• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. namun masih dapat tumbuh baik dan berkembang di daerah subtropis. Di. : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN KEPUSTAKAAN. namun masih dapat tumbuh baik dan berkembang di daerah subtropis. Di. : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1 Deskripsi Tanaman Tebu

Tebu merupakan tanaman perkebunan semusim yang dimanfaatkan sebagai bahan baku utama dalam industri gula yang dapat tumbuh di daerah iklim tropis, namun masih dapat tumbuh baik dan berkembang di daerah subtropis. Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan di Pulau Jawa dan Sumatera. Banyaknya limbah yang dihasilkan dari pertanian tebu maupun proses pengolahan gula menjadikan tanaman tebu dapat dijadikan alternatif pemenuhan sumber bahan baku pakan ternak (Khuluq, 2012). Susunan taksonomi tanaman tebu adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Monocotyledone (Berkeping satu) Ordo : Cyperales

Family : Graminae (Rumput-rumputan) Genus : Saccharum

Spesies : Saccharum officinarum

(NRCS, Natural Resources Conservation Service)

Ilustrasi 1. Tanaman Tebu (Sumber : Agrobisnis Info, 2015)

(2)

Tebu merupakan sejenis rumput-rumputan dengan ketinggian sekitar 2-4 meter yang terdiri dari empat bagian utama, yaitu akar (berbentuk serabut, tebal dan berwarna putih), batang (berbentuk ruas-ruas yang dibatasi oleh buku-buku, berwarna hijau kekuningan), daun (berbentuk pelepah, panjang 1-2 meter, lebar 4-8 sentimeter, permukaan kasar dan berbulu, berwarna hijau kekuningan hingga hijau tua), dan bunga (berbentuk bunga panicle, panjang sekitar 30 sentimeter). Tanaman tebu banyak memberikan produk samping baik dari on farm maupun off farm. Pada saat proses pemanenan tebu (on farm) dihasilkan limbah berupa daun kering yang disebut klethekan atau daduk, pucuk tebu, dan sogolan (pangkal tebu), sedangkan pada proses pengolahan gula (off farm) menghasilkan gula, ampas tebu (bagasse), tetes (molasses), blotong, abu, dan air (Khuluq, 2012).

2.2 Potensi Pucuk Tebu

Salah satu limbah yang dihasilkan tanaman tebu adalah pucuk tebu. Seperti halnya limbah yang mengandung serat pada umumnya, pucuk tebu sebagai pakan mempunyai faktor pembatas, yaitu kandungan nutrien dan kecernaannya yang sangat rendah, dimana memiliki kadar serat kasar dan kadar lignin sangat tinggi. Akan tetapi dengan tindakan pengolahan kimiawi, hayati dan fisik, secara signifikan mampu meningkatkan daya cerna, kandungan gizi dan konsumsi pakan (Sukria dan Krisnan, 2009). Berdasarkan hasil penelitian Nurhayu, dkk., (2001) menunjukkan bahwa pucuk tebu dapat menggantikan peran rumput gajah tanpa memberikan efek negatif baik pada sapi potong ataupun sapi perah.

Pucuk tebu tidak tersedia sepanjang tahun, ada masa-masa tertentu tersedianya pucuk tebu, yakni pada masa penggilingan tebu. Penggilingan tebu selalu dilakukan pada musim kemarau agar kadar gula yang diperoleh tinggi. Dengan demikian, pucuk tebu akan tersedia pada musim kemarau pada saat susah

(3)

untuk mendapatkan rumput. Sebagaimana diketahui bahwa produksi rumput umumnya mengalami fluktuasi sepanjang tahun. Pada musim kemarau terutama bulan Juli sampai dengan September, produksi rumput mencapai titik terendah dan hanya sekitar 50% dari produksi rata-rata per tahun (Zainuddin, 1982). Penyediaan pucuk tebu terbesar berada pada bulan-bulan dimana produksi rumput mencapai titik terendah. Dengan demikian terlihat betapa besar peranan pucuk tebu dalam menanggulangi penyediaan rumput ataupun hijauan pakan ternak ruminansia pada musim kemarau (Basya, 1984).

