• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTERI SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Hb. SUJIANTORO Dosen Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTERI SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Hb. SUJIANTORO Dosen Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Hb. SUJIANTORO

Dosen Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang

Abstrak

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)merupakan masalah dalam lingkup keluarga , baik pelaku maupun korban nya adalah diasntara anggota keluarga. itu sendiri yang sudah saling mengenal dan memiliki ikatan emosional satu dengan lainnya. Bentuk tindakan kekerasan ini bisa berupa kekerasan fisik, kekerasan psikhis, kekerasan seksual, dan juga penelantaran rumah tangga. Kekerasan yang terjadi pada umumnya adalah kekerasan berbasis gender yang menjadi kor bannya adalah perempuan(isteri).

Penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga antara lain : faktor budaya patriarkhi ,dan juga tafsir yang keliru terhadap ajaran agama.

Korban kekerasan dalam rumah tangga khususnya isteri berhak mendapatkan perlindungan sesuai dengan hak-hak korban sebagaimana telah diatur dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, sebagai berikut:

Perlindungan dari pihak keluarga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial,atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Selain itu korban juga berhak memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum, pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan pelayanan bimbingan rohani.Korban kekerasan dalam rumah tangga, selain memperoleh perlindungan secara fisik dan psikis dari pemerintah dan masyarakat, korban juga memperoleh perlindungan hukum, dengan pemberian sanksi pidana bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga, yang diatur pasal 44 sampai dengan pasal 53 UUPKDRT, dengan ancaman sanksi pidana yang berlainan, tergantung perbuatan yang dilakukan.

Kata Kunci:Perlindungan Hukum, Korban, Keklerasan dalam rumah tangga

A. PENDAHULUAN

Hakekat perkawinan ialah membentuk keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebutkan bahwa: “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

. Tetapi perkawinan yang diharapkan bahagia dan sejahtera, baik lahir maupun bathin tidaklah sesuai dengan kenyataan, hal ini disebabkan oleh adanya kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Yang lebih menyedihkan kasus tersebut dari waktu ke waktu semakin meningkat dan pada

umumnya korbannya adalah perempuan.. Sehingga korban KDRT yang sebagian besar perempuan itu harus mendapat perlindungan agar terhindar dari kekerasan atau ancaman kekerasan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.

Tindak kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik, kekerasan psikhis ,kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Kekerasan

(2)

dalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, termasuk bapak, suami, isteri,anak, dan juga orang-orang(siapa saja) yang ada menetap di dalam rumah tangga.

Kekerasan dalam rumah tangga menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga terjadi dikarenakan budaya yang mendominasi saat ini adalah budaya patriarkhi, dimana laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan.

Pada tahun 2006 pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama dalam Upaya Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), memberikan perlindungan secara khusus bagi korban kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, dan dilaksanakan berdasarkan asas penghormatan hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender, non diskriminasi dan perlindungan korban, serta mempunyai tujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga serta memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

UUPKDRT ini merupakan titik awal keberhasilan perjuangan perempuan dalam memperoleh perlindungan terhadap kekerasan yang sering terjadi dalam lingkup rumah tangga, yang sebelumnya dianggap sebagai urusan pribadi suami-isteri dan merupakan ‘aib keluarga’, sehingga tabu

untuk diketahui dan dikemukakan kepada masyarakat.

B. PEMBAHASAN 1. Perlindungan Hukum

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif,1 dan pendapat Sunaryati Hartono bahwa, hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi, dan politik, untuk memperoleh keadilan sosial,2 serta merujuk pendapat Phillipus M. Hadjon bahwa, perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintahan yang bersifat preventif dan represif.3

Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republikk Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945) dengan tegas menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat). Sebagai negara hukum (rechtstaat) ada berbegai konsekuensi yang melekat padanya, sebagaimana dikemukakan Phillipus M. Hadjon, bahwa konsepsi rechstaat maupun konsepsi the rule of law, menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu ciri khas pada negara yang disebut rechtstaat atau menjunjung tinggi the rule of law, bagi negara demokrasi pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan salah satu aturan tentang baik buruknya suatu pemerintahan.4

Dengan demikian hukum diciptakan dengan tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat, yaitu perlindungan hukum yang dilakukan secara sistematik untuk mencegah dan menyelesaikan

1 Lili Rasjidi dan I.B.Wyasa Putra, Hukum

sebagai suatu Sistem, Remaja Rusdakarya, Bandung, 1993, hlm. 118.

