• Tidak ada hasil yang ditemukan

Journal of Lex Generalis (JLS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Journal of Lex Generalis (JLS)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Volume 2, Nomor 3, Maret 2021

P-ISSN: 2722-288X, E-ISSN: 2722-7871 Website: http: pasca-umi.ac.id/indez.php/jlg

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.

Reformulasi Penerapan Tindak Pidana Pencemaran Nama

Baik Melalui Media Elektronik Berdasarkan Undang-Undang

Informasi & Transaksi Elektronik

Andi Haerul Karim,1,2, Syahruddin Nawi1 & Hamza Baharuddin1

1Magister Ilmu Hukum, Universitas Muslim Indonesia.

2Koresponden Penulis, E-mail: andihaerulkarim@gmail.com ABSTRAK

Tujuan penelitian menganalisa Formulasi Penerapan Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik dalam Undang Undang Informasi Dan Transaksi Elekronik Saat Ini dan untuk mengetahui Reformulasi Pengaturan Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Elektronik yang akan datang. Metode penelitian menggunakan penelitian hukum yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan Formulasi penerepan pasal tindak pidana pencemaran nama baik dalam UU ITE dianggap telah melanggar asas lex certa sehingga berpontensi melanggar hak asasi manusia khususnya hak berpikir dan menyatakan pendapat. Serta Reformulasi pasal ini didalam UU ITE dianggap sangat perlu hal ini karena lemahnya penghargaan dan perlindungan hak asasi manusia serta sanksi pidana yang masih mengedepankan ultimum remedium sehingga formulasi ideal sudah seharusnya menghargai dan melindungi HAM khusus hak berpikir dan menyampaikan pendapat serta menakar ulang formulasi sanksi pidananya.

Kata Kunci: Pencemaran; Nama Baik; Media Elektronik

ABSTRACT

The research objective is to analyze the Formulation of the Application of the Crime of Defamation in the Current Electronic Information and Transaction Law and to see the upcoming reforms to regulate the crime of defamation through electronic media. The research method uses normative juridical legal research. The results showed that the formulation of the application of criminal defamation in the ITE Law has even violated the principle of lex certa so that it has the potential to violate human rights, especially the right to think and to express opinions. And the reformulation of this article in the ITE Law is very necessary because of the weak appreciation and protection of human rights as well as criminal sanctions that still prioritize ultimum remedium so that the ideal formulation should respect and protect human rights specifically the right to convey and convey and measure the formulation of criminal regulations.

(2)

PENDAHULUAN

Maksud dari Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI 1945 penting untuk dimaknai, bahwa negara kita tidak hanya mengakui prinsip demokrasi semata, tetapi juga diikuti dengan pengakuan prinsip negara hukum (Marzuki, 2013). Negara memiliki hak dan kewenangan untuk pengatur setiap warga negara yang dibatasi oleh aturan hukum positif dengan prinsip legalitasnya. Itulah sebabnya dalam UUD NRI 1945 memuat antara prinsip demokrasi dan prinsip negara hukum diletakkan dalam pasal yang sama (Pasal 1 UUD NRI 1945), yaitu pasal tentang prinsip demokrasi pada ayat (2) dan pasal tentang prinsip negara hukum (nomokrasi) termuat pada ayat (3)-nya (Azis,

2018). Sehingga segala konsekuensi bentuk pembatasan hak-hak warga negara yang

ada harus diatur melalui aturan perundang-undangan sehingga merupakan hal yang sepantasnya dalam menyandingkan prinsip demokrasi dan prinsip negara hukum dalam persfektif HAM berada dalam posisi sederajat (Sinapoy & Sanib, 2019).

Perlu diketahui juga, peradaban dunia pada masa saat ini ditandai dengan fenomena kemajuan teknologi informasi dan globalisasi yang berlangsung hampir di semua sektor kehidupan. Perkembangan teknologi dan globalisasi tidak saja terjadi di negara maju, tetapi juga di negara berkembang. Saat ini teknologi informasi memegang peranan yang penting dalam perdagangan dan ekonomi antar negara-negara di dunia, termasuk memperlancar arus informasi (Fonna, 2019).

Teknologi informasi diyakini membawa keuntungan yang besar bagi negara-negara di dunia. Setidaknya ada dua keuntungan yang dibawa dengan keberadaan teknologi informasi (Kasemin, 2016). Pertama, teknologi informasi mendorong permintaan atas produk-produk teknologi informasi itu sendiri. Kedua, memudahkan transaksi bisnis keuangan di samping bisnis-bisnis lainnya. Kedua keuntungan tersebut di atas menegaskan telah terjadi perubahan pola transaksi dan pola bersosialisasi masyarakat, dari cara yang konvensional ke cara elektonik yang lebih efektif dan efisien.

Banyaknya jenis tindak pidana baru yang muncul akibat kemajuan teknologi menimbulkan kerugian yang sangat besar, baik secara materil maupun immateril. Kejahatan ini dapat dilakukan oleh seseorang dari suatu tempat yang sangat pribadi tapi menimbulkan kerugian pada seseorang atau institusi di tempat lain, yang terpisahkan oleh jarak ribuan kilometer, bahkan seringkali bersifat lintas batas territorial (Djanggih, 2018). Dengan demikian kejahatan ini kemudian membawa sifat

transnational crimes, yaitu kejahatan yang bersifat lintas batas territorial (transnational boundaries). Dengan banyaknya kejahatan kejahatan baru yang bermunculan maka

KUHP yang merupakan produk hukum peninggalan penjajah pada masa kolonialisme yang digunakan untuk menegakkan hukum yang ada dianggap tidak mampu lagi menjawab kejahatan kejahatan yang baru tersebut sehingga dianggap perlu untuk dibuatkan regulasi yang baru untuk mengisi kekosongan hukum. Sehingga pemerintah menginisiasi lahirnya aturan tentang cybercrime, yang dikenal dengan Undang- Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58.