2.3 Sistem Pencernaan dalam Rumen

Ruminansia merupakan ternak poligastrik yang mempunyai lambung jamak yang terdiri atas empat bagian yaitu retikulum, rumen, omasum, dan abomasum. Fungsi utama retikulum adalah mengontrol perintah aliran pakan dan membentuk jalan pakan kembali ke oesofagus selama proses ruminasi. Rumen merupakan bagian terbesar perut ruminansia yang merupakan tempat terjadinya proses fermentasi. Omasum berperan dalam penyerapan air dan beberapa asam lemak. Abomasum memproduksi asam dan merupakan bagian saluran pencernaan tempat awal proteolisis. Hasil pencernaan tersebut akhirnya masuk ke dalam sistem peredaran darah (Collier, dkk., 1984; Krisnan, 2008).

Pencernaan pada ternak ruminansia merupakan proses yang kompleks, melibatkan interaksi yang dinamis antara makanan, mikroba dan hewan. Pencernaan merupakan proses yang multi tahap. Proses pencernaan pada ternak ruminansia terjadi secara mekanis di mulut, fermentatif oleh mikroba di rumen, dan hidrolitis oleh enzim pencernaan di abomasum dan duodenum hewan induk semang. Sistem fermentasi dalam perut ruminansia terjadi pada sepertiga dari alat pencernaannya. Hal tersebut memberikan keuntungan yaitu produk fermentasi

(4)

dapat disajikan ke usus dalam bentuk yang lebih mudah diserap. Namun ada pula kerugiannya, yakni banyak energi yang terbuang sebagai CH4 (6-8%) dan sebagai panas fermentasi (4-6%), protein bernilai hayati tinggi mengalami degradasi menjadi NH3, dan ketosis (Sutardi 1976; Krisnan, 2008).

Rumen merupakan tabung besar dengan berbagai kantong yang menyimpan dan mencampur ingesta bagi fermentasi mikroba. Isi rumen pada ternak ruminansia berkisar antara 10-15% dari berat badan ternak tersebut. Kondisi dalam rumen adalah anaerob dan mikroorganisme dapat hidup serta ditemukan di dalamnya. Tekanan osmosis pada rumen mirip dengan tekanan aliran darah. Temperatur dalam rumen adalah 38-42 °C, pH dalam rumen sekitar 6,8 dan adanya absorbsi asam lemak dan amonia berfungsi untuk mempertahankan pH (Arora, 1995). Rumen tidak menghasilkan enzim pencernaan (enzim selulase) karena tidak terdapat sel-sel kelenjar pada jaringan epitel selaput mukosa, tetapi rumen selalu menerima saliva yang bersifat alkalis dengan karbonat sebagai komposisi utamanya. Saliva yang masuk ke dalam rumen berfungsi sebagai buffer dan membantu mempertahankan pH tetap 6,8. Mikroorganisme rumen cukup beraneka ragam, baik jenis maupun macam substratnya. Namun, bakteri yang terpenting dalam proses fermentasi pakan adalah mikroorganisme yang mampu mendegradasi selulosa dan hemiselulosa, pati, gula, serta protein (Krisnan, 2008).

2.4 Mikroba Rumen

Mikroorganisme yang terdapat pada rumen ruminansia terdiri atas protozoa, bakteri, fungi dan virus bakteri. Keberadaan mikroba rumen ini bermanfaat karena mampu memanfaatkan nitrogen bukan protein, mencerna pakan berserat kasar dalam jumlah banyak dan menghasilkan produk fermentasi rumen yang

(5)

mudah diserap dalam usus ruminansia. Aktivitas mikroba dalam proses fermentasi pakan akan bergantung pada kecukupan substrat dan persediaan nitrogen dalam cairan rumen (Wahyuni, dkk., 2014).

Populasi mikroba rumen secara umum ditentukan oleh tipe pakan yang dikonsumsi ternak dan perubahan pakan akan mengakibatkan perubahan populasi dan proporsi dari spesies mikroba untuk mencapai keseimbangan yang baru, karena masing-masing mikroba rumen memiliki spesifikasi dalam menggunakan pakan (Yokoyama dan Johnson, 1988; Krisnan, 2008). Populasi bakteri di dalam rumen jumlahnya berkisar antara 109-1010 per mL isi rumen yang terdiri atas obligate anaerob (mayoritas) dan facultative anaerob, sedangkan protozoa jumlahnya lebih sedikit dibanding bakteri (105-106), semuanya adalah anaerob (McDonald, dkk., 1990).

Yokoyama dan Johnson (1988), mengklasifikasikan bakteri menjadi 8 kelompok didasarkan pada jenis bahan yang digunakan dan hasil akhir fermentasi, yakni :

1) Bakteri selulolitik. Bakteri yang mempunyai kemampuan untuk memecah selulosa dan mampu bertahan pada kondisi yang buruk pada saat makanan yang mengandung serat kasar yang tinggi. Contoh : Bacteroides sussinogenes (bentuk batang), Ruminococcus albus (bentuk bulat).

