• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI KESANTUNAN TINDAK MEMBUKA PERCAKAPAN PADA CHATTING DI INTERNET

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI KESANTUNAN TINDAK MEMBUKA PERCAKAPAN PADA CHATTING DI INTERNET"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

9

STRATEGI KESANTUNAN TINDAK

MEMBUKA PERCAKAPAN PADA CHATTING DI INTERNET

Novi Eka Susilowati

Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang susilowati_novieka@yahoo.co.id

Abstrak: Tulisan ini mendeskripsikan kesantunan dalam membuka percakapan pada chatting di internet. Kesantunan dalam membuka percakapan pada chatting diper-lukan karena chatting merupakan salah satu bentuk komunikasi tidak tatap muka sehingga memungkinkan terjadinya konflik. Pembahasan menunjukkan bahwa banyak ragam dalam membuka percakapan pada chatting di internet. Namun, tidak semua ragam dalam membuka percakapan tersebut merepresentasikan kesantunan. Kesantunan dalam chatting berbeda dengan kesantunan dalam komunikasi langsung. Dalam komunikasi langsung, kesantunan dapat diukur dari kelangsungan tuturan, tetapi dalam chatting, kelangsungan tuturan tidak selalu menunjukkan bahwa tuturan tersebut santun.

Kata kunci: kesantunan, membuka percakapan, chatting

Pada abad ke 21, komputer menjadi suatu media yang sangat konvensional di dunia, terlebih dengan teknologi lain yang telah ditanamkan di dalamnya yaitu jaringan Internet. Kemajuan teknologi di bidang informasi dan komunikasi tersebut telah memberikan pengaruh besar terhadap pola dan gaya interaksi umat manusia. Jarak dan luas wilayah komunikasi telah menem-bus batas dimensi ruang dan waktu. Manu-sia masa kini tak cukup hanya berkomu-nikasi secara sosial di dunia nyata, tetapi juga telah jauh merambah berinteraksi secara maya melalui media internet.

Kemudahan-kemudahan dan keun-tungan yang diperoleh dalam menggu-nakan internet mengakibatkan banyak masyarakat yang menggunakan internet dalam berkomunikasi. Hal ini dibuktikan dengan semakin meningkatnya pengguna internet dari hari ke hari. Dari data Internet World Stats, dalam satu dasawarsa terakhir jumlah pengguna internet (netter) di dunia

meningkat drastis. Dari 0.4% pengguna dari seluruh penduduk dunia, kini naik hampir 60 kali lipat di tahun 2008. Sejak tahun 2000, pertumbuhan netter dunia naik rata-rata 2% terhadap total populasi dunia. Di Indonesia sendiri, berdasarkan data IDC (Internet Indo Data Centra Indonesia), ada sekitar 25 juta pengguna internet. Jumlah ini sama halnya dengan sepuluh 10% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia. Jumlah ini diperkirakan akan terus ningkat tiap tahunnya seiring dengan me-ningkatnya jumlah jejaring sosial yang memberikan kemudahan dan memanjakan penggunanya dalam berinteraksi secara maya sebagai media ekspresi untuk ber-aktualisasi diri (Tuhusetya, 2009).

Meningkatnya pengguna internet jelas akan berimplikasi pada penggunaan ragam bahasanya. Dalam memanfaatkan internet, pengguna internet tentunya tidak hanya puas menggunakan internet secara pasif, tetapi juga telah meningkat

(2)

intensi-tasnya sebagai pengguna aktif. Pengguna internet tidak hanya memanfaatkan infor-masi-informasi yang dapat mereka unduh dari internet, melainkan juga memberikan informasi maupun melakukan ragam-ra-gam komunikasi melalui internet. Apalagi dengan banyak bermunculannya situs-situs jejaring sosial, peluang pengguna internet untuk berkomunikasi melalui internet semakin besar.

Salah satu fasilitas di internet yang banyak digunakan pengguna internet untuk berkomunikasi adalah layanan chatting. Chatting ini menjadi sangat populer karena dianggap dapat menggantikan kegiatan berkomunikasi secara tradisional yang mengharuskan partisipan tutur untuk ber-tatap muka (face to face). Dengan adanya fasilitas chatting ini, partisipan tutur tidak harus bertatap muka untuk melakukan komunikasi secara langsung. Mereka dapat melakukan komunikasi langsung tersebut melalui percakapan secara tertulis.