Kehadiran undang-undang terkait dengan pengaturan cybercrime ini tentu saja sangat dibutuhkan dalam penegakan hukum pidana, terutama kejahatan-kejahatan yang memang lahir dari kehadiran teknologi tersebut. Pentingnya keberadaan

(3)

undang-

undang ini didukung dengan kenyataan bahwa kejahatan di dunia maya menempatkan Indonesia sebagai negara peringkat pertama dengan tindak pidana dunia maya terbanyak (Supriyati, 2020). Data tersebut berasal dari penelitian Verisign, perusahaan yang memberikan layanan intelijen di dunia maya yang berpusat di California Amerika Serikat. Indikasinya dapat dilihat dari banyaknya kasus pemalsuan kartu kredit, pembobolan bank dan peretasan situs situs media elektronik. Namun dalam tataran praktek, penegakan hukum pidana dengan UU ITE ini ternyata menimbulkan masalah hukum bagi orang-orang yang menggunakan sarana teknologi informasi untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintah berupa jeratan hukum pidana maupun jeratan sanksi lainnya. Hal tersebut di atas terjadi karena UU ITE tidak saja mengatur masalah cybercrime sebagaimana yang diatur dalam convention on

cybercrime, tetapi juga mengatur perbuatan pidana tradisional berupa penghinaan

yang menggunakan media teknologi informasi (Kurniawati, 2020).

Ketentuan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Atas perbuatan tersebut, seseorang dapat dituntut dengan pidana penjara maksimal 6 (enam) tahun dan/atau denda Rp.1.000.000.000 (satu milyar) sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE (Asmadi, 2021).

Salah satu kasus fenomenal terkait penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah kasus yang menimpa Prita Mulyasari.Kasus yang bermula ketika Prita berobat ke RS Omni International sampai kemudian digugat secara perdata dan dipidana dengan menggunakan UU ITE serta sempat mendekam selama 3 (tiga) minggu di penjara dan akhirnya bebas. Terkhusus untuk wilayah makassar juga masuk dalam wilayah dengan jumlah kasus tertinggi di indonesia. Seperti kasus M. Arsyad. Arsyad ditetapkan sebagai tersangka karena tuduhan penghinaan melalui status BBM, ia ditahan oleh Polda Sulawesi Selatan dan Barat selama seminggu, sebelum ditangguhkan penahanannya.19 Arsyad merupakan Aktivis Garda Tipikor dilaporkan ke Polda Sulawesi Selatan dan Barat karena dituduh telah mencemarkan nama baik Nurdin Halid di Status Blackberry Messenger miliknya. Ia menulis di Status BBMnya “No Fear Nurdin Halid Koruptor!!! Jangan pilih adik koruptor!!!”. Selanjutnya, Kasus pencemaran nama baik oleh Yusniar karena postingan status di Facebook tanpa menyebutkan nama yang melaporkannya. Dia dipolisikan oleh Sudirman Sijaya, politikus Gerindra anggota Komisi III DPRD Jeneponto. Sudirman merasa tersinggung dan dicemarkan nama baiknya dalam kasus pembongkaran rumah milik Baharuddin Situju, bapak Yusniar. Sebelumnya terkait rumah itu, ada sengketa antara orang tua Yusniar dan kerabat dari Sudirman Daeng Sijaya. Yusniar sempat menjalani penahanan selama 1 bulan dan akhirnya di vonis bebas.

Beberapa kasus di atas setidaknya memberikan gambaran bagaimana Pasal 27 ayat (3) UU ITE digunakan oleh aparat penegak hukum untuk melindungi reputasi pejabat atau penguasa setidaknya dibuktikan dari kasus-kasus tersebut di atas. Keberadaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, telah pernah diuji Mahkamah Konstitusi. Pertimbangan dan putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa secara harfiah unsur di muka umum, diketahui umum, atau disiarkan dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP tidak dapat diterapkan dalam dunia maya, sehingga memerlukan unsur ekstensif yaitu

(4)

mendistribusikan dan/atau mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya. Selain itu Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa pasal-pasal tertentu dalam KUHP dianggap tidak cukup memadai untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang muncul akibat aktivitas di dunia maya (Djanggih & Qamar, 2018. Setelah Putusan Mahkamah Kontitusi yang menyatakan tindak pidana penghinaan dalam KUHP tidak dapat diterapkan dalam ranah dunia maya, ternyata dalam praktik penegakan hukum ada beberapa perkara penghinaan menggunakan media informasi elektronik yang divonis menggunakan ketentuan tindak pidana penghinaan dalam KUHP.

METODE PENELITIAN

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (doctrinal research), yaitu pendekatan yang dilakukan dengan menfokuskan pada aspek inventarisasi hukum positif terkait isu penelitian. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundang undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Penelitian ini juga menekankan pada subtansi hukum yang menfokuskan pada isi suatu peraturan perundang undangan yang terdiri atas pasal pasal dan ayat serta penjelasan. Yang mengamati dan menganalisis tentang adanya multitafsir, ketidak jelasan atau penjelasan yang menyimpang dari penjelasanyang seharusnya.

PEMBAHASAN

A. Formulasi Penerapan Aturan Pencemaran Nama Baik Dalam Undang Undang Informasi Dan Transaksi Elekronik Saat Ini.

1. Pengaturan tindak pidana pencemaran nama baik dalam Undang Undang ITE

Menganalisis tentang penerapan aturan hukum pencemaran nama dalam UU ITE baik tentu tidak bisa dipisahkan dengan melihat formulasi norma – norma yang ada di dalam UU ITE khususnya pasal 27 ayat 3. Aturan pencemaran nama baik secara umum (lex generalis) di indonesia sebenarnya sudah lama telah ada. Aturan pencemaran nama baik merupakan warisan penjajah berdasarkan asas konkondansi. Aturan pencemaran nama baik yang dimaksud dapat dilihat dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana) , dalam ketentuan pasal 310 dan 311 KUHP. Sehingga dapat dikatakan bahwa aturan tindak pidana pencemaran nama baik adalah sebuah kejahatan kejahatan tradisional.