2) Bakteri proteolitik. Bakteri yang mempunyai kemampuan untuk memecah protein, asam amino dan peptida lain menjadi amonia. Contoh : Bacteroides ruminocola, Selenomonas ruminantium.

3) Bakteri methanogenik. Bakteri yang dapat mengkatabolisasi alkohol dan asam organik menjadi methan dan karbondioksida. Contoh : Methanobacterium formicium, Methanobrevibacter ruminantium.

(6)

4) Bakteri amilolitik. Bakteri yang dapat memfermentasikan amilum, relatif lebih tahan terhadap perubahan pH dibandingkan dengan bakteri selulolitik, dapat bekerja pada pH 5,7-7,0. Contoh : Clostridium lochheaddii, Streptococcus bovis, Bacteroides amylophilus.

5) Bakteri yang memfermentasikan gula. Bakteri yang memfermentasikan amilum, sebagian besar mampu memfermentasikan gula sederhana. Contohnya : Eurobacterium ruminantium, Lactobacillus ruminus.

6) Bakteri lipolitik. Bakteri rumen yang dapat menghidrolisis lemak menjadi gliserol dan asam lemak. Hal ini dapat berlangsung karena adanya enzim lipase yang dapat memecah lemak. Contohnya : Anaerovibrio livolytica, Veillonella alcalescens.

7) Bakteri pemanfaat Asam. Contohnya : Selonomonas dan Veillonella alcalescens.

8) Bakteri Hemiselulotitik. Hemiselulosa adalah karbohidrat yang terdapat dalam tanaman yang tidak larut dalam air tetapi larut dalam asam dan alkali. Hemiselulosa ini terdapat dalam tanaman yang menjadi pakan temak dalam jumlah besar. Contohnya : Ruminococcus sp, Butyrivibrio fibriosolvens. Selain itu ditambah beberapa contoh spesies protozoa dan jamur diantaranya lsotricha intestinalis (memfermentasi gula, pati dan pektin), Dasytricha ruminantium (pencerna pati, maltosa, dan glukosa) serta Entodinium caudatum dan Diplodinium sp, sedangkan jamur Neocalimastik sp dan Orpinomyces kelompok fungsi selulolitik (Winugroho, dkk., 1997; Suwandi, 1997).

Aktivitas bakteri rumen dalam mendegradasi serat pakan seringkali terganggu oleh protozoa karena pemangsaan beberapa bakteri oleh protozoa. Sifat predator protozoa terhadap bakteri merupakan kerugian dalam sistem

(7)

pencernaan dalam rumen. Protozoa memangsa bakteri untuk memenuhi kebutuhan asam amino dalam sintesis protein selnya (Wahyuni, dkk., 2014). Disamping memangsa bakteri, keberadaan protozoa dalam rumen juga berpotensi menurunkan pemanfaatan energi oleh ternak. Protozoa diketahui menstimulasi pembentukan gas metan oleh bakteri metanogen karena protozoa juga berperan sebagai inang untuk beberapa bakteri metanogen. Selain itu, protozoa juga memegang peranan penting dalam pencernaan serat pakan (Suharti, 2010).

2.5 Saponin

Saponin merupakan salah satu senyawa bioaktif yang termasuk dalam senyawa aditif yang dihasilkan oleh tanaman. Saponin disebut senyawa bioaktif karena sifatnya yang berperan tidak hanya dalam tanaman itu sendiri (melindungi tanaman dari serangan mikroba, serangga, binatang atau predator lainnya), tetapi juga terhadap mikroba rumen dan ternak yang mengkonsumsi tanaman yang mengandung senyawa tersebut. Di dalam tanaman, saponin dapat ditemukan di bagian akar, kulit, daun, dan buah. Sumber saponin yang sudah dikenal di Indonesia berasal dari buah lerak (Sapindus rarak) (Wina dan Sutanto, 2012).

