• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resume 3. Kpd

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Resume 3. Kpd"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

RESUME KASUS PADA Ny. A UK 9 BULAN DENGAN KETUBAN PECAH DINI (KPD) DI IGD PONEK RSUD dr. ABDOER RAHEM SITUBONDO

Oleh

Aprilita Restuningtyas NIM 122310101053

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNVERSITAS JEMBER

(2)

Kasus Ketuban Pecah Dini (KPD)

Ny. WZ 24 tahun datang ke Ponek RSUD Abdoer Rahem pada hari Senin, 11 Mei 2015 pukul 13.50 WIB atas rujukan dari bidan wilayah Panji Kidul. Kehamilan ini merupakan kehamilan pertama bagi Ny.WZ. Usia Kandungan saat ini sekitar 37-38 minggu. Pasien datang dengan keluhan perut kencang-kencang sejak Minggu, 10 Mei 2015 pukul 16.00 WIB yang disertai dengan keluarnya cairan ketuban keruh dari jalan lahir pada Senin, 1 Mei 2015 pukul 12.00 WIB. Selama kehamilan Ny. WZ melakukan pelayanan antenatal care rutin yaitu ke bidan tidak pernah ke dokter. Ny. WZ mengaku tidak pernah menggunakan KB sebelumnya. Ny. WZ tidak memiliki riwayat penyakit menular, menahun, dan menurun. Saat dilakukan pemeriksaan didapatkan data keadaan umum Ny. WZ baik, kesadaran Ny. WZ compos mentis dengan hasil pengukuran TTV yaitu TD 120/80 mmHg, Nadi 82x/menit, Suhu 36,5 oC, dan RR 22x/menit. Hasil pemeriksaan palpasi didapatkan Hasil Leopod 1 tinggi fundus uteri 26 cm, leopod 2 didapatkan letak punggung bayi terletak disebelah kiri dengan DJJ 142x/menit, leopod 3 yaitu letak kepala dan leopod ke 4 adalah kepala masuk PAP. Pada pemeriksaan kala I ditemukan hasil VT 10 cm, HIS 4 x 10’ x 35”. Pukul 14.15 dipimpin persalinan kala II untuk Ny. WZ yang diawali dengan amniotomi. Pada pukul 15.00 WIB lahir bayi laki-laki dengan BBL 3200 gr, PB 50 cm, ld 31 cm, lk 33 cm, AS 7-8. Bayi langsung menangis spontan, tonus otot kuat, tali pusat putih kehijauan kulit bayi kemerah-merahan. Pada menit awal setelah melahirkan bayi, ibu segea diberikan injeksi oksitosin secara IM untuk merangsang pengeluaran plasenta, plasenta keluar <15 menit.

TEORI KASUS a. Pengertian

Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan dan setelah ditunggu satu jam belum memulainya tanda persalinan

(3)

(Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB, 2010). Ketuban pecah dini (KPD) atau ketuban pecah sebelum waktunya (KPSW) didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan. Hal ini dapat terjadi pada kehamilan aterm maupun pada kehamilan preterm (Prawirohardjo, 2010). Ketuban pecah dini adalah ketuban yang pecah sebelum terdapat atau dimulainya tanda inpartu dan setelag ditungu satu jam belum ada tanda inpartu (Manuaba, 2010). Sedangkan menurut Mitayani (2011) ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya atau rupturnya selaput amnion sebelum dimulainya persalinan yang sebenarnya atau pecahnya selaput amnion sebelum usia kehamilannya mencapai 37 minggu dengan atau tanpa kontraksi.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Ketuban pecah dini adalah pecah/rupturnya selaput amnion sebelum dimulainya persalinan,dan sebelum usia kehamilan mencapai 37 minggu,dengan adanya kontraksi atau tanpa kontraksi.

Insidensi KPD berkisar mendekati 10% dari semua persalinan, pada umur kehamilan kurang dari 34 minggu angka kejadiaanya sekitar 4%. Sebagian dari KPD mempunyai periode melebihi satu minggu (Yulaikhah, 2008). Dalam keadaan normal 8-10% perempuan hamil aterm akan mengalami ketuban pecah dini. Kejadian KPD berkisar 5-10% dari semua kelahiran dan KPD preterm terjadi 1% dari semua kehamilan. 70% kasus KPD terjadi pada kehamilan cukup bulan. KPD merupakan penyebab kelahiran prematur sebanyak 30%.

b. Etiologi

1. Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis).

Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana korion, amnion dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Korioamnionitis merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan dapat berlanjut menjadi sepsis (Prawirohardjo, 2008). Membrana khorioamnionitik terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila jaringan ini dipacu oleh persalinan atau infeksi maka jaringan akan menipis dan sangat rentan untuk pecah disebabkan adanya aktivitas enzim kolagenolitik. Grup B streptococcus mikroorganisme yang sering menyebabkan amnionitis. Selain itu Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan Staphylococcus

(4)

epidermidis adalah bakteri-bakteri yang sering ditemukan pada cairan ketuban pada kehamilan preterm. Bakteri-bakteri tersebut dapat melepaskan mediator inflamasi yang menyebabkan kontraksi uterus. Hal ini menyebabkan adanya perubahan dan pembukaan serviks, dan pecahnya selaput ketuban (Varney, 2007).

Jika terdiagnosis korioamnionitis, perlu segera dimulai upaya untuk melahirkan janin sebaiknya pervaginam. Sayangnya, satu-satunya indikator yang andal untuk menegakkan diagnosis ini hanyalah demam; suhu tubuh 38ºC atau lebih, air ketuban yang keruh dan berbau yang menyertai pecah ketuban yang menandakan infeksi (Anonim, 2007). 2. Riwayat ketuban pecah dini

Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami ketuban pecah dini kembali. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara singkat ialah akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam membrane sehingga memicu terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm terutama pada pasien risiko tinggi (Nugroho, 2010). Wanita yang mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan atau menjelang persalinan maka pada kehamilan berikutnya wanita yang telah mengalami ketuban pecah dini akan lebih beresiko mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari pada wanita yang tidak mengalami ketuban pecah dini sebelumnya, karena komposisi membran yang menjadi mudah rapuh dan kandungan kolagen yang semakin menurun pada kehamilan berikutnya (Anonim, 2007).

3. Tekanan intra uterin

Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya hidramnion dan gemeli. Pada kelahiran kembar sebelum 37 minggu sering terjadi pelahiran preterm, sedangkan bila lebih dari 37 minggu lebih sering mengalami ketuban pecah dini (Nugroho, 2010). Perubahan pada volume cairan amnion diketahui berhubungan erat dengan hasil akhir kehamilan yang kurang bagus. Baik karakteristik janin maupun ibu dikaitkan dengan perubahan pada volume cairan amnion.

(5)

Polihidramnion dapat terjadi akibat kelainan kongenital, diabetes mellitus, janin besar (makrosomia), kehamilan kembar, kelainan pada plasenta dan tali pusat dan penggunaan obat-obatan (misalnya propiltiourasil). Kelainan kongenital yang sering menimbulkan polihidramnion adalah defek tabung neural, obstruksi traktus gastrointestinal bagian atas, dan kelainan kromosom (trisomi 21, 18, 8, 13) komplikasi yang sering terjadi pada polihidramnion adalah malpresentasi janin, ketuban pecah dini, prolaps tali pusat, persalinan pretem dan gangguan pernafasan pada ibu (Prawirohardjo, 2008).

4. Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia)

Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia), didasarkan pada adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk mempertahankan kehamilan. Inkompetensi serviks sering menyebabkan kehilangan kehamilan pada trimester kedua. Kelainan ini dapat berhubungan dengan kelainan uterus yang lain seperti septum uterus dan bikornis. Sebagian besar kasus merupakan akibat dari trauma bedah pada serviks pada konisasi, produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi berlebihan serviks pada terminasi kehamilan atau laserasi obstetrik (Prawirohardjo, 2008). Diagnosa inkompetensi serviks ditegakkan ketika serviks menipis dan membuka tanpa disertai nyeri pada trimester kedua atau awal trimester ketiga kehamilan. Umumnya, wanita datang kepelayanan kesehatan dengan keluhan perdarahan pervaginam, tekanan pada panggul, atau ketuban pecah dan ketika diperiksa serviksnya sudah mengalami pembukaan. Bagi wanita dengan inkompetensi serviks, rangkaian peristiwa ini akan berulang pada kehamilan berikutnya, berapa pun jarak kehamilannya. Secara tradisi, diagnosis inkompetensia serviks ditegakkan berdasarkan peristiwa yang sebelumnya terjadi, yakni minimal dua kali keguguran pada pertengahan trimester tanpa disertai awitan persalinan dan pelahiran ( Morgan, 2009).