Terkait masuknya tindak pidana pencemaran nama baik ini kedalam Undang Undang informasi dan Transaksi elektronik sebagai sebuah aturan baru membuatnya menjadi menarik untuk dicermati. Mengingat bahwa pasal pencemaran nama baik sudah ada didalam KUHP yang merupakan induk dari segala aturan tindak pidana, selain itu aturan tindak pidana pencemaran nama baik juga ada ditur didalam KUH Perdata dan UU penyiaran. Melihat banyaknya aturan yang mengatur tentang pencemaran nama baik menurut penulis akan mempengaruhi proses penerapannya. Untuk itu dalam pembahasan ini penulis membatasi objek kajian penulis berdasarkan UU ITE saja terkhusus Pasal 27 ayat 3 yang merupakan satu satunya pasal yang mengatur tentang pencemaran nama baik didalam UU ITE. Namun dalam UU ITE, penghinaan dan pencemaran nama baik tersebut tidak lagi dibedakan berdasarkan objek, juga

(5)

berdasarkan jenisnya, namun hanya disatukan dan juga menyamaratakan seluruh muatan penghinaan dan pencemaran nama baik tersebut dalam satu Pasal 27 ayat (3), Shinta Agustina, pada buku Kebebasan Berekspresi di Indonesia pernyataan yang dikeluarkan orang untuk menghina sangat tergantung kepada pemilihan kata dan cara penyampaian serta perasaan subjektif orang yang dihina terkait dengan rasa harga diri. (shinta agustina;123), bentuk objektif dari menghina adalah bila pernyataan itu menyerang nama baik orang lain, karena akan diukur sejauh mana nama baik seseorang menurun karena penghinaan tersebut. Namun bila terkait dengan “kehormatan” orang lain, maka delik penghinaan menjadi subjektif, terkait dengan rasa yang bersifat subjektif. Oleh karenanya tidak mengherankan, bahwa untuk pembuktian delik penghinaan, dibutuhkan unsur “tujuan untuk menghina” (oogmerk om te beledigen).

Selain itu bila melihat secara seksama keberadaan frasa “memiliki muatan” dalam unsur Pasal 27 ayat (3) UU ITE, maka menurut penulis, membuat pasal ini tidak perlu membuktikan adanya niat seseorang untuk menghina. Penegak hukum hanya perlu membuktikan bahwa pelaku melakukan distribusi dan/atau transmisi konten yang mengandung penghinaan/pencemaran nama baik. Sehingga segalah tindakan seseorang seperti repost, regram, forward atau serupa dengan itu yang dilakukan

menggunakan media elektronik yang pada intinya

mentransmisikan/mendistribusikan ulang, dapat terkena pasal ini.

Selain itu, Pasal 27 ayat 3 UU ITE dan amandemennya tidak menyebutkan secara spesifik mengenai subyek hukum yang dihina, hanya melarang perbuatan distribusi dan/atau transmisi dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik Berbeda halnya dengan pengaturan dalam KUHP yang pada hakikatnya harus ada kesengajaan untuk menyerang kehormatan seseorang.

Selain meninjau secara gramatikal atau secara bahasa atas ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) yang dianggap telah mengekang hak kebebasan berpendapat melalui media internet seseorang tersebut, perlu dilihat pula mengenai pola hubungan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (3) tersebut dengan ketentuan perundang undangan yang lain (interpretasi sistematis), khususnya yang berkaitan dengan hak atas kebebasan berpendapat, apakah benar bahwa ketentuan dalam pasal tersebut telah melanggar hak atas kebebasan berpendapat yang dimiliki oleh seseorang dan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang terkait. Kebebasan berpendapat diakui sebagai “basic human right” dan mendapatkan jaminan perlindungannya dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Tahun 1948. Dalam Pasal 19 “Semua orang mempunyai hak atas kebebasan berfikir dan menyatakan pendapat (the right to freedom of opinion and expression) hak ini mencakup kebebasan untuk mempunyai pendapat tanpa mendapat gangguan (to hold opinions without interference) dan kebebasan untuk mencari, memperoleh dan menyebarkan informasi dan gagasan (to seek, receive and impart information and ideas), lewat media manapun dan tanpa memandang perbatasan negara.” Agar kebebasan untuk menyelenggarakan pendapat itu terselenggara dengan baik, maka harus diberikan jaminan kebebasan dan kekebalan atau imunitas, sehingga si pelaku akan terbebas dari rasa takut dikenai “pembalasan” oleh pihak manapun.

(6)

Di Indonesia jaminan akan kebebasan tersebut tertuang dalam beberapa Peraturan Perundang-Undangan termasuk Konstitusi UUD 1945. Dalam Pasal 28 sebelum amandemen seperti yang telah disebutkan diatas telah mengakui akan perlindungan dan jaminan kebebasan berpendapat bagi rakyat Indonesia. Setelah amandemen, khususnya amandemen kedua, jaminan akan perlindungan ini semakin dipertegas dalam Pasal 28 huruf E ayat (2) “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya,” sedang ayat (3) “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” dan dalam Pasal 28 huruf F menyatakan “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Makna yang terkandung dalam ketentuan tersebut sangat jelas menyatakan bahwa secara konstitusional negara menjamin kebebasan setiap orang memperoleh dan menyampaikan informasi atau berkomunikasi melalui media apapun, karena hak untuk memperoleh dan menyampaikan informasi serta berkomunikasi merupakan hak dan kebebasan bagi semua orang atau warga negara tanpa terkecuali.