2 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju

Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hlm. 55.

3 Phillipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum

Bagi Rakyat Indonesia, PT.Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 2.

(3)

ketidakadilan masyarakat dalam hal ini tindak pidana KDRT.

Pasal 28 G ayat (1) Undang-Undasng Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang medrupakan hak asasi” Sedangkan pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa: ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Undang-Undang Republik Indonesia No.8 Tahun 1981 dalam penjelasannya menyebutkan bahwa: ”Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan dengan tegas, bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat). Hal ini berarti bahwa, Republik Indonesia ialah Negara Hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tingggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.5

Asas persamaan di muka hukum ini memang tidak secara eksplisit tercantum dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukun Acara Pidana, tetapi dicantumkan dalam Penjelasan Resmi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Walaupun demikian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ini. Asas ini dijabarkan dalam kalimat: ”Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan”.6 Asas ini ditempatkan sebagai

5

UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Karya Anda, Surabaya, 1991, hlm. 126.

6

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionalisme,Putra A.Bardin, 1996, hlm. 79.

asas kesatu, menunjukkan betapa pentingnya asas ini dalam tata kehidupan hukum (acara) pidana di Indonesia. Adanya asas ini dalam Kitab Undang-Undang hukum acara Pidana menunjukkan adanya arah pembaharuan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia. 1. Kekerasan

Thomas Hobbes melihat kekerasan bersumber pada keadaan alamiah manusia di dalam sosoknya sebagai serigala bagi sesamanya (homo homini lupus), sedangkan dalam konsepsi Rousseau, kekerasan tersembunyi di dalam rantai peradaban manusia yang membentuknya sebagai binatang yang saling menyerang. Banyak ilmuwan yang membuat alasan bahwa ketamakan atau kerakusan, persaingan dan egoisme merupakan ciri bawaan manusia. Salah satu sifat destruktif manusia adalah kekerasan.

Pengertian kekerasan dalam arti yang sempit adalah kekerasan mengandung makna sebagai serangan atas penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang, atau serangan, penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas milik seseorang. Sedangkan dalam pemgertian yang lebih luas, konsep kekerasan meliputi semua bentuk tindakan yang dapat menghalani seseorang untuk merealisasikan potensi dirinya (self realization) dan mengembangkan pribadinya (personal growth) Dalam pengertian yang luas itu, kekerasan tidak hanya meliputi dimensinya yang bersifat fisik, akan tetapi juga dimensi yang bersifat psikologis.

2. Korban kekerasan

Menurut Stephen Schafer, dalam teorinya yang terkenal dengan Criminal-Victim Relationship (keterkaitan korban dengan kejahatan), adalah karena adanya hubungan korban dengan pembuat kejahatan, sehingga di dalamnya terdapat functional responsibility.7

Pengaruh si korban menentukan timbulnya kejahatan sebagai manifestasi dari sikap dan tingkah laku korban sebelum

7 Mardjono Reksodiputro, 1994,Op.cit, hlm.

(4)

saat dan sesudah kejadian. Oleh karena itu pihak korban dapat berperan dalam keadaan sadar atau tidak sadar secara langsung atau tidak langsung, sendiri atau bersama-sama, secara aktif maupun pasif yang bergantung pada situasi dan kondisi sebelum saat dan sesudah kejadian berlangsung. Secara logika tidak akan ada orang yang mau menjadi korban dari suatu kejahatan. Tetapi kondisi-kondisi tertentu dapat menyebabkan calon korban ikut berperan serta sehingga terjadilah kejahatan dan dia sendiri yang menjadi korban.

