1 1.1 LATAR BELAKANG
Karya sastra terjemahan merupakan peluang yang menjanjikan di
abad ke-21 ini. Varietas karya sastra terjemahan yang diminati oleh
masyarakat Indonesia terdiri atas empat teks, yaitu: novel, puisi, teks drama,
dan esai (Sastriyani, 2011:68). Cetak ulang terhadap karya sastra terjemahan
sering terjadi di Indonesia. Hal tersebut disebabkan oleh munculnya banyak
penerjemah pada suatu novel dengan berbagai hasil terjemahan yang berbeda.
Salah satu objek penelitian yang didasari oleh adanya beragam
penerjemah tersebut adalah teks sastra berupa novel dengan judul Madame
Bovary karya penulis Prancis, Gustave Flaubert. Perbedaan metode yang
digunakan oleh dua orang penerjemah yang mengalihbahasakan karya ini
dalam kurun waktu yang berbeda pula, memungkinkan karya ini menjadi
kajian penelitian yang baru.
Pada dasarnya, karya sastra dalam bentuk apa pun selalu memiliki
pesan dalam kata-kata, kalimat, frasa maupun wacananya baik
penyampaiannya secara eksplisit maupun implisit (Sastriyani, 2011:58). Pesan
tersebut dapat diterima dengan baik oleh pembaca apabila adanya transfer
▸ Baca selengkapnya: hal yang diperjuangkan kaum buruh pada penggalan teks tersebut adalah
(2)Transfer pesan dan amanat tersebut dilalui dengan melakukan proses
penerjemahan.
Nida dan Taber (1964:166) menyatakan definisi proses
penerjemahan sebagai berikut.
“Translating consists of reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the source language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style”
‘Menerjemahkan dapat didefinisikan sebagai kegiatan mereproduksi amanat dari bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa) dengan menggunakan padanan yang terdekat dan wajar, baik makna maupun gayanya.’
Terjemahan bertumpu pada perpadanan (equivalence) dan
kesejajaran bentuk (formal correspondence) (Hoed, 1993:11). Disebutkan
pula adanya penerjemahan dinamis, yaitu diperolehnya kesepadanan
amanat teks dan padanan wajar yang terdekat dengan BSu. Berkaitan
dengan idiomatis, penerjemah berusaha menyampaikan makna teks kepada
pembaca BSa dengan memperhatikan bentuk gramatikal dan leksikal BSa
yang wajar (Nida, 1974:12).
Namun, sebelum menerjemahkan, seorang penerjemah
menentukan terlebih dahulu siapa calon pembaca terjemahannya (audience
design) dan akan digunakan untuk keperluan apa terjemahan itu (needs
analysis) (Hoed, 1993:13). Dalam praktiknya penerjemah akan memilih
metode apa yang akan dipakai dengan memperhatikan audience design
karena metode memiliki dua acuan, yaitu 1). ideologi pada BSu
(foreignisasi), 2). ideologi pada BSa (domestikasi) (Newmark, 1988:45–
48).
Metode penerjemahan yang berideologi pada BSu yaitu: 1).
metode terjemahan kata-demi-kata, 2). metode terjemahan harfiah, 3).
metode terjemahan setia, 4). metode terjemahan semantik.
Metode penerjemahan yang berideologi pada BSa terdiri dari:
1). metode terjemahan adaptasi, 2). metode terjemahan bebas, 3). metode
terjemahan idiomatis, 4). metode terjemahan komunikatif (Newmark,
1988:45–48).
Atas adanya berbagai metode penerjemahan yang ditawarkan,
menjadikan kedua penerjemah Madame Bovary pun menggunakan metode
yang berbeda. Berikut contoh penggalan kalimat dan paragraf yang
terdapat di dua terjemahan novel Madame Bovary karya Gustave Flaubert,
dengan judul Nyonya Bovary (1990) oleh Winarsih Arifin dan Madame
(1)
Pada contoh (1) di atas, terdapat perbedaan metode yang
digunakan antara dua penerjemah. Pada TSa (1) digunakan terjemahan
Kata-Per-Kata dan pada TSa (2) digunakan terjemahan Komunikatif.