Pemanfaatan tanaman yang mengandung saponin akhir-akhir ini sudah mulai berkembang sebagai alternatif untuk menekan populasi protozoa dalam rumen (Thalib, 2004). Saponin mempunyai pengaruh yang lebih menguntungkan pada ternak ruminansia dibandingkan pada ternak nonruminansia. Pemberian bahan yang mengandung saponin dapat meningkatkan pertumbuhan, efisiensi pakan dan kesehatan ternak. Saponin dapat meningkatkan sintesis protein mikroba rumen dan menurunkan degradabilitas protein dalam rumen (Suparjo, 2008). Apabila populasi protozoa yang ada di dalam rumen ditekan jumlahnya,

(8)

maka akan terjadi perubahan keragaman atau komposisi mikroba rumen dan diharapkan terjadi modifikasi fermentasi rumen (Suharti, dkk., 2009).

Saponin dari daun tanaman dilaporkan mampu meningkatkan efisiensi proses fermentasi melalui mekanisme penurunan populasi protozoa di dalam rumen yaitu dengan menurunkan sifat predator terhadap bakteri. Menurunnya populasi protozoa di dalam rumen mengakibatkan semakin tinggi populasi bakteri dan semakin kecil laju degradasi protein di dalam rumen sehingga jumlah protein mikroba yang masuk ke duodenum meningkat. Penurunan populasi protozoa dalam rumen diharapkan akan diikuti dengan penurunan gas metan (Susanti dan Marhaeniyanto, 2014). Beberapa penelitian menunjukkan efek yang menguntungkan dari pemberian saponin terhadap ternak dan pengaruhnya terhadap lingkungan, yaitu dengan mengurangi produksi metan (Wallace, dkk., 2002). Mekanisme saponin mematikan protozoa sama dengan mekanisme saponin menghemolisis sel darah merah. Saponin akan mengikat kolesterol dari membran bagian luar protozoa, sehingga menyebabkan terjadinya lubang yang mengakibatkan pecahnya membran protozoa (Wina dan Sutanto, 2012). Keberadaan kolesterol pada membran sel eukariotik (termasuk protozoa) dan tidak terdapat pada sel bakteri prokariotik, memungkinkan protozoa rumen lebih rentan terhadap saponin karena saponin mempunyai daya tarik menarik terhadap kolesterol (Suparjo, 2008).

2.6 Tanin

Tanin adalah senyawa bahan alam yang terdiri dari sejumlah besar gugus hidroksi fenolik. Senyawa ini banyak terdapat pada berbagai tanaman terutama tanaman yang mengandung protein tinggi karena tanin diperlukan oleh tanaman tersebut sebagai sarana proteksi dari serangan mikroba, ternak ataupun insekta.

(9)

Proteksi dari serangan ternak dapat dilakukan dengan menimbulkan rasa sepat, sedangkan serangan bakteri dan insekta diproteksi dengan menonaktifkan enzim-enzim protease dari bakteri dan insekta yang bersangkutan (Cheeke dan Shull, 1985).

Tanin diklasifikasikan sebagai tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin terkondensasi adalah tanin yang terjadi karena proses kondensasi flavanol. Tanin terkondensasi sering disebut proantosianidin yang merupakan polimer dari katekin dan epikatekin. Struktur tanin terhidrolisis yaitu jenis tanin yang jika terhidrolisis menghasilkan suatu asam polifenolat dan gula sederhana. Tanin terhidrolisis terdiri dari gallotanin dan ellagitanin. Beberapa teori yang menjelaskan fungsi alami tanin pada tumbuhan yaitu, salah satunya untuk menjaga dari serangan serangga dan hewan herbivora (Hedqvist, 2004).

Dampak antinutrisi tanin pada ternak ruminansia berawal dari proses mastikasi, selanjutnya tanin akan berikatan dengan protein saliva sehingga pakan menurun palatabilitasnya, akibatnya konsumsi pakan menurun. Setelah tanin masuk ke dalam rumen (pH 6,3-7) senyawa tersebut akan membentuk ikatan kompleks dengan protein, karbohidrat (selulosa, hemiselulosa, dan pektin), mineral, vitamin, dan enzim mikroba rumen (Widyobroto, dkk., 2007). Kompleks tanin protein yang terbentuk oleh ikatan hidrogen akan stabil pada pH sekitar 4-7, namun selain pH tersebut kompleks ini akan terpisah. Protein diikat oleh tanin dalam rumen, lalu setelah keluar dari rumen ikatan ini akan pecah di abomasum (pH 2,5-3,5) dan duodenum (pH 5-9) sehingga protein tersebut dapat dicerna dan diserap (Wiryawan, dkk., 1999). Hal ini menjadikan tanin sebagai salah satu senyawa untuk memanipulasi tingkat degradasi protein dalam rumen (Jayanegara, dkk., 2008).

