• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. vitiligo berasal dari periode Aushooryan (2200 sebelum masehi) dalam bahasa Iran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. vitiligo berasal dari periode Aushooryan (2200 sebelum masehi) dalam bahasa Iran"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Vitiligo

2.1.1. Sejarah dan definisi

Vitiligo telah dikenal dari zaman dahulu kala. Tulisan pertama tentang vitiligo berasal dari periode Aushooryan (2200 sebelum masehi) dalam bahasa Iran klasik. Pada tahun 1550 sebelum masehi Ebers Papyrus menjabarkan dua jenis penyakit yang mempengaruhi warna kulit. Satu penyakit disertai dengan tumor, kemungkinan adalah kusta dan satu lagi hanya mengalami perubahan warna yang diduga vitiligo. Vitiligo berasal dari Bahasa latin vitium yang berarti cacat. Kata vitiligo pertama kali dijumpai pada buku De-Mediccina karya dokter Roma Celsus.7

Vitiligo merupakan kelainan didapat dengan gambaran bercak depigmentasi asimtomatik pada kulit, membran mukosa atau rambut yang melibatkan faktor genetik dan non genetik dengan karakteristik berupa destruksi melanosit epidermis yang dimediasi oleh proses autoimun progresif.3,6,11

2.1.2. Epidemiologi

Angka persentase prevalensi vitiligo adalah 0,l%-8% dari penduduk dunia.3 Prevalensi vitiligo terlihat konsisten di antara beberapa populasi yang berbeda, yaitu : 0,38% pada ras Kaukasia, 0,34% pada ras Afrokaribia, 0,46% pada ras India, dan walaupun jarang juga dijumpai pada suku Han Tiongkok berkisar 0,093%.6 Prevalensi dan insidensi vitiligo sendiri belum banyak diteliti di Indonesia. Rizal menemukan angka insidensi vitiligo pada tahun 2001-2006 di RSUP Dr. M. Djamil Padang yaitu 0,46%.5 Pada Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan

(2)

terbanyak adalah hipomelanosis dengan diagnosis vitiligo.4 Vitiligo dapat muncul pada berbagai usia, dengan usia rata-rata pada pasien kaukasia adalah 24 tahun.5 Di RSUP Dr. M. Djamil Padang, vitiligo paling banyak dijumpai pada kelompok usia 21-30 tahun.4 Rahman et al menemukan bahwa rata-rata usia pasien vitiligo di Bangladesh adalah 23 tahun.26

Vitiligo dapat terjadi baik pada pria maupun wanita.3,6,11,26 Perbedaan insidensi di beberapa penelitian mungkin lebih disebabkan karena perempuan tampak lebih banyak mencari pengobatan.3,6

Vitiligo dihubungkan dengan adanya riwayat keluarga pada lini pertama.6 Biasanya vitiligo diwariskan bukan dengan pola Mendel namun merupakan suatu kelainan poligenik. Saudara kembar monozigot dari pasien vitiligo sekitar 23% akan mengalami hal yang sama.6

2.1.3. Etiologi dan patogenesis

Vitiligo adalah kelainan multifaktorial, poligenik dengan patogenesis kompleks yang belum dipahami dengan baik. Dari beberapa patogenesis penyakit, yang paling diterima adalah faktor genetik dan non genetik saling berinteraksi untuk mempengaruhi fungsi dan kelangsungan hidup melanosit, yang akhirnya menyebabkan destruksi melanosit. Beberapa penulis lain mengemukakan penjelasan-penjelasan termasuk di antaranya defek adhesi melanosit, kerusakan neurogenik, kerusakan biokimia, autositotoksisitas dan lainnya.6,8,27

2.1.3.1 Hipotesis genetik

Studi epidemiologis menunjukan bahwa kebanyakan kasus vitiligo terjadi secara sporadik, walaupun sekitar 15-25% pasien memiliki satu atau lebih keluarga lini pertama yang juga terkena. Sebagian besar kasus agregasi familial menunjukan pola non-Mendelian yang memberi kesan adanya penurunan multifaktorial dan poligenik yang berperan penting dalam semua aspek patogenesis vitiligo.6,11Universitas Sumatera Utara

(3)

9

Peranan faktor genetik cukup penting pada vitiligo. Hal ini telah dihubungkan sebagai bagian dari teori tentang pewarisan genetik, autoimun dan autoinflamasi. Tipe