5. Faktor resiko inkompetensi serviks meliputi riwayat keguguran pada usia kehamilan 14 minggu atau lebih, adanya riwayat laserasi serviks menyusul

(6)

pelahiran pervaginam atau melalui operasi sesar, adanya pembukaan serviks berlebihan disertai kala dua yang memanjang pada kehamilan sebelumnya, ibu berulang kali mengalami abortus elektif pada trimester pertama atau kedua, atau sebelumnya ibu mengalami eksisi sejumlah besar jaringan serviks (Morgan, 2009).

6. Kehamilan dengan janin kembar

Pada kehamilan kembar, evaluasi plasenta bukan hanya mencakup posisinya tetapi juga korionisitas kedua janin. Pada banyak kasus adalah mungkin saja menentukan apakah janin merupakan kembar monozigot atau dizigot. Selain itu, dapat juga ditentukan apakah janin terdiri dari satu atau dua amnion. Upaya membedakan ini diperlukan untuk memperbaiki resiko kehamilan. Pengawasan pada wanita hamil kembar perlu ditingkatkan untuk mengevaluasi resiko persalinan preterm. Gejala persalinan preterm harus ditinjau kembali dengan cermat setiap kali melakukan kunjungan (Nugroho, 2010). Wanita dengan kehamilan kembar beresiko tinggi mengalami ketuban pecah dini juga preeklamsi. Hal ini biasanya disebabkan oleh peningkatan massa plasenta dan produksi hormon.

7. Usia ibu yang ≤ 20 tahun

Usia ibu yang ≤ 20 tahun, termasuk usia yang terlalu muda dengan keadaan uterus yang kurang matur untuk melahirkan sehingga rentan mengalami ketuban pecah dini. Sedangkan ibu dengan usia ≥ 35 tahun tergolong usia yang terlalu tua untuk melahirkan khususnya pada ibu primi (tua) dan beresiko tinggi mengalami ketuban pecah dini (Nugroho, 2010). 8. Persalinan prematur

9. Korioamnionitis terjadi dua kali sebanyak KPD 10. Merokok selama kehamilan

(7)

c. Patofisiologi

Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh bukan karena luruh ketuban rapuh. Terdapat keseimbangan antara sintetis dan degradasi ekstrakuler matriks. Perubahan struktur jumlah sel dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah. Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda trimester ke 3 selaput ketuban pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada hubungannya dengan pembesaran uterus kontraksi rahim dan gerakan janin. Pada trimester terakir terjadi perubahan biokimia pada selaput ketuban. Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal fisiologis disebabkan oleh adanya faktor-faktor eksternal misalnya infeksi yang menjalar dari vagina. Ketuban pecah dini prematur sering terjadi pada polihidramnion inkompeten serviks. ( Prawiharjo Sarwono. 2013. Buku Ajar Keperawatan)

Pada ibu dengan ketuban pecah dini tetapi his (-) sehinga pembukaan akan terganggu dan terhambat sementara janin mudah kekeringan karena pecahnya selaput amnion tersebut, maka Janin harus segera untuk dilahirkan atau pengakhiran kehamilan harus segera dilakukan. Tindakan yang dilakukan adalah menginduksi dengan oksitosin, jika gagal lakukan persalinan dengan caecar. Akibat ketuban pecah dini pada janin yang preterm yaitu melahirkan janin yang premature dimana paru janin belumlah matur, akibatnya produksi surfaktan berkurang, paru tidak mengembang sehingga beresiko terhadap RDS ( Rapirasi distiess syndrome ).

Pada ibu dengan ketuban pecah dini dan hisnya (+) persalinan dapat segera dilakukan. Apabila adanya pemeriksaan dalam yang terlalu sering dapat beresiko terhadap infeksi. Ketuban yang telah pecah dapat menyebabkan persalinan menjadi terganggu karena tidak ada untuk pelicin Jalan lahir. Sehingga persalinan menjadi kering ( dry labor). Akibatnya terjadi persalinan yang lama. Akibat persalinan yang lama terjadi pula penekanan yang lama pada janin dijalan lahir, dan jika terjadi fetal distress mengakibatkan untuk melakukan persalinan atau ekstraksi vacum dan cuna, atau terjadi asphyxia akibat penekanan yang lama pada

(8)

jalan lahir inipun mengakibatkan iskhcmia pada jalan lahir dan akhirnya terjadi nekrosis jaringan. Hal ini beresiko terhadap cidera pada ibu dan janin, dan juga beresiko tinggi terhadap infeksi.