Dalam melakukan aktivitas perca-kapan tersebut, chatter (orang yang mela-kukan kegiatan chatting) tersebut menggu-nakan bahasa sebagai alat komunikasi. Bahasa pada hakikatnya merupakan kom-binasi berbagai macam simbol yang diatur secara sistematis sehingga dapat dipergu-nakan sebagai alat komunikasi secara arbitrer (mana suka). Simbol-simbol yang tertata secara sistematis akan melahirkan kata sebagai bagian esensial dari sebuah bahasa yang digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu hingga akhirnya mela-hirkan sebuah wacana, baik lisan maupun tulisan. Karena berupa lambang atau sim-bol, dengan sendirinya bahasa membutuh-kan kesepakatan, sehingga antara komuni-kator dan komunikan bisa saling memaha-mi maksud yang tersirat di balik simbol-simbol bahasa yang digunakan (Tuhusetya, 2009).

Sejalan dengan pemaparan Tuhusetya di atas, Sumarsono (2009:19)

memandang bahwa bahasa memang digu-nakan sebagai alat tingkah laku sosial yang dipakai dalam berkomunikasi. Setiap indi-vidu dapat bertingkah laku dalam wujud bahasa, dan tingkah laku bahasa individual ini dapat berpengaruh luas pada anggota masyarakat bahasa yang lain. Hal ini mem-bawa implikasi bahwa dalam melakukan kegiatan berkomunikasi, peserta komuni-kasi harus mengikuti sejumlah kaidah yang berlaku dalam guyub tutur tersebut agar interaksi di antara mereka dapat berjalan dengan harmonis.

Dalam berkomunikasi melalui chatting, peserta komunikasi sebenarnya sedang mentransfer secara tertulis ide atau pikiran yang seharusnya mereka lakukan secara langsung (melalui media lisan). Dengan kata lain, ketika melakukan kegi-atan chatting, chatter sedang melakukan kegiatan berbahasa lisan tetapi melalui media tulis. Karena itu, sama halnya de-ngan percakapan lisan, peserta komunikasi melakukan beberapa kegiatan untuk men-jadikan kegiatan komunikasi tersebut lan-car. Kegiatan yang dilakukan tersebut di antaranya yaitu kegiatan interaksi yang meliputi kegiatan membuka percakapan. Ketika membuka percakapan, partisipan tutur memilih strategi kesantunan berba-hasa tertentu. Hal ini dimaksudkan agar komunikasi yang terjadi di antara parti-sipan tutur berjalan dengan harmonis. Pemilihan strategi kesantunan juga dimak-sudkan untuk menjaga muka peserta tutur. Kesantunan merupakan salah satu bentuk norma dalam bermasyarakat se-hingga sifatnya subjektif. Hal ini mem-bawa konsekuensi bahwa sesuatu dikata-kan santun bagi seseorang atau anggota kelompok tertentu, belum tentu dikatakan santun bagi orang atau anggota kelompok lain. Dengan demikian, pemaknaan kesan-tunan dalam sebuah interaksi tidak dapat disamakan antara interaksi yang satu de-ngan lainnya, termasuk juga dalam

(3)

inter-aksi melalui chatting di internet. Dalam kegiatan interaksi ini, chatter mempunyai norma-norma sendiri untuk mengatakan sesuatu itu dianggap santun atau tidak. Apalagi, bahasa chatting di internet memi-liki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan karakteristik bahasa pada percaka-pan lainnya. Untuk itulah, tulisan ini ber-usaha untuk mengungkap kesantunan pada kegiatan chatting di internet, utamanya pada kegiatan membuka dan menutup percakapan.

KARAKTERISTIK BAHASA INTERNET

Berdasarkan saluran yang diguna-kan dalam berkomunikasi, wacana dapat dibedakan menjadi wacana tulis dan waca-na lisan. Wacawaca-na tulis adalah teks yang berupa rangkaian kalimat yang menggu-nakan ragam bahasa tulis, sedangkan wacana lisan adalah teks lisan merupakan rangkaian kalimat yang ditranskrip dari rekaman bahasa lisan. Wacana tulis, dapat ditemukan dalam bentuk buku, berita di koran, artikel, makalah, dan sebagainya, sedangkan wacana lisan misalnya percaka-pan, khotbah, dan siaran langsung di radio atau TV (Rani, dkk, 2006:26). Lebih lan-jut, Rani, dkk (2006) mengemukakan perbedaan bahasa lisan dan bahasa tulis. Perbedaan tersebut dijabarkan berikut ini..