Human leukocyte antigen (HLA) terkait vitiligo meliputi A2, DR4, DR7 dan CW6 pada

kelompok keluarga Kaukasia dengan vitiligo generalisata dan penyakit autoimun, disamping itu ditemukan pula hubungan dengan kromosom 1,7 dan 17. Selain itu HLA, PTPN22, NALPI dan CTLA4 jug dihubungkan dengan kerentanan proses autoimun pada penderita vitiligo.6,28

Shaker & El-Tahlawi mengemukakan bahwa mutasi genetik padampasien vitiligo dapat menyebabkan gangguan metabolisme homosistein. Hal ini menyebabkan hiperhomosisteinemia yang diduga berhubungan dengan patogenesis vitiligo.21 Polimorfisme gen methylenetetrahydrofolate reductase (MTHFR) yang terletak pada kromosom 1p36.3 dan gen catalase (CAT) yaitu pada kromosom 11p13 dikaitkan dengan hiperhomosisteinemia.13

2.1.3.2 Hipotesis autoimun

Vitiligo khususnya tipe generalisata secara luas dianggap sebagai penyakit autoimun, dengan keterlibatan komponen humoral dan seluler dari sistem imun bawaan dan adaptif.29 Hal ini didukung oleh hasil penelitian epidemiologi dan klinis. Kemampuan untuk dapat relaps dan remisi yang biasanya dijumpai pada penyakit autoimun, dapat membaik setelah terapi imunosupresif, adanya pola sitokin proinflamasi tipe T helper-1 (Th-1), dijumpainya infiltrat sel T pada daerah perilesi, dan terdapat sel T sitotoksik antimelanosit pada kulit dan sirkulasi serta antibodi antimelanosit dalam sirkulasi merupakan karakteristik yang mendukung hipotesis ini. 30-33

(4)

Autoantibodi anti melanosit adalah autoantibodi yang dijumpai dengan target antigen sistem melanogenik. Beberapa antigen target yaitu tirosinase, tyrosinase-related

protein-1, dopachrome tautomerase dan lainnya.29 Autoantibodi ini toksik terhadap melanosit dan menghambat pembentukan melanin.29,31

Sistem kekebalan seluler juga diduga memiliki peranan pada vitiligo. Hal ini dibuktikan dengan dijumpai infiltrat inflamasi yang terdiri dari limfosit T sitotoksik pada tepi lesi vitiligo yang aktif. Sel-sel ini mengekspresikan pola sitokin tipe 1 yang memiliki aktivitas sitolisis terhadap sisa melanosit yang ada, melalui jalur granzyme / perforin.6 Homosistein sendiri diduga dapat mengaktivasi NF-ĸB dan memproduksi IL-6 pada sistem imunitas.21

2.1.3.3 Hipotesis biokimia

Kulit manusia berperan untuk menjadi melindungi tubuh dari lingkungan sekitar. Kulit senantiasa terpapar berbagai zat-zat fisik, kimiawi dan biologik yang dapat memproduksi ROS. ROS dapat mendenaturasi protein, mengubah jalur apoptosis, merusak nukleus dan mitokondria DNA dan memediasi pelepasan sitokin proinflamasi.34

Beberapa penelitian menunjukan bukti adanya stress oksidatif di sepanjang epidermis pasien vitiligo yang disebabkan H2O2 dalam jumlah besar.34 Peningkatan kadar hydrogen peroxide (H2O2) pada epidermis daerah yang

(5)

11

terkena, mungkin sebagian disebabkan oleh berkurangnya kapasitas antioksidan enzimatik pada keratinosit dan melanosit. Pertahanan antioksidan yang defektif membuat peningkatan kerentanan melanosit baik terhadap sitotoksitas imunologik dan terhadap sitotoksitas yang diinduksi oleh reactive oxygen species (ROS ).6,34-38

Ketidakseimbangan antara produksi ROS dan kemampuan sistem biologik untuk dapat mendetoksifikasi zat reaktif atau untuk memperbaiki kerusakan yang dihasilkan akan menyebabkan terjadinya stress oksidatif.34,35,37,39,40 Stres oksidatif diperkirakan merupakan awal peristiwa patogenik dalam terjadinya destruksi melanosit. Pada stres oksidatif, tidak adanya aktivitas antioksidan yang memadai menyebabkan terjadinya akumulasi berlebihan dari radikal bebas, yang akan merusak zat seluler seperti protein, karbohidrat, deoxyribonucleic acid (DNA) dan lipid.40

