• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34/DPD RI/II/ TENTANG HASIL PENGAWASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34/DPD RI/II/ TENTANG HASIL PENGAWASAN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 34/DPD RI/II/2013-2014

TENTANG

HASIL PENGAWASAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

ATAS

PELAKSANAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 36 TAHUN 2009

TENTANG

KESEHATAN

BERKENAAN DENGAN KESEHATAN IBU DAN ANAK

JAKARTA

2013

(2)
(3)

1275

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34/DPD RI/II/2013-2014

TENTANG

HASIL PENGAWASAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS

PELAKSANAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009

TENTANG KESEHATAN

BERKENAAN DENGAN KESEHATAN IBU DAN ANAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Pemerintah selaku penyelenggara negara berkewajiban melaksanakan ketentuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan untuk mewujudkan terpenuhinya hak-hak masyarakat dalam pelayanan kesehatan yang baik;

b. bahwa untuk mendorong terpenuhinya hak-hak masyarakat yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia telah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan berkenaan dengan kesehatan ibu dan anak;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang dimaksud ketentuan pada huruf a, dan huruf b di atas, perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan berkenaan dengan kesehatan ibu dan anak.

Mengingat : 1. Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Nomor 123 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5043);

3. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib;

4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;

5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/ DPD/2007 tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Tahun 2007-2009.

(4)

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG HASIL PENGAWASAN DPD RI ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN BERKENAAN DENGAN KESEHATAN IBU DAN ANAK.

PERTAMA : Hasil pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan berkenaan dengan Kesehatan Ibu dan Anak, disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai pertimbangan untuk ditindak lanjuti.

KEDUA : Isi dan rincian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA, disusun dalam naskah terlampir yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari keputusan ini.

KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal, 20 Desember 2013

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

PIMPINAN

Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE.,MBA

Wakil Ketua,

GKR. HEMAS

Wakil Ketua,

(5)

1277

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34/DPD RI/II/2013-2014

TENTANG

HASIL PENGAWASAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS

PELAKSANAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009

TENTANG KESEHATAN

BERKENAAN DENGAN KESEHATAN IBU DAN ANAK HASIL PENGAWASAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN BERKENAAN DENGAN KESEHATAN IBU DAN ANAK I. Pendahuluan

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tertuang di dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak mendapatkan pelayanan kesehatan.

Salah satu bentuk layanan kesehatan yang diberikan pemerintah adalah layanan kesehatan bagi ibu dan anak. Hal ini tertuang dalam Pasal 126 ayat (1) dan Pasal 131 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan). Layanan kesehatan ibu ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu agar mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta untuk mengurangi angka kematian ibu. Sementara itu, layanan kesehatan anak ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak. Dengan demikian, lahirnya generasi yang sehat dan berkualitas tidak terlepas dari upaya untuk menjaga kesehatan ibu dan anak (KIA) dan mengurangi angka kematian ibu dan anak. Berbagai upaya dan program telah dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka

meningkatkan KIA dan mengurangi angka kematian ibu dan anak, tetapi program dan upaya

tersebut belum mampu mengurangi angka kematian ibu dan anak secara signifikan. Angka

kematian ibu (AKI) berada pada angka 228 per 100.000 kelahiran hidup dengan angka

pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan (nakes) terlatih 89,68%, sedangkan angka

kematian bayi (AKB) berada pada angka 32 per 1.000 kelahiran hidup dan AKB 40 per 1000 kelahiran hidup. Baik AKI maupun AKB dikhawatirkan tidak akan mencapai target millenium development goal’s (MDGs) tahun 2015, yaitu 102 per 100.000 kelahiran hidup bagi AKI dan 23 per 1.000 kelahiran hidup bagi AKB1 karena capaian target yang diharapkan masih sangat

jauh.

Selain penurunan AKI dan AKB, layanan kesehatan dan ketersediaan sarana dan

(6)

Minimnya regulasi teknis yang menjadi dasar bagi pelaksanaan KIA, seperti belum adanya Peraturan Pemerintah (PP) mengenai Pelayanan Kesehatan Ibu dan belum adanya PP mengenai Jenis-Jenis Imunisasi Dasar, ikut berpengaruh pada capaian KIA. Minimnya regulasi teknis tersebut berdampak pada keterhambatan pelaksanaan program teknis terkait dalam menunjang capaian KIA.