Pada TSa (1) kata bonsoir dialihbahasakan menjadi ‘selamat malam’. Kata benda bonsoir memiliki arti ‘selamat sore’ atau ‘selamat
malam’ pada bI (Arifin dan Soemargono, 2011:107), sedangkan makna
dari kata ‘selamat malam’ adalah sebuah ucapan salam yang digunakan
oleh pembicara untuk sapaan saat mengawali sebuah percakapan yang
biasanya berada pada konteks formal (KBBI). Walaupun kata ‘selamat malam’ merupakan kata yang wajar dalam bI, namun penggunaannya
jarang dilakukan karena masyarakat di Indonesia pada saat akan berpisah cenderung mengucapkan ‘duluan ya’ atau ‘dadah’ (informal) untuk
mengucapkan selamat tinggal. Terlebih lagi kata lâchez tout diartikan secara literal menjadi ‘lepas’, walaupun kata kerja lâchez (inf: lâcher)
memiliki terjemahan ‘melepaskan’ tidak berarti lâcher diterjemahkan
menjadi ‘lepas’ (Arifin dan Soemargono, 2011:592). Konteks cerita pada
penggalan dialog di atas, pembicara Monsieur Guillaum bersiap No. 38
Teks Sumber ––Bonsoir, répondit M. Guillaumin. Lâchez tout !
Teks Sasaran 1 “Selamat malam,” jawab Tuan
Guillaumin. “Lepas !” Kata-Per-Kata (1A)
Teks Sasaran 2 “Selamat tinggal,” kata Monsieur Guillaumin. “Kami berangkat !”
menunggangi kereta kuda yang akan mengantarkan Léon dari Rouen
menuju Paris pada sore hari. Dapat terlihat bahwa dialog TSa (1)
diterjemahkan secara kata demi kata tanpa melihat konteks cerita, maka
dialog tersebut dikategorikan ke dalam metode terjemahan Kata-Per-Kata.
Berbeda dengan TSa (2) bonsoir diterjemahkan menjadi ‘selamat tinggal’, terjemahan TSa (2) tersebut lebih cocok dengan konteks
cerita dibandingkan TSa (1) karena Monsieur Guillaum yang berperan
sebagai subjek pembicara atau orang yang mengajak bicara terlebih
dahulu. Selain itu, kata kerja lâcher diterjemahkan menjadi ‘kami berangkat’ merupakan transliterasi yang tepat terlepas dari arti literal dari
kata kerja tersebut. Penggalan terjemahan dialog TSa (2) termasuk dalam
kategori metode terjemahan Komunikatif karena tmudah dipahami dan
istilah yang digunakan merupakan bahasa yang wajar dalam BSa.
Dari contoh di atas, sampai-tidaknya pesan dan baik-buruknya
kualitas terjemahan bergantung pada metode penerjemahan yang
digunakan oleh penerjemah. Oleh sebab itu, pemilihan novel Madame
Bovary ini didasari atas adanya ketidaksinambungan saat membandingkan
terjemahan dengan teks aslinya dan juga membandingkan terjemahan satu
dengan yang lainnya. Makna yang disampaikan oleh kedua penerjemah
pun cenderung berbeda karena adanya perkembangan teori dan metode
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dua puluh tahun merupakan waktu yang cukup panjang pada
perubahan khazanah karya sastra. Novel Madame Bovary diterjemahkan
oleh Winarsih Arifin (1990) dan Santi Hendrawati (2010) untuk
memunculkan kembali euforia keemasan novel Madame Bovary di
Indonesia. Pada kenyataannya, dalam terjemahan berbeda memunculkan
pesan dan makna yang berbeda pula. Adanya perbedaan tersebut
mengangkat beberapa pertanyaan yang mendasari penelitian ini:
1. Bagaimanakah perbandingan penerapan metode penerjemahan
antara Winarsih Arifin (1990) dan Santi Hendrawati (2010) selaku
penerjemah novel Madame Bovary karya Gustave Flaubert?
2. Apa implikasinya terhadap penerapan metode penerjemahan
tersebut?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, berikut tujuan dari
penelitian ini:
1. Mengetahui dan membandingkan perbedaan penerapan metode
terjemahan novel Madame Bovary dari zaman ke zaman.