ROS diproduksi sebagai produk sampingan proses melanogenesis di dalam melanosit dan dikendalikan oleh beberapa enzim antioksidan di epidermis seperti katalase dan glutation peroksidase. Pada vitiligo terjadi produksi berlebihan dari H2O2 yang bersifat sitotoksik terhadap melanosit melalui berbagai mekanisme.33,37,40 Oksidasi homosistein dan abnormalitas biopterin berperan dalam pembentukan ROS. Hal ini akan mengakibatkan destruksi melanosit yang berdampak perubahan pigmentasi kulit.21

(6)

2.1.4 Gambaran klinis

Gambaran klinis utama vitiligo adalah dijumpainya makula berwarna putih susu dengan depigmentasi yang relatif homogen dan berbatas tegas. Berdasarkan gambaran klinis khas dan riwayat alamiah vitiligo dapat diklasiflkasikan menjadi tipe segmental dan nonsegmental.6 Berdasarkan konsensus yang dibuat oleh Vitiligo European

Taskforce (VETF) pada saat konferensi International Pigment Cell Conference tahun

2011, vitiligo nonsegmental memiliki karakteristik berupa makula depigmentasi dengan berbagai ukuran yang sering melibatkan kedua sisi tubuh dan cenderung simetris.41 Vitiligo universalis, vulgaris, akrofasial, campuran, fokal, dan mukosal termasuk dalam kelompok ini. Sedangkan vitiligo segmental memiliki karakteristik berupa makula depigmentasi dengan distribusi dermatom unilateral yang tidak melewati garis tengah tubuh.6 Umumnya vitiligo segmental sering mengenai anak-anak dan bercak depigmentasi menetap selama bertahun-tahun namun tetap terlokalisir. Selain itu pada vitiligo segmental sering melibatan sistem pigmentasi folikel rambut.6,41 Perbedaan antara vitiligo segmental dan nonsegmental dapat mempengaruhi prognosis dalam hal resistensi untuk repigmentasi kembali.6,8,41-46

2.1.5 Diagnosis banding

Beberapa penyakit yang dapat didiagnosis banding dengan vitiligo yaitu kelainan bawaan antara lain nevus depigmentosus, tuberous sclerosis, piebaldism,

Vogt-Koyanagi’s syndrome, Wardeenburg’s syndrome dan Ziprkowski-Margolis’s syndrome

dan kelainan didapat seperti pityriasis versicolor, pityriasis alba, post-inflammatory

hypopigmentation, lichen sclerosus et atrophicus, morphea, sarcoidosis dan leprosy.6,,11

(7)

13

2.1.6 Diagnosis

Pemeriksaan klinis yaitu berdasarkan temuan berupa lesi kulit akuisita, bercak berwarna putih berbatas tegas pada kulit dan tidak ada berhubungan dengan inflamasi serta umumnya meluas secara sentrifugal cukup untuk menegakkan diagnosis vitiligo.3,6,11,41 Pemeriksaan lampu Wood juga dapat membantu dalam mendiagnosis yaitu tampak adanya aksentuasi lesi, khususnya pada pasien dengan tipe kulit Fitzpatrick I dan II untuk melihat area yang terlibat. Pada tipe kulit yang lebih gelap, lampu Wood dapat digunakan untuk melihat derajat depigmentasi pada masing-masing individu.6,11

2.1.7 Histopatologi

Dalam menegakkan vitiligo jarang membutuhkan biopsi kulit.6 Gambaran hasil pemeriksaan histopatologi secara umum menunjukan pada lapisan epidermis lesi kulit tampak tidak memiliki. melanosit, dijumpai infiltrat limfosit perivaskular dan perifolikular pada batas lesi awal vitiligo dan lesi aktif yang konsisten dengan adanya proses imunitas seluler yang menghancurkan melanosit secara in situ. Beberapa laporan menyatakan bahwa melanosit mungkin tidak hilang sepenuhnya dari epidermis yang mengalami depigmentasi dan melanosit residual menjaga kemampuan untuk mengembalikan fungsi.6,31

2.1.8 Sistem penilaian (skor) vitiligo

Saat ini terdapat beberapa skala penilaian yang dapat dilakukan untuk menilai vitiligo misalnya VASI, VETFa, VIDA, dan PRI.17,18,47,49 Skor ini dilakukan menilai luas daerah lesi, aktivitas penyakit, dan residu pigmentasi.9 ,4 7 -4 9

(8)