Pertama, kalimat dalam bahasa lisan cenderung kurang terstruktur (grama-tikal) apabila dibandingkan dengan bahasa tulis, sebaliknya, bahasa tulis cenderung lengkap dan panjang bahkan ada yang terdiri atas beberapa klausa. Kedua, penataan subordinatif bahasa dalam wacana lisan lebih sedikit apabila dibandingkan bahasa tulis. Dalam wacana lisan cenderung tidak digunakan kalimat majemuk subordinatif. Ketiga, bahasa dalam wacana lisan jarang menggunakan piranti hubung karena didukung oleh konteksnya. Bahasa dalam wacana tulis

sering menggunakan piranti hubunguntuk menunjukkan suatu hubungan ide. Keempat, bahasa dalam wacana lisan cenderung tidak menggunakan frase benda yang panjang sedangkan dalam wacana tulis menggunakan. Kelima, kalimat-kalimat dalam bahasa tulis cenderung berstruktur subjek-predikat, sedangkan bahasa lisan menggunakan struktur topik-komen. Keenam, dalam bahasa lisan, pembicara dapat mengubah struktur atau memperhalus ekspresi yang kurang tepat pada saat itu juga, sedangkan dalam bahasa tulis hal itu tidak dapat terjadi. Ketujuh, dalam bahasa lisan, khususnya dalam percakapan sehari-hari, pembicara cenderung menggunakan kosakata umum. Sebaliknya, dalam bahasa tulis, sering digunakan istilah teknis yang mempunyai makna khusus. Kedel apan, dalam bahasa lisan sering diulang bentuk sintaksis yang sama dan digunakan sejumlah filler, misalnya saya pikir, Anda ketahui, jika Anda mengetahui apa yang saya maksud, dan sebagainya. Pada bahasa tulis, jarang sekali pemakaian filler dan pengulangan bentuk yang sama tersebut.

Berdasarkan perbedaan-perbedaan bahasa tulis dan bahasa lisan di atas, bahasa chatting dapat dikategorikan dalam bahasa lisan. Hal ini disebabkan oleh dominannya karakteristik bahasa lisan pada bahasa chatting, meskipun bahasa chatting juga dituliskan seperti bahasa tulis.

Meskipun bahasa chatting dapat dikategorikan sebagai bahasa lisan, namun bahasa chatting masih memiliki perbedaan dengan bahasa lisan atau bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Perbedaan penggunaan bahasa tersebut berkisar pada pemakaian sejumlah kata atau ungkapan yang khusus digunakan dalam chatting. Artinya, dalam melakukan kegiatan chatting, para chatter memiliki ragam bahasa sendiri yang tidak digunakan

(4)

dalam komunikasi di luar komunikasi chatting, misalnya penggunaan asl yang biasanya digunakan untuk menanyakan umur (a=age), jenis kelamin (s=sex), dan asal (l=location). Istilah-istilah semacam inilah yang hanya digunakan dalam chatting.

Selain karakteristik yang telah disebutkan di atas, bahasa chatting juga mempunyai beberapa karakteristik lain. Karakter tersebut terletak pada penggunaan singkatan yang digunakan dalam berkomu-nikasi. Contoh pada bagian sebelumnya juga merupakan salah satu bentuk sing-katan yang dapat ditemukan pada komuni-kasi chatting di internet. Penggunaan singkatan ini dilakukan dalam rangka untuk membuat tuturan cepat disampaikan kepada mitra tutur. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyuniarti (2008) menun-jukkan bahwa singkatan yang digunakan dalam chatting merupakan bentukan kata yang telah mengalami proses morfologis. Hanya saja, bentukan tersebut merupakan bentukan nonstandar yang tidak sesuai dengan kaidah pembentukan kata dalam bahasa Indonesia. Tak hanya itu, dalam komunikasi chatting, para chatter juga cenderung menggunakan bahasa gaul sebagai bahasa pengantar komunikasi mereka.

