• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Angka pernikahan di Indonesia terus meningkat setiap tahun. Meskipun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Angka pernikahan di Indonesia terus meningkat setiap tahun. Meskipun"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang Masalah

Angka pernikahan di Indonesia terus meningkat setiap tahun. Meskipun demikian, tingginya angka pernikahan juga sejalan dengan peningkatan jumlah kasus perceraian yang terjadi di masyarakat. Pada tahun 2009 sampai 2013 terdapat 3.402.693 kasus gugatan perceraian secara hukum yang telah berakhir dengan perceraian resmi. Data terbaru menunjukkan angka perceraian yang diputus pengadilan tinggi agama seluruh Indonesia sepanjang tahun 2014 mencapai 382.231 kasus. Para ahli memperkirakan, terdapat 959 kasus setiap harinya di tahun 2015, sehingga angka di tahun 2014 bisa meningkat 2 kali lipat (www.kompasiana.com).

Perceraian adalah penyebab stres kedua tertinggi setelah kematian pasangan hidup (Gollop dkk., 2000). Perceraian diasosiasikan dengan penurunan kesejahteraan psikologis secara berkepanjangan (Lucas, 2005), dan meningkatkan risiko timbulnya penyakit fisik (Sbarra, Law, & Portley, 2011). Pada umumnya, orangtua akan lebih siap menghadapi perceraian dibandingkan dengan anak-anak mereka. Hal ini dikarenakan adanya proses berpikir dan pertimbangan panjang serta mendalam, sehingga membentuk suatu persiapan mental dan fisik menjelang dan sesudah perceraian. Tidak demikian halnya dengan anak yang harus

(2)

menerima keputusan orangtua tanpa adanya bayangan bahwa hidup mereka akan berubah.

Anak akan mengalami reaksi emosi dan perilaku karena harus kehilangan salah satu orangtua mereka pasca perceraian. Sama halnya seperti orangtua mereka, anak juga merasa sedih, marah, takut, muncul penyangkalan dan rasa bersalah. Perasaan-perasaan tersebut dapat termanifestasi dalam bentuk perilaku seperti suka mengamuk, menjadi kasar, menjadi pendiam, tidak lagi ceria, tidak suka bergaul, sulit berkonsentrasi, tidak berminat pada tugas sekolah, sehingga nilai di sekolah menurun, suka melamun, terutama mengkhayalkan orangtuanya akan bersatu kembali (Gollop, 2000). Empat responden usia remaja akhir (18-20 tahun) yang orangtuanya bercerai melaporkan pada peneliti bahwa mereka merasa tidak percaya diri dengan keadaan mereka, merasa marah serta menyalahkan salah satu orangtua, bahkan diri sendiri, merasa turut berperan sebagai penyebab perceraian, serta merasa belum mampu menerima perceraian kedua orangtuanya.

Anak yang orangtuanya bercerai akan membutuhkan dukungan, kepekaan dan kasih sayang yang lebih besar untuk membantunya mengatasi kehilangan yang dialaminya selama masa sulit tersebut (Cole, 2005). Anak yang gagal beradaptasi dalam menjalani perubahan pola kehidupan pasca perceraian orangtuanya akan membawa perasaan yang tidak nyaman hingga dewasa kelak. Perasaan-perasaan seperti ditolak, tidak berharga, dan tidak dicintai akan membentuk sikap takut gagal dan takut menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain atau lawan jenis (Cole, 2005). Pada jangka pendek, anak yang

(3)

orangtuanya bercerai menunjukkan penurunan prestasi akademik, mempunyai lebih banyak masalah perilaku, mengalami kesulitan menyesuaikan diri, memiliki harga diri yang lebih rendah, dan mengalami kesulitan dalam berhubungan interpersonal (Amato, 2000).