Pathway :

(Carpenito, 2006) d. Tanda Dan Gejala

1. Kencang-kencang (nyeri ringan dibagian bawah); 2. Keluarnya cairan ketuban dari vagina;

3. Dapat disertai demam bila sudah ada infeksi;

4. Tampak air ketuban mengalir / selaput ketuban tidak ada dan air ketuban sudah kering;

5. Berbau anyir;

6. Warna cairan putih agak keruh seperti santan encer. ( Fadlun, dkk. 2011. Asuhan Kebidanan Patologis ) e. Komplikasi

(9)

1. Komplikasi yang paling sering terjadi pada ketuban pecah dini sebelum usia kehamilan 37 minggu adalah sindrom distress pernapasan, yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir. Resiko infeksi meningkat pada kejadian ketuban pecah dini. Semua ibu hamil dengan ketuban pecah dini prematur sebaiknya dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya korioamnionitis (radang pada korion dan amnion). Selain itu kejadian prolaps atau keluarnya tali pusat dapat terjadi pada ketuban pecah dini. ( Fadlun, dkk. 2011. Asuhan Kebidanan Patologis );

2. Tali pusat menumbung;

3. Penekanan tali pusat (prolapsus) : gawat janin kematian janin akibat hipoksia (sering terjadi pada presentasi bokong atau letak lintang), trauma pada waktu lahir dan Premature.

4. Prematuritas, persalinan preterm, jika terjadi pada usia kehamilan preterm;

5. Oligohidramnion, bahkan sering partus kering (dry labor) karena air ketuban habis.

6. Infeksi maternal : infeksi intra partum (korioamnionitis) ascendens dari vagina ke intrauterine, korioamnionitis (demam >380C, takikardi, leukositosis, nyeri uterus, cairan vagina berbau busuk atau bernanah, DJJ meningkat), endometritis;

Komplikasi infeksi intrapartum

1. Komplikasi ibu : endometritis, penurunan aktifitas miometrium (distonia, atonia), sepsis CEPAT (karena daerah uterus dan intramnion memiliki vaskularisasi sangat banyak), dapat terjadi syok septik sampai kematian ibu. 2. Komplikasi janin : asfiksia janin, sepsis perinatal sampai kematian janin.

f. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan medis

Kasus KPD yang cukup bulan, kalau segera mengakhiri kehamilan akan menaikkan insidensi bedah sesar, dan kalau menunggu persalinan spontan akan menaikkan insidensi chorioamnionitis. Kasus KPD yang kurang bulan kalau menempuh cara-cara aktif harus dipastikan bahwa tidak akan terjadi RDS, dan kalau menempuh cara konservatif dengan

(10)

maksud untuk memberi waktu pematangan paru, harus bisa memantau keadaan janin dan infeksi yang akan memperjelek prognosis janin. Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan. Jika umur kehamilan tidak diketahui secara pasti segera dilakukan pemeriksaann ultrasonografi (USG) untuk mengetahui umur kehamilan dan letak janin. Resiko yang lebih sering pada KPD dengan janin kurang bulan adalah RDS dibandingkan dengan sepsis. Oleh karena itu pada kehamilan kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan waktu yang optimal untuk persalinan. Pada umur kehamilan 34 minggu atau lebih biasanya paru- paru sudah matang, chorioamnionitis yang diikuti dengan sepsi pada janin merupakan sebab utama meningginya morbiditas dan mortalitas janin. Pada kehamilan cukup bulan, infeksi janin langsung berhubungan dengan lama pecahnya selaput ketuban atau lamanya perode laten.

2. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm (> 37 Minggu)

Sekitar 70-80 % kehamilan genap bulan akan melahirkan dalam waktu 24 jam setelah kulit ketuban pecah bila dalam 24 jam setelah kulit ketuban pecah belum ada tanda-tanda persalinan maka dilakukan induksi persalinan, dan bila gagal dilakukan bedah caesar. Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu. Walaupun antibiotik tidak berfaedah terhadap janin dalam uterus namun pencegahan terhadap chorioamninitis lebih penting dari pada pengobatanya sehingga pemberian antibiotik profilaksis perlu dilakukan. Waktu pemberian antibiotik hendaknya diberikan segera setelah diagnosis KPD ditegakan dengan pertimbangan : tujuan profilaksis, lebih dari 6 jam kemungkinan infeksi telah terjadi, proses persalinan umumnya berlangsung lebih dari 6 jam.