Skor VASI diperkenalkan oleh Hamzavi et al dan merupakan metode yang telah terstandarisasi serta sensitif untuk mengukur derajat dan persentase dari depigmentasi dan repigmentasi. Skor VASI ini secara konseptual analog dengan skor

psoriasis area severity index (PASI) yang digunakan pada psoriasis.18

Menurut Alghamdi et al, skor VASI bersama penggunaan lampu wood dan rule

of nine merupakan metode yang paling baik dan mudah dilakukan yang tersedia untuk

menilai lesi pigmentasi dan mengukur luas serta derajat vitiligo baik secara klinis maupun dalam penelitian dan uji klinis.17,49 VASI merupakan metode pengukuran semi-objektif yang membutuhkan keahlian dari klinisi untuk mengevaluasi hasil. Hal ini membutuhkan perhatian penuh dari klinisi untuk mengamati derajat pigmentasi dan luas lesi. Dengan menggunakan skor ini hasil pengobatan vitiligo dapat dievaluasi.17

Dalam penghitungan skor VASI tubuh penderita dibagi menjadi enam bagian yaitu tangan, anggota gerak atas (tidak termasuk tangan), badan, tungkai (tidak termasuk kaki), kaki, leher dan kepala. Daerah lipatan ketiak dimasukkan dalam anggota gerak atas sedangkan daerah sela paha dan bokong dimasukan dalam tungkai . Satu hand unit, yang mencakup telapak tangan dan permukaan volar dari jari tangan diperkirakan sebanyak 1% dan digunakan untuk menilai jumlah area yang terlibat di setiap bagian. Derajat depigmentasi ditentukan berdasarkan gambaran lesi yang dinilai dengan skor 0%,10%, 25%, 50%, 75%, 90%, 100%. Pa d a derajat 100% depigmentasi berarti tidak ada pigmen yang tampak, pada derajat 90% berarti terdapat sedikit bercak pigmen yang tampak, pada derajat 75% berarti area pigmentasi masih tampak jelas namun area depigmentasi lebih luas, pada derajat 50% berarti area yang mengalami depigmentasi dan yang mengalami pigmentasi adalah sama banyak, pada derajat 25% berarti area pigmentasi melebihi area depigmentasi, pada derajat 10% berarti hanya terdapat sedikit bercak depigmentasi, dan 0% tidak terdapat bercak depigmentasi.17,49,50

(9)

15

Panduan penilaian gambaran depigemntasi/repigmentasi dapat dilihat pada gambar 2.1. Untuk setiap bagian tubuh skor VASI ditentukan dengan menjumlahkan area vitiligo dalam hand units dan derajat depigmentasi dalam setiap hand unit yang diperiksa dengan skor minimal 0 sampai dengan skor maksimal 100 menggunakan rumus berikut.17,49,50

VASI = Ʃ Hands Unit x Depigmentasi

Gambar 2.1 Derajat depigmentasi VASI. Panduan yang telah distandarisasi untuk memperkirakan derajat pigmentasi pada vitiligo (dikutip dari kepustakaan no.50)

(10)

2.1.9. Penatalaksanaan

Prinsip dasar penanganan vitiligo adalah memfasilitasi agar melanosit aktif yang mampu bermigrasi dapat bertahan pada lesi depigmentasi untuk selanjutnya mensintesis melanin. Berbagai strategi penatalaksanaan telah dirancang untuk mengurangi terjadinya destruksi melanosit dan meningkatkan repopulasi melanosit. Mekanisme kerjanya dengan cara menstimulasi penyembuhan melanosit dan dengan mereaktivasi melanosit residual atau menstimulasi migrasi melanosit dari kulit atau folikel rambut yang berdekatan. Repigmentasi ini sendiri dapat terjadi secara spontan maupun oleh karena pengobatan.6

Terapi vitiligo yang tersedia saat ini antara lain berupa pengobatan secara topikal, sistemik, terapi fisik dan pembedahan. Terapi lini pertama untuk vitiligo adalah kortikosteroid dan inhibitor kalsineurin topikal serta penyinaran baik dengan

narrowband UVB atau sinar UVA yang dikombinasi dengan psoralen sistemik

merupakan. Adapun terapi lini kedua dari vitiligo antara lain kalsipotriol topikal, kombinasi penyinaran UVA dengan psoralen topikal, penyinaran dengan laser excimer, kortikosteroid sistemik dan pembedahan dengan graft atau transplantasi melanosit.6,11,42,51-54