Dampak perceraian pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor usia anak saat orangtuanya bercerai. Santrock (2003) menjelaskan bahwa respon terhadap perceraian pada usia anak-anak dipengaruhi oleh keterbatasan kognitif dan kecakapan sosial anak. Ketidakdewasaan kognitif pada anak dapat lebih menguntungkan nantinya pada saat anak beranjak remaja dan dewasa. Anak hanya akan memiliki sedikit ingatan mengenai rasa takut dan penderitaan pada saat perceraian orangtuanya dulu. Meskipun demikian, sepertiga dari anak-anak dari berbagai usia terus mengekspresikan kemarahan karena tidak bisa tumbuh dalam keluarga yang utuh. Perceraian menyebabkan munculnya emosi negatif pada anak di segala usia (Santrock, 2003).

Penelitian oleh Amato (2000) menunjukkan bahwa remaja yang orangtuanya bercerai memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih rendah dibandingkan dengan remaja yang orangtuanya tidak bercerai. Remaja yang orangtuanya bercerai juga memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk memiliki masalah sosial dan akademik dibandingkan dengan remaja dari keluarga yang utuh (Kelly & Emery, 2003).

Freud menerangkan bahwa usia remaja berlangsung dari usia 12 hingga 20 tahun (Sunaryo, 2004). Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi

(4)

dewasa. Pada periode ini berbagai perubahan terjadi, baik perubahan hormonal, fisik, psikologis maupun sosial (Tanner, 2004). Perubahan psikososial pada remaja dibagi dalam tiga tahap, yaitu remaja awal (early adolescent), pertengahan (middle adolescent), dan akhir (late adolescent). Rentang usia remaja tingkat akhir adalah 18-20 tahun (Brooks, 2011).

Perubahan psikososial yang ditemui pada remaja tingkat akhir antara lain, identitas diri menjadi lebih kuat, mampu memikirkan ide, mampu mengekspresikan perasaan dengan kata-kata, lebih menghargai orang lain, lebih konsisten terhadap minatnya, selera humor lebih berkembang, dan emosi lebih stabil. Selain itu, mereka lebih memperhatikan masa depan, termasuk peran yang diinginkan nantinya, sehingga kecemasan cenderung semakin meningkat pada usia ini. Remaja tingkat akhir juga cenderung mengembangkan teori pribadi mengenai lingkungan sosialnya, dan teori ini sangat mempengaruhi pembelajaran dan pemikiran mereka (Brooks, 2011).

Perubahan psikososial pada remaja tingkat akhir menyebabkan segala pengalaman pahit yang pernah terjadi akan sangat membekas dan mempengaruhi penghayatan terhadap hubungan sosial bahkan diri mereka sendiri. Penghayatan diri pada remaja tingkat akhir juga disebabkan karena mereka memiliki kecenderungan untuk membanding-bandingkan keadaan dengan teman sebaya (Brooks, 2011). Penghayatan diri yang negatif dan kemampuan untuk mengembangkan teori pribadi mengenai kehidupan sosial menyebabkan timbulnya distorsi kognitif, sehingga mempengaruhi mental dan sikap remaja.

(5)

Penelitian oleh Shehan (2003) menjelaskan bahwa remaja yang orangtuanya bercerai merasa khawatir untuk menjalin komitmen karena bercermin dari pengalaman orangtua mereka. Mereka bahkan cenderung untuk melakukan perceraian pada pernikahannya kelak. Hal serupa juga dilaporkan oleh salah satu responden yang menyatakan tidak ingin berpacaran atau menikah karena khawatir hubungan pernikahannya kelak akan berakhir dengan perceraian.