2. Mengetahui kecenderungan orientasi dari metode penerjemahan
1.4 KERANGKA TEORI
1.4.1 Terjemahan
Penerjemahan mengandung pengertian ‘pencarian padanan
representasi makna dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran’
(Pelawi, 2014:35). Menerjemahkan juga dapat didefinisikan sebagai
kegiatan menghasilkan kembali amanat dari bahasa sumber ke dalam
bahasa sasaran dengan menggunakan padanan yang terdekat dan wajar,
baik cara pengungkapan makna maupun gayanya (Nida, 1974:12).
François Ost (2009:3) dalam bukunya Traduire, Défense et
Illustration du Multilinguisme menyatakan bahwa hasil dari terjemahan
yang baik adalah terjemahan yang nampak seperti aslinya. Keasliannya
tecermin dari adanya penyusunan kembali pesan sesuai dengan teks
aslinya, sifat khas bahasanya, dan kesan natural yang ditampilkan saat
diterjemahkan, sehingga tidak terkesan janggal dan aneh. Gagasan dalam
pesan diadaptasi melalui pemilihan kata dan konstruksi kalimat harus
ditransformasi sesuai dengan bidang sasarannya. Ekspresi-ekspresi
penerjemahan diadaptasi, tetapi memiliki kualitas sama dengan bahasa
sasaran. Tindakan yang harus dilakukan penerjemah adalah asimilasi,
konversi, penulisan, kontrol terhadap keobjektifan dan kritik penyebaran
(Flamand, 1993 :31).
Menurut Flamand (1993:27), penerjemah yang baik adalah
menerjemahkan. Kemampuan keilmiahan merujuk pengetahuan
penerjemah dalam budaya, bahasa, makna kata-kata, struktur gramatikal
bahasa sumber dan bahasa sasaran. Kemampuan artistik adalah bahwa
penerjemah harus tahu perbedaan dan persamaan antara dua bahasa.
Penerjemah memerlukan imajinasi dan kreativitas dalam menciptakan
penerjemahan yang baik.
1.4.2 Metode Penerjemahan
Menurut Newmark (1988), metode diartikan sebagai cara yang
teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai
sesuai yang dikehendaki. Sedangkan menurut Molina dan Albir
(2002:507):
“Translation method refers to the way of a particular translation process that is carried out in terms of the translator’s objective which is a global option that affects the whole text”
“Metode penerjemahan mengacu pada cara khusus yang digunakan untuk mencapai tujuan penerjemah yang berpengaruh besar pada makna dari keseluruhan teks”
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:740) metode
diartikan sebagai cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Dalam Macquarie Dicitionary (1928), metode adalah suatu cara
melakukan sesuatu, terutama yang berkenaan dengan rencana tertentu “a
definite plan”. Artinya 1). metode adalah cara melakukan sesuatu, yaitu cara melakukan penerjemahan, 2). metode berkenaan dengan rencana
tertentu, yaitu rencana dalam pelaksanaan penerjemahan yang diwujudkan
melalui tiga tahapan penting, yaitu analisis, pengalihan, dan penyerasian.
Ketiga tahapan ini harus dilewati dalam kegiatan dan perencanaan
penerjemahan. Pelaksanaan ketiga tahap tersebut dijalankan dengan
menggunakan cara tertentu. Cara itu disebut metode. Jadi pelaksanaan
kegiatan dalam setiap tahap penerjemahan atau proses tersebut berada
dalam kerangka cara atau metode tertentu (Machali, 2000:49).
Molina dan Albir (2002:507–508) mengartikan metode
penerjemahan sebagai cara proses penerjemahan dilakukan dalam
kaitannya dengan tujuan penerjemah. Metode penerjemahan merupakan
pilihan global yang memengaruhi keseluruhan teks. Pada dasarnya metode
penerjemahan akan ditetapkan terlebih dahulu oleh penerjemah sebelum
dia melakukan proses penerjemahan.
Newmark (1988:45) memperkenalkan sebuah diagram yang ia
sebut sebagai Diagram-V untuk menunjukkan dua kutub yang berbeda dari
metode penerjemahan, kutub yang pertama sangat memperhatikan sistem
dan budaya BSu, sedangkan kutub yang kedua sangat menghargai sistem
dan budaya BSa.
Dari batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa metode
penerjemah dalam proses penerjemahan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai. Artinya hasil teks terjemahan sangat bergantung pada metode
penerjemahan yang digunakan atau dianut oleh penerjemah.
