Seni Perang Sun Tzu atau banyak dikenal dengan Art Of War merupakan teori perang yang
sangat kuno, sekitar 2500 Sebelum Masehi dari negeri Cina. Namun sampai saat ini teori tersebut
masih relevan dan banyak diadopsi orang dalam berbagai bidang, tidak hanya dalam perang.
Ada strategi Sun Tzu yang diterapkan dalam organisasi, manajemen, kepemimpinan, hingga
pemasaran.
Dalam literatur Cina, strategi perang Sun Tzu bukanlah satu-satunya. Harap maklum, daratan
Cina, hingga Tibet, selama beribu-ribu tahun menjadi medan pertempuran yang tidak pernah
reda. Selalu ada revolusi, ada tokoh yang ingin memproklamasikan raja baru. Tak mengherankan
apabila strategi perang terbaik lahir di wilayah ini.
Konon, sejak 500 tahun sebelum Masehi hingga 700 tahun sesudah Masehi, atau selama 1.200
tahun, tak kurang ada tujuh literatur strategi perang Cina yang terdokumentasikan. Literatur
tersebut mempengaruhi cara berpikir orang-orang Cina, termasuk para pebisnisnya. Literatur
yang paling beken memang strategi perang Sun Tzu.
Dalam bahasa Cina, ada pepatah populer, “Shang chang ru zhan chang”: Pasar adalah medan
pertempuran. Mpu Peniti pernah mengingatkan saya bahwa dominasi ekonomi Cina setelah
membuka pasarnya memperlihatkan perilaku yang sejalan dengan pepatah di atas. Setelah
Perang Dunia II, negara-negara Asia yang memahami ungkapan tersebut satu per satu mulai
muncul menguasai pasar. Dimulai dari Jepang, Taiwan, Korea Selatan, dan kini Cina Daratan.
Strategi perang Sun Tzu ditulis dalam 13 langkah sederhana. Mulai dari perencanaan perang
hingga intelijen. Namun, kalau Anda urut ke-13 langkah Sun Tzu itu, maka inti sarinya cuma ada
tiga langkah. Yaitu, mengenal diri Anda dengan baik, mengenal musuh Anda, dan mengenal
tempat di mana kita bertarung.
Nah, tiga langkah ini sama sebangun dengan teori positioning dalam pemasaran. Mereka
mirip saudara kembar. Uniknya, walau secara teori Anda bisa menang perang hanya dalam tiga
langkah itu, banyak orang mengeluh strategi Sun Tzu tidak sesederhana itu.
Selama 10 tahun mengaplikasikan Sun Tzu dalam pemasaran, saya menemukan tiga
kelemahan penerapannya.
Pertama, dalam langkah mengenal diri kita sendiri, pemasar kerap mengalami rabun
penglihatan. Theodore Levitt menyebutnya dengan fenomena marketing myopia. Dalam praktek,
seorang pemasar bisa jadi kurang percaya diri. Atau kebalikannya, menjadi sombong dan arogan
setelah berhasil meraih sebuah sukses. Akibatnya menjadi kabur dan gagal mengenali kelemahan
dan kekuatannya.
Kedua, kurang tekun mempelajari perilaku musuh. Sun Tzu dalam bab ke-13, atau langkah
terakhir, menganjurkan pemakaian intelijen untuk memastikan keberhasilannya. Ada pepatah
Cina bahwa kemenangan tertinggi adalah menangkan perang tanpa satu pertempuran pun.
Artinya, kalau kelemahan musuh sudah diketahui persis, kita akan selalu beberapa langkah lebih
maju dari musuh itu. Jadi, kita bisa menghindari perang terbuka, seperti perang harga yang
merugikan kedua pihak.
Langkah ketiga Sun Tzu, tentang pengenalan medan perang, memang termasuk yang sulit.
Bagian ini memerlukan pengalaman di lapangan. Sun Tzu menulisnya di bab 11, tentang
sembilan medan perang yang berbeda dengan dinamika kompetisi yang berbeda satu sama
lainnya.
Di bab 5, Sun Tzu menulis soal momentum. Pemasar yang tidak menguasai medan
pertempuran, dan gagal mengikuti dinamika kompetisi, biasanya tidak akan memiliki
kesempatan untuk memanfaatkan momentum. Sebaliknya, pemasar yang mengontrol dinamika
kompetisi akan mampu terus-menerus berinovasi dan menciptakan momentum.
Bila ini terjadi, Sun Tzu mengatakan, 1.000 perang memastikan 1.000 kemenangan. Ini
rahasianya! (Galeriukm).
Sumber:
http://www.gatra.com/artikel.php?id=42153
shareshareshareshare
No related posts.
Popularity : 3,069 views
Tags:
Merebut Pasar, Strategi Pemasaran
Leave Comment
Name (required)
Mail (will not be published) (required)
Galeriukm Online
Inspirasi Bisnis Usaha Kecil Online
Ciri-Ciri Bisnis Yang Akan Sukses
Membedakan Tabungan Dan Investasi
Peluang Bisnis Dari Krisis Moneter
Sukses Lewat Usaha Lele Sangkuriang
Investasi Melalui Budidaya Gurami
Gurihnya Bisnis Keripik Kulit Singkong
Menimbang Bisnis Yang Menguntungkan
Kiat Sukses Promosi Usaha Makanan Melalui Pameran
Usaha Kecil Disarankan Memanfaatkan IT
More from this category
o
Berbagi Kiat Sukses Wirausaha
o
Membangun Sukses Bisnis Usaha Kecil Dengan Merek
oMembangun Strategi Pemasaran Usaha Kecil
o
Tips Sukses Bisnis: Belajar Dari Pengalaman Orang Lain
oKeberanian Memulai Usaha
o
Membuat Rezeki Mengalir Kepada Kita
oMengapa Berwirausaha
o
Mempersiapkan Usaha Kecil Menembus Pasar Modern
oMenghilangkan Budaya Negatif Dalam Kerja
o
Langkah Yang Diperlukan Untuk Membuka Lapangan Kerja
Tags
AgrobisnisArtikel Usaha KecilBisnis franchiseBisnis InternetBisnis KulinerBisnis MakananBisnis Modal KecilBisnis OnlineBisnis Sampingan
Bisnis Usaha Kecil Bisnis Waralaba
Budidaya IkanBudi Daya IkanContoh sukses bisnisHandicraftInovasi BisnisInspirasi BisnisKerajinan Barang bekas
Kerajinan Enceng Gondok Kerajinan Kreatif
kerajinan tanganKiat sukses Bisnis
Kredit
Usaha
Kredit Usaha RakyatKunci Sukses BisnisMemasarkan Produk Memulai Bisnis
Memulai UsahaMengembangkan BisnisMengembangkan Usaha KecilModal Usaha
Modal Usaha KecilPeluang
Bisnis
Peluang Usaha Pertanian organik
Strategi Marketing
Strategi Pemasaran
Tips Sukses BisnisUKMUMKM
Usaha Kecil Dan Menengah
Usaha Mikro Kecil Dan Menengahusaha sampinganwirausaha
Wirausaha Muda Mandiri
Cina adalah pasar terbesar di dunia tempat menghubungkan sejumlah besar pembeli dan penjual
di seluruh dunia dengan sistem manufaktur yang inovatif. Cina adalah produsen terkemuka
pupuk kimia, semen, dan baja di seluruh dunia dengan mengikuti teknologi dan metode
pemasaran yang efisien. Sektor manufaktur China memainkan peran penting dalam
meningkatkan GNP negara-negara dengan menyediakan pekerjaan dalam berbagai bidang dan
keahlian.
Dalam rangka memenangkan persaingan global saat ini Cina memproduksi produk yang lebih
baik, lebih murah dan lebih cepat yang merupakan salah satu pelaku penting dari manufaktur
China sistem. Kami melihat perubahan mendasar dalam struktur bisnis internasional dan
penyebaran kapital global. Sektor manufaktur tetap signifikan dalam ekonomi terkemuka di
dunia, tetapi menghadapi masalah utama seperti daya saing biaya, inovasi produk dan bagaimana
untuk bersaing di pasar semakin global, tentu saja dengan desain yang inovatif dan
pengembangan produk Cina adalah mendapatkan keunggulan kompetitif.
Cina mengundang pabrik untuk mencari sana dengan tangan terbuka dan pajak tangguhan. Cina
mencapai keunggulan di bidang manufaktur global. Negara ini sudah menghasilkan 50 persen
kamera di dunia, 30 persen dari AC dan televisi, 25 persen dari mesin cuci, dan 20 persen dari
kulkas. Salah satu perusahaan swasta Cina memproduksi 40 persen dari semua oven microwave
yang dijual di Eropa. Kota Wenzhou di Timur Cina memproduksi 70 persen dari pemantik rokok
di dunia logam. Produsen Cina terus bergerak maju, investasi kuat di pabrik baru dan peralatan.
Biaya biasanya merupakan penggerak utama di pasar untuk membeli produk. Cina menyediakan
produk dengan biaya rendah dengan kualitas yang menarik sejumlah besar pembeli memiliki
seluruh dunia. Harga Cina, yang tampaknya selalu menjadi setidaknya 40% lebih rendah dari
biaya Amerika Serikat „di mulai dari bedroom furniture untuk telekomunikasi gigi, adalah
penyempitan. Faktor-faktor terbesar di balik pergeseran tajam mata uang fluktuasi dan biaya
tenaga kerja. Yuan terapresiasi sekitar 11% terhadap dolar sejak akhir 2005, dan upah telah
meningkat 7% sampai 8% per tahun. Untuk mengendalikan pencemaran industri, Beijing telah
dilucuti keringanan pajak bagi para eksportir beberapa produk industri berat.