Beberapa penelitian mencoba melihat manfaat pemberian suplementasi vitamin dalam penatalakasanaan vitiligo. Juhlin & Olsson melakukan penelitian dengan menggabungkan 1 mg vitamin Bl2 dan 5 mg asam folat yang diminum dua kali sehari

ditambah edukasi untuk berjemur di sinar matahari dan mendapatkan hasil yang baik.17 Penelitian lain oleh Don et al dengan broadband UVB dengan penambahan 500 mg vitamin C, 1 mg vitamin B12 dan 5 mg asam folat yang diberikan dua kali sehari

juga tampak menjanjikan.18 Perbaikan yang diperoleh dengan penambahan vitamin B12 dan asam folat pada vitiligo ini diduga berhubungan dengan peranan keduanya dalam

(11)

17

menurunkan kadar homosistein, dimana kadar homosistein yang berlebihan dikaitkan dengan etiopatogenesis vitiligo.17,18,55

2.2 Homosistein

Pada tahun 1932, Butz dan du Vigneaud pertama kali menjabarkan mengenai homosistein. Homosistein adalah asam amino bersulfur yang tidak membentuk protein.13 Metabolisme homosistein berada di persimpangan antara dua jalur metabolik, yaitu: jalur remetilasi dan jalur transulfurasi.10-12

Jalur remetilasi terlibat dalam siklus sintesis metionin. Metionin sendiri dapat diperoleh dari diet makanan atau dibentuk dari daur ulang homosistein. Pada jalur remetilasi, homosistein mendapat gugus metil dari N-5-methyltetrahydrofolate atau dari betaine untuk membentuk metionin. Reaksi dari N-5- methyltetrahydrofolate terjadi pada semua jaringan dan sangat bergantung pada vitamin B12, sedangkan reaksi dengan

betaine yang terutama terjadi pada liver tidak bergantung pada vitamin B12. Sejumlah metionin yang terbentuk lalu diaktivasi oleh adenosine triphosphate untuk membentuk

S-adenosylmethionine (SAM).10-12

SAM yang mengandung kelompok metil yang sangat reaktif kemudian ditransferkan ke berbagai substrat akseptor, termasuk asam nukleat DNA dan asam ribonukleat, protein, fosfolipid, myelin, polisakarida, choline, katekolamin dan sejumlah besar molekul-molekul kecil. Reaksi metilasi ini akan menghasilkan

S-adenosyl-l-homocysteine (SAH) yang selanjutnya dihidrolisis dengan reaksi reversibel menjadi

homosistein yang kemudian didaur ulang menjadi metionin dan SAM atau diarahkan ke jalur transulfur.10-12

(12)

Secara normal, sekitar 50% dari homosistein yang terbentuk akan diremetilasi. Sisa homosistein akan diubah melalui jalur transulfur menjadi sistein dalam dua reaksi yang membutuhkan vitamin B6 sebagai kofaktor. Jalur ini penting untuk sintesis glutation. Glutation melindungi banyak komponen seluler dari kerusakan oksidatif. 10,11

Pada jalur transulfurasi, homosistein berkondensasi dengan serine untuk membentuk sistationin melalui reaksi reversibel yang dikatalisis oleh enzim yang mengandung pyridoxal-50-phosphate (PLP) , yaitu cystathionine synthase. Sistationin yang terbentuk lalu dihidrolisis oleh enzim sistationase untuk membentuk sistein dan ketobutirat. Sistein yang berlebihan lalu dioksidasi menjadi taurine atau menjadi sulfat inorganik atau diekskresikan melalui urin. Dengan demikian selain untuk membentuk sistein, jalur transulfurasi secara efektif mengkatabolisis homosistein berlebihan yang tidak dibutuhkan untuk transfer gugus metil.10,11

Tiga enzim yang terlibat secara langsung dalam metabolisme homosistein ini, yaitu: methionin synthase (MS), betaine homocysteine methyltransferase dan

cysthationine-β-synthase (CBS). Vitamin B12 adalah kofaktor MS sedangkan B6

merupakan kofaktor CBS. Methyltetrahydrofolate (methylTHF) adalah substrat dalam reaksi yang diperantarai MS. Reaksi ini juga penting bagi pembentukan folat aktif yang dibutuhkan untuk sintesis purin dan timidin, maka dari itu penting juga bagi sintesis dan perbaikan.10,11

(13)

19

Kebanyakan jaringan bergantung pada gugus metil yang diturunkan dari daur ulang homosistein yang diperantarai oleh MS. Reaksi ini secara tidak langsung diregulasi oleh aktivitas MTHFR dimana enzim ini memediasi pembentukan

methylTHF. Enzim ini memiliki pengaruh yang besar secara tidak langsung terhadap

remetilasi homosistein.10,11 Metabolisme homosistein secara skematis dijabarkan pada gambar 2.2.