Metode penerjemahan yang berideologi pada BSu
direpresentasikan oleh 1). metode penerjemahan kata-demi-kata, 2).
metode penerjemahan harfiah, 3). metode penerjemahan setia, 4). metode
penerjemahan semantik. Metode penerjemahan yang berideologi pada BSa
berisikan: 1). metode penerjemahan adaptasi, 2). metode penerjemahan
bebas, 3). metode penerjemahan idiomatis, 4). metode penerjemahan
komunikatif.
1.4.3 Ideologi Penerjemahan
Penerjemahan merupakan reproduksi pesan yang terkandung
dalam TSu. Hoed (2006:83) mengutip pernyataan Basnett dan Lefevere
bahwa apa pun tujuannya, setiap reproduksi selalu dibayangi oleh ideologi
tertentu.
Ideologi terjemahan menurut Tymoczko dalam Karoubi (2008)
tidak sekadar terletak pada teks yang diterjemahkan tapi juga pada gaya
dan pendirian penerjemah dan relevansinya dengan pembaca yang akan
menikmati teks terjemahan.
Menurut Hoed (2003), ideologi dalam penerjemahan adalah prinsip atau keyakinan tentang ‘benar atau salah’ dalam penerjemahan.
apabila teks terjemahan telah menyampaikan pesan BSu ke dalam teks
BSa secara tepat. Keberterimaan kemudian menjadi sesuatu yang tidak
diperhatikan. Sebagian yang lain menganggap teks terjemahan yang benar
adalah teks terjemahan dengan keberterimaan yang tinggi, teks terjemahan
yang memenuhi kaidah-kaidah BSa, baik kaidah gramatika maupun kaidah
kultural.
Ideologi yang digunakan penerjemah merupakan tarik-menarik
antara dua kutub yang berlawanan, antara yang berideologi pada BSu dan
yang berideologi pada BSa (Venuti dalam Hoed, 2006:84). Ideologi itu
dikenal dengan istilah foreignizing translation (foreignisasi) dan
domesticating translation (domestikasi). Berikut uraian mengenai kedua
hal tersebut berlandaskan pada paparan Hoed (2006:83–90).
1.4.3.1 Ideologi Foreignisasi (Foreignizing Translation)
Foreignizing Translation adalah ideologi penerjemahan yang
berideologi pada BSu, yakni bahwa penerjemahan yang betul, berterima,
dan baik adalah yang sesuai dengan selera dan harapan pembaca, penerbit,
yang menginginkan kehadiran kebudayaan BSu atau yang menganggap
kehadiran kebudayaan asing bermanfaat bagi masyarakat.
Penerjemah pada ideologi ini sepenuhnya berada di bawah
kendali penulis TSu. Aspek kebudayaan asing adalah hal yang paling
ditonjolkan, sehingga bila dikaitkan dengan Diagram-V milik Newmark,
Semantik. Namun, yang paling banyak digunakan adalah metode
terjemahan Setia dan Semantik. Sekait dengan hal tersebut, jika
penerjemah menggunakan metode-metode ini, bahasa yang dihasilkan
dalam terjemahan cenderung mempertahankan bentuk bahasa dalam TSu.
Berikut ini uraian kelebihan dan kekurangan penggunaan ideologi
Foreignisasi dalam penerjemahan
Tabel 1. Kelebihan dan Kekurangan Ideologi Foreignisasi
dalam Penerjemahan
Kelebihan Kekurangan
Pembaca BSa dapat memahami budaya BSu.
Pembaca BSa mungkin merasa asing dengan beberapa istilah terjemahan.
Nuansa budaya BSu sangat terasa dalam teks terjemahan.
Teks BSa terkadang terasa kompleks dan tidak natural dalam penggunaanya.
Memungkinkan terjadinya
intercultural learning.
Aspek-aspek negatif budaya dalam BSu dapat mudah masuk dan memberi pengaruh pada pembaca
Sumber: Kardimin, 2013:391
1.4.3.2 Ideologi Domestikasi (Domesticating Translation)
Domesticating Translation adalah ideologi penerjemahan yang
berideologi pada BSa. Ideologi ini meyakini bahwa penerjemahan yang
betul, berterima, dan baik adalah yang sesuai dengan selera dan harapan
pembaca yang menginginkan teks terjemahannya sesuai dengan
kebudayaan masyarakat BSa. Intinya, suatu terjemahan diharapkan tidak
tulisan dalam BSa. Oleh karena itu, penerjemah menentukan apa yang
diperlukan agar terjemahannya tidak terasa asing bagi pembaca BSa.