(10)

Kemampuan tanin untuk membentuk kompleks dengan protein berpengaruh negatif terhadap fermentasi rumen dalam nutrisi ternak ruminansia. Tanin dapat berikatan dengan dinding sel mikroorganisme rumen dan dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme atau aktivitas enzim. Tanin juga dapat berinteraksi dengan protein yang berasal dari pakan dan menurunkan ketersediaannya bagi mikroorganisme rumen. Keberadaan tanin di sisi lain berdampak positif jika ditambahkan pada pakan yang tinggi akan protein baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini disebabkan protein yang berkualitas tinggi dapat terlindungi oleh tanin dari degradasi mikroorganisme rumen sehingga lebih tersedia pada saluran pencernaan pasca rumen (Jayanegara, dkk., 2008).

Tanin disamping dapat membentuk senyawa kompleks, tanin juga merupakan salah satu senyawa yang berpotensi menurunkan metan diantara senyawa-senyawa alami yang terdapat pada tanaman. Pada penelitian yang dilakukan Jayanegara, dkk., (2008) menunjukkan bahwa suplementasi hijauan yang mengandung tanin dapat menurunkan metan dari sistem fermentasi rumen secara in vitro. Menurut Jayanegara, dkk., (2009) tanin terkondensasi menurunkan metan melalui mekanisme secara tidak langsung melalui penghambatan pencernaan serat yang mengurangi produksi H2, sedangkan tanin yang mudah terhidrolisis lebih berperan pada mekanisme secara langsung menghambat pertumbuhan dan aktivitas metanogen. Di samping itu, tanin juga menghambat pertumbuhan protozoa yang menjadi salah satu inang utama metanogen.

2.7 Rumen Simulation Technique

Rusitec atau Rumen Simulation Technique merupakan suatu metode analisis in vitro yang dirancang oleh Czerkawski dan Breckenridge tahun 1977 yang telah

(11)

dimodifikasi sehingga terjadi proses fermentasi sebagaimana ternak hidup. Pada rumen buatan ini mikroorganisme dapat dipertahankan seutuhnya dalam waktu yang relatif lama sampai dengan beberapa minggu karena dalam sistem tersebut mikroorganisme diberikan pakan seperti ternak ruminansia hidup. Di samping itu mikroorganisme diberikan pula kondisi fisiologis seperti halnya lingkungan rumen seperti temperatur, pH dan aliran saliva (Krishna, 2013).

Analisis menggunakan Rusitec memiliki respon yang cenderung dekat dengan uji in vivo terhadap parameter yang diujikan. Hal tersebut setidaknya dilaporkan oleh penelitian Tejido, dkk., (2002) dalam Krishna (2013) yang melakukan analisis in vivo kecernaan bahan kering beberapa hijauan dan membandingkannya terhadap in vitro menggunakan sumber inokulum dari rumen domba hidup dan effluent Rusitec. Kedua sumber inokulum mampu memprediksi kecernaan bahan kering dengan akurasi yang sama, koefisien determinasi penetapan kecernaan menggunakan inokulum dari rumen domba hidup dan effluent Rusitec dibanding in vivo masing-masing sebesar 0,885 dan 0,877.

2.8 Complete Rumen Modifier

Efisiensi pemanfaatan pakan oleh ternak sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan saluran percernaan, populasi bakteri dan nilai gizi bahan pakan yang diberikan. Pemberian imbuhan pakan atau feed additive pada ternak merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan efisiensi pakan oleh ternak. Efisiensi fermentasi rumen dapat dicapai dengan memodifikasi ekosistem rumen dengan pemberian aditif Complete Rumen Modifier (CRM) (Sukmawati, dkk., 2011).

CRM merupakan pengembangan dalam bentuk campuran dari beberapa bahan aditif yaitu yang berfungsi sebagai defaunator protozoa, inhibitor metanogenesis (saponin dari Sapindus rarak, albizia dan sesbania, dan Fe3+) dan

(12)

masing-masing telah menunjukkan efektivitasnya terhadap penurunan produksi gas metan dan faktor pertumbuhan mikroba. Peranan CRM sebagai inhibitor metanogenesis telah menunjukkan kemampuannya untuk meningkatkan kinerja sistem pencernaan rumen yang selanjutnya memperbaiki produktivitas dan performans ternak ruminansia (Thalib, 2004).

