sesuai dengan hasil penelitian peneliti bahwa pesan

gesture melalui ekspresi wajah ini memperlihatkan respon dari individu yang hendak menyampaikan pesan tersebut.

c. Wajah mengkomunikasikan intensitas keterlibatan dalam situasi situasi; d. Wajah mengkomunikasikan tingkat

pengendalian individu terhadap pernyataan sendiri; dan wajah barangkali mengkomunikasikan adanya atau kurang pengertian. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian peneliti, ketika informan menceritakan tentang ekspresi wajah berulang kali, ternyata benar adanya

bahwa wajah memang

mengkomunikasikan adanya atau kurangnya pengertian. Ekspresi wajah ini bisa mengartikan beragam makna pesan. Artinya, bentuk komunikasi non verbal inilah yang sering kali dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, namun ada sebagian orang juga yang tidak menyadarinya (Leathers: 1976).

Dyah pun menyampaikan pernyataan yang lain dalam wawancaranya:

“Nah pernah juga sih beberapa kali justru tanpa ngomong apa-apa nih, kita udah saling ngerti ada masalah apa, hanya dari pesan bahasa tubuh ini, haha.. Justru komunikasi ini jadi lebih efektif ya, karena mungkin kita udah terbiasa juga ya, jadi satu sama lain saling ngerti, kalo saya mau ngajak rapat tapi respon mereka dari wajahnya aja nih udah ga antusias gitu, ah saya juga jadi ga semangat gitu, haha…ya tapi ujungnya kita obrolin ada apa, jadi kita sharing juga supaya apapun itu ya tidak mengganggu kegiatan-kegiatan dari Tanah Aksara ini”.

2. Pesan proksemik disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Umumnya dengan mengatur jarak kita mengungkapkan keakraban kita dengan orang lain. Edward T Hall adalah antropolog yang menciptakan istilah proksemik sebagai bidang studi yang menelaah persepsi manusia atas ruang (pribadi dan sosial), cara manusia menggunakan ruang dan pengaruh ruang terhadap komunikasi.

(9)

Hal inipun tercermin dalam kutipan wawancara di bawah ini:

“Selain bahasa tubuh, ada bentuk komunikasi non verbal yang lain,

misalnya apa ya namanya,

hmm…jarak gitu, atau unsur

kedekatan gitu ya namanya, jadi kami

udah saling memahami karena

kedekatan ini. Ya orang-orang yang tergabung dalam komunitas ini kan bukan sembarangan, artinya mereka yang bener-bener punya komitmen yang sama untuk melestarikan aksara lokal. Terus ya kita jadi nyambung karena kedekatan ini gitu. Coba kebayang kan kalo saya ngobrol sama orang yang ga punya kedekatan tentang nilai-nilai lokal, atau ga ngeuh juga sama aksara lokal, yang kayak gimana ya, ga nyambung kan, hehehe..Jadi emang penting banget ini, pesan apa namanya ini kalau dalam komunikasi ya, oh proksemik ya…hehe..”

Berdasarkan pernyataan di atas, peneliti melihat adanya pesan non verbal lainnya yang terdapat dalam interaksi bagi komunitas Tanah Aksara ini, yaitu pesan proksemik. Unsur proksemik ini

Namun umumnya, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi jarak seseorang ketika berkomunikasi:

1. Latar belakang etnik dan budaya. Dalam penelitian misalnya, nampak bahwa etnis arab cenderung melakukan kontak fisik dengan lawan bicaranya ketimbang orang amerika. Orang arab bicara lebih rapat seakan-akan mereka saling mengendus tubuh lawan bicara, bahkan saling berciuman pipi ketika bertemu, bila sudah akrab. Bila kita mencoba menjauh, orang arab akan menyangka bahwa kehadiran fisik mereka menjijikan atau kita dianggap orang yang dingin dan tidak berperasaan. 2.Karakteristik psikologis. Misalnya, orang cacat akan menjaga jarak dengan orang lain terutama dengan orang normal.

3.Orientasi sikap dan emosi. Klecks pernah melakukan observasi. Seseorang diminta untuk berkomunikasi dengan orang yang “tak ramah”. Ternyata, saat berkomunikasi, ia memilih untuk menjaga jarak karena menganggap bahwa orang itu memang “tak ramah”. Begitu juga ketika

seseorang diminta untuk mengobrol dan bersikap ramah terhadap lawan bicaranya, maka ia berkomunikasi dalam jarak lebih dekat.

4.Karakteristik kepribadian. Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa seorang yang berkepribadian introvert (tertutup) cenderung untuk menjaga jarak saat berkomunikasi dibandingkan dengan mereka yang berkepribadian ekstrovert. Begitu pula orang yang tidak percaya diri cenderung akan menjaga jarak saat berkomunikasi. Berbeda dengan mereka yang memiliki kepercayaan diri tinggi, mereka akan berkomunikasi dalam jarak yang lebih dekat.