JENIS-JENIS STRATEGI KESANTUNAN

Menurut Allan (dalam Rahardi, 2005), bertutur adalah kegiatan yang berdimensi sosial. Seperti lazimnya kegi-atan-kegiatan sosial lain, kegiatan bertutur dapat berlangsung dengan baik apabila para peserta pertuturan itu semuanya ter-libat aktif di dalam proses bertutur terse-but. Apabila terdapat satu atau lebih pihak yang tidak terlibat aktif dalam kegiatan bertutur, dapat dipastikan pertuturan itu tidak dapat berjalan lancar. Dengan kata lain, agar proses komunikasi penutur dan

mitra tutur dapat berjalan baik dan lancar, mereka haruslah dapat saling bekerja sama. Terkait pembicaraan tentang kerja sama dalam berkomunikasi, Grice (dalam Leech, 1993:11) telah menuangkan bebera-pa prinsip. Prinsip tersebut dikenal dengan Prinsip Kerja Sama (PK) yang meliputi empat maksim, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi/hubu-ngan, dan maksim cara.

Jika diperhatikan, teori Grice ter-sebut didasarkan pada prinsip logika sehingga efektivitas komunikasi semata-mata diukur dari aspek kebenaran infor-masi dan ketepatan proses penyampaian informasi tersebut. Padahal, dalam proses komunikasi, penutur dan petutur mungkin saja harus berbohong dan penyampaian informasi tidak dilakukan secara langsung. Hal itu dilakukan karena penutur atu petutur mempunyai maksud-maksud ter-tentu. Dengan kata lain, PK Grice tidak sepenuhnya dapat dipenuhi. Bahkan, ka-dangkala harus dilanggar. Untuk masalah-masalah interpersonal, PK Grice tidak lagi banyak digunakan. PK Grice kurang mene-kankan aspek kesantunan dalam berkomu-nikasi. Karena hal itulah, beberapa linguis mengembangkan model-model teori atau strategi kesantunan berbahasa.

Watts (2003:1) menyatakan bahwa tidak mudah memberikan definisi tentang kesantunan. Dalam usaha untuk memper-oleh kesepakatan tentang definisi kesan-tunan, biasanya ditemui kesulitan untuk memberikan definisi yang bisa mewadahi pemahaman tentang kesantunan secara menyeluruh karena subjektivitas dalam memahami kesantunan. Namun demikian, masyarakat memiliki sebuah konvensi umum untuk menyebutkan sesuatu dikata-kan santun atau tidak. Untuk itulah, Lakoff (dalam Yule, 1996:183) mendefinisikan kesantunan sebagai suatu sistem hubungan antarmanusia yang diciptakan untuk mem-permudah hubungan dengan

(5)

meminimal-kan potensi konflik dan perlawanan yang melekat dalam segala kegiatan manusia.

Ada beberapa jenis strategi kesan-tunan yang pernah dicetuskan para ahli. Namun, sedikitnya terdapat tiga macam jenis kesantunan yang sampai dengan saat ini banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam penelitian kesantunan. Ketiga ma-cam kesantunan itu adalah (1) kesantunan menurut Robin Lakoff, (2) kesantunan me-nurut Leech, dan (3) kesantunan meme-nurut Brown dan Levinson.

Eelen (dalam Jumadi, 2005:51) menganggap Robin Lakoff sebagai ibu teori kesantunan modern. Lakoff mendefi-nisikan kesantunan sebagai “… sistem hu-bungan interpersonal yang dirancang untuk mendukung interaksi dengan meminimal-kan potensi konflik dan kofrontasi yang terjadi pada semua hubungan manusia.” Teori yang disusun Lakoff ini sebenarnya beranjak dari teori PK Grice dengan me-nambahkan sejumlah prinsip yang diukur dari parameter sosial.

Teori kesantunan Lakoff memuat tiga aturan, yaitu (a) skala formalitas (for-mality scale): jangan memaksakan aturan (aturan 1); (b) skala ketidaktegasan (hesi-tancy scale): berilah pilihan (aturan 2); dan (c) ciptakan suasana nyaman dan ramah (aturan 3). Aturan ini selalu dijumpai da-lam komunikasi apapun, tetapi berbagai budaya cenderung menekankan salah satu-nya. Budaya Asia misalnya, lebih mene-kankan kepada rasa hormat, sedangkan budaya Eropa cenderung menekankan menjaga jarak, dan budaya Amerika mene-kankan pada persahabatan.