Di samping regulasi, minimnya koordinasi dan peran pemerintah daerah (pemda) juga menjadi kendala dalam program KIA. Program KIA yang ada selama ini terkesan hanya menjadi milik pemerintah (pusat) yang kurang melibatkan daerah sehingga program-program yang sudah bagus yang ditetapkan oleh Pemerintah tidak dapat berjalan di daerah. Hal itu disebabkan lemahnya fungsi koordinasi dan kurangnya pelibatan daerah. Sementara itu, di sisi lain, pemda kurang memberikan perhatian yang serius terhadap KIA, terlihat dengan minimnya program-program daerah yang mengalokasikan anggaran bagi program KIA. Kondisi di atas menjadi dasar bagi Komite III DPD RI melakukan pengawasan terhadap

pelaksanaan UU Kesehatan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22D UUD RI bahwa Dewan Perwakilan Daerah RI memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, selain pertimbangan dan legislasi.

II. Pelaksanaan Pengawasan

Pengawasan dilakukan atas pelaksanaan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang difokuskan pada layanan kesehatan ibu dan anak yang menjadi tanggung jawab pemerintah.

Adapun objek yang diawasi adalah pemerintah, pemda, fasilitas kesehatan (posyandu, puskesmas, dan rumah sakit), tenaga kesehatan, khususnya bidan dan perawat, serta masyarakat. Uraian objek yang diawasi adalah sebagai berikut:

(1) angka kematian ibu dan angka kematian bayi,

(2) upaya kesehatan ibu dan anak,

(3) fasilitas kesehatan ibu dan anak,

(4) ketersediaan tenaga kesehatan,

(5) gizi ibu dan anak,

(6) regulasi teknis,

(7) peran pemerintah daerah, dan

(8) alokasi anggaran.

Pengawasan terhadap pelaksanaan UU Kesehatan dilakukan dengan metode (i) observasi, (ii) wawancara dan kuesioner, dan (iii) telaah data dan informasi. Semetara itu, instrumen yang digunakan dalam pengawasan adalah sebagai berikut.

1. Rapat Kerja dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tanggal 3 Desember 2013.

2. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tanggal 02 Desember 2013 dengan: a. Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes RI;

b. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI);

c. Rumah Sakit Ibu dan Anak Harapan Kita; dan d. Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI).

3. Kunjungan Kerja ke daerah tanggal 16-19 September 2013. 4. Finalisasi hasil pengawasan tanggal 16-18 Desember 2013.

Waktu pelaksanaan pengawasan dimulai tanggal 16 September 2013 yang ditandai dengan kunjungan kerja ke daerah. Pengawasan berakhir tanggal 18 Desember 2013

yang ditandai dengan berakhirnya finalisasi laporan hasil pengawasan UU Kesehatan,

khususnya yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak. Lokasi pengawasan ada di Jakarta sebagai ibu kota negara dan di daerah yang terdiri atas tiga puluh tiga provinsi.

III. Temuan Menonjol

Temuan penting terhadap pengawasan pelaksanaan UU Kesehatan berkaitan

dengan kesehatan ibu dan anak tampak pada paparan berikut.

1. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) Masih Tinggi

Salah satu indikator keberhasilan pembangunan kesehatan ibu dan anak adalah menurunnya AKI dan AKB. Secara nasional, AKI dan AKB masih tinggi. Berdasarkan Survei

(7)

1279

AKB berada pada angka 32 per 1.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan target MDGs 2015 yang masing-masing 102 per 100.000 dan 23 per 1000 kelahiran hidup, capaian AKI dan AKB masih jauh dari harapan dan kemungkinan target MDGs 2105 tidak akan tercapai dengan memakai estimasi SKDI (1990--2007) dengan menggunakan perhitungan ekponensial. Tahun 2015 AKI hanya akan mencapai angka 161 per 100.000 kelahiran hidup.

Laporan tahunan KIA yang disampaikan oleh Direktur Bina Kesehatan Ibu yang disampaikan pada tanggal 6 April 2011 menyebutkan bahwa jika dihitung, AKI per provinsi cukup tinggi, yaitu 11.534 kematian pada tahun 2010 dengan perincian, lima provinsi