Penggunaan CRM pada ransum domba, kambing perah dan sapi perah pada studi pemantapan peranan CRM sebagai komponen pakan imbuhan untuk menurunkan produksi metan dan perbaikan performans ternak ruminansia memperlihatkan bahwa CRM dapat menurunkan produksi gas metan pada domba, meningkatkan ADG dan perbaikan efisiensi penggunaan pakan, meningkatkan kandungan lemak susu, dan pada kambing perah CRM dapat meningkatkan produksi susu dan kandungan lemak susu (Thalib, 2012).

2.9 Degradasi Bahan Kering

Degradasi merupakan suatu proses perombakan bahan pakan yang bersifat kompleks menjadi lebih sederhana oleh mikroba rumen. Kemampuan mikroba rumen untuk mendegradasi bahan kering dan bahan organik merupakan salah satu upaya untuk memecah bahan pakan yang kompleks menjadi sederhana dan siap untuk dicerna. Degradasi bahan kering adalah jumlah bahan kering makanan yang larut dan yang didegradasi mikroba rumen sehingga kemampuan degradasi bahan makanan dalam rumen sangat penting bagi ternak karena bahan makanan terdegradasi akan menyediakan kebutuhan nutrisi bagi ternak, untuk bahan makanan yang tidak terdegradasi diharapkan dapat dicerna oleh enzim pencernaan pasca rumen (Orskov, 1991). Bahan kering terdiri dari abu (mineral) dan bahan organik, seperti protein kasar, lemak kasar dan karbohidrat. Tingkat kecernaan zat-zat makanan dari suatu pakan menunjukkan kualitas dari pakan tersebut.

(13)

Dengan demikian degradasi bahan kering dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk menentukan kualitas pakan. Nilai dari degradasi bahan kering menunjukkan besarnya zat makanan dalam pakan yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen (Sutardi, 1980).

Kemampuan degradasi ransum dalam rumen merupakan faktor yang mempengaruhi pemanfaatan ransum secara maksimal karena dapat menyediakan zat gizi yang mudah terserap sebagai sumber energi untuk hewan ataupun pembentukan mikroba yang dapat menjadi sumber asam amino (Rahayu, 1986). Besarnya nilai degradasi bahan kering selain dipengaruhi oleh tingginya kandungan nutrien yang terkandung dalam bahan pakan, juga terikatnya zat anti nutrisi didalamnya. Adanya zat anti nutrisi yang terdapat dalam bahan pakan dapat menyebabkan nilai degradasi bahan kering menjadi rendah. Kandungan zat anti nutrisi pada bahan pakan dapat menyebabkan degradasi mikroba rumen menjadi terhambat akibat sulitnya mikroba untuk mencerna bahan pakan bersifat kompleks menjadi sederhana. Setiap bahan pakan mempunyai variasi degradasi dan sangat tergantung pada bagian tanaman, umur, tingkat lignifikasi yang merupakan karakteristik spesifik bahan pakan (Fredriksx, dkk., 2001). Semakin banyak dinding sel yang mengalami proses lignifikasi, maka akan semakin sulit pakan tersebut didegradasi oleh mikroba rumen. Proses lignifikasi dinding sel lebih banyak terjadi pada dinding sel rumput-rumputan dibandingkan dengan tanaman leguminosa, sehingga diduga laju degradasi tanaman leguminosa akan lebih cepat dibandingkan dengan rumput (Widiawati, dkk., 2007).

Pakan yang dikonsumsi oleh ternak ruminansia akan mengalami proses degradasi di saluran pencernaan menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana melalui aksi berbagai jenis mikroba (bakteri, protozoa dan anaerobik fungi) dan

(14)

enzim. Protein dan polisakarida (pati, selulosa, hemiselulosa dan sebagainya) didegradasi menjadi berbagai asam amino dan monosakarida (umunya glukosa). Untuk monosakarida, glukosa difermentasi dalam suasana anaerobik di rumen dengan menghasilkan asam lemak terbang (Volatile Fatty Acid, VFA) seperti asetat, propionat dan butirat (Moss, dkk., 2000). Pembentukan asam lemak terbang dari glukosa :

C6H12O6 + 2H2O → 2C2H4O2 (asetat) + 2CO2 + 8H C6H12O6+ 4H → 2C3H6O2 (propionat) + 2H2O C6H12O6 → C4H8O2 (butirat) + 2CO2 + 4H (Krishna, 2013)

Pembentukan asam lemak terbang tersebut berpengaruh terhadap gas metan yang dihasilkan. Asetat dan butirat meningkatkan produksi metan sedangkan propionat menurunkan produksi metan. Produksi VFA parsial dipengaruhi oleh komposisi bahan organik pakan, terutama kondisi alamiah pakan dan tingkat fermentasi karbohidrat. Pakan yang kaya akan pati akan menghasilkan propionat, sedangkan pakan kaya serat menghasilkan asetat sehingga meningkatkan produksi metan (Yulistiani dan Puastuti, 2012).