Perasaan kecewa, sedih, marah, menyalahkan diri sendiri hingga membentuk sikap takut berkomitmen dan menikah merupakan hal-hal negatif yang terjadi pada remaja yang orangtuanya bercerai. Hal-hal negatif ini menyebabkan remaja kesulitan untuk menerima keadaan dan cenderung menyalahkan pihak luar dan bahkan dirinya sendiri mengenai kondisi yang dialami. Hal-hal negatif tersebut juga merupakan penderitaan batin yang menjadi penanda kurangnya rasa belas kasih pada diri sendiri (self-compassion). Self-compassion akan mendorong seseorang untuk benar-benar memperhatikan penderitaannya dan mengembangkan sikap berbaik hati pada diri sendiri dalam menghadapi penderitaan tersebut (Neff, 2011).

Penelitian terkini (Neely dkk., 2009; Barnard & Curry, 2011) menunjukkan bahwa orang-orang dengan self-compassion yang tinggi memiliki kepuasan hidup, kebahagiaan, kepercayaan diri, optimisme, keingintahuan, dan kebersyukuran yang juga tinggi, serta memiliki kecemasan, depresi, gangguan, ketakutan, atau kesalahan dan kemarahan yang rendah. Self-compassion membentuk seseorang menjadi lebih mengetahui dan lemah lembut terhadap

(6)

dirinya sendiri dalam menghadapi kesulitan-kesulitan atau merasakan kekurangan dan menerima penderitaan, kegagalan dan kekurangan tersebut sebagai bagian dari kondisi manusia, sehingga layak untuk mendapatkan rasa belas kasih (Neff, 2003a). Remaja yang orangtuanya bercerai cenderung untuk terus tenggelam dalam keadaan yang emosional sehingga memandang negatif diri sendiri dan masa depannya. Remaja tersebut secara tidak sadar terus menekan dirinya sendiri dan kehilangan rasa belas kasih terutama pada diri sendiri.

Self-compassion juga dapat dikonsepkan sebagai suatu strategi dalam menghadapi masalah (Allen & Leary, 2010). Selama proses pembentukan self-compassion, individu akan diajak untuk berani berhadapan dengan dirinya sendiri, mengakui perasaan-perasaan terdalam yang dimilikinya akan suatu masalah, memberikan kasih sayang pada dirinya sambil menerima masalah tersebut sebagai bagian dari kehidupan. Self-compassion melibatkan suatu keinginan untuk melakukan yang terbaik untuk diri sendiri untuk meminimalisir penderitaan di masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan orang yang memiliki self-compassion akan menyadari bahwa kehidupan selalu menghadirkan 2 sisi, yaitu kebahagiaan dan penderitaan. Self-compassion yang dimiliki akan mengarahkan pada pemahaman untuk tidak melawan dualitas tersebut melainkan merengkuh keduanya dengan suka cita (Prama, 2013).

Self-compassion secara konseptual terdiri atas 3 aspek, yaitu self kindness, common humanity, dan mindfulness (Neff, 2011). Self kindness berarti berbaik hati pada diri sendiri saat seseorang melakukan kesalahan. Sementara itu,

(7)

common humanity adalah menyadari bahwa segala pengalaman, baik positif maupun negatif, adalah bagian dari pengalaman semua manusia. Aspek terakhir adalah mindfulness yang mengandung pengertian bahwa membentuk perspektif yang seimbang terhadap suatu pemasalahan akan menyebabkan seseorang tidak terlalu terbawa emosi.

Intervensi yang dikaitkan dengan variabel self-compassion adalah pelatihan mindful self-compassion atau pelatihan MSC (Germer & Neff, 2013). Aspek self kindness dan mindfulness mendapatkan perhatian khusus pada pelatihan ini. Sementara itu, aspek common humanity tidak banyak disentuh dalam pelatihan ini. Common humanity berkaitan erat dengan perasaan keterhubungan secara sosial (Pauley & McPherson, 2010).