Manufaktur Cina keuntungan tetap tangguh. Dengan upah rata-rata $ 1,26 pabrik jam, daratan
masih sulit untuk mengalahkan untuk produk padat karya seperti mainan dan pakaian. Cina juga
meningkat cepat dalam industri seperti modul tenaga surya dan mobil, berkat permintaan
domestik yang kuat dan insentif pemerintah bermurah hati.
Seluruh dengan keunggulan harga yang efektif, metode produksi yang efisien, dan strategi
keuangan yang khas, Cina tetap memiliki pasokan tak tertandingi basis suku cadang dan bahan di
beberapa industri. Tetap raja konsumen elektronik dan manufaktur PC dan dalam berbagai
macam produk lainnya.
kontribusi manufaktur di Cina
manufaktur dan inovasi
metode penjualan di negara china
Sistem Manufaktur internasional
strategi produksi manufaktur
Posts Related to Sistem Manufaktur Cina
Mengingat sejarah Cina, kita dapat menemukan kontribusi berbagai rekayasa teknologi
dan kemakmuran di negara ini. Sebelumnya penemuan banyak seperti Abcus, Kompas,
Gunpowder, Percetakan, Kites, Lentera ...
Grosir Elektronik dari Cina
Pasar Cina telah terus-menerus telah diyakini salah satu cara atau lain sebagai naga tidak
aktif. Seperti sebelumnya, lebih dari beberapa tahun, Cina telah tidak berarti ...
Outsourcing di Cina
Cina adalah negara terbesar mengenai daerah dan penduduk di dunia. Pada fase
outsourcing bisnis Cina adalah salah satu negara terkemuka di dunia bisnis. Ini bukan ...
Layanan Manufaktur Elektronik
Saat ini, perusahaan banyak Kontrak Elektronik Manufaktur akan global dan memperluas
bisnis mereka di seluruh dunia. Untuk target pasar internasional mereka semakin beralih
ke layanan ...
Pertempuran India vs Cina untuk Menjadi Raja BPO Berikutnya
Konsep outsourcing proses bisnis lepas pantai dimulai dengan India. Ini adalah tempat di
mana konsep ini telah mengambil bentuk industri mekar. Tidak diragukan lagi, India ...
This entry was posted on Tuesday, July 12th, 2011 at 1:39 pm and is filed under Ekspor Impor. You can follow any comments to this entry through the RSS 2.0 feed. Both comments and pings are currently closed.
Sponsor
o
Aerobik
o
Affiliate Marketing
oAgama & Kepercayaan
oAkuntansi
oAlami
oAnak-Anak
oAnalisa Pengunjung
oAnggaran Keuangan
oApple
oArticle Marketing
oAudio
oAudit
oBahasa
oBanner
oBayi & Balita
oBelanja
oBerburu
oBisnis
oBisnis Rumahan
oBlogging
oBroadband
oBudha
oBuku
oCamping
oClickBank
oCopywriting
oCustomer Service
oDasar Internet
oDepresi
oDesain Web
oDiabetes
oDiet
oDrop Shipping
oEcommerce
oEkspor Impor
oEmail Marketing
oEtika Bisnis
oEzine
oFilm Bioskop
oFilosofi
oFotografi
oGrafik
oHindu
oHomeschool
oHubungan Kerja
oHumanitas
o
Hutang Piutang
oIslam
oJaringan Bisnis
oJompo
oKanker
oKarir
oKekristenan
oKemitraan
oKencan Online
oKepemimpinan
oKerontokan Rambut
oKeropos Tulang
oKeseimbangan Kerja
oKesejahteraan
oKeuangan
oKeyakinan
oKoleksi
oKompensasi
oKonversi Pengunjung
oKorporasi
oKosmetik
o
Kuliah & Universitas
oLatihan
oLiburan
oManajemen
oManajemen Projek
oMasalah Sosial
oMeditasi
oMobil & Truk
oMobil Klasik
oModal Ventura
oMotor
oMultimedia
oNama Domain
oNegosiasi
oNetwork Marketing
oNon-Profit
oNutrisi
oObat-Obatan
oOlah Otot
oOnline
oOrganisasi
oPakaian
oPay Per Click
oPeluang Usaha
oPembukuan
o
Pendidikan
oPengasuhan
oPengembangan Web
oPengobatan Alternatif
oPenjualan
oPenuaan
o
Penyakit & Kondisi
oPeralatan Fitnes
oPerceraian
oPerencanaan Keluarga
oPerencanaan Strategis
oPerhiasan
oPeriklanan
oPerkawinan
oPermainan Komputer
oPernikahan
oPinjaman
oPodcast
oPresentasi
oPromosi Situs
oRemaja
oResensi Buku
oRSS
oRV & Trailer
oSearch Engine
oSeni
o
Seni & Kerajinan
oSilsilah
o
Spam
oStartup
o
Strategi Pengunjung
oSumber Daya Manusia
oSuplemen & Vitamin
oSUV
oTanya Ahli
oTeam Building
oTeknologi
oTelevisi
oTraining
oTransportasi
oTruk
oUsaha Kecil
oVan
oVideo
oViral Marketing
oWaralaba
o
Web Hosting
oWirausaha
oYoga
Copyright © 2012 Ensiklopedia
Powered by WordPress. Designed by Blog Design.
SURABAYA, kabarbisnis.com Kaisar Victorio, seorang penyiar radio kawakan yang juga pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2004-2009. Selama menjadi anggota DPR itu ia sudah dua kali mendapat tugas kunjungan kerja ke China. Apa saja yang terkesan melihat kemajuan negeri tirai bambu itu, ia akan menuturkan pengalamannya kepada kabarbisnis.com berikut ini:
Ketika Asian China Free Trade Agreement (ACFTA) diberlakukan, banyak yang meragukan kesiapan produk Indonesia bisa bersaing dengan produk China. Terutama para pelaku bisnis yang merasa pesimis. Sehingga mereka meminta kepada pemerintah untuk menunda kesepatan perdagangan bebas di
kawasan ASEAN itu.
Semuanya minta diproteksi produknya, jangan sampai produk China yang akan membanjiri Indonesia dapat menenggelamkan produk lokal. Kenapa produk China ditakuti?
Kalau saya melihat posisi neraca perdagangan antara China dan Indonesia pada Feberuari 2010 lalu, masih mengalami defisit sekitar US$380 juta. Padahal waktu itu (Februari) belum diberlakukan perdagangan bebas dengan China.
Jadi bisa dimaklumi jika para pelaku bisnis kita merasa pesimis. Sebenarnya kita kan tidak perlu berlarut-larut dengan benang merah (rasa ketakutan) menghadapi persaingan pasar, tapi tak pernah mampu mencari solusi. Maaf, saya bukan seorang ekonom.
Tapi dari pengalaman saya berkunjung ke China waktu itu, banyak hal yang perlu kita pelajari dari kiat sukses mereka dalam membangun ekonomi yang berbasis kerakyatan.
Maju karena filosofi hidup yang kuat
China maju karena filosofi hidupnya yang kuat. Saya dua kali berkunjung ke kota Beijing, Shanghai, Fujian dan Guangzhou di China Selatan. Saya sempat menelusuri jalan-jalan kampung di pinggiran kota, ternyata orang-orang China yang tinggal di daerah kumuh pun sangat teguh memegang prinsip filsafat nenek moyangnya.
Filosofi kuno yang sudah beratus-ratus tahun dipegang kuat-kuat oleh mereka. Dalam kehidupan rumah tangga; pertama, orangtua mengajarkan kepada anak-anaknya harus bisa hidup mandiri. Kedua,
bagaimana mereka bisa hidup survive? ketiga; mendaki langit itu sulit, tapi lebih sulit minta pertolongan orang lain. Ini filosofi yang dijadikan pegangan mereka.
Kebetulan saya bisa berbahasa China, jadi tidak kagok untuk bisa memahami kehidupan mereka. Sebab saya banyak bertanya saat berdialog dengan mereka. Meskipun mereka bernasib buruk, tak punya pekerjaan penting sebagaimana pegawai profesional di perusahaan besar, tapi tak sedikit pun wajah mereka kelihatan frustrasi. Mereka tetap punya semangat tinggi untuk bekerja. Ini kelebihan orang-orang China yang saya jumpai.
Ketika saya masuk ke pelosok kampung, daerah pinggiran China, tak sedikit rumah-rumah yang menjadi rumah industri (home industry). Seperti industri sepatu, garmen, elektronik, otomotif, banyak dari produk bermerk terkenal itu dikerjakan dengan model home industry di sana. Jadi roda kehidupan ekonomi di sana betul-betul berbasis kerakyatan.
Upah buruh lebih murah daripada Indonesia
Saya juga tanya upah buruh di sana, ternyata lebih murah dari upah buruh di Indonesia. Dan bila terjadi perselisihan soal upah atau kesejahteraan mereka yang tidak sesuai dengan kesepakatan, mereka tak sampai melakukan aksi demo seperti di negara-negara lain. Apalagi sampai berbuat anarkis yang merusak tempat kerjanya atau fasum, tidak pernah terjadi di sana.
Jadi walaupun mereka hidup di negara komunis yang otoriter, tapi warga negaranya patuh terhadap peraturan dan perundang-undangan. Hukum betul-betul ditegakkan di sana. Siapa pun yang bersalah harus dihukum. Tak peduli yang berbuat itu adalah pejabat tinggi negara. Apalagi sampai pejabat melakukan tindak korupsi, tak bakal diberi ampunan sama sekali oleh penegak hukum di China. Orang miskin di sana lebih patuh lagi. Tak ada yang frustrasi, dan berbuat kerusuhan sosial.