2.10 Produksi Gas Metan

Gas metan adalah produk akhir fermentasi karbohidrat dalam rumen dan merupakan indikasi hilangnya energi pakan yang dikonsumsi. Proses pembentukan gas metan di dalam rumen disebut metanogenesis. Gas metan dapat dihasilkan karena kehadiran jasad pemroses atau bakteri di dalam rumen yang mempunyai kemampuan untuk menguraikan bahan-bahan yang akhirnya membentuk CH4 dan CO2. Tanpa bakteri metanogen, proses pencernaan hanya mencapai tahap asetogenesis dimana asam asetat yang terbentuk tidak dapat

(15)

diuraikan lebih lanjut, sehingga gas yang dihasilkan bukan CH4 tetapi CO2 (Rahmi, 2009; Felix, dkk., 2012).

Metanogenesis terbentuk oleh Archaea metanogen, sekelompok mikroorganisme yang berada dalam kondisi anaerob termasuk di dalam rumen. Di dalam rumen, mikroba metanogen memanfaatkan H2 dan CO2 sebagai substrat untuk memproduksi gas metana. Lebih dari 60 spesies metanogen yang diisolasi dari berbagai habitat yang berbeda namun hanya lima jenis metanogen dilaporkan telah diisolasi dalam rumen yaitu Methanobrevibacter ruminantium, Methanosarcina barkeri, Methanosarcina mazei, Methanobacterium formicicum dan Methanomicrobium mobile (Moss, dkk., 2000). Proses metanogenesis ini menyebabkan kehilangan energi yang dikonsumsi hingga 12% pada ternak sapi yang diberi ransum berserat tinggi dan 4% pada sapi yang diberi ransum konsentrat (Johnson dan Johnson, 1995). Energi ransum yang dikonsumsi ternak sapi dapat hilang rata-rata 8% (Thalib, 2012).

Di dalam membentuk gas metan, metanogen memerlukan hidrogen, jadi ketersediaan hidrogen menjadi faktor yang sangat penting untuk pembentukan gas metan. Hidrogen dihasilkan dari pembentukan asam asetat dan butirat tetapi sebaliknya hidrogen diperlukan untuk pembentukan asam propionat sehingga akan terjadi kompetisi penggunaan hidrogen oleh bakteri lain seperti bakteri selulolitik dan bakteri propionat selain metanogen (Wina dan Sutanto, 2012).

Gas metan yang dihasilkan dari proses fermentasi rumen ternak ruminansia dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tingkat konsumsi pakan, jumlah energi yang dikonsumsi dan komposisi pakan. Tiga faktor utama yang mempengaruhi produksi gas metan adalah kecepatan fermentasi bahan organik, jenis VFA yang dihasilkan (yang menentukan kelebihan produksi hidrogen di dalam rumen dan

(16)

pembentukan CH4 sebagai pembuangan kelebihan hidrogen yang diproduksi) dan efisiensi sintesis mikroba rumen (Moss, dkk., 2000).

Pada proses pencernaan secara anerob, terdapat empat tahap proses transformasi bahan organik. Tiga tahap pertama disebut sebagai fermentasi asam sedangkan tahap keempat disebut fermentasi metanogenik. Keempat tahap tersebut yaitu (Said, 2006) :

1) Tahap hidrolisis. Mikroba hidrolitik mendegradasi senyawa organik kompleks yang berupa polimer menjadi monomernya yang berupa senyawa tidak terlarut dengan berat molekul yang lebih ringan. Lipida berubah menjadi asam lemak rantai panjang dan gliserin, polisakarida menjadi gula (monosakarida dan disakarida), dan protein menjadi asam amino. Sejumlah besar mikroorganisme anaerob dan fakultatif yang terlibat dalam proses hidrolisis dan fermentasi senyawa organik antara lain adalah Clostridium. 2) Tahap asidogenesis. Monomer-monomer hasil hidrolisis dikonversi menjadi

senyawa organik sederhana seperti asam lemak terbang (VFA), alkohol, asam laktat, senyawa mineral seperti karbondioksida, hidrogen, amoniak, dan gas hidrogen sulfida. Tahap ini dilakukan oleh berbagai kelompok bakteri, mayoritasnya adalah bakteri obligat anaerob dan sebagian yang lain bakteri anaerob fakultatif. Contoh bakteri asedogenik (pembentuk asam) adalah seperti Clostridium.