Teori kesantunan yang lain diung-kapkan oleh Leech. Teori kesantunan Leech dikembangkan berdasarkan parame-ter skala untung-rugi (cost benefit-scale). Semakin menguntungkan petutur, tuturan yang dibuat semakin santun, demikian juga sebaliknya. Selanjutnya, Leech mengem-bangkan parameter tersebut disajikan

dalam sejumlah maksim, maksim kearifan/ kebijaksanaan (tact maxim) (dalam ilokusi impositif dan komisif), maksim kederma-wanan (generosity maxim) (dalam ilokusi impositif dan komisif), maksim penghar-gaan/pujian (approbation maxim) (dalam ilokusi ekspresif dan asertif), maksim kerendahan hati (modesty maxim) (dalam ilokusi ekspresif dan asertif), maksim kesepakatan (agreement maxim) (dalam ilokusi asertif), dan maksim simpati (sympathy maxim) (dalam ilokusi asertif).

Teori kesantunan yang lain dikemukakan oleh Brown dan Levinson (1987). Walaupun bukan termasuk tokoh pertama, teori kesantunan Brown dan Levinson paling berpengaruh bila diban-dingkan dengan teori kesantunan yang lain. Brown dan Levinson mengembangkan mo-del sopan santun eksplisit yang memiliki validitas antarkebudayaan (Ibrahim, 1993: 323). Gagasan yang umum adalah upaya memahami berbagai strategi perilaku inter-aksi yang didasarkan pada kenyataan bah-wa orang yang terlibat dalam perilaku interaksi berusaha mencapai keinginan tertentu. Keinginan yang berkaitan dengan sopan santun adalah keinginan untuk menghadapi sesuatu yang terikat secara emosional. Konsep ini berhubungan de-ngan ekspresi kehilade-ngan muka yang berarti terhina.

Berdasarkan pemaparan di atas, diketahui pula bahwa teori kesantunan Brown dan Levinson didasarkan pada kepada tindakan penyelamatan muka (saving face-act) dengan penghindaran tindakan mengancam muka (face threa-tening act/FTA). Pandangan kesantunan Brown dan Levinson ini banyak digunakan sebagai ancangan penelitian. Pandangan ini kemudian dikenal dengan pandangan “penyelamatan muka (saving face-act)”.

Pandangan Brown dan Levinson ini mendasarkan asumsi pokoknya pada aliran Weber (Weberian School) yang

(6)

memandang komunikasi sebagai kegiatan rasional yang mengandung maksud dan sifat tertentu (purposeful-rational activity). Menurut Rahardi (2005:39), pandangan ini pada awal mulanya diilhami dari konsep muka seorang antropolog Cina yang berna-ma Hsien Chin Hu. Selain itu, pandangan kesantunan ini juga didasari oleh konsep mua yang dikembangkan Goffman, yakni bahwa kesantunan atau penyelamatan muka itu merupakan manifestasi penghar-gaan terhadap individu anggota suatu masyarakat.

Berdasarkan pandangan-panda-ngan tersebut, Brown dan Levinson me-nyimpulkan tema utama teori ini, yaitu “rasionalitas” dan “muka”. Rasionalitas adalah alasan atau logika. Adapun muka adalah wujud pribadi seseorang dalam masyarakat (Yule, 1996:104). Muka meng-acu pada makna sosial dan emosional itu sendiri yang setiap orang memiliki dan mengharapkan orang lain untuk menge-tahui. Dengan demikian, kesopanan dalam

suatu interaksi dapat didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang muka orang lain.

Kekuatan pendekatan Brown dan Levinson dibanding penyajian sopan san-tun Leech dan Robin Lakoff yang ber-orientasi pada kaidah adalah bahwa Brown dan Levinson berusaha menjelaskan sopan santun dengan mengambil konsep-konsep yang lebih fundamental tentang manusia (rasional dan memiliki keinginan). Meski-pun demikian, di antara ketiga macam teori kesantunan tersebut, dapat ditarik sebuah kesamaan bahwa dalam kesantunan, keti-daklangsungan dapat berfungsi sebagai bentuk kesantunan (Yule, 1996:183). Teori-teori kesantunan tersebut menyim-pulkan bahwa salah satu indikator kesan-tunan adalah dengan menyusun ketidak-langsungan tuturan. Artinya, semakin lang-sung sebuah tuturan, maka akan semakin tidak santunlah tuturan itu. Leech (1993: 108) mencontohkan sebagai berikut.

Ketidaklangsungan Kurang santun a. Angkat telepon!

(Answer the phone!)

b. Saya ingin kamu angkat telepon! (I want you to answer the phone!) c. Maukah Anda mengangkat telepon?