Saya kagum melihat kehidupan orang-orang miskin China yang gigih itu. Berbeda dengan orang-orang miskin di negara lain. Tak sedikit kehidupan mereka yang bergejolak. Mereka frustrasi dan kerap menimbulkan kerusuhan sosial.
Saya melihat di Indonesia, daerah pinggiran yang berpenduduk miskin seperti Jakarta, Ambon Maluku, dan daerah lainnya, kini seperti ledakan bom yang tak pernah berhenti meletus. Dimana-mana meletus mengobarkan api dan banjir darah. Entah, sampai kapan ini terus terjadi?
Saya tidak membesar-besarkan China. Tapi kenyataannya, negara China maju pesat. Baik dari segi ekonomi maupun kehidupannya. Termasuk orang-orang China perantauan. Entah mereka yang ada di Amerika, Eropa maupun negara-negara Asia. Bahkan, diperkirakan China akan menjadi pesaing Amerika sebagai negara super power di masa mendatang.
Dengan memegang teguh filosofi kuno itu, orang-orang China punya nilai kultural yang tinggi dalam kehidupannya. Sejarah kebudayaan China kuno sendiri sebetulnya sudah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad. Makanya nabi sendiri mengatakan “Utlubul ilma waa lau bissiin” carilah ilmu ke negeri China. Betapa tingginya kebudayaan China itu, sampai-sampai nabi yang jadi panutan orang seluruh dunia, menyuruh ummatnya untuk belajar ke negara China.
Wagub Jawa Timur, Yusuf Saifullah atau yang akrab dipanggil Gus Ipul, sering saya dengar dalam pidato tak resminya, beliau mengutip filosofi China kuno untuk memberi contoh atau keteladanan kepada siapa pun. Kadang dengan gaya bicara Gus Ipul yang penuh humor itu, audiennya bisa ketawa mendengar kutipan filosofi China yang beliau sampaikan.
Suatu ketika beliau berbicara dalam acara pembukaan pameran untuk UKM, Gus Ipul mengutip filosofi China “Ming Tian Hui Genhao” yang artinya, hari esok akan lebih baik. Filosofi ini, memang sudah menjadi keyakinan setiap orang China. Kalau hari esok itu harus lebih baik dari hari ini.
Cerita Gus Ipul ini disambut tawa para undangan yang hadir. Kata Gus Ipul, “Apa yang saya sampaikan ini adalah filosofi China. Benar atau salah cara saya menyampaikan dalam berbahasa China tadi, mungkin banyak yang nggak ngerti. Saya sendiri juga nggak tahu, sudah benar apa salah saya mengucapkan itu?
Kalau seandainya salah pun, nggak ada yang bisa protes kan? Karena sama-sama nggak ngerti. Tapi kalau saya mengutip Alquran, wah…semua para undangan banyak yang mengerti. Apalagi kalau ada di antara undangan yang hadir ada kiainya, wah.. kalau saya salah menafsirkan arti Alquran tadi, bisa ramai jadi perbincangan banyak orang lantaran kesalahan saya.”
Melihat dari kisah pidato Gus Ipul itu, saya menilai banyak tokoh kita yang mulai senang membaca filosofi China kuno. Dalam artian saya juga tidak mengesampingkan ajaran-ajaran Alquran dan Hadist. Cuma saya sangat aprisiatif dengan pesan Nabi yang menyuruh cari ilmu ke negeri China tersebut. Justru saya membaca Hadist itu, hati saya tergerak ingin belajar bahasa mandarin. Saya belajar secara otodidak. Saya banyak beli buku belajar bahasa China, lalu praktiknya saya menemui orang-orang China yang bisa bahasa China. Karena tidak semua orang China di Indonesia bisa bahasa Mandarin. Ini cerita sekilas pengalaman saya melihat kemajuan ekonomi China yang berbasis kerakyatan itu. kbc11
MAJALAH SEJAHTERA ANGGOTAKU - JAKARTA
Diposkan oleh duniakita di 07:55
1 komentar:
artikel yang bermanfaat, "mendaki langit itu sulit, tapi lebih sulit minta pertolongan orang
lain".
survive jadi pilihan utama tanpa men
Essay
Usaha
Blog FOSS
Blog Umum
Rahasia Dibalik Kesuksesan Produk Cina Menguasai Pasar
Dunia
Oleh: Muhammad Subair
Di saat negara kita sedang berjuang mati-matian untuk meningkatkan nilai tukar rupiah terhadap
mata uang asing, di lain pihak Cina justru mengalami tekanan dari dunia agar mau
mengambangkan nilai mata uangnya yang dinilai dipatok terlau rendah. Pematokan nilai yuan
yang sudah dilakukan semenjak tahun 1994 ini diprotes karena dianggap sebagai penyebab
utama miringnya harga produk-produk Cina di pasaran dunia (Sarnianto, 2004). Kekhawatiran
tersebut memang beralasan melihat hampir dapat dikatakan produk-produk berlabel made in
China medominasi pasar dunia mulai dari sekedar peniti sampai perangkat elektronika canggih.
Banyak faktor yang mendorong perekonomian Cina sehingga bisa menjadi seperti sekarang ini,
dimana dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata diatas 7% setiap tahunnya telah mengantarkan
Cina sebagai salah satu raksasa perekonomian dunia. Faktor nilai tukar mata uang sudah pasti
bukanlah satu-satunya penyebab produk-produk negara dengan populasi terbesar di dunia ini
mampu berjaya menguasai pasar dunia. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi mengingat kalau
hanya faktor itu, seharusnya Indonesia juga sudah bisa mengambil mamfaat dari nilai tukar
rupiah yang sangat menyedihkan.
Salah satu hal lain yang lebih penting dari itu adalah faktor apakah yang menyebabkan Cina bisa
begitu produktif untuk dapat menghasilkan produk-produk berkualitas yang sangat diterima oleh
pasar dunia. Negara-negara G-7 saja bahkan secara terang-terangan merangkul Cina yang saat ini
menduduki peringkat keempat dalam perdagangan dunia, di bawah AS, Jerman dan Jepang untuk
mau berbagi dan berbicara dalam forum mereka (Pikiran Rakyat, 2 Oktober 2004). Ternyata
selain karena aliran modal asing dan teknologi tinggi, yang justru sangat menarik dari
pengalaman Cina adalah besarnya peran Usaha Kecil dan Menegah (UKM) dan bisnis swasta
daerah yang disebut sebagai Township and Village Enterprises (TVEs) dalam menopang
kekuatan ekspornya.
Peran Penting TVEs Bagi Perekonomian Cina
Sumbangsih TVEs bagi perekonomian Cina memang tidak bisa disepelekan. TVEs yang semula
merupakan perkembangan dari industri pedesaan yang digalakkan oleh pemerintah Cina. Jika
pada tahun 1960 jumlahnya hanya sekitar 117 ribu, namun semenjak reformasi tahun 1978
jumlahnya mengalami pertumbuhan spektakuler menjadi 1,52 juta. Apabila dilihat dari sisi
penyediaan lapangan kerja, TVEs di akhir tahun 1990-an telah menampung setengah dari tenaga
kerja di pedesaan Cina.
Walaupun perkembangan TVEs ini sempat mengalami pasang surut dan tidak merata di seluruh
wilayah Cina, namun secara rata-rata mengalami pertumbuhan yang sangat mengesankan.
Produksi dari TVEs meningkat dengan rata-rata 22,9 persen pada periode 1978-1994. Secara
nasional, output TVEs pada tahun 1994 mencapai 42% dari seluruh produksi nasional.
Sedangkan untuk volume ekspor, TVEs memberikan kontribusi sebesar sepertiga dari volume
total ekspor Cina pada tahun 1990-an (Pamuji, 2004).
Dilihat dari sisi perdagangan secara angka di atas kertas memang masih terlihat bahwa ekspor
kita masih surplus dibanding Cina. Menurut data yang diperoleh dari Dubes RI di China, bahwa
tepatnya sampai dengan 3 Agustus 2004 dilihat dari sudut pandang perdagangan luar negeri
China, saat ini Indonesia merupakan negara tujuan ekspor urutan ke-17 dengan nilai 2,66 miliar
dollar AS atau 1,03 persen dari total ekspor China yang mencapai nilai 258,21 miliar dollar AS.
Indonesia juga menjadi negara asal impor ke-17 bagi China dengan nilai ekspor 3,44 miliar
dollar AS (Osa, 2004).
Akan tetapi dalam kenyataan di lapangan tampak bahwa barang-barang produksi Cina terlihat di
mana-mana. Kita tidak menutup mata bahwa banyak produk dari negeri panda tersebut yang
masuk secara ilegal ke Indonesia sehingga tidak ikut tercatat secara resmi dalam laporan
tersebut. Namun penjelasan dari Ketua Umum Kadin Indonesia Komite Cina, Sharif Cicip
Sutardjo sangat masuk akal. Sebagaimana dikutip dari wawancara dengan Sinar Harapan
dijelaskan bahwa ekspor Indonesia ke Cina memang besar namun sebagian besar merupakan
bahan mentah dengan jumlah item yang sangat sedikit, kurang lebih hanya 15 item seperti migas,
CPO, karet, kayu, dan lain-lain. Sedangkan dari Cina kita mengimpor ratusan item, mulai dari
ampas, hasil pertanian, peralatan sampai ke motor dan mobil. Sebagian besar perusahaan yang
menghasilkan produk-produk itu semua di Cina hanyalah industri swasta, UKM atau TVEs
(www.sinarharapan.co.id/ ekonomi/industri/2003/1224/ind2.html).