Beberapa penulis meyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera diberikan atau ditunggu sampai 6-8 jam dengan alasan penderita akan menjadi inpartu dengan sendirinya. Dengan mempersingkat periode laten durasi KPD dapat diperpendek sehingga resiko infeksi dan trauma obstetrik karena partus tindakan dapat dikurangi. Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang sangat ketat terhadap keadaan janin, ibu dan jalannya proses persalinan berhubungan dengan komplikasinya.

(11)

Pengawasan yang kurang baik dapat menimbulkan komplikasi yang fatal bagi bayi dan ibunya (his terlalu kuat) atau proses persalinan menjadi semakin kepanjangan (his kurang kuat). Induksi dilakukan dengan mempehatikan bishop score jika > 5 induksi dapat dilakukan, sebaliknya < 5, dilakukan pematangan servik, jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesaria.

3. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan preterm (< 37 minggu)

Pada kasus-kasus KPD dengan umur kehamilan yang kurang bulan tidak dijumpai tanda-tanda infeksi pengelolaanya bersifat koservatif disertai pemberian antibiotik yang adekuat sebagai profilaksi. Tujuan dari pengelolaan konservatif dengan pemberian kortikosteroid pada pnderita KPD kehamilan kurang bulan adalah agar tercapainya pematangan paru, jika selama menunggu atau melakukan pengelolaan konservatif tersebut muncul tanda-tanda infeksi, maka segera dilakukan induksi persalinan tanpa memandang umur kehamilan.

Induksi persalinan sebagai usaha agar persalinan mulai berlangsung dengan jalan merangsang timbulnya his ternyata dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi yang kadang-kadang tidak ringan. Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi gawat janin sampai mati, tetani uteri, ruptura uteri, emboli air ketuban, dan juga mungkin terjadi intoksikasi.Kegagalan dari induksi persalinan biasanya diselesaikan dengan tindakan bedah sesar. Sikap konservatif meliputi pemeriksaan leokosit darah tepi setiap hari, pemeriksaan tanda-tanda vital terutama temperatur setiap 4 jam, pengawasan denyut jamtung janin, pemberian antibiotik mulai saat diagnosis ditegakkan dan selanjutnya stiap 6 jam. Pemberian kortikosteroid antenatal pada preterm KPD telah dilaporkan secara pasti dapat menurunkan kejadian RDS. The National Institutes of Health (NIH) telah merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada preterm KPD pada kehamilan 30-32 minggu yang tidak ada infeksi intramanion. Sedian terdiri atas betametason 2 dosis masing-masing 12

(12)

mg i.m tiap 24 jam atau dexametason 4 dosis masing-masing 6 mg tiap 12 jam.

(13)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. A DENGAN KETUBAN PECAH DINI

A. PENGKAJIAN 1. Identitas Klien No. RM : 207034 Nama : Ny. A Umur : 25 tahun Alamat : Mangaran Tanggal : 13 Mei 2015

2. Keluhan Utama: Nyeri perut dan keluar air ketuban 3. Riwayat Kesehatan, terdiri dari:

a. Kesehatan sekarang: Ny. A mengeluhkan sakit perut sejak 12 Mei 2015. Cairan keluar semenjak usia kandungan 8 bulan.

b. Kesehatan masa lalu: Ny.A tidak memiliki riwayat penyakit menurun, menahun dan menular.

c. Riwayat Pembedahan: pasien tidak memiliki riwayat pembedahan sebelumnya

4. Riwayat kesehatan keluarga

Pasien tidak memiliki anggota keluarga yang memiliki riwayat KPD. 5. Riwayat Kehamilan: Ini adalah kehamian kedua Ny. A, sebelumnya

Ny.A pernah hamil dan kemudan melahirkan bayi perempuan di bidan dengan BBL 3100 gr, usia anak perama saat ini 9 tahun.

6. Riwayat seksual: pasien tinggal bersama suaminya. Pasien tidak menggunakan alatkontrasepsi berupa suntik setiap 3 bulan selama 9 tahun.