Mengacu pada ketentuan yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia, yakni UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM seperti yang telah ditegaskan diatas, bahwa jaminan akan kebebasan berpendapat dalam UU ini terdapat dalam Pasal 23 ayat (2). Sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi perlindungan HAM dengan segala hak-haknya, termasuk hak sipil dan politik warga negaranya, maka Indonesia telah meratifikasi ketentuan Covenant Hak Sipil dan Politik kedalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 sebagaimana yang telah disebutkan diatas, (Krisna Harahap;2003;66) dikaitkan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (3) dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka dirasa Undang-Undang ITE dapat mengancam kebebasan berpendapat di dalam media internet. Sebab yang diatur di sini adalah sebatas berupa larangan (perbuatan yang tidak boleh dilakukan), sedangkan hak yang dapat dimiliki (dilakukan) oleh pengguna (user) tidak terdapat dalam ketentuan perundang-undangan tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa dalam Pasal 27 ayat (3) ini hanya mengatur mengenai kewajiban yang harus dipenuhi oleh seseorang, tidak menyangkut haknya. Sedangkan yang berkaitan dengan hak, yang diatur dalam UU ITE ini hanya mengatur tentang yang berkaitan dengan pembuktian dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam hal menggunakan Informasi Elektronik atau Data Elektronik, seperti yang terdapat dalam Pasal 7 “setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak Orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau Data Elektronik harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Data Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.“ Padahal, seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa telah banyak ketentuan perundang-undangan yang mengatur dan memberikan jaminan akan kebebasan berpendapat bagi masyarakat, Efektivitas pasal tentunya dapat dilihat dari setidaknya dua sisi, yaitu pengaturan dan penerapan/penegakan (law enforcement). Secara pengaturan, perumusan pasal ini sudah dinilai cukup Sedangkan, dalam aspek penerapan/penegakan pasal yang dimaksud, tentu bergantung pada tiap-tiap kasus

(7)

yang terjadi atau dengan kata lain penerapan pasal tersebut relatif sulit diukur parameter efektivitasnya.Jika dilihat dari penjelasan di atas dan di kaitkan dengan Pasal 27 ayat 3 UU ITE ,sebenarnya Undang Undang ini memang sangat diperlukan karna memiliki peran penting dalam melindungi transaksi electronic Khususnya di internet, tapi jika dilihat pada penerapannya karena pengaturan dalam pasal ini tidak diatur secara tegas sehingga mengakibatkan multitafsir yang mengancam kebebasan berpendapat.

Secara umum permasalahan diatas menurut hemat penulis terjadi akibat dari penjelasan pasal 27 ayat 3 itu sendiri yakni : Amandemen UU ITE tidak menyebutkan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP secara eksplisit sebagai acuan untuk menjelaskan batasan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, sedangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 membatasi ruang lingkup penghinaan dan/atau pencemaran nama baik mengacu pada Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Namun bila diperici menurut penulis permasalahan formulasi yang ada di tindak pidana pencemaran nama baik dalam pasal 27 ayat 3 UU ITE baik secara unsur pasal dan beberapa permasalahan lainnya dalam proses penereapanya yaitu :

- ketidak jelasan unsur unsur pencemaran nama

- ketidak kejelasan objek yang dilindungi apakah orang peribadi atau juga termasuk badan hukum atau jabatan.

- Tidak jelasnya pertanggung jawaban hukum atas tindakan mendistribusikanm, mentransmisikan, atau dapat diaksesnya atas suatu yang dianggap mencemarkan nama baik. sebagai contoh siapa yang bertanggung jawab apakah yang membuat atau yang menyebarkan “sesuatu” tersebut yang memuat kontent pencemaran nama baik.

- ketidak jelasan jenis delik sehingga masih ada yang bukan merupakan korban langsung yang melakukan pelaporan.

- Ketiadaan Doktrin-Doktrin Membela Diri dan Alasan Pembenar sebagai alasan penghapusan pidana

- Ketidak jelasan ruang publik dan ruang prifat dalam tindakan distribusian , mentransmisikan dan dapat diaksesnya

- Ketidak jelasan sanksi pidana yang diberikan karena di UU ITE mengatur batas maksimal pemidanaan secara kesuluruhan tindak pidana pencemaran nama baik sedangkang di KUHP sanksi pemidanaan berdasarkan golongan/ jenis tindak pidana penghinaan

- Masih sulitnya membedakan sesuatu yang sifat hak untuk menyatakan pendapat baik sifat kritik , opini dan lain halnya untuk kepentingan pengetahuan dan kepentingan publik dengan sesuatu yang dimaksud sebagai tindak pidana pencemaran nama baik . pada hal jika mengacu pada ketentuan Pasal 4 huruf a Undang-Undang ITE yang menyatakan bahwa tujuan dari Undang-Undang ini yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia. Maka dengan pengaturan yang masih belum terperinci dan masih dapat menimbulkan multitafsir, undang undang ini dianggap dapat menghalangi usaha mencerdaskan kehidupan bangsa yang disebutkan dalam tujuan pembentukan Undang-Undang ini.

(8)

2. Penerapan Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Untuk Menjerat Kebebasan Berekspresi

Pada pembahasan diatas penulis telah menganalisa unsur pasal pasal 27 ayat 3 UU ITE, Bahwa dalam pembahasan diatas terlihat beberapa permasalahan dalam tafsir dan ambiugitas unsur yang ada didalamnya. Untuk itu penulis melakukan analisa dengan membandingkan dua kasus yang penulis pilih dan melihat penerapan pasal tersebut ketika berproses dipengadilan sebagai sebuah kasus hukum.

a. Kasus Dr SAIFUL MAHDI S Si MSc (Perkara Nomor 432/Pid.Sus/2019/PN Bna)

Saiful Mahdi dilaporkan ke polisi oleh teman sejawatnya yakni Dekan Fakultas Teknik Taufiq Mahdi. Saiful mahdi dilaporkan atas dugaan tindak pidana pencemaran nama melalui media elektronik oleh baik Taufiq karena merasa malu dan merasa nama baiknya selaku pimpinan Fakultas Teknik dicemarkan oleh Saiful di dalam sebuah grup WhatsApp. Adapun tulisan saiful mahdi yang dianggap mencemarkan nama baik taufik pada tanggal 25 Februari 2019 di grup whatsapp Unsyiah yaitu:

"Innalillahiwainnailaihirajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup? Gong Xi Fat Cai!!! Kenapa ada fakultas yang pernah berjaya kemudian memble? Kenapa ada fakultas baru begitu membanggakan? Karena meritokrasi berlaku sejak rekrutmen hanya pada

medioker atau yang terjerat “hutang” yang takut meritokrasi".

atas laporan dan chat tersebut jaksa akhirnya mendakwa saiful mahdi melanggar pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik berdasarkan UU ITE.