(Will you answer the phone?)

d. Dapatkan Anda mengangkat telepon? (Would you mind answering the phone?) e. Apa mungkin Anda mengangkat telepon? (Could you possibly answer the phone?)

Lebih santun

STRATEGI KESANTUNAN PADA PERCAKAPAN CHATTING DI INTERNET

Kesantunan merupakan salah satu bentuk norma dalam bermasyarakat se-hingga sifatnya subjektif. Dengan

demi-kian, sesuatu dikatakan santun bagi sese-orang atau anggota kelompok tertentu, belum tentu dikatakan santun bagi orang atau anggota kelompok lain. Hal ini me-nyebabkan ukuran-ukuran kesantunan ber-beda antara anggota masyarakat yang satu

(7)

dengan lainnya, budaya yang satu dengan lainnya, maupun saluran komunikasi yang satu dengan lainnya. Sebagai contoh, bagi orang Asia (misalnya Jawa), berbicara dengan melihat mata untuk orang yang lebih tua atau berstatus lebih tinggi akan dikatakan tidak sopan. Sebaliknya, bagi orang barat, berbicara tanpa memandang mata justru akan dikatakan tidak sopan. Contoh lain, dalam komunikasi melalui short message service (SMS), pesan dika-takan tidak sopan jika menggunakan ba-hasa yang disingkat jika SMS itu diberikan kepada orang yang berstatus lebih tinggi. Namun, SMS yang disingkat tersebut tetap dikatakan sopan jika diberikan kepada teman sebaya atau teman yang sudah akrab.

Berdasarkan paparan tersebut, da-pat diketahui bahwa dalam berinteraksi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menentukan kesantunan berkomuni-kasi. Hal-hal tersebut yaitu derajat keakra-ban, status sosial, umur, latar belakang bu-daya, maupun kekuasaan. Jika para partisi-pan tutur dapat memperhatikan aspek-aspek tersebut maka niscaya komunikasi akan dapat berjalan dengan harmonis, mulai dari pembukaan komunikasi hingga penutup. Persyaratan kesantunan dalam berkomunikasi yang semacam ini juga berlaku untuk komunikasi pada chatting di internet.

Walaupun komunikasi melalui chatting di internet lebih mendekati karak-teristik bahasa lisan, namun komunikasi pada chatting di internet masih berbeda dengan karakteristik bahasa lisan. Dalam komunikasi lisan, untuk membuat perca-kapan dikatakan santun, penutur dapat memilih diksi-diksi yang dapat menjaga keharmonisan komunikasi di antara penu-tur dan penupenu-tur. Sebagai contoh, dalam membuka percakapan, penutur lazimnya mengucapkan salam, ataupun menanyakan kabar. Jika tidak mengucapkan kata-kata

pembukaan ini, maka penutur dapat dika-takan kurang sopan dalam membuka per-cakapan. Apalagi jika percakapan itu dila-kukan kepada orang yang lebih tua, berku-asa, berstatus lebih tinggi, atau bahkan orang yang tidak dikenal. Namun, dalam komunikasi pada chatting di internet, chatter dapat tidak mengucapkan kata-kata tersebut. Bahkan, jika chatter melakukan chatting dengan chatter lain yang belum dikenal sebelumnya, chatter dapat lang-sung menanyakan umur, jenis kelamin, dan asal lawan chatting untuk membuka perca-kapan. Pembukaan yang semacam ini akan sangat tidak lazim dilakukan dalam ko-munikasi lisan secara langsung. Apalagi jika komunikasi tersebut dilakukan dengan lawan tutur yang belum dikenal sebelum-nya. Pertanyaan tentang umur bahkan di-rasa sangat tidak sopan jika dilontarkan kepada orang yang belum dikenal. Bahkan, sebagian besar orang barat merasa bahwa pertanyaan tentang umur adalah perta-nyaan pribadi yang tidak sopan jika dita-nyakan kepada orang lain. Namun, dalam komunikasi chatting, pertanyaan tentang umur untuk membuka percakapan dirasa sangat lazim.

Tak hanya itu, dalam membuka percakapan dengan lawan chatting yang belum dikenal, chatter dapat juga hanya menanyakan jenis kelamin. Chatter biasa-nya langsung habiasa-nya mengetik f/m pada layar untuk menanyakan jenis kelamin dalam membuka percakapan. Pembukaan yang semacam ini juga tidak akan ditemu-kan pada komunikasi lisan. Bahditemu-kan, komu-nikasi yang semacam ini justru dirasa tidak sopan.