7. Riwayat pemakaian obat

Ny. A tidak mengonsumsi obat-obatan untuk indikasi penyakit, hanya mengkonsumsi preparat Fe dan vitamin.

.

8. Pola aktivitas sehari-hari

a. Pola Nutrisi : pasien makan sebanyak 3 sehari ditambah dengan camilan berupa buah dan penganan. BB pasien naik sesuai dengn standar selama hamil.

b. Pola Istirahat: Pasien kekurangan istirahat karena nyeri pada peru dan kesulitan bernafas saat tidur.

(14)

d. Pola Seksual: Tidak sering melakukan hubungan seksual e. Pola Psikososial

1) Psikologis : cemas dan takut akan keadaannya dan keadaan bayinya yang dalam posisi sungsang.

2) Sosial : pasien masih berinteraksi dengan seluruh keluarga dan tetangga dengan baik.

9. Pemeriksaan Fisik a. Kulit

Warna kulit Sawo matang, turgor kulit baik dan kekenyalan kulit baik.

b. Rambut

Rambut merata, rambut warna hitam, tidak mudah dicabut, rambut ikal kasar.

c. Leher

Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan vena jugularis d. Mata

Konjungtiva merah muda, sclera putih. e. Gigi dan mulut

Mukosa mulut lembab, gigi utuh, caries tidak ada, keadaan mulut bersih.

f. Dada

Simetris kiri kanan, tidak sesak napas

g. Payudara

Bentuk payudara simetris, konsitensi kenyal, ada pembesaran, putting susu menonjol, tidak ada pelebaran vena sekitar payudara, colostrum ada, aerola berwarna kehitaman.

h. Ekstremitas atas dan bawah

Ekstremitas atas pada tangan kanan terpasang infus 20 tts/menit sedangkan ekstremitas bawah varises oedema tidak ada.

i. Abdomen 1). Inspeksi

(15)

2). Palpasi

Pada pemeriksaan secara leopold ditemukan: Leopold I : Tinggi fundus Uteri 29 cm

Leopold II : Letak janin punggung kiri ( PUKI )

Leopold III : Bagian terbawah janin adalah letak bokong Leopold IV : Bagian terbawah janin belum masuk PAP. 3). Auskultasi

Dengan menggunakan dopler vetal terdengar denyut jantung janin ( 156 x/menit.

Genetalia

Pada vulva tidak terdapat oedema, tidak terdapat varises serta tidak ditemukan tanda tanda infeksi tapi keluar cairan pervaginam blood slym.

10. Pemeriksaan psikososial

a. Respon dan persepsi keluarga:

Keluarga sangat senang dengan kehamilan Ny. A b. Status psikologis ayah, respon keluarga terhadap bayi

Suami Ny. A sangat senang karena kehamilan ini telah ditunggu, mengingat usia anak pertama yang cuku[ jauh dengan anak kedua, namun sang suami sedikit cemas karena ketuban pecah sebelum waktunya.

g. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan data pengkajian, diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien KPD yaitu:

1. Resiko tinggi infeksi maternal berhubungan dengan prosedur invasif, pemeriksaan vagina berulang, dan rupture membrane amniotic.

2. Kerusakan pertukaran gas pada janin berhubungan dengan adanya penyakit. 3. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan nyeri, peningkatan HIS

4. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman pada diri sendiri/janin. 5. Nyeri berhubungan dengan terjadi nya ketegangan otot rahim

(16)
(17)

h. Intervensi

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Resiko tinggi infeksi

maternal berhubungan dengan prosedur invasif, pemeriksaan vagina berulang, dan rupture membrane amniotic.

NOC:

Status imun: Keadekuatan alami yang didapat dan secara tepat ditujukan untuk

menahan antigen-antigen internal maupun eksternal. Pengetahuan: Pengendalian Infeksi: tingkat pemahaman mengenai pencegahan dan pengendalian infeksi. Pengendalian resiko: tindakan untuk

menghilangkan atau mengurangi ancaman

kesehatan akual, pribadi, serta dapat dimodifikasi.

Deteksi Resiko: indakan yang dilakukan untuk mengidentifikasi ancaman kesehatan seseorang. Tujuan/Kriteria Evaluasi: 1. Fakto resiko infeksi akan hilang dengan dibuktikan oleh keadekuatan status imun pasien. 2. Pasien menunjukkan Pengendalian Risiko. NIC 7. Pemberian Imunisasi/Vaksinasi: Pemberian imunisasi untuk mencegah penyakit menuar.