Gambar 2. 2 Metabolisme homosistein (dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan nomor 9)

Nilai normal kadar homosistein adalah 5-15 µmol/L.10 Kadarnya dapat dipengaruhi genetik, kadar vitamin dalam darah, jenis kelamin, usia, gaya hidup, obat-obatan, penyakit-penyakit hiperproliferasi, gagal ginjal dan gagal jantung, serta diabetes

mellitus. Pengaruh faktor-faktor tersebut dalam kelainan yang berhubungan dengan

homosistein telah menjadi lahan penelitian yang sangat aktif.10,11

(14)

yang mengakibatkan bentuk thermolabile dari MTHFR menyebabkan berkurangnya aktivitas enzim.10,23 Hal ini mengakibatkan peningkatan kadar homosistein rata-rata sekitar 25%.13

Seiring bertambahnya usia terjadi peningkatan kadar homosistein. Hal ini mungkin terjadi karena faktor gaya hidup ditambah dengan adanya malabsorpsi yang disebabkan gastritis, berkurangnya metabolisme, menurunnya fungsi ginjal dan keadaan fisiologis lainnya.56

Kadar homosistein pada wanita lebih rendah dibandingkan pada pria.5 5 - 5 9 Perbedaan di antara jenis kelamin ini dapat dijelaskan oleh status hormonal, massa otot yang lebih besar pada laki-laki dan perbedaan gaya hidup di antara wanita dan pria. Setelah menopause, perbedaan ini tidak dijumpai, namun konsentrasi tetap lebih rendah pada wanita. Wanita hamil memiliki kadar homosistein yang lebih rendah dibandingkan wanita yang tidak hamil, diduga karena volume plasma yang lebih besar pada wanita hamil, peningkatan tingkat metabolisme, dan filtrasi glomerulus.10

Merokok memiliki hubungan yang kuat dengan peningkatan kadar homosistein. Efek merokok pada kadar homosistein juga semakin diperkuat oleh adanya asupan alkohol yang tinggi, konsumsi kopi dan nutrisi yang tidak memadai. Olahraga yang kurang, obesitas dan bahkan stres berhubungan dengan peningkatan kadar homosistein. Maka dari itu faktor gaya hidup yang tidak seha t mungkin menjadi penjelasan utama terjadinya peningkatan homosistein.10

Selain itu ada beberapa obat yang berinteraksi dengan metabolisme homosistein yang menyebabkan reduksi absorbsi kofaktor atau peningkatan tingkat katabolisme vitamin.13

(15)

21

2.3 Hubungan Kadar Homosistein dengan Skor VASI

Dikemukakan bahwa pasien vitiligo lebih cenderung rnengalami anemia pernisiosa dan defisiensi vitamin B12. Asam folat dan vitamin B12 merupakan kofaktor enzim homosistein metil transferase yang berfungsi dalam regenerasi metionin dari homosistein pada siklus remetilasi. Defisiensi kedua vitamin ini dapat menyebabkan keadaan hiperhomosisteinemia.20,60

Zaki et al membandingkan kadar homosistein serum pada 30 subjek vitiligo dan kontrol dalam jumlahnya yang sama. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya perbedaan signifikan antara kelompok vitiligo (11,35± 3,14 µmol/L) dan kontrol (10,49 ± 1,68 µmol/L) dan tidak ada hubungan antara kadar homosistein serum dengan durasi penyakit dan aktivitas penyakit. Namun dijumpai hubungan positif dengan usia pasien.22

Singh et al melakukan penelitian pada 200 pasien vitiligo dan 75 kontrol. Homosistein serum pada pria (31,0±7,8 µmol/L) lebih tinggi dibandingkan pada wanita (22,0 ± 4,2 µmol/L) dengan kadar pada kelompok vitiligo aktif (30,2 ± 6,5µmol/L) lebih tinggi daripada kontrol (23,1 ± 1,9µmol/L).20

Yasar et al meneliti 40 pasien vitiligo dan 40 kontrol dan tidak menemukan perbedaan signifikan kadar homosistein. Tidak dijumpai hubungan signifikan antara kadar homosistein dengan aktivitas penyakit dan polimorfisme gen MTHFR.23