3. Kekerasan dalam Rumah Tangga Kejahatan kekerasan bersifat universal, yakni dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan dapat menimpa siapa saja, bahkan akibat yang dirasakannya adalah sama yaitu penderitaan fisik maupun non fisik, bisa menimpa laki-laki maupun perempuan.

Kekerasan terhadap perempuan telah tumbuh sejalan dengan peradaban manusia. Menurut pasal 1 Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1993 menyebutkan: yang dimaksud kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk tindakan kekerasan yang berbasis gender yang mengakibatkan atau akan mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan baik secara fisik, seksual, psikologis, termasuk ancaman, pembatasan kebebasan, paksaan, baik yang terjadi di area publik atau domestik.8

Menurut Herkutanto, kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan atau sikap yang dilakukan dengan tujuan tertentu sehingga dapat merugikan perempuan baik secara fisik maupun secara psikis.9 Hal penting lainnya ialah bahwa suatu kejadian yang bersifat kebetulan (eccidental) tidak dikategorikan sebagai kekerasan walaupun menimbulkan kerugian pada perempuan.

8 “Kekerasan Terhadap Perempuan Berbasis

Gender (KTPBG)”, Peket Informasi, Rifka Annisa Women’s Crisis Center, Jogyakarta, t.t, hlm. 2-3.

9 Herkutanto, Kekerasan Terhadap

Perempuan dalam Sistem Hukum Pidana, dalam buku Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, PT. Alumni, Bandung, 2000, hlm. 267-268.

Pengertian tersebut tidak menunjukkan bahwa pelaku kekerasan terhadap perempuan hanya kaum pria saja, sehingga kaum perempuanpun dapat dikategorikan sebagai pelaku kekerasan Kekerasan dalam Rumah Tangga khususnya penganiayaan terhadap istri, merupakan salah satu penyebab kekacauan dalam masyarakat. Berbagai penemuan penelitian masyarakat bahwa penganiayaan istri tidak berhenti pada penderitaan seorang istri atau anaknya saja, rentetan penderitaan itu akan menular ke luar lingkup rumah tangga dan selanjutnya mewarnai kehidupan masyarakat kita.

Menurut Mansour Fakih, Kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas keutuhan mental psikologi seseorang.10 Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga khususnya terhadap istri sering didapati, bahkan tidak sedikit jumlahnya. Dari banyaknya kekerasan yang terjadi hanya sedikit saja yang dapat diselesaikan secara adil, hal ini terjadi karena dalam masyarakat masih berkembang pandangan bahwa kekerasan dalam rumah tangga tetap menjadi rahasia atau aib rumah tangga yang sangat tidak pantas jika diangkat dalam permukaan atau tidak layak di konsumsi oleh publik.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, memberikan pengertian tentang kekerasan dalam rumah tangga, yaitu: “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga” (Pasal 1 ayat (1).11

Bentuk tindakan kekerasan dalam rumah tangga bisa berupa kekerasan fisik,

10Mansour Fakih, Analisis Gender dan

Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. I, 1996, hlm. 17.

11UU RI No. 23 tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Pustaka Fokusmedia, Bandung, Cet. II, Desember, 2006, hlm. 5 .

(5)

kekerasan psikhis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6). Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7). Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/ atau tujuan tertentu (Pasal 8). Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hokum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian, ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang-orang tersebut, dan setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9). Pihak-pihak yang termasuk dalam lingkup rumah tangga adalah suami, isteri, anak (termasuk anak angkat dan anak tiri), mertua, menantu, ipar dan besan, serta orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (pekerja rumah tangga).

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Sidang Umum ke 85 Tahun 1993 mengesahkan “Deklarasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan”, yang menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pasal 1 Deklarasi tersebut memberikan pengertian tentang kekerasan terhadap perempuan, yaitu: “Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi

di depan umum atau di dalam kehidupan pribadi “.

4. Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa, sebab terjadinya kekerasan terhadap wanita adalah budaya dominasi laki-laki (male domination culture).12 Dalam struktur dominasi ini kekerasan seringkali digunakan laki-laki untuk memenangkan perbedaan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, untuk mencegah perbuatan mendatang dan kadangkala untuk mendominasikan semata-mata. Dan juga segala bentuk kekerasan seringkali merupakan refleksi dari sistem patriarkhal (shaped by patriarchy). Selain itu pendekatan akar budaya dalam praktik juga merugikan terhadap wanita. Disini laki-laki (suami) merasa superior dan berkuasa atas perempuan (isteri)

Kejahatan kekerasan bersifat universal, yakni dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan dapat menimpa siapa saja, bahkan akibat yang dirasakannya adalah sama yaitu penderitaan fisik maupun non fisik, baik laki-laki maupun perempuan. terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. Tindakan kekerasan terhadap isteri dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan yang seringkali terjadi pada perempuan, tindakan ini seringkali dikaitkan dengan penyiksaan baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan dekat.

Tindak kekerasan ini terjadi dikarenakan telah diyakini oleh masyarakat bahwa laki-laki lebih superior dan perempuan inferior, sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan. Hal ini menjadikannya perempuan tersubordinasi, dan juga terdapat interpretasi yang keliru terhadap stereotipe jender yang sejak lama tersosialisasi, yaitu dianggapnya perempuan lemah dan laki-laki kuat. Kecenderungan tindak kekerasan terhadap isteri dalam rumah tangga ini bisa terjadi karena

12Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia

dan Reformasi Hukum di Indonesia,Cetakan Pertama, The Habibie Center, Jakarta,2000, hlm. 35.

(6)

dukungan sosial dan budaya, dimana isteri diposisikan orang nomor dua dan bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Hal ini muncul karena transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu atau turun menurun bahwa isteri harus nurut pada suami, jika isteri mendebat suami dipukul. Sehingga dengan dominannya suami terhadap isteri, jika terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga dianggapnya masalah privasi, masyarakat tidak boleh ikut campur.

Alwi Sihab mengemukakan bahwa : “pada hakekatnya ajaran agama memberi perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat pada perempuan”. Namun kadang orang menafsir ajaran agama yang keliru karena penafsiran tekstual dari surat An Nisa ayat 34. Bahwa apabila perempuan tidak patuh atau berpaling dari suami harus dibina dinasehati bukan dipukul. Dengan demikian kedudukan perempuan dalam pandangan agama tidak sebagaimana dipraktIkkan oleh masyarakat.13

5. Korban Kekerasan dan Bentuk Perlindungannya

Dikaji dari perspektif Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana lazimnya pengertian korban kejahatan merupakan terminologi disiplin Ilmu Kriminologi dan Victimologi yang kemudian dikembangkan dalam Sistem Perradilan Pidana. Dikaji dari perspektif Ilmu Victimologi pengertian korban dapat diklasifikasikan secara luas dan sempit. Dalam pengertian luas korban diartikan sebagai orang yang menderita atau dirugikan akibat pelanggaran baik bersifat pelanggaran hukum pidana (penal) maupun diluar hukum pidana (non penal) atau dapat juga termasuk korban penyalahgunaan kekuasaan (victim abuse of power). Sedangkan pengertian korban dalam artian sempit dapat diartikan sebagai victim of crime yaitu korban kejahatan yang diatur dalam ketentuan hukum pidana. Dari

perspektif Ilmu Victimologi ini pada hakikatnya korban tersebut hanya berorientasi kepada dimensi akibat perbuatan manusia, sehingga di luar aspek

13

Alwi Sihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, Mizan, Bandung, 1997, hlm.37.

tersebut, misalnya seperti akibat bencana alam bukanlah merupakan obyek kajian dari Ilmu Victimologi.