Kenyataan ini sungguh berkebalikan dengan keadaan UKM kita yang kurang diberdayakan
padahal memiliki potensi yang sangat besar. Jumlah UKM mencakup 99 % dari total seluruh
industri di Indonesia dan menyerap sekitar 56 % dari jumlah total seluruh pekerja Indonesia
(Rochman, 2003). Untuk itu sangat perlu kita lihat upaya apa saja yang telah dilakukan oleh
pemerintah Cina untuk memajukan industri swasta khusunya UKM, mengingat UKM kita juga
sebenarnya punya kemampuan. Hal ini terbukti pada saat krisis moneter justru sektor UKM yang
mampu bertahan.
Usaha Pemerintah Cina yang Dirintis Sejak Lama
Apa yang sekarang Cina nikmati dari industrinya terutama TVEs merupakan hasil usaha
bertahun-tahun. Pada tahun 1986 dipimpin oleh State Science and Technology Commission
(SSTC) Cina memperkenalkan Torch Program yang bertujuan untuk mengembangkan
penemuan-penemuan dan penelitian-penelitian oleh universitas dan lembaga riset pemerintah
untuk keperluan komersialisasi. Hasil yang diperoleh kemudian ditindaklanjuti dengan membuat
New Technology Enterprises (NTEs). Selanjutnya SSTC mengembangkan 52 high-tchnology
zones yang serupa dengan research park di Amerika dengan bertumpu pada NTEs tadi (Mufson,
1998). Walaupun NTEs ini bersifat perusahaan bersakala besar namun kedepannya memiliki
peran sebagai basis dalam pengembangan teknologi untuk industri-industri kecil dan menengah.
Pemerintah Cina kemudian masih dengan SSTC mengeluarkan kebijakan untuk mendukung
TVEs yang disebut sebagai The Spark Plan. Kebijakan ini terdiri dari 3 kegiatan utama yang
berangkaian. Pertama, memberikan pelatihan bagi 200.000 pemuda desa setiap tahunnya berupa
satu atau dua teknik yang dapat diterapkan di daerahnya. Kegiatan kedua dilakukan dengan
lembaga riset di tingkat pusat dan tingkat provinsi guna membangun peralatan teknologi yang
siap pakai di pedesaan. Dan yang ketiga adalah dengan mendirikan 500 TVEs yang berkualitas
sebagai pilot project (Pamuji, 2004).
Pemerintah Cina juga berusaha menempatkan diri sebagai pelayan dengan menyediakan segala
kebutuhan yang diperlukan oleh industri. Mulai dari hal yang paling essensial dalam memulai
sebuah usaha yaitu birokrasi perizinan yang mudah dan cepat, dimana dalam sebuah artikel
dikatakan bahwa untuk memulai usaha di Cina hanya membutuhkan waktu tunggu selama 40
hari, bandingkan dengan Indonesia yang membutuhkan waktu 151 hari untuk mengurus
perizinan usaha (www.suaramerdeka.com/harian/0503/01/eko07.htm).
Tidak ketinggalan infrastruktur penunjang untuk memacu ekspor yang disiapkan oleh pemerintah
Cina secara serius. Bila pada tahun 1978 total panjang jalan raya di Cina hanya 89.200 km, maka
pada tahun 2002 meningkat tajam menjadi 170.000 km. Untuk pelabuhan, setidaknya saat ini
Cina memiliki 3.800 pelabuhan angkut, 300 di antaranya dapat menerima kapal berkapasitas
10.000 MT. Sementara untuk keperluan tenaga listrik pada tahun 2001 saja Cina telah mampu
menyediakan sebesar 14,78 triliun kwh, dan saat ini telah dilakukan persiapan untuk membangun
PLTA terbesar di dunia yang direncanakan sudah dapat digunakan pada tahun 2009 (Wangsa,
2005).
SDM Terbaik Sebagai Pengusaha
Dalam hal SDM untuk dunia usaha Cina juga tidak tanggung-tanggung dalam mengarahkan
orang-orang terbaiknya untuk menjadi pengusaha yang handal. Sejak tahun 1990-an, Cina telah
mengirimkan ribuan tenaga mudanya yang terbaik untuk belajar ke beberapa universitas terbaik
di Amerika Serikat, seperti Harvard, Stanford, dan MIT. Di Harvard saja, Cina telah
mengirimkan ribuan mahasiswanya untuk mempelajari sistem ekonomi terbuka dan kebijakan
pemerintahan barat, walaupun Cina masih menerapkan sistim ekonomi yang relatif tertutup.
Sebagai hasilnya, Cina saat ini telah memiliki jaringan perdagangan yang sangat mantap dengan
Amerika, bahkan memperoleh status sebagai The Most Prefered Trading Partner (Kardono,
2001).
Pemerintah Cina juga membujuk para overseas Chinese scholars and professionals, terutama
yang sedang dan pernah bekerja di pusat-pusat riset dan MNCs di bidang teknologi di seluruh
penjuru dunia untuk mau pulang kampung dan membuka perusahaan baru di Cina.
Mantan-mantan tenaga ahli dari Silicon Valley dan IBM ini misalnya, diharapkan nantinya juga akan
dapat mempermudah pembukaan jaringan usaha dengan MNCs ex-employer lainnya yang
tersebar di seluruh dunia (www.mail-archive.com/bhtv @paume.itb.ac.id/msg00042.html). Tentu
saja bujukan itu dilakukan dengan iming-iming kemudahan dan fasilitas untuk memulai usaha,
seperti insentif pajak, kemudahan dalam perizinan, dan suntikan modal.
Indonesia Harus Bisa Mengambil Pelajaran dari Cina
Kita sebaiknya bisa belajar dari kesuksesan Cina mengembangkan dunia usaha dan industrinya.
Hal ini jauh lebih baik ketimbang hanya menggerutu melihat produk-produk Cina yang
membanjiri pasar dalam negeri. Merajalelanya produk-produk Cina dengan harga yang murah
dan berkualitas harus dilihat tidak hanya sebagai ancaman, namun juga sebagai pemicu agar
Indonesia bisa bergerak ke arah perbaikan. Pada kesempatan ini penulis dengan keterbatasan
kapasitas yang dimiliki akan mencoba merumuskan beberapa masukan berupa langkah yang
sebaiknya kita tempuh berkaitan dengan apa yang telah dilakukan dan diraih oleh Cina.
Pertama, yaitu kita harus mencoba mengkaji kebijakan-kebijakan Cina dalam perekonomian
khususnya dalam memajukan dunia usahanya. Setelah itu dirumuskan manakah yang bisa dan
tepat untuk diterapkan di Indonesia. Hal ini mengingat keadaan , latar belakang, dan budaya Cina
yang tidak sama dengan Indonesia.
Langkah kedua yang bisa ditempuh adalah dengan mempererat hubungan kerja sama dengan
Cina, tidak saja dalam ekonomi namun juga pada bidang-bidang lainnya yang dianggap penting.
Dalam bidang ekonomi dan keamanan misalnya dengan membuat nota kesepahaman tentang
kerjasama dalam penanganan penyelundupan di kedua negara. Bentuk kerjasama yang lain
misalnya adalah dengan melakukan sinergi industri antara kedua negara. Seperti yang sudah
berjalan pada industri lilin antara Indonesia dan Cina, dimana terdapat kesepakatn tidak tertulis
dalam pembagian fokus industri, dengan pembagian industri hulu dan menegah yang ditangani
Indonesia sedangkan hilir dipegang oleh Cina.
Ketiga, adalah dengan menciptakan budaya wirausaha di Indonesia. Hal ini bisa dilakukan
dengan meniru langkah pemerintah Cina dengan kebijakan-kebijakannya dalam merangsang
munculnya para pengusaha-pengusaha baru. Akan tetapi apabila dilihat lebih cermat, sebenarnya
yang menjadi masalah utama di Indonesia terletak pada paradigma berpikir masyarakatnya. Di
Indonesia hampir tidak ada kita kita lihat keinginan yang besar dari kalangan terdidik untuk
menjadi pengusaha.
Penyebabnya bisa jadi karena malas dan takut mengambil resiko untuk berjuang dari nol apabila
menjadi pengusaha. Masyarakat kita juga pada umumnya menaruh simpati yang lebih besar pada
profesi-profesi yang secara praktis terlihat ekslusif, seperti dokter, akuntan, dan pengacara
dibanding dengan wirausaha. Keadaan ini lebih diperburuk dengan sistem pendidikan kita yang
cenderung mengabaikan pelajaran tentang kewirausahaan dan kepemimpinan. Hal ini sangat
berkebalikan dengan budaya wirausaha yang sangat kental dari penduduk Cina.Langkah keempat
adalah dengan memaksimalkan peran akademisi yaitu peneliti untuk menunjang dunia usaha.
Selama ini diantara banyak kendala dunia usaha kita terutama UKM, yang paling besar adalah
dari sisi teknologi dan metode yang tidak efisien dan jauh tertinggal dari pesaingnya di luar
negeri. Untuk itu kiranya para peneliti mau turun dari menara gading untuk mau membantu
penelitian industri-industri di Indonesia. Sudah saatnya penelitian yang dilakukan bisa lebih
membumi sehingga dapat juga dinikmati oleh industri-industri kecil dan menengah.