Meskipun demikian, dalam mem-buka percakapan chatting, chatter kadang-kala juga masih menggunakan sapaan-sapaan pembuka seperti halnya pembukaan percakapan pada komunikasi lisan. Peng-gunaan sapaan seperti assalamu’alaikum, selamat pagi, hai, halo, apa kabar, lagi

(8)

ngapain, dan sejenisnya juga masih digu-nakan. Hanya saja, sapaan-sapaan pembu-kaan semacam ini lebih banyak digunakan pada chatting yang para chatter-nya sudah saling mengenal. Adapun untuk chatting yang para chatter- nya belum saling me-ngenal, sapaan pembuka yang sering digu-nakan adalah asl (age, sex, and location) maupun f/m (female/male). Tak hanya itu, sama halnya dengan komunikasi melalui SMS, komunikasi chatting biasanya juga menggunakan bahasa yang disingkat. Misalnya saja sapaan assalamu’alaikum disingkat dengan ass, asslm, ataupun aslkum.

Dalam komunikasi chatting sema-cam ini, pembukaan percakapan dengan model yang semacam itu sudah dianggap santun. Kesantunan memang bersifat sub-jektif dan normatif sehingga kesantunan yang semacam ini hanya berlaku untuk komunikasi pada chatting. Adapun jika model pembukaan percakapan yang sema-cam ini diterapkan pada bentuk percakapan lain, maka bisa jadi percakapan tersebut menjadi tidak sopan. Tak hanya itu, dalam komunikasi chatting, kesantunan berbaha-sa, termasuk kesantunan dalam membuka percakapan, ternyata tidak didasarkan atas ketidaklangsungan percakapan. Seperti yang pernah dipaparkan Yule (1996) dan Leech (1993), salah satu indikator kesan-tunan adalah dari ketidaklangsungan tutu-ran. Namun, dalam kegiatan membuka per-cakapan chatting, ketidaklangsungan tidak-lah dianggap sebagai satidak-lah satu indikator kesantunan percakapan. Hal ini terlihat dari kelangsungan pemilihan pertanyaan-pertanyaan yang dipilih untuk membuka percakapan. Hal semacam ini sudah diang-gap lazim dan sopan dalam komunikasi chatting. Permbukaan yang semacam ini dianggap tidak sopan jika dilakukan ke-pada lawan chatting yang status atau kedu-dukannya lebih tinggi. Jika chatting dila-kukan kepada orang yang lebih tinggi

status atau kedudukannya, maka pembuka-an chatting dilakukpembuka-an selayaknya pembu-kaan percakapan secara lisan, misalnya menggunakan assalamu’alaikum, selamat pagi, apa kabar, dan sebagainya.

Dalam komunikasi lisan, selain dari segi pemilihan kata atau bahasa, pe-serta tutur juga dapat menggunakan into-nasi, volume, mimik, maupun gesture un-tuk menunjukkan kesantunan ujaran. Da-lam komunikasi melalui chatting, hal-hal semacam ini tidak dapat dilakukan karena tidak ada kegiatan bersemuka di antara penutur dan mitra tutur. Oleh karena itulah, penutur seringkali menggunakan simbol-simbol tertentu untuk menunjukkan Ke-nyamanan mereka terhadap ujaran mitra tutur. Hal ini digunakan sekaligus untuk menunjukkan kesantunan berbahasa mere-ka. Simbol-simbol ini dianggap dapat menggantikan unsur-unsur suprasegmental yang tidak dapat mereka lakukan sebagai-mana yang biasanya dilakukan pada perca-kapan lisan bersemuka. Adapu simbol yang biasa digunakan adalah simbol  (senyum) untuk menunjukkan bahwa me-reka menikmati atau tersinggung dengan percakapan yang ada, atau mungkin simbol  untuk menunjukkan bahwa mereka ku-rang berkenan dengan isi percakapan.