Ketentuan angka 1 Declaration of basic principles of justice for victims of crime and abuse of power tanggal 6 September 1985 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sesuai Deklarasi No. A/Res/40/34 Tahun 1985 mengklasifikasikan korban menjadi dua, yaitu korban kejahatan (victims of crime) dan korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (victims of abuse power). Eksplisit Deklarasi No. A/Res/40/34 Tahun 1985 menentukan bahwa victims of crime sebagai:

Victims means persons who individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental right, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within member states, including those laws proscribing criminal abuse power. (Korban adalah orang-orang baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian baik kerugian fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau kerusakan substansial dari hak-hak asasi mereka, yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan).

Kemudian Arif Gosita mengartikan korban sebagai: mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.14

14

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak(Kumpulan Karangan), PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2004, hlm. 64.

(7)

Muladi menyebutkan pengertian korban kejahatan sebagai:

Seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan atau rasa keadilannya secara langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target (sasaran) kejahatan (A Victim is a person who has suffered damage as a result of a crime and/or whose sense of justice has been directly disturbed by the experience of having been the target of crime).15

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa korban adalah: Orang yang menderita kecelakaan karena perbuatan hawa nafsu dan sebagainya, sendiri atau orang lain.16

Dari perspektif normatif, pengertian korban diartikan sebagaimana terdapat dalam: Pasal 1 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam rumah tangga. Dari dimensi ini ketentuan Pasal 10 menentukan korban untuk mendapatkan: perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan pelayanan bimbingan rohani.

Pasal 1 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

15Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan

Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2002, hlm. 66.

16Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1988, hlm. 461.

Korban disebutkan bahwa korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Ketentuan Pasal 5 Undang-Undang ini menentukan adanya korban mempunyai hak berupa: memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; memberikan tekanan tanpa tekanan; mendapat penerjemah; bebas dari pertanyaan yang menjerat; mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; mendapatkan identitas baru; mendapatkan tempat kediaman baru; memperoleh penggantian biayatransportasi sesuai dengan kebutuhan; mendapat nasihat hukum; dan/atau memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

Terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selain hak di atas, juga berhak pula untuk mendapatkan: bantuan medis; dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata cara Perlindungan Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat menyebutkan korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 4 maka bentuk perlindungannya dapat berupa: perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik dan mental; perahasiaan identitas korban dan saksi; pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.

Dikaji dari perspektif normatif, korban kejahatan memerlukan perlindungan yang diatur dalam peraturan

(8)

perundang-undangan. Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa pengertian perlindungan korban tindak pidana dapat dilihat dari dua makna, yaitu:

1. dapat dilihat sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana (berarti perlindungan HAM atau kepentingan hukum seseorang);

2. dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana (jadi identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain, dengan pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan sebagainya.17

Dengan demikian diperlukan adanya payung hukum bagi korban kejahatan sebagai eksistensi perlindungan korban dalam ranah hukum. Selain korban kejahatan bersifat kolektif (collective victims) maka korban bersifat individual menurut para doktrina juga memerlukan perlindungan. Israel Drapkin dan Emilo Viano (dalam Lilik Mulyadi),18 dengan tegas menyebutkan bahwa:

Athough we are accutomed to say that act affect all of society, we cannot deny that the actual victim suffers much more though personal losses than society. In the face incurable, undisputed report, we also forced to acknowledge that the victim is most often an individual physically or financially unable to recover from the criminal. (Kendati pun kita bisa mengatakan bahwa tindak pidana mempengaruhi semua masyarakat, kita tidak dapat

17

Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm. 61.

18

Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif, Teoritis dan Praktik, PT. Alumni, Bandung, 2008, hlm. 252.

menyangkal bahwa korban secara individual jauh menderita daripada kerugian masyarakat. Dalam kenyataan juga diakui bahwa korban secara individu, fisik maupun finansial sering tidak mampu mengatasi tindak pidana).