Kesadaran bahwa semua manusia adalah tidak sempuna, membuat kesalahan, dan memiliki tantangan hidup yang serius dapat difasilitasi oleh latihan interpersonal seperti berbagi cerita (Neff & Germer, 2012). Pengalaman yang dibagi bersama dengan orang-orang yang memiliki permasalahan yang sama dapat mengurangi perasaan terisolasi dan sendiri saat menghadapi suatu masalah. Berbagi pengalaman juga dapat mengajarkan cara terbaik untuk berbelas kasih dan menggunakan kata-kata yang suportif pada diri sendiri (Neff & Germer, 2012). Pada akhirnya, aspek lain dari self-compassion (yaitu self kindness dan mindfulness) juga dapat meningkat.

Kegiatan saling berbagi cerita dan berdiskusi dapat diwujudkan dalam bentuk terapeutik melalui terapi kelompok suportif. Terapi kelompok suportif

(8)

berisi sekelompok individu dengan masalah yang sama, saling memberikan dukungan sosial dan emosional (Smith, Cummings, & Constantinides, 2010). Inspirasi bisa datang dari proses pengamatan dan refleksi terhadap pengalaman peserta lain. Terapi kelompok suportif sangat memungkinkan terjadinya proses pembelajaran sosial melalui imitasi dan modelling terhadap pengalaman peserta lain.

Perubahan psikososial sepanjang usia remaja yang paling khas adalah peran teman sebaya (peer group) menjadi semakin signifikan. Kebanyakan remaja menghabiskan sebagian besar waktunya dalam kelompok, terutama pada teman-teman sebaya mereka. Hal ini dikarenakan remaja cenderung lebih merasa nyaman dengan teman-teman sebayanya dibandingkan dengan orang dewasa (Aronson & Kahn, 2004). Terapi kelompok suportif yang mengandalkan interaksi dari sekelompok orang yang memiliki kesamaan masalah dan usia dapat berperan sebagai penampung emosi negatif pesertanya. Terapi kelompok suportif sekaligus menjadi tempat yang aman untuk berbagi pikiran dan pengalaman negatif. Proses pembelajaran dan dukungan yang diperoleh melalui anggota kelompok dapat menjadi sumber kekuatan individu untuk bangkit dan memperoleh energi baru (Smith, Cummings, & Constantinides, 2010).

Terapi kelompok suportif memiliki perbedaan dengan terapi kelompok lainnya. Kebutuhan emosional individu dalam kelompok lebih diperhatikan daripada tujuan kelompok secara umum. Paleg dan Jongsma (2005) menjelaskan bahwa terapi kelompok suportif efektif untuk mengurangi perasaan negatif dan

(9)

membantu penyusunan rencana hidup jangka panjang. Kebutuhan emosi yang difasilitasi dan kesempatan untuk belajar dari pengalaman hidup orang lain didapatkan anggota secara non-direktif. Pengarahan secara langsung yang diberikan oleh terapis pada terapi kelompok tradisional tidak sesuai dengan karakteristik remaja. Remaja mengharapkan lingkungan sosialnya lebih memberikan kepercayaan bahwa mereka dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki (Brooks, 2011).

Intervensi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Adlerian (Corsini dan Wedding, 2011) dengan asumsi bahwa semua perilaku individu terjadi dalam konteks sosial. Menurut Adler, proses psikoterapi memiliki 4 tujuan, yaitu: menentukan dan mempertahankan hubungan sosial yang baik, mengungkap dinamika emosi yang dialami oleh individu, termasuk gaya dan tujuan hidupnya serta menilai cara tersebut berpengaruh terhadap perjalanan hidup mereka, peningkatan pemahaman/insight melalui interpretasi, dan reorientasi.

Ada 2 tujuan terapeutik yang diharapkan muncul dalam terapi kelompok suportif. Tujuan pertama merujuk pada outcome goals (hasil akhir proses terapi). Outcome goals mengacu pada perubahan perilaku dan emosi anggota kelompok setelah terapi berakhir. Perubahan perilaku dapat berupa peningkatan kemampuan interpersonal, keterampilan analisis masalah, dan atau kemampuan untuk bangkit dari peristiwa yang tidak menyenangkan. Tujuan kedua merujuk pada process goal (proses selama terapi berlangsung). Tujuan ini melekat pada anggota kelompok selama proses terapi. Peningkatan level kenyamanan, kemauan untuk

(10)

terbuka dengan anggota kelompok lain, dan belajar untuk memberikan argumentasi terhadap pendapat anggota lain adalah beberapa contoh process goal (Jacobs, Masson, & Harvill, 2009).