Jika dianalisis menggunakan ske-ma kesantunan yang dirancang oleh Brown dan Levinson, kesantunan yang dilakukan oleh penutur pada chatting di internet lebih banyak menggunakan strategi bald on record atau ujaran yang disampaikan dengan polos atau apa adanya. Pada pem-bukaan chatting di internet, khususnya chatting yang dilakukan dengan chatter yang belum dikenal, penutur seringkali menggunakan pertanyaan-pertanyaan lang-sung, bahkan kadangkala tanpa salam pembuka. Strategi-strategi lain, misalnya strategi off record, strategi positif, maupun strategi negatif, jarang digunakan oleh chatter. Para chatter biasanya langsung

(9)

memberikan pertanyaan-pertanyaan terten-tu dalam membuka percakapan mereka dan hal ini sudah dianggap santun dalam kon-teks interaksi melalui chatting. Dari pema-paran tersebut terlihat juga bahwa perta-nyaan-pertanyaan untuk membuka per-cakapan yang demikian sudah dirasa dapat menjaga muka lawan bicara.

PENUTUP

Kesantunan merupakan skala yang bersifat normatif dan subjektif. Oleh karena itulah, indikator kesantunan berbe-da-beda pada masing-masing jenis tuturan, latar belakang budaya, maupun tempat yang berbeda. Sesuatu dikatakan santun pada konteks tertentu, belum tentu dikata-kan santun pada konteks lainnya, termasuk

kesantunan pada tindak membuka percaka-pan pada chatting di internet. Dalam komunikasi melalui chatting di internet, ada beberapa bentuk kelangsungan yang digunakan dalam membuka percakapan. Kelangsungan tersebut dirasa sudah cukup santun dalam membuka percak apan, meskipun pada konteks lain, kelangsungan tersebut justru dianggap tidak santun. Dengan demikian, pada percakapan chat-ting di internet, ketidaklangsungan dalam membuka percakapan belum tentu dapat dikatakan sebagai indikator kesantunan karena dalam membuka percakapan, chat-ter kadangkala menggunakan tuturan yang justru langsung dan menganggap hal terse-but sudah santun untuk konteks komu-nikasi itu.

DAFTAR RUJUKAN

Brown, Penelope and Levinson, Stephen C. 1987. Politeness Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.

Ibrahim, Abdul Syukur. 1994. Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional. Jumadi. 2005. Representasi Kekuasaan

dalam Wacana Kelas. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Terjemahan oleh M.D.D. Oka. 1993. Jakarta: Penerbit Univer-sitas Indonesia.

Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik: Ke-santunan Imperatif Bahasa Indone-sia. Jakarta: Erlangga.

Rani, Abdul, Arifin, Bustanul dan Martu-tik. 2006. Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian. Malang: Bayumedia.

Sumarsono. 2009. Sosiolinguistik (cetakan V). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tuhusetya, Sawali. 2009. Ragam Bahasa

Internet dan “Euforia”

Berekspre-si, (Online), (http://sawali.info/

2010/01/21/ragam -bahasa

-internet /, diakses tanggal 13 Maret 2010).

Wahyuniarti, Fitri Resti. 2008. Pola Afiksasi Kata Bentukan Bahasa Indonesia dalam Bahasa Chatting. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Keguruan dan Ilmu Ke-pendidikan Universitas Muhama-diyah Malang.

Watts, Richard J. 2003. Politeness. Cambridge: Cambridge University Press.

Yule, George. 1996. Pragmatik. Terje-mahan oleh Indah Fajar Wahyuni. 2006. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengujian terhadap fungsi produksi ini menunjukkan pula bahwa tenaga kerja produksi dan tenaga kerja non produksi mempunyai peranan yang penting dalam

Pada pertemuan I, siswa memperoleh hasil skor 30 dengan kategori baik pada saat pembelajaran bahasa Inggris menggunakan media dua dimensi papan magnetik. Dalam aspek

Berdasarkan peta perubahan penutupan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun periode 1993-2013, diketahui bahwa dalam kurun waktu tersebut hampir seluruh wilayah di

[r]

Hal ini berarti pada kelompok tersebut terdapat hubungan negatif antara konsep diri dengan derajat depresivitas pada pasien pasca stroke di Rumah Sakit ‘X’ Bandung, sehingga

Rencana Strategis (Renstra) Deputi Pengembangan Usaha BUMN, Riset dan Inovasi Tahun 2020-2024 merupakan penjabaran dari Rencana Strategis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Dalam pembelajaaran dengan model REACT keterampilan merancang percobaan dilihat pada tahap experiencing(percobaan), yang mana sebelum dilaksanakan percobaan pada LKPD

Berdasarkan atas penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang menggunakan jasa KAP besar akan cenderung lebih tepat waktu dalam menyampaikan laporan