3.Pesan artifaktual diungkapkan melalui penampilan tubuh, pakaian, dan kosmetik. Walaupun bentuk tubuh relatif menetap, orang sering berperilaku dalam hubungan dengan orang lain sesuai dengan persepsinya tentang tubuhnya (body image). Erat kaitannya dengan tubuh ialah upaya kita membentuk citra tubuh dengan pakaian, dan kosmetik.

Dalam penelitian ini, peneliti melihat adanya pesan artifaktual yang digunakan oleh komunitas Tanah Aksara. Informan menceritakan adanya bagian dari pesan artifaktual dalam setiap aktivitas mereka, salah satunya adalah penampilan dan atribut yang mereka gunakan sehari-hari. Berikut hasil wawancaranya:

“Ini nih yang paling sering kita pake yah, atribut namanya, wah saya bangga banget nih kalo pamer soal atribut ini, haha.. jadi ciri khas kami, identitas komunitas Tanah Aksara. Kami bikin setiap aribut yang kami pake dengan simbol Tanah Aksara ini, kan kami mengusung aksara lokal, jadi kami bikin PIN ya pake simbol Tanah Aksara. Saya juga sengaja disain sendiri kaos-kaos ya pake simbol Tanah Aksara, pokoknya yang ngejelasin kalo kami adalah bagian dari komunitas ini, kalo komunitas Tanah Aksara ini emang ada. Ya manfaat lainnya ya supaya komunitas ini eksis gitu, hehe… Malahan

kaos-kaos yang saya produksi ini

alhamdulilah banyak yang order juga, udah banyak pembelinya, karena

(10)

sebagian dananya untuk kegiatan sosial yang selalu kami lakukan.

Kalau udah pake kaos atau

atributnya, ya kami jadi mudah dikenal.”

Berdasarkan hasil wawancara di atas, informan juga menceritakan bahwa penampilan memiliki peranan penting dalam interaksi mereka, baik sesama anggota maupun dengan masyarakat luas. Ini adalah bagian dari bentuk komunikasi non verbal yang lain, yaitu pesan artifaktual. Pesan artifaktual inilah yang membuat komunitas Tanah Aksara juga lebih mudah dikenal oleh masyarakat, mereka menggunakan atribut tersebut sebagai simbol identitas diri komunitas Tanah Aksara.

Peneliti juga menemukan hasil penelitian yang serupa tentang penampilan sebagai bentuk pesan artifaktual. Dion Barata (2010) dalam artikelnya yang berjudul “Fashion sebagai Strategi Simbolik Komunikasi Non Verbal” menjelaskan bahwa pakaian sebagai pesan artifaktual memang dapat dan telah diadopsi menjadi sebuah identitas. Suatu identitas berdasarkan konstruksi tanda-tanda yang dimaknai dan merupakan representasi ideologi yang ingin ditampilkan penggunanya. Tapi konstruksi tanda-tanda tersebut tidak dapat dipungkiri sangat dipengaruhi oleh kuatnya arus globalisasi di hampir setiap bidang kehidupan sehingga identitas yang dikonstruksi itu sesungguhnya bukan lagi identitas murni dari dalam diri sendiri namun konstruksi yang telah “diarahkan” sesuai ideologi dominan tertentu. Ketika fesyen sebagai identitas telah ditentukan secara sadar ke dalam diri kita sendiri, dan secara tidak langsung akan melakukan penerimaan diri, dan hingga selera seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Sebagai bagian dari masyarakat, selalu muncul keinginan dari manusia untuk menunjukan identitasnya. Fasyen dapat menjadi sarana untuk mengkomunikasikan identitas seseorang melalui tanda-tanda yang terselubung di dalamya. Rangkaian tanda-tanda tersebut disusun secara sistemis sehingga menjalin suatu makna sesuai keinginan penggunannya. Hal ini menunjukan

bahwa komunikasi dapat terjadi bukan semata-mata melalui bahasa verbal semata namun dilakukan melalui pesan-pesan dalam tanda non verbal (Barata: 2010).

Analisis Teori Interaksi Simbolik

Esensi dari interaksi simbolik menekankan pada suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (West Turner, 2008). Banyak ahli di belakang perspektif ini yang mengatakan bahwa individu sebagai manusia merupakan hal yang paling penting. Mereka mengatakan bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Menurut Ralph Larossa & Donald C. Reitzes (1993) dalam West Turner (2008), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia.

Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap. Mind, Self and Society merupakan judul buku yang menjadi rujukan utama teori interaksi simbolik, merefleksikan tiga konsep utama dari teori. Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, yaitu: 1. Pikiran (Mind)

Pikiran adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain (Turner, 2007). Simbol yang bermakna adalah tindakan verbal berupa bahasa yang merupakan mekanisme utama interaksi manusia. Penggunaan bahasa atau isyarat simbolik oleh manusia dalam interaksi sosial mereka pada gilirannya memunculkan pikiran (mind) yang memungkinkannya menginternalisasi masyarakat.