AKI-nya 50% atau 5.767 kematian ibu, sembilan provinsi 25% atau 2.884 kematian ibu, dan 18 provinsi 25% atau 2883 kematian ibu. Lima provinsi yang menyumbang 50% AKI tersebut adalah Jawa Barat (19,8%), Jawa Tengah (15,3%), Nusa Tenggara Timur (5,6%), Banten (4,7%), dan Jawa Timur (4,3%). Laporan tersebut sejalan dengan temuan Komite III DPDRI

yang menemukan AKI yang cukup tinggi di beberapa provinsi yang melebihi AKI nasional (228/100.000 kelahiran), seperti Provinsi Bengkulu (359/100.000 kelahiran), Sumatera Utara (359/100.000 kelahiran), Jawa Tengah (605/100.000 kelahiran), Bali (359/100.000 kelahiran), dan Papua (362/100.000 kelahiran). Begitu juga dengan AKB yang melebihi rata-rata nasional (23/1000 kelahiran), yaitu provinsi Bengkulu (35/1000 kelahiran), NTT (916/1000 kelahiran), Bali (34/1000 kelahiran), dan Papua (41/1000 kelahiran).

Tingginya AKI disebabkan oleh beberapa faktor, seperti pendarahan, eklampsia, dan infeksi. Sementara itu, tingginya AKB disebabkan oleh diare dan inspeksi saluran pernapasan (ISPA). Pengawasan yang dilakukan Komite III menemukan bahwa pendarahan, eklampsia, dan infeksi menjadi penyebab AKI tertinggi. Hal itu dikuatkan oleh SDKI 2007

yang menyatakan bahwa pendarahan menyumbang 27%, eklampsia menyumbang 23%, dan infeksi menyumbang 11% AKI. Selain itu, ISPA merupakan penyebab kematian bayi

dan balita nomor dua setelah diare sebagaimana disampaikan oleh Wamenkes RI tanggal

3 Desember 2013 bahwa 5% dari anak yang dibawa ke faskes/nakes menderita ISPA proksi

pneumonia. Selain itu, tingginya jumlah penderita HIV dan AIDS turut berkontribusi bagi tingginya AKI dan AKB; bagi ibu yang menderita HIV/AIDS akan menularkannya kepada bayi yang dikandungnya sehingga bayi tersebut dilahirkan dalam kondisi tertular HIV/ AIDS. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI, jumlah HIV/AIDS dalam delapan tahun terakhir (2005-2013) cenderung mengalami peningkatan, jumlah terakhir tahun 2013 mencapai 20.397 orang untuk HIV dan 2.763 orang untuk AIDS.

Pengawasan yang dilakukan menemukan bahwa rendahnya pengetahuan, pendidikan, dan minimnya akses informasi turut menyumbang AKI dan AKB, seperti rendahnya pengetahuan tentang demam (bisa disebabkan oleh malaria atau infeksi saluran pernapasan akut) yang dialami seorang balita berakhir dengan kematian. Hasil SDKI 2007

menunjukkan bahwa hanya 61% anak balita yang menderita diare diobati dengan terapi

rehidrasi oral (cairan oralit).

Hal itu tentu menjadi preseden buruk dalam menciptakan generasi penerus yang cerdas, sehat, dan berkualitas sebagaimana tujuan pembangunan kesehatan bidang KIA yang menjadi amanat UU Kesehatan.

2. Upaya Kesehatan Ibu dan Anak Belum Optimal

UU Kesehatan menyatakan bahwa upaya kesehatan merupakan kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi, dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Peningkatan kesehatan ibu dan anak dalam MDGs tidak hanya peningkatan layanan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan, tetapi juga menyangkut upaya kesehatan reproduksi, termasuk peningkatan pelayanan antenatal, penurunan kehamilan pada remaja, peningkatan cakupan peserta aktif KB, dan penurunan unmet need KB.

Hasil kunjungan kerja yang dilakukan Komite III DPD RI tanggal 16-19 September 2013 menemukan bahwa pelayanan antenatal, kehamilan remaja, peningkatatan peserta aktif KB, dan penurunan unmeet need KB belum sepenuhnya berjalan dengan baik karena berbagai hal, seperti, tempat tinggal yang jauh dari fasilitas kesehatan terdekat, kurangnya pendidikan, dan minimnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah. Hal tersebut dikuatkan oleh paparan yang disampaikan Wakil Menteri Kesehatan RI dalam Rapat Kerja dengan

Komite III tanggal 3 Desember 2013, yaitu layanan antenatal 96,58% dengan target MDGs 95%, angka kehamilan remaja 48% dengan target MDGs 30%, angka peserta KB 61,9% dengan target MDGs 66%, dan angka unmeet need KB (KB yang tidak terpenuhi)

8,5% dengan target MDGs 5%. Baik layanan antenatal, kehamilan pada usia remaja,

kepesertaan KB, maupun unmeet need KB dikhawatirkan tidak akan mencapai target MDGs 2015 tersebut.