Praktiknya, korban sebagai pihak yang dirugikan ternyata relatif kurang diperhatikan dan tidaklah mengherankan jikalau perhatian terhadap korban semakin jauh dari peradilan pidana yang oleh Stephen Schafer dikatakan sebagai cinderella dari hukum pidana.19 Robert Reif melihat perhatian terhadap korban dalam proses peradilan pidana relatif kurang diperhatikan dimana disebutkan bahwa: The problem of crime, always gets reduced to what can be done about criminals. No body asks, what can be done about victims? Everyone assumes the best way to help the victim is to catch the criminal as though the offender is the only source of the victims trouble.20 (Suatu masalah dalam hukum pidana, selalu mereduksi apa yang dapat dilakukan terhadap penjahat tidak seorangpun bertanya apa yang dapat dilakukan terhadap korban. Setiap orang berasumsi cara yang paling baik untuk membantu korban adalah menangkap penjahat sebagai pemikiran bahwa pelaku adalah sumber penderitaan korban).

Sistem peradilan Pidana Indonesia sendiri, ternyata menempatkan kedudukan korban relatif kurang diperhatikan karena sistem hukum pidana Indonesia masih berorientasi pada perlindungan bagi pelaku (offender oriented). Padahal, dari perspektif kriminologis dan hukum pidana kejahatan adalah konflik antar individu yang menimbulkan kerugian kepada korban, masyarakat, dan pelanggar diri sendiri. Menurut Sistem Peradilan Pidana Indonesia kepentingan korban kejahatan diwakili Jaksa Penuntut Umum sesuai teori kontrak sosial (social contract argument) dan teori solidaritas sosial (social solidary argument).

19Ibid, hlm. 253. 20Ibid.

(9)

6. Perlindungan hukum terhadap isteri sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.

Korban kekerasan dalam rumah tangga berhak mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak lain baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Selain itu korban juga berhak memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum, pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan pelayanan bimbingan rohani (pasal 10 UUPKDRT)

Korban kekerasan dalam rumah tangga juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan dari tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani (Pasal 39). Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggungjawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (Pasal 12). Sedangkan masyarakat berkewajiban melakukan upaya-upaya sesuai batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Korban kekerasan dalam rumah tangga, selain memperoleh perlindungan secara fisik dan psikis dari pemerintah dan masyarakat, korban juga memperoleh perlindungan hukum, dengan pemberian sanksi pidana bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga, yang diatur Pasal 44 sampai dengan Pasal 53, dengan ancaman sanksi pidana yang berlainan, tergantung perbuatan yang dilakukan, dengan ancaman sanksi paling berat yaitu pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun atau denda Rp. 500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah), dan paling ringan 4 (empat) bulan penjara atau denda Rp.5.000.000,- (Lima juta rupiah).

Hak-hak korban dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 10; korban berhak mendapatkan: 1) Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lain, baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; 2) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; 3) Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; 4) Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 5) Pelayanan bimbingan rohani.

Hak-hak korban yang dirumuskan pada pasal di atas merupakan hak khusus yang ditujukan untuk korban KDRT, yang semestinya bisa dinikmati oleh semua korban KDRT, baik yang melaporkan adanya kekerasan maupun yang tidak melaporkan. Hak-hak dalam undang-undang tersebut dapat meluas dalam praktiknya seperti yang dikemukakan oleh Achie S. Luhulima, yaitu:21

1) Hak perempuan untuk mendapatkan perlindungan aparat yang berwenang atas prilaku yang mungkin akan dilakukan si pelaku yang dilaporkan oleh korban. Jaminan perlindungan sangat penting untuk memastikan bahwa korban tersebut diperlakukan dengan simpatik dan hati-hati oleh penegak hukum, keselamatan dirinya dijamin, sehingga kesaksian yang diberikan dipastikan akan diperoleh untuk menghukum pelaku.