Dalam putusannya majelis hakim memberikan pertimbangan yang menarik yaitu :

Bahwa frasa “jajaran pimpinan” dari tulisan Terdakwa dalam grup whatsapp “Unsyiah KITA” tersebut dimaknai Dekan, karena selebihnya adalah Wakil-Wakil Dekan, penanggung jawab dari jajaran pimpinan tersebut adalah Dekan. Apabila jabatan-jabatan dalam jajaran pimpinan tersebut dalam kondisi kosong atau tidak ada pejabatnya, maka dapat dikatakan tulisan Terdakwa dalam grup whatsapp “UnsyiahKITA” tersebut ditujukan kepada jabatan dan itu artinya tulisan Terdakwa tersebut bukan lagi delik aduan.

Berdasarkan pertimbangan hakim diatas dan beberapa perimbangan lainnya maka terdakwa divonis bersalah dan divonis tiga bulan penjara.

b. Kasus haryati (Perkara Nomor 406/Pid.Sus/2020/PN Mtr)

Berawal pada hari Kamis tanggal 25 Juli 2019 ketika terdakwa menjenguk salah satu keluarganya yang menjadi pasien RSUD Kabupaten Lombok Utara. Saat itu terdakwa tidak puas dengan pelayanan dan sikap salah satu bidan yang bekerja di rumah sakit tersebut terhadap keluarganya dan terhadap diri terdakwa. Kemudian sekitar pukul 23.38 Wita, terdakwa membuka akun Facebook miliknya yang bernama “Haryati” URL : https://www.facebook.com/profile.php?id=100027695529732&sk-photos all melalui handphone merk OPPO type A71. Kemudian terdakwa menulis status didinding akun facebook “Haryati” tersebut dengan kata – kata

“Km bidan ato apa sih kok tikah lakumu tidk lebih dr binatang gk punya etika baik sopan santuny gk ada sama sekali rs tanjong”.

(9)

Dimana dari status yang ditulis oleh terdakwa di akun facebook miliknya, dilihat oleh beberapa akun yang berteman dengan akun milik terdakwa dan ikut mengomentari status tersebut. Kemudian pada hari Sabtu tanggal 27 Juli 2019 sekitar pukul 17.00 Wita bertempat di rumah terdakwa Dsn. Tebango, Ds. Pemenang Timur, Kec. Pemenang, Kab. Lombok Utara, terdakwa kembali menulis status di dinding akun facebook “Haryati” tersebut dengan kata – kata .

“Mgkin bagi org lain kalian seorang bidan tp bagi sy pribadi kalian yang ada di poto ini adlh sampah jalanan yang datang RS untuk mencari uang yang berprofesi sebagai bidan yang gk tau etitut atau lebih tepaty mgkin (terdapat gambar anjing dan orang tertawa).

Atas postingan tersebut, pihak RSUD Kabupaten Lombok Utara merasa keberatan dan melaporkan perbuatan terdakwa kepada pihak yang berwajib. Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 27 ayat (3) Jo pasal 45 ayat (3) Undang – undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2016 atas perubahan Undang – undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Dalam kasus ini hakim juga memberikan pertimbangan menarik yaitu :

Menimbang, bahwa sebelum Majelis Hakim mempertimbangkan apakah berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut diatas, Terdakwa dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, akan tetapi oleh karena berdasarkan Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana dituangkan dalam Tambahan Lembaran Negara RI dalam ketentuan umum menyebutkan, bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009, tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bidang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik bukan semata-mata sebagai tindak pidana umum, melainkan sebagai delik aduan dimana Penegasan mengenai delik aduan dimaksudkan agar selaras dengan asas kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Menimbang, bahwa Pasal 27 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Itu berarti unsur penghinaan haruslah ditujukan pada kehormatan atau nama baik seseorang dan dan berdasarkan Pasal KUHP, sehingga delik tersebut merupakan dalam delik aduan absolut.

Menimbang, bahwa selain itu Pasal 27 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP hal ini berarti berarti unsur penghinaan haruslah ditujukan pada kehormatan atau nama baik seseorang/individu tertentu;

Menimbang, bahwa oleh karena Pasal 27 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undangundang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan delik aduan absolut dimana disyaratkan adanya pengaduan dari korban;

Menimbang, bahwa dalam perkara ini oleh karena Pengaduan dilakukan oleh saksi Undar Jiwaningsih, yang mana saksi Undar Jiwaningsih bukanlah orang yang terhadap

(10)

dirinya dilakukan kejahatan (korban), dan tidak ada Pengaduan (Laporan) dari korban sebagaimana orang yang dimaksudkan dalam kata-kata status facebook Terdakwa;

Menimbang, bahwa selain itu RSUD Kabupaten Lombok Utara sebagai korban sebagaimana tertuang dalam dakwaan Penuntut Umum adalah lembaga bukan individu, sehingga tidak mempunyai kwalitas sebagai korban sebagaimana tindak pidana Pasal 310 KUHP ataupun Pasal 27 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

Dari dua contoh kasus di atas, terlihat bahwa adanya perbedaan tafsir jenis delik aduan dan subjek yang dilindungi dalam pasal 27 ayat 3. Ketidak adaan penjelasan secara tegas dan jelas dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE terkait jenis delik dan subjek yang dilindungi dalam tindak pidana pencemaran nama baik menjadikan pasal ini menjadi multi tafsir. Walau di dalam penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa penjelasan terkait pasal ini merujuk ke KUHP. Namun tidak menjamin multitafsir tidak terjadi.hal ini didasarkan pada dua putusan kasus ini yang secara perbuatan memiliki kemiripan namun berbeda putusan.

Perbedaan tafsir sebagaimana yang telah dijelaskan diatas dalam pasal 27 ayat 3 semakin memperkuat persepi bahwa Pasal ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai sebuah aturan yang dapat dijalankan sebagi sebuah hukum positif karena tidak memiliki kepastin hukum dan multitafsir sehingga sering disebut sebagai “Pasal karet” yang dapat ditarik sesuai dengan kepentingan.