Sabry et al menemukan perbedaan signifikan antara kadar homosistein kelompok vitiligo (17,77 ± 7,72 µmol/L) dan kelompok kontrol (11,81 ± 3,41 µmol/L). Kadar homosistein pada lelaki (21,84 ± 10,76 µmol/L) lebih tinggi secara

(16)

menemukan terdapat hubungan antara kadar homosistein dengan luas vitiligo (r=0,559), namun tidak dijumpai hubungan antara kadar homosistein dengan usia pasien, tipe klinis dan durasi penyakit.19

Ghalamkarpour et al menemukan terdapat perbedaan signifikan antara kadar homosistein pasien vitiligo dengan kelompok kontrol. Pada pria (15 -22 µmol/L) kadarnya dijumpai lebih tinggi dibandingkan pada wanita (10-16,5 µmol/L). Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara kadar homosistein dengan skor VASI (r=o,25 ; p=0,08), luas permukaan tubuh (r=0,22; p=0,12), dan durasi penyakit (r=0,08; p=0,56).24

Hasil yang berbeda dijumpai oleh Agarwal et al. Penelitian ini membandingkan kadar homosistein serum pada 50 pasien vitiligo dengan 35 kontrol sehat. Pada studi ini ditemukan perbedaan signifikan antara kadar homosistein serum pasien vitiligo (15,39 ± 7,2 µmol/L) dan kontrol (11,88 ± 4,81µmol/L), dan dijumpai adanya hubungan antara kadar homosistein serum dengan durasi penyakit (r=0,416; p=0,003), skor VASI (r=0,567; p=0,000) dan tipe vitiligo. Namun penelitian ini tidak menemukan adanya hubungan antara kadar homosistein dengan usia (r=0,020; p=0,893).13

Hasil ini merupakan hal yang logis karena metabolism homosistein bergantung pada asam folat dan vitamin B12, dimana keduanya rendah pada pasien vitiligo. Kenaikan kadar homosistein dijumpai baik pada penyakit yang aktif maupun stabil namun tidak pada pasien yang regresif, yang menunjukan kemungkinan hubungan dengan vitiligo, setelah seluruh faktor yang mungkin memepengaruhi telah dieksklusikan.19-21,25

(17)

23

Beberapa teori mungkin dapat menjelaskan kemungkinan pengaruh peningkatan homosistein terhadap melanosit pada pasien vitiligo. Peningkatan kadar homosistein menyebabkan produksi ROS yang terbentuk akibat oksidasi homosistein bersamaan dengan abnormalitas biokimia lainnya pada vitiligo seperti metabolisme biopterin. Hal ini mengakibatkan terjadinya stres oksidatif pada melanosit, akumulasi bahan melanositotoksik dan inhibisi proses detoksifikasi alamiah yang akhirnya berkontribusi dalam menghancurkan melanosit pada kulit vitiligo. Fakta bahwa asam folat memiliki efek antioksidan pada vitiligo mendukung hipotesis ini.19-21,25

Homosistein juga dapat menghambat enzim histidase dan tirosinase kulit. Inhibisi ini terjadi kemungkinan melalui interaksi dengan tembaga pada lokasi aktif enzim. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang mungkin bahwa peningkatan homosistein lokal dapat mengganggu melanogenesis normal dan memiliki peranan dalam patogenesis vitiligo.12,21,23,24,60

Terdapat kemungkinan hubungan antara gen yang meregulasi metabolisme homosistein plasma dengan kerentanan terjadinya vitiligo. Salah satu gen yang diduga berhubungan adalah gen CAT. Mutasi pada gen ini dapat menyebabkan aktivitas katalase yang rendah yang dapat terdeteksi pada pasien vitiligo.39 Gen lainnya yang disebut berperan adalah gen MTHFR yaitu gen untuk enzim yang berperan dalam siklus remetilasi homosistein untuk menjadi metionin. Adanya polimorfisme pada gen ini menyebabkan kegagalan sintesis metionin yang mengakibatkan peningkatan kadar homosistein dalam darah. Penelitian lebih lanjut mengenai pola mutasi gen masih perlu dilakukan.21,23

(18)