Terkait dengan hal tersebut, pada Diagram-V milik Newmark, metode
yang berideologi pada BSa adalah terjemahan Adaptasi, Bebas, Idiomatik,
dan Komunikatif. Berikut adalah kelebihan dan kekurangan dari ideologi
Domestikasi dalam penerjemahan.
Tabel 2. Kelebihan dan Kekurangan Ideologi Domestikasi
dalam Penerjemahan
Kelebihan Kekurangan
Pembaca TSa dapat memahami teks terjemahan dengan mudah.
Aspek-aspek budaya dalam BSu seringkali pudar.
Teks terjemahan terasa natural dan komunikatif.
Pembaca BSa tidak dapat
memberkan interpretasi terhadap teks karena interpretasi telah dilakukan oleh penerjemah.
Memungkinkan terjadinya
asimilasi budaya.
Pembaca BSa tidak mendapatkan pengetahuan BSu.
Sumber: Kardimin, 2013:395
1.5 TINJAUAN PUSTAKA
Dasar dari penelitian ini mengacu pada beberapa penelitian yang
juga membahas tentang metode yang digunakan dalam penerjemahan.
Penelitian-penelitian sebelumnya telah membahas baik tentang metode
penerjemahan individu yang dibandingkan dengan penerjemahan
penerjemahan. Untuk perbandingan metode penerjemahan karya sastra
masih belum pernah dibahas dalam penelitian manapun.
Perbedaan yang mendasari penelitian ini adalah belum adanya
perbandingan terjemahan antara penerjemah satu dan yang lainnya.
Penelitian mengkhususkan untuk membandingkan dua penerjemahan
novel Madame Bovary karya Gustave Flaubert yang diterjemahkan dalam
kurun waktu yang berbeda dengan hasil atau model terjemahan yang
berbeda pula, Nyonya Bovary oleh Winarsih Arifin (1990) dan Madame
Bovary oleh Santi Hendrawati (2010).
Para penulis dari penelitian-penelitian tersebut antara lain:
Winantu Karunianingtyas dengan judul tesis Kualitas Hasil
Penerjemahan Individu dan Penerjemahan Kelompok dari Universitas
Sebelas Maret Surakarta (2008), isi dari tesis tersebut menyebutkan bahwa
penerjemahan individu berbeda dengan terjemahan kelompok, karena
terjemahan individu lebih merujuk pada satu sisi sudut pandang,
sedangkan terjemahan kelompok merujuk pada berbagai kesamaan aspek
teknik menerjemahkannya dari individu dalam kelompok. Kemudian, ada
pula jurnal dari Endry Purwaningsih (2011) dengan Analisis Terjemahan
Kata-Kata Bijak dalam Terjemhan Buku “The 48 Laws of Power” Karya
Robert Greene, dalam jurnal tersebut dijelaskan bentuk-bentuk terjemahan
kata-kata bijak beserta teknik dalam keakuratan dan kealamiahan makna
dalam buku terjemahannya. Ketiga, yaitu disertasi oleh Bena Yusuf Pelawi
Penerjemahan serta Dampaknya Terhadap Hasil Terjemahan Teks The
Gospel According To Matthew dalam Teks Bahasa Indonesia, dalam
disertasi tersebut dibahas bagaimana penerapan teknik, metode berkaitan
dengan ideologi penerjemah yang pada akhirnya memengaruhi hasil
keakuratan dan keterbacaan terjemahan. Keempat, skripsi dengan judul
Pergeseran Makna Semantik Komik Muslim Show oleh Nadia Amalina
(2015), skripsi tersebut membahas bagaimana pergeseran makna semantik
terjadi yang diakibatkan oleh adanya kontak budaya dari agama Islam dan
budaya di Prancis.
Kelima, skripsi dengan judul Penerapan Teknik Penerjemahan
Les Misérables Karya Victor Hugo Dalam Bahasa Indonesia oleh
Aninditya Laksmita Dewi (2016), skripsi tersebut membahas tentang
banyaknya pergeseran makna karena dampak dari digunakannya teknik
penerjemahan oleh penerjemah teks. Keenam, skripsi dengan judul
Pergeseran Makna pada Penerjemahan Novel Le Petit Prince yang
Berjudul Pangeran Cilik (2016) oleh Dyah Nur Khoiriyah, skripsi ini
membahas tentang berbagai jenis pergeseran makna beserta faktor
penyebabnya yang terdapat pada terjemahan novel tersebut.