B. Reformulasi Pengaturan Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Elektronik

1. Formulasi Ideal Pengaturan Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Elektronik yang akan datang.

Berdasarkan penjelasan pada bab sebelumnya Kebijakan formulasi dalam kualifikasi delik tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik Pasal 27 Ayat (3) terdapat banyak permasalahan dan mengkebiri hak asasi manusia khususnya hak untu menyampikan pendapat. Padahal patut dicatat bahwa kritik atau pendapat sebagai hak dasar manusia dalam kebebasan berekpresi dan berpendapat hendaknya juga dilindungi. Selain itu dalam pasal 27 ayat 3 didalam nyapun memuat unsur sama dengan semua bentuk penghinaan dalam KUHP dan menjadikan pasal pasal dala bab penghinaan KUHP sebagai rujukan.

a. Perlindungan Hukum Dan Pembatasan Kebebasan Berekspresi Dan Berpendapat Dalam Tindak Pidana Pencemaran Nama Dalam UU ITE

Terkait dengan formulasi aturan pencemaran nama baik , eksisteniya telah menjadi sorotan khusus. Pidana pencemaran nama baik sering dijadikan benteng pertahanan oleh pemerintah di negara dimanapun atas kritik dan protes dari warga negaranya, sekaligus senjata yang efektif untuk membungkam pendapat- pendapat tajam terhadap para penguasa. Namun kebebasan / hak untuk menyampaikan berpendapat di depan umum bukanlah suatu hak yang tidak bisa dibatasai atau diatur hal ini yang menjadi dasar pengaturan atau pembatasannya adalah hak reputasi / nama baik seseorang. Hak reputasi ini diterjemahkan ke dalam bentuk hukum penghinaan. Akan tetapi pebatasasnnya harus sesusia dengan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan

(11)

Politik (Sipol), serta kemudian dibatasi oleh ketentuan Pasal 19 ayat (3) yang memperbolehkan pembatasan dalam hal-hal tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu. Terkait dengan pembatasan ini dapat dilihat dari beberapa prinsip umum yang telah disepakati.

Terkait dengan tindak pidana Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik Dalam UU ITE, jika diuji dengan menggunakan three past test, maka:

1) Ketentuan pasal ini memiliki rumusan yang tidak jelas dan multitafsir, selain rumusan yang tidak jelas, unsur yang menjadi bestanddel delictnya pun tidak jelas, bahkan subjek yang dilindungipun tidak jelas serta ketidakjelasan muatan penghinaan atau pencemaran nama baik yang diatur.

2) Melindungi reputasi adalah kepentingan yang sah, namun kepentingan yang dilindungi dalam Pasal 27 ayat (3) kabur/tidak jelas, hal ini terlihat dalam rumusan pasal yang berbunyi “…yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” yang menjadi soal adalah, penghinaan dan atau pencemaran nama baik siapa? Individu, korporasi, pemerintah/ badan umum atau pejabat?

3) Ketidakjelasan kepentingan yang dilindungi mengakibatkan ketidakjelasan konten yang dibatasi. Sehingga jelas bahwa tidak dibutuhkan sebenarnya pembatasan terhadap hal tersebut.

b. Kebijakan Pemidanaan Terhadap Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE

Dalam penerapan hukum pidana Penentuan sanksi merupakan salah satu persoalan penting selain penetuan perbuatan yang dianggap dapat dipidanan. Dalam tindak pidana pencemaran nama baik pasal yang mengatur tentang sanksi berdiri sendiri tidak mengikut didalam pasal 27 ayat 3 yang mengatur tentang perbuatan yang dapat dipidana , tetapi termuat dalam pasal 45 UU ITE. Permasalahan penentuan sanksi menurut bardan nawawi adalah masalah sentral kedua menurut dalam penggunaan Sarana Penal, setelah ditentukannya perbuatan yang dapat di pidana. Pidana sampai saat kini masih digunakan sebagai sarana penanggulangan kejahata. Pidana akan bermakna jika tujuan pidana sudah ditetapkan, bukan sebaliknya. Maksudnya, tujuan pidana baru mempunyai relevansi apabila diketahui dasar berpijak untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu tujuan harus dirumuskan dengan baik.

Untuk penulis menggap penting juga memasukkan persoalan ini kedalam formulasi ideal pengaturan tindak pidana pencemaran nama baik didalam UU ITE. Bila melihat sejarah dan perkembangan teori dan tujuan pemidanaan sangat dipengaruhi oleh perkembangan dalam masyarakat. Disamping itu, faktor kritik terhadap tujuan pelaksanaan pidana yang telah berjalan juga sangat berpengaruh. Secara teori dan konsep dapat dilihat bahwa tujuan pemidanaan, adalah berorentasi pada pemidanaan sebagaia : pembalasan (retribution), utilitarian (deterence), reformasi dan rehabilitasi, gabungan (integrative), perlindungan masyarakat (social defence), pembebasan, bahkan ada tujuan pemidanaan yang berkeinginan untuk menghapus pidana (gerakan abosionis).(TJ.

Dalam hukum pidana, dikenal ada 2 (dua) asas dalam penjatuhan sanksi pidana, yaitu ultimum remedium dan primum remedium. ultimum remedium atau obat terakhir

(12)

dalam Hukum pidana dapat dilihat dengan sanksi yang keras dikatakan mempunyai fungsi yang subsider artinya apabila fungsi hukum lainnya kurang maka baru dipergunakan hukum pidana. Namun, pada kondisi sekarang ini hukum pidana justru menjadi upaya penyelesaian yang diutamakan atau primum remedium. Hal ini karena memang dimungkinkan tidak ada upaya penyelesaian yang lain.Selain itu diakibatkan kurang adanya pemahaman mengenai hukum pidana yang di dalamnya diatur mengenai sanksi yang cukup berat bagi pelakunya.