Penutup
Demikianlah pembahasan yang dilakukan oleh penulis berkaitan dengan iklim usaha di Cina
yang merupakan salah satu unsur utama pendorong perekonomian Cina hingga bisa menjelma
menjadi raksasa perekonomian dunia. Walaupun tidak semuanya pas diterapkan di Indonesia,
namun setidaknya beberapa langkah-langkah Cina yang telah terbukti berhasil tidak ada salahnya
untuk diikuti dan dipraktekkan di Indonesia.
Seluruh komponen mulai dari pemerintah, akademisi, peneliti, pengusaha, dan warga masyarakat
umum harus ikut serta memikirkan dan bekerja keras mencari solusi terbaik untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dialami negara kita tercinta ini. Setiap pihak
hendaknya berusaha memberikan yang terbaik sesuai dengan bidang dan kemampuan yang
dimilikinya masing-masing. Akhir kata penulis berharap tulisan yang sederhana ini dapat
berguna dan bermamfaat. (MuhammadSubair)
Daftar Pustaka
1. Kardono, 2001,Fokus PT. Dirgantara Indonesia Dalam Industri Penerbangan Untuk
Meraih Keunggulan, Available, http://www.indonesian-aerospace.com/book/d16.htm, 23
Maret 2001
2. Mufson S., 1998, In China, professor leads a high-tech revolution, Artikel Koran
Washington Post, Washington ,10 Juni 1998
3. Osa S., 2004, Hubungan Perdagangan China-Indonesia Pantas Dipelihara, Artikel
Koran Kompas, 18 Agustus 2004
4. Pamuji N., 2004, Diplomasi Cina, Indonesia dan Presiden Baru, Available,
http://www.mail-archive.com/ ekonomi-nasional@yahoogroups.com/ msg00156.html, 30
September 2004
5. Rochman, N. T., 2003, Memperkuat Industri Rakyat : Mendewasakan SDM Unggul,
Berita IPTEK LIPI, 5 November
6. Sarnianto P., 2004, Sang Naga Merah yang Kian Tak Tertahankan, Artikel Majalah
Swa, Jakarta, 9 Desember 2004
7. Sinar Harapan, 2003, Pemain Utama Cina Segera Masuk ke Indonesia, Available,
www.sinarharapan.co.id/ekonomi/industri/2003/1224/ind2.html
8. Suara Merdeka, 2001, Birokrasi Panjang Penyebab PMA Turun, Available,
http://www.suaramerdeka.com/harian/0503/01/eko07.htm, 1 Maret 2005
9. Suyitno S., 2003, Belajar Dari Negara Cina (Creating World-Class New-Start-up
Entrepreneur), Available, http://www.mail-archive.com/bhtv
@paume.itb.ac.id/msg00042.html, Juli 2003
10. Wangsa L. M. S., 2005, Membangun Infrastruktur Ala Cina, Available,
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=103866, 25 Februari 2005
Etika Bisnis di Cina
Pertama-tama, saya meninjau secara singkat kemunculan dan perkembangan dari etika bisnis, yang mengikuti tiga tahapan (1978-1984; 1984-1994; 1994 – saat ini) dan didorong oleh empat factor: warisan etika tradisional Cina; pengaruh dari etika dan filosofi Marxisme; cerminan reformasi ekonomi; dan pengaruh etika bisnis dari luar negeri. Kemudian, dari pandangan praktis dan teoritis, saya membahas tentang tantangan-tantangan utama bagi etika bisnis di Cina: permasalahan di bidang sistem ekonomi, etika korporasi, dan manajemen. Setelah member komentar terhadap peranan etika bisnis dalam perkembangan sosial di Cina, saya menawarkan pemikiran tentang apa yang bisa dikontribusikan oleh Cina untuk, dan belajar dari, orang-orang lain. Lebih lanjut menghubungan etika bisnis Cina dengan etika bisnis etnis Tionghoa di beberapa Negara Macan Asia ( Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Hongkong ) dan tak lepas juga mencari benang merah Etika bisnis Etnik Tionghoa di Indonesia.
1. Etika Bisnis di Cina:
Perkembangan, karakteristik, dan kecenderungannya
Etika bisnis di Cina telah muncul dan berkembang utamanya sebagai respon terhadap reformasi ekonomi yang terjadi dalam tiga tahap: (1) 1978-1984; (2) 1984-1994; dan (3) 1994 – saat ini. Ada empat faktor yang menentukan proses ini: (1) warisan etika tradisional Cina; (2) pengaruh dari etika dan filosofi Marxisme; (3) cerminan reformasi ekonomi; dan (4) pengaruh etika bisnis dari luar negeri.
Kemunculan etika bisnis di Cina adalah sesuatu yang mirip dengan munculnya budaya Cina. Ini artinya bahwa pada awalnya, hal tersebut tidak dipengaruhi oleh studi atas etika bisnis di luar negeri. Adalah etika tradisional Cina, filosofi dan etika Marxisme, dan terutama masalah-masalah yang berkaitan dengan reformasi yang telah membuat orang-orang memfokuskan perhatian mereka pada hubungan antara bisnis dan etika. Tiga faktor ini yang telah memainkan peranan mereka dalam semua tahapan. Tetapi di tahap terakhir, faktor keempat yang adalah riset dan studi yang dilakukan di luar negeri, muncul dan bekerja dengan tiga faktor lainnya. Selama tiga tahapan tadi, orang-orang telah menjadi lebih memperhatikan hubungan antara bisnis dan moralitas. Banyak diskusi telah dikembangkan, diperluas, dan dilanjutkan hingga saat ini. Dari diskusi-diskusi inilah etika bisnis di Cina muncul.
1.1 Tahap 1978-1984: Hubungan antara moralitas dan ekonomi pada level filosofis, dan etika profesi Karena pergumulan kelompok adalah aktifitas utama sebelum 1978, aktifitas ekonomi bukanlah poin penting dalam pemerintahan ataupun perhatian sentral bagi masyarakat pada waktu itu. Etika bisnis sebagai satu disiplin ilmu tidak pernah didengar, apalagi dimunculkan. Etika tradisional dan etika barat dikecualikan dan ditempatkan dibawah label “feudalism, kapilatisme, dan revolusionisme.” Yang bertahan hanyalah satu bentuk menyimpang dari Marxisme yang hanya member tekanan pada moralitas kelompok. Titik baliknya adalah pada tahun 1978 dimana fokus perhatian berpindah ke aktifitas ekonomi, dan reformasi ekonomi pun dimulai. Suatu ekonomi yang tidak terlalu direncakan secara sentral diperkenalkan. Sistem tanggung jawab kontrak dengan pembayaran yang terhubung ke hasil dan diversifikasi ekonomi terjadi di bidang pertanian. Petani memperoleh kekuasaan untuk mengambil keputusan dalam manajemen. Empat Zona Ekonomi Spesial (ZES) dibuka di empat provinsi dari Guangdong dan Fujian. Invidu atau bisnis pribadi diijinkan untuk melengkapi ekonomi kepemilikan-publik di seluruh negeri.
Sementara itu, perubahan ideologi juga terjadi. Di tahun 1979, Departemen Pendidikan memandatkan etika diajarkan sebagai mata kuliah formal oleh departemen filsafat di universitas-universitas. Di tahun
1980, Komunitas Nasional Untuk Studi Etika didirikan. Di tahun 1981, “Lima Penekanan dan Empat Titik Keindahan” diambil sebagai karakterisasi dari moralitas public: penekanan dalam hal kepantasan sosial, tata krama, disiplin, dan moralitas; dan keindahan pikiran, bahasa, perilaku, dan lingkungan. Di tahun 1982, Moralitas dan Peradaban periodik memicu berjalannya studi etika di jalan yang benar. Karya-karya di bidang etika, edisi-edisi baru dari Karya-karya Cina klasik dan terjemahan dari Karya-karya-Karya-karya asing di bidang etika dipublikasikan secara berkelanjutan. Pada tahap “membawa keteraturan kedalam kekacauan, dan membuat yang salah menjadi benar” ini, hubungan antara bisnis dan etika hanya dibahas sebatas level filsafat dan etika profesional: hubungan antara ekonomi dengan moralitas dan dampak yang dibawa mereka; studi dan pendidikan mengenai moralitas profesional dalam perdagangan, perpajakan, urusan finansial, akuntansi, dan lain sebagainya. Sedangkan bagi dunia bisnis, tahapan “membawa keteraturan kedalam kekacauan” memulai penetapan peraturan moral dan norma-norma untuk pekerja. Meskipun pada tahap ini belum ada konsep mengenai etika bisnis, keadaan telah diatur sedemikian rupa supaya etika bisnis akan dapat berkembang nantinya: satu hal yang menjadi perhatian utama masyarakat dalam kehidupan bisnis dan ekonomi, orientasi studi etika terhadap aktifitas ekonomi, ditentukannya norma-norma moral dalam berbagai profesi, meningkatnya kepentingan moral ketimbang standar politik di masyarakat, perusahaan, dan individu, dan semakin menjauh dari ketidakpedulian tentang nilai-nilai kemasyarakatan dan moralitas yang ada sebelumnya. Semua faktor tersebut membantu berkembangnya etika bisnis menuju tahap berikutnya.