Di samping itu, komite III juga menemukan kasus kehamilan di usia remaja sehingga

menyebabkan AKI cukup tinggi di daerah. Kondisi fisik dan mental yang belum siap

serta rendahnya pengetahuan tentang KIA menyebabkan ibu-ibu yang hamil pada usia remaja yang akan melahirkan mengalami pendarahan yang mengancam nyawa mereka.

(8)

dengan sungguh-sungguh karena merupakan hak dasar ibu dan anak untuk mendapatkan layanan tersebut.

3. Fasilitas Kesehatan Ibu dan Anak Minim

Salah satu kondisi yang menyebabkan terjadinya kematian ibu dan bayi yang baru dilahirkan adalah kecepatan dan ketepatan tindakan pada saat kondisi darurat terjadi. Keberadaan Puskesmas PONED merupakan salah satu jawaban untuk mendekatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kebidanan dan bayi baru lahir untuk mencegah komplikasi atau mendapatkan pelayanan pertama saat terjadi kondisi darurat tersebut dengan persyaratan pelayanan yang memenuhi standar pelayanan yang baik.

Pengawasan yang dilakukan menemukan bahwa keberadaan fasilitas kesehatan dalam memberikan pelayanan KIA masih terbatas, khususnya ketersediaan Puskesmas PONED sebagai fasilitas layanan dasar bagi peningkatan KIA. Di samping itu, umumnya kondisi darurat ditangani pada fasilitas kesehatan dasar dengan teknologi yang sederhana sehingga kualitas penanganan gawat darurat belum memberikan kontribusi yang cukup besar untuk pencegahan kematian ibu dan bayi baru lahir.

Dari data Riset Fasilitas Kesehatan (Risfaskes) 2011 diketahui bahwa 241 kabupaten

di Indonesia (60%) belum mempunyai 4 buah Puskesmas PONED per kabupaten seperti yang dipersyaratkan oleh Kemenkes. Di samping itu, hanya di 69,7% puskesmas tersedia

alat pemeriksaan haemoglobine dan hanya di 42,6% puskesmas PONED tersedia MgSO4

yang bermanfaat untuk mengatasi masalah pendarahan dan eklampsia yang merupakan dua penyebab kematian terbanyak. Dari seluruh puskesmas perawatan, termasuk PONED,

hanya 76,5% puskesmas perawatan yang mempunyai alat transportasi (ambulans atau

perahu motor).

Kondisi yang sama juga terjadi dengan rumah sakit. Sebagai tempat rujukan akhir yang memegang peranan penting dalam upaya penyelamatan ibu dan bayi baru lahir seharusnya tersedia dengan cukup memadai di daerah-daerah, tetapi ketersediaannya

masih terbatas. Hasil Risfaskes tahun 2011 menunjukkan bahwa hanya 7,6% RS pemerintah

yang bisa memenuhi 17 kriteria RS mampu PONEK 24 jam 7 hari dalam seminggu, padahal

5%-15% kasus komplikasi membutuhkan tindakan yang hanya bisa dilakukan di rumah

sakit, seperti seksiosesaria dan transfusi darah.

4. Ketersediaan Tenaga Bidan dan Dokter Spesialis belum Memadai

Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan yang memegang peranan penting dalam meningkatkan KIA. Keberadaan bidan, terutama yang ditempatkan di wilayah perdesaan dan wilayah terpencil, sangat diperlukan di tengah keterbatasan keberadaan tenaga kesehatan dan fasiltas kesehatan yang ada. Sejak tahun 1990 pemerintah telah melaksanakan program penempatan bidan di desa sebagai langkah untuk mengurangi AKI dan AKB. Program itu bertujuan untuk mendekatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir, terutama pada saat kehamilan dan persalinan.

Pengawasan yang dilakukan oleh Komite III menemukan bahwa distribusi dan pemerataan bidan masih belum merata, kualitas dan kompetensi bidan yang ditempatkan juga belum memenuhi standar kompetensi yang diharapkan. Berdasarkan laporan rutin kesehatan ibu dari dinkes provinsi tahun 2011, tercatat ada 66.442 bidan yang bertugas di

desa, tetapi hanya sekitar 54.369 orang atau 82% yang tinggal di desa. Kemampuan bidan

di desa dalam memberikan pertolongan persalinan sesuai dengan standar juga masih terbatas. Minimnya pelatihan yang diberikan terkait asuhan persalinan khususnya pelatihan asuhan persalinan normal (APN) dan lemahnya kemampuan bidan dalam memberikan informasi dan advokasi kepada ibu dan keluarga pada saat kehamilan memperkuat tidak berjalannya program peningkatan KIA.