Bila dikaitkan dengan sanksi pidana yang ada di dalam tindak pidana pencemaran nama baik yakni di dalam pasal 45 yang tertulis sebagai berikut :

Pasal 45 (3) bahwa ketika terbukti melanggar Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)

Bahwa sebelum direvisi ancaman pidana pasal 45 (3) adalah paling lama 6 tahun dan denda sebear 1 millar. Adapun dasar Pilihan penetapan sanksi yang dadap dikatakan tinggi tersebut, tidak ditemukan alasannya dalam pembahasan RUU ITE, namun Mahkamah Konstitusi memberi alasan bahwa distribusi dan penyebaran informasi melalui media elektronik relatif lebih cepat, berjangkauan luas, dan memiliki dampak yiang masif. (putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-VII/2009) selain itu dengan ancaman sekian maka memudahkan penyidik untuk melakukan penahanan. Bahwa setelah revisi terjadi penurunan ancaman maksimal dan dendan sebagaimana tertulis diatas. Penurunan ancaman pidana dari 6 (enam) tahun menjadi 4 (empat) tahun didasari pada munculnya keberatan dari sebagian masyarakat terhadap ancaman pidana Pasal 27 ayat (3) yang berujung diajukannya uji materi ke MK. Selain itu, pengaturan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berimplikasi pada dapat ditahannya tersangka, sesuai dengan ketentuan KUHAP. Sebuah alasan yang tidak memiliki dasar hukum atau tidak berdasar teori pemidanaan. Sehingga menurut penulis penurunan ini pun masih menggambarkan bahwa pasal pencemaran nama baik sebagai ultimium remiium dan bertujuan hanya sebagai bentuk pembalasan belaka.

Hukum pidana Indonesia pada dasarnya menganut mekanisme ultimum remedium yang dapat diartikan bahwa pengaturan sanksi pidana diposisikan sebagai sanksi terakhir. Dalam suatu Undang-Undang hendaknya sanksi yang diatur pertama kali adalah sanksi administratif atau sanksi perdata.Sedangkan untuk sanksi pidana diatur atau diletakkan sebagai bentuk pengenaan sanksi terakhir.Dapat diartikan bahwa apabila sanksi administratif dan sanksi perdata belum mencukupi untuk dapat memulihkan kembali ketertiban dan keseimbangannya dalam masyarakat, maka baru dikenakan sanksi pidana sebagai ultimum remedium atau “obat terakhir”.

Indonesia sebagai negara hukum modern, sudah sepatutnya merubah pola pembuatan undang undang yang tujuan pemidanaan berbasis pada teori absolut yang meihat tujuan pemidanaan adalah pembalasan, akan tetapi seharusnya sudah jauh lebih maju melihat konsep atau tujuan pemidanaan sebagai upaya untuk mengembalikan keseimbangan yang rusak akibat perbuatan pelaku.(RKUHP;2015). Negara tidak hanya sebagai corong undang undang yang melihat permasalah hukum hanya hitam putih dalam penjatuhan pidana. Melihat pemidaan sebatas untuk balas dendam atas apa yang dialami oleh korban, tetapi setidaknya berfungsi sebagai

(13)

mediator untuk pengembalian dan pemulihan hak korban yang dilanggar dengan tidak mengabaikan hak pelaku serta dampak lainnya yang sangat besar Konsep keseimbangan ini menurut penulis merupakan sisi lain dari teori Utilitarian yang memiliki pandangan yang lebih humanis. Barda Nawawi Arif berpendapakepastian hukum dengan kelenturan dan keadilan.275 Menurut penulis, keseimbangan dalam pemidanaan sebagai tujuan dari pemidanaan berada pada posisi mengakomodir nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum itu sendiri.

Dalam hal tindak pidana penghinaan di internet atau tindak pidana penghinaan secara umum, penulis memberikan tawaran yang berbeda terkait dengan pemidanaan yang dapat dipilih sebagai alternatif pemidanaan dengan menggabungkan sistem restorative justice sebagai konsep pemidanaan dengan teori keseimbangan sebagai tujuan pemidanaan dengan poin-poin sebagai berikut:

1) Semua tindak pidana berakhir dengan munculkan kerugian terhadap negara; 2) Tindak pidana penghinaan, baik penghinaan tradisional276 maupun penghinaan

siber tidak saja akan menimbulkan kerugian kepada negara tetapi juga menimbulkan kerugian kepada korban baik berupa kerugian atas nama baik maupun kerugian berupa materil

Tujuan pemidanaan adalah untuk mengembalikan keseimbangan keadaan akibat perbuatan pidana sipelaku sebagai tujuan utama, dengan tetap tidak mengenyampingkan tindakan prefensi agar kejahatan yang sama tidak kembali dilakukan oleh pelaku (special detteren) atau orang-orang lain (general detterent bahwa keseimbangan itu merupakan keseimbangan antara kepentingan umum dengan kepentingan individu, antara unsur objektif dengan unsur subjektif, antara kriteria formel dengan materiel, antara kepastian hukum dengan kelenturan dan keadilan. Menurut penulis, keseimbangan dalam pemidanaan sebagai tujuan dari pemidanaan berada pada posisi mengakomodir nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum itu sendiri.

Dalam hal tindak pidana penghinaan di internet atau tindak pidana penghinaan secara umum, penulis memberikan tawaran yang berbeda terkait dengan pemidanaan yang dapat dipilih sebagai alternatif pemidanaan dengan menggabungkan sistem restorative justice sebagai konsep pemidanaan dengan teori keseimbangan sebagai tujuan pemidanaan dengan poin-poin sebagai berikut:

1) Semua tindak pidana berakhir dengan munculkan kerugian terhadap negara; 2) Tindak pidana penghinaan, baik penghinaan tradisional276 maupun penghinaan

siber tidak saja akan menimbulkan kerugian kepada negara tetapi juga menimbulkan kerugian kepada korban baik berupa kerugian atas nama baik maupun kerugian berupa materi

3) Tujuan pemidanaan adalah untuk mengembalikan keseimbangan keadaan akibat perbuatan pidana sipelaku sebagai tujuan utama, dengan tetap tidak mengenyampingkan tindakan prefensi agar kejahatan yang sama tidak kembali dilakukan oleh pelaku (special detteren) atau orang-orang lain (general detteren) 4) Perbuatan pelaku dianggap sebagai tindakan yang telah menimbulkan hutang

(14)

5) Mengadopsi nilai-nilai restorative justice system, dalam konsep pidana baru yang mengutamakan pengembalian kerugian yang dialami oleh korban

Kelima poin tersebut di atas dapat diasosiasikan dalam 3 (dua) bentuk Pidana, yaitu pidana kerja sosial, pembayaran ganti kerugian atau denda dan pemulihan keadaan.