(11)

Ide dasar teori ini sangat relevan dengan penelitian peneliti yang menggambarkan tentang penggunaan simbol oleh komunitas Tanah Aksara dalam interaksi sosial, yang pada akhirnya memunculkan pikiran dalam anggotanya, yang memungkinkan untuk menginternalisasi masyarakat. Mereka telah membangun pesan positif dalam simbol-simbol berupa atribut yang mereka gunakan sehari-hari untuk menginternalisasi masyarakat tentang makna simbol dan keberadaan komunitas Tanah Aksara. Dalam hal ini, komunitas Tanah Aksara menggunakan pesan artifaktual sebagai bentuk dari komunikasi non verbal.

2. Diri (Self) dengan the looking glass self, yaitu (1) membayangkan penampilan kita di hadapan orang lain, (2) membayangkan penilaian mereka terhadap penampilan kita, dan (3) merasa sakit hati atau bangga karena perasaan diri.

Hal ini juga sangat relevan dengan penelitian peneliti yang membayangkan penampilan kita di hadapan orang lain. Dengan adanya penampilan para anggota komunitas Tanah Aksara yang menggunakan atribut-atribut Tanah Aksara, ini akan memunculkan kesan “the looking glass self”.

3. Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.

Bagian dari teori interaksi simbolik ini juga relevan dengan penelitian peneliti, di mana hubungan sosial yang diciptakan oleh komunitas Tanah Aksara, baik itu di lingkungan keluarganya maupun masyarakat, dibangun dan dikonstruksikan oleh tiap individu yang tergabung di dalamnya.

PENUTUP

Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa penelitian tentang jenis-jenis Komunikasi Non Verbal dalam komunitas Tanah

Aksara ini meliputi: pesan non verbal Gesture; pesan non verbal Proksemik; dan pesan non verbal Artifaktual.

Adapun saran yang ingin diberikan peneliti dalam penelitian ini bahwa peneliti sangat mengapresiasi keberadaan komunitas Tanah Aksara ini yang memiliki komitmen yang tinggi dalam mempertahankan tradisi dan budaya lokal, di tengah-tengah era modernisasi yang berkembang, anggota komunitas Tanah Aksara tentu harus semakin giat dan solid dalam mengusung budaya dan nilai-nilai lokal, yang tercermin dalam bentuk komunikasi non verbal, supaya terwujudnya impian yang diharapkan oleh komunitas Tanah Aksara. REFERENSI

Agus M. Hardjana. (2003). Komunikasi Intrapersonal & Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Kanisius.

Bungin, Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Dale G. Leathers. (1976). Nonverbal

Communication System.

Universitas Michigan, Allyn and Bacon.

Dion, D. B. (2010). Fashion Sebagai Strategi Simbolik Komunikasi Non-Verbal. Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 2, Juni, 2010. UMN: Jakarta. Mulyana, Deddy. (2008). Metode

Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

______________. (2009). Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Prasanti, Ditha. (2016). Pemaknaan Simbol bagi Komunitas Brotherhood. Jurnal Semiotika edisi Juni 2016. Liliweri, Alo. (2007). Makna Budaya

Dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS.

(12)

Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Kuantitatif, Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

West, Richard. Lynn H.Turner. (2008). “Pengantar Teori Komunikasi, Analisis, dan Aplikasi”. Jakarta: Salemba Humanika.

Company Profile Komunitas Tanah Aksara: 2016.

BIODATA PENULIS

Ditha Prasanti, S.I.Kom, M.I.Kom Penulis lahir di Pontianak, 4 Mei 1988. Peneliti menempuh studi S1 dan S2 di Fikom Unpad. Penulis sebagai dosen di Fikom Unpad juga aktif dalam kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Selain itu, penulis juga aktif menulis dalam beberapa jurnal nasional yang ada di Indonesia. Penulis juga memiliki ketertarikan dalam bidang komunikasi kesehatan dan komunikasi lintas budaya.

Dr.Nuryah Asri, Sjafirah, M.Si

Penulis lahir di Bandung, 25 Agustus 1975. Penulis merupakan lulusan S1, S2, dan S3 dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung. Penulis telah memiliki beberapa karya tulis ilmiah. Selain itu, peneliti juga aktif dalam melaksanakan kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tahun lalu, penulis mendapatkan gelar sebagai dosen berprestasi di lingkungan Fikom Unpad. Penulis juga memiliki kepakaran dalam bidang komunikasi lintas budaya. Begitupun beberapa penelitiannya, termasuk tesis dan disertasinya berada dalam bidang komunikasi lintas budaya.

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan emoticon dalam kegiatan chatting di BlackBerry Messenger merupakan satu bentuk interaksi yang telah memgalami berbagai modifikasi dalam proses pembentukan

komunikasi non verbal “ Silver Man ” Komunitas Silver Peduli dalam menarik simpati masyarakat di kota Bandung.. Peneliti sadar dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas

karya tulis yang digunakan peneliti, kajian teori yang digunakan oleh peneliti, Komunitas Denok Kenang sebagai pelaksana promosi pariwisata Kota Semarang Aktivitas