8. Pengendalian Infeksi: Meminimalkan penularan agen infeksius.

9. Perlindungan terhadap Infeksi: Mencegah dan mendeteksi dini infeksi pada pasien yang berisiko.

10.Aktivitas Keperawatan: a. Pantau tanda gejala

infeksi

b. Kaji factor yang

meningkatkan serangan infeksi

c. Patau hasil

laboratoriumAmati penampilan praktik hygiene pribadi untuk perlindungan terhadap infeksi

11.Aktivitas Kolaboratif: Berikan terapi antibiotic, bila diperlukan.

Kerusakan pertukaran gas pada janin berhubungan

Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan

1. Pantau DJJ setiap 15-30 menit.

(18)

dengan adanya penyakit. diharapkan pertukaran gas pada janin kembali normal. Kriteria hasil:

a. 1. Klien menunjukkan DJJ dan variabilitas denyut per denyut dalam batas normal. b. 2. Bebas dari efek-efek

merugikan dan hipoksi selama persalinan.

2. Periksa DJJ dengan segera bila terjadi pecah ketuban dan periksa 15 menit kemudian, observasi perineum ibu untuk mendeteksi prolaps tali pusat.

3. Catat perubahan DJJ selama kontraksi. Pantau aktivitas uterus secara manual atau elektronik. Bicara pada ibu atau pasangan dan berikan informasi tentang situasi tersebut.

4. Siapkan untuk melahirkan dengan cara yang paling baik atau dengan intervensi bedah bila tidak terjadi perbaikan.

Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman pada diri sendiri/janin.

NOC:

Kontrol Agresi: Kemampuan untuk menahan perilaku kekerasan, kekacauan, atau perilaku destruktif pada orang lain.

Kontrol Ansietas:

Kemampuan untuk

menghilangkan atau

mengurangi perasaan khawatir dan tegang dari suatu sumber yang tidak

NIC:

Pengurangan Ansietas: Minimalkan kekhawatiran, ketakutan, berprasangka atau rasa gelisah yang dikaitkan dengan sumber bahaya yang tidak dapat diidentifikasi dari bahaya yang dapat diantisipasi. a. Aktivitas Keperawatan:

1. Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien secara berkala

(19)

dapat diidentifikasi. Koping: Tindakan untuk mengatasi stressor yang membebani sumber-sumber individu.

Kontrol Impuls: Kemampuan untuk menahan diri dari perilaku kompulsif atau impulsive.

Penahanan Mutilasi Diri: Kemampuan untuk berhenti

dari tindakan yang

mengakibatkan cedera diri sendiri (non-letal) yang tidak diperhatikan.

Keterampilan Interaksi Sosial: Penggunaan diri untuk melakukan interaksi

yang efektif. Tujuan/Kriteria Hasil: 1. Ansietas berkurang 2. Menunjukkan Kontrol Ansietas 2. Menentukan kemampuan pengambilan keputusan pada pasien. b. Aktivitas Kolaboratif: Berikan pengobatan untuk mengurangi ansietas, sesuai dengan kebutuhan.

Nyeri berhubungan dengan ketegangan otot rahim

NOC:

1. Tingkat kenyamanan perasaan senang secara fisik & psikologis

2. Prilaku mengendalikan nyeri

3. Nyeri: efek merusak terhadap emosi dan

NIC

1. Monitor tanda-tanda vital 2. Kaji nyeri, perhatikan

lokasi, karakteristik, intensitas (Skala 0-10). 3. Pemberian analgesic 4. Sedasi sadar

5. Teknik relaksasi nyeri: nafas dalam

(20)

prilaku yang diamati 4. Tingkat nyeri: jumlah

nyeri yang dilaporkan Kriteria evaluasi:

1. Menunjukkan nyeri efek merusak dengan skala 1-5: ekstrim, berat, sedang, ringan, atau tidak ada 2. Menunjukkan teknik

relaksasi secara individu yang efektif

3. Mengenali factor

penyebab dan

menggunakan tindakan untuk mencegah nyeri.

yang Dikendalikan oleh Pasien

7. Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian obat analgetik sesuai dengan program terapi.

Intoleransi aktifitas berhubungan dengan hipersensitifitas otot.