2) Hak untuk mendapat pemulihan medis, yaitu penyembuhan luka fisik yang diderita korban dengan memberikan rujukan ke rumah sakit yang menyediakan pelayanan terpadu bagi korban KDRT psikis, hukum dan sosial, terutama untuk mengembalikan kepercayaan dirinya, serta untuk dapat menjalani prosedur hukum setelah mendapat informasi mengenai prosedur

21Achie Sudiarti Luhulima. 2000.Pemahaman

Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. Universitas Indonesia: Kelompok Kerja Convention Watchdan Pusat Kajian Wanita dan Jender.

(10)

yang akan dijalani dalam proses peradilan pidana.

3) Hak korban untuk memperoleh ganti kerugian atas kerugian yang dideritanya, baik dari pemerintah sebagai organisasi yang berkewajiban memberi perlindungan pada dirinya, maupun dari pelaku kejahatan yang telah menyebabkan kerugian yang luar biasa pada korban. Ketentuan yang mungkinkan korban mendapat ganti kerugian sangatlah kurang, terutama karena ganti kerugian yang diperkenankan adalah yang berkenaan dengan penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Seperti dalam kasus KDRT karena kerugian yang dialami sulit diukur dengan materi.

4) Hak korban untuk mendapatkan informasi mengenal perkembangan kasus dan keputusan hakim, termasuk pula hak untuk diberitahu apabila pelaku telah dikeluarkan atau dibebaskan dari penjara, kalau dia dihukum karena bukti yang kurang kuat.

5) Pelayanan bimbingan rohani, bimbingan rohani dilakukan oleh pembimbing rohani dengan cara memberikan penjelasan mengenai hak dan kewajibannya, serta penguatan iman dan takwa sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya.

Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, pembimbing rohani melakukan upaya: 1) Menggali informasi dan mendengarkan keluh kesah dari korban; 2) Mempertebal keimanan dan ketakwaan korban serta mendorong untuk menjalankan ibadah menurut agama masing-masing korban dan kepercayaannya itu; 3) Menyarankan pemecahan masalah kekerasan dalam rumah tangga menurut agama masing-masing korban dan kepercayaannya itu; 4) Memberikan pemahaman mengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan.

C. PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut

Korban kekerasan dalam rumah tangga khususnya isteri berhak mendapatkan: Perlindungan dari pihak keluarga (dengan melaporkan kejadian yang dialami korban, kepolisian (diterima dan diprosesnya laporan dan adanya jaminan keamanan bagi korban), kejaksaan (adanya penuntutan pada pelaku), pengadilan, (telah disidangkan dan diputusnya perkara bagi pelaku) advokat (adanya pendampingan dari pengacara saat proses pemeriksaan), lembaga sosial (adanya pendampingan saat proses persidangan),atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Selain itu korban juga berhak memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum, pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan pelayanan bimbingan rohani . Hal ini sesuai dengan pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.

Korban kekerasan dalam rumah tangga, selain memperoleh perlindungan secara fisik dan psikis dari pemerintah dan masyarakat, korban juga memperoleh perlindungan hukum, dengan pemberian sanksi pidana bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga, yang diatur pasal 44 sampai dengan pasal 53 UUPKDRT, dengan ancaman sanksi pidana yang berlainan, tergantung perbuatan yang dilakukan.

Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis dapat memberikan saran sebagai berikut:

1. Bagi Korban: Hendaknya jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga, korban tidak pasif (selalu tunduk pada suami), tetapi lebih pada memperjuangkan kesetaraan jender demi keutuhan keluarga.

2. Bagi Masyarakat: jika mengetahui kejadian kekerasan dalam rumah tangga, hendaknya tidak menutup mata dan menganggapnya sebagai hal yang wajar/biasa.

(11)

3. Bagi Penegak Hukum: Jika ada laporan tentang kekerasan dalam rumah tangga, hendaknya memberikan respon yang positif dan segera menindak lanjuti.