1.2 Tahap 1984-1994: Etika di bidang ekonomi, bisnis, dan manajemen
Ketika “Keputusan Mengenai Reformasi Sistem Ekonomi” dikeluarkan di tahun 1984, reformasi ekonomi memasuki babak baru. Reformasi tersebut berkembang dari daerah pinggiran hingga ke kota-kota besar; mulai di bidang pertanian hingga di bidang industri, perdagangan, dan bidang-bidang ekonomi lainnya. Secara teoritis, hal ini merubah ekonomi dari keadaan ekonomi-yang-direncanakan menjadi komoditi-yang-direncanakan. Sebagai tambahan terhadap dijadikannya Hainan sebagai satu ZES baru, ada empat belas kota lain yang menjadi Kota Pantai Terbuka (KPT). Jika ekonomi yang ada pada awalnya adalah ekonomi yang direncanakan secara longgar, ekonomi di tahap kedua ini adalah ekonomi dengan komiditas terbatas. Dunia filsafat, etika, dan ekonomi telah meninggalkan tahapan “membuat yang salah menjadi benar” dan memulai studi atas permasalahan-permasalahan baru di bidang praktek reformasi. Di bawah slogan “Memperkuat konstruksi dari peradaban spiritual sosialis,” diskusi tentang bisnis dan etika bergeser menjadi lebih condong ke pendekatan yang berorientasi kepada permasalahan. Topic-topik berikut ini didiskusikan: perkembangan komoditas dan moral; reformasi ekonomi dan pergeseran moral; reformasi ekonomi dan perkembangan moral; reformasi ekonomi dan etika-etika tradisional; etika dan modernisasi; peradaban jasmani dan peradaban spiritual; ekonomi komoditas dan pendidikan moral; struktur ekonomi dan struktur moral di jaman sekarang; tantangan yang dihadapi ekonomi komoditas dan cara yang bermoral untuk menghadapinya; peraturan ekonomi dan peraturan moral; perubahan-perubahan yang minat grup-grup yang berbeda-beda; ketidak adilan dalam distribusi sosial. Topik-topik tersebut sering diprovokasi oleh permasalahan mendesak yang dibawa oleh perubahan dan kemudian didekati beragam disiplin ilmu (selain ilmu filsafat). Pembagian menurut tenaga kerja dan atau moralitas; manajemen dan etika; dan lain sebagainya. Publikasi yang berkenaan dengan hal tersebut antara lain Etika dalam Manajemen (Weng, 1988); Etika dalam Bisnis (Liu, 1994); Isu Etika di bidang Ekonomi (Li, 1995). Meskipun etika bisnis merupakan satu disiplin ilmu baru yang masih belum berkembang, lapangan studi etika bisnis sebenarnya telah ditinjau dari sudut pandang etis secara sangat menyeluruh yang mencakup semua aktifitas bisnis dan ekonomi: ekonomi, bisnis, dan manajemen.
Pada tahun 1994, reformasi memasuki tahap ketiga, yang terjadi saat ini, yaitu tahap “Menetapkan ekonomi pasar sosialis.” Sistem ekonomi dengan perencanaan tersentralisasi yang didukung kepemilikan publik tunggal dan kesatuan kepemilikan dan manajemen dirubah menjadi sistem ekonomi pasar desentralisasi dengan kepemilikan yang beragam serta pemisahan antara kepemilikan dan manajemen. Perubahan-perubahan penting umumnya terjadi di badan usaha milik Negara: badan usaha berubah menjadi badan hukum; mereka memiliki kewajiban untuk menjamin dan meningkatkan modal dari investor; dan Negara memiliki hak dan keuntungan menurut modal investasinya. Badan-badan usaha ukuran besar atau sedang yang dulunya dimiliki oleh Negara telah berubah menjadi tiga jenis: perusahaan dengan investasi Negara yang bersifat ekslusif; Perseroan Terbatas; dan perusahaan induk. Sedangkan perusahaan pemerintah berukuran kecil telah berubah menjadi banyak jenis: manajemen kontrak; perusahaan modal gabungan; atau perusahaan yang dilelang kepada individu maupun kolektif. Bukan hanya para ekonom, filsuf, dan pengusaha yang berpartisipasi dalam diskusi mengenai permasalahan-permasalahan mengenai reformasi ini, melainkan juga para pengacara dan awak media. Tahapan ini bisa dikategorikan sebagai tahap legalisasi dimana banyak peraturan hukum dibuat dan disahkan. Contohnya, hukum ketenaga kerjaan pertama di Cina! Yaitu Hukum Tenaga Kerja yang dikeluarkan pada tahun 1995. Terlebih lagi, media memainkan perananan yang semakin besar. Beragam permasalahan, seperti misalnya permasalahan mengenai kualitas produk dan polusi lingkungan yang semakin dicemaskan banyak orang, dan sering didiskusikan baik di surat kabar maupun televisi. Hal ini tentunya akan terus semakin membakar minat publik di bidang etika bisnis menjadi semakin membara. Sementara itu, reformasi juga diprovokasi oleh minat dari akademisi asing. Sebagai contohnya, kontribusi dari Dr. Tom Sorrel di tahun 1994 (Sorrel et al., 1994), Universitas Essex., dan Dr. Georges Enderle (Enderle, 1993 dan 1994), Universitas Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat.
1.4 Stimulus Etika Bisnis
Diantara empat stimulus bagi etika bisnis di hampir dua puluh tahun terakhir, kekuatan pendorong perubahan atau reformasi ekonomi merupakan stimulus yang paling kuat. Tujuan ekonomi yang terbagi, peraturan hukum bisnis baru, peningkatan jumlah pengangguran, masalah serius di bidang lingkungan, dan lain-lain; semuanya membutuhkan diskusi etika, baik bagi mereka yang setuju akan perubahan maupun yang tidak setuju. Selain faktor ini dan pengaruh etika bisnis asing, warisan etika tradisional Cina serta pengaruh filsafat dan etika Marxisme juga perlu ditambahkan.
Di etika tradisional Cina, hubungan antara “Yi” dan “Li” merupakan satu topic lama yang berulang-ulang muncul. “Li” artinya keuntungan atau laba, dan “Yi” merujuk pada prinsip atau norma dalam mendapat dan membagi keuntungan atau laba. Jadi “Yi” sebagai inti atau dasar pemikiran dalam etika tradisional Cina memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan “Li” (Cheng, 1993). Hubungan antara keduanya terlihat dalam pandangan yang mengakar dalam pada Confusius: “Seseorang dengan karakter mulia dapat memahami Yi, tapi seseorang yang dangkal pemikirannya hanya mengenal Li.” Meskipun penganut pandangan Confusius tidak sepenuhnya menentang “Li” dan bermaksud menempatkan “Yi” kedalam “Li” atau untuk mencapai “Li” dengan cara yang bermoral (yang adalah “Yi”), mereka lebih memperhatikan “Yi” ketimbang “Li”. Masyarakat Cina tidak terbiasa, dan bahkan malu, untuk membicarakan “Li.” Dengan berdasar pada “Yi” dan “Li”, dua topik lain pun dikembangkan: “Qun” (kolektif) dan “Ji” (diri sendiri), dan “Li” (alasan) dan “Yu” (hasrat) (Zhang, 1989). Meskipun begitu, dalam berjalannya reformasi ekonomi, konsep-konsep dasar dan lama mengenai “Yi” dan “Li”, serta “Qun” dan “Ji” dan “Li” dan “Yu”, sekali lagi menjadi topik yang hangat. Hubungan antara “Yi” dan “Li” menjadi pertanyaan sentral dari bisnis dan etika; konsepnya yang sangat berhubungan
mempertanyakan “efisiensi” dan “keadilan.” “Hasrat jasmani” dan “persyaratan ideal moral atau spiritual.” Terlebih lagi, topik-topik ini telah berevolusi menjadi beragam permasalahan baik pada level praktek maupun teori. Tentunya lebih dari filsafat dan etika sebelumnya, mereka akan menjadi karakter di bidang etika bisnis.
Pemahaman atas pandangan Marxisme di Cina selalu menitik beratkan pada perubahan moral sejalan dengan perubahan ekonomi, moralitas komunis, karya ideologis, dan peradaban spiritual. Semua penekanan ini memperkuat kecenderungan kepada nilai Yi ketimbang Li, dan menunjukkan dimensi moral pada perubahan atau reformasi ekonomi yang terjadi. Di sisi lain, kecenderungan ini membantu menjaga kesatuan antara “bisnis” dan “etika”; di pihak lain, reformasi atau perubahan itu sendiri menantang pandangan ini dan merangsang masyarakat untuk menggabungkan Yi dan Li pada kondisi pasar yang baru.
1.5 Usaha untuk melembagakan etika bisnis
Pada bulan Februari 1994, Asosiasi Budaya dari Perusahaan Shanghai dibentuk. Sekarang organisasi tersebut telah memiliki 160 anggota, 80 diantaranya merupakan enterprener. Enterprener ternama, Huang Guancong, adalah presiden pertama organisasi ini. Universitas Fudan mendirikan Pusat Etika Terapan yang memiliki departemen Etika Bisnis di dalamnya. Universitas Bisnis dan Keuangan Cina Selatan juga mendirikan Institut Etika Bisnis.
Fakultas Business Administration Universitas Sudan dan Sekolah Bisnis Internasional Cina-Eropa di Shanghai menawarkan kelas-kelas etika bisnis untuk para mahasiswanya, baik S-1 dan Paska Sarjana. Lebih lanjut, “Program Riset Ilmu Pengetahuan Sosial” yang didanai pemerintah pusat menjadi sarana pendukung finansial bagi studi di bidang etika bisnis; contohnya Institut Etika Bisnis yang menerima dana bantuan untuk risetnya yang bertajuk “Proposal Studi Etika Bisnis selama Periode Sosialis”.