Selain kuantitas dan kualitas bidan yang belum memadai, ketersediaan dokter terutama dokter spesialis di daerah juga masih dirasakan kurang. Kurangnya ketersediaan dokter spesialis berbading lurus dengan kurangnya sarana dan prasarana di fasilitas kesehatan yang menjadi ranah praktiknya para dokter, seperti yang tergambar dalam Risdeskas 2010 yang menyatakan bahwa kekurangan sarana dan retensi dokter sepsialis obstetri dan ginekologi menjadi penyebab utama ketidakmampuan sebuah RS menyediakan

(9)

1281

5. Kurangnya Gizi Ibu dan Anak

Pasal 142 ayat (1) UU Kesehatan menyatakan bahwa upaya perbaikan gizi dilakukan pada seluruh siklus kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut usia dengan prioritas kepada bayi dan balita, remaja perempuan, serta ibu hamil dan menyusui, sedangkan ayat selanjutnya menjelaskan bahwa pemerintah bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan gizi pada setiap lapisan masyarakat.

Pemenuhan gizi bagi perempuan memegang peran yang signifikan dalam

menurunkan AKI, AKB, dan menentukan kualitas anak yang akan dilahirkannya. Permasalahan gizi merupakan permasalahan intergenerasi karena ibu hamil yang kurang gizi akan melahirkan bayi kurang gizi yang secara medis berisiko memiliki IQ rendah dengan tumbuh kembang yang tidak optimal. Peran penting gizi tidak hanya terletak pada

pertumbuhan fisik saja, tapi juga pertumbuhan otak serta perkembangan perilaku, motorik,

dan kecerdasan.

Pengawasan yang dilakukan Komite III DPD RI memperingatkan bahwa kondisi gizi ibu dan anak dipengaruhi oleh faktor sosial budaya, ekonomi, dan politik. Nilai-nilai sosial budaya masih menjadi acuan perilaku kesehatan masyarakat. Nilai sosial budaya juga masih menerapkan tabu makanan tertentu bagi perempuan, ibu hamil, dan balita walaupun makanan tersebut sangat bermanfaat bagi kesehatan.

Selain itu, kondisi yang miskin menyebabkan pengelolaan makanan cenderung mengabaikan kebutuhan gizi bagi ibu dan anak. Gizi buruk pada balita dan anak-anak yang dilahirkan disebabkan kemiskinan dan ketidakmampuan keluarga menyediakan makanan bergizi bagi perempuan hamil dan anak-anak. Hal itu menjadi penyebab meningkatnya korban gizi buruk di Indonesia. Hasil Riskesdas 2013 menemukan kecenderungan

peningkatan balita kurang gizi, yakni dari 18,4% pada tahun 2012 menjadi 19,6% pada

tahun 2013 dengan daerah yang paling tinggi angka balita kekurangan gizi ialah NTT, yaitu

sebesar 34%.

6. Peraturan Pemerintah berkaitan dengan Kesehatan Ibu dan Anak Belum Terbit

Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (UUP3) menyatakan bahwa peraturan pemerintah (PP) merupakan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan undang-undang. Dalam kaitannya dengan Undang-Undang Kesehatan, terbitnya sejumlah PP merupakan keharusan untuk menjalankan undang-undang tersebut. Terdapat enam (6) pasal yang berkaitan dengan KIA yang belum memiliki PP sebagai aturan pelaksanaanya, yaitu PP tentang reproduksi dengan bantuan, amanat Pasal 74 ayat (3); PP tentang aborsi dalam keadaan darurat, amanat Pasal 75 ayat (4); PP tentang kesehatan sekolah, amanat Pasal 79 ayat (3); PP tentang pelayanan kesehatan ibu, amanat Pasal 126 ayat (4); PP tentang persyaratan kehamilan di luar cara alamiah, amanat Pasal 127 ayat (2); dan PP tentang jenis-jenis imunisasi dasar, amanat Pasal 132 ayat (4). Belum terbitnya sejumlah PP mempengaruhi implementasi program-program kesehatan di daerah karena daerah tidak dapat menjalankan program tanpa adanya petunjuk teknis pelakasanaan undang-undang yang menjadi muatan dari PP.