1.6 METODE PENELITIAN
Data penelitian diambil dari dua terjemahan novel Madame
Bovary yang diterjemahkan oleh dua pengarang dengan metode dan teknik
Penelitian ini akan dilakukan melalui tiga tahapan penelitian, yaitu: tahap
pengumpulan data, analisis data dan penyajian hasil analisis data
(Sudaryanto, 1993:3).
Tahap pengumpulan ata dilakukan dengan mengumpulkan data
dengan membaca kedua novel terjemahan dan novel asli Madame Bovary
yang akan menjadi objek penelitian dalam skripsi ini. Metode ini dibantu
dengan teknik lanjutan berupa teknik kode dan catat yaitu dengan mencatat
semua data yang ada namun juga menggunakan kode, seperti: “12.4.12”
maksudnya pada halaman dua belas – paragraf keempat – baris kedua
belas. Adapun data yang diambil berupa penggalan paragraf, kalimat
maupun kata beserta terjemahannya. Data diambil langsung dari novel asli
Gustave Flaubert yaitu Madame Bovary, novel terjemahan tahun 1999
dengan judul Nyonya Bovary oleh penerjemah Winarsih Arifin, dan novel
terjemahan tahun 2010 dengan judul Madame Bovary oleh penerjemah
Santi Hendrawanti.
Setelah data terkumpul, data kemudian dipilah-pilah dan
diklasifikasikan sesuai dengan tipe-tipe metode penerjemahan yang akan
dianalisis, setelah itu data yang telah dipilih akan dimasukkan ke kartu
data dan mempersentasekannya agar dapat mengetahui kecenderungan dari
metode yang digunakan oleh kedua penerjemah.
Untuk menganalisis data ini digunakan teknik hubung banding,
kebahasaan yang dianalisis dengan alat penentu berupa hubungan banding
antara semua unsur penentu yang relevan dan semua unsur satuan
kebahasaan yang ditentukan (Kesuma, 2007:53).
Tolok ukur dari adanya penelitian ini didasari oleh adanya dua
data novel yang menggunakan dua metode penerjemahan yang berbeda,
maka dari itu perbedaan tersebut memunculkan adanya perbandingan antar
keduanya. Kedua novel tersebut memiliki peluang perbandingannya
sebagai berikut.
Tabel 3. Contoh Tabel Peluang
Perbandingan Metode Penerjemahan
1 Novel 1 menggunakan metode A dan novel 2 menggunakan metode A
NOVEL 1 NOVEL 2
Metode A Metode B Metode A Metode B
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
2 Novel 1 menggunakan metode B dan novel 2 menggunakan metode B
NOVEL 1 NOVEL 2
Metode A Metode B Metode A Metode B
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
3 Novel 1 menggunakan metode A dan novel 2 menggunakan metode B
NOVEL 1 NOVEL 2
Metode A Metode B Metode A Metode B
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
4 4 4 4
4 Novel 1 menggunakan metode B dan novel 2 menggunakan metode A
NOVEL 1 NOVEL 2
Metode A Metode B Metode A Metode B
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Setelah mengumpulkan data dan mengklasifikasikannya dalam
skema peluang perbandingan di atas, maka selanjutnya data terdominan
akan dimasukkan ke tabel Orientasi Penerjemahan baik dengan kutub
berbeda maupun yang sama.
1.7 SISTEMATIKA PENYAJIAN
Pembahasan mengenai penelitian ini akan disajikan dalam
empat bab dengan urutan dengan urutan Bab I, Bab II, Bab III dan Bab IV.
Bab I membahas tentang pendahuluan yang berisi latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup pembahasan,
tinjuan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika
penyajian.
Bab II membahas tentang teori metode dan teori ideologi
Bab III membahas tentang analisis dari perbandingan penerapan
teori metode penerjemahan yang dilengkapi dengan contoh pembuktian,
penjelasan, dan hasil dari kualitas terjemahan.
Bab IV adalah kesimpulan dari hasil analisis perbandingan