Dari penjabaran di atas, peneliti tertarik untuk memberikan terapi kelompok suportif untuk meningkatkan self-compassion pada remaja yang orangtuanya bercerai.

B. Perumusan Masalah

Apakah terdapat perbedaan skor self-compassion pada kelompok remaja yang diberi terapi kelompok suportif dibandingkan dengan kelompok remaja yang tidak diberi terapi kelompok suportif?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan penjabaran di atas, peneliti merumuskan tujuan penelitian adalah meningkatkan self-compassion remaja yang orangtuanya bercerai dengan terapi kelompok suportif.

(11)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi secara empiris dan aktual berkaitan dengan intervensi psikologi klinis dan psikologi positif, khususnya tentang self-compassion pada remaja yang orangtuanya bercerai. 2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan self-compassion remaja yang orangtuanya bercerai menggunakan terapi kelompok suportif.

E. Keaslian Penelitian

Self-compassion telah banyak didiskusikan selama berabad-abad pada filosofi timur, contohnya dalam agama Budha. Self-compassion sebagai suatu konstruk psikologi yang dapat diukur baru berkembang pada tahun 2003 oleh Kristin Neff. Hal ini menyebabkan penelitian mengenai self-compassion belum sebanyak variabel psikologi positif lainnya. Peneliti juga belum mendapati penelitian spesifik mengenai peningkatan self-compassion melalui terapi kelompok suportif, khususnya pada responden usia remaja yang orangtuanya bercerai.

Penelitian mengenai self-compassion dan tema perceraian masih sangat jarang dilakukan. Penelitian mengenai self-compassion dan orang dewasa yang bercerai dilakukan oleh Sbarra, Smith, dan Mehl (2012). Pada penelitian tersebut,

(12)

109 responden yang berusia dewasa dan telah bercerai diminta untuk melakukan perekaman “aliran kesadaran” mengenai perceraian mereka selama 4 menit. Perekaman awal ini dilakukan di sebuah laboratorium. Sebanyak 4 orang juri disewa untuk menilai derajat self-compassion yang dimiliki oleh para responden. Penilaian para juri digunakan untuk memprediksi kekacauan emosi pada kehidupan sehari-hari para responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa self-compassion yang tinggi pada pengukuran awal berhubungan dengan rendahnya kekacauan emosi pada kehidupan sehari-hari, dan hasil ini ternyata memiliki dampak yang bertahan hingga 9 bulan kemudian. Penelitian ini membuktikan bahwa self-compassion memiliki implikasi untuk meningkatkan kualitas hidup orang yang bercerai.

Kristin Neff sebagai pionir dari variabel self-compassion mengembangkan suatu intervensi yang bernama Pelatihan Mindful Self-Compassion (MSC) bersama Christopher Germer (2012). Pelatihan MSC berisi berbagai variasi meditasi, seperti meditasi cinta dan kebaikan serta pernapasan penuh kasih sayang. Selain itu, juga diberikan latihan sehari-hari seperti sentuhan lembut pada diri sendiri dan menulis surat self-compassion. Pelatihan tersebut diberikan terutama pada orang-orang yang pemalu dan seringkali mengkritik dirinya sendiri. Pelatihan ini lebih seperti seminar daripada terapi kelompok, karena peserta diminta untuk fokus pada kegiatan mempelajari kebiasaan baru (Germer & Neff, 2013). Pelatihan ini menawarkan pada peserta untuk melakukan dialog internal dan juga memberikan rasa aman serta perlindungan dari dalam diri.