3) Tahap asetogenesis. Hasil pada tahap asidogenesis dikonversi menjadi hasil akhir bagi produksi metan berupa asetat, hidrogen, dan karbondioksida. Etanol, asam propionat, dan asam butirat dirubah menjadi asam asetat oleh bakteri asetogenik (bakteri yang memproduksi asetat dan H2) seperti Syntrobacter wolinii dan Syntrophomas wolfei.

(17)

Etanol, asam propionat, dan asam butirat dirubah menjadi asam asetat oleh bakteri asetogenik dengan reaksi seperti berikut:

CH3CH2OH + CO2 → CH3COOH + 2H2

Etanol (Asam Asetat)

CH3CH2COOH + 2H2O → CH3COOH + CO2+ 3H2 Asam Propionat (Asam Asetat)

CH3CH2CH2COOH + 2H2O → 2CH3COOH + 2H2

Asam Butirat (Asam Asetat)

4) Tahap metanogenesis. Pada tahap ini, terbentuk metan dan karbondioksida. Bakteri campuran terlibat dalam proses perubahan bentuk (transformasi) senyawa-senyawa organik kompleks dengan berat molekul tinggi menjadi metan. Terdapat dua kelompok arkhaea metanogen penting pada proses anaerob, yaitu metanogen hidrogenotrofik (menggunakan H/kemolitotrof) mengubah hidrogen dan CO2 menjadi metan, dan metanogen asetotrofik (asetoklastik) metanogen pemisah asetat yang mengubah asetat menjadi metan dan CO2.

Asetoklastik mengubah asam asetat menjadi :

CH3COOH → CH4(metan) + CO2

Hidrogenotropik metanogen mensintesa hidrogen dan karbondioksida menjadi :

2H2+ CO2 → CH4(metan) + 2H2O

Senyawa kompleks organik tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh mikroorganisme di dalam proses metabolismenya karena membran sel mikroorganisme hanya dapat dilewati oleh senyawa organik sederhana seperti

(18)

glukosa, asam amino dan asam lemak volatil. Proses penguraian senyawa kompleks organik menjadi senyawa organik sederhana berlangsung pada proses hidrolisis yang dilakukan oleh kelompok mikroorganisme hidrolitik. Bahan organik yang terdiri atas polisakarida, protein, dan lemak tidak dapat didegradasi oleh arkhaea metanogen secara langsung, karena arkhaea tersebut hanya mengkonsumsi asam format, asam asetat, methanol, hidrogen dan karbondioksida sebagai substrat (Adrianto, dkk., 2001).

Ternak ruminansia menghasilkan gas metan dalam rangka untuk mempertahankan kondisi rumen tetap normal. Gas metan diproduksi oleh bakteri methanogen dalam rangka menghindari akumulasi ion hidrogen agar pH rumen tidak menurun, karena dengan keasaman yang tinggi bakteri akan mati. Bila dipandang dari sisi bakteri, produksi gas metan memiliki nilai kehidupan, sedangkan dipandang dari sisi efisiensi penggunaan energi gas metan merupakan pemborosan dan merugikan bagi ternak tersebut (Yuliastini dan Puastuti, 2012).

Referensi

Dokumen terkait

88 Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berdasarkan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau

Bangsa adalah suatu persatuan karakter atau perangai yang timbul karena persatuan nasib dan kesatuan tekad dari rakyat untuk hidup ber- sama, mencapai cita-cita dan

Untuk membuat soal bertipe pilihan ganda, Anda harus memilih “Multiple Choice” pada pilihan yang sudah disediakan dan akan muncul halaman seperti pada Gambar 10.. Anda

Dalam penelitian ini diperlukan source code dari aplikasi yang akan dihitung. Source code tersebut akan dimanipulasi sedemikian rupa sehingga memperoleh sebuah

Maka dari itu penulis menganalisis untuk membuat layout yang benar serta menentukan elemen dengan unsur cyberpunk yang tepat, penulis menganalisis tiga scene yaitu lorong,

Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa semakin besar laju alir yang digunakan pada penelitian ini maka kontak antara larutan NaOH dengan gas CO2 akan semakin

Desain ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berPenerapan Fungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian jenis tepung terhadap pertumbuhan populasi yaitu tepung gandum > tepung jagung > dedak > tepung kacang