Pertukaran diantara akademisi, diantara akademia dan dunia usaha, dan diantara pelajar Cina dan
pelajar asing pada level nasional dan internasional semakin meningkat. Di bulan Oktober 1993, pertemuan yang membahas “Pandangan Sino-Jepang terhadap Etika Praktis” diselenggarakan di Hunan. Di bulan November 1994, Institut Filsafat dari Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial Shanghai dan Perusahaan Dongfeng Shanghai menyelenggarakan pertemuan yang membahas etika bisnis bagi akademisi dan orang-orang yang bergelut di dunia bisnis yang lebih lanjut membahas isu-isu yang diantaranya: Apakah warga Cina memang membutuhkan etika bisnis? Apakah yang menjadi isu penting untuk etika bisnis di Cina? Apakah hubungan antara etika bisnis dan perkembangan sosial di Cina? Pada bulan Mei 1995, Pusat Etika Terapan di Universitas Fudan dan Asosiasi Budaya dari Perusahaan Shanghai mengadakan seminar tentang ide-ide moral di bidang manajemen, peranan moralitas dalam pembuatan keputusan dan manajemen di bawah kondisi pasar, serta status moral dari bisnis-bisnis yang ada. Pada musim semi tahun 1995, Pusat Etika Terapan Universitas Fudan melakukan studi empiris tentang persepsi etika kalangan bisnis di Cina Timur (Wu, 1996). Di bulan Oktober 1996, Konferensi Anti-Korupsi Internasional yang Ketujuh diselenggarakan di Beijing. Pada “Simposium Etika Praktis Sino-Jepang yang Kesembilan” etika bisnis dan hubungannya dengan etika keluarga, etika manajemen, dan etika lingkungan juga dibahas. Pada musim panas tahun 1996, Dewan Riset mengenai Nilai dan Filsafat serta Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial Cina bersama menyelenggarakan seminar tentang “Etika Ekonomi Amerika dan Cina”, sedang pada bulan April 1997, “Konferensi Internasional Etika Bisnis Beijing 1997” yang mengumpulkan kurang lebih 150 peserta dari bidang bisnis dan akademis diselenggarakan dibawah arahan dari Institut Filsafat di Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial Cina.
Sedangkan tentang publikasi yang dikeluarkan pada dua tahun terakhir, beberapa artikel mengenai perkembangan etika bisnis di Barat (Lu, 1994) muncul bersamaan dengan beberapa terjemahan dari artikel mengenai etika bisnis dunia barat, begitu juga beberapa usaha untuk mengembangkan kerangka etika bisnis berdasarkan sudut pandang Cina (Wang, 1994) telah dilakukan.
2. Tantangan-tantangan utama terhadap etika bisnis di Cina 2. 1. Permasalahan Utama dalam praktik etika bisnis
2.1.1 Permasalahan sistem ekonomi
Karena reformasi utamanya hanya dalam hal sistem ekonomi, sebagian besar dari permasalahan etis yang berhubungan pada tingkat sistemik, beberapa diantaranya sangat penting.
Mempertegas peranan pasar sambil terus menjaga peran penting pemerintah di bidang ekonomi. Proses
reformasi memerlukan dikuranginya peranan pemerintah dalam pelaksanaan ekonomi, dan memperkuat pengaturan pasar ekonomi. Namun, karena pemerintah adalah perwakilan dari kekayaan milik Negara, pemerintah seharusnya menjalankan perannya dengan jalan mengambil tanggung jawab manajerial di perusahaan-perusahaan milik Negara ketimbang hanya sekedar mengambil keuntungan dari perusahaan-perusahaan tersebut. Terlebih lagi, karena pemerintah adalah target sekaligus pemimpin dari reformasi, maka ia memiliki kesulitan dalam hal bagaimana menghadapi pasar – dan segala permasalahannya yang berhubungan dengan perusahaan-perusahaan.
Menjaga posisi dominan atas hak milik publik sambil tetap memastikan adanya persaingan yang adil.
Sebagaimana yang diperlukan pasar, perlu ada diversifikasi kepemilikan. Beragam tipe kepemilikan dapat hidup berdampingan dan berkembang bersama dalam kondisi dimana ada persaingan yang adil. Tetapi, bagaimanapun juga reformasi ditujukan untuk menjaga posisi dominan atas hak milik publik. Kemudian pertanyaan yang muncul adalah bagaimana posisi yang dominan dapat dijaga sementara persaingan yang adil dengan segala tipe kepemilikan lainnya bisa dipastikan ada? Bagaimana jalan agar manfaat dari hak-milik-negara dapat ditampilkan sementara persaingan yang adil tetap dijaga dan pihak penguasa administratif tidak menyalahgunakan hak milik tersebut untuk mendesak posisinya yang dominan? Tidak diragukan lagi, ini adalah hal yang sangat sulit.
Membuka pasar tenaga kerja sementara menjunjung tinggi peran utama tenaga kerja terhadap Negara.
Dalam proses perubahan sistem ketenagakerjaan dan pembukaan pasar tenaga kerja, ada sekitar seratus juta pengangguran di daerah pedesaan, dan kurang lebih sepuluh juta di perkotaan. Bila perusahaan-perusahaan terus memilih untuk mempekerjakan tenaga kerja di perkotaan, maka reformasi di perusahaan akan gagal, dan perusahaan yang baru tidak mampu untuk menanggung beban yang berat seperti itu. Lebih lanjut, lebih mudah bagi tenaga kerja dari pedesaan untuk menemukan pekerjaan di kota, karena mereka mau menerima upah yang lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja dari perkotaan. Contohnya, pada tahun 1996 Shanghai memiliki dua juta tenaga kerja pengangguran, tetapi dua juta enam puluh ribu pekerjaan ditawarkan kepada tenaga kerja non-lokal.
Memungkinkan beberapa orang dan daerah untuk menjadi lebih kaya dari yang lainnya sambil tetap berbagi kesejahteraan yang setara. Kebanyakan orang berpikir bahwa mengijinkan beberapa orang atau
daerah untuk menjadi lebih kaya dari yang lain adalah bukan hal yang salah. Tetapi, mereka sebenarnya peduli tentang siapa yang menjadi kaya, dan dengan jalan apa. Terlebih, apa hubungan yang lebih kaya dengan yang lainnya? Kenapa dan bagaimana masyarakat Cina mencapai tujuan kesejahteraan setara? Apakah membantu yang miskin berarti sama dengan membantu yang terbelakang? Kenapa dan
bagaimana orang-orang yang menjadi kaya pertama-tama memberikan kontribusi kepada kesejahteraan yang setara? Apakah yang dimaksud dengan pembagian pemasukan dan kekayaan yang tidak adil, tidak hanya dari segi hukum melainkan juga dari sudut pandang etika? Apakah kaum cendekia dan pejabat pemerintah di jaman Cina kontemporer yang diperlakukan paling tidak adil? Haruskah pemerintah ikut campur dalam hal pembagian, dan menurut kriteria etika yang mana?
Mengadakan sistem jaminan sosial yang adil. Dalam sistem ekonomi yang direncanakan secara
terpusat, masyarakat mendapatkan pekerjaan, upah, dan jaminan sosial sekali dan berlaku selamanya. Tetapi sekarang keadaan sudah berubah, pihak yang mempekerjakan dapat memberhentikan pekerjanya; perbedaan upah menjadi lebih kentara; jaminan sosial harus dibagi antara Negara, perusahaan, dan induvidu. Apakah yang dibutuhkan oleh keadilan untuk membagi semua beban ini?
Mencegah pengekonomisasian masyarakat. Dalam lingkup apakah pasar semestinya beroperasi? Dalam
lingkup apa sajakah pasar semestinya dikecualikan? Apakah benar untuk berkata, “segalanya adalah demi uang”, ataukah pernyataan ini hanya benar dan berlaku bagi pasar saja? Apakah bekerja di lapangan seperti seni, rumah sakit, dan media berarti sama dengan bekerja di perusahaan yang beroperasi di pasar? Kalau tidak, bagaimana mereka mempertanggung jawabkan keuntungan dan kerugian mereka?
Perkembangan ekonomi berjalan harmonis dengan perkembangan sosial. Sejak tahun 1978, ekonomi
domestic Cina telah sangat berkembang. Namun, perkembangan di bidang politik dan budaya tidak berjalan dalam kecepatan yang setara. Jadi sekarang panggilan untuk perkembangan sosial yang harmonis mulai didengar. Tetapi, apakah yang sebenarnya dimaksud dengan “perkembangan sosial yang harmonis”? Apakah masyarakat yang secara alami telah bertumbuh berdasarkan pasar adalah harmonis? Jika tidak, apa yang akan kita jadikan patokan untuk mengenali harmoni itu sendiri? Bagaimana kita bisa menghubungkan perkembangan di bidang politik dan budaya tanpa membahayakan kondisi lingkungan, prasarana, serta ekologi sambil tetap mengembangkan ekonomi? Bagaimana kita bisa terus mengejar tujuan modernisasi tanpa melakukan kesalahan yang sama dengan yang telah dilakukan Negara-negara maju sebelumnya?
Seperti yang telah disebutkan di bagian pertama, topik sentral dari etika bisnis adalah hubungan antara “Yi” dan “Li”, atau antara bisnis dan etika. Topik ini dimanifestasikan sebagai masalah keadilan dan efisiensi pada level sistemik. Apa yang diangkat topik-topik diatas adalah apakah yang perlu dibangun adalah suatu sistem yang merupakan kesatuan dari efisiensi dan keadilan, atau sistem yang merupakan kesatuan antara fungsi dan moralitas. Juga bagaimana cara melaksanakannya. Menurut pandangan saya, adalah tugas dari etika sistem untuk membantu supaya sistem tersebut tadi dapat dicapai.
2.1.2 Permasalahan etika korporasi
Dekade 1990-an menjadi saksi banyaknya korporasi yang bermunculan di daratan Cina. Dengan cepat, masalah etika korporasi akan menjadi pokok dari etika bisnis di Cina, terutama permasalahan di perusahaan milik Negara berukuran besar dan sedang.
Pemisahan antara perusahaan dan pemerintah. Yang dulunya dikenal sebagai Biro-Biro Industri telah
diganti dengan grup perusahaan-perusahaan induk, dan komite pengurus kekayaan milik Negara pun telah dibentuk. Reformasi ini bertujuan untuk memisahkan perusahaan dari pemerintah untuk memperjelas hak milik atas kekayaan untuk membangun satu struktur ekonomi yang berdiversifikasi. Namun, ada pepatah yang mengatakan, “mengganti biro dengan komite itu sama seperti ibu mertua menjadi ibu sendiri”. Tanggung jawab dari komite adalah untuk menjamin dan meningkatkan kekayaan
Negara, tetapi apakah yang menjadi hak dari komite? Dan bagaimana mereka semestinya menggunakan hak tersebut? Hubungan seperti apakah yang pantas ada antara komite dengan perusahaan? Apakah perusahaan merupakan agen independen? Apakah yang menjadi tanggung jawab secara etika yang mesti diketahui dan dilakukan oleh perusahaan? Masalah-masalah inilah yang tidak hanya bersifat ekonomi, namun juga bersifat etika.
Tanggung jawab sosial. Perusahaan-perusahaan milik Negara sudah menjadi suatu bentuk masyarakat
tersendiri. Atas nama pemerintah, mereka telah terbiasa – hingga sampai saat ini – untuk menanggung beban tanggung jawab bagi semua anggotanya, mulai dari perumahan dan pelayanan pengobatan hingga sampai pembayaran pension. Contohnya, di satu perusahaan kaca, diantara 6000 orang anggotanya, ada 3000 pensiunan pekerja yang biaya pengobatannya mencapai dua juta Yuan per tahunnya (selain berbagai biaya lainnya untuk keperluan mereka, seperti biaya transport, perumahan, dana pension, dll). Dengan beban yang berat seperti itu, bagaimana perusahaan-perusahaan ini dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain yang beda kepemilikannya?
Tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan. Polusi lingkungan merupakan satu masalah yang
serius. Dan masih ada beberapa firma bisnis dan pengusaha yang tidak menyadari tanggung jawab mereka terhadap lingkungan. Meskipun beberapa memang sudah menyadari tanggung jawabnya, namun mereka kekurangan dana untuk merekonstruksi bisnis mereka untuk menjadi ramah lingkungan. Melalui beberapa peraturan hukum yang berhubungan dengan masalah ini yang telah dikeluarkan baru-baru ini, mulai lebih banyak orang menunjukkan perhatian yang besar terhadap masalah ini; tetapi bagaimanapunnjuga, masih banyak yang perlu dilakukan baik oleh instansi-instansi bisnis maupun pemerintah sehubungan dengan masalah ini.
Banyak permasalahan etika yang membingungkan memusingkan para pengusaha. Akan saya sebutkan
tiga diantaranya. Yang pertama adalah kualitas produk. Ini menunjukkan kualitas dari perusahaan serta tugas dari pejabat-pejabat pemerintah lokal. Kebanyakan dari perusahan milik Negara berukuran sedang hingga besar menyadari hal ini dan bekerja dengan jujur, meskipun beberapa partner mereka tidak melakukan hal yang sama. Kemudian bagaimana mereka harus bersikap terhadap partner yang berlaku seperti itu? Apakah yang menjadi tanggung jawab pemerintah lokal pada situasi seperti ini? Bagaimanakan hal ini mengembangkan ekonomi lokal dari aspek hukum? Yang kedua adalah hutang segitiga. Untuk menduduki pasar-pasar tertentu, beberapa perusahaan – di luar kemauan mereka – berhutang dalam jumlah yang sangat besar. Untuk kasus ini, mereka lebih memprioritaskan efisiensi ketimbang pertimbangan moral. Apakah mereka dapat dibenarkan? Dan jika tidak benar, jadi apa yang seharusnya mereka lakukan? Yang ketiga adalah berikut ini: Pada situasi yang sulit, haruskan mereka menolong partner mereka? Biasanya mereka akan menjawab “ya”. Tetapi, haruskah mereka melakukannya di dalam situasi dimana bantuan ini – yang akan mereka berikan – akan menguntungkan perusahaan mereka sendiri, yang artinya mementingkan pegawai dan pemegang saham mereka? Perkembangan sistem korporasi kontemporer membawa peningkatan jumlah masalah di level perusahaan meskipun beberapa diantaranya selalu membawa hubungan dengan peraturan dari sistem ekonomi.
2.1.3 Permasalahan etika dari manajemen
Sejumlah besar permasalahan muncul pada tahap ini: perlakuan berbeda dari pegawai yang berbeda; manajer umum (general manager) melawan manajer-manajer / kepala-kepala bagian; tenaga kerja lokal dan non-lokal; hubungan antara pria dan wanita; mempertahankan integritas pribadi di dalam pasar yang kompetitif; dilema di antara “etika yang baik” dan “bisnis yang baik”; karirisme, dll.
2.1.4 Permasalahan Hubungan Bisnis Internasional
Kebijakan “Pintu Terbuka” bertujuan untuk memelihara investasi asing. Namun, kebijakan tersebut melibatkan hal-hal yang semestinya dipahami oleh kedua belah pihak, baik masyarakat Cina maupun asing (sebagai contoh, pengamatan yang menarik bisa ditemukan di De George, 1993, chapter 8).
Mendukung perusahaan asing sambil terus mengembangkan industri nasional Cina sendiri. Apakah
perusahaan asing mesti didorong untuk menduduki pasar yang sebelumnya dipegang oleh perusahaan-perusahaan nasional Cina? Apakah memberikan perlakuan istimewa kepada perusahaan-perusahaan asing sementara perusahaan nasional tidak menerima perlakuan yang sama adalah hal yang baik dan adil? Jika ya, bagaimana perusahaan-perusahaan Cina dapat bersaing dengan perusahaan asing, dengan menilik fakta bahwa teknologi dan kemampuan manajemen mereka sering tertinggal dibelakang perusahaan asing?
Mencari teknologi modern dan bersaing dengan bisnis internasional. Kadang terjadi, beberapa investor
asing memasok teknologi yang tidak terlalu modern, atau bahkan teknologi yang sudah ketinggalan jaman; mereka menggantikan yang lama dengan yang baru, yang jelek dengan yang bagus dan harga-rendah dengan harga-tinggi. Menurut criteria apakah Cina semestinya memisahkan antara yang investasi asing yang “baik” dan “buruk”?
Mencari modal asing dan perlindungan tenaga kerja. Kebanyakan dari permasalahan etika yang serius
dan mendesak disebabkan antara lain oleh kondisi ketenaga kerjaan yang buruk dan tidak dapat diterima, pekerjaan yang intens dengan bayaran rendah, dan penghinaan terhadap pekerja. Meskipun telah ada Hukum Ketenaga Kerjaan yang mencakup peraturan-peraturan tentang perlindungan tenaga kerja, beberapa pejabat pemerintah hanya sekedar mencari investor asing tanpa memperhatikan peraturan-peraturan ketenaga kerjaan yang sudah ada tadi. Oleh karenanya, timbul pertanyaan: apakah modal asing lebih berharga dibanding pertimbangan moral masyarakat? Bagaimana dengan kewajiban pejabat pemerintah untuk tunduk terhadap peraturan yang berlaku? Yang manakah yang termasuk kejahatan yang lebih kecil: Perlakuan yang buruk terhadap pekerja, atau tidak ada pekerjaan sama sekali?
Merekonsiliasi persaingan antara perusahaan Cina dan kebudayaan Cina kolektif. Sayangnya,
pengamatan seorang penulis Barat yang tertulis berikut adalah benar adanya: “Di satu sisi, perusahaan-perusahaan Cina melihat satu sama lain sebagai musuh, karena mereka berbagi pasar yang sama; ini adalah satu permainan ‘zero-sum’ dimana keuntungan yang didapat satu pihak berarti kehilangan bagi pihak yang satunya. Di sisi lain, kebudayaan kolektif mendesak mereka untuk membangun hubungan yang dapat diperpanjang ke kompetitornya.” Atau seperti yang disebut oleh orang Cina, “Jadi investor ‘banteng’ yang optimis dan memprediksikan kenaikan pasar, dan saling bunuh!” Contohnya, ada lebih dari 1000 perusahaan Cina yang mengekspor sepatu ke luar negeri. Karena ada desentralisasi, setiap perusahaan mempunyai hak untuk mengekspor produknya, dan setiap perusahaan bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian mereka. Oleh karena itulah ada kompetisi ganas diantara mereka, dan mereka mesti menjawab tantangan itu. Bagaimana mereka mendamaikan tanggung jawab mereka terhadap perusahaan dan terhadap Negara? Meskipun mereka memiliki sedikit pengalaman tentang cara-cara barat kontemporer untuk berbisnis, mereka tetap perlu mempelajari dan mempertimbangkan praktek-praktek baru ini ketika mereka memasuki pasar internasional.
Semua permasalahan dan tantangan ini tidak hanya dihadapi oleh kaum pebisnis Cina, tetapi juga oleh para akademisi yang semestinya memeriksa dan mempelajarinya secara mendalah dan mengambil langkah lebih jauh dari sekedar mendiskusikan perubahan pasar dalam konteks umum.