NOC :

1. Self Care : ADLs 2. Toleransi aktivitas 3. Konservasi eneergi

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 x 24 jam pasien bertoleransi terhadap aktivitas dengan Kriteria Hasil :

1. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi dan RR

2. Mampu melakukan

aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandiri

NIC :

1. Observasi adanya

pembatasan klien dalam melakukan aktivitas

2. Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan 3. Monitor nutrisi dan sumber

energi yang adekuat

4. Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara berlebihan

5. Monitor respon

kardivaskuler terhadap aktivitas (takikardi, disritmia, sesak nafas, diaporesis, pucat, perubahan

(21)

3. Keseimbangan aktivitas dan istirahat

hemodinamik)

6. Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien

7. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan 8. Bantu untuk memilih

aktivitas konsisten yang sesuai dengan kemampuan fisik, psikologi dan sosial 9. Monitor respon fisik, emosi,

sosial dan spiritual

1.Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan nyeri, peningkatan HIS

NOC : 1. Ansiety 2. Fear level

3. Sleep deprivation

4. Comfort, readines for enchanced

Kriteria hasil :

1. Mampu mengontrol kecemasan

2. Status lingkungan yang nyaman 3. Mengontrol nyeri 4. Respon terhadap pengobatan 5. Kontrol gejala 6. Status kenyamanan meningkat NIC :

1. Gunakan pendekatan yang menyenangkan

2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien

3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur

4. Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan

5. Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi

(22)

7. Dapat mengontrol ketakutan

(23)

DAFTAR PUSTAKA

Fadlun, dkk. 2011. Asuhan Kebidanan Patologis. Jakarta: Salemba Medika Geri, morgan. 2009. Obsteri dan Ginekologi Panduan Praktik. Jakarta: EGC. Herdman, Heather T. 2010. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi

2009-2011. Jakarta : EGC. Allih bahasa: Made Sumarwati, Dwi Widiarti, Etsu Tiar.

Manjoer, arif. 2000. Kapita selekta kedokteran. Jakarta : Aesculapius.

Manuaba. Chandranita, Ida Ayu, dkk. 2009. Buku Ajar Patologi Obstetri. Jakarta. EGC

Mitayani. 2009. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta : Salemba Medika. Prawiroharjo, Sarwono. 2008. Ilmu kebidanan. Jakarta : PT bina pustaka. Prawiroharjo, Sarwono. 2013. Buku Ajar Keperawatan. Jakarta: Bina Pustaka Rohani, dkk. 2011. Asuhan Kebidanan Masa Persalinan. Jakarta: Salemba

Medika

Sukarni Iscemi K. 2013. Buku Ajar Keperawatan. Yogyakarta: Salemba Medika Wilkinson, M. Judith. 2013. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Diagnosis

Nanda, Intervensi NIC, Kriteria NOC. Jakarta : EGC.

Referensi

Dokumen terkait

Latar belakang : Ibu yang mengalami persalinan preterm usia kehamilan 34-36 minggu dengan ketuban pecah dini lebih berisiko untuk melahirkan bayi dengan

Persalinan ketuban pecah dini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kelainan letak janin, kehamilan ganda, kelainan bawaan dari selaput ketuban, kelainan

1) Bagaimana asuhan kehamilan pada wanita mengandung yang mengalami proses multigravida disertai dini nya ketuban pecah di kondisi demografis RSUD Indramayu. 2) Bagaimana

Hampir semua ketuban pecah dini pada kehamilan preterm akan lahir sebelum aterm atau persalinan akan terjadi dalam satu minggu setelah selaput ketuban pecah, 70% kasus

- Selaput ketuban pecah dapat merupakan tanda awal terjadinya persalinan preterm - Terjadi pada usia kehamilan 22  –  37 minggu 2..  Persiapan untuk persalinan

Tiga uji teracak 235 pasien dengan KPD preterm melaporkan bahwa proporsi wanita yang tidak melahirkan 10 hari setelah ketuban pecah dini tidak lebih besar secara

Kesimpulan: Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketuban pecah dini dapat mempengaruhi lama persalinan, maka diharapkan bagi ibu hamil yang mengalami ketuban

B G1P0A0 dengan Ketuban Pecah Dini 8 Jam di Praktik Madiri Bidan R Kota Bandung Tahun 2023” yang dilakukan secara berkelanjutan sejak usia kehamilan 36 minggu, persalinan, nifas, bayi