DAFTAR PUSTAKA

Achi Sudiarti Luhulima. 2000. Pemahaman Bentuk-bentuk Tndak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. Universitas Indonesia: Kelompok Kerja Convention Watch dan Pusat Kajian Wanita dan Jender

Alwi Sihab, Islam Inklusif,Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama,

Mizan, Bandung,1997. Aroma Elmina Martha.2003. Perempuan

Kekerasan dan Hukum, UII Press, Yogyakarta.

Arief Gosila. 2004. Masalah-masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan), PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

Barda Nawawi Arief.2007. Masalah-masalah Penegakan Hukum dalam Penanggulangan Kejahatan, Prenata Media Group, Jakarta.

Ciciek Farha.1999. Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga belajar dari kehidupan Rasulullah SAW ,Cetakan 1, PT. Lembaga Kajian Agama dan Jender, Jakarta. Chaerudin dan Syarif Fadillah.2004. Korban

Kejahatan dalam Perspetif Viktimologi dan hukum Pidana Islam, Ghalia Press, Jakarta.

Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom.2006. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Antara Norma dan Realita, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

H. A. Masyhur Effendi.1994. Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Herkutanto.2000.Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Sistem Hukum

Pidana, dalam buku Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, PT. Alumni, Bandung.

Lili Rasjidi dan I.B.Wyasa Putra.1993. Hukum sebagai suatu Sistem, Remaja Rusdakarya, Bandung. Lilik Mulyadi. 2008.Bunga Rampai Hukum

Pidana: Perspektif, Teoritis dan Praktik, Alumni, Bandung.

Mansour Fakih.1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial,Cetakan 1, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Mardjono Reksodiputro. 1994. Hak Asasi Manusia dan Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta.

___________ .1994. Sistem Peradilan pidana Indonesia : Melihat

kepada Kejahatan & Penegakan Hukum dalam batas-batas toleransi, Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1994. Muladi. 2000. Demokratisasi, Hak Asasi

Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia,Cetakan Pertama, The Habibie Center, Jakarta.

_____________. 1998. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,Badan Penerbit Undip, Semarang.

Phillipus M.Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT.Bina Ilmu, Surabaya.

Romli Atmasasmita.1996. Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionalisme, Putra A.Bardin.

Sunaryati Hartono.1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,Alumni, Bandung.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta

Aturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Daras Negara Rerpublik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang RI No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

(12)

Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Peraturan Pemerintah RI No.4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-Undang RI No.13 Tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Referensi

Dokumen terkait

Menggiring bola dengan kura-kura kaki bagian atas atau punggung kaki Salah satu tontonan yang menarik dalam sepakbola adalah kemampuan seorang pemain yang mempunyai teknik

Di dalam proses pembelajaran, guru sebagai pengajar sekaligus pendidik memegang peranan dan tanggung jawab yang besar dalam rangka membantu meningkatkan keberhasilan peserta

Fartlek adalah suatu sistem latihan daya tahan yang maksudnya adalah untuk membangun, mengembalikan atau memelihara kondisi tubuh seseorang. Fartlek sebaiknya dilakukan di

Ini merupakan langkah penting, yang mendorong penggunaan prior knowledge dan memori serta memungkinkan mahasiswa untuk menguji atau menggambarkan pemahaman lain; link

Berdasarkan hasil penelitian, polusi udara yang berasal dari sektor transportasi mencapai 60 persen, oleh karena itu penelitian ini akan menyoroti dampak dari polusi

olmadıklarını belirleme ve bir şekle eş şekiller oluşturma, düzlemde nokta, doğru parçası ve diğer şekillerin öteleme altındaki görüntülerini çizme, ötelemede

Tujuan umum: Menjelaskan asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan gangguan pola nafas pada pasien Congestive Heart Failure (CHF) di ICCU Rumah

15 Jadi, yang dimaksud dengan problematika dalam Penulisan ini adalah kendala atau permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014