(13)

Aspek self kindness dan mindfulness mendapatkan perhatian khusus pada pelatihan ini. Sementara, aspek common humanity kurang dikembangkan pada pelatihan tersebut.

Penelitian mengenai peningkatan self-compassion juga dilakukan oleh Gilbert dan Procter (2006). Suatu pelatihan berbasis kelompok dikembangkan oleh Gilbert dan Procter dengan nama compassionate mind training (CMT). Studi perintis mengenai CMT dilakukan pada pasien rawat inap di rumah sakit. Para pasien adalah orang-orang yang memiliki sakit fisik yang disebabkan faktor psikologis. Para pasien memiliki kriteria sering mengkritik diri sendiri, memiliki peningkatan depresi yang signifikan, suka menyerang diri, pemalu, dan memiliki perasaan inferior. Setelah pelatihan CMT diberikan hampir semua pasien merasa siap untuk menghentikan program rawat inap karena merasa lebih baik.

Penelitian terkait dengan terapi kelompok suportif dilakukan oleh Hidayati (2011) dengan judul Pengaruh Terapi Kelompok Suportif terhadap Kemampuan Mengatasi Perilaku Kekerasan pada Klien Skizofrenia di Rumah Sakit X. Penelitian melibatkan 42 orang pasien skizofrenia dari tiap bangsal jiwa yang ada di rumah sakit X. Klien telah mendapatkan terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi perilaku kekerasan. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara kemampuan klien mengatasi kekerasan sebelum dan sesudah diberikan terapi kelompok suportif.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dijabarkan, keaslian yang ditawarkan pada penelitian ini adalah topik, responden, dan intervensi yang

(14)

diberikan. Peneliti belum menemukan penelitian terkait dengan terapi kelompok suportif untuk meningkatkan self-compassion pada remaja yang orangtuanya bercerai. Keaslian intervensi juga terdapat pada materi psikoedukasi, yaitu penjelasan mengenai kondisi dan dinamika psikologis anak yang yang orangtanya bercerai. Penelitian ini memilih responden yang spesifik, yaitu remaja tingkat akhir yang orangtuanya bercerai. Untuk teori, aspek, dan alat ukur dalam penelitian ini, peneliti menggunakan skala dari publikasi penelitian Kristin Neff sebagai pionir variabel self-compassion ke dalam konstruk psikologi.

Referensi

Dokumen terkait

SURABAYA.. Pada gambar 4.15 diatas merupakan gambar desain form penginputan jadwal, form ini digunakan untuk proses penginputan jadwal untuk semua kelas yang akan

Di Indonesia, penelitian tentang prekursor gempabumi yang terintegrasi melalui pengamatan parameter seismik, elektromagnetik, geokimia, geoatmosferik serta parameter

Keterkaitan penggunaan unmanned drones dengan mengaplikasikan Hukum Humaniter Internasional harus sesuai dengan apa yang diatur dalam Konvensi Jenewa. Apa yang

Ada tiga faktor yang masih berpeluang untuk ditingkatkan yakni faktor aksesibilitas dengan indikator jangkauan pelayanan, faktor kehandalan/ketepatan dengan

Pri zdravljenju rakavih krvnih bolezni s citostatiki ali s presaditvijo kostnega mozga pride v obdobju aplazije do okuŽb, do katerih pride zaradinevtropenije' Nastanejo

Topik yang dianalisa dalam analisa pekerjaan meliputi tujuh topik yaitu tujuan / sasaran pekerjaan, kegiatan yang dilakukan beserta proses pelaksanaan, keahlian

Sumber Investasi yang bersumber dari keuntungan investasi terdahulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c, adalah dana yang diperoleh dari BUMD berupa deviden yang disetor pada

Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pelayanan Perpustakaan UIN Sunan Gunung Djati Bandung selama masa Pandemi Covid-19 kepada sivitas akademika