Efek yang berbahaya dari hiperhomosisteinemia juga mungkin dikarenakan akibat reaksi homosistein dengan protein membentuk disulfide. Hal ini mungkin karena konversi homosistein menjadi tiolakton yang sangat reaktif yang dapat bereaksi dengan protein membentuk suatu tambahan gugus nitro hydroxyl carbon

monoxide, yang mempengaruhi protein dan enzim tubuh.21

Homosistein dikatakan memperantarai destruksi melanosit melalui produksi IL-6 yang dapat meningkatkan ekspresi intercellular adhesion molecule-1 yang merangsang melekatnya melanosit ke leukosit, menginduksi aktivasi sel- B poliklonal, meningkatkan produksi autoantibodi.61 Selain itu homosistein dapat merangsang aktivitas NF-KB yang diteliti dapat memodulasi ekspresi pro- appoptosis p53 pada lesi vitiligo.62 Hal ini dapat menyebabkan kerusakan melanosit pada vitiligo.61,62

(19)

25 2.4 Kerangka Teori HOMOSISTEIN Hipotesis biokimia Inhibisi detoksifikasi alamiah Akumulasi bahan melanositotoksik Stres oksidatif Produksi ROS ↑ oksidasi Hipotesis autoimun Merangsang melekatnya melanosit ke leukosit, menginduksi aktivitas sel B poliklonal, ↑ produksi autoantibodi Produksi IL-6 Destruksi melanosit ↑pro apoptosis p53 Aktivasi NF-ĸB Hipotesis genetik Polimorfisme genetik - Gen MTHFR kromosom 1p36.3 - Gen CAT kromosom 11p13

Usia, jenis kelamin,kadar vitamin dalam darah, gaya hidup, obat-obatan, penyakit-penyakit hiperproliferasi, gagal ginjal, gagal jantung, diabetes mellitus.

Interaksi dengan tembaga pada lokasi aktif enzim tirosinase

Mempengaruhi protein dan enzim tirosinase

Membentuk disulfide Bereaksi dengan protein Konversi menjadi tiolakton Inhibisi tirosinase Destruksi melanosit

(20)

2.5. Kerangka Konsep

Gambar 2.4. Kerangka konsep 2.6. Hipotesis Penelitian

2.6.1. Hipotesis mayor

Terdapat hubungan antara kadar homosistein serum dengan skor

Vitiligo Area Scoring Index.

2.6.2. Hipotesis minor

1. Terdapat perbedaan antara kadar homosistein serum pasien vitiligo dengan kontrol sehat.

2. Terdapat hubungan antara kadar homosistein serum dengan jenis kelamin pada pasien vitiligo.

3. Terdapat hubungan antara kadar homosistein serum dengan usia pada pasien vitiligo.

4. Terdapat hubungan antara kadar homosistein serum dengan riwayat keluarga pada pasien vitiligo.

Kelompok Vitiligo Kelompok kontrol Vitiligo Area Scoring Index Jenis kelamin Usia Riwayat keluarga Lama mengalami Kadar homosistein serum

(21)

27

5. Terdapat hubungan antara kadar homosistein serum dengan lama mengalami vitiligo.

Gambar

Gambar    2.1    Derajat  depigmentasi  VASI.  Panduan  yang    telah      distandarisasi    untuk  memperkirakan  derajat  pigmentasi  pada  vitiligo (dikutip dari kepustakaan no.50)
Gambar 2. 2 Metabolisme homosistein (dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan     nomor 9)
Gambar 2.4. Kerangka konsep  2.6.      Hipotesis Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Kekurangpahaman tentang konsep-konsep dasar adalah penyebab utama kesulitan dalam mempelajari prinsip-prinsip dengan metode penemuan terbimbing.. Kegiatan

52 Penyediaan Peralatan dan Perlengkapan Kantor, 26273163 Belanja Modal Peralatan dan Mesin-Pengadaan Komputer APBDP Karo (Kab.).

Sejak aksi teror bom yang terjadi di bali pemerintah negara Indonesia mulai melakukan reaksi untuk bagaimana menangkal aksi terorisme yang pada saat itu belum ada aturan

Selain itu korban juga berhak memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh

Bayam adalah jawaban yang tepat untuk melawan anemia karena kandungan zat besi pada sayuran bayam sangat baik untuk pembentukan sel darah merah.. Lebih dari

Hasil penelitian yang dilakukan pada PT.Citra Raja Ampat Canning Sorong pada bagian gudang jadi ,dengan menggunakan lembar cheeck sheet didapat 30 sampel basket produk

Ketuban (cairan ketuban) (cairan ketuban) adalah cairan adalah cairan yang bening agak yang bening agak kekuning- kekuning- kuningan, yang mengelilingi bayi yang

Melalui penelitian kepada statistik kutipan zakat di Wilayah Persekutuan, dapat dijangka angka kutipan zakat akan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya atas usaha-usaha dakwah