Di samping itu, kurang optimalnya program-program peningkatan KIA di daerah diduga karena belum adanya PP sebagai petunjuk teknis bagi pemda dalam membuat aturan dan program turunannya pada tingkat daerah sehingga terkesan pemda kurang responsif terhadap program Pemerintah. Kondisi tersebut merugikan masyarakat yang seharusnya mendapatkan layanan KIA yang paripurna sebagaimana cita-cita pembangunan kesehatan yang diamanatkan dalam UUD 1945.

7. Peran Pemerintah Daerah Belum Optimal

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan bagi daerah. Salah satu kewenangan itu adalah mengurusi bidang kesehatan. Dalam pengawasan yang dilakukan ditemukan bahwa pemda dalam mengurangi AKI dan AKB masih sangat kurang. Hal itu dapat dilihat dari minimnya program-progam daerah dalam peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, dan/atau implementasi program-program nasional yang dijalankan pada tingkat daerah.

Kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan yang masih belum memadai akan mengurangi kualitas layanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat sehingga akan berdampak pada rendahnya capaian program KIA di daerah-daerah. Begitu juga ketersediaan fasilitas kesehatan yang belum memadai menghambat akses masyarakat terhadap layanan KIA karena masyarakat tidak mampu untuk mendapatkan (i) layanan melahirkan yang memadai, (ii) layanan kehamilan, dan (ii) layanan KIA lain yang dapat menurunkan AKI dan AKB.

8. Alokasi Anggaran Kesehatan belum memadai

(10)

menyediakan anggaran kesehatan sebesar 5% dari APBN dan 10% dari APBD.

Pengawasan yang dilakukan Komite III menemukan bahwa pemerintah dalam

APBN hanya mengalokasikan anggaran kesehatan kurang dari 2% sejak 2005-2013

sebagaimana disampaikan oleh ketua Ikatan Dokter Indonesia dalam Kongres Kesehatan Rakyat Indonesia (KKRI) tanggal 19 Agustus 2013 yang lalu. Demikian juga dengan alokasi anggaran kesehatan di daerah yang belum semua daerah memenuhi amanat Pasal 171

ayat (2) yang menyatakan bahwa daerah harus menyediakan anggaran kesehatan 10%

dari total APBD di luar gaji.

IV. Rekomendasi

Berdasarkan temuan yang telah dipaparkan di atas, Komite III DPD RI merekomendasikan hal sebagai berikut:

1. mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan peraturan pemerintah yang diamanatkan dalam UU Kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak;

2. mendesak pemerintah dan pemerintah daerah agar menyediakan sarana dan prasarana puskesmas dan rumah sakit yang menunjang kesehatan ibu dan anak; dan

3. mendesak pemerintah dan pemerintah daerah untuk melaksanakan Pasal 171 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan, yaitu pemerintah dan pemerintah daerah wajib

mengalokasikan 5% dari APBN dan 10% dari APBD di luar gaji. V. Penutup

Demikian pengawasan DPD RI atas pelaksanaan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, terutama yang berkenaan dengan kesehatan ibu dan anak. Pengawasan ini disusun sebagai bentuk pertanggungjawaban konstitusional dan kewenangan DPD RI.

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

PIMPINAN

Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA.

Wakil Ketua,

GKR HEMAS

Wakil Ketua,

Referensi

Dokumen terkait

Aura Media Communication akan melakukan riset, planning dan juga buying dari merek client dengan kesungguhan untuk mengejar efektivitas serta efisiensi dengan

Bahwa berdasarkan isi Perjanjian Konsesi disebutkan tujuan Perjanjian Konsesi dibuat adalah memasok air bersih untuk memenuhi kebutuhan saat Perjanjian Konsesi

Dari Kecamatan Padang Barat diambil titik sampel mikrotremor tanah sebanyak 17 titik (warna kuning) dengan grid 600 m dan merupakan daerah yang sangat dekat

Tidak boleh melakukan tindakan yang menyangkut risiko pribadi atau tanpa pelatihan yang sesuai.. Evakuasi

Interaksi an- tara konsentrasi asap cair batang tembakau de- ngan lama perendaman tidak berpengaruh pada kekerasan, warna, aroma, dan total bakteri daging ikan gurami

Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa variabel pengetahuan orang tua berpengaruh signifikan terhadap kemampuan orang tua dalam swamedikasi obat demam

Pengujian secara simultan, terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan (bersama-sama) antara Lingkungan kerja, Persepsi Mahasiswa terhadap Pemilihan Karir Sebagai Auditor

Seperti halnya pada saat kondisi yang ada di lokasi tersebut telah terjadi pengelolaan lahan di kawasan hutan oleh masyarakat (perambahan), pelaksana kebijakan ber usaha