KESIMPULAN

1. Formulasi penerepan pasal tindak pidana pencemaran nama baik dalam UU ITE dianggap telah melanggar asas lex certa dan kepastian hukum karena pasal tidak dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya dan perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum sehingga berpontensi melanggar hak asasi manusia khususnya hak berpikir dan menyatakan pendapat.

2. Reformulasi penerapan pasal tindak pidana pencemara nama baik dalam UU ITE dianggap sangat perlu hal ini disebabkan Masih lemahnya penghargaan dan perlindungan hak asasi manusia serta sanksi pidana yang masih mengedepankan ultimum remedium sehingga formulasi ideal sudah seharusnya menghargai dan melindungi HAM khusus hak berpikir dan menyampaikan pendapat serta menakar ulang formulasi sanksi pidananya

SARAN

1. Bahwa sabaiknya pemerintah mencabut tindak pidna pencemaran nama baik dalam UU ITE dan melakukan reformulasi serta harmonisasi ketentuan tindak pidana pencemaran nama baik yang dilakukan melalui media elektronik kedalam KUHP. Hal ini didasrkan dari penjelasan perubahan dalam pasal pencemaran nama baik yang menjadikan KUHP sebagai rujukan pasal. Selain itu hal ini juga sejalang dengan kebijakan pemerintah dalam Reformasi KUHP dan harmonisasi aturan atauran yang ada diluar KUHP untuk dimasukkan kedalam RKUHP yang terbaru nantinya.

2. Bahwa dalam pengaturan pembatasan kebebasan berkesperi terkhusus pasal pencemarana nama baik seharusnya pemerintah meperhatikan dan mempertimbangkan prinsip-prinsip pembatasan kebebasan bereksperi, asas –asas hukum khususnya asas les certa serta mempertimbangkan metode pemidanaan yang lain seiring berkembanganya ilmu hukum moderen. Karena bila tidak aturan membuat pidana penghinaan bukan memberikan detterent effect sebagaimana yang diharapkan oleh pembuat undang-undang, tetapi malah memberikan chilling effect terhadap pelaksanaan kebebasan berekspresi dan berpendapat.

DAFTAR PUSTAKA

Asmadi, E. (2021). Rumusan Delik Dan Pemidanaan Bagi Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Di Media Sosial. De Lega Lata: Jurnal Ilmu Hukum, 6(1), 16-32.

Azis, A. (2018). Constitutional Complaint dan Constitutional Question dalam Negara

(15)

Djanggih, H. (2018). Konsepsi Perlindungan Hukum Bagi Anak Sebagai Korban Kejahatan Siber Melalui Pendekatan Penal Dan Non Penal. Mimbar

Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 30(2), 316-330.

Djanggih, H., & Qamar, N. (2018). Penerapan Teori-Teori Kriminologi dalam Penanggulangan Kejahatan Siber (Cyber Crime). Pandecta Research Law

Journal, 13(1), 10-23.

Fonna, N. (2019). Pengembangan Revolusi Industri 4.0 dalam Berbagai Bidang. Guepedia. Kasemin, H. K. (2016). Agresi Perkembangan Teknologi Informasi. Prenada Media.

Kurniawati, Y. R. (2020). PertanggungJawaban Pidana Atas Penyebaran Berita Bohong (Hoax) di Media Sosial. Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, 26(4), 422-437.

Marzuki, S. (2013). Perspektif Mahkamah Konstitusi tentang hak asasi manusia. Jurnal

Yudisial, 6(3), 189-206.

Sinapoy, M. S., & Sanib, S. S. (2019). Pencabutan dan Pembatasan Hak Politik Warga Negara dalam Pemilu: Suatu Bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Halu Oleo

Law Review, 3(2), 283-298.

Supiyati, S. (2020). Penerapan Pasal 27 Ayat 3 Undang-undang No 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Terhadap Tindak Pidana Pencemaran NAMA Baik Melalui Internet Sebagai Cybercrime Di Hubungkan Dengan Kebebasan Berekspresi. Pamulang Law Review, 2(1), 23-36.

Referensi

Dokumen terkait

Pemahaman dinamika yang terjadi dalam diri konseli dan konselor dapat dimaknai sebagai atribut psikofisik meliputi berinteraksinya seluruh budaya konselor dan

Gudang Berikat adalah suatu bangunan atau tempat dengan batas-batas tertentu yang didalamnya dilakukan kegiatan usaha penimbunan, pengemasan, penyortiran, pengepakan,

Dari persamaan tersebut dapat dilihat bahwa croscarmellose sodium memiliki koefisien yang lebih besar daripada Pearlitol ® 400DC sehingga memiliki peran yang.

Dalam rangka meningkatkan ekspansi usaha BUMD, untuk mendongkrak peningkatan perekonomian daerah, maka Pemerintah Kabupaten Lampung Utara dapat melakukan investasi sesuai Pasal

Namun isi tugas akhir Ogi Gustaman yang berjudul “Kesenian Barongsai Sebagai Salah Satu Kebudayaan Tionghoa di Indonesia” berbeda dengan tugas akhir yang berjudul

Informasi ini diperoleh dari tenaga kesehatan (PUSKESMAS dan bidan desa), membaca buku KIA, majalah, koran, radio, TV, internet sebelum ibu hamil di rujuk ke

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta sebagaimana telah dibuktikan dalam pertimbangan hukum unsur tindak pidana dan pendapat ahli sebagaimana tersebut diatas, maka Majelis