• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Transkultural Persepsi Kesehatan Ibu Dengan Balita ISPA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Faktor Transkultural Persepsi Kesehatan Ibu Dengan Balita ISPA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Faktor Transkultural Persepsi Kesehatan Ibu Dengan Balita ISPA

Transcultural Factors Towards The Mother Perception Of The Helath Of Toddler Whith Acute RRespiration Disease (ARD)

Dina Andriani BR Karo 1, Bakhtiar2, Teuku Tahlil1

1Magister Keperawatan, Program Pascasarjana, Universitas Syiah Kuala 2

Bagaian Pediatri, Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala

Abstrak

Keperawatan transkultural merupakan suatu area utama keperawatan yang berfokus pada aspek budaya dan sub budaya yang berbeda, yang menghargai perilaku caring, layanan keperawatan, nilai-nilai, keyakinan tentang sehat dan sakit, serta pola-pola tingkah laku yang bertujuan mengembangkan body of

knowledge yang ilmia dan humanistik guna memberi tempat praktik keperawatan pada budaya tertentu.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor transkultural terhadap persepsi tentang kesehatan pada ibu dengan balita ISPA. Penelitian ini bersifat kuantitatif yang menggunakan desain korelasional dengan pendekatan cross sectional. Tehnik pengumpulan sampel yang digunakan propotional

sampling terhadap 100 ibu dengan balita ISPA di Kota Banda Aceh.Analisa data dilakukan dengan uji Regresi Logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor teknologi, nilai budaya dan gaya hidup, peraturan dan

kebijakan, ekonomi dan pendidikan berpengaruh terhadap persepsi ibu dengan balita ISPA (p< 0.05) , sedangkan faktor keagamaan dan falsafah hidup, sosial dan kekerabatan tidak berpengaruh terhadap persepsi ibu dengan balita ISPA (p>0.05). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak semua faktor transkultural mempengaruhi persepsi ibu dengan Balita ISPA. Direkomendasikan kepada Puskesmas dan pihak terkait dapat meningkatkan persepsi kesehatan terhadap ibu dalam penanganan ISPA pada Balita.

Kata kunci:Transkultural, ISPA, Ibu

Abstract

Transcultural nursing is a main area of nursing that focuses on different cultural and sub-cultural aspects, that appreciates caring behaviors, nursing services, values, beliefs about health and illnes, and behaviorel patterns that aim to develop scientific and humanistic body of knowledge, in order to give a nursing practice in particular cultures. The purpose of this study was to find out the influence of transcultural factors towards the mother perception of the health of toddlers with Acute Respiratory Disease (ARD). This study was qualitative study that used correlational design with cross sectional approach. Sampling technique used was propotional sampling with the number of respondents of 100mothers with toddler with ARD in Banda Aceh City. Data was analyzed by logistic regression. The results of the study showed that the technology, cultural value and life style, rules and policies, economic, and education factors influenced the mother perception of the health toddlers with ARD (p<0.05), while the religion and philosophy of life, social and kinship factors did not influence the mother perception of the health toddlers with ARD (p>0.05). Based on this study, it can be conclude that not all transcultural factors influences the mother perception of the health toddlers with ARD. It is recommended to community health centers and related institutions to be able to improve the mother perception of the health in handling the ARD of toddlers.

Keywords: Transcultural, ARD, Toddler, and Mother

* Korespondensi :

Mariyati, Magister Keperawatan Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Email : dinabrkaro@gmail.com

(2)

Pendahuluan

Infeksi Saluran Pernafasan Akut(ISPA) merupakan masalah utama yang paling umum terjadi di pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit.World Health

Organization (WHO) menyatakan bahwa

pada tahun 2012 di dunia kasus ISPA pada balita sebanyak 78%. WHO juga melapor bahwa pada tahun 2012 seperlima dari kematian balita atau sekitar 12 juta balita di negara berkembang seperti Bangladesh, India, Indonesia, Myanmar dan Nepal disebabkan ISPA. Angka kematian balita akibat ISPA di negara berkembang tersebut merupakan 40% dari angka kematian balita akibat ISPA didunia (WHO, 2012).

Persentase balita yang mengalami ISPA di Indonesia pada tahun 2012 adalah 18.2% dan meningkat pada tahun 2013 menjadi 38.8%. Di Provinsi Aceh, prevalensi ISPA pada tahun 2012 tercatat sebesar 63,78% dan meningkat menjadi 70,36%, pada tahun 2013. ISPA merupakan urutan pertama dari 10 jenis penyakit menular pada balita di Aceh. Data dari Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, menunjukkan bahwa prevalensi ISPA di Kota Banda Aceh adalah 50,91% pada tahun 2012 dan 46,8% pada tahun 2013, ISPA menduduki urutan pertama dari 10 jenis penyakit

menular pada balita di Kota Banda Aceh (Dinas Kesehatan Aceh, 2013).

Prevalensi ISPA pada balita yang tinggi merupakan masalah kesehatan yang serius. Kebiasaan masyarakat yang menganggap penyakit ISPA atau lebih dikenal sebagai penyakit batuk dan pilek sebagai akibat pergantian musim yang biasa dan ringan

memberikan kontribusi meningkatnya

prevalensi penyakit ISPA secara signifikan. Padahal penyakit ISPA apabila tidak ditangani

dengan serius dapat mengakibatkan

komplikasi yang fatal terutama pada balita (Depkes RI, 2002).

Selain dari pada itu peningkatan prevalensi ISPA pada balita tidak terlepas dari kebiasaan atau budaya yang diyakini oleh masyarakat dalam merawat balita yang menderita ISPA. Umumnya masyarakat atau keluarga dengan anak balita yang mengalami ISPA cenderung melakukan pengobatan sendiri seperti membeli obat batuk dan pilek di toko obat atau memberikan pengobatan tradisional. Padahal penyakit ISPA dengan gejala batuk dan pilek yang tidak sembuh dalam tiga hari

memerlukan antibiotik dalam

penanganannya, melalui pemeriksaan

kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan seperti Puskesmas. Perilaku masyarakat atau keluarga dalam memanfaatkan fasilitas

(3)

pelayanan kesehatan yang ada seperti Puskesmas sangat dipengaruhi oleh budaya atau kultur masyarakat ditempat keluarga tersebut tinggal (Depkes RI, 2002).

Kondisi seperti yang digambarkan di atas juga diperkuat dengan studi pendahuluan melalui wawancara yang peneliti lakukan terhadap 10 orang ibu yang memiliki balita dengan ISPA atau batuk dan pilek diwilayah KecamatanBanda Raya dan Kecamatan Jaya BaruKota Banda Aceh. Hasil wawancara tersebutmengidentifikasikan bahwa 30% besar ibu-ibu yang memiliki balita dengan ISPA atau batuk dan pilek akan membeli obat sendiri ke toko obat karena mereka menganggap ISPA merupakan penyakit yang biasa dan ringan. Selanjutnya juga 50% besar ibu-ibu tersebut mengatakan bahwa penyakit batuk dan pilek menandakan anaknya mau bertambah besar, 20% ibu membawa anaknya kedokter untuk mengobatan lebih lanjut.

Merujuk pada hasil studi pendahuluan tentang penanganan ISPA pada balita oleh keluarga di atas, makadirasa perluuntuk memperdalam konteks sosial budaya yaitu memahami kontribusi faktor-faktor sosial budaya dalamperawatanbalita dengan ISPA, khususnya di Kota Banda Aceh. Dengan memahamisituasi ini, diharapkan dapat

membantu keluarga untuk merawat balita, sehingga memberikan kontribusi untuk meningkatkan kualitas kesehatan keluarga Model yang paling tepat untuk memahami pengaruh faktor-faktor dimensi sosial budaya terhadap kesehatan khususnya balita dengan ISPA adalah Sunrise Modelyang dikemukakan oleh Madeleine Leininger(1981, dikutip Tomey & Alligood, 2006). Model ini mengidentifikasi sejumlah faktor sosial

budaya (transkultural) yang dapat

mempengaruhi kesehatan dan terjadinya penyakit pada individu, keluarga dan masyarakat yaitu faktor teknologi, agama dan filsafat, hubungan kekerabatan dan sosial, nilai-nilai budaya dan gaya hidup, politik dan hukum, ekonomi dan pendidikan ini penting terutama dalam perawatan balita dengan ISPA, karena lingkungan dan budaya secara

langsung berpengaruh pada standar

perawatan yang diberikan keluarga kepada balita dengan ISPA (Sagar, 2012).

Leininger (1981, dikutip Tomey & Alligood,

2006) mengatakan bahwa budaya

mempunyai pengaruh luas terhadap

kehidupan suatu keluarga. Hal ini dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku kesehatan keluarga tersebut yang meliputi kebiasaan hidup sehari-hari, pekerjaan, pergaulan sosial, praktik kesehatan,

(4)

pendidikan anak, ekspresi perasaan, hubungan keibuaan, peranan masing-masing orang menurut umur. Lebih lanjut Leininger menyatakan bahwa bentuk dari keyakinan, nilai-nilai, kultur dan norma yang ada didalam keluarga dapat mempengaruhi derajat kesehatan keluarga tersebut.

Penelitian tentang transkultural dan perawatan balita dengan ISPA yang dilakukan oleh Silva, Silva dan Reis (2010) menunjukkan bahwa dimensibudaya dan sosialibu-ibu

dengan anak yang menderita ISPA

dipengaruhiolehfaktor teknologi, agama, filsafat, kekerabatan, nilai-nilai budaya, gaya hidup, sertafaktorekonomi dan pendidikan.

Hasil penelitian tersebut juga

menggambarkan bahwa faktor teknologi, agama dan filsafat, kekerabatan dan kehidupan sosial memfasilitasi atau mendukung ibu-ibu di Distrik Cascadura, Rio de Janeiro, Brazil untuk memberikan perawatan kepada balita dengan ISPA. Sedangkan faktor nilai-nilai budaya dan gaya hidup, lingkungan rumah, faktor ekonomi dan pendidikan menghambat ibu dalam

memberikan perawatan kepada balita

dengan ISPA. Faktor-faktor sosial dan

ekonomi yang menghambat proses

perawatan balita dengan ISPA karena tingkat pendidikan yang rendah dan pendapatan keluarga yang rendah sangat terkait dengan

kerentanan anak-anak terhadap ISPA. Selain itu, perawatan yang diberikan ibu pada balita dengan ISPA. Hasil penelitian tersebut mengidentifikasi bahwa beberapa ibu tidak peduli terhadap paparan pada anak-anak yang rentan terhadap reaksi alergi, seperti asma dan rinitis alergi seperti debu, kutu, dan bulu binatang (Silva, Silva dan Reis, 2010). Melihat pentingnya pengaruh aspek sosial budaya keluarga terhadap kesehatan balita dengan ISPA seperti yang telah diuraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk lebih mendalami dan mengetahui pengaruh faktor-faktor transkultural terhadap persepsi tentang kesehatan pada keluarga balita dengan ISPA di Kota Banda Aceh tahun 2014. Metodelogi

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang menggunakan desain korelasional dengan pendekatan cross sectional. Pada penelitian ini pengukuran dilakukan satu kali dalam waktu yang bersamaan dengan menggunakan alat ukur berupa kuesioner untuk mengetahui pengaruh faktor-faktortranskultural terhadap persepsi tentang kesehatan pada ibuPopulasi dan sampel

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang akan diteliti (Dharma, 2011). Jumlah

(5)

balita yang menderita ISPA dari bulan Mei 2013 sampai dengan April 2014 untuk masing-masing Puskesmas di Kota Banda Aceh adalah 13.042. Penelitian ini menggunakan perhitungan besar sampel menggunakan rumus Slovin (1960), dalam Dharma 2011) yang berjumlah 100 ibu, Teknik pengambilan menggunakan rumus

propotional sampling(Dharma, 2011).

Instrumen dari penelitian ini berbentuk lembar kuesioner telah melewati uji validitas dan reliabilitas dengan menggunakan Cronbach alfa dengan nilai >0,80.

Penelitian ini dilaksanakan di beberapa Puskesmas di Kota Banda Aceh. Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai Oktober 2014 dimulai penyusunan proposal, pengumpulan data dilanjutkan dengan pengolahan hasil serta penulisan laporan penelitian. Adapun waktu pengambilan data penelitian adalah dari tanggal 8 sampai 22 September2014

Hasil

Karakteristik responden penelitian

ditunjukkan pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa dari 100 orang ibu dengan balita ISPA yang menjadi responden, mayoritas berumur antara 20-35 tahun (71%), dan mempunyai pendapatan ibu per bulan 1.550.000-3.100.000 ( 69%), dan

sangat banyak yang berpendidikan SMA (83%) serta bersuku Aceh (89%).

Tabel 1 - Karakteristik Ibu Dengan Balita ISPA diKota Banda Aceh Tahun 2014 (n = 100)

Karakteristik Jumlah F % Usia 1. 20-35 Tahun 71 71 2. 36-45 Tahun 17 17 3. 46-60 Tahun 12 12 Tingkat Pendidikan 1. SMP 5 5 2. SMA 83 83 3. Perguruan Tinggi (PT) 12 12 Penghasilan perbulan 1. < 1.550.000 10 10 2. 1.550.000-3.100.000 69 69 3. > 3.100.000 21 21 Suku 1. Aceh 89 89 2. Non Aceh 11 11

Persepsi Ibu yang mempunyai balita ditunjukkan pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2 - Ibu Dengan Balita ISPA berdasarkan Persepsi Kesehatan Di Kota Banda Aceh 2014

Persepsi Kesehatan Ibu Frekuensi (f) Persentase (%) Baik 60 60 Kurang 40 40

Berdasarkan tabel 2 di atas, maka dapat diketahui bahwa kebanyakanibu dengan balita ISPA (60%) mempunyai persepsi kesehatan yang baik.

(6)

Faktor-faktor Transkultural Terhadap Persepsi Kesehatan Pada Ibu Dengan Balita ISPA ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 - Faktor-faktor Transkultural Terhadap Persepsi Kesehatan Pada Ibu Dengan Balita ISPA Di Kota Banda Aceh

Variabel Jumlah F % Faktor Teknologi 1. Baik 42 42 2. Cukup 24 24 3. Kurang 34 34

Faktor Keagamaan dan Falsafah Hidup

1. Baik 39 39

2. Cukup 23 23

3. Kurang 38 38

Faktor Sosial dan Kekerabatan

1. Baik 46 46

2. Cukup 26 26

3. Kurang 28 28

Faktor Nilai Budaya dan Gaya Hidup

1. Baik 38 38

2. Cukup 32 32

3. Kurang 30 30

Faktor Peraturan dan Kebijakan 1. Baik 58 58 2. Cukup 22 22 3. Kurang 20 20 Faktor Ekonomi 1. Baik 34 34 2. Cukup 30 30 3. Kurang 36 36 Faktor Pendidikan 1. Baik 42 42 2. Cukup 34 34 3. Kurang 24 24

Tabel 3 diatas menunjukkan bahwa

kebanyakan ibu yang mempunyai balita dengan ISPA di wilayah kerja Puskesmas

Banda Aceh mempunyai pemahaman yang baik terhadap faktor peraturan dan kebijakan (58%), namun hanya beberpa yang memiliki pandangan yang baik terhadap faktor teknologi (42%), keagamaan dan falsafah hidup (39%), social dan kekerabatan (46%), nilai budaya dan gaya hidup (38%), ekonomi (34%), danpendidikan (42%).

Hubungan faktor-faktor transkultural dengan persepsi Ibu Balita ISPA digambarkan pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara persepsi kesehatan ibu dengan faktor teknologi (p=0.000), keagamaan dan falsafah hidup (p=0.000), sosial dan kekerabatan (p=0.001), nilai budaya dan gaya hidup (p=0.000), peraturan dan kebijakan (p=0.011), ekonomi (p=0.000) dan pendidikan (p=0.013).

Tabel 4 - Hubungan Faktor-faktor Transkultural Dengan Persepsi Ibu Di Kota Banda Aceh (n = 60)

Faktor-faktor Transkultura l Persepsi Ibu Total p-value Baik Kuran g n(%) n(%) n(%) 1. Teknologi a. Baik 37(61.7) 5(12.5) 42(42) 0.000 b. Cukup 18(30) 6(15) 24(24) c. Kurang 5(8.3) 29(72.5) 34(34) 2. Keagamaan dan falsafah hidup

a. Baik 31(51.7 ) 8(20) 39(39) 0.000 b. Cukup 21(35) 2(5) 23(23) c. Kurang 8(13.3) 30(5) 38(38) 3. Sosial dan kekerabatan

(7)

a. Baik 31(51.7) 15 (37.5) 46(46) 0.001 b. Cukup 20(33.3) 6 (15) 2626) c. Kurang 9(15) 19 (47).5 28(280 4. Nilai budaya dan gaya hidup

a. Baik 35(58.3) 3(7.5) 38(38)

0.000 b. Cukup 22(36.7) 10(25) 32(32)

c. Kurang 3(5) 27(67.5) 30(30) 5. Peraturan dan kebijakan

a. Baik 42(70) 16(40) 58(58) 0.011 b. Cukup 9(15) 13(2.5) 22(22) c. Kurang 9(15) 11(27.5) 20(20) 6. Ekonomi a. Baik 28(46.7) 6(15) 34(34) 0.000 b. Cukup 26(43.3) 4(10) 30(30) c. Kurang 6(10) 30(75) 36(36) 7. Pendidikan a. Baik 32(53.3) 10(25) 42(42) 0.013 b. Cukup 18(30) 16(40) 34(34) c. Kurang 10(16.7) 14(35) 24(24)

Pengaruh faktor-faktor Transkultural Terhadap Persepsi Tentang Kesehatan Pada Ibu Dengan Balita ISPA digambarkan dalam Tabel 5. Tabel 5 menunjukkan bahwa secara statistik faktor Agama (B = 0.28, 95% CI = 0.50-3.50) dan sosial (B = 0.49, 95% CI = 0.63-4.32) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap persepsiibu dengan Balita ISPA (p>0.05), sedangkan faktor teknologi (B = 1.24, 95% CI = 1.28-9.42), nilai budaya dan gaya hidup (B = 1.37, 95% CI = 1.27-12.21) , peraturan dan kebijakan (B = 1.25, 95% CI = 1.24-9.32), ekonomi (B = 1.28, 95% CI = 1.10-11.81) pendidikan (B = 1.34, 95% CI =

1.29-11.48) mempunyai pengaruh yang signifikan (p ≤ 0.05) terhadap persepsi kesehatan pada ibu dengan BalitaISPA.

Tabel 5 - Pengaruh Faktor-faktor Transkultural Terhadap Persepsi Tentang Kesehatan Pada Ibu Dengan Balita ISPA Di Kota Banda Aceh

No Variabel B 95% C.I p-Value 1 Teknologi 1.246 1.28-9.42 0.014 2 Agama dan falsafah hidup 0.282 0.50-3.50 0.569 3 Sosial dan kekerabatan 0.497 0.63-4.32 0.313 4 Nilai budaya dan gaya hidup

1.373 1.27-12.21 0.017 5 Peraturan dan kebijakan 1.225 1.24-9.32 0.017 6 Ekonomi 1.283 1.10-11.81 0.034 7 Pendidikan 1.349 1.29-11.48 0.015 Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor transkultural yaitu faktor teknologi, keagamaan dan falsafah hidup, sosial dan kekerabatan, nilai budaya dan gaya hidup, peraturan dan kebijakan, ekonomi dan pendidikan terhadap persepsi tentang kesehatan pada ibu dengan balita ISPA di Kota Banda Aceh. Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor transkultural mempengaruhi persepsi tentang kesehatan pada ibu dengan balita

(8)

ISPA. Adapun penjelasan rinci mengenai pengaruh faktor-faktor transkultural terhadap persepsi tentang kesehatan pada ibu dengan balita ISPA untuk setiap variabelnya adalah sebagai berikut.

Hasil analisa statistik untuk faktor teknologi diketahui bahwa sebagian besar ibu balita dengan ISPA yaitu 61.7%memiliki pandangan yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa sebahagian besar ibu balita dengan ISPA sudah memanfaatkan teknologi dengan baik

untuk memperoleh informasi tentang

penyakit ISPA. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Melo (2011) yang menyatakan bahwa faktor teknologi dalam

transkultural nursing bermanfaat bagi

masyarakat untuk memperoleh akses pada teknologi informasi, akses komunikasi, akses ke media cetak dan elektronik dan akses kepada teknologi pelayanan kesehatan. (Depkes RI, 2002) menyatakan bahwa salah satu manfaat teknologi dalam bidang kesehatan bagi masyarakat adalah untuk mendapatkan informasi kesehatan dan pelayanan kesehatan. Saat ini, banyak masyarakat mencari informasi tentang kesehatan melalui sumber-sumber teknologi seperti media elektronik dan internet. Oleh karena itu perawat perlu memfasilitasi pasien dalam mencari informasi kesehatan yang

berkualitas atau sumber yang tepat dengan menggunakan teknologi informasi kesehatan. Masyarakat bisa mencari informasi kesehatan melalui media elektronik maupun media sosial dan melakukan komunikasi dengan orang lain bahkan bergabung dalam jejaring sosial tentang kesehatan. Teknologi informasi memegang peranan penting dalam sektor kesehatan sehingga sangatlah penting bagi masyarakat untuk peningkatan kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi. Hasil analisa statistik untuk faktor keagamaan dan falsafah hidup menunjukkan bahwa sebahagian besaribu dengan balita ISPA yaitu 51.7 memiliki pandangan yang baik untuk faktor keagamaan dan falsafah hidup. Hal ini mengidentifikasi bahwa sebahagian besar ibu balita dengan ISPA memiliki cara pandang yang baik terhadap pengobatan dan penanganan ISPA. Hasil Penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya (Paul dan Corolyn, 2007) yang melaporkan bahwa

pandangan hidup (falsafah hidup)

mempengaruhi kesehatan masyarakat.

keluarga dengan balita ISPA dalam merawat dan memanfaatkan pelayanan kesehatan memperhatikan aspek agama dan falsafah yang diyakini oleh keluarga. Potter dan Perry (2010) menyatakan bahwa praktik yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan

(9)

sebahagian masyarakat atau keluarga.

Spiritualitas mempengaruhi perilaku

masyarakat atau ibu dalam bidang kesehatan (Tahlil, dkk, 2013).

Hasil analisa statistik untuk faktor sosial dan kekerabatan diketahui bahwa sebahagian besar ibu dengan balita ISPA yaitu 51.7% memiliki pandangan yang baik tentang faktor sosial dan kekerabatan. Hasil ini memberikan kesimpulan bahwa ibu dengan balita ISPA

mempersepsikan bahwa pelayanan

kesehatan yang diberikan oleh Puskesmas untuk mengobati ISPA pada balita telah memperhatikan aspek sosial budaya dan hubungan keluarga..

Tomey dan Alligood (2006) mengatakan bahwa aspek sosial budaya dalam pelayanan kesehatan khususnya keperawatan adalah penting menerapkan pendekatan antropologi yang berorientasi pada keaneka ragaman budaya baik antar budaya maupun lintas budaya dengan yang tidak membedakan perbedaan budaya dan dilaksanakan sesuai dengan hati nurani dan standar tanpa membedakan suku, ras, budaya, dan lain-lain. Hasil statistik untuk faktor nilai budaya dan

gaya hidup diketahui bahwa

sebahagianbesaribu balita dengan ISPA yaitu 58.3%memiliki pandangan yang baik tentang faktor nilai budaya dan gaya hidup.Hasil

penelitian ini menggambarkan bahwa ibu

balita dengan ISPA mempersepsikan

penanganan ISPA pada balita yang diberikan

oleh Puskesmas memperhatikanaspek

budaya masyarakat.

Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Erson (2005), yaitu pemahaman terhadap keadaan sehat dan keadaan sakit tentunya berbeda di

setiap masyarakat tergantung dari

kebudayaan yang mereka miliki. Perpaduan antara pengalaman empirical dengan konsep kesehatan ditambah juga dengan konsep budaya dalam hal kepercayaan merupakan konsep sehat tradisional secara kuratif. Hasil analisa statistik untuk faktor peraturan dan kebijakan diketahui bahwa sebahagian besar ibu dengan balita ISPA yaitu 70%, memiliki pandangan yang baik tentang faktor peraturan dan kebijakan. Hal ini memberikan makna bahwa ibu dengan balita ISPA beranggapan bahwa peraturan dan kebijakan

yang ada di Puskesmas membantu

masyarakat dalam pelayanan kesehatan terutama dalam penanganan penyakit ISPA. Menurut Tomey dan Alligood (2006), kebijakan dan peraturan yang berlaku di fasilitas pelayanan kesehatan mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya. Faktor budaya dapat

(10)

Perbedaan bahasa dapat menyebabkan kelompok tertentu memiliki informasi yang tidak memadai tentang hak‐hak kesehatan mereka, atau menerima layanan kesehatan yang tidak sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Terkait dengan penelitian ini, oleh karena mayoritas ibu dengan balita SPA bersuku Acehmaka informasi terkait dengan

peraturan dan kebijakan pelayanan

kesehatan di Puskesmas tidak menjadi masalah.

Hasil penelitian tentang faktor ekonomi diketahui bahwa sebahagian besa ribu dengan balita ISPA yaitu 46.7% memiliki pandangan yang baik tentang faktor ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa ibu dengan balita ISPA memiliki tingkat ekonomi yang baik untuk mengobati dan merawat balita dengan ISPA. Tingkat ekonomi atau pendapatan masyarakat akan mempengaruhi cara masyarakat tersebut memelihara kesehatannya dan memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan.

Lebih lanjut Potter dan Perry (2010) mengatakan bahwa pendapatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat wawasan masyarakat mengenai sanitasi, lingkungan dan perumahan. Kemampuan anggaran rumah tangga juga mempengaruhi kecepatan untuk meminta pertolongan

apabila anggota ibunya sakit. Variabel ekonomi dapat mempengaruhi tingkat

kesehatan seseorang dengan cara

meningkatkan resiko terjadinya penyakit dan mempengaruhi cara bagaimana atau dimana seseorang masuk ke dalam sistem pelayanan kesehatan. Penerimaan seseorang terhadap

pengobatan yang bertujuan untuk

memelihara atau meningkatkan

kesehatannya juga dapat dipengaruhi oleh status ekonomi.

Mubarak dan Chayatin (2009) juga

menyatakan bahwa status ekonomi atau

tingkat penghasilan keluarga akan

mempengaruhi cara hidup/gaya hidup

seseorang dan cara memperoleh pelayanan kesehatan bila ada anggota keluarga yang menderita sakit. Seseorang yang berasal dari

keluarga dengan penghasilan tinggi

cenderung lebih mudah dalam memperoleh

pelayanan dan fasilitas kesehatan,

dibandingkan dengan orang yang berasal dari keluarga dengan penghasilan rendah.

keluarga dengan penghasilan tinggi

cenderung mendapatkan kesempatan yang lebih tinggi untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi tentang arti kesehatan dan manfaat dari pelayanan kesehatan.

Hasil analisa statistik untuk faktor pendidikan diketahui bahwa sebahagian besar ibu

(11)

dengan balita ISPA yaitu 53.36% memiliki pandangan yang baik tentang faktor pendidikan. Hal ini menggambarkan bahwa ibudengan balita ISPA memiliki pemahaman dan kesadaran yang baik terkait dengan pengobatan dan perawatan balita dengan ISPA. Menurut Edelman dan Mandle (1994, dalam Potter & Perry, 2010), keyakinan seseorang terhadap kesehatan sebagian terbentuk oleh variabel intelektual, yang terdiri dari pengetahuan (atau informasi yang salah) tentang berbagai fungsi tubuh dan penyakit, latar belakang pendidikan dan pengalaman masa lalu. Variabel-variabel ini

mempengaruhi pola pikir seseorang.

Kemampuan kognitif akan membentuk cara berfikir seseorang, termasuk membentuk kemampuan untuk memahami faktor-faktor yang berkaitan dengan penyakit dan

menggunakan pengetahuan tentang

kesehatan dan penyakit yang dimilikinya untuk menjaga kesehatan diri sendiri. Kemampuan kognitif juga berhubungan dengan tahap perkembangan seseorang. Notoatmodjo (2007), mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula kesadaran terhadap kesehatan, baik untuk dirinya maupun orang lain dan ibu. Latar belakang pendidikan mempengaruhi seseorang dalam berpikir dan bertindak. Semakin tinggi tingkat

pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula motivasi untuk memanfaatkan fasilitas

kesehatan karena telah memiliki

pengetahuan dan wawasan yang lebih luas

dibandingkan dengan orang yang

berpendidikan rendah. Pendidikan seseorang dapat meningkatkan kematangan intelektual sehingga dapat membuat keputusan yang lebih baik dalam bertindak. Tingkat

pendidikan dipercaya mempengaruhi

permintaan akan pelayanan kesehatan. Pendidikan yang tinggi akan memungkinkan seseorang untuk mengetahui atau mengenal gejala awal dari suatu penyakit, sehingga berkeinginan untuk segera mendapatkan perawatan.

Ukuran pendidikan juga penting untuk mewakili kesadaran akan perlunya pelayanan kesehatan. Orang dengan pendidikan formal lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dibanding orang dengan tingkat pendidikan formal yang lebih rendah, karena akan lebih mampu dan mudah memahami arti dan pentingnya kesehatan serta pemanfaatan pelayanan kesehatan. Tingkat pendidikan mempengaruhi kesadaran akan pentingnya arti kesehatan bagi diri dan

lingkungan yang dapat mendorong

kebutuhan akan pelayanan kesehatan

(12)

Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinannya didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya (Tomey & Alligood, 2006).

Hasil ini menunjukkan bahwa secara umum pelayanan kesehatan yang ada di Puskesmas

dalam Kota Banda Aceh sudah

memperhatikan aspek-aspek budaya dalam pelayanannya.Pendapat di atas sejalan dengan yang dikemukakan oleh Leininger (Tomey & Alligood, 2006) menyatakan bahwa konsep utama yang mendasari terbentuknya teori keperawatan transkultural adalah budaya yaitu norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok masyarakat yang dipelajari, dan dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan mengambil keputusan. Selanjutnya juga Cultural Care yaitu yang berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai, kepercayaan dan pola ekspresi yang digunakan untuk membimbing, mendukung atau memberi kesempatan individu, ibu atau kelompok untuk mempertahankan kesehatan, sehat, berkembang dan bertahan hidup, hidup

dalam keterbatasan dan mencapai kematian dengan damai.

Leininger (Tomey & Alligood, 2006) meyakini

bahwa kesehatan merupakan suatu

keyakinan, nilai, pola kegiatan dalam konteks budaya yang digunakan untuk menjaga dan memelihara keadaan seimbang/sehat yang dapat diobservasi dalam aktivitas sehari-hari.

Hasil analisa multivariat dengan

menggunakan uji regresi logistic di atas diketahui bahwa p value = 0,000 yang bermakna Ho ditolak, sehingga faktor transkultural (faktor teknologi, faktor keagamaan dan falsafah hidup , faktor sosial dan kekerabatan, faktor nilai budaya dan gaya hidup, faktor peraturan dan kebijakan, faktor ekonomi dan faktor pendidikan) secara parsial terdapat pengaruh yang signifikan terhadap persepsi sehat pada keluarga balita dengan ISPA, namun untuk setiap variabel faktor-faktor transkultural dilihat dari setiap faktor dengan uji regresi logistic diperoleh hasil faktor agama dan sosial tidak berpengaruh terhadap persepsi tentang kesehatan pada ibu dengan BalitaISPA. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua hal-hal mengenai persepsi kesehatan khususnya pada ibu balita dengan ISPA mampu dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel faktor transkultural.

(13)

Hasil penelitian di atas berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh Leininger (Tomey & Alligood, 2006), yaitu dimensi budaya dan struktur sosial dalam sunrise

model dalam pelayanan kesehatan dan

keperawatan dipengaruhi oleh 7 faktor, yaitu faktor teknologi, faktor keagamaan dan falsafah hidup, faktor sosial dan kekerabatan, faktor nilai budaya dan gaya hidup, faktor peraturan dan kebijakan, faktor ekonomi dan faktor pendidikan.

Hasil penelitian ini juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Silva, dan Reis(2010) menunjukkan bahwa dimensi budaya dan sosial ibu-ibu dengan anak yang menderita ISPA dipengaruhi oleh faktor teknologi, agama, filsafat, kekerabatan, nilai-nilai budaya, gaya hidup, serta faktor ekonomi dan pendidikan. Hasil penelitian tersebut juga menggambarkan bahwa faktor teknologi, agama dan filsafat, kekerabatan dan kehidupan sosial memfasilitasi atau mendukung ibu-ibu di Distrik Cascadura, Rio de Janeiro, Brazil untuk memberikan perawatan kepada balita dengan ISPA. Sedangkan faktor nilai-nilai budaya dan gaya hidup, lingkungan rumah, faktor ekonomi dan pendidikan menghambat ibu dalam

memberikan perawatan kepada balita

dengan ISPA. Faktor-faktor sosial dan

ekonomi yang menghambat proses

perawatanbalita dengan ISPA karena tingkat pendidikan yang rendah dan pendapatan keluarga yang rendah sangat terkait dengan kerentanan anak-anak terhadap ISPA. Selain itu, lingkungan rumah dan gaya hidup juga memiliki dampak negatif yang besar berkaitan dengan perawatan yang diberikan ibu terhadap balita dengan ISPA.Hasil penelitianini menemukan beberapa ibu yang tidak peduli terhadap paparan pada anak-anak yang rentan terhadap reaksi alergi, seperti asma dan rinitis alergi seperti debu, kutu, dan bulu binatang(Silvadan Reis et al, 2010).

Kesimpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar faktor transkultural mempengaruhi persepsi tentang kesehatan pada ibu dengan Balita ISPA.Secara keseluruhan, pengaruh dari faktor-faktor transkultural terhadap persepsi kesehatan pada ibu dengan balita ISPA di Kota Banda Aceh adalah sebagai berikut:

Faktor teknologi, nilai budaya dan gaya hidup, peraturan dan kebijakan, ekonomi dan pendidikan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap persepsi tentang kesehatan ibu dengan balita ISPA di Kota Banda Aceh (p < 0.05)

(14)

Faktor keagamaan dan social dan kekerabatan tidak berpengaruh terhadap persepsi tentang kesehatan ibu dengan balita ISPA di Kota Banda Aceh, (p > 0.05)

Referensi

Bowling, A. (2012). The measurement of patients’expectations for health care: a review and psychometric testing of a measure of patients’ expectations.

Journal of Health Technology

Assessment 16.

Buse, K., Mays, N. & Walt, G. (2012). Making

health policy : understanding public

health. 2nd Edition, New York : Open

University Press.

Corwin, E. J. (2009). Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Depkes RI.(2002), Kebijakan dan strategi

pengembangan sistem informasi

kesehatan nasional. Jakarta.

Depkes RI. (2002), Pedoman Pemberantasan

Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan

Akut untuk Penanggulangan

Pneumonia Balita. Jakarta.

Dharma, K. K. (2011). Metodologi penelitian

keperawatan. Cetakan Pertama, Jakarta

Timur : CV. Trans Info Media.

Dinas Kesehatan Aceh (2013). Profil

kesehatan provinsi Aceh tahun

2012.Diakses tanggal 18 November

2013, dariwww.dinkes.acehprov.go.id. Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh (2012).

Profil kesehatan Kota Banda Aceh

tahun 2012.Diakses tanggal 18

November 2013,

dariwww.dinkes.bandaaceh.go.id. Erson (2005). Antropologi kesehatan.

Yogyakarta : UGM Press.

Friedman, M. M. (2010). Buku ajar

keperawatan ibu : riset, teori dan praktek. Jakarta : EGC

Ghozali, I. (2009). Aplikasi analisis multivariate dengan program SPSS.

Edisi Keempat, Semarang : Penerbit Universitas Diponegoro

Harsono, A. (2007). Diagnosa komunitas dan

program kesehatan. Jakarta : Yayasan

Esentia Medika.

Henry, Beth A, Nicolau, Ana IO (2010).

Socio-cultural factors influencing

breastfeeding practices among low-income women in Fortaleza-Ceará-Brazil: a Leininger’s Sunrise Model

Perspective. Diakses tanggal 18

November 2013, Dari

www.um.es/eglobal.

Koentjoro, S. (2002). Dukungan sosial pada

ibu. Diakses 16 Agustus 2014. dari http :

//www. e-psikologi.com.

Layuk, R. R. Noer, Wahiduddin (2012). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Lembang Batu Sura. Diakses tanggal 18

November 2013, dari

http://repository.unhas.ac.id.

Maulana (2009). Promosi kesehatan. Jakarta : EGC.

Mubarak, W. I. dan Chayatin, N. (2009). Ilmu

kesehatan masyarakat : teori dan aplikasi. Jakarta : Salemba Medika.

Murwani, A. (2009). Perawatan pasien

penyakit dalam. Yogyakarta : Mitra

Cendikia.

Melo, L.P. (2011). The Sunrise model: a

contribution to the teaching of nursing

consultation in collective health.

(15)

Nelson, W.E. (2000). Ilmu kesehatan anak. Edisi 15, Jakarta : EGC.

Notoatmodjo,S (2007). Promosi kesehatan

dan ilmu prilaku kesehatan. Jakarta: PT.

Rineka Cipta.

Potter, P.A & Perry, A. G. (2010),

Fundamental keperawatan. Edisi 7,

Jakarta : Salemba Medika.

Prasetyo, B. & Jannah, L. M. (2008). Metode

penelitian kuantitatif : teori dan aplikasi. Edisi I, Jakarta : PT. Raja

Grafindo Persada.

Paul ,S. & Carolyn, W (2007). A Companion to

Art Theory. Libgen. Org. Diakses tanggal

17 November 2014, dari

Libgen.org/book/index.phppmds. Sagar, P. L. (2012). Transcultural nursing

theory and models : application in

nursing education, practice, and

administration. New York : Springer

Publishing Company.

Silva M.D.B., Silva L.R. da & Reis A.T. (2010). Socioeconomic and cultural factors of maternal care in children's respiratory disease in the district of Cascadura, Rio de Janeiro, Brazil. Journal of Nursing

UFPE, Octobre 2012, Brazil.

Tahlil,T. Woodman,R.W., Coveny, J.

Ward,P.R (2013). Exploring

Recommendation for an Effective smoking prevention program for Indonesian Adolescent. Asian Pacific

Journal Of Cancer Prevention. Vol 14.

diakses 5 Agustus di

http://dx.doi.org/10.7314/APJCP.2013. 14.2.865

Tomey, A.M and Alligood, M.R

(2006).Nursing theorists and their work. 6th Ed. United States of America : Mosby, Inc.

Walgito. (2004).Pengantar psikologi

umum.Yogyakarta. Andi Yogyakarta.

WHO (2013).Acute respiratory track infection

data.Diakses tanggal 18 November

Gambar

Tabel 1 - Karakteristik Ibu Dengan Balita ISPA diKota  Banda Aceh Tahun 2014 (n = 100)
Tabel  3  diatas  menunjukkan  bahwa  kebanyakan  ibu  yang  mempunyai  balita  dengan  ISPA  di  wilayah  kerja  Puskesmas
Tabel  5  -  Pengaruh  Faktor-faktor  Transkultural  Terhadap  Persepsi  Tentang  Kesehatan  Pada  Ibu  Dengan Balita ISPA Di Kota Banda Aceh

Referensi

Dokumen terkait

Rahyono (2003) menyatakan intonasi sebuah bahasa memiliki keteraturan yang telah dihayati bersama oleh para penuturnya.Penutur sebuah bahasa tidak memiliki kebebasan yang

2. Kongres Pemuda Kedua adalah kongres pergerakan pemuda Indonesia yang melahirkan keputusan yang memuat ikrar untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yang

skor penilaian yang diperoleh dengan menggunakan tafsiran Suyanto dan Sartinem (2009: 227). Pengkonversian skor menjadi pernyataan penilaian ini da- pat dilihat

Lingkungan internal yang menjadi kekuatan KRB adalah (1) pusat konservasi ex-situ , (2) panorama arsitektur lanskap yang bernuansa alami, (3) KRB memiliki aksesbilitas tinggi

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama

Penelitian yang digawangi oleh sebuah institusi mengemudi mengungkapkan bahwa anak- anak muda yang sering bermain game balapan ternyata lebih mahir dalam

M enurut Sutarman (2003, p4), internet berasal dari kata interconnection networking yang mempunyai arti hubungan sebagai komputer dan berbagai tipe komputer yang merupakan

Pelaksanaan amanat peraturan